Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ETIKA PENGEMBANGAN DIRI

SESI 5 “MENGGALI POTENSI KECERDASAN AQ”

Dosen Pengampu:
Mukti Wiyanto, S.Pd., M.M.

Disusun oleh:

Raniah Putri Ramadhan


202080217

Jurusan Manajemen
Trisakti School of Management
Bekasi
2023
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-Nya,
saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini guna memenuhi tugas untuk mata
kuliah Pengembangan Diri.
Saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Mukti Wiyanto, S.Pd.,
M.M. berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan
dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya
kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah
ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
Saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun
dari berbagai pihak. Saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi pengembangan diri.

Bekasi, 18 Juli 2023

Raniah Putri Ramadhan

i
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
1.3 Tujuan .................................................................................................................. 2
BAB II ISI .................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Adversity Quotient ............................................................................ 3
2.2 Tipe-Tipe Menghadapi Masalah .......................................................................... 4
2.3 Dimensi Advesity Quotient ................................................................................. 6
2.4 Cara Meningkatkan Adversity Quotient .............................................................. 8
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................... 10
REFERENSI .............................................................................................................. 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut bahasa, kata adversity berasal dari kata Inggris yang berarti kegagalan

atau kemalangan (Echols & Shadily, 1993). Adversity sendiri bila diartikan dalam

bahasa Indonesia bermakna kesulitan atau kemalangan, dan dapat diartikan sebagai

suatu kondisi ketidak bahagiaan, kesulitan, atau ketidak beruntungan. Menurut

Rifameutia, istilah adversity dalam kajian psikologi didefinisikan sebagai tantangan

dalam kehidupan. Nashori berpendapat bahwa adversity quotient merupakan

kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan,

mengubah cara berfikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan

yang bisa menyengsarakan dirinya.

Orang yang memiliki adversity quotient yang lemah akan cenderung cepat

menyerah dalam menghadapi masalah-masalah yang dilalui, begitupun sebaliknya.

Paul G. Stoltz menggolongkan sikap menghadapi kesulitan (‘pendakian’) menjadi

tiga macam kelompok, yaitu :

1. ‘Quitters’ (orang berhenti)

2. ‘Campers’ (orang yang berkemah)

3. ‘Climbers’ (si pendaki)

1
2

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari adversity quotient?

2. Bagaimana manusia menghadapi kesulitan?

3. Apa saja dimensi dari adversity quotient?

4. Bagaimana cara meningkatkan adversity quotient?

1.3 Tujuan

1. Mampu mengerti dan mengenali adversity quotient di dalam dirinya.

2. Mampu mengembangkan quotient adversity di dalam diri.

3. Mampu mengarahkan diri sendiri untuk menerapkan ide-ide ketika

menghadapi kesulitan.
BAB II

ISI

2.1 Pengertian Adversity Quotient

Menurut Paul G. Stoltz dalam (Putra & Suhariadi, 2021) dalam bukunya

‘Adversity Quotient’ adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan,

kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.

Sebagaimana yang diungkapkan (Stoltz, 2000) adversity quotient sebagai kecerdasan

seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. Adversity

quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam

menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan

impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi. Menurut (stoltz, 2000),

kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat.

adversity quotient. Adversity quotient tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu :

1. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan

semua segi kesuksesan.

2. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang dalam kesulitan.

3. Seragkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.

Menurut para ahli, pengertian adversity quotient:

1. Nashori berpendapat bahwa adversity quotient merupakan kemampuan

seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah

3
4

cara berfikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang

bisa menyengsarakan dirinya (Nashori, 2007).

2. Leman mendefinisikan adversity quotient sebagai kemampuan untuk

menghadapi masalah (Leman, 2007).

3. Menurut Andy Green dalam buku yang berjudul Effective Personal

Communication Skill for Public Relation, Adversity Quotient adalah kemauan

untuk berhasil, ketahanan kita, dan kemampuan untuk bangkit kembali tidak

terhalang dalam pencarian. Semua orang telah membahas hasil bagaimana

mengatasi ini. Komunikator yang diperlukan orang yang sulit mengatasi isu-isu

sulit(Leman, 2007).

2.2 Tipe-Tipe Menghadapi Masalah

Didalam merespon suatu kesulitan terdapat tiga kelompok tipe manusia ditinjau

dari tingkat kemampuannya :

1. Quitters, mereka yang berhenti adalah seseorang yang memilih untuk keluar,

menghindari kewajiban, mundur dan berhenti apabila menghadapi kesulitan.

Quitters (mereka yang berhenti), orang-orang jenis ini berhenti di tengah proses

pendakian, gampang putus asa, menyerah ( Stoltz, 2000). Orang dengan tipe ini

cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan dasar atau fisiologis saja dan

cenderung pasif, memilih untuk keluar menghindari perjalanan, selanjutnya

mundur dan berhenti. Para quitters menolak menerima tawaran keberhasilan

yang disertai dengan tantangan dan rintangan. Orang yang seperti ini akan
5

banyak kehilangan kesempatan berharga dalam kehidupan. Dalam hirarki

Maslow tipe ini berada pada pemenuhan kebutuhan fisiologis yang letaknya

paling dasar dalam bentuk piramida.

2. Campers atau satis-ficer (dari kata satisfied= puas dan suffice = mencukupi).

Golongan ini puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan

diri. Tipe ini merupakan golongan yang sedikit lebih banyak, yaitu

mengusahkan terpenuhinya kebutuhan keamanan dan rasa aman pada skala

hirarki Maslow. Kelompok ini juga tidak tinggi kapasitasnya untuk perubahan

karena terdorong oleh ketakutan dan hanya mencari keamanan dan

kenyamanan. Campers setidaknya telah melangkah dan menanggapi tantangan,

tetapi setelah mencapai tahap tertentu, campers berhenti meskipun masih ada

kesempatan untuk lebih berkembang lagi. Berbeda dengan quitters, campers

sekurangkurangnya telah menanggapi tantangan yang dihadapinya sehingga

telah mencapai tingkat tertentu.

3. Climbers (pendaki) mereka yang selalu optimis, melihat peluang-peluang,

melihat celah, melihat harapan di balik keputusasaan, selalu bergairah untuk

maju. Bagi para climbers mampu dijadikannya sebagai cahaya pencerah

kesuksesan, climbers merupakan sekelompok orang yang selalu berupaya

mencapai puncak kebutuhan aktualisasi diri pada skala hirarki Maslow.

Climbers adalah tipe manusia yang berjuang seumur hidup, tidak peduli

seberapa besar kesulitan yang datang. Tipe ini akan selalu siap menghadapi

berbagai rintangan dan menyukai tantangan yang diakibatkan oleh adanya


6

perubahan-perubahan. Kemampuan quitters, campers, dan climbers dalam

menghadapi tantangan kesulitan dapat dijelaskan bahwa quitters memang tidak

selamanya ditakdirkan untuk selalu kehilangan kesempatan namun dengan

berbagai bantuan, quitters akan mendapat dorongan untuk bertahan dalam

menghadapi kesulitan yang sedang ia hadapi. Kehidupan climbers memang

menghadapi dan mengatasi rintangan yang tiada hentinya. Kesuksesan yang

diraih berkaitan langsung dengan kemampuan dalam menghadapi dan

mengatasi kesulitan, setelah yang lainnya menyerah, inilah indikator-indikator

adversity quotient yang tinggi ( Stoltz, 2000).

2.3 Dimensi Advesity Quotient

Stoltz menawarkan empat dimensi dasar yang akan menghasilkan kemampuan

adversity quotient yang tingi, yaitu:

1. Control, berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu mengendalikan

kesulitan kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana individu merasakan

bahwa kendali peristiwa yang menimbulkan kesulitan dan tetap teguh dalam

niat serta ulet dalam mencari penyelesaian. Demikian sebaliknya, jika semakin

rendah kendali, akibatnya seseorang menjadi tidak berdaya menghadapi

kesulitan dan mudah menyerah.

2. Endurance, dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama

atau tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan

penilaian tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai
7

daya tahan yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam

mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi. Semakin tinggi daya

than yang dimiliki individu, maka semakin besar kemungkinan seseorang

dalam memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat sementara dan

orang yang mempunyai adversity quotient yang rendah akan menganggap

bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang bersifat abadi, dan

sulit untuk diperbaiki.

3. Reach, merupakan bagian dari adversity quotient yang mempertanyakan sejauh

manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari individu. Reach juga

berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagianbagian lain dari

kehidupan seseorang. Reach atau jangkauan menunjukkan kemampuan dalam

melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stress. Semakin

tinggi jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinannya dalam merespon

kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif dalam

menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih

berdaya dan perasaan putus asa atau kurang mampu membedakan hal-hal yang

relevan dengan kesulitan yang ada, sehingga ketika memiliki masalah disatu

bidang dia tidak merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan

individu tersebut.

4. Origin dan Ownership (O2), Kepemilikan atau dalam istilah lain disebut dengan

asal-usul dan pengakuan akan mempertanyakan siapa atau apa yang

menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seorang individu menganggap dirinya


8

mempengaruhi dirinya sendiri sebagai penyebab asal-usul kesulitan. Orang

yang skor origin (asalusulnyanya) rendah akan cenderung berfikir bahwa semua

kesulitan atau permasalahan yang dating itu karena kesalahan, kecerobohan,

atau kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan pikiran merusak

semangatnya (Stoltz, 2000).

2.4 Cara Meningkatkan Adversity Quotient

Menurut Stoltz, cara mengembangkan dan menerapkan AQ dapat diringkas

dalam kata LEAD (Stoltz, 2000), yaitu:

1. Listened, Mendengarkan respon terhadap kesulitan merupakan langkah yang

penting dalam mengubah AQ individu. Individu berusaha menyadari dan

menemukan jika terjadi kesulitan, kemudian menanyakan pada diri sendiri

apakah itu respon AQ yang tinggi atau rendah, serta menyadari dimensi AQ

mana yang paling tinggi.

2. Explored, Pada tahap ini, individu didorong untuk menjajaki asal-usul atau

mencari penyebab dari masalah. Setelah itu menemukan mana yang merupakan

kesalahannya, lalu mengeksplorasi alternatif tindakan yang tepat.

3. Analized, Pada tahap ini, individu diharapkan mampu menganalisa bukti apa

yang menyebabkan individu tidak dapat mengendalikan masalah, bukti bahwa

kesulitan itu harus menjangkau wilayah lain dalam kehidupan, serta bukti

mengapa kesulitan itu harus berlangsung lebih lama dari semestinya. Fakta-
9

fakta ini perlu dianalisa untuk menemukan beberapa faktor yang mendukung

AQ individu.

4. Do, individu diharapkan dapat mengambil tindakan nyata setelah melewati

tahapan-tahapan sebelumnya. Sebelumnya diharapkan individu dapat

mendapatkan informasi tambahan guna melakukan pengendalian situasi yang

sulit, kemudian membatasi jangkauan keberlangsungan masalah saat kesulitan

itu terjadi.(Diana, 2018)


BAB III

KESIMPULAN

Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi

rintangan, kesulitan, dan tantangan dalam kehidupan. AQ membantu individu

memperkuat kemampuan dan ketekunan mereka dalam menghadapi tantangan sehari-

hari tanpa mengabaikan prinsip dan impian mereka.

Terdapat tiga bentuk AQ, yaitu: (1) kerangka kerja konseptual yang baru untuk

memahami dan meningkatkan segi-segi kesuksesan, (2) ukuran untuk mengetahui

respon seseorang terhadap kesulitan, dan (3) serangkaian alat untuk memperbaiki

respon seseorang terhadap kesulitan.

Menurut para ahli, pengertian AQ adalah kemampuan seseorang dalam

menggunakan kecerdasan untuk menghadapi hambatan dan kesulitan yang mungkin

mereka hadapi. AQ juga dijelaskan sebagai kemauan untuk berhasil, ketahanan, dan

kemampuan untuk bangkit kembali dalam mencapai tujuan.

Dalam merespon suatu kesulitan, terdapat tiga tipe manusia berdasarkan

kemampuan mereka: quitters (mereka yang berhenti), campers (mereka yang puas

dengan mencukupi diri), dan climbers (mereka yang selalu optimis dan berjuang untuk

mencapai puncak kebutuhan aktualisasi diri).

Empat dimensi dasar AQ yang disebutkan oleh Stoltz adalah control

(kemampuan mengendalikan kesulitan), endurance (daya tahan), reach (jangkauan

10
11

kesulitan dalam kehidupan), dan origin dan ownership (asal-usul dan pengakuan atas

kesulitan).

Untuk meningkatkan AQ, Stoltz menyarankan pendekatan LEAD, yaitu

listened (mendengarkan respon terhadap kesulitan), explored (mencari asal-usul dan

penyebab masalah), analyzed (menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi AQ),

dan do (mengambil tindakan nyata untuk mengendalikan situasi sulit).

Dengan memahami dan meningkatkan AQ, individu dapat lebih siap

menghadapi kesulitan, memiliki ketahanan yang lebih baik, dan mencapai kesuksesan

dalam kehidupan.
12

REFERENSI

Diana, N. (2018). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Berpikir Logis


Mahasiswa dengan Adversity Quotient dalam Pemecahan Masalah. Prosiding
Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika (SNMPM), 2(1).
Putra, I. D. G., & Suhariadi, F. (2021). Pengaruh Adversity Quotient dan Konsep Diri
terhadap Kecemasan dalam Menghadapi Dunia Kerja Masa Pandemi. Buletin
Riset Psikologi Dan Kesehatan Mental (BRPKM), 1(1).
https://doi.org/10.20473/brpkm.v1i1.26802

Anda mungkin juga menyukai