Anda di halaman 1dari 5

Pengertian AQ

Adversity Quotient atau sering disingkat AQ merupakan istilah baru kecerdasan manusia yang
diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz pada tahun 1997 dalam bukunya berjudul Adversity Quotient :
Turning Obstacle into Opportunities. Kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang bermakna
kegagalan atau kemalangan. Menurut Stoltz (2000:9), adversity quotient (AQ) adalah kecerdasan
seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. Adversity quotient
membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup
sehari-sehari.

Kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) yang pada masa lalu dianggap
sebagai faktor utama bagi seseorang dalam meraih sukses, sudah tak mampu lagi dijadikan
pijakan. Hal ini karena ternyata banyak ditermukan sebuah realitas yang menunjukkan bahwa
orang-orang yang memiliki IQ maupun EQ yang tinggi pun banyak yang mengalami kegagalan.
Namun demikian ia tak menampik bahwa kedua jenis kecerdasan tersebut memiliki peran.
Hanya saja, ia mempertanyakan mengapa ada orang yang mampu bertahan dan terus maju,
ketika banyak dari yang lain terhempas ketika diterpa badai kesulitan, padahal mungkin diantara
mereka sama-sama brilian dan pandai bergaul. Disinilah menurut Stoltz, Adversity Quotient
menjadi pembeda diantara mereka (Stoltz, 2000:17-20).

Berikut ini beberapa pengertian Adversity Quotient (AQ) dari beberapa sumber buku referensi:

Menurut Leman (2007:115), adversity quotient secara ringkas, yaitu sebagai kemampuan
seseorang untuk menghadapi masalah. Beberapa definisi di atas yang cukup beragam, terdapat
fokus atau titik tekan, yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang, baik fisik ataupun psikis dalam
menghadapi problematika atau permasalahan yang sedang dialami.

Menurut Nashori (2007:47), adversity quotient merupakan kemampuan seseorang dalam


menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan tindakannya
ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya.

Menurut Wangsadinata dan Suprayitno (2008), Adversity Quotient adalah suatu kemampuan
atau kecerdasan ketangguhan berupa seberapa baik individu bertahan atas cobaan yang dialami
dan seberapa baik kemampuan individu dapat mengatasinya.

.https://www.kajianpustaka.com/2017/09/adversity-quotient-aq.html?m=1
Berikut adalah 5 ciri Millenial dengan AQ yang tinggi

Mindset positif. Merespon sesuatu dengan perspektif yang positif, antusias dan optimistis, bukan
negatif. Milenial ini cenderung proaktif, tidak reaktif terhadap situasi atau masalah.

Berani keluar dari zona nyaman. Orang ini bertipe suka menjemput tantangan. Merespon situasi
yang tidak nyaman dengan tenang dan cara pandang yang positif. Tidak suka dengan status quo,
sehingga selalu ingin berkembang, ingin mencapai hasil yang lebih baik. Faktor motivasi diri dan
disipilin diri tinggi, sehingga membutuhkan faktor eksternal yang relatif rendah.

Tidak takut hadapi perubahan. Perubahan adalah hal yang wajar. Milenial dengan AQ tinggi
akan agile dalam mengatasi situasi yang tidak menentu, akan memimpin Tim-nya dengan efektif
untuk melalui perubahan bersama-sama.

Kegagalan adalah kesempatan belajar. Milenial ber-AQ tinggi menganggap kegagalan bukan
akhir dari segalanya, malah merupakan kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri.
Individu ini tidak mudah menyerah saat dalam masalah, atau menghadapi penolakan. Hasil
adalah penting, namun proses juga memiliki peran yang sama pentingnya.

Bukan complainer atau blamer. Milenial yang memiliki AQ tinggi memiliki akuntabilitas dan
rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan, tidak suka mengeluh atau menyalahkan orang lain saat
dalam menghadapi tekanan atau masalah.

Faktor dan manfaat AQ

Penelitian yang dilakukan oleh Thomas J Stanley yang kemudian ditulisnya dalam sebuah buku
berjudul "The Millionaire Mind" (2003) menjelaskan hal yang sama, bahwa mereka yang
berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka dengan prestasi akademik biasa-biasa saja
(rata-rata S1), namun mereka adalah pekerja keras, ulet, penuh dedikasi, dan bertanggung jawab,
termasuk tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarganya. Adversity Quotient itu sendiri
mempunyai tiga bentuk, yaitu:

1. Suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua
segi kesuksesan
2. Suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan
3. Serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap
kesulitan

Berbeda dengan Stoltz, Mortel berpandangan bahwa makin besar harapan seseorang terhadap
dirinya sendiri, maka makin kuat pula tekadnya untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan
dalam hidup. Mortel mengemukakan bahwa kegagalan adalah suatu proses yang perlu dihargai.
Mortel juga berpendapat bahwa kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan menghantar
seseorang untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan yang berbeda.

Sedangkan Maxwell mengatakan bahwa ketekunan yang dimiliki oleh seseorang akan
memberinya daya tahan. Daya tahan tersebut akan membuka kesempatan baginya untuk meraih
kesuksesan dalam hidup. Menurut Maxwell setidaknya ada tujuh kapasitas yang dibutuhkan
untuk mengubah kegagalan menjadi batu loncatan, yaitu:

1. Para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak pernah jemu untuk terus mencoba
karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi
2. Para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sesuatu yang nisbi sifatnya
3. Para peraih prestasi memandang kegagalan-kegagalan sebagai insiden-insiden tersendiri
4. Para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistis
5. Para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya
6. Para peraih prestasi menggunakan multi pendekatan dalam meraih prestasi
7. Para peraih prestasi mudah bangkit kembali

Agar dapat bersaing dengan orang-orang, kita harus memiliki sebuah keterampilan lain yang
membuat kita berbeda dari orang lain dan mungkin hal ini juga yang dapat menjadi ciri khas dari
diri kita. Kemahiran kita dalam kesiapan menghadapi tantangan atau adversity quation adalah
salah satu hal yang mendukung kita menjadi sukses. AQ berakar pada bagaimana kita merasakan
dan menghubungkan suatu hal dengan tantangannya. Jika seseorang yang memiliki AQ lebih
tinggi maka dia cenderung tidak akan menyalahkan orang lain karena dia merasa bahwa
kegagalan yang dia lakukan adalah bagian dari kesuksesan yang tertunda dan dia juga merasa
bahwa dia siap untuk menghadapi tantangan yang akan ditemukan serta siap untuk
menyelesaikan masalah yang akan dia hadapi.

Akan ada 3 tipe orang yang kita temui dalam berbagai kondisi, yaitu:

1. Quitters

Yaitu dianalogikan sebagai  orang yang sekedarnya hanya bekerja dan hidup. Mereka tidak tahan
pada serba-serbi yang berisi tantangan. Mudah putus asa dan menarik diri di tengah jalan.
Quitters adalah manusia yang sulit dan tidak senang perubahan, sehingga orang sering
menyebutnya sebagai manusia pengecut atau lemah.

Tipe quitter memiliki ciri-ciri:

 Memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti


 Menghentikan “pendakian”
 Menolak kesempatan yang telah diberikan
 Meninggalkan dorongan inti untuk merdeka
 Murung, sinis, mudah menyalahkan orang lain, banyak mengeluh 

2. Campers

Walaupun memiliki keberanian menghadapi tantangan, Campers selalu mempertimbangkan


resiko yang akan dihadapi. Campers tidak ngotot untuk menyelesaikan pekerjaan karena
berpendapat sesuatu yang secara terukur akan mengalami resiko. Campers mau melakukan
perubahan, tetapi jika menghadapi satu kesulitan dengan sangat mudah patah semangat dan
berhenti layaknya orang yang sedang berkemah. Campers bahkan bersuka-ria menikmati jeda
waktu istirahat tersebut, bersantai dan tidak berupaya untuk mengatasi kesulitan yang sedang
mereka hadapi.

Campers memiliki ciri-ciri:

 Sudah melakukan sedikit lalu berhenti ditengah jalan


 Melepaskan kesempatan untuk maju
 Mudah puas dengan apa yang telah dicapai

3. Climbers

Yaitu golongan yang ulet dengan segala resiko yang mungkin akan muncul sehingga harus dia
hadapi serta mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Manusia climber adalah manusia
pendaki yang tidak mudah menyingkir berteduh karena panas, atau lapuk karena hujan. Sebagai
manusia pendaki jika ia menemukan ada hambatan batu di atas gunung sana, ia mencari jalan
lain. Baginya untuk sampai ke puncak gunung tidak hanya ada satu jalan. Hal ini mengingatkan
kita pada apa yang pernah dikatakan oleh Alexander Graham Bell, bahwa kalau satu pintu
tertutup, lainnya terbuka. Tetapi kita sering memandang terlalu lama dan terlalu penuh
penyesalan kepada pintu yang tertutup itu, sehingga kita tidak melihat pintu yang terbuka bagi
kita.

Climbers  memiliki ciri-ciri:

 Memiliki pikiran terus tentang peluang


 Tidak memikirkan suatu hal sebagai hambatan
 Tidak menyesali kebelumberhasilan
 Pembelajar seumur hidup
 

Dalam setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Ini berarti, pribadi dengan AQ tinggi akan mampu
mencari jalan keluar atau solusi dari masalahnya dengan berupaya memecahkan sumber
masalahnya langsung, bukan dengan berkeluh-kesah dan menyalahkan orang lain. Ia akan
tangguh berjuang menghadapi hidup dan menaklukkannya. Dalam proses itulah kebahagiaan
diraih. Dengan menyikapi hidup sebagai arena perjuangan, pembelajaran, pertemanan dan
berbagi tanpa henti, niscaya kebahagiaan  hidup itu akan tampak realistis dan bisa dicapai segera
tanpa perlu menunggu sukses atau kaya lebih dulu.

Anda mungkin juga menyukai