Anda di halaman 1dari 66

STUDI LITERATUR EVALUASI PENGGUNAAN

ANTIDIABETIK GOLONGAN BIGUANID DAN


SULFONILUREA PADA PASIEN DIABETES MELITUS

SKRIPSI

OLEH:
LIA MARLINA
NPM: 1648201110075

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
2020

i
STUDI LITERATUR EVALUASI PENGGUNAAN
ANTIDIABETIK GOLONGAN BIGUANID DAN
SULFONILUREA PADA PASIEN DIABETES MELITUS

SKRIPSI

Karya tulis sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

OLEH:
LIA MARLINA
NPM: 1648201110075

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
2020

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Proposal dengan judul Studi Literatur Evaluasi penggunaan obat Antidiabetes


golongan Biguanid dan Sulfonilurea pada pasien Diabetes Melitus oleh Lia
Marlina 1648201110075 telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dan
akan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Seminar Proposal Program
Studi S1 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.

Banjarmasin, 08 Juni 2020


Pembimbing 1

Nama : apt. Tuty Mulyani, M, Sc.


NIDN : 1130048701

Pembimbing 2

Nama : apt. Ayu Soraya, M. Clin. Farm


NIP : 19830713 201001 2 010

Mengetahui,
Ketua Program Studi S1 Farmasi

apt. Andika, M. Farm


1110068601

iii
PENGESAHAN PROPOSAL
Proposal skripsi berjudul Studi literatur Evaluasi penggunaan obat Antidiabetes
golongan Biguanid dan Sulfonilurea pada pasien Diabetes Melitus oleh Lia
Marlina 1648201110075 yang telah diujikan di depan tim penguji pada Seminar
Proposal Program Studi S1 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Banjarmasin pada tanggal 20 Mei 2020

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1

Nama : apt. Tuty Mulyani, M, Sc.


NIDN : 1130048701

Pembimbing 2

Nama : apt. Ayu Soraya, M. Clin. Farm


NIP : 19830713 201001 2 010

Mengesahkan di : Banjarmasin
Tanggal : 08 Juni 2020

Mengesahkan Mengetahui
Dekan Fakultas Farmasi Ketua Program Studi S1 Farmasi

apt. Risya Mulyani, M. Sc apt. Andika, M. Farm


NIDN. 1122038301 NIDN. 1110068601

KATA PENGANTAR

iv
Asssalamu’alaikum wr.wb
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, kepada setiap hambanya, atas berkat dan
rahmatnya jualah usah penulis untuk menyelesaikan Skripsi yang merupakan
salah satu syarat yang harus ditempuh untuk menyelesaikan pendidikan jenjang
Strata (S1) pada Jurusan S1 Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Banjarmasin.
Penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang baik dari
berbagai pihak, antara lain :
1. Rektor Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.
2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, Risya
Mulyani, M.Sc., Apt.
3. Ketua Program Studi S1 Farmasi Universitas Muhammadiyah
Banjarmasin Banjarmasin, Andika M.Farm., Apt.
4. Dosen Pembimbing 1, Tuty Mulyani, M. Sc., Apt dan Dosen Pembimbing
2, Ayu Soraya, M. Clin. Farm., Apt Serta semua pihak yang terkait
dengan segala kerendahan hati untuk membantu saya dalam
menyelesaikan laporan ini.
Semoga penelitian yang dilakukan dan disajikan dalam bentuk Skripsi ini
dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi S1 Farmasi dan dapat
bermanfaat untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Banjarmasin, Juni 2020

Penulis

ABSTRAK

v
STUDI LITERATUR EVALUASI PENGGUNAAN
ANTIDABETIK GOLONGAN BIGUANID DAN
SULFONILUREA PADA PASIEN DIABETES MELITUS

Oleh:
Nama : Lia Marlina
NPM : 1648201110075
(Program Studi S1 Farmasi)

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan


penanganan untuk mengurangi berbagai resiko terkait peningkatan kadar
glikemik. Ada beberapa golongan antidiabetes yaitu salah satunya golongan
biguanid dan sulfonilurea. Golongan biguanid dan sulfonilurea merupakan
golongan yang paling sering digunakan dalam pengobatan diabates melitus.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui penggunaan antidiabatetik golongan
biguanid dan sulfonilurea pada pasien diabetes melitus. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu studi literatur dengan mengumpulkan beberapa jurnal
dari penelitian sebelumnya yang sudah terindeks scopus sebanyak 10 jurnal.
Hasil menunjukkan bahwa golongan kombinasi biguanid dan sulfonilurea lebih
efektif digunakan untuk pasien diabetes melitus tipe 2 dibandingkan dengan
pengobatan tunggal.

Kata kunci : diabetes melitus, golongan biguanid dan sulfonilurea, evaluasi obat.

Daftar Pustaka : (2003-2020)

ABSTRACT

vi
LITERATURE STUDY OF THE USE OF ANTIDABETIC USAGE OF
BIGUANID AND SULFONILUREA IN DIABETES MELLITUS
PATIENTS

By:
Nama : Lia Marlina
NPM : 1648201110075
(Program Studi S1 Farmasi)

Diabetes mellitus (DM) is a chronic disease that requires treatment to reduce the
various risks associated with increased glycemic levels. There are several
antidiabetic groups, one of which is the biguanid and sulfonylurea groups.
Biguanid and sulfonylurea groups are the groups most often used in the treatment
of diabetes mellitus. The purpose of this study was to determine the use of
biguanid and sulfonylurea groups of antidiabetic in diabetes mellitus patients.
The method used in this research is literature study by collecting 10 journals from
previous studies that have been indexed by Scopus. The results showed that the
combination group biguanid and sulfonylurea was more effective for patients
with type 2 diabetes mellitus compared to single treatment.

Key words: diabetes mellitus, biguanid and sulfonylurea groups, drug evaluation.

Reference : (2003-2020)

DAFTAR ISI

vii
HALAMAN SAMPUL................................................................................i
HALAMAN JUDUL....................................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................iii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................iv
KATA PENGANTAR.................................................................................v
ABSTRAK...................................................................................................vi
DAFTAR ISI................................................................................................vii
DAFTAR TABEL........................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN............................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah......................................................1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................3
1.3. Tujuan Penelitian.................................................................3
1.4. Manfaat Penelitian..............................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................4
2.1. Diabetes Melitus..................................................................4
2.2. Kerangka Konsep................................................................15
BAB 3 METODE PENELITIAN................................................................16
3.1. Desain Penelitian.................................................................16
3.2. Pengumpulan Penelitian......................................................16
3.3. Waktu Penelitian.................................................................16
3.4. Pengambilan Data................................................................16
3.5. Alur Penelitian.....................................................................17
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................18
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................51
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................52
LAMPIRAN.................................................................................................54

DAFTAR TABEL

viii
Tabel 4.1. Jurnal evaluasi penggunaan obat antidiabetes golongan biguanid dan
sulfonilurea pada pasien diabetes
Tabel 4.2 Literatur jurnal sebagai sempel penelitian
Tabel 4.3 Karakteristik pasien berdasarkan Usia
Tabel 4.4 Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.5 Karakteristik pasien berdasarkan penyakit komplikasi atau penyakit
penyerta
Tabel 4.6 Pola berdasarkan penggunaan obat antidiabetes
Tabel 4.7 Karakteristik Dasar
Tabel 4.8 Karakteristik pasien pada pengacakan dan akhir studi
Tabel 4.9 Karakteristik dasar dari 393 pasien dengan diabetes melitus tipe 2
awalnya diobati dengan metformin
Tabel 4.10 Karakteristik dasar pasien dengan diabetes sebelum pengobatan
metformin (Grup 1). rosiglitazone (Grup 2), atau kontrol (Grup 3)
Tabel 4.11 Karakteristik dasar dari kohort
Tabel 4.12 Karakteristik Dasar
Tabel 4.13 Karakteristik dasar pasien diabetes yang menyelesaikan studi di dua
kelompok perawatan
Tabel 4.14 Perbandingan karakteristik sebelum dan susudah antara pengguna
metformin dan kelompok kontrol di antara pasien DM tipe 2
Tabel 4.15 Karakteristik pengobatan metformin dan sulfonilurea sebelum
dan sesudah
Tabel 4.16 Perubahan parameter glikemik dan lipid darah selama percobaan
pioglitazone plus terapi kombinasi metformin
Tabel 4.17 Perubahan parameter glikemik dan lipid darah selama percobaan
terapi kombinasi pioglitazone plus sulfonilurea

DAFTAR GAMBAR

ix
Gambar 1. Perbandingan HbA1c dan kadar glukosa plasma puasa pada pasien
yang diobati dengan metformin dan metformin glibenklamid
(kiri) atau glibenklamid dan metformin (kanan)
Gambar 2. Perbandingan persentase keberhasilan (puasa plasma puas < 140
mg/dl, HbA1c <6%) dengan monoterapi atau kombinasi pada
setiap kelompok perlakuan.

DAFTAR LAMPIRAN

x
Lampiran1. Efficacy of glimepiride/metformin combination versus
glibenclamide/metformin in patients with uncontrolled type 2
diabetes mellitus
Lampiran 2. The beneficial effect of α-glucosidase inhibitor on glucose
variability compared with sulfonylurea in Taiwanese type 2
diabetic patients inadequately controlled with metformin:
preliminary data
Lampiran 3. Metformin in patients with type 2 diabetes mellitus: reconsideration
of traditional contraindocations
Lampiran 4. Effects of metformin or rosiglitazone on serum concentrations of
homocysteine, folate, and vitamin B12 in patients with type 2
diabetes mellitus
Lampiran 5. Metformin Therapy and Outcomes in patients with Advanced
Systolic Heart Failure and Diabetes
Lampiran 6. A Safety Comparison of Metformin vs Sulfonylurea Initiation in
Patients With Type 2 Diabetes and Chronic Kidney Disease: A
Retrospective Cohort Study
Lampiran 7. Combination Treatment With Metformin and Glibenclamide Versus
Single-Drug Therapies in Type 2 Diabetes Mellitus A Randomized,
Double-Blind , Comparative Study
Lampiran 8. Metformin therapy and hip fracture risk among patients with type II
diabetes mellitus: A population-based cohort study
Lampiran 9. The Risk of TB in Patients With Type 2 Diabetes Initiating
Metformin vs Sulfonylurea Treatment
Lampiran 10. Combination therapy with pioglitazone plus metformin or
sulfonylurea in patients with Type 2 diabetes Influence of prior
antidibetic drug regimen

xi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan
penanganan untuk mengurangi berbagai resiko terkait peningkatan kadar
glikemik. Diabetes Melitus seringkali undiagnosed selama bertahun-tahun
karena kadar glikemik meningkat secara bertahap dan gejala yang dirasakan
pasien masih ringan. Pasien dengan kondisi peningkatan kadar glikemik
memiliki resiko untuk mengalami komplikasi penyakit mikrovaskuler dan
makrovaskuler. Komplikasi jangka pendek yang akan dialami penderita DM
adalah kadar glikemik yang tinggi dalam waktu yang panjang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dan organ tubuh yang terjadi saat tubuh
tidak mampu menggunakan glukosa sebagai energi karena kekurangan
insulin. Komplikasi jangka panjang DM adalah kerusakan mata, gangguan
pada jantung dan pembuluh darah, neuropati, dan stroke (ADA, 2015).

Menurut Slamat. S dan Sujaya, Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) merupakan


suatu penyakit hiperglikemi akibat insentivitas sel terhadap insulin. Kadar
insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam masa rentang normal.
Kerena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel β pankreas, maka diabetes
melitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin dependent diabates melitus.
Menurut DepKes, 2005, Diabetes Melitus tipe 2 bisa juga dikatakan sebagai
penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan naiknya gula darah
akibat penurunan seksresi insulin oleh sel β pankreas atau gangguan fungsi
insulin (Fatimah, 2015).

Jumlah penderita DM di dunia pada seluruh kelompok usia sebanyak 382 juta
orang pada tahun 2013 dan diperkirakan meningkat 55 % menjadi 592 juta
penderita pada tahun 2035. China menjadi negara dengan penderita DM
terbanyak di dunia dengan 98,4 juta penderita, kemudian diikuti oleh India
dengan 65,1 juta penderita, dan Amerika Serikat dengan 24,4 juta penderita.

12
Indonesia menduduki peringkat ketujuh untuk penderita DM terbanyak di
dunia dengan jumlah 8,5 juta penderita (IDF, 2013). Prevalensi penyakit DM
di Provinsi Kalimantan Selatan menduduki peringkat ke 13 sebesar 1,4 %
(Kemenkes, 2013).

Organisasi Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization)


memprediksi adanya kenaikan jumlah penderita diabates di Indonesia yang
semula 8 jutaan penderita di tahun 2000 menjadi sekitar 21 jutaan penderita
di tahun 2030. laporan ini menunjukkan adanya peningkatan kenaikan 3 kali
lipat dalam waktu 3 puluh tahun (Anonim, 2015).

Menurut ADA (2014) dijelaskan bahwa faktor risiko DM tipe II dibagi


menjadi 2 yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah berupa umur, ras atau
ethnik, jenis kelamin, dan riwayat keluarga sedangkan faktor risiko yang
dapat diubah berupa obesitas, kadar gula darah yang tinggi, hipertensi,
abnormal lipid metabolism, aktivitas fisik, dan merokok.

Menurut Kumolosari, dkk 2001, Mengingat begitu tingginya angka kejadian


serta pentingnya penanganan secara tepat terhadap penyakit diabetes melitus
dan komplikasi yang akan di timbulkannya, maka terapi diabetes mellitus
harus dilakukan secara rasional baik secara farmakologi maupun non
farmakologi. Ketepatan terapi dipengaruhi oleh proses diagnosis, pemilihan
terapi, pemberian terapi, serta evaluasi terapi. Evaluasi penggunaan obat
merupakan suatu proses jaminan mutu yang terstruktur dan dilakukan secara
terus menerus untuk menjamin agar obat-obat yang digunakan tepat, aman
dan efisien (Arifin, 2007).

13
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah bagaimana
studi literatur Evaluasi penggunaan antidiabeteik golongan biguanid dan
sulfonilurea pada pasien diabetes melitus ?

1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan antidiabatetik
golongan biguanid dan sulfonilurea pada pasien diabetes melitus.

1.4 Manfaat
1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang ada
dipeneliti untuk penelitian ini dan dapat mengembangkan kemampuan
dalam melakukan penelitian
2. Bagi Instansi, penelitian ini dapat menjadi sebagai sumber informasi dan
pengetahuan untuk mahasiswa yang selanjutnya untuk meneliti dengan
tema yang sama.

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi
Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan metebolisme yang ditandai
oleh hiperglikemia dan berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemakn dan protein yang disebabkan adanya penurunan
sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya yang
menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan
neuropati (Sukandar, 2008).

Adapun kriteria diabetes melitus yaitu kadar glukosa puasa ≥ 126


mg/dL atau pada dua jam setelah makan ≥ 200mg/dL atau HbA1c ≥
8%. Jika kadar glukosa dua jam setelah makan > 140 mg/dL tetapi
lebih kecil dari 200mg/dL maka dinyatakan glukosa toleransi lemah
(Sukandar, 2008).

Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) merupakan suatu penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia, terjadi dikarenakan kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau bisa kedua-duanya. 90% dari kasus
diabetes adalah diabates melitus tipe 2 yaitu dengan karakteristik
gangguan senstivitas insulin dan atau dengan gangguan sekresi insuli.
Diabates melitus tipe 2 memproduksi cukup banyak insulin untuk
mengkompensasikan peningkatan insulin resisten atau gangguan
insulin (Decroli, 2019)

2.1.2 Etiologi
Menurut Depkes RI (2005), diabetes Melitus Tipe 2 (DM II)
merupakan multifaktor yang belum jelas diketahui penyebabnya.
Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar untuk
menyebabkan terjadinya DM tipe 2, yaitu obesitas, diet lemak dan
rendah serat, serta kurangnya aktivitas fisik. Salah satu faktor utama

15
yang melatarbelakangi diabetes melitus tipe 2 adalah obesitas atau
kegemukan.

Diabates melitus tipe 2 (DMT2) juga disebabkan oleh gabungan


intensitas insulin dan tidak berfungsinya secara normal sekresi sel β.
diabetes tipe 2 juga disebut diabetes gaya hidup kerena selain adanya
faktor keturunan, bisa juga kerena gaya hidup yang kurang sehat.

2.1.3 Patofisiologi
Diabetes Melitus tipe 1 (DMT1) terjadi pada 10% dari semua kasus
diabetes. Secara umum, DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau
pada awal masa dewasa yang disebabkan oleh keruskan sel beta
pankreas akibat autoimun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut.
Reaksi autoimun umumnya terjadi setelah waktu yang panjang (9-13
tahun) yang ditandai oleh adanya parameter-parameter sistem imun
ketika terjadi kerusakan sel beta. Hiperglikemia terjadi bila 80%-90%
dari sel beta rusak.

Penyakit DM dapat menjadi penyakit menahun dengan risiko komplikasi


dan kematian. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya autoimun
tidak diketahui, tetapi proses itu diperantarai oleh makrofag dan limfosit
T dengan autoantibodi yang bersikulasi ke berbagai antigen sel beta
(misalnya antibodi sel islet, antibodi insulin).

Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) diperkirakan 90% kasus yang ditandai


dengan kombinasi beberapa persen resistensi insulin dan defisiensi
insulin relatif. Resistensi insulin dimanifestasikan oleh peningkatan
lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa
hepatik, dan penurunan serapan otot rangka glukosa.

Penyebab diabetes yang tidak biasa (1%-2% kasus) termasuk gangguan


endokrin (akromegalia, sindrom Cushing), diabetes melitus gastotional

16
diabetes melitus (GDM), penyakit pankreas eksokrin (pankreatitis), dan
obat-obatan (glukokortikoid, pentamidin, niasin, α-interferon).

Komplikasi mikrovaskular termasuk retinopati, neuropati, dan nefropati.


Komplikasi makrovaskular termasuk penyakit jantung koroner, stroke,
dan perifer penyakit pembulu darah (Dipiro, 2005)

2.1.4 Epidemiologi
90% kasus dari semua populasi diabetes yaitu diabetes melitus tipe 2.
prevalensi DMT2 pada mayoritas kulit putih berkisar antara 3-6% pada
populasi dewasa. International Diabetes Fedaration (IDF) pada tahun
2011 mengumumksn 336 juta orang di seluruh dunia mengidap DMT2
dan penyakit ini terkait dengan 4,6 juta kematian tiap tahunnya, atau
satu kematian setiap 7 detik. Penyakit ini 12% populasi dewasa di
Amerika serikat lebih dari 25% pada penduduk usia lebih dari 65 tahun
(Decroli, 2019)

World Health Organization (WHO) memperkirakan kenaikan jumlah


pasien DM di Indonesia dari 4,8 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF)
memperkirakan adanya kenaikan jumlah pasien DM di Indonesia dari
9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035 (Decroli,
2019).

2.1.5 Faktor Risiko


Menurut Morton G. et al, Ada beberapa faktor risiko penyakit diabetes
melitus tipe 2 yaitu, usia, aktifitas fisik, terpapar asap, indeks masa
tubuh (IMT), tekanan darah, stress, gaya hidup, adanya faktor
keturunan, kolesterol HDL, trigliserida, DM kehamilan, riwayat
ketidaknormalan glukosa dan kelainan lainnya (Isnaini, 2018)
Ada pula faktor risiko penyakit DM yang beresiko tapi bisa saja
dirubah yaitu berupa pola makan, pola kebiasaan sehari-hari seperti

17
makan, pola istirahat, pola aktifitas dan strees. Kemudian faktor risiko
yang tidak dapat diubah seperti umur, jenis kelamin serta faktor
keturunan (Isnaini, 2018)
Penelitian menunjukkan bahwa faktor keturunan, aktifitas fisik, umur,
stress, tekanan darah serta nilai kolesterol berhubungan dengan
terjadinya diabetes melitus tipe 2, dan orang yang memiliki kelebihan
berat badan atau Obesitas berisiko 7,14 kali terkena penyakit DM tipe
2 jika dibandingkan dengan orang yang berada pada berat badan
normal atau ideal (Trisnawati, 2013)

2.1.6 Diagnosis
Menurut Dipiro et., al (2005), untuk diagnosis DM ada beberapa
kriteria yaitu sebagai berikut:
1. A1C sebesar 6,5% atau lebih
2. Puasa (tidak ada asupan kalori selama setidaknya 8 jam) glukosa
plasma 126mg/dL (7,0 mmol/L) atau lebih
3. Glukosa plasma 2 jam 200mg/dL (11,1 mmol/L) atau lebih selama
oral tes toleransi glukosa (OGTT) menggunakan beban glukos yang
mengandung setara dengan 75g glukosa anhidrat dilarutkan dalam
air
4. Konsentrasi glukosa plasma acak 200mg/dL (11,1 mmol/L) atau
lebih dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik
dengan tidak adanya hiperglikemia tegas, kriteria 1 sampai 3 harus
dikuatkan dengan pengujian ulang.

2.1.7 Manifestasi Klinik


Pada penderita DM tipe 1 biasanya memiliki tubuh yang kurus dan
cenderung berkembang menjadi diabetes ketoasidosis (DKA) karena
insulin sangat kurang disertai peningkatan hormon glukagon.

Diperkirakan 20-40% pasien mengalami DKA setelah beberapa hari


mengalami poliuria, polidipsia, polifagia, dan kehilangan bobot badan.

18
Pasien dengan DM tipe 2 sering asimptomatik, dengan munculnya
komplikasi yang dapat mengindikasikan bahwa pasien telah menderita
DM selama bertahun-tahun, dengan munculnya Neuropathi. Pada pasien
diagnosis umumnya terdeteksi adanya letargi, poliuria, noktura, dan
polidipsia sedangkan penurunan bobot berat badan secara signifikan
jarang terjadi ( Sukandar, 2008 ).

2.1.8 Strategi Pengobatan


Tujuan pengobatan : memperbaiki gejala, mengurangi risiko
komplikasi mikrovaskular dan rovaskular mac, mengurangi kematian,
dan meningkatkan kualitas hidup. Diinginkan kadar glukosa plasma
dan AIC teracntum pada tabel dibawah ini.

Biochemical Index ADA ACE and AACE

AIC <7%(<0.07) ≤6.5%(≤0.065)


Preparandial plasma 70-130 mg/dL <110 mg/dL
glucose (3.9-7.2 mmol/L) (<6.1 mmol/L)
Postorandial plasma <180 mg/dLb <140 mg/dL
glucose (<10 mmol/L) (<7.8 mmol/L)
AACE, American Association of Clinical Endocrinologists; ACE,
American College of Endocrinology; ADA, Asosiasi Diabetes
Amerika.

Tujuan glikemik yang lebih ketat mungkin sesuai jika dilakukan tanpa
hipoglikemia yang signifikan atau efek samping. Tujuan yang kurang
ketat mungkin jga sesuai dalam beberapa situasi.

Pengukuran glukosa postprandial harus dilakukan 1 sampai 2 jam


setelah awal makan, umumnya waktu tingkat puncak pada pasien
dengan diabetes (Dipiro, 2005).

19
2.1.8.1 Terapi Non Farmakologi
Terapi nutrisi medis direkomendasikan untuk semua pasien.
Dipiro et., al (2005) mengatakan bahwa terapi non farmakologi
dapat dilakukan dengan sebagai berikut:
1. Makan-makanan yang harus cukup karbohidrat dan rendah
lemak jenuh dengan seimbang.
2. Pasien DM sering membutuhkan pembatasan kalori untuk
menurunkan berat badan.
3. Latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan
kontrol glikemik dan dapat mengurangi faktor risiko
kardiovaskular, yang berhubungan terhadap penurunan atau
pemeliharaan berat badan, dan memperbaiki kualitas hidup.

2.1.8.2 Terapi Farmakologi


1. Insulin
Mekanisme kerja obat
Insulin menurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi
pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi
glukosa hepatik.

Data farmakokinetik
Waktu paruh insulin pada orang normal yaitu 5-6 menit dan
memanjang pada pasien DM yang membentuk antibodi
terhadap insulin. Hormon ini juga dimetabolisme terutama di
hati, ginjal,dan otot akan mengalami filtrasi atau penyaringan
di ginjal, kemudian diserap kembali oleh tubulus ginjal yang
merupakan tempat metabolismenya. Gangguan fungsi ginjal
yang berat sangat berpengaruh terhadap kadar insulin di darah
dibandingkan dengan gangguang fungsi hati.

20
2. Sulfonilurea
Mekanisme kerja obat
Sulfonilurea bekerja dengan merangsang sekresi insulin pada
pankreas sehingga hanya efektif sel β pankreas masih dapat
berproduksi.
Beberapa contoh obat golongan sulfonilurea yaitu,
klorpropamid, glikazid, glibenklamid, glipizid, glikuidon,
glimepirid, tolbutamid.

3. Biguanida
Mekanisme kerja
Biguanida bekerja menghambat glukoneogenesis dan
meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.

Data farmakokinetik
Bioavabilitas absolut metformin IR 500mg yang diberikan
dalam kondisi puasa yaitu sekitar 50-60%. Makanan
menghambat absorbsi metformin. Metformin di sekresikan
tidak berubah kedalam urin dan tidak mengalami metabolisme
hepatik atau sekresi melalui kantung empedu. Dan waktu
paruh eliminasi yaitu sekitar 17,6 jam.
Contoh obat golongan Biguanida yaitu, metformin
hidroklorida.

4. Tiazolidindion
Meknisme kerja
Tiazolidindion bekerja dengan meningkatkan sensitivitas
insulin pada oto dan jaringan adiposa serta menghambat
glukoneogenesis hepatik.
Beberapa contoh obat golongan Tiazolidindion yaitu,
Pioglitazon dan Rosiglitazon.

21
5. Penghambat α-glukosidase
Mekanisme kerja
Akarbosa bekerja dengan menghambat α-glukosidase
sehingga mencegah penguraian sukrosa dan karbohidrat
komples dalam usus halus sehingga akan memperlambat
dan menghambat penyerapan karbohidrat.

Data Farmakokinetik
Konsentrasi plasma puncak akan bertahan 14-24 jam Setelah
konsumsi obat, sedangkan dengan konsentrasi plasma puncak
dari zat aktif akan bertahan sekitar 1 jam. Akarbosa
dimetabolisme di saluran pencernaan oleh bakteri intestinal dan
enzim pencernaan. Hasil metabolit ini diabsorbsi (34% dari
dosis) dan akan dieksrekresikan melalui urin.
Beberapa contoh obat golongan penghambat α-glukosidase
yaitu,akarbose, dan miglitol (Sukandar, 2008).

2.1.8.3 Evaluasi Tujuan Terapi


Adapun evaluasi tujuan terapi menurut Dipiro et., al (2005)
sebagai berikut:
1. Untuk mengikuti kontrol glikemik jangka panjang
selama 3 bulan sebelumnya, maka diukur A1C
setidaknya 2 kali setahun pada pasien yang
mencapai tujuan pengobatan dengan terapi yang stabil
atau rutin.
2. Terlepas dari pengobatan insulin yang dipilih,
dilakukan penyesusaian hasil setiap hari dari dosis
insulin berdasarkan pengukuran dan gejala A1C
seperti poliuria, polidipsia, dan keanikan atau
penurunan berat badan. Penyesuaian insulin yang

22
lebuh baik dapat ditentukan atas dasar dari hasil
SMBG yang rutin.
3. Tanyakan kepada pasien yang menerima insulin tentang
pengenalan hipoglikemia setidaknya setiap tahun. Serta
dokumentasikan frekuensi hipoglikemia dan perawatan
yang diperlukan pasien selama pengobatan.
4. Pantau pasien yang menrima insulin sebelum tidur
untuk hipoglikemia dengan bertanya tentang seberapa
berkeringa pada malam hari, jntung berdebar, dan
mimpi buruk, serta hasil SMBG.
5. Untuk pasien DM tipe 2, didapatkan urinalisis rutin
pada saat diagnosa sebagai awal tes skrining untuk
albumnuria. Jika positif, tes urin 24 jam untuk
kuantitatif penilian akan membantu dalam
mengembangkan rencana perawatan. Jika urinalisis
negatif untuk protein, maka tes untuk mengevaluasi
keberadaan mikroalbuminuria disarankan dilakukan.
6. Lakukan dan dokumentasikan pemeriksaan kaki ruitn
(setiap kunjungan), penilaian albumin urin (setiap
tahun), dan pemeriksaan mata dilatasi (tahunana atau
lebih sering dengan kelainan).
7. Mengelola vaksin influenza tahunan untuk menilai
pemberian vaksin pneumokokus dan seri vaksin
hepatitis B bersama dengan lainnya faktor risiko
kardiovaskular (misalnya, merokok dan terapi
antiplatelet).

2.1.8.4 Pengaturan Kadar Glukosa Darah


Pengaturan kadar glukosa darah yang stabil dalam
darah merupakan mekanisme homeostatis yang diatur
dengan baik dalam tubuh, meliputi hati, jaringan
ekstrahepatik, dan beberapa hormon. Pada keadaan

23
paksa absorbsi, kadar glukosa darah pada sebagian
besar mamalia dijaga pada kisaran 81-99 mg/dL.
Setelah konsumsi makanan yang mengandung
karbohidrat, kadar glukosa dapat meningkat hingaa117-
129 mg/dL. Glukokinase memegang peran penting
dalam mengatur glukosa darah setelah mengkonsumsi
makanan. Glukokinase meningkatkan ambilan dari
sejumlah besar glukosa ke hati setelah konsumsi
karbohidrat. Banyaknya glukosa yang diambil dan
dilepaskan oleh hati yang kemudian digunakan oleh
jaringan-jaringan dipengaruhi oleh beberapa hormon.
Hormon-hormon yang mempengaruhi tersebut antara
lain (Murray, 2003).

1. Insulin
Hormon insulin memegang peran utama dalam pengatur
glukosa darah. Insulin diproduksi oleh sel β Langerhsans
sebagai respon keadaan hiperglikemia. Insulin meningkatkan
ambilan glukosa ke dalam hati melalui efeknya pada enzim
yang mengatur glikolisis, glikogenesis, dan glukoegenasis.

2. Glukagon
Glukogon merupakan hormon yang berlawanan kerjanya
dengan insulin. Glukagon diproduksi oleh sel α pankreas
yang sekresinya dipengaruhi oleh keadaan hipoglikemia.
Glukagon merangsang proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis dari asam amino dan laktat.

3. Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa Anterior


Kelenjar hipofisa anterior mensekresikan hormon yang dapat
meningkatkan kadar glukosa darah. Hormon-hormon
tersebut yaitu hormon pertumbuhan, ACTH

24
(Adenokartikortropin) dab beberapa hormon diabetogenik
lainnya. Sekresi hormon pertumbahan dirangsang oleh
keadaan hipoglikemia, yang kemudian menurunkan ambilan
glukosa otot.

4. Glukokortikoid
Glukokortikoid,yang disekresikan oleh korteks adrenal,
memiliki efek meningkatkan glukoneogenesis melalui
peningkatan aktivitas ambilan asam amino ke hati dan
peningkatan aktivitas enzim yang bekerja pada proses
glukoneogenesis. Selain itu, glukokortikoid juga
menghambat pemakaian glukosa pada jaringan
ekstrahepatik.

5. Efinifrin
Efenifrin disekresikan oleh medula edernal sebagai respon
terhadap lain rasa takut, pendarahan, hipoksia, dan
hipoglikemia. Epinefrin dapat meningkatkan glikogenolisis
di hati dan otot.

2.1.9 Hiperglikemia pada diabetes melitus tipe 2


Kejadian hiperglikemia pada DMT2 setidaknya dihubungkan
dengan berupa kelainan pada tubuh penderita DMT2, yang disebut
omnious octet yaitu:
1. Pada sel β pankreas terjadi kegegalan untuk mengsekresikan
insulin yang cukup untuk mengkonpensasi peningkatan resistensi
insulin.
2. Pada hepar terjadi peningkatan produkis glukosa dalam keadaan
basal kerena risistensi insulin.
3. Pada otot terjadi gangguan kinerja insulin yaitu gangguan dalam
penghantaran dan utilisasi glukosa.

25
4. Pada sel lemak, resis insulin menyebabkan liposisi meningkat dan
lipogenesis berkurang.
5. Pada usus terjadi difisiensi GLP-1 dan Increatin Effect yang
bekurang.
6. Pada sel α pankreas penderita penyakit DMT2, sintesis glukagon
meningkat dalam keadaan puasa.
7. Pada ginjal terjadi peningkatan ekpresi gen SGLT-2 sehingga
reabsorpsi glukosa akan meningkat.
8. Pada otak, resitensi insulin dihubungkan dengan peningkatan
nafsu makan (Decroli, 2019).

2.2 Kerangka konsep

Gol. Biguanid
Pasien Terapi
DM
Gol. Sulfonulurea

26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu merupakan study literatur
tentang Evaluasi penggunaan antidiabetik golongan Biguanid dan
Sulfonilurea pada pasien diabetes melitus dengan pengumpulan naskah dari
beberapa jurnal Nasional maupun Internasional.
3.2 Pengumpulan Penelitian
Berisi study pustaka dan dokumentasi
3.2.1 Study Pustaka
Tahap ini merupakan tahap untuk melakukan studi pengkajian data
penelitian terkait Evaluasi penggunaan antidiabetik golongan
Biguanid dan Sulfonilurea pada pasien diabetes melitus.
3.2.2 Dokumentasi
Pada tahap ini merupakan dimana data yang dikumpulkam disimpan
kedala perangkat lunak Mendeley.
3.3 Waktu Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan mei hingga juni.
3.4 Pengambilan Data
Teknik pengambilan sampel adalah study pustaka dengan cara pengkajian
jurnal sebagai studi literatur. Sebanyak 10 jurnal (minimal) terdiri dari 8
jurnal nasional yang telah terindeks Sinta dengan bobot 1-4, dan 2 jurnal
internasional yang juga telah terindeks Scopus. Serta melakukan
pengumpulan data yang didapatkan sebagai studi pustaka di perangkat lunak
Mendeley (jurnal yang didapat dimasukkan dalam lampiran skripsi).

27
3.5 Alur Penelitian
Proses yang dilakukan dalam penelitian Studi Literatur tentang kepatuhan
penggunaan obat Antidiabetes pada pasien diabetes melitus tipe 2 dapat
dilihat pada gambar dibawah :

Studi Literatur

Pengumpulan Data

Analisa Data

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Gambar 3.5.1 Diagram Alur Penelitian

Keterangan : = Proses
= Arah alir penelitian

28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Dari hasil penelusuran literatur yang telah dilakukan, jurnal yang digunakan
untuk analisis dalam penelitian mengenai evaluasi penggunaan obat
antidiabetes golongan biguanid dan sulfonilurea pada pasien diabetes
berjumlah 10 jurnal dengan rentang tahun terbit jurnal mulai dari 2002
hingga 2020 yang disajikan dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1 Jurnal evaluasi penggunaan obat antidiabetes golongan


biguanid dan sulfonilurea pada pasien diabetes
No. Tipe Jurnal Judul Jumlah
1. Journal of Diabetes and Efficacy of 1
Its Complications 23 glimepiride/metformin
(2009) 376–379 combination versus
glibenclamide/
metformin in patients with
uncontrolled type 2 diabetes
mellitus

2. Journal of Diabetes and The benefificial effect of α- 1


Its Complications 25 glucosidase inhibitor on
(2011) 332–338 glucose variability
compared with
sulfonylurea in Taiwanese
type 2 diabetic patients
inadequately controlled with
metformin: preliminary data

3. European Journal of Metformin in patients with 1


Internal Medicine 13 type 2 diabetes mellitus:
(2002) 428–433 reconsideration of
traditional contraindications

4. Journal of Diabetes and Effects of metformin or 1


Its Complications 21 rosiglitazone on serum
(2007) 118 – 123 concentrations of
homocysteine, folate, and

29
No. Tipe Jurnal Judul Jumlah
vitamin B12 in patients with
type 2
diabetes mellitus

5. Journal of Cardiac Metformin Therapy and 1


Failure Vol. 16 No. 3 Outcomes in Patients With
2010 Advanced
Systolic Heart Failure and
Diabetes

6. Mayo Clin Proc. A Safety Comparison of 1


2020;95(1):90-100 Metformin vs
Sulfonylurea Initiation in
Patients With Type
2 Diabetes and Chronic
Kidney Disease: A
Retrospective Cohort Study

7. Metabolism, Vol 52, No Combination Treatment 1


7 (July), 2003: pp 862- With Metformin and
867 Glibenclamide Versus
Single-Drug Therapies in
Type 2 Diabetes Mellitus: A
Randomized,
Double-Blind, Comparative
Study

8. Bone 135 (2020) Metformin therapy and hip 1


115325 fracture risk among patients
with type II
diabetes mellitus: A
population-based cohort
study

9. EO: CHEST-17-2021 The Risk of TB in Patients 1


With Type 2
Diabetes Initiating
Metformin
vs Sulfonylurea Treatment

10. Journal of Diabetes and Combination therapy with 1


Its Complications 17 pioglitazone plus metformin
(2003) 211 – 217 or sulfonylurea in patients
with Type 2 diabetes
Influence of prior
antidiabetic drug regimen

30
Tabel 4.2 Literatur Jurnal sebagai sempel Penelitian

Desain Sampe
No. Judul Kesimpulan
Tipe Jurnal Penelitian l
Glimepiride / metformin menunjukkan
Journal of Efficacy of kemanjuran yang lebih besar dalam
Diabetes and glimepiride/metformin mencapai tujuan metabolisme kontrol
Its combination versus Uji Klinis 152 glikemik dengan lebih sedikit kejadian
1. Complication glibenclamide/ acak, Tersamar pasien hipoglikemik pada pasien dengan diabetes
s 23 (2009) metformin in patients ganda, mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol
376–379 with uncontrolled type 2 Multisenter dibandingkan dengan glibenclamide /
diabetes mellitus metformin.

penelitian ini menunjukkan bahwa


The benefificial effect acarbose-terapi kombinasi metformin
2. Journal of of α-glucosidase Studi label lebih efektif dalam mengurangi
Diabetes inhibitor on glucose terbuka secara 40 variabilitas glukosa intraday dan
and Its variability compared acak Pasien
interday tanpa meningkatkan durasi
Complicatio with
ns 25 sulfonylurea in hipoglikemia dibandingkan dengan
(2011) 332– Taiwanese type 2 glibenclamide kombinasi metformin,
338 diabetic patients meskipun penurunan kadar glukosa
inadequately controlled secara keseluruhan tidak berbeda
with antara keduanya. Orang Asia biasanya
metformin: preliminary mengkonsumsi proporsi karbohidrat
data
yang lebih tinggi dalam makanan
mereka, dan ini kembali
mempengaruhi peran yang lebih
penting dari hiperglikemia
postprandial (Wang et al., 2011).
Acarbose, sebagai hasilnya, dapat
menjadi obat tambahan yang sesuai
untuk pasien diabetes tipe 2 yang tidak
cukup terkontrol dengan metformin
saja.
Pasien diabetes yang sedang diobati
dengan metformin dan yang
mentoleransi obat dengan baik dapat
European Metformin in patients terus meminumnya, bahkan ketika
3. Observasional 393
Journal of with type 2 diabetes gangguan ginjal ringan berkembang,
Internal mellitus: prospektif acak pasien mungkin hingga
Medicine reconsideration of kadar kreatinin serum 220 mmol / l.
13 (2002) traditional Tidak ada alasan yang jelas mengapa

31
Desain Sampe
No. Judul Kesimpulan
Tipe Jurnal Penelitian l
428–433 contraindications pasien dengan PJK, PJK, dan PPOK
harus dihentikan metformin.

Pada pasien dengan diabetes tipe 2,


Journal of Effects of metformin or 165 metformin mengurangi kadar
Diabetes rosiglitazone on serum Pasien folat dan vitamin B12 dan
4. and Its concentrations of meningkatkan Hcy. Sebaliknya,
Complicatio homocysteine, folate, rosiglitazone menurunkan level Hcy
ns 21 and vitamin B12 in dalam periode waktu ini. Signifikansi
(2007) 118 patients with type 2 klinis dari Temuan ini masih harus
– 123 diabetes mellitus diselidiki.

Dalam kelompok pasien dengan HF


5. Journal of Metformin Therapy and Kohort 401 dan DM sistolik lanjut, metformin
Cardiac Outcomes in Patients Pasien tampaknya aman dan dapat dikaitkan
Failure Vol. With Advanced dengan hasil klinis yang
16 No. 3 Systolic Heart Failure and
menguntungkan. Pasien gagal jantung
2010 Diabetes
dengan DM yang diobati dengan
metformin lebih sering mengalami
peningkatan pada LVEF, dan memiliki
ketahanan hidup yang lebih baik bebas
dari kematian atau transplantasi
jantung yang mendesak, dibandingkan
dengan pasien yang tidak diobati
dengan metformin, meskipun
hubungan tersebut tidak tetap
signifikan setelah penyesuaian
multivariabel. Namun, penelitian ini
hanyalah pengamatan dan dengan
demikian tidak dapat menyiratkan
hubungan kausatif. Temuan ini
menjamin uji klinis acak yang
dirancang dengan baik dan dirancang
dengan baik untuk menentukan
keamanan dan kemanjuran metformin,
serta agen sensitisasi in-sulin lainnya,
pada pasien dengan DM dan HF
sistolik yang ditingkatkan dan
ditambah.

Sulfonilurea monoterapi dikaitkan


6. Mayo Clin A Safety Comparison dengan risiko lebih tinggi untuk semua
Proc. of Metformin vs Studi Kohort 21.99 penyebab kematian, utama episode
2020;95(1): Sulfonylurea Initiation Retrospektif 6 hipoglikemik, dan kejadian
90-100 in Patients With Type Pasien kardiovaskular dibandingkan dengan

32
Desain Sampe
No. Judul Kesimpulan
Tipe Jurnal Penelitian l
2 Diabetes and Chronic metformin. Meski kehadirannya
Kidney Disease: A CKD dilemahkan manfaat mortalitas,
Retrospective Cohort metformin mungkin menjadi alternatif
Study yang lebih aman untuk sulfonilurea di
pasien dengan CKD.
pengobatan kombinasi dengan metformin
7. Metabolism, Combination Treatment Studi 88 dan
Vol 52, No 7 With Metformin and Komparatif, pasien glibenclamide lebih efektif daripada
(July), 2003: Glibenclamide Versus Acak, dan masing-masing obat ini saja
pp 862-867 Single-Drug Therapies in Double-Blind dalam meningkatkan kontrol glikemik
Type 2 Diabetes Mellitus: pada diabetes tipe 2, juga memungkinkan
A Randomized, pengurangan dosis masing-masing obat.
Double-Blind, Data ini akan
Comparative Study menunjukkan bahwa, pada pasien tidak
lagi responsif terhadap dosis rendah
monoterapi dengan sulfonylurea atau
metformin, kombinasinya
dengan dosis rendah agen oral kedua lebih
menguntungkan
dari dosis maksimal satu obat.

Penelitian ini menunjukkan tidak ada


8. Bone 135 Metformin therapy and Studi kohort 37.37 hubungan yang signifikan antara paparan
(2020) hip fracture risk among 8 metformin
115325 patients with type II pasien terapi dan patah tulang pinggul di antara
diabetes mellitus: A pasien dengan diabetes mellitus tipe II. Ini
population-based cohort menyarankan bahwa, meskipun diabetes
study tipe II telah dikaitkan dengan peningkatan
risiko patah tulang, penggunaan
metformin tidak terkait dengan risiko
patah tulang pinggul yang berkurang.

pasien dengan T2DM tetapi tanpa CKD


yang sebagian besar terpapar metformin
The Risk of TB in pada 2 awal tahun, didefinisikan sebagai
9. EO: CHEST- Patients With Type 2 Studi Kohort jurusan metformin, memiliki signifikan
17-2021 Diabetes Initiating 40.17 mengurangi risiko TB dibandingkan
Metformin Retrospektif 9 dengan sulfonilurea yang cocok
vs Sulfonylurea Paisen pembanding, didefinisikan sebagai jurusan
Treatment sulfonylurea. Jadi, mengenai risiko
pengembangan TB, temuan kami mungkin
menunjukkan bahwa metformin adalah
obat awal yang lebih baik daripada
sulfonilurea untuk pasien berisiko tinggi
dengan T2DM jika tidak kontraindikasi.
Nilai aditif metformin di meningkatkan
hasil perawatan pasien dengan DM
bersamaan dan TB aktif juga patut

33
Desain Sampe
No. Judul Kesimpulan
Tipe Jurnal Penelitian l
diteruskan belajar di masa depan.

Kemanjuran pioglitazone sebagai


10. Journal of Combination therapy with 328 tambahan terapi kombinasi (dengan
Diabetes and pioglitazone plus Pasien metformin atau sulfonilurea) kemungkinan
Its metformin lebih besar dari pada laporan sebelumnya,
Complication or sulfonylurea in patients karena hasil uji coba itu dipengaruhi oleh
s 17 (2003) with Type 2 diabetes rejimen pengobatan yang digunakan oleh
211 – 217 Influence of prior sebagian pasien
antidiabetic drug regimen sebelum pendaftaran. Percobaan agen
hipoglikemik oral harus dibangun dengan
hati-hati untuk mempertimbangkan efek
agen yang diberikan sebelum persidangan.

34
4.2 Karakteristik Pasien
Karakteristik pasien DM tipe 2 dari literatur jurnal yang diambil dalam
penelitian ini dapat dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, jenis obat, dan
jenis penyakit komplikasi atau penyakit penyerta.

4.2.1 Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam prevalensi DM
khususnya DM tipe 2. Pada literatur yang digunakan pada penelitian ini
menggambarkan pengelompokkan pasien berdasarkan karakteristik usia
dengan diagnosis diabetes melitus tipe 2 yang mendapat terapi antidabetik
dengan batasan usia 20 tahun keatas. Tujuh jurnal penelitian
menggambarkan karakteristik pasien berdasarkan usia pada penderita diabates
melitus tipe 2.

Tabel 4.3 Karakteristik pasien berdasarkan Usia

Kode
No. n Rentang Usia
Sampel
1 L2 40 45-62 tahun
2 L3 393 61-69 tahun
50-65 tahun
3 L4 165

4 L5 402 45-67 tahun

5 L6 21.996 38-70 tahun

6 L8 37.378 48-72 tahun

7 L9 40.179 45-71 tahun


n = jumlah sampel

Pada tabel 4.2 menggambarkan data umur pasien Diabetes Melitus


tipe 2 yaitu rentang usia yang sering terjadi, tetapi di jurnal tersebut
tidak menyebutkan berapa banyak penderita dari umur yang bisa
dilhat di dalam tabel diatas. Dapat disimpulkan rata-rata umur pasien
penderita Diabates Melitus yaitu > 45 tahun sampai 70 tahun.

35
(ADA, 2004), Menyatakan bahwa usia diatas 45 tahun merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya penyakit Diabetes Melitus tipe 2.
Orang yang mempunyai usia lebih dari 45 tahun dengan pengaturan
diet glukosa yang rendah akan mengalamai penyusutan sel-sel beta
pankreas. Sel beta pankreas yang tersisa pada umumnya masih aktif,
tetapi sekresi insulinnya semakin berkurang (Tjay dan Rahardja,
2003).

4.2.2 Jenis Kelamin


Karakteristik pasien penyakit diabates melitus tipe berdasarkan jenis
kelamin ada empat jurnal dalam penelitian ini, sebagai berikut :

Tabel 4.4 Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin


No. Kode Sampel n Laki-Laki Perempuan
1 L1 154 59 93
2 L2 40 17 23
3 L4 165 99 66
4 L7 88 56 32
n : jumlah sampel
Dari tabel 4.3 menyatakan bahwa perempuan mayoritas lebih banyak
terkena penyakit diabates melitus tipe 2 di bandingkan laki-laki.
Kondisi ini bisa disebabkan adanya perbedaan komposisi lemak
tubuh dan kadar hormon seksual antara perempuan dan laki-laki
dewasa. Kadar lemak normal pada laki-laki berkisar antara 15 - 20 %
sedangkan pada perempuan berkisar antara 20 - 25 % dari berat
badan (Ernawati, et al., 2004).

4.2.3 Penyakit komplikasi atau penyerta


Pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 ada sering di temukan penyakit
komplikasi atau penyakit penyerta yang diderita pasien sebelumnya. Dari
sepuluh jurnal yang ada empat dari jurnal tersebut menyatakan penyakit
komplikasi atau penyakit penyerta yang di derita pasien.

36
Tabel 4.5 Karakteristik pasien berdasarkan penyakit komplikasi atau
penyakit penyerta.

No. Kode Sampel Hasil Diagnosis


Diabetes (DM) lazim pada pasien dengan
gagal jantung (HF), dengan sekitar 25%
dari pasien gagal jantung kronis secara
keseluruhan, dan 44% pasien yang
dirawat di rumah sakit menderita DM.
Selain itu, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa DM dan
hiperglikemia berhubungan dengan HF
1 L5 onset baru, dengan 10% hingga 15%
peningkatan risiko pengembangan HF per
setiap unit peningkatan hemoglobin
glikosilasi (HgbA1c,%). Faktanya, DM
dan hiperglikemia sangat terlibat sebagai
penyebab perkembangan dari disfungsi
ventrikel kiri asimptomatik menjadi gagal
jantung simptomatik, peningkatan rawat
inap.
Lebih dari seperempat orang dengan
penyakit ginjal kronis (CKD) menderita
diabates tipe 2(T2D). Pasien dengan
CKD dan T2D memiliki peningkatan
risiko untuk pengembangan CKD,
2 L6
resistensi insulin dan hiperglikemia,
hipoglikemia-mia, dan morbiditas dan
moralitas kardiovaskular dibandingkan
dengan individu dengan T2D yang tidak
memiliki CKD.
Diabetes mellitus dikaitkan dengan
penurunan kualitas tulang karena efek
toksik dampak dari produk akhir
glikosilasi lanjutan, suatu urutan
hiperglikemia pada jaringan tulang,
kolagen, dan sistem mikrovaskuler
tulang. Kualitas tulang yang lebih rendah
3 L8
ini juga membuat pasien dengan diabetes
berisiko lebih tinggi mengalami patah
tulang pinggul, yang dikaitkan dengan
peningkatan angka kematian Karena itu,
pencegahan patah tulang pinggul
merupakan masalah penting pada pasien
diabetes.
4 L9 Di antara pasien yang didiagnosis TB,

37
No. Kode Sampel Hasil Diagnosis
DM adalah penyakit penyerta yang lazim
dan meningkatkan risiko hasil yang
buruk, termasuk kegagalan pengobatan,
kambuh, dan kematian. Sebagian besar
penelitian sebelumnya bertujuan untuk
meningkatkan hasil pada pasien dengan
DM yang mendapatkan TB aktif dengan
memperpanjang durasi pengobatan anti-
TB, memastikan kepatuhan, dan
menemukan terapi potensial.

Berdasarkan hasil tabel 4.4 data karakteristik pasien Diabetes Melitus tipe
2 berdasarkan penyakit komplikasi atau penyakit penyerta dari empat
jurnal menyatakan penyakit komplikasi atau penyakit penyerta dengan
penyakit yang berbeda yaitu ada DM dengan agal jantung, DM dengan
ginjal kronis, DM dengan patah tulang pinggul, dan DM dengan TB.

Menurut Shah, Digish et., al (2010), meskipun dijelaskan dengan baik


bahwa DM faktor risiko yang kuat untuk peningkatan morbiditas dan
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung, regimen medis yang optimal
untuk kontrol glukosa pada penderita diabetes dengan gagal jantung belum
pasti. Banyak obat yang bisa digunakan untuk menurunkan glukosa serum
memiliki efek teoritik atau efek samping yang jelas pada gagal jantung.
Misalnya, insulin dan sulfonilurea dapat menyebabkan peningkatan
aktivitas sistem saraf simpatis dan disfungsi en-dothelial, dan dengan
demikian berpotensi meningkatkan risiko kematian pada pasien dengan
gagal jantung.

Menurut Whitlock, Reid H et., al (2020), lebih dari seperempat orang


dengan penyakit ginjal kronis (CKD) menderita diabetes tipe 2 (T2D).
Pasien dengan CKD dan T2D memiliki peningkatan risiko untuk
pengembangan CKD resitensi insulin dan hiperglikemia, hipoglikemia,
dan morbiditas dan moralitas kardiovaskular dibandingkan dengan
individu dengan T2D yang tidak memiliki CKD. Dalam hal ini dokter

38
harus berhati-hati untuk mengimbangi kemanan dan efektivitas obat
antidiabetik karena penyakit ini berisiko tinggi.
Menurut Oh, Tak Kyu, (2020), Diabetes Melitus dikaitkan dengan
penurunan kulitas tulang karena efek toksik dari produk akhir glikosilasi
lanjutan, suatu urutan hiperglikemia pada jaringan tulang, kolagen, dan
sistem mikrovaskular tulang. Kualitas tulang yang lebih rendah ini juga
membuat pasien dengan diabetes berisiko lebih tinggi mengalami patah
tulang pinggul yang dikaitkan dengan peningkatan angka kematian.
Karena itu, pencegahan patah tulang pinggul merupakan masalah penting
pada pasien diabetes.

Menurut Pan, Sheng-Wei et., al (2017), Diabetes Melitus (DM)


merupakan penyakit metabolisme disfungsi kekebalan tubuh yang
mempengaruhi 8,5% populasi didunia, dengan peningkatan risiko TB tiga
kali lipat pada pasien ini dibandingkan pasien tanpa DM. Penelitian
sebelumnya bertujuan untuk meningkatkan hasil pada pasien dengan DM
yang mendapatkan TB aktif dengan memperpanjang durasi pengobatan
anti-TB, memastikan kepatuhan, dan menemukan terapi potensial. Namun,
untuk populasi berisiko tinggi ini, informasi tentang pengurangan
perkembangan TB terbatas.

4.2.4 Pola pengobatan Obat Anti Diabetik

Gambaran penggunaan obat antidiabetik pada pasien DM tipe 2 pada


jurnal yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat pada tabel 4.5.
Pada penelitian ini ada 10 jurnal yang memuat data penggunaan obat
antidiabetik. Golongan obat yang digunakan pada pengobatan DM tipe 2
pada pasien yaitu, golongan Biguanid, dan golongan Sulfonilurea, tapi
ada juga golongan Alpa-glukosidase inhibitor.

Golongan sulfonilurea mempunya mekanisme kerja yang sangat


kompleks yaitu merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi

39
insulin serta memperbaiki kerja perifer dan insulin sehingga dengan
demikian golongan sulfonilurea berguna dalam penatalaksanaan pasien
DM tipe 2 dimana pankreasnya masih mampu memproduksi inuslin.
Penggunaan golongan sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemi,
sehingga pengobatan dengan golongan ini dianjurkan dimulai dengan
dosis rendah (Perkeni, 2006).

Terapi kombinasi golongan sulfonilurea dan golongan biguanid sangat


dianjurkan bila sasaran pengendalian kadar glukosa darah puasa dan
sesudah makan belum tercapai dengan terapi sulfonilurea saja. Dosis
dimulai dengan dosis rendah kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respon. Penggunaan kombinasi beberapa antidiabetik lebih
dianjurkan daripada meningkatkan risiko toksisitas dan efek samping.
Dua atau lebih antidiabetik dengan mekanisme aksi yang berbeda bila
digunakan secara bersama dapat memberikan manfaat yang lebih baik
dalam mengontrol kadar glukosa darah (Perkeni, 2006).

Penggunaan antidiabetik pada penderita diabetes melitus tipe 2 merupakan


hal penting ketika pengaturan pola hidup tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Menurut ADA, antidiabetik golongan sulfonilurea dan
biguanid merupakan pilihan yang tepat untuk pasien DM tipe 2 dengan
tingkat keparahan ringan dan menengah. Golongan biguanid terbukti
mengurangi kejadian DM tipe 2 sebesar 37,5%, sedangkan golongan
sulfonilurea sebanyak 12,5%. Penggunaan insulin sebagai antidiabetik
berbeda antar individu, sehingga diperlukan penyesuain dosis pada tiap
pasien. Pasien DM pada awalnya memerlukan insulin kerja sedang,
kemuadian ditambah insulin kerja singkat untuk mengatasi
hiperglikemia setelah makan (Anonim, 2000).

40
Tabel 4.6 pola berdasarkan penggunaan obat antidiabetes
No. Golongan obat Jenis obat Jumlah jurnal Kode jurnal
1. Biguanid Metformin 3 L3
L4
L5
L8
2. Alpa-glukosidase Acarbose 1 L2
inhibitor
3. Thiazolidinedione Rosigliatzone 1 L4
4. Kombinasi Biguanid + sulfonilurea 5 L1
L2
L6
L7
L10

4.3 Evaluasi penggunan obat antidiabetes berdasarkan jurnal golonan


biguanid dan sulfonilurea pada pasien diabetes melitus tipe 2.

4.3.1 Efficacy of glimepiride/metformin combination versus


glibenclamide/ metformin in patients with uncontrolled type 2 diabetes
mellitus.

Tabel 4.7 Karakteristik Dasar


Glibenklamid/ Glibenklamid/ p
Metformin Metformin
Systolic BP (mmHg) 124±12 124±17 0,882
Diastolic BP (mmHg) 79±10 76±9 0,054
BMI (kg/m2) 29.6±4.3 29.5±4.1 0,910
Waist-hip ratio 0.92±0.06 0.92±0.06 0,864
Fasting glucose (mmol/1) 11.9±3.1 11.7±4.1 0,645
Postprandial glucose (mmol/1) 17.5±4,6 16.8±5.2 0,427
AIC (%) 9.6±1.6 9.4±1.8 0,473
HDL cholesterol (mmol/1) 1.1±0.2 1.1±0.3 0,519
Triglycerides (mmol/1) 2.8±2.3 2.6±1.7 0,648

41
Berdasarkan tabel 4.7 tersebut karakteristik pasien Diabetes Melitus pada
penelitian tersebut terdiri dari kelompok Glibenclamid / Metformin termasuk
48 wanita dan 28 pria ( P = 0,410 ). Tidak ada perbedaan usia yang signifikan
antara kelompok Glibenclamid dan Glimepiride (52,9 ± 7,6 tahun vs 52,3 ±
7,6 tahun, P = 0,618). Glimeprid/Metformin menunjukkan kemanjuran
yang lebih besar dalam mencapai tujuan metabolisme kontrol glikemik
dengan lebih sedikit kejadian hipoglikemik pada pasien dengan diabetes
melitus tipe 2 yang tidak terkontrol dibandingkan dengan
Glibenkalmid/Metformin.

4.3.2 The benefificial effect of α-glucosidase inhibitor on glucose


variability compared with sulfonylurea in Taiwanese type 2 diabetic
patients inadequately controlled with metformin: preliminary data

Tabel 4.8 Karakteristik pasien pada pengacakan dan akhir studi

Kelompok perlakuan Glibenklamid (n=20) Acarbose (n=20)


Acak Titik akhir Acak Titik akhir
Umur (tahun) 53.9±8.5 51.5±8.0
Jenis (L/P) 10/10 13/7
Durasi DM (tahun) 7.0±4.8 5.7±4.2
BW (kg) 66.9±12.9 67.7±13.4 71.9±9.1 70.5±10.3
SBP (mmHg) 25.6±3.7 25.8±3.9 26.4±2.9 25.8±3.4
DBP (mmHg) 127.6±17. 126.9±18.2 127.6±17. 129.2±18.3
1 9
Hemoglobin (g/dl) 74.5±9.7 73.3±11.8 80.5±9.7 79.5±9.0
HbA1c (%) 13.9±2.1 13.8±1.9 14.3±1.1 14.1±1.2
Kreatinin (mg/dl) 8.7±1.6 7.5±1.2 8.2±0.8 7.3±0.7
TC (mg/dl) 0.75±0.18 0.74±0.20 0.84±0.32 0.83±0.27
HDL-C (mg/dl) 169.8±29. 161.9±34.7 179.2±32. 178.1±27.5
2 4
LDL-C (mg/dl) 50.3±10.7 47.9±10.2 49.6±7.9 47.4±5.5
Trigliserid (mg/dl) 100.2±24. 95.3±27.5 110.2±24. 112.0±20.0
3 7
Kepatuhan pengobatan 132.2±70. 78.6±16.5 112.9±37. 93.1±33.7
(%) 2 2
Efek buruk (n) 78.6±16.5 82.5±13.3
Hipoglikemia simtomatik 3 0

42
Pusing dan sakit kepala 2 0
Dipsnea 1 0
Infark miokard akut 1 0
Sakit bahu 1 0
Distensi perut 0 1
Sakit pinggang 0 1
Pendarahan saluran cerna 1 0
bagian atas

Berdasarkan tabel 4.8 karakteristik pasien Diabetes Melitus pasien tersebut 20


pasien menggunakan acarbose (7 laki-laki dan 13 perempuan) dan 20 pasien
menggunakan Glibenklamid (10 laki-laki dan 10 perempuan). Level baseine
HbA1c dan penguranagan nilai HbA1c selama berjalan 8 minggu tidak berbeda
antara dua kelompok. (8,2 ± 0,8 vs 8,7 ± 1,6 dan −0,9 ± 0,7 vs −1,3 ± 0,8,
keduanya P>.1). penelitian ini menunjukkan bahwa acarbose terapi kombinasi
metformin lebih efektif dalam mengurangi variabilitas glukosa intraday dan
interday tanpa meningkatkan durasi hipoglikemia dibandingkan dengan
glibenclamide-kombinasi metformin, meskipun penurunan kadar glukosa secara
keseluruhan tidak berbeda antara keduanya.

4.3.3 Metformin in patients with type 2 diabetes mellitus: reconsideration of


traditional contraindications

Tabel 4.9 Karakteristik dasar dari 393 pasien dengan diabetes melitus tipe 2
awalnya diobati dengan metformin
Karakteristik Berhenti metformin Lanjut metformin (n=195)
(n=198)
Umur (tahun) 64±4 65±4
Gender (M/F) 102/96 103/92
Durasi DM (tahun) 14±4 15±3
Peroko (n) 31 33
Masa indeks tubuh (kg/m2) 28.4±0.6 28.7±0.7
HbA1c (%) 8.6±0.4 8.6±0.5
Kreatinin serum (µmol/1) 161±9 163±7
Rasio albumin/kreatinin urin (mg/g) 46±11 48±9
Asam laktat serum (mmol/1) 1.5±0.3 1.5±0.4
Tekanan darah sistolik (mmHg) 144±5 143±6
Tekanan darah diastolik (mmHg) 83±2 82±2
Kolesterol LDL plasma (mmol/1) 3.60±0.1 3.58±0.1

43
Kolesterol HDL plasma (mmol/1) 1.05±0.03 0.98±0.02
Trigliserida HDL plasma (mmol/1) 2.1±0.08 2.05±0.07
Retinopati diabetik (total/poliferatif) 66/22 63/21
Bisul kaki (n) 12 14

Berdasarkan tabel 4.9 tidak ada perbedaan dalam parameter dasar anatara dua
kelompok usia rata-rata adalah 64-65 tahun, indeks masa tubuh masing-masing
28,4 dan 28,7 kg/m. HbA rata-rata 1c 8,6% pada kedua kelompok dan kreatinin
serum 161 dan mmol/1, masing-masing. Rerata dan distribusi kadar asam lakat
dalam darah juga sangat mirip pada kedua kelompok (1,5±0,3 dan 1,56±0,4
mmol/1). juga tidak ada perbedaan antara kelompok dalam tingkat tekanan darah,
nilai lipid plasma, dan tingkat komplikasi diabetes mikrovaskular.

4.3.4 Effects of metformin or rosiglitazone on serum concentrations of


homocysteine, folate, and vitamin B12 in patients with type 2 diabetes
mellitus.

Tabel 4.10 Karakteristik dasar pasien dengan diabetes sebelum


pengobatan metformin (Grup 1). rosiglitazone (Grup 2), atau kontrol
(Grup 3)
Grup 1 (n=74) Grup 2 (n=55) Grup 3 (n=36) p
Jenis 43 F/31 M 35 F/20 M 21 F/15 M NS
Umur (tahun) 58.36±7.58 57.92±8.67 59.06±3.08 NS
BMI 29.10±3.32 29.63±3.40 28.49±3.4 NS
Berat (kg) 77.66±6.90 78.05±6.62 77.82±2.5 NS
Hcy (µmol/1) 11.95±3.95 13.06±3.92 11.33±1.51 NS
Asam folat (nmol/L) 10.06±5.16 10.86±4.86 8.58±2.53 NS
Vitamin B12 310.4±149.5 306.0±116.8 265.9±39.82 NS
(insulin pmol/L)
HOMA 2.55±1.35 2.62±1.46 2.93±1.09 NS
Total-C 206.7±32.4 202.4±26.2 204.52±35.1 NS
LDL 131.8±32.4 129.1±25.2 135.39±37.4 NS

44
HDL 48.52±8.82 50.43±6.87 47.39±9.3 NS
TG 186.6±54.9 189.7±61.6 188.16±53.3 NS
Microalbuminuria 13.93±16.69 14.84±17.40 10.78±11.04 NS
HbA1c 6.65±1.11 6.54±0.66 6.95±1.26 NS

Pada tabel 4.10 menunjukkan karakteristik dasar pasien di awal fase


pengobatan akttif jangka pendek. Pasien diacak untuk menerima metformin
atau rosiglitazone. Semua karakteristik dasar sebanding dengan antara ketiga
kelompok. Pada pasien diabetes tipe 2, metformin mengurangi kadar folat
dan vitamin B12 dan meningkatkan Hcy. Sebaliknya, rosiglitazone
menurunkan level Hcy.

4.3.5 Metformin Therapy and Outcomes in Patients With Advanced


Systolic Heart Failure and Diabetes.

Tabel 4.11 Karakteristik dasar dari kohort

Karakteristik Total Penggunaan Tanpa


kohort metformin metformin P value
(n=401) (n=99) (n=302)
Umur 56±11 56±11 56±11 0.960
Pria, % 75 79 73 0.266
Fraksi ejeksi ventrikel kiri, % 24±7 24±7 24±7 0.860
New york heart association III/ 42/45 56/29 37/49 0.016
IV,%
Indeks massa tubuh, kg/m2 28.1±5.4 29.2±6.1 27.7±5.2 0.027
VO puncak, mL.kg.min 12.3±3.9 13.2±3.5 11.9±4.0 0.030
Penyakit arteri koroner, % 60 59 60 0.813
Hipertensi. % 60 59 60 0.767
Riwayat meroko, % 57 52 59 0.192
Riwayat diabetes, y (n=223) 9.9±9.0 6.1±6.0 11.3±9.5 0.0001
Hemoglobin A1c, % 8.2±2.0 8.2±1.8 8.1±2.1 0.799
Kolesterol total, mg/dL 164±61 169±54 162±63 0.388
Kreatinin, mg/dL 1.5±1.0 1.2±0.4 1.6±1.1 0.0001
Tahap penyakit ginjal kronis, %
0-1 7.4 12.5 5.7 0.0001
2 35.4 59.4 27.3
3 44.2 20.8 52.1
4 11.1 7.3 12.4
5 1.9 0 2.5

45
Nitrogen urea darah, mg/dL 34±22 27±19 36±22 0.0001
Hemoglobin, g/dL 12.9±1.9 13.6±1.7 12.6±2.0 0.0001
Hemoglobin <11 g/dL, % 17.2 5.8 20.9 0.001
Albumin,g/dL 3.7±0.6 3.9±0.5 3.6±22 0.001
Sodium, mmol/L 136±5 137±4 136±5 0.029
Peptida natriuretik tipe B, pg/mL 534 (199- 489 (115- 639 (257- 0.037
(n=191) 1200) 925) 1300)
Durasi QRS, ms 130±39 123±33 132±40 0.093
Defibrillator kardioverter implan, 44 54 41 0.017
%
Alat pacu jantung biventrikular,% 17 21 16 0.141

Pada tebal 4.11 menyatakan ada 99 pasien (25%) diobati dengan terapi
metformin, dan 302 pasien (75%) yang diobati dengan hipoglikemik oral atau
insulin alternatif yang tidak menggunakan metformin. Perbedaan karakteristik
pasien diantara mereka yang menggunakan atau tidak pada pengobatan
metformin. 2 kelompok itu serupa sehubungan dengan usia jenis kelamin, LVEF
awal, riwayat medis, dan HgbA1c awal. Pasien yang diobati dengan metfromin
dibandingkan yang tidak diobati dengan metformin lebih sering NYHA III dan
memiliki kadar kreatinin serum yang lebih rendah.

4.3.6 Safety Comparison of Metformin vs Sulfonylurea Initiation in


Patients With Type 2 Diabetes and Chronic Kidney Disease: A
Retrospective Cohort Study.

Tabel 4.12 Karakteristik dasar


Karakteristik Metformin Sulfonilurea SMD
(n=19,990) (n=2006)
Demografi
Usia (y), mean ± SD 54.7±16.1 61.8±16.8 0.355
Jenis kelamin (P) % 9827 (49.2%) 912 (45.5%) 0.060
Kategori eGFR 94±23 78±32 0.480
(mL/min/1.73 m2) mean
± SD
≥90, n (%) 112.307 (61.6%) 865 (43.1%) 0.308
60-89, n (%) 6030 (30.2%) 530 (26.4%) 0.067
45-59, n (%) 1155 (5.8%) 220 (11.0%) 0.161

46
30-44, n (%) 408 (2.0%) 234 (11.7%) 0.360
<30, n (%) 90 (0.5%) 157 (7.8%) 0.366
Hasil laboratorium dasar
Hemoglobin A1c (%) 8.2±2.2 8.7±2.3 0.183
Tersedia, n (%) 9723 (48.6%) 930 (46.6%) 0.037
Kolesterol total (mmol/L) 5.0±1.2 4.8±1.3 0.132
Tersedia, n (%) 8050 (40.3%) 694 (34.6%) 0.095
ACR urin (mg/mol) 1.3 (0.5-4.6) 2.4 (0.6-15.3) 0.353
Tersedia, n (%) 6451 (32.3%) 717 (35.7%) 0.060
Hemoglobin (g/L) 140±18 134±21 0.242
Tersedia, n (%) 17.785 (89.0%) 1859 (92.7%) 0.102
Kondisi komorbiditas awal n (%)
Penyalahgunaan alkohol 1124 (5.6%) 117 (5.8%) 0.007
Amputasi 73 (0.4%) 17 (0.8%) 0.054
Asma 3542 (17.7%) 343 (17.1%) 0.013
COPD 2648 (13.2 %) 337 (16.8%) 0.083
Penyakit kardiovaskular 6367 (31.9%) 925 (46.1%) 0.244
Demensia 815 (4.1%) 147 (7.3%) 0.120
Hipertensi 12.221 (61.1%) 1402 (69.9%) 0.150
Hiperlipidemia 7048 (35.3%) 638 (31.8%) 0.060
Penyakit hati 1593 (8.0%) 185 (9.2%) 0.037
Keganasan 2953 (14.8%) 416 (20.7%) 0.131
Penyakit mikrovaskular 3855 (19.3%) 591 (29.5%) 0.200
Obesitas 2153 (10.8%) 154 (7.7%) 0.085

Pada tabel 4.12 menyatakan bahwa pengguna metformin dibandingkan sulfonilura


lebih tua yaitu berusia sekitar (45-78 tahun vs 38-70 tahun; SMD>0,1) dan sedikit
lebih mungkin untuk menjadi wanita 45,5% vs 49,2%. Kelompok sulfonilurea
juga memiliki fungsi ginjal rata-rata yang lebih rendah. Pengguna sulfonilurea
juga memiliki penyakit anemia, albuminuria, dan hemoglobin A yang lebih tinggi
1c tingkat dari pengguna metformin (SDM>0,1). ketersediaan hasil tes
laboratorium bervariasi berdasarkan tes. Pada kelompok sulfonilurea memiliki
lebih banyak kondisi komorbiditas, khususnya proporsi yang lebih tinggi dari
penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan penyakit mikrovaskular.

4.3.7 Combination Treatment With Metformin and Glibenclamide Versus


Single-Drug Therapies in Type 2 Diabetes Mellitus: A Randomized, Double-
Blind, Comparative Study

Tabel 4.13 Karakteristik dasar pasien diabetes yang menyelesaikan studi di


dua kelompok perawatan

47
Metformin/kombinasi Glibenklamid/kombinasi
Subjek 39 41
Jenis (M/F) 23/16 28/13
Umur (tahun) 57.8±7.4 57.3±7.2
BMI (kg/m2) 27.0±2.9 26.9±2.5
Durasi diabetes (tahun) 9.9 (4-14) 10.4 (3.7-15.5)
Glukosa plasma puasa 221 (184-263) 239 (185-277)
(mg/dL)
Insulin puasa (mU/L) 9.7 (6.6-11.9) 10.6 (7.1-12.2)
HbA1c (%) 7.8 (7.0-8.7) 8.2 (7.2-9.1)
Fungsi sel beta by HOMA 25.6 (14.2-39.9) 26.5 (12.2-33.6)
Resistensi insulin by 5.3 (3.5-6.1) 6.0 (3.9-7.4)
HOMA

Pada tabel 4.13 menyatakan 8 dari 81 pasien yang menyimpulkan kedua


pengobatan diperkirakan dalam analisi pengobatan. Karakteristik klinis dan
biokimia awal pada subyek ini. 1 pasien pada penelitian ini dikeluarkan dari
analsis ini, karena pasien tersebut membutuhkan terapi insulin yang panjang
(untuk kolesistekomi). Pada 39 pasien yang menerima metformin saja yang
menyelesaikan penelitian, dosis rata-rata adalah 1.530±613 mg/hari dan dosis
maksimusm dicapai pada 21 pasien (53.8%), hanya 8 dari subyek ini (20,5%)
yang membutuhkan dosis maksimal ketika mereka menggunakan pengobatan
kombinasi. Pada 41 pasien yang menerima glibenklamid saja, dosis rata-rata
8,66 ± 2,40 mg/hari dan dosis maksimal dicapai pada 25 subyek (61,0%), 15
dari subyek ini (36,6%) menerima dosis maksimal ketika mereka
menggunakan pengobatan kombinasi. Dosis rata-rata selama pengobatan
kelompok -kelompok ini adalah metformin 912 ± 465 dan glibenklamid 5.70
± 2.90 mg/ pada kelompok 1, dan metformin 1095 ± 506 dan glibenklamid
6,84 ± 3,16 mg/d.

48
Gambar 1. Perbandingan HbA1c dan kadar glukosa plasma puasa pada pasien yang diobati dengan metformin dan
metformin glibenklamid (kiri) atau glibenklamid dan metformin (kanan)

Pada gambar 1 menunjukkan HbA1c dan nilai rata-rata glukosa plasma puasa
pada kelompok perlakuan selama seluruh penelitian. Secara
keseluruhan,terapi kombinasi terbukti secara signifikan lebih efektif
daripada metformin.

49
Gambar 2. Perbandingan persentase keberhasilan (puasa plasma puas < 140 mg/dl, HbA1c <6%) dengan monoterapi atau
kombinasi pada setiap kelompok perlakuan.

Pada gambar 3 kemanjuran pengobatan kombinasi pada parameter kontrol


glikemik dibandingkan dengan terapi obat tunggal dalam keberhasilan atau
kegagalan pada setiap pasien. Empat (9,8%) subjek yang menerima
metformin saja di bandingkan menerima pengobatan kombinasi, dan yang
menerima glibenklamid dibandingkan yang menerima pengobatan
kombinasi.

4.3.8 Metformin therapy and hip fracture risk among patients with type
II diabetes mellitus: A population-based cohort study

Tabel 4.14 Perbandingan karakteristik sebelum dan susudah antara


pengguna metformin dan kelompok kontrol di antara pasien DM tipe 2
Variabel Seluruh kelompok (n=64,878) PS-matched kohort (n=37,378
Metformin Kontrol ASD Metformin kontrol ASD
n=31,300 n=32,439 n=18,689 n=18,689
Umur, tahun 60.9 (11.9) 60.7 (13.6) 0.019 60.7 (12.1) 60.9 (13.3)
Jenis, (L) 16,422 (52.5) 15,739 (48.5) 0.079 9669 (51.7) 9716 (52.0)
Tingkat pendapatan
1 pendapatan rendah 2523 (8.1) 2516 (7.8) 1478 (7.9) 1466 (7.8)
2 1736 (5.5) 1672 (5.2) 0.017 998 (5.3) 985 (5.3)
3 1918 (6.1) 2026 (6.2) 0.005 1134 (6.1) 1155 (6.2)
4 2135 (6.8) 2121 (6.5) 0,011 1246 (6.7) 1251 (6.7)
5 2269 (7.2) 2335 (7.2) 0.002 1323 (7.1) 1324 (7.1)
6 4956 (15.8) 5436 (16.8) 0.025 2884 (15.4) 2938 (15.7)
7 3164 (10.1) 3116 (9.6) 0.017 1928 (10.3) 1858 (9.9)
8 3529 (11.3) 3571 (11.0) 0.008 2111 (11.3) 2121 (11.3)
9 4122 (13.2) 4324 (13.3) 0.005 2523 (13.5) 2494 (13.3)
10 pendapatan tinggi 4950 (15.8) 5322 (16.4) 0,016 3064 (16.4) 3097 (16.6)
Tempat tinggal
Ibukota (seoul) 6060 (19.4) 6481 (20.0) 3819 (20.4) 3793 (20.3)
Kota metroplitan 7721 (24.7) 7830 (24.1) 0.012 4714 (25.2) 4612 (24.7)
Lainnya 17.519 (56.0) 18.128 (55.9) 0.002 10.156 (54.3) 10.284 (55.0)
Indeks komorbiditas 4.3 (2.3) 4.2 (2.5) 0.055 4.1 (2.4) 4.1 (2.3)
charslon
Gagal jantung kongestif 2604 (8.3) 3192 (9.8) 0.055 1634 (8.7) 1588 (8.5)
Penyakit paru kronis 11.416 (36.5) 13.488 (41.6) 0.011 6922 (37.0) 7022 (37.6)
Penyakit 6017 (19.2) 6994 (21.6) 0.059 3642 (19.4) 3723 (19.9)

50
serobrovaskular
Demensia 247 (0.8) 350 (1.1) 0.033 164 (0.9) 167 (0.9)
DM dengan komplikasi 17.758 (56.7) 10.936 (33.7) 0.465 8765 (46.9) 9006 (48.2)
kronis
Hemi- atau paraplegia 690 (2.2) 1047 (3.2) 0.070 490 (2.6) 497 (2.7)
Tumor padat metastatik 322 (1.0) 552 (1.7) 0.067 239 (1.3) 234 (1.3)
Infark miokard 1127 (3.6) 1405 (4.3) 0.039 720 (3.9) 710 (3.8)
Penyakit hati ringan 13.595 (43.4) 14.481 (44.6) 0.024 8100 (43.3) 8026 (42.9)
Penyakit tukak lambung 12.464 (39.8) 14.720 (45.4) 0.113 7536 (40.3) 7608 (40.7)
Penykit pembuluh darah 9397 (30.0) 8490 (26.2) 0.084 5259 (28.1) 5185 (27.7)
perifer
Penyakit ginjal 656 (2.1) 1778 (5.5) 0.236 543 (2.9) 550 (2.9)
Penyakit rematik 1953 (6.2) 2576 (7.9) 0.070 1245 (6.7) 1227 (6.6)
Penyakit hati sedang 631 (2.0) 859 (2.6) 0.045 402 (2.2) 394 (2.1)
atau berat
Keganasan apapun 2745 (8.8) 3772 (11.6) 0.101 1806 (9.7) 1818 (9.7)
Penggunaan obat lain
Sulfonilurea 17.920 (57.3) 7961 (24.5) 0.0661 7935 (42.5) 7880 (42.2)
Inhibitor alfa- 7000 (22.4) 1785 (5.5) 0.405 2429 (13.0) 1777 (9.5)
glukosidase
Tiazolidinediones 2917 (9.3) 1572 (4.8) 0.154 1654 (8.9) 1535 (8.2)
Insulin 1360 (4.3) 1050 (3.2) 0.054 744 (4.0) 826 (4.4)
Bifosfonat 1547 (4.9) 2098 (6.5) 0.070 1035 (5.5) 1010 (5.4)
Glukokortikoid 321 (1.0.) 436 (1.3) 0.032 217 (1.2) 213 (1.1)

Pada tabel 4.14 menyatakan perbandingan antara metformin dan kelompok


kontrol sebelum dan sesudah. Semua ASD < 0,1 setelah itu menunjukkan
bahwa kedua kelompok seimbang. Sebanyak 64.878 pasien (31.300 pasien
dalam kelompok metformin dan 32.439 pasien dalam kelompok kontrol).
Diantara mereka, 1.655 pasien (2,6%) mengalami patah tulang pinggul.
Penggunaan terhadap metformin tidak signifikan. Hasilnya menunjukkan
bahwa tidak ada signifikan antara pengobatan terapi metformin dan patah
tulang pinggul pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2.

4.3.9 The Risk of TB in Patients With Type 2 Diabetes Initiating


Metformin vs Sulfonylurea Treatment

51
Tabel 4.15 Karakteristik pengobatan metformin dan sulfonilurea
sebelum dan sesudah

Sebelum pengobatan Setelah pengobatan


Metformin Sulfonilurea Metformin Sulfonilurea
P value
n=5.024 n=4,452 n=3,161 n=3,161
Umur, tahun 57.3±13.1 59.1±12.5 <0.001 58.5±12.5 58.8±12.3
Jenis, L 2,482 (49) 2,357 (53) 0.001 1,609 (51) 1,628 (52)
Nilai aDSCI 0.5±1.0 0.5±1.0 0.821 0.5±0.9 0.6±1.0
Tahun indeks
2003-2004 691 (14) 1,490 (33) <0.001 662 (21) 662 (21)
2005-2006 860 (17) 1,142 (26) <0.001 769 (24) 769 (24)
2007-2008 1,110 (22) 927 (21) 0.139 849 (27) 849 (27)
2099-2011 2,363 (47) 892 (20) <0.001 881 (28) 881 (28)
Berpenghasilan 1,773 (35) 2,062 (46) <0.001 1,258 (40) 1,315 (42)
rendah
Daerah pedesaan 414 (8) 549 (12) <0.001 270 (9) 382 (12)
Dosis obat statin, 1.2±2.3 0.8±1.8 <0.001 1.1±2.2 1.0±2.0
60-cDDD/awal 2
tahun
Penggunaan 294 (6) 389 (9) <0.001 199 (6) 246 (8)
insulin
Komorbiditas
Penyakit korener 455 (9) 398 (9) 0.857 303 (10) 289 (9)
arteri
Penyakit 316 (6) 247 (6) 0.139 206 (7) 176 (6)
serebrovaskular
Keganasan 156 (3) 119 (3) 0.220 99 (3) 80 (3)
COPD 171 (3) 170 (4) 0.294 111 (4) 119 (4)
Asma 146 (3) 117 (4) 0.416 95 (3) 93 (3)
Sirosis hati 25 (0.5) 54 (1) <0.001 19 (1) 35 (1)
Radang sendi 33 (1) 31 (1) 0.900 17 (1) 23 (1)
Tindak lanjut 5.5±2.4 7.0±2.5 <0.001 6.3±2.5 6.4±2.5
Pengembangan 16 (0.3) 45 (1) <0.001 11 (0.3) 32 (1)
TB

52
Pada tabel 4.15 menyatakan metformin meningkat seiring tahun-tahun
indeks berlalu dan golongan sulfonilurea menurun dari waktu ke waktu.
Setelah pencocokan, usia, jenis kelamin, skor DCSI, dan tahun indeks
tidak berbeda secara statistik antara kedua kelompok yang cocok.
Riwayat TB, AIDS, dan penyakit ginjal selain CKD kira-kira sama
dengan kedua kelompok. Penggunaan metformin dalam 2 tahun awal
dikaitkan dengan penurunkan risiko TB, dan pengguna metformin
memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan sulfonilurea.

4.3.10 Combination therapy with pioglitazone plus metformin or


sulfonylurea in patients with Type 2 diabetes Influence of prior
antidiabetic drug regimen

Tabel 4.16 Perubahan parameter glikemik dan lipid darah selama


percobaan pioglitazone plus terapi kombinasi metformin
Placebo dan metformin Pioglitazone 30mg dan metfromin
Sebelum MET Sebelum MET Sebelum MET Sebelum MET dan
monoterapi dan SU (n=43) monoterapi SU (n=45)
(n=106) (n=116)
FPG (mg/dl)
baseline 250±7 294±13 244±7 288±12
16 minggu 241±5 304±8* 198±5* 242±7*
Dari baseline -3±5 19±8* -46±5* -43±7*
Insulin puasa (mg/dl)
Baseline 16±1.1 11.4±1.8 15.5±1.1 13±1.6
16 minggu 16.4±0.8 11.4±1.5 13.1±0.8 12.9±1.3
Dari baseline 0.6±0.8 -1.6±1.5 -2.6±0.8* -0.1±1.4
Trigliserida (mg/dl)
Baseline 274±32 336±56 296±30 351±49
16 minggu 248±0.8 351±36 231±13 273±31
Dari baseline -41±14* 20±34 -37±13* -38±31
% dari baseline 6.8±4.4 5.7±9.7 -9.3±4.1*,** -10.7±8.4
Total kolesterol (mg/dl)
Baseline 208±5 225±9 213±5 218±8
16 minggu 206±3 224±6* 220±3 220±6
Dari baseline -5±3 -5±6 8±3* 0.3±6
% dari baseline -0.2±1.5 2.3±2.9 5.5±1.4*,** 0.5±2.5
HDL (mg/dl)
Baseline 42.4±1.2 39.5±2.4 44.3±1.2 39.5±1.9
16 minggu 43.4±0.7 42.4±1.6 46.7±0.7 43.4±1.3

53
Dari baseline 0.2±0.7 -1.7±1.6 3.4±0.7* 2.7±1.3*
% dari baseline 1.4±1.8 11.6±3.7* 9.8±1.7*,** 13.2±3.0*
LDL (mg/dl)
Baseline 119±4 120±7.7 117±4 129±6.6
16 minggu 120±2 131±4 124±2 127±4
Dari baseline 2±2 7±4 7±2* 3±4
% dari baseline 2.8± 5.9±4.0 10.9±2.8*,** 3.6±3.4

Tabel 4.17 Perubahan parameter glikemik dan lipid darah selama


percobaan terapi kombinasi pioglitazone plus sulfonilurea
Placebo dan SU Pioglitazone 15 mg dan SU Pioglitazone 30 mg dan SU
Sebelum SU Sebelum Sebelum SU Sebelum SU Sebelum SU Sebelum SU
monoterapi SU dan monoterapi dan MET monoterapi dan MET
(n=168) MET (n=153) (n=24) (n=159) (n=22)
(n=12)
FGP (mg/dl)
Baseline 236±5 254±22 243±5 273±5 234±5 265±18
16 minggu 242±4 284±16 200±4* 242±11* 185±4* 233±13
Dari baseline 6±4 14±16 -37±4* -28±11* -52±4* -37±13*
Insulin puasa (mg/dl)
Baseline 20.7±1.1 18.0±4 18.3±1.2 15.2±2.4 17.7±1.1 14.9±2.7
16 minggu 18.8±0.7 15.9±2.3 17.2±0.8 12.1±1.5 1.5.8±0.7 12.1±1.6
Dari baseline -0.2±0.7 1.7±2.3 -1.7±0.8* -2.1±1.5 -3.1±0.7* -2.2±1.6
Triglisirida (mg/dl)
Baseline 258±22 304±64 274±23 278±42 263±22 253±46
16 minggu 256±13 111±56* 238±14 205±38 205±14 201±42
Dari baseline -15±13 156±59 -33±14* -50±38 -66±14 -53±42
% dari baseline 6.1±3.4 49.4±18.2 -4.9±3.6** -9.7±12** -14.5±3.5*,** -11.9±13**
Kolesterol total (mg/dl)
Baseline 210±4 244±22 213±4 220±9 215±4 207±10
16 minggu 218±3 245±12 213±3 222±8 218±3 209±8
Dari baseline 5±3 32±13 0±3 9±8 5±3 -4±8
% dari baseline 2.9±1.3* 16.9±5.7* 1.4±1.3 6.3±3.5 3.3±1.3* -1.7±3.8**
HDL (mg/dl)
Baseline 43.1±0.9 46.2±4.5 41.8±1.0 39.5±2.8 41.7±0.9 43.2±3.0
16 minggu 41.3±0.6 43.2±0.6 43.3±0.6 42.9±1.1 46.4±0.6 42.4±1.2
Dari baseline -0.9±0.6 3.8±1.8 1.1±0.6 1.5±1.1 4.3±0.6* 1.0±1.2
% dari baseline -0.5±1.5 8.6±4.8 4.0±1.6*,** 4.9±2.9 12.8±1.5*,** 4.5±3.2
LDL (mg/dl)
Baseline 122±3 149±16 131±3 140±11 136±3 124±12
16 minggu 130±2 134±11 127±2 136±7 133±2 129±7
Dari baseline 6±2 3±11 3±2 3±7 7±2 -3±7
% dari baseline 7.0±1.7* 5.3±8.9 4.8±1.8* 6.7±5.9 8.1±1.8* -1.6±6.2

54
Tabel 4.16 dan 4.17 menunjukkan perubahan parameter kemanjuran lainnya
selama dua percobaan. Efek pioglitazone secara efektif menurunkan FCG
terlepas dari rejimen terapi sebelum perekrutan (tabel 4.15). Dalam
percobaan pioglitazone plus metformin, terapi pioglitazone dikaitkan dengan
penurunan signifikan kadar insulin puasa di antara kelompok pasien yang di
rekrut saat menjalani monoterapi metformin (tabel 4.16). Namun, tidak ada
perubahan siginifikan yang terkait dengan pioglitazone diantara mereka yang
direkrut saat menggunakan kombinasi metformin plus sulfonilurea.
Kecenderungan yang serupa yang diamati pada kelompok terapi pioglitazone
plus sulfonilurea, meskipun perbedaannya kurang jelas. Perubahan kadar
lipid serum selama percobaan tidak tergantung pada terapi antidiabetik (tabel
4.15 dan 4.16). Namun, pasien dalam kelompok plasebo pioglitazone plus
sulfonilurea menunjukkan peningkatan rata-rata besar dalam trigliserida
serum selama uji coba. Observasi ini menunjukkan bahwa kelompok pasien
ini mengalami penurunan kontrol metabolik setelah penarikan metformin
selama periode penyaringan.

4.4 Keterbatasan penelitian


Penelitian ini hanya bersifat studi literatur yaitu melakukan studi dari
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Parameter dalam evaluasi
penggunaan obat anti diabetik berdasarkan golongan obat yaitu golongan
biguanid dan sulfonilurea. Keterbatasan literatur dengan membandingkan
kedua golongan obat dikarenakan pengambilan data pada penelitian secara
studi literatur.

55
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian studi literatur yang dilakukan tentang evaluasi
penggunaan obat antidiabetes golongan Biguanid dan Sulfonilurea pada
pasien diabetes melitus dapat disimpulkan :
1. Hasil evaluasi penggunaan obat antidiabetes pada pasien Diabates
Melitus berdasarkan karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Penyakit
Komplikasi atau Penyerta, dan penggunaan obat.
2. Golongan kombinasi biguanid dan sulfonilurea lebih banyak digunakan
dalam jurnal dari 10 jurnal 5 diantaranya menggunkan kombinasi 3 jurnal
menguunakan pengobatan tunggal 2 lainnya menggunkan golongan lain.

5.2 Saran
5.2.1 Bagi Peneliti
Dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan kepada peneliti
selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian ini secara lansgung
dilapangan apabila kondisi sudah memungkinkan. Diharapkan kepada
peneliti selanjutnya untuk dapat mengembangkan penelitian ini dengan
menggunkan metode evaluasi, seperti penggunaan obat, golongan obat.

56
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA) (2015). Diagnosis and classification of


diabetes melitus. American Care, Vol.38, pp: 8-16.

ADA (American Diabetes Association). (2014). Diagnosis and Classification of


Diabetes Melitus. Diabates Care.

Alfian, R., Susanto, Y., Khadizah, S., 2017, Kualitas Hidup Pasien Hipertensi
Dengan Penyakit Penyerta Di Poli Jantung RSUD Ratu Zalecha Martapura,
Jurnal Pharmascience, Vol.4, No.1.

Alfian, R., Putra, A.M.P., 2017, Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Medication Adherence Report Scale (MARS) Terhadap Pasien Diabetes Mellitus,
Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, Vol.2 No.2

Departemen Kesehatan. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus.


2005.

Dercoli, Eva. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Padang : pusat penerbitan bagian
ilmu kesehatan dalam fakultas kedokteran Universitas Andalas.

Dipiro, J. T., et al. 2005. Pharmacotherpy Hanbook. Sixth edition. The Mc. Graw
Hill Company. USA. Page : 1891-1939.

Fatimah, Restyana Noor, 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Lampung

Isnaini, Nur dan Ratnasari, 2018. Faktor resiko mempengaruhi kejadiann diabetes
melitus tipe 2: Jawa Tengah. Indonesia.

Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta : Balitbang


Kemenkes Ri

Khsanti, Ida Ayu Made. 2019. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri. Penerbit :
PB PERKINI.

Morton G. et al. (2012). Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik. Edisi 8


Volume I. Jakarta: EGC.

Murray, Robert K, et al. 2003. Biokimia Harper Jakarta : EGC. P. 236-239.

Pahlevi, Muhammad Reza., et al. 2018. Perbaikan kualitas hidup pasien diabetes
melitus tipe 2 di RSUD. Dr. H. Moch. Ansasri Saleh Banjarmasin dengan
intervsensi Brief Counseling.

57
Perwitasari, D.A., Adikusuma, W., Rikifani, S., Supadmi, W., Kaptein, A.A.,
2014, Quality of Life and Adherence of Diabetic Patients in Different Treatment
Regimens, Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol. 3 No. 4, hlm 107–113.

Slamet S. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk.Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi III.Jakarta: Balai Penerbit FK-ill;2008.

Sujaya, I Nyoman. “Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali sebagai Faktor


Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan.” Jurnal Skala Husada”. 2009;6(1);75-
81.

Trisnawati, Shara Kurnia dan Soedijono Setyorogo, 2013. Faktor resiko diabetes
melitus tipe II di puskesmas kecamatan cengkareng Jakarta Barat tahun 2012:
Jakarta Timur.

58
LAMPIRAN

59
60
61
62
63
64
65
66

Anda mungkin juga menyukai