Anda di halaman 1dari 8

ETIKA

PENGEMBANGAN DIRI

Nama: Oscar Adlin


NIM: 201850558
Dosen: Surahman Pujianto

Jl. Kyai Tapa No.20, RT.1/RW.9, Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Kota Jakarta Barat,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11440
MENGENALI POTENSI KECERDASAN 2 : AQ MENGUBAH
HAMBATAN MENJADI PELUANG
A. Definisi Adversity Quotient (AQ).
Adversity Quotient atau sering disingkat AQ merupakan istilah baru
kecerdasan manusia yang diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz pada tahun 1997 dalam
bukunya berjudul Adversity Quotient : Turning Obstacle into Opportunities. Kata
adversity berasal dari bahasa Inggris yang bermakna kegagalan atau kemalangan.
Menurut Stoltz (2000:9), adversity quotient (AQ) adalah kecerdasan
seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. Adversity
quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam
menghadapi tantangan hidup sehari-sehari.

B. Merumuskan Arti Kesuksesan.


Setiap orang memiliki kecerdasan adversitas dalam dirinya. Namun kadar dari
masing masing orang berbeda-beda. Stoltz membagi menjadi tiga kategori kadar
kecerdasan adversitas pada tiap orang yaitu orang yang memiliki kecerdasan
adversitas rendah, sedang, dan tinggi.
Orang-orang yang memiliki kecerdasan adversitas rendah disebut dengan
Quitters; orang-orang yang berhenti. Mereka adalah orang yang berhenti dari
pendakian (dalam analogi pendakian gunung sebagaimana tersebut diatas). Quitters
bekerja sekedar cukup, sedikit memperlihatkan ambisi, semangat yang minim, dan
mutu dibawah standar.
Kelompok kedua adalah mereka yang memiliki kecerdasan adversitas sedang.
Kelompok ini disebut dengan campers atau orang-orang yang berkemah. Mereka
adalah orang yang cukup memiliki motivasi, sudah menunjukkan upaya dan mencoba,
namun tak cukup sungguh-sungguh mengejar cita-cita sehingga seringkali memilih
berhenti pada suatu titik karena merasa capai atau bosan dengan tantangan yang
dihadapi.
Sedangkan mereka yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi disebut dengan
climbers, orang-orang pendaki. Mereka adalah orang yang diramalkan dapat
mencapai kesuksesan. Mereka tak pernah menyerah pada kesulitan. Terus berjuang
dalam mengejar cita-cita, kreatif, memiliki motivasi yang tinggi, dan optimis.
Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan, dan tidak pernah
membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lain
menghalangi pendakiannya.

C. Dilemma Adversitas VS Pohon Kesuksesan.


“Paul G. Stoltz, PhD, pengarangnya, juga memperkenalkan Pohon Kesuksesan, yang
menjelaskan apa saja elemen yang menentukan kesuksesan seseorang. Dimana sebuah
pohon pada umumnya adalah terdiri dari :

o Daun (leaves), yang mengisyaratkan kinerja (performance) seseorang.


o Cabang (branches), yang mengisyaratkan bakat (talent) dan kemauan (desire)
seseorang.
o Dahan (trunk), yang mengisyaratkan kecerdasan (intelligence), kesehatan
(health), dan karakter (character) seseorang.
o Akar (roots), yang mengisyaratkan keturunan (genetics), perlakukan masa
kecil (upbringing) dan keyakinan (faith).

Seseorang yang sukses, bisa dilihat dari kinerja atau performance-nya, yang
diibaratkan sebagai daun yang rimbun, dan segar. Kita tentu bisa membedakan antara
pohon yang daunnya kering dan gersang. Dan sebagaimana kita bisa menilai pohon
dari daunnya, juga biasanya kita menilai seseorang dari kinerjanya, dan itulah yang
sering dilakukan atau di-asses untuk keperluan promosi, pinangan pernikahan,
penerimaan pekerjaan, pertimbangan persahabatan dan lain-lain.

Daun yang subur dan rimbun, tentunya hanya akan bisa dihasilkan oleh
cabang/batang pohon yang kuat dan segar, yaitu yang mengisyaratkan ‘talent’ dan
‘desire’. Cabang yang satu, yaitu ‘talent’, merupakan sintesa dari pengetahuan
(knowledge) dan kemampuan (ability), yaitu apa yang kita ketahui dan apa yang bisa
kita lakukan. Bisa terdiri dari keterampilan, kompetensi, pengalaman dan
pengetahuan. Itu saja belumlah cukup.

Cabang yang satunya lagi, yaitu ‘desire’ yang menunjukkan kemauan, motivasi,
hawa nafsu, dorongan, ambisi, semangat. Tanpa ‘desire’, sehebat apapun ‘talent’ yang
dimiliki seseorang, tidaklah akan berguna. Jadi kita perlu ke duanya untuk bisa
sukses. Dan kita tahu, cabang yang baik tidak akan ada, tanpa adanya dahan yang baik
pula.

Dahan yang baik, adalah yang memiliki kecerdasan, kesehatan dan karakter. Yang
mana kecerdasan itu sendiri terbentuk oleh tujuh komponen, yang kesemuanya
dimiliki seseorang hanya dengan kadar yang berbeda, yang satu lebih dominan
dibanding yang lain. Kesehatan, dibentuk oleh kesehatan fisik dan kesehatan mental
(emosi); yang tanpa ke duanya semuanya tidak akan berfungsi. Karakter akhir-akhir
ini mulai mendapat perhatian lebih, dan kita bisa merasakan dimana pentingnya
karakter dalam menunjang semuanya.

Dan bagian yang paling penting dari semuanya, adalah akar yang
memperlambangkan genetika, perlakukan semasa kecil dan keyakinan. Ke tiganya,
walaupun tidak menentukan, tetapi jelas mempengaruhi semua yang diuraikan
sebelumnya. Keyakinan, secara khusus merupakan faktor penentu dan pemaksa dalam
harapan, tindakan, moralitas, kontribusi dan perlakuan kita pada orang lain.”

D. Tiga Tingkat Kesulitan.


Pada ilmu mengenai Adversity Quotient, ada 3 tingkatan kesulitan yaitu:
individual adversity, workplace adversity dan social adversit. Stoltz (Diana Nidau,
2008: 22) menggambarkan ketiga kesulitan tersebut dalam suatu piramida sebagai
berikut :
1. Bagian puncak piramida menggambarkan social adversity (kesulitan di
masyarakat). Kesulitan ini meliputi ketidak jelasan masa depan, kecemasan
tentang keamanan, ekonomi, serta hal-hal lain yang dihadapi seseorang ketika
berada dan berinteraksi dalam sebuah masyarakat (Mulyadi & Mufita, 2006:
39).
2. Kesulitan kedua yaitu kesulitan yang berkaitan dengan workplace adversity
(kesulitan di tempat kerja) meliputi keamanan di tempat kerja, pekerjaan, jaminan
penghidupan yang layak dan ketidakjelasan mengenai apa yang terjadi.
3. Kesulitan ketiga individual adversity (kesulitan individu) yaitu individu
menanggung beban akumulatif dari ketiga tingkat, namun individu memulai
perubahan dan pengendalian.

E. Empat Persimpangan AQ
Setiap penyimpangan mengakibatkan hilangnya waktu, hidup dan peluang
yang tidak mungkin didapat kembali. Namun, ketika perjalanan menjadi semakin
sulit, semakin banyak orang yang meninggalkan pendakian. Akibatnya, mereka akan
memilih satu dari empat persimpangan berbahaya dalam perjalanan itu.
Persimpangan-persimpangan itu mempunyai kemampuan untuk merusak
responsrespons terhadap kesulitan dalam kehidupan kita.

Persimpangan 1 : Climber Berubah Menjadi Camper

Gunung tersebut kelihatannya tidak dapat didaki. Kesulitan yang meningkat


dalam pendakian membuat perjalanan lebih sulit dan berbahaya. Akibatnya, semakin
banyak orang yang berhenti bergerak ke depan dan ke atas dalam kehidupan mereka,
dan menganggap perjalanannya kurang menantang. Apakah itu dalam pertumbuhan
diri mereka sendiri, karier, relasi, kontribusi, atau kesadaran diri, mereka berhenti di
tengaha jalan, mendirikan tenda, dan hidup dengan asumsi keliru bahwa perkemahan
kecil di gunung itu akan stabil selamanya. Dengan berkemah, orang-orang ini
mengambil resiko mengalami atrofi dari segi rohani, fisik, mental, dan emosi.
Campers (orang yang berkemah) bisa kehilangan kemampuan untuk mendaki
(Climbers). Mereka mengorbankan impianimpian, kepuasan dan aktualisasi diri untuk
mempertahankan kedok kenyamanan dan kemantapan yang telah mereka bangun
dengan susah payah.
Persimpangan 2 : Memilih Teknologi sebagai Tuhan

Kecenderungan kedua yang mengkhawatirkan adalah menggantikan


keyakinan akan pemecahan-pemecahan yang manusiawi dengan
pemecahanpemecahan teknologis. Ketika pendakian menjad semakin penuh
tantangan, dengan mudah orang beralih dari kekuatan tujuan dan kemampuan sendiri
yang lebih tinggi ke teknologi. Tetapi, bersama dengan pergeseran ini muncullah
bahaya akan hilangnya kendali atas kehidupan kita.
Bahayanya terletak dalam pergeseran keyakinan yang menjauhi sikap
“bersama-sama kita (saya) dapat (atau harus) melakukan apa yang perlu dilakukan
untuk memecahkan masalah ini”, menuju sikap “saya tidak mampu (tidak mau)
malakukan apapun, tetapi suatu hari nanti akan ada orang yang akan menemukan
sesuatu”. Transisi yang berbahaya ini, memperlihatkan suatu pelepasan tanggung
jawab dan sikap tanggap atas peran kita dalam menyelesaikan masalah-masalah.
Setelah seseorang melapaskan tanggung jawabnya, dia juga akan melepaskan kendali,
kekuatan dan pertanggung jawabannya. Akhirnya, bagi banyak orang kekuatan tidak
terletak pada diri kita tetapi pada kekuatan teknologi. Hasilnya adalah, suatu rasa
tidak berdaya yang semakin besar dan berkurangnya komitmen untuk bertindak.

Persimpangan 3 : Semangat yang Dipompa

Sebagai tanggapan atas semakin bertambahnya beban kesulitan setiap harinya,


orang ingin merasa nyaman. Namun sewaktu anda bertahan menghadapi tantangan
sehari-hari, berapa lamakah berlangsungnya rasa “dipompa” itu ? dan mengapa
perasaan itu perlu ?
Semakin banyak orang yang menyimpang dari jalan menuju puncak. Sulitnya
pendakian membuat mereka mencari pelarian. Program-program dan produk-produk
motivasi tampaknya merupakan obat yang paling mujarab. Usaha mencari
pemecahan-pemecahan yang mudah dan cepat, yang memompa semangat, telah
membentuk suatu persimpangan yang berbahaya dalam pendakian menuju puncak.
Banyak orang yang menganggapnya sebagai jalan pintas, tetapi sebenarnya
merupakan jalan buntu. Sebab program-program atau produk-produk yang ditawarkan
tersebut hanya sekedar menawarkan semangat yang lebih besar, bukannya semangat
yang mampu bertahan lama. Lebih celaka lagi jika program-program atau produk-
produk yang ditawarkan ini telah membuat anta kecanduan untuk bisa membantu
memompa semangat yang lebih besar dan kemudian semangat itu pada dengan cepat.

Persimpangan 4 : Menjadi Tak Berdaya dan Putus Asa

Hubungan antara ketidak berdayaan dan keputusasaan merupakan sebuah


lingkaran umpan balik . Ketidak berdayaan mengesahkan keputusasaan. Keputusasaan
menjadi suatu ramalan yang terwujud dengan sendirinya, membuktikan betapa
benarnya ketidak berdayaan itu. Yang satu meneguhkan dan memberikan umpan balik
kepada yang lain. Berikut ini gambar Spiral Keputusasaan.

Keputusasaan merupakan kanker bagi jiwa . Keputusasaan mengisap


kehidupan dan energi kita, masa depan kita, dan masa depan anak-anak kita.
Persimpangan ini muncul dijalur yang tantangannya paling berat dan kemungkinan
imbalan yang diperoleh paling besar. Dari pada mengatasi hambatan-hambatan hidup,
semakin banyak saja jumlah orang yang tidak memiliki motivasi. Mereka menyerah
sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kajianpustaka.com/2017/09/adversity-quotient-aq.html#:~:text=Menurut
%20Stoltz%20(2000%3A9),menghadapi%20tantangan%20hidup%20sehari%2Dsehari.
http://eprints.walisongo.ac.id/6904/3/BAB%20II.pdf
https://lagunasophia.wordpress.com/2017/10/21/pohon-kesuksesan/
https://personalityoselia.wordpress.com/2013/11/13/tiga-tingkatan-kesulitan/
http://bdksurabaya-kemenag.id/p3/data/uploaded/dokumen/Adversity%20Quotient.pdf

Anda mungkin juga menyukai