Anda di halaman 1dari 17

PEMBAHASAN

1.1. Definisi infeksi nosokomial

Nosokomial berasal dari bahasa yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit dan
komeo yang artinya merawat. Jadi infeksi nosocomial dapat diartikan sebagai
infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit.
Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka
kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit. Infeksi
nosokomial dapat menjadi masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang
maupun di negara maju.
Seperti yang dijelaskan oleh WHO tahun 2005 dimana menyatakan:
Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab utama dari meningkatnya
angka morbiditas dan mortalitas, yang dapat menghambat proses penyembuhan
sehingga mengakibatkan masalah baru dalam bidang kesehatan, antara lain
meningkatnya hari rawat dan bertambahnya biaya perawatan serta pengobatan
pasien di rumah sakit
Mutu Pelayanan Rumah Sakit dapat diukur dengan salah satu indikator angka
kejadian infeksi nosokomial (NNIS, 1991). Infeksi nosokomial adalah infeksi
yang timbul di rumah sakit, di mana pasien tersebut sebelumnya tidak menderita
infeksi dan tidak dalam masa inkubasi infeksi tersebut (Karyadi, 2005).
Masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dan
pengunjung di rumah sakit dihadapkan pada risiko terjadinya infeksi atau infeksi
nosokomial, sekitar 20% disebabkan karena perawatan atau datang berkunjung ke
rumah sakit.
Menurut tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit (PPIRS,
2007), beberapa faktor yang sering menimbulkan terjadinya infeksi nosocomial
antara lain; peningkatan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit, kontak
langsung antara petugas yang terkontaminasi kuman dengan pasien, penggunaan
peralatan kedokteran yang telah terkontaminasi kuman, dan kondisi pasien yang
lemah akibat penyakit yang sedang dialaminya. Hasil penelitian menunjukkan
32% infeksi nosokomial dapat dicegah.
Untuk masalah penanganan infeksi nosocomial di Indonesia, sebagai rumah sakit
pusat rujukan nasional, RSUP dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSUD dr.
Soetomo Surabaya pada tahun 1983-1984 mulai aktif meneliti dan menangani
infeksi nosocomial. Saat ini hampir dipastikan semua rumah sakit besar di
Indonesia telah membentuk dan memiliki panitia Medik Pengendalian Infeksi,
dengan tugas utamanya mencegah dan mengendalikan infeksi nosocomial.
Infeksi nosocomial tidak hanya merugikan penderita, tetapi juga merugikan pihak
rumah sakit serta perusahaan atau pemerintah dimana penderita bekerja.

1.2. Pengelolaan infeksi Nosokomial


Penderita yang terindikasi harus menjalani proses asuhan keperawatan yaitu
penderita harus menjalani observasi, tindakan medis akut, atau pengobatan yang
berkesinambungan. Daya tahan tubuh yang lemah sangat rentan terhadap penyakit
infeksi. Masuknya mikroba ke penderita tentunya berasal dari sekitar penderita,
seperti:
1. Penderita lain yang juga sedang dalam proses keperawatan
2. Petugas pelaksana (dokter, perawat, dan seterusnya)
3. Peralatan medis yang digunakan
4. Tempat (ruangan/bangsal/kamar) dimana penderita dirawat
5. Tempat/kamar dimana penderita menjalani tindakan medis akut seperti kamar
operasi dan kamar bersalin
6. Makanan dan minuman yang disajikan
7. Lingkungan rumah sakit secara umum

Untuk dapat mengendalikannya diperlukan adanya mekanisme kerja atau system


yang bersifat lintas sektoral/bagian dan diperlukan adanya sebuah wadah atau
organisasi diluar struktur organisais rumah sakit yang telah ada. Dengan demikian
diharapkan adanya kemudahan berkomunikasi dan berkonsultasi langsung dengan
petugas pelaksana disetiap bagian/ruang/bangsal yang terindikasi adanya infeksi
nosocomial. Wadah/organisasi ini adalah Panitia Medik Pengendali Infeksi.

1.3. Pencegahan Infeksi Nosokolomial


Betty (2012) mengatakan bahwa, pencegahan dari infeksi nosokomial ini
diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring, dan program. Program
yang termasuk diantaranya :
1.3.1 Membatasi transmisi organism dari atau antar pasien dengan cara
mencuci tangan,
dan penggunaan sarung tangan, tindakan dan aseptic, sterilisasi dan
disinfeksi.
1.3.2 Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
1.3.3 Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat,
nutrisi yang
cukup, dan vaksinasi.
1.3.4 Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur
invasif.
1.3.5 Pengawasan infeksi, identifikasi, dan mengontrol penyebarannya.
1.3.6 Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit.
1.3.7 Mengecek dengan menginspeksi bahwa prosedur pengendalian
infeksi, dan
aseptic telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan rumah sakit.
1.3.8 Menghubungkan antara laboratorium dan staf ruang dengan
member informasi
pada kepala bagian dan memberikan nasihat tentang masalah
pengendalian
infeksi.
1.3.9 Melakukan kerjasama dengan staf kesehatan okupasi
(occupational health staf)
dalam pemeliharaan rekaman infeksi staf medis, perawat, catering,
domestic, dan
berbagai golongan staf lainnya yang terinfeksi.
1.3.10 Melakukan kerjasama dengan, dan member petunjuk kepada
perawat komunitas
tentang berbagai masalah infeksi.
1.3.11 Member informasi segera melelui telepon tentang penyakit yang
harus
diberitahukan kepada petugas kesehatan masyarakat.
1.3.12 Memberitahu berbagai rumah sakit lain dan praktisi lain yang
berkepentingan
ketika pasien yang terinfeksi dibebaskan dari rumah sakit atau di
pindahkan ke
tempat lain.
1.3.13 Melakukan partisipasi dalam edukasi dan demonstrasi praktik
tentang teknik
pengendalian infeksi kepada staf medis, perawat domestic,
catering, pembantu,
dan staf lainnya.
1.3.14 Memberitahu perawat tentang masalah dan kesulitan praktis dalam
melaksanakan
prosedur rutin yang berkaitan dengan aspek perawatan
pengendalian infeksi.
1.3.15 Menghadiri berbagai komite relavan yang biasanya mengendalikan
infeksi dari
berbagai komite prosedur perawatan.
1.3.16 Melakukan perundingan dengan pimpinan pelayanan steril tentang
infeksi tertentu
dalam rumah sakit.

Namun tidak semua factor pendukung infeksi nosocomial dapat dicegah.


Misalnya, factor bertambahnya usia, penyakit kronis seperti diabetes yang tidak
terkontrol, penyakit ginjal berat, emfisema pulmonum berat, kekurangan gizi
berat, perawatan dengan obat obatan tertentu (antimikroba, kortikosteroid, dan
agen lainnya ), infeksi oportunistik pada AIDS dan pengaruh radiasi

1.4. Pengendalian Infeksi Nosokomial


Pengendalian infeksi nosokomial merupakan upaya penting dalam meningkatkan
mutu pelayanan medis rumah sakit. Tindakan operasional mencakup kewaspadaan
standar dan kewaspadaan berdasarkan penularan/transmisi.
1.4.1 Kewaspadaan Standar:
a) Mencuci tangan
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir dan
dengan sabun yang digosokkan selama 15 sampai 20 detik.
Mencuci tangan dengan sabun biasa dan air bersih adalah sama
efektifnya mencuci tangan dengan sabun antimikroba. Ada
beberapa kondisi yang mengharuskan petugas kesehatan
menggunakan sabun antiseptik ini, yaitu saat akan melakukan
tindakan invasif, sebelum kontak dengan pasien yang dicurigai
mudah terkena infeksi (misalnya: bayi yang baru lahir dan pasien
yang dirawat di ICU).
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum dan sesudah
memeriksa dan mengadakan kontak langsung dengan pasien, saat
memakai melepas sarung tangan bedah steril atau yang telah di
disinfeksi tingkat tinggi pada operasi serta pada pemeriksaan untuk
prosedur rutin, saat menyiapkan, mengkonsumsi dan setelah makan
juga pada situasi yang membuat tangan terkontaminasi (misal:
memegang instrumen kotor, menyentuh membran mukosa, cairan
darah, cairan tubuh lain, melakukan kontak yang intensif dalam
waktu yamg lama dengan pasien, mengambil sampel darah, saat
memeriksa tekanan darah, tanda vital lainnya juga saat keluar
masuk unit isolasi)
b) Penggunaan alat pelindung diri
Alat pelindung diri yang paling baik adalah yang terbuat dari bahan
yang telah diolah atau bahan sintetik yang tidak tembus oleh
cairan.
Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat
menularkan penyakit dan dapat melindungi pasien dari
mikroorganisme yang terdapat di tangan petugas kesehatan. Sarung
tangan merupakan penghalang (barrier) yang paling penting untuk
mencegah penyebaran infeksi.. Satu pasang sarung tangan harus
digunakan untuk setiap pasien sebagai upaya menghindari
kontaminasi silang.
Sarung tangan dipakai saat ada kemungkinan kontak dengan darah
atau cairan tubuh lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas,
saat akan melakukan prosedur medis yang bersifat invasif (seperti:
pemasangan kateter dan infus intravena), saat menangani bahan-
bahan bekas pakai yang telah terkontaminasi atau menyentuh
permukaan yang tercemar, serta memakai sarung tangan bersih
atau tidak steril saat akan memasuki ruang pasien yang telah
diketahui atau dicurigai mengidap penyakit menular.
Masker dipakai untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh
memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan, juga menahan
cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan berbicara, bersin
dan batuk. Masker juga dipakai untuk mencegah partikel melalui
udara atau droplet dari penderita penyakit menular (tuberkulosis).
Masker dilepas setelah pemakaian selama 20 menit secara terus-
menerus atau masker sudah tampak kotor atau lembab.
Pelindung mata dan wajah harus dipakai pada prosedur yang
memiliki kemungkinan terkena percikan darah atau cairan tubuh.
Pelindung mata harus jernih, tidak mudah berembun, tidak
menyebabkan distorsi, dan terdapat penutup disampingnya.
Pemakaian gaun pelindung terutama untuk melindungi baju dan
kulit petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Gaun pelindung juga
harus dipakai saat ada kemungkinan terkena darah, cairan tubuh.
Apron terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan
air sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan. Apron harus
dikenakan dibawah gaun pelindung ketika melakukan perawatan
langsung pada pasien, membersihkan pasien atau melakukan
prosedur saat terdapat risiko terkena tumpahan darah dan cairan
tubuh. Hal ini penting jika gaun tidak tahan air.
c) Praktik keselamatan kerja
Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaian
instrumen tajam seperti jarum suntik. Hal ini meliputi: hindari
menutup kembali jarum suntik yang telah digunakan. Bila terpaksa
dilakukan, maka gunakan teknik satu tangan untuk menutup jarum,
hindari melepas jarum yang telah digunakan dari spuit sekali pakai,
hindari membengkokkan, menghancurkan atau memanipulasi
jarum suntik dengan tangan serta masukkan instrumen tajam ke
dalam wadah yang tahan tusukkan dan tahan air.
d) Perawatan pasien
Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan:
pemakaian kateter urin, pemakaian alat intravaskular, transfusi
darah, pemasangan selang nasogastrik, pemakaian ventilator dan
perawatan luka bekas operasi.12
Kateterisasi kandung kemih membawa risiko tinggi terhadap
infeksi saluran kemih (ISK). Penelitian menunjukkan bahwa
kebanyakan ISK nosokomial terjadi akibat instrumentasi traktus
urinarius, terutama pada tindakan kateterisasi. Pemasangan kateter
urin merupakan tindakan perawatan yang sering dilakukan di
rumah sakit. Prosedur pemasangan hingga pencabutan kateter urin
harus dilakukan sesuai prinsip aseptik untuk mencegah dan
mengendalikan ISK nosokomial.
Penggunaan alat intravaskular untuk memasukkan cairan steril,
obat atau makanan serta untuk memantau tekanan darah sentral dan
fungsi hemodinamik meningkat tajam pada dekade terakhir.
Kateter yang dimasukkan melalui aliran darah vena atau arteri
melewati mekanisme pertahanan kulit yang normal dan
penggunaan alat ini dapat membuka jalan untuk masuknya
mikroorganisme. Transfusi darah memiliki kesamaan dalam
beberapa hal dengan penggunaan pemberian pengobatan melalui
pembuluh darah. Terdapat risiko serius bagi pasien yang menerima
transfusi darah. Pedoman dalam melakukan proses seleksi,
pemeriksaan serta prosedur transfusi yang tepat dan aman telah
dikembangkan mengingat resiko infeksi HBV, HCV dan HIV.
Prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dan
komplikasi transfusi meliputi: transfusi dilakukan jika dibutuhkan,
seleksi donor potensial secara penuh untuk menghindari penularan
infeksi serius, donor darah diambil secara aseptik dan dengan
sistem tertutup, simpan darah pada suhu yang tepat, pastikan darah
cocok agar tidak membahayakan penerima donor, terapkan teknik
aseptik saat melakukan transfusi, pantau tanda vital dan reaksi
pasien serta hentikan transfusi jika reaksi berlawanan.
Prosedur yang melibatkan traktus gastrointestinal (GI) harus
memperhatikan penerapan kewaspadaan di rumah sakit seperti
prosedur lainnya untuk mencegah penularan mikroorganisme yang
berbahaya. Pemasangan selang nasogastrik merupakan salah satu
prosedur traktus GI yang paling sering dilakukan dalam perawatan
pasien di rumah sakit. Risiko infeksi dalam prosedur ini berasal
dari trauma membran mukosa akibat tekanan pada membran dan
anoksia jaringan. Pengisapan dan gerakan selang dapat menciderai
jaringan. Pajanan terhadap mikroorganisme meningkat, agen
infeksi dapat masuk dari reservoir tangan petugas kesehatan, kulit
yang rusak, selang, balutan dan dari makanan.
Prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perawatan respiratori
seperti intubasi endotrakeal, pengisapan dan ventilasi mekanik
memberi kesempatan transmisi mikroorganisme dari benda-benda
mati ke pasien (pada komponen humidifier, nebulizer dan
ventilator yang terkontaminasi) serta pemindahan mikroorganisme
melalui tangan petugas kesehatan yang terkontaminasi, dari satu
pasien ke pasien lainnya. Prosedur lain yang dapat membahayakan
saluran pernapasan adalah pemberian oksigen, pengobatan
pernapasan tekanan positif intermitten, pemasangan dan
pemeliharaan jalan napas buatan dan pengisapan endotrakeal. Cara
yang paling penting untuk mencegah infeksi nosokomial adalah
memutus cara penularan yang berhubungan dengan prosedur
perawatan peralatan. Dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi
atau disinfeksi tingkat tinggi harus diperhatikan sebelum peralatan
digunakan kembali.
Infeksi luka paska operasi dapat terjadi akibat perawatan luka yang
tidak memenuhi syarat aseptik. Transmisi mikroorganisme mudah
terjadi saat prosedur ganti balut luka operasi di ruangan
berlangsung. Cuci tangan, memakai sarung tangan dan alat
pelindung diri, teknik ganti balut secara aseptik dan peralatan steril
merupakan prosedur perawatan luka paska operasi yang sering
diabaikan.
e) Penggunaan antiseptik
Larutan antiseptik dapat digunakan untuk mencuci tangan terutama
pada tindakan bedah, pembersihan kulit sebelum tindakan bedah
atau tindakan invasif lainnya.5 Instrumen yang kotor, sarung
tangan bedah dan barang-barang lain yang digunakan kembali
dapat diproses dengan dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi
atau disinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk mengendalikan infeksi.4
Dekontaminasi dan pembersihan merupakan dua tindakan
pencegahan dan pengendalian yang sangat efektif meminimalkan
risiko penularan infeksi. Hal penting sebelum membersihkan
adalah mendekontaminasi alat tersebut. Dengan merendam dalam
larutan kloron o,5 % selama 10 menit. Langkah ini dapat
menonaktifkan HBV, HCV dan HIV serta dapat mengamankan
petugas yang membersihkan alat tersebut. Setelah melakukan
langkah dekontaminasi, selanjutnya adalah pembersihan. Proses
pembersihan penting dilakukan karena tidak ada prosedur
sterilisasi dan DTT yang efektif tanpa melakukan pembersihan
terlebih dahulu. Pembersihan dapat dilakukan dengan
menggunakan sabun cair dan air untuk membunuh
mikroorganisme. Gunakan pelindung saat membersihkan alat.
Sterilisasi harus dilakukan untuk alat-alat yang kontak langsung dengan
aliran darah atau cairan tubuh lainnya dan jaringan4. Sterilisasi dapat
dilakukan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (autoclafe),
pemanasan kering (oven), sterilisasi kimiawi dan fisik.
1.4.2 Kewaspadaan Berdasarkan Penularan atau Transmisi
Kewaspadaan berdasarkan transmisi diterapkan pada pasien yang
menunjukkan gejala, dicurigai terinfeksi atau mengalami kolonisasi dengan
kuman yang sangat mudah menular. Kewaspadaan berdasarkan transmisi perlu
dilakukan sebagai tambahan kewaspadaan standar. Kewaspadaan berdasarkan
transmisi meliputi: penanganan linen dan pakaian kotor, penanganan peralatan
makan pasien, dan pencegahan infeksi untuk prosedur yang menimbulkan
aerosol pada pasien suspek atau probabel menderita penyakit menular melalui
udara atau airborne10. Selain tindakan diatas isolasi pasien yang akan
menjadi sumber infeksi juga perlu diperhatikan untuk mencegah transmisi
langsung atau tidak langsung
a) Penanganan linen dan pakaian kotor
Penanganan linen dan pakaian kotor menjadi hal yang penting
karena linen yang tercemar oleh mikroorganisme yang sangat
patogen, risiko penularannya dapat minimal apabila linen tersebut
ditangani dengan baik sehingga dapat mencegah penularan
mikroorganisme pada pasien, petugas dan lingkunga.
b) Isolasi
Selain itu, pasien dengan penyakit menular melalui udara perlu
dirawat di ruang isolasi untuk mencegah transmisi langsung atau
tidak langsung.10 Beberapa persyaratan dalam pelaksanaan isolasi
bagi pasien dengan penyakit menular adalah sebagai berikut:
kamar khusus yang selalu tertutup, cuci tangan dengan sabun atau
larutan antiseptik sebelum dan sesudah masuk kamar, gunakan
masker dan sarung tangan serta baju pelindung, peralatan makan
khusus untuk pasien, bahan pemeriksaan laboratorium diletakkan
pada tempat steril tertutup rapat, setelah dipakai alat suntik
dimasukkan pada tempat khusus dan dibuang, alat pemeriksaan
lengkap, penanganan instrumen secara tepat, jumlah pengunjung
pasien dibatasi dan kamar dibersihkan setiap hari.

1.5. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Tindakan Pencegahan Infeksi


Taylor (2005) mengatakan bahwa, prinsip-prinsip pelaksanaan tindakan
pencegahan infeksi meliputi :
a) Setiap orang, baik ibu, bayi baru lahir, dan penolong persalinan harus
dianggap dapat menularkan penyakit, karena infeksi yang terjadi bersifat
asimptomatik atau tanpa gejala.
b) Setiap orang harus dianggap beresiko terkena infeksi.
c) Permukaan tempat pemeriksaan, peralatan dan benda-benda lain yang akan
dan telah bersentuhan dengan kulit tak utuh seperti selaput mukosa atau
darah, harus dianggap terkontaminasi sehingga setelah selesai digunakan
harus dilakukan proses pencegahan infeksi secara benar.
d) Jika tidak diketahui apakah permukaan, peralatan atau benda lainnya telah
diproses dengan benar, harus dianggap telah terkontaminasi.
e) Resiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total, tetapi dapat dikurangi
hingga sekecil mungkin kejadiannya dengan melaksanakan prosedur
tindakan pencegahan infeksi yang benar dan konsisten.

1.6. Perlindungan Bagi Pekerja


Potter&Perry (2005) mengatakan bahwa perlindungan barier harus sudah
tersedia bagi pekerja yang memasuki kamar isolasi. Kadang-kadang anteroom
atau rak dorong khusus di gang menjadi tempat barang seperti gown, masker dan
sarung tangan.
a) Gown
Alasan utama menggunakan gown adalah untuk mencegah pakaian menjadi
kotor selama kontak dengan klien. Gown melindungi pekerja pelayanan
kesehatan dan pengunjung dari kontak dengan bahan dan darah atau cairan
tubuh yang terinfeksi. Gown diwajibkan bila kontak dalam ruang isolasi.
Terdapat gown yang dapat digunakan kembali dan ada yang sekali pakai.
b) Masker
Masker harus dikenakan bila diperkirakan ada percikan atau semprotan dari
darah atau cairan tubuh ke wajah. Selain itu, masker menghindarkan perawat
menghirup mikroorganisme dari saluran pernapasan klien dan mencegah
penularan patogen dari saluran pernapasan perawat ke klien.
c) Sarung tangan
Sarung tangan mencegah penularan patogen melalui cara kontak langsung
maupun tidak langsung.
d) Kacamata pelindung
Bila ikut serta dalam prosedur invasive yang dapat menimbulkan adanya
droplet atau percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh lainnya,
perawat harus mengenakan kacamata pelindung, masker atau pelindung wajah
(Garner, 1996).
e) Membungkus barang atau linen
Perawat menggunakan prosedur membungkus yang khusus untuk membuang
barang-barang yang terkontaminasi disekitar klien. Membungkus barang-
barang mencegah terpaparnya individu tanpa sengaja pada barang yang
terkontaminasi dan mencegah kontaminasi terhadap lingkungan sekitar.
f) Memindahkan klien
Klien terinfeksi organisme yang menyebar melalui udara harus meninggalkan
kamarnya hanya untuk tujuan yang esensial seperti prosedur diagnostic atau
pembedahan. Sebelum memindahkan klien ke kursi roda atau brankar, perawat
memberikan klien gown yang berfungsi sebagai jubah. Klien yang terinfeksi
oleh organism yang ditularkan melalui saluran pernapasan harus juga
memakai masker. Petugas yang memindahkan klien-klien ini harus juga
memakai perlindungan barier yang diperlukan.

1.7. Dampak Infeksi nosocomial


Infeksi nosocomial mempunyai dampak yang luas, mulai dari pasien itu sendiri,
keluarga dan masyarakat, hingga sarana pelayanan kesehatan.
a) infeksi nosocomial menambah tekanan emosional, menurunkan fungsi
organ, dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan kecacatan bahkan
kematian.
b) Pasien memerlukan pemeriksaan tambahan, perawatan dan pengobatan
yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Sering kali pasien terinfeksi
oleh bakteri yang sudah teresisten terhadap beberapa antibiotic
sehingga pengobatan menjadi lebih berat
c) Dampak tertinggi pada Negara berkembang dengan prevalensi
HIV/AIDS yang tinggi
d) Bagi keluarga dan masyarakat, infeksi nosocomial memerlukan biaya
yang tinggi, hari rawat meningkat pada gilirannya akan menurunkan
tingkat produktivitas kerja.
e) Bagi sarana pelayanan kesehatan, infeksi nosocomial memberi citra
buruk.
f) Dapat berdampak hokum berupa tuntutan pengadilan yang
menimbulkan kerugian materi maupun non-materi, baik pasien
maupun sarana pelayanan kesehatan.

1.8. Tahapan infeksi nosocomial


1.4.1 Tahap pertama mikroba patogen bergerak menuju ke penjamu /
penderita dengan mekanisme penyebaran (mode of transmission)
terdiri dari penularan langsung dan tidak langsung (Darmadi, 2008). 13
Penularan langsung : melalui droplet nuclei yang berasal dari petugas,
keluarga / pengunjung, dan penderita lainnya. Kemungkinan lain
berupa darah saat transfusi darah. (Darmadi, 2008)
Penularan tidak langsung :
a) vehicle-borne yatu penyebaran / penularan mikroba patogen melalui
benda-benda mati seperti peralatan medis, bahan-bahan / material
medis, atau peralatan lainnya. Tindakan invasif seperti pemasangan
kateter, vena pungsi, tindakan pembedahan, proses dan tindakan
medis lain berisiko untuk terjadinya infeksi nosokomial. (Darmadi,
2008)
b) Vector-borne yaitu penyebaran / penularan mikroba patogen dengan
perantara seperti serangga. Luka terbuka, jaringan nekrosis, luka
bakar, dan gangren adalah kasus-kasus yang rentan dihinggapi lalat.
c) Food-borne yaitu penyebaran / penularan mikroba patogen melalui
makanan dan minuman yang disajikan untuk penderita.
d) Water-borne yaitu penyebaran / penularan mikroba patogen melalui
air, namun kemungkinannya kecil sekali karena air di rumah sakit
biasanya sudah melalui uji baku.
e) Air-borne yaitu penyebaran / penularan mikroba patogen melalui
udara, peluang terjadinya infeksi melalui cara ini cukup tinggi karena
ruangan / bangsal yang tertutup secara teknis kurang baik ventilasi
dan pencahayaannya.

Dari semua kemungkinan penyebaran / penularan mikroba patogen,


maka penyebab infeksi nosokomial yang paling sering dilaporkan
adalah tindakan invasif melalui penggunaan berbagai instrumen medis
(vehicle-borne).

1.4.2 Tahap kedua adalah upaya dari mikroba patogen untuk menginvasi
ke jaringan / organ penjamu (pasien) dengan cara mencari akses masuk
(port d’entrée) seperti adanya kerusakan / lesi kulit atau mukosa dari
rongga hidung, mulut, orifisium uretra, dan sebagainya.
(Darmadi,2008)
a) Mikroba patogen masuk ke jaringan/organ melalui lesi kulit. Hal ini
dapat terjadi sewaktu melakukan insisi bedah atau jarum suntik.
Mikroba patogen yang dimaksud antara lain virus Hepatitis B (VHB).
Mikroba patogen masuk melalui kerusakan/lesi mukosa saluran
urogenital karena tindakan invasif, seperti:
1. Tindakan kateterisasi, sistoskopi;
2. Pemeriksaan dan tindakan ginekologi (curretage);
3. Pertolongan persalinan per-vaginam patologis, baik dengan bantuan
instrumen medis,
maupun tanpa bantuan instrumen medis.
b) Dengan cara inhalasi, mikroba patogen masuk melalui rongga hidung
menuju saluran napas. Partikel in feksiosa yang menular berada di
udara dalam bentuk aerosol. Penularan langsung dapat terjadi melalui
percikan ludah (droplet nuclei) apabila terdapat individu yang
mengalami infeksi saluran napas melakukan ekshalasi paksa seperti
batuk atau bersin. Dari penularan tidak langsung juga dapat terjadi
apabila udara dalam ruangan terkontaminasi. Lama kontak terpapar
(time of exposure) antara sumber penularan dan penderita akan
meningkatkan risiko penularan. Contoh: virus Influenza dan Al.
tuberculosis.
c) Dengan cara ingesti, yaitu melalui mulut masuk ke dalam saluran
cerna. Terjadi pada saat makan dan minum dengan makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Contoh: Salmonella, Shigella, Vibrio,
dan sebagainya.

1.4.3 Tahap ketiga adalah mikroba patogen berkembang biak


(melakukan multiplikasi) disertai dengan tindakan destruktif terhadap
jaringan, walaupun ada upaya perlawanan dari penjamu. Akibatnya
terjadilah reaksi infeksi yang mengakibatkan perubahan morfologis
dan gangguan fisiologis jaringan.(Darmadi,2008).
1.9. Cara penularan infeksi nosokomial
1.9.1 Penularan secara kontak
Penularan ini dapat terjadi baik secara kontak langsung, kontak
tidak langsung dan droplet. Kontak langsung terjadi bila sumber
infeksi berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya person to
person pada penularan infeksi hepatitis A virus secara fekal oral.
Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek
perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati
tersebut telah terkontaminasi oleh sumber infeksi, misalnya
kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme (Uliyah dkk, 2006;
Yohanes, 2010).
1.9.2 Penularan melalui common vehicle
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh
kuman dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu pejamu.
Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan
intra vena, obat-obatan, cairan antiseptik, dan sebagainya (Uliyah dkk,
2006; Yohanes, 2010).
1.9.3 Penularan melalui udara dan inhalasi
Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran yang
sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang
cukup jauh dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme
yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas akan membentuk debu
yang dapat menyebar jauh (Staphylococcus) dan tuberkulosis (Uliyah
dkk, 2006; Yohanes, 2010).
1.9.4 Penularan dengan perantara vektor
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal.
Disebut penularan secara eksternal bila hanya terjadi pemindahan
secara mekanis dari mikroorganime yang menempel pada tubuh
vektor, misalnya shigella dan salmonella oleh lalat. Penularan secara
internal bila mikroorganisme masuk kedalam tubuh vektor dan dapat
terjadi perubahan biologik, misalnya parasit malaria dalam nyamuk
atau tidak mengalami perubahan biologik, misalnya Yersenia pestis
pada ginjal (flea) (Uliyah dkk, 2006; Yohanes, 2010).
1.9.5 Penularan melalui makanan dan minuman
Penyebaran mikroba patogen dapat melalui makanan atau
minuman yang disajikan untuk penderita. Mikroba patogen dapat ikut
menyertainya sehingga menimbulkan gejala baik ringan maupun berat
(Uliyah dkk, 2006).

1.10. Batasan infeksi nosocomial

Batasan infeksi nosocomial adalah infeksi yang didapat oleh penderita, ketika
penderita dalam proses asuhan keperawatan dirumah sakit.

Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosocomial
apabila memenuhi beberapa kriteria/batasan tertentu, diantaranya:

a. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapatkan


tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak sedang dalam
masa inkubasi dari infeksi tersebut.
c. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah
3kali 24 jam sejak mulai perawatan.
d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya
e. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan
terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat dirumah sakit
yang sama pada waktu yang berlalu, serta belum pernah dilaporkan
sebagai infeksi nosocomial (Siregar, 2004)

Anda mungkin juga menyukai