Anda di halaman 1dari 35

Evaluasi Penggunaan Obat Antidiabetik pada Pasien Diabetes

Melitus Tipe-2 di Suatu Rumah Sakit Pemerintah Kota Padang -


Sumatera Barat
Disusun untuk memenuhi tugas Ilmu Kesehatan Masyarakat

Dosen Pengampu
Seno Aulia Ardiansyah M.Si., Apt

Disusun oleh :
(Reguler Pagi A)
Dhea Nurapriyani (A 221 008)

PROGRAM STUDI FARMASI


SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
BANDUNG
2023
ABSTRAK

The appropriateness of antidiabetic usege on a public hospital in Padang - West


Sumatra has been studied. This study was a descriptive study with prospective data
collection on type-2 diabetes mellitus patient’s medical record. Evaluation of the
appropriateness based on criteria established earlier, such as appropriate of indication,
appropriate of patient, appropriate of medication, appropriate of regiment, and
appropriate of drug administration. Evaluation also has been done to the drug interaction.
The results showed that antidiabetic usage on that hospital ware 100% appropriate in term
of appropriate of indication, appropriate of medication, and appropriate of drug
administration. While evaluation to appropriate of patient and appropriate of regiment
were 95.59% and 40.82% respectively.

Keywords : antidiabetic; drug use evaluation; hospital pharmacy.

2
ABSTRACT

Kajian terhadap ketepatan penggunaan antidiabetik pada suatu rumah sakit


pemerintah di Padang, Sumatera Barat telah dilakukan. Penelitian ini berupa
kajian deskriptif, menggunakan rekam medis sebagai sumber data. Ketepatan
penggunaan obat didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu,
meliputi beberapa indikator, yaitu; ketepatan indikasi, ketepatan penderita,
ketepatan regimen dosis dan ketepatan rute pemberian. Kajian juga dilakukan
terhadap potensi terjadinya interaski obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan obat antidiabetik pada rumah sakit tersebut 100% tepat indikasi dan
tepat rute pemberian. Sedangkan kajian terhadap ketepatan penderita dan regimen
dosis masing-masingnya hanya sebesar 95.59% dan 40.82%. Selain itu juga
ditemukan potensi interaksi obat.

Kata kunci : antidiabetik; evaluasi penggunaan obat; farmasi rumah sakit.

3
DAFTAR ISI

ABSTRAK
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................3
1.2. Identifikasi Masalah....................................................................3
1.3. Tujuan Penelitian.........................................................................3
1.4. Kegunaan Penelitian....................................................................4
1.5. Waktu dan Tempat Penelitian....................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................5
2.1. Diabetes Melitus ...........................................................................5
2.1.1. Definisi DM ........................................................................5
2.1.2. Epidemiologi Stroke...........................................................5
2.1.3. Klasidikasi Stroke...............................................................6
2.2. Stroke Iskemik..............................................................................7
2.2.1. Patofisiologi Stroke Iskemik..............................................7
2.2.2. Klasifikasi Stroke Iskemik................................................9
2.2.3. Manifesti Klinik Stroke Iskemik.....................................11
2.3. Hipertensi....................................................................................10
2.3.1. Definisi Hipertensi............................................................10
2.3.2. Etiologi Hipertensi ..........................................................10
2.3.3. Patofisiologi Hipertensi....................................................13
2.3.4. Faktor Risiko Hipertensi.................................................13
2.3.4. Klasifikasi Hipertensi......................................................14
2.3.4. Obat-Obat Antihipertensi...............................................14
BAB III TATA KERJA......................................................................................20
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian...............................................20
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................20
3.3. Populasi dan Sampel .................................................................20
3.3. Cara Pengumpulan Data .........................................................20

iv
3.3. Populasi dan Sampel .................................................................21
3.3. Analisis Data ..............................................................................21
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................................22
BAB V KESIMPULAN....................................................................................28
5.1. Kesimpulan.................................................................................28

v
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme


kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein serta
menghasilkan komplikasi kronik seperti mikrovaskular, makrovaskular, dan
gangguan neuropati sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin

Pada tahun 2000 diperkirakan prevalensi diabetes untuk semua kelompok


usia adalah 2.8%, angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 4.4% pada tahun
2030. Dengan kata lain, jumlah penderita diabetes diperkirakan akan meningkat
dari 171 juta di tahun 2000 hingga 366 juta pada tahun 2030. Di Indonesia,
prevalensi DM adalah sebesar 5.7%, tetapi hanya 1.5% responden yang
mengetahui dirinya menderita penyakit ini. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin,
DM lebih banyak dijumpai pada perempuan dibanding lakilaki.

Berdasarkan patologinya, DM dibedakan kepada emapat golongan, yaitu;


DM tipe-1 disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas, DM tipe-2 disebabkan oleh
gangguan pada reseptor sel β pankreas sehingga sel tidak mampu memproduksi
insulin dalam jumlah dan kualitas mencukupi, DM tipe-3 disebabkan oleh
intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan (diabetes gestasional),
dan DM tipe lain disebabkan oleh berbagai faktor yang menyebabkan jumlah atau
kualitas insulin tidak mencukupi. DM tipe lain ini antara lain disebabkan oleh
defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, endokrinopati, akibat kerja obat atau zat kimia, infeksi, imunologi dan
sindroma genetik lain.

Tujuan penatalaksaan pasien DM dalam jangka pendek adalah agar


tercapainya target pengendalian glukosa darah pada kadar normal serta hilangnya
gejala-gejala klinik yang menyertainya. Sedangkan pada jangka panjang adalah

3
dapat mencegah atau mengurangi komplikasi. Untuk mencapai tujuan ini, pada
dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan DM, yaitu pendekatan tanpa
obat (diet dan modifikasi gaya hidup) dan pendekatan dengan obat
(farmakoterapi). Meskipun demikian kenyataannya pada penanganan penyakit
DM seringkali tidak terkontrol sebagaimana mestinya.

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan


komplikasi. Pada tahap akut, komplikasi diabetes terjadi akibat gangguan
metabolik seperti hipoglikemia atau hiperglikemia sedangkan pada tahap lanjut,
gangguan ini terjadi akibat kerusakan mikrovaskular dan makrovaskular.
Komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati dan nefropati sedangkan
komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner, strok dan penyakit
vaskular periferal. Sedangkan komplikasi DM di Indonesia menurut laporan
umumnya berupa neuropati, penyakit jantung koroner, ulkus diabetikum,
retinopati dan nefropati. Salah satu factor yang sangat berperan dalam timbulnya
komplikasi pada penyakit DM ini adalah penggunaan obat yang tidak tepat

Di Indonesia, berbagai penelitian telah dilakukan untuk menilai ketepatan


penggunan obat pada pasien DM tipe-2. Akan tetapi sejauh ini belum ada laporan
tentang penggunaan obat anti diabetes pada pada pasien DM tipe-2 di Kota
Padang, Sumatera Barat. Karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
ketepatan penggunaan obat antidiabetik pada pada penderita DM tipe-2 pada suatu
rumah sakit pemerintah di Kota Padang Sumatera Barat. Melalui penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak dalam meningkatkan
pelayanan pada penderita DM, sehingga dapat meningkatkan pengendalian
terhadap penyakit DM.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana evaluasi penggunaan obat Obat Antidiabetik pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe-2 di Suatu Rumah Sakit Pemerintah Kota Padang -
Sumatera Barat?

4
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui evaluasi Penggunaan Obat
Antidiabetik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di Suatu Rumah Sakit Pemerintah Kota
Padang - Sumatera Barat.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus (DM)

Diabetes Mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kinerja insulin atau keduanya (Perkeni, 2015).

Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai


suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi
yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat
dari insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan
oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar
pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh
terhadap insulin (Depkes, 2008)

2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Mellitus Menurut (Tandra, 2018).
a. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 atau yang disebut Diabetes Insulin-Dependent merupakan
penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem imun
atau kekebalan tubuh yang mengakibatkan rusaknya pankreas. Kerusakan
pada pankreas pada diabetes tipe I dapat disebabkan karena genetika
(keturunan).
Pengidap Diabetes Mellitus tipe 1 tidak banyak namun, jumlahnya
terus meningkat 3% setiap tahun. Peningkatan tersebut terjadi pada
anak yang berusia 0-14 tahun (data Diabetes Eropa). Tahun 2015 IDF
mencatat terdapat 542.000 5 kasus Diabetes Tipe I di seluruh dunia,
dan akan bertambah 86.000 orang setiap tahunnya. Di Indonesia, data

6
statistik mengenai mengenai Diabetes tipe I belum ada, namun
diperkirakan tidak mebih dari 2%. Hal ini disebabkan oleh tidak
diketahui atau tidak terdiagnosisnya penyakit pada kasus. Penyakit ini
biasanya muncul pada usia anak sampai remaja baik laki-laki maupun
perempuan.
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes tipe 2 atau yang sering disebut Diabetes Non Insulin-
Dependent merupakan Diabetes yang resistensi terhadap insulin.
Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara
optimal sehingga menyebabkan kadar glukosa darah tinggi di dalam
tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada kasus
DM tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi insulin
absolut. Pengidap Diabetes tipe 2 lebih banyak dijumpai. Pengidap
penyakit Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia diatas 40 tahun,
tetapi bisa timbul pada usia 20 tahun. Sekitar 90-95% kasus Diabetes
Mellitus merupakan Diabetes Mellitus tipe 2.
c. Diabetes Melitus Getasional
Diabetes mellitus gestasional biasanya muncul pada saat kehamilan.
Keadaan ini terjadi karena pembentukan beberapa hormon pada ibu
hamil yang menyebabkan resistensi insulin. Ibu hamil yang mengalami
Diabetes Mellitus gestasional akan terdeteksi pada saat kehamilan
berumur 4 bulan keatas, dan glukosa darah akan kembali normal pada
saat ibu telah melahirkan.
2.1.3 Diagnosis
Diabetes Mellitus dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan
kadar glukosa darah. Pemeriksaan darah yang dianjurkan untuk
menentukan kadar glukosa yaitu 6 pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat
ditemukan pada kasus Diabetes Mellitus seperti (Perkeni, 2015):

7
a. Keluhan klasik : poliurea, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain : badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita.
2.1.4 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus meliputi 5 pilar, 5 pilar


tesebut dapat mengendalikan kadar glukosa darah pada kasus
Diabetes Mellitus (Perkeni, 2015). 5 pilar tersebut meliputi :
edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, terapi farmakologi
dan pemantauan glukosa darah sendiri.

a. Edukasi

Edukasi merupakan tujuan promosi hidup sehat, sehingga


harus dilakuakan sebagai upaya pencegahan dan merupakan
bagian yang sangat penting bagi pengelolaan glukosa darah pada
kasus DM secara holistik. Menurut (Utomo, 2011) pengelolaan
kadar glukosa pada kasus Diabetes Mellitus dapat dikatakan
berhasil jika didukung oleh partisipasi aktif kasus, keluarga dan
masyarakat. Diabetes Mellitus Tipe 2 umumnya terjadi pada saat
gaya hidup dan prilaku yang kurang baik telah terbentuk dengan
kokoh. Untuk mencapai keberhasilan perubahan prilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif yang meliputi
pemahaman tentang :

1) Penyakit Diabetes Mellitus

2) Makna dan perlunya pengendalian serta pemantauan Diabetes


Mellitus

3) Penyulit Diabetes Mellitus

4) Intervensi farmakologis dan non-farmakologis

5) Hipoglikemia

6) Masalah khusus yang dialami

8
7) Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan
ketrampilan

8) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

b. Terapi Nutrisi Medis

Salah satu pilar pengelolaan diabetes yaitu dengan terapi


nutrisi atau merencanakan pola makanan agar tidak
meningkatkan indeks glikemik kasus Diabetes Mellitus. Faktor
yang dapat berpengaruh terhadap respon glikemik makanan
yaitu cara memasak, proses penyiapan makanan, bentuk
makanan serta komposisi yang terdapat pada makanan
(karbohidrat, lemak dan protein), yang dimaksud dengan
karbohidrat adalah gula, tepung dan serat. Jumlah kalori yang
masuk dari makanan yang berasal dari karbohidrat lebih
penting dari pada sumber 8 atau macam karbohidratnya
(Utomo, 2011). Dengan komposisi yang dianjurkan (Perkeni,
2015) yaitu :

1) Karbohidrat yang dianjurkan sebanyak 45 - 65% dari total


asupan energi, terutama karbohidrat dengan serat yang tinggi.
2) Protein yang dianjurkan sebanyak 10 - 20% dari total energy,
sumber protein yang baik yaitu seafood (ikan, udang, kerang
dan lain-lain), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk
susu rendah lemak, kacang-kacangan, temped an tahu. Kasus
DM dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65%
hendaknya bernilai biologik tinggi.
3) Natrium pada kasus DM yang dianjurkan sama dengan
masyarakat umum yang tidak lebih dari 3000 mg atau sama
dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur. Sumber natrium
antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

9
4) Serat yang dianjurkan untuk kasus DM sama dengan
masyarakat umum. Serat yang baik dikonsumsi bersumber dari
buah, sayur dan kacang-kacangan yang memiliki nilai indeks
glikemik yang rendah. anjuran konsumsi serat yaitu 25 g/1000
Kkal/hari atau konsumsi satur dan buah sebanyak 400-600
g/hari.
5) Pemanis alternatif yang baik untuk kasus DM yaitu pemanis
yang berasal dari (Accepted Daily Intake / ADI) selama tidak
melebihi batas aman. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan
pada penyandang DM karena dapat meningkatkan kadar LDL,
namun tidak ada alasan menghindari makanan seperti buah dan
sayuran yang mengandung fruktosa alami.

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang


dibutuhkan penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal.
Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dan lain-lain.

c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar pengelolaan
Diabetes Mellitus. Latihan jasmani merupakan suatu gerakan yang
dilakukan oleh otot tubuh dan anggota gerak tubuh lainnya yang
memerlukan energi disebut dengan latihan jasmani. Latihan
jasmani yang dilakukan setiap hari dan teratur (3-4 kali 10
seminggu selama kurang lebih 30-45 menit) merupakan salah satu
pilar dalam pengendalian Diabetes Mellitus Tipe 2. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani.

10
d. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi diberikan secara bersamaan dengan terapi
nutrisi yang dianjurkan serta latihan jasmani. Terapi farmakologi
terdiri atas obat oral dan injeksi. Berdasarkan cara kerjanya, Obat
Hipoglikemik Oral (OHO) dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfniturea dan
glinid
2) Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin dan
tiazolidindon
3) Penghambat absorbs glukosa di saluran pencernaan :
penghambat glucosidase alfa.
4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

e. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri


Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM) merupakan
pemeriksaan glukosa darah secara berkala yang dapat dilakukan
oleh kasus DM yang telah mendapatkan edukasi dari tenaga
kesehatan terlatih. PGDM dapat memberikan informasi tentang
variabilitas glukosa darah harian seperti glukosa darah setiap
sebelum makan, satu atau dua jam setelah makan, atau sewaktu-
waktu pada kondisi tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa
PGDM mampu memperbaiki pencapaian kendali glukosa darah,
menurunkan morbiditas, mortalitas serta menghemat biaya
kesehatan jangka panjang yang terkait dengan komplikasi akut
maupun kronik (Perkeni, 2019).

2.1.5 Faktor Risiko Penyakit Diabetes Melitus


a. Faktor Yang Tidak Dapat Diubah
1) Usia ≥40 tahun

11
2) Mempunyai riwayat keluarga yang menderita DM
3) Kehamilan dengan gula darah tinggi
4) Ibu dengan riwayat melahirkan anak dengan berat lahir > 4kg
5) Bayi dengan BBLR (Berat Badan Lahir Ringan)
b. Faktor Yang Dapat Diubah
1) Kegemukan (berat badan lebih/IMT >23 kg/m
2 ) dan lingkar perut (pria >90 cm dan perempuan >80 cm) 2)
Kurang aktivitas fisik
3) Hipertensi atau tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
4) Dislipidemia (kolestrol HDL laki-laki ≤35 mg/dL dan
perempuan ≤45, trigliserida ≥250 mg/dL).
5) Riwayat penyakit jantung
6) Diet tidak seimbang (tinggi gula, garam, lemak dan rendah
serat)
7) Merokok/terpapar asap rokok

2.2 Serat Pangan


2.2.1 Definisi Serat Pangan
Serat pangan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber,
merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun
dari karbohidrat yang memiliki sifat resistan terhadap proses
pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami
fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar 12 (Anonim, 2001).
Deddy Muchtadi (2001); Jansen Silalahi dan Netty Hutagalung (2010),
menyatakan bahwa serat pangan merupakan bagian dari bahan pangan
yang tidak bisa dihirolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Trowell et al.
(1985); Anik Herminingsih (2010); menyebutkan bahwa serat serat
pangan merupakan sisa dari dinding sel tumbuhan yang tidak
terhidrolisis atau tercerna oleh enzim pencernaan manusia yaitu
meliputi hemiselulosa, selulosa, lignin, oligosakarida, pektin, gum, dan
lapisan lilin. Sedangkan Meyer (2004) mendefinisikan serat sebagai
bagian integral dari bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari yang

12
bersumber dari tanaman, sayur-sayuran, sereal, buah-buahan, kacang-
kacangan.
Serat pangan menurut kelarutannya dapat dibagi menjadi dua yaitu
serat pangan yang terlarut dan serat pangan yang tidak terlarut.
Didasarkan pada fungsinya di dalam tanaman, serat dibagi menjadi 3
fraksi utama, yaitu (a) polisakarida struktural yang terdapat pada
dinding sel, yaitu selulosa, hemiselulosa dan substansi pektat; (b) non-
polisakarida struktural yang sebagian besar terdiri dari lignin; dan (c)
polisakarida non-struktural, yaitu gum dan agaragar (Feri Kusnandar,
2010).
2.2.2 Jenis Dan Sumber Serat Pangan
Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat pangan yang
paling mudah dijumpai dalam menu masyarakat. Sayur dan buah
berfungsi untuk mamalihara microflora usus, mencegah obesitas,
penyakit jantung coroner dan obesitas. Serat dapat dikatakan sebagai
komponen penyusun diet manusia yang sangat penting. Dengan
konsumsi serat yang cukup maka penyerapan karbohidrat, lemak dan
protein menjadi berkurang. Jika konsumsi serat sesuai dengan anjuran
dan dilakukan secara teratur dan berkesinambungan, maka kegemukan
dapat dihindari 13 (Kemenkes RI, 2019). Sumber serat pangan selain
dari sayuran, buah dan kacangkacangan, penelitian Robert E. Kowalski
dalam Anik Herminingsih (2010), juga mengatakan serat dapat berasal
dari dedak padi yang telah distabilisasi dan mengandung serat pangan
33,0-40,0%
2.2.3 Manfaat Serat Pangan
Serat pangan banyak memiliki manfaat bagi kesehatan, sayur-
sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat pangan yang sangat
mudah ditemukan dalam bahan makanan. Sayur dapat dikonsumsi
langsung dan juga dapat dikonsumsi setelah proses pemasakan. Buah
biasanya dikonsumsi secara langsung, Indonesia merupakan salah satu
negara yang kaya akan hasil buah lokal. Menurut data laporan Studi
Diet Total tahun 2014, penduduk Indonesia mengonsumsi sumber

13
karbohidrat sebesar 97%, sedangkan konsumsi kelompok serat yang
terdiri dari sayur dan olahan serta buah-buahan dan olahannya masih
rendah yaitu 57,1 gram per orang per hari dan 33,5 gram per orang per
hari. Kelompok sayuran hijau dikonsumsi paling banyak (79,1%)
dibandingkan sayur lainnya (Dinkes, 2013). Sedangkan menurut
anjuran (WHO) konsumsi serat perhari yaitu 25 gram (Rahmah, Farit,
& Rasma, 2017).
Beberapa peneliti dan penulis diantaranya Olwin Nainggolan dan
Coenelis Adimunca, (2005); Sutrisno Koswara (2010); Tensiska
(2008); Jansen Silalahi dan Netty Hutagalung (2010); Anonim (2010);
Anonim (2010); Anik Herminingsih, 2010), manfaat serat pangan
(dietary fiber) untuk kesehatan yaitu :
1) Mengontrol berat badan atau kegemukan (obesitas) serat
mempunyai kemampuan untuk menahan air dan dapat membentuk
cairan kental dalam saluran pencernaan. Sehingga serat akan
dicerna dalam waktu yang lama, 14 kemudian serat akan menarik
air dan memberi rasa kenyang lebih lama sehingga mencegah
seseorang mengkonsumsi makanan lebih banyak. Makanan dengan
kandungan serat kasar yang tinggi biasanya mengandung kalori
rendah, kadar gula dan lemak rendah yang dapat membantu
mengurangi terjadinya obesitas.
2) Penanggulangan Penyakit Diabetes, serat pangan mempunyai
kemampuan dalam menyerap air dan mengikat glukosa, sehingga
mengurangi ketersediaan glukosa. Dengan konsumsi serat yang
cukup dapat dapat menurunkan konsumsi karbohidrat. Keadaan
tersebut mampu meredam kenaikan glukosa darah dan
menjadikannya tetap terkontrol.
3) Serat dapat membantu dalam mencegah gangguan gastrointestinal.
Konsumsi serat pangan yang cukup, akan memberi bentuk,
meningkatkan air dalam feses menhasilkan feces yang tidak keras
sehingga dapat melancarkan sistem pencernaan.

14
4) Penyebab kanker usus besar diduga karena adanya kontak antara
sel-sel dalam usus besar dengan senyawa karsinogen dalam
konsentrasi tinggi serta dalam waktu yang lebih lama. Beberapa
hipotesis dikemukakan mengenai mekanisme serat pangan dalam
mencegah kanker usus besar yaitu konsumsi serat pangan tinggi
maka akan mengurangi waktu transit makanan dalam usus lebih
pendek, serat pangan bersifat mengikat air sehingga konsentrasi
senyawa karsinogen menjadi lebih rendah.
5) Serat juga dapat berperan untuk mengurangi tingkat kolesterol dan
penyakit kardiovaskuler. Serat larut air menjerat dapat lemak di
dalam usus halus, dengan begitu serat dapat menurunkan tingkat
kolesterol dalam darah sampai 15 5% atau lebih. Dalam saluran
pencernaan, serat dapat mengikat garam empedu kemudian akan
dikeluarkan bersamaan dengan feses. Dengan demikian serat
pangan mampu mengurangi kadar kolesterol dalam plasma darah
sehingga diduga akan mengurangi dan mencegah resiko penyakit
kardiovalkuler.

2.3 Kadar Glukosa Darah


Kadar glukosa darah merupakan kadar gula yang terdapat di dalam
darah yang terbentuk dari karbohidrat pada makanan dan disimpan sebagai
glikogen di hati dan otot rangka. Glukosa darah di dalam tubuh berfungsi
sebagai sumber energi utama bagi sel tubuh terutama pada otot dan
jaringan (Misnadiarly dalam Rachmawati,2015). Kadar glukosa darah
yang tidak terkendali pada kasus Diabetes Mellitus dapat menyebabkan
berbagai macam komplikasi diantaranya penyakit kardiovaskuler. Akibat
tingginya kadar glukosa menyebabkan kentalnya darah sehingga terjadinya
endapan yang dapat menyumbat pembuluh darah dan menyebabkan
stroke. Seseorang mengalami Diabetes Mellitus biasanya ditandai dengan
kadar glukosa darah puasa diatas atau sama dengan 126 mg/dl dan kadar
glukosa darah sewaktu tidak lebih dari 200 mg/dL.

15
Macam-macam pemeriksaan glukosa darah yang dapat dilakukan
meliputi pemeriksaan glukosa darah sewaktu. Pemeriksaan glukosa darah
sewaktu merupakan pemeriksaan glukosa secara acak tanpa menentukan
kondisi atau waktu tertentu. Selain glukosa darah sewaktu terdapat
pemeriksaan glukosa darah puasa. Pemeriksaan glukosa puasa merupakan
glukosa darah puasa yang dilakukan setelah kasus melakukan puasa
selama 8-10 jam (Perkeni, 2015).

2.4 Tingkat Konsumsi


2.4.1 Definisi
Tingkat konsumsi merupakan perbandingan kandungan zat gizi
yang di konsumsi seseorang atau kelompok orang yang dibandingkan
dengan angka kecukupan. Konsumsi pangan merupakan informasi
tentang jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau
sekelompok orang pada waktu tertentu (Nurul, 2015).
Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas makanan
yang dikonsumsi. Kualitas makanan menunjukkan adanya zat gizi
yang diperlukan tubuh. Kuantitas menunjukkan jumlah masing-
masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Tingkat konsumsi individu
dapat berpengaruh terhadap status gizinya (Supariasa, dkk 2016).
2.4.2 Metode Pengukuran

16
Metode pengukran tingkat konsumsi dengan food recall menurut
(Rony, 2017).
a. Pengertian Food Recall
Food recall merupakan metode penilaian diet terorganisir yang
digunakan untuk menentukan semua makanan dan minuman yang
dikonsumsi oleh sampel dalam periode 24 jam. Metode ini juga
menilai jumlah dari setiap makanan dan minuman dari cara
pengolahan, cara penyajian serta merk makanan dan minuman.

b. Alat Food Recall


Terdapat beberapa alat yang dapat digunakan untuk menunjang
kelancaran terlaksananya food recall diantaranya :
1) Alat tulis, digunakan untuk mencatat hasil recall
2) Food model, digunakan untuk mengonversi URT ke gram oleh
peneliti
c. Metode atau Langkah Food Recall
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengambilan data food
recall menurut (Supariasa, dkk 2016)
1) Responden diminta mengingat dan mendeskripsikan makanan
dan nimunan yang dikonsumsi dalam 24 jam terakhir
2) Responden mengestimasi ukuran makanan atau minuman yang
dikonsumsi dengan melihat pembanding pada food model
3) Responden diminta menyebutkan cara pengolahan makanan
atau minuman yang dikonsumsi, tempat dan waktu mengonsumsi,
dan jika menungkinkan merk dari produk tersebut (Khusus untuk
makanan yang dibuat di rumah harus ada resep masakan dan
bahan yang digunakan)
4) Pengambil data mereview kembali data yang disebutkan
responden 18
5) Pengambil data mengonversi dari URT ke gram
6) Pengambil data menganalisis bahan makanan menjadi zat gizi

17
7) Pengambil data membandingkan dengan standar kebutuhan
responden
d. Kelebihan dan Kekurangan Food Recall
Kelebihan Food Recall
a) Mudah dilaksanakan serta tidak terlalu membebani responden
b) Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus
dan tempat yang luas untuk wawancara
c) Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden
d) Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf
e) Dapat memberikan gambaran nyata terhadap apa yang benar-
benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi
sehari.
Kekurangan Food Recall
a) Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari, bila
hanya dilakukan recall satu hari.
b) Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden.
Oleh karena itu, responden harus mempunyai daya ingat yang
baik, sehingga metode ini tidak cocok dilakukan pada anak usia di
bawah 7 tahun, orang tua berusia 70 tahun dan orang yang hilang
ingatan atau orang yang pelupa.
c) The flat slope syndrome, yaitu kecendrungan bagi responden
yang kurus namun mengatakan konsumsinya lebih banyak (over
estimate) dan bagi responden yang gemuk namun cenderung
mengatakan konsumsinya sedikit (under estimate). 19
d) Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil
dalam menggunakan alat-alat bantu URT dan ketepatan alat bantu
yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat.
e) Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan
penelitian
f) Untuk mendapatkan gambaran konsumsi makanan sehari-hari,
recall tidak disarankan unuk digunakan pada saat panen, hari

18
pasar, akhir pekan, pada saat melakukan upacara keagamaan,
selamatan dan lain-lain.

19
BAB III

TATA KERJA

3.1 Metode Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Data dikumpulkan secara
prospektif, pada bulan Mei – Juli 2012 pada suatu rumah sakit pemerintah
di Kota Padang Sumatera Barat. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
pasien DM tipe-2 rawat inap, dengan atau tanpa komplikasi, serta
mendapatkan terapi obat antidiabetik.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012 di Rumah Sakit Pemerintah di
Kota Padang Sumatera Barat

3.3 Kriteria
Ketepatan penggunaan obat didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan
terlebih dahulu, meliputi beberapa indikator, yaitu; ketepatan indikasi,
ketepatan penderita, ketepatan regimen dosis dan ketepatan rute
pemberian.

3.4 Analisis data


Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Data dikumpulkan secara
Analisis data yang dilakukan meliputi :
 Menilai ketepatan obat meliputi tepat indikasi. Peresepan obat
didasarkan atas indikasi medis yang ditemukan pada pasien dan terapi
obat yang dipilih merupakan terapi yang efektif dan aman.
 Menilai ketepatan pasien yaitu keadaan pemilihan obat antidiabetes
sudah sesuai dnegan kondisi fisik pasein (tidak kontraindikasi, alergi
dan lain-lain).
 Menilai ketepatan obat yatit pemilihan antidiabetesi bagi pasien
diabetes mellitus sudah sesuai dengan standar/kriteria yang telah
ditetapkan.

20
 Menilai ketapatan dosis yaitu obat yang digunakan sudah sesuai
dengan dosis pemeberian yang ditetapkan literatur.

21
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Jumlah pasien DM tipe-2 yang medapatkan perawatan selama waktu


penelitian adalah sebayak 59 orang, sedangkan yang memenuhi kriteria inklusi
adalah sebanyak 40 orang. Gambaran umum pasien-pasien yang memenuhi
kriteria inklusi tersebut sebagaimana pada Tabel 1.

Mayoritas pasien adalah perempuan. Temuan ini mengkonfirmasi informasi


dari literatur yang mengatakan bahwa wanita memiliki faktor resiko yang lebih
besar terhadap DM daripada laki-laki, khususnya mereka yang memiliki riwayat
diabetes gestasional atau riwayat melahirkan bayi dengan berat 4 kg atau lebih.
Secara umum diketahui bahwa pasien dengan diabetes gestasional memiliki resiko
untuk berkembang menjadi DM tipe-2. Selain itu, riwayat melahirkan bayi dengan
berat badan melebihi 4 kg berisiko untuk menderita DM tipe-2 pada suatu saat
kelak

Rata-rata usia pasien adalah 49,5 ± 18,7 tahun, dengan rentang usia 27-72
tahun, sedangkan jumlah pasien terbanyak pada rentang umur 50- 59 tahun.
Temuan ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa penyakit diabetes
cenderung timbul pada usia lanjut. Hal ini disebabkan karena penurunan kondisi
fisiologis manusia, yaitu berupa proses penuaan yang diiringi oleh perubahan
komposisi tubuh, perubahan neuro-hormonal khususnya penurunan Insulin-like
growth factor-1 (IGF-1) dan dehydroepandrosteron (DHEAS) plasma. Penurunan
IGF-1 akan mengakibatkan penurunan ambilan glukosa karena menurunnya
sensitivitas reseptor dan aksi insulin. Sedangkan penurunan konsentrasi DHEAS
ada kaitannya dengan kenaikan lemak tubuh serta turunnya aktivitas fisik. Kondisi
ini diperparah oleh perubahan gaya hidup pasien.

Penelitian ini juga mendapatkan bahwa hipertensi dan ulkus diabetikum


merupakan penyakit penyerta terbanyak pada pasien yang menegalami DM tipe-2.
Sedangkan penyakit penyerta lain adalah bronkopneumonia, TB paru, gagal ginjal
kronis, anemia, ketoasidosis diabetikum, sepsis, selulitis, urosepsis, dan

22
hiponatremia. Hasil penelitian ini mengkonfirmasi penelitian lain yang dilakukan
terlebih dahulu. Mutmainah melaporkan bahwa penyakit penyerta terbanyak pada
tahun 2007 di Rumah Sakit X adalah hipertensi dan ulkus diabetikum [16].
Hastuti menambahkan bahwa faktor resiko terhadap ulkus diabetika adalah lama
DM ≥ 10 tahun, kadar kolesterol ≥ 200 mg/dl, kadar HDL ≤ 45 mg/dl,

ketidakpatuhan terhadap diet DM, kurangnya latihan fisik, perawatan kaki tidak
teratur dan penggunaan alas kaki tidak tepat.

Sedangkan menurut Waspadji, penderita DM dibandingkan dengan


penderita non DM mempunyai kecenderungan 2 kali lebih mudah mengalami
trombosis serebral, 25 kali terjadi buta, 2 kali terjadi penyakit jantung koroner, 17

23
kali terjadi gagal ginjal kronik, dan 50 kali menderita ulkus diabetikum [8]. Selain
itu DM adalah kontributor terbesar penyebab gagal ginjal kronis.

Pada penelitian ini juga didapatkan kebanyakan pasien mempunyai riwayat


DM lebih dari satu tahun dan lama rawat lebih dari 10 hari. Pasien yang masuk
dalam rentang ini pada umumnya mengalami komplikasi dengan ulkus
diabetikum dan TB Paru. Temuan ini dikonfirmasi oleh data nasional yang
menunjukkan bahwa rata-rata lama tinggal di rumah sakit pada pasien diabetes
dengan komplikasi ulkus diabetikum adalah 59% lebih lama dari pada mereka
yang tanpa ulkus diabetikum [19]. Sedangkan TB paru memerlukan diagnosis
yang lebih kompleks dan hasil data laboratorium yang lengkap sebelum
menetapkan terapi definifnya. Oleh karena itu, pasien yang komplikasi dengan TB
Paru rata-rata akan memiliki masa rawatan yang lebih lama.

Pengelolaan pasien DM tipe-2 secara umum dapat berupa terapi non


farmakologi dan farmakologi. Terapi non farmakologi meliputi perubahan gaya
hidup dengan melakukan pengaturan pola makan (diet), meningkatkan aktivitas
jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes
melitus. Sedangkan terapi farmakologi dilakukan dengan pemberian obat
antidiabetik, baik berupa obat antidiabetik oral maupun insulin. Terapi
farmakologi pada prinsipnya diberikan jika terapi non farmakologi yang telah
dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar gula darah hingga mendekati batas
kadar normal. Akan tetapi pemberian terapi ini tetap tidak meninggalkan terapi
non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.

Pada penelitian ini, obat anti diabetic yang digunakan adalah obat
hipoglikemik oral (OHO) dan insulin, baik secara tunggal maupun kombinasi.
OHO yang digunakan adalah Metformin, Glikazid, dan Akarbose. Sedangkan
insulin yang digunakan pada umumnya adalah Novorapid® dan Levemir®. Selain
itu juga ada Humulin R®, Humulin N® dan Novomix® pada sejumlah kecil
pasien. Pemilihan obat untuk pasien DM bergantung pada tingkat keparahan
penyakit dan kondisi pasien. Penggunaan obat hipoglikemik oral dapat dilakukan
secara tunggal atau kombinasi dari dua atau tiga jenis obat. Pemilihan obat yang
tepat sangat menentukan keberhasilan terapi. Penentuan regimen obat yang

24
digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat
glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-
penyakit lain dan komplikasi yang ada [4]. Secara umum, obat ini bekerja
meningkatkan sekresi insulin dan hanya efektif pada DM tipe-2 yang tidak
kelebihan berat badan. Metformin yang termasuk golongan biguanid bekerja
memperbaiki sensitivitasinsulin, menghambat pembentukan glukosa dalam hati,
dapat menurunkan kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dan trigliserida
serta berdaya menekan nafsu makan sehingga menjadi obat pilihan utama.
Akarbose bekerja menghambat enzim glucosidase dengan demikian pembentukan
dan penyerapan glukosa diperlambat, sehingga fluktuasi gula darah menjadi kecil.

Ketika upaya diet dan obat hipoglikemik oral gagal mengendalikan kadar
gula darah hingga mendekati normal, insulin dapat digunakan. Penggunaan
insulin ini ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan kadar gula darah
mendekati batas normal untuk mencegah dan menunda komplikasi jangka
panjang. Selain itu juga diberikan jika pasien mengalami ketoasidosis,
mendapatkan nutrisi parenteral atau memerlukan suplemen tinggi kalori untuk
memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, mengalami gangguan fungsi ginjal
dan hati yang berat atau mengalami kontraindikasi atau alergi terhadap obat
antidiabetik oral. Insulin yang digunakan dapat berupa insulin dengan masa kerja
cepat (rapid-acting) atau yang mempunyai masa kerja panjang (long-acting), baik
secara tunggal atau kombinasi. Selain terapi insulin dengan dosis yang memadai,
mengurangi semua faktor risiko kardiovaskular sangat perlu pada penangan pasien
DM tipe-2.

Pada analisa kualitatif dilakukan evaluasi terhadap tepat indikasi, tepat


penderita, tepat regimen dosis dan tepat rute pemberian. Secara oprasional dalam
penelitian ini tepat indikasi adalah bila obat digunakan sesuai dengan indikasinya,
sedangkan tepat penderita bila obat yang diberikan tidak kontraindikasi dengan
kondisi individual penderita.

Pada analisa ketepatan indikasi ditemukan 100% tepat indikasi, hal ini
karena pada penelitian ini kriteria inklusinya adalah pasien DM Tipe 2 yang
sedang mengalami rawat inap, tentunya dengan kadar gula darahnya tidak

25
terkontrol dan/ atau mengalami komplikasi. Sedangkan pada analisa ketepatan
penderita, ditemukan penggunaan obat antidiabetik yang tidak tepat penderita
sebesar 4,41%. Sebagai contoh yang tidak tepat penderita adalah pasien P40
dengan keluhan klasik DM ditambah mual yang meningkat, perut kembung dan
gatal-gatal dibadan. Pasien didiagnosa menderita DM tipe-2 dan kolestatis dengan
kadar gula darah puasa 115 mg/dl dan kadar gula darah postprandial (2 jam) 130
mg/dl, diberikan terapi diet diabetes 1700 kkal, Metformin 3x500 mg, Glucodex®
2x50 mg dan Glucobay® 1x50 mg. Pada kasus ini, pasien tidak tepat diberikan
ketiga obat tersebut karena dapat memperparah keluhan saluran cerna. Hal ini
karena efek samping dari ketiga obat adalah gangguan saluran cerna seperti
kembung, mual, muntah dan diare [22]. Pasien memiliki kadar gula darah yang
dikategorikan untuk kadar gula darah puasa sedang (110-125 mg/dl) dan kadar
gula darah postprandial (2 jam) baik yakni 80-144 mg/dl. Setelah didapatkan hasil
pemeriksaan klinik, hal yang dilakukan pertama kali adalah pengaturan diet
diabetes 1700 kkal. Jika dengan pengaturan diet diabetes saja belum bisa
menurunkan kadar gula darah hingga batas normal, maka diperlukan pemberian
obat hipoglikemik oral sebagai terapi awal.

Pada analisa regimen dosis, diperoleh 59,18 % pasien yang tidak tepat
regimen dosis. Dikatakan tidak tepat regimen dosis bila dosis dan frekuensi
pemberian tidak tepat, atau salah satunya tidak tepat. Pemberian obat dengan dosis
kurang mengakibatkan ketidakefektifan terapi obat sedangkan dosis berlebih
mengakibatkan hipoglikemia dan kemungkinan munculnya toksisitas [4].
Penggunaan OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respon kadar gula darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal.
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respon individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar gula
darah harian. Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambahkan 2-
4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai. Bila dengan terapi
kombinasi OHO dan insulin, kadar gula darah masih tidak terkendali, maka obat
OHO dihentikan dan diberikan insulin saja [26]. Glucodex® diberikan dengan
dosis awal 40 mg/hari dapat diberikan 1-2 kali sehari. Dosis tunggal 160 mg/hari
dan dosis maksimal 320 mg/hari. Dosis awal Metformin adalah 500 mg/ hari 2

26
kali sehari, dapat ditingkatkan setelah 1 minggu menjadi 500 mg 3 kali sehari
dengan maksimal penggunaan 2550 mg. Untuk pasien belum lanjut usia dapat di
berikan 500 mg 2 kali sehari, sedangkan pasien lanjut usia disesuaikan dengan
fungsi ginjal. Glucobay® diberikan 25 mg 3 kali sehari sebelum makan sebagai
dosis awal, dapat ditingkatkan menjadi 50 mg 3 kali sehari. Setelah 6-8 minggu
jika dibutuhkan tingkatkan menjadi 100 mg 3 kali sehari, maksimal 200 mg 3 kali
sehari [1,23,24,27]. Untuk penggunaan Novorapid® dan Humulin R®
berdasarkan kadar gula darah menggunakan Sliding Scale seperti pada tabel VIII.
Untuk indikasi hiperkalemia, diberikan dekstrosa 0,5-1 g/kg dengan 1 IU insulin
untuk setiap 4-5 g dekstrosa yang diberikan. Humulin N® pada pasien DM tipe 2
diberikan dengan dosis 0,2-0,6 IU/kgBB/hari dalam 1 atau 2 dosis. Dosis
penggunaan Levemir® pada pasien DM tipe 2 diberikan 10 IU/hari atau 0,1-0,2
IU/kgBB/hari, diberikan 1 kali sehari. Novomix® diberikan 2 kali sehari saat
makan pagi dan makan malam dengan dosis 0,4-0,6 IU/kgBB/hari. Ketika
digunakan bersama OHO dosisnya 0,2-0,3 IU/kgBB/hari.

Glucodex® digunakan 15-30 menit sebelum makan, Metformin diberikan


sebelum/pada saat/ sesudah makan, Glucobay® digunakan sebelum makan atau
bersama makan suapan pertama. Untuk Novorapid® diberikan 15 menit sebelum
atau segera sesudah makan. Pasien DM tipe 2 dengan terapi insulin, sebelum
mendapatkan makan pagi, makan siang, dan makan sore, pasien akan disuntikkan
insulin untuk membantu dalam pengendalian metabolisme glukosa dan transpor
glukosa dari darah ke dalam sel, sehingga dapat mengendalikan kadar gula darah
pasien. Namun, dari data yang didapat, beberapa pasien tidak mendapatkan suntik
insulin apabila pasien telah makan sebelumnya. Seharusnya pasien tetap
mendapatkan insulin dengan segera sesudah makan, agar insulin tetap dapat
mengendalikan glukosa sehingga kadar gula darah tetap mendekati batas normal.

Pada analisa rute pemberian, tidak ditemukan ketidaktepatan rute


pemberian. Insulin pada umumnya diberikan secara subkutan (di bawah kulit),
karena absorpsi biasanya terjadi lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan
lama. Tetapi, pada keadaan tertentu misalnya pada pasien kritis/akut seperti
hiperglikemia gawat darurat, atau saat pre-operasi diberikan secara intravena (iv),
ini bertujuan agar obat tidak mengalami tahap absorpsi sehingga kadar obat dalam

27
darah diperoleh secara cepat. Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga
tersedia insulin dalam bentuk pompa (insulin pomp) atau jet injector, sebuah alat
yang akan menyemprotkan larutan insulin ke dalam kulit.

Interaksi obat dikatakan terjadi ketika efek dari satu obat yang berubah
dengan adanya obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau oleh beberapa.

lingkungan kimia. Mekanisme interaksi dapat dibagi menjadi interaksi


farmasetik, farmakokinetik dan farmakodinamik. Interaksi farmasetik adalah
interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan/disiapkan
sebelum obat digunakan oleh penderita [28]. Interaksi farmakokinetik adalah yang
dapat mempengaruhi proses obat yang diabsorbsi, didistribusikan, dimetabolisme
dan diekskresikan yang bisa disebut interaksi ADME sedangkan interaksi
farmakodinamik adalah efek dari satu obat yang diubah oleh kehadiran obat lain
di tempat kerjanya. kadang-kadang obat secara langsung bersaing pada reseptor
tertentu.

Insulin dan antidiabetik oral seringkali berinteraksi dengan obat-obatan lain


yang diberikan secara bersamaan. Interasi ini dapat mengakibatkan terjadinya efek
potensiasi atau efek inhibisi. Pada penelitian ini ditemukan interaksi
farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik, sedangkan interaksi farmasetik
tidak ditemukan. Interaksi farmakodinamik antara lain terjadi antara insulin
dengan ACE-inhibitor (ramipril dan katopril), yang akan meningkatkan efek
hipoglikemik insulin, insulin dengan deksametason (kortikosteroid) yang akan
menurunkan efek hipoglikemik insulin, insulin dengan betabloker (propanolol)
yang akan meningkatkan efek hipoglikemik insulin. Sedangkan interaksi
farmakokinetik terjadi antara metformin dengan akarbose (Glucobay®), dimana
akarbose dapat menunda absorpsi metformin sehingga akibatnya terjadi
penurunan onset metformin.

28
BAB V

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
Penggunaan obat antidiabetik pada suatu rumah sakit pemerintah di Kota
Padang telah tepat indikasi dan tepat rute pemberian. Meskipun demikian
evelauasi terhadap ketepatan penderita dan regimen dosis belum sepenuhnya
sesuai dengan yang diharapkan. Hal lain adalah adanya interaksi obat berupa
interaksi farmakodinamik dan farmakokinetik. Oleh karena itu diharapkan kepada
rumah sakit untuk menerapkan pelayan farmasi klinik, khususnya asuhan
kefarmasian (pharmaceutical care), sehingga pencapaian hasil terapi obat serta
keaman pasien menjadi lebih optimal

29
DAFTAR PUSTAKA

AHA (American Heart Association). Cardiovascular Disease : A Costly Burden


For America Projections Through 2035. The American Heart Association
Office of Federal Advocacy : Washington DC; 2017
Aminoff, Michael J., Barbour, David M., Baron, Robert B., Barrows, Kevin,
Bashore,Thomas M., Berger.,Timothy G., Chambers, Henry F., Cheng,
Hugo Q.,.2010. Systemic Hypertension In: McPhee,Papadakis.,(Eds),
Current Medical Diagnosis & Treatment Forty-Ninth Edition, New York :
The McGraw-Hill Companies, Inc, p. 398-406
Aritonang,B. 2011. Pengaruh hipertensi pada kejadian stroke akut dan kontrol
pengendalian tekanan darah. Jakarta
Botdorf, Joshua., Chaudhary, Kunal., Connell, Adam W., 2011. Hipertension in
Cardiovascular and and Kidney Disease. CardioRenal Medicine, Vol.1,
p.185-187
Caplan, Louis R., Donnan, Geoffrey A., Helen, Devey M., Bogusslausky J.,
Diserens K., Medina, Marco T., Rothacher G., Sturm J., Thrift, Amanda
G.,.2005. World Federation of Neurology Seminars in Clinical Neurology
Stroke Selected Topics Volume 4. New York
Departemen Kesehatan RI. 2011. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Dipiro JT., Robert L. Talbert, Gary C.Yee, Gary R.Matzke, Barbara G. Wells. L.
Michael Posey. 2011. Cardiovascular Disorder chapter 27.Stroke.
Pharmacotherapy: Patophysiologic Approach.. New York: McGraw- Hill
Companies.
Fagan, S. C and Hess, D.C. 2014. Stroke In : DIpiro, JR., Talbet, R., ., Yee, G., C.,
Matzke, G., R., Well, B., G. dan Posy, L., M. (Eds), Pharmacotherapy : a
Patophysiologi Approach, 9th Edition. United State: Mc Graaw Hill
Companies. P. 165-170
Gofir, A., 2009, Manajemen Stroke Evidence Based Medicine, 19, Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press: 85-94
Gorgui, J., Khan, G.N. & Daskalopoulou. 2014, Hypertension as a risk factor for
ischemic stroke in women, The canadian journal of cardiology, 30(7): 774
– 82.

30
Gormer, Beth. 2010. Farmakologi Himpertensi. Diterjemahkan oleh Diana
Lyrawati. Jakarta
Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC, 1022
Junaidi, I. (2011). Stroke, waspadai ancamannya. Penerbit Andi.

Juwita DA, Almasdy D, Hardini T. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi


pada Pasien Stroke Iskemik di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi.
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia 2018;7(2):99–107
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Modul penggunaan obat rasional, Direktorat
Bina Pelayanan Kefarmasian. Jakarta: Indonesia.
Kusuma, lany. 2010. Hipertensi Tekanan Darah Tinggi. Yogyakarta : Kanisius
Margono IS., Ardiansyah D. 2011. Perdarahan Intra Serebral. dalam : Machfoed,
Mohammad H., Hamdan M., Machin A., Wardah RI. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Saraf. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. pp.
101-104
Margono IS., Wardah RI. 2011. Stroke Perdarahan Sub Arachnoid : Machfoed,
Mohammad H., Hamdan M., Machin A., Wardah RI. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Saraf. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. pp.
105-108.
Nafrialdi. 2007.Antihipertensi dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi ke-5.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. : 342- 343
Nastiti. 2012. Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke pada Pasien Stroke
Rawat Inap di Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011. Jakarta:
Universitas Indonesia.
PERDOSSI. 2011. Guideline stroke tahun 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf. Jakarta: Indonesia.
Prabandari,Yanuar.2013. Prevalensi Penderita Stroke di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Stroke Indonesia
Sjahrir, Margono Imam., Asriningrum., Machin, Abdulloh. 2011. Stroke. dalam:
Machfoed, Hasan., Hamdan, M., Machin, Abdulloh., Islamiyah, Wardah
R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga University Press.
hal. 91-99.
Straka, R. J., Burkhardt, T. R., and Parra, D., 2008. Hypertension dalam
pharmacotherapy Principles and Practices, 9-31, Mc Graw Hill, United
Stated of American.

31
Turana, Yunus. 2013. Keterkaitan Hipertensi Dengan kejadian Stroke Pada Usia
Dewasa. Jakarta.
Winkler, S., Sutton, S.S. 2016. Stroke. In: Dipiro, J.T. A Pharmacotherapy
Priciple & Practice, 7th Ed. New York: The McGraw Hills, p. 373- 381.

32

Anda mungkin juga menyukai