Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN PRAKTEK PEMBELAJARAN KLINIK

STASE GERIATRI
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
PERIODE 27 JUNI – 02 JULI 2021

DISUSUN OLEH :

HILMY RAMADHAN W 2007045001

ANINDA FAIZATUL HASANAH 2007045002

CLARA A MALLESSY 2007045003

MUTMAINNAH SIRADJUDDIN 2007045004

PROGRAM STUDI S2 FARMASI


MINAT FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2021
LEMBAR PENGESAHAN

PRAKTEK PEMBELAJARAN KLINIK PROGRAM


PASCASARJANA FARMASI MINAT FARMASI KLINIK
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Periode 27 Juni – 02 Juli 2021

Disetujui Oleh :

Pembimbing Akademik Preseptor

(Dr. Woro Supatmi, M.Sc.,Apt) (Drs. Mujiana, Apt. Sp. FRS)

Mengetahui,

Ketua Program Studi S2 Farmasi,

(Dr. Iis Wahyuningsih, M.Si., Apt)


DAFTAR ISI

KASUS 1
BAB I LAPORAN KASUS
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B. Tinjauan Pustaka
1. Geriatri ........................................................................................................... 2
2. Kriteria Beers ................................................................................................. 2
3. Kriteria STOP START .................................................................................. 3
4. Kasus Chronic Kidney Disease ..................................................................... 3
5. Asidosis Metabolik Berat ............................................................................ 16
BAB II LEMBAR PHARMACEUTICAL CARE
A. Profil Pasien CKD Stage V
1. Identitas Pasien ............................................................................................ 21
2. Data Subyektif Pasien .................................................................................. 21
3. Data Obyektif Pasien ................................................................................... 22
4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Lainnya ...................... 22
5. Terapi Pasien ............................................................................................... 25
6. Assessment Pasien (SOAP) ......................................................................... 26
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................ 29
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 37
KASUS II
BAB I LAPORAN KASUS
A. Latar Belakang ................................................................................................... 42
B. Tinjauan Pustaka
1. Uremikum .................................................................................................... 42
2. Sindrom Geriatri .......................................................................................... 45
BAB II LEMBAR PHARMACEUTICAL CARE
A. Profil Pasien Sindrom Geriatri
1. Identitas Pasien ............................................................................................ 52
2. Data Subyektif Pasien .................................................................................. 52
3. Data Obyektif Pasien ................................................................................... 52
4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Lainnya ...................... 52
5. Faal Hemostasis ........................................................................................... 54
6. Terapi Pasien ............................................................................................... 55
7. Assessment Pasien (SOAP) ......................................................................... 57
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................ 58
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 62
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Latar Belakang
Geriatri merupakan seseorang yang telah mencapai usia >60 tahun. Pasien
geriatri biasanya memiliki multi penyakit atau gangguan akibat penurunan fungsi
organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan
kesehatan secara terpadu dengan pendekatan multidisiplin yang bekerja secara
interdisiplin (Permenkes No.79, 2014). Dalam pemilihan terapi pada pasien Geriatri
harus memperhatikan efek yang diberikan oleh obat-obatan tersebut sesuai dengan
kriteria Beers dan kriteria STOPP START. Kriteria Beers merupakan salah
satu kriteria eksplisit atau nyata tertulis yang dapat mengidentifikasi potensi
ketidaktepatan penggunaan obat dengan jelas pada pasien geriatri. Sedangkan
kriteria STOPP START adalah salah satu kriteria yang banyak digunakan untuk
mengIdentifikasi keamanan terapi farmakologi pada populasi geriatri secara
eksplisit.
RSUP Dr. Sardjito merupakan salah satu rumah sakit yang melakukan
pelayanan khusus pada pasien geriatri karena memiliki beberapa dokter konsultan
geriatri. Dalam penyelenggaraan pelayanan, peran Tim Terpadu Geriatri adalah
memberikan pelayanan kesehatan secara paripurna/komprehensif terhadap pasien
geriatri, berupa penegakkan diagnosis medik dan fungsional (melalui suatu
asesmen/pengkajian paripurna pasien geriatri), pelayanan non-medika mentosa dan
medika mentosa serta rehabilitasi, termasuk pelayanan psikoterapi dan pelayanan
sosial medik. Pasien yang telah masuk kedalam kategori geriatri pun telah
mengalami penurunan pada fungsi organnya. Pasien geriatri biasanya memiliki
beberapa komplikasi penyakit sehingga perlu pengawasan ketat terkait penggunaan
obat-obatan. Apoteker berperan dalam melakukan pemantauan dan evaluasi untuk
mewujudkan keberhasilan terapi yang diterima oleh pasien sehingga efek terapi
lebih maksimal dan mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping.

1
B. Tinjauan Pustaka
1. Geriatri
Geriatri (bahasa Inggris: Geriatrics) merupakan salah satu cabang ilmu
kedokteran yang mempelajari keadaan-keadaan fisiologis dan penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan orang-orang lanjut usia (jompo) dengan fokus pada
penuaan dini dan tatalaksana penyakit terkait usia lanjut. Proses menua
mengakibatkan penurunan fungsi sistem organ seperti sistem sensorik, saraf
pusat, pencernaan, kardiovaskular, dan sistem respirasi yang dimaksudkan
dengan orang-orang lanjut usia ialah berumur 65 tahun ke atas (Chodzko-Zajko,
2009).
Masalah umum pada proses menua adalah penurunan fungsi fisiologis dan
kognitif yang bersifat progresif serta peningkatan kerentanan usia lanjut pada
kondisi sakit. Laju dan dampak proses menua berbeda pada setiap individu
karena dipengaruhi faktor genetik serta lingkungan (Chodzko-Zajko, 2009).
Proses menua mengakibatkan penurunan fungsi sistem organ seperti sistem
sensorik, saraf pusat, pencernaan, kardiovaskular, dan sistem respirasi. Selain itu
terjadi pula perubahan komposisi tubuh, yaitu penurunan massa otot,
peningkatan massa dan sentralisasi lemak, serta peningkatan lemak
intramuskular. Perlu diingat bahwa perubahan fisik yang berhubungan dengan
proses menua normal bukanlah penyakit (Warner HR, 2010).
2. Kriteria Beers
Kriteria Beers untuk penggunaan obat yang berpotensi tidak dapat pada
orang dewasa yang lebih tua, yang biasa disebut Beers List (Duke Clinical Research
Institute, 2018) adalah pedoman bagi profesional kesehatan untuk membantu
meningkatkan keamanan resep obat untuk orang dewasa yang lebih tua 65 tahun
dan lebih tua dalam semua kecuali pengaturan paliatif (AGS, 2019; Steinman
M.S, 2015). Mereka menekankan penghentian obat yang tidak perlu, yang
membantu mengurangi masalah polifarmasi, interaksi obat, dan reaksi obat yang
merugikan, sehingga meningkatkan rasio risiko-manfaat dari rejimen
pengobatan pada orang yang berisiko (AGS, 2012).

2
Kriteria tersebut digunakan dalam perawatan klinis geriatri untuk
memantau dan meningkatkan kualitas perawatan. Mereka juga digunakan dalam
pelatihan, penelitian, dan kebijakan perawatan kesehatan untuk membantu
mengembangkan ukuran kinerja dan mendokumentasikan hasil. Kriteria ini
mencakup daftar obat yang potensi risikonya mungkin lebih besar daripada
potensi manfaatnya bagi orang berusia 65 tahun ke atas. Dengan
mempertimbangkan informasi ini, praktisi mungkin dapat mengurangi efek
samping berbahaya yang disebabkan oleh obat-obatan tersebut. Kriteria Bir
dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi dokter dan bukan sebagai pengganti
penilaian profesional dalam membuat keputusan. Kriteria dapat digunakan
dalam hubungannya dengan informasi lain untuk memandu dokter tentang
peresepan yang aman pada orang dewasa yang lebih tua.
3. Kriteria STOP START
START dan STOPP adalah kriteria baru untuk mengidentifikasi obat yang
berpotensi tidak tepat pada lansia, termasuk obat-obat dan interaksi obat-
penyakit, obat-obatan yang meningkatkan risiko jatuh dan obat-obatan yang
menduplikasi terapi. Mereka dikembangkan oleh panel ahli dalam farmakoterapi
geriatri termasuk dokter, farmakologis, apoteker dan psikiater (Paul Gallagher,
2011).
Berbeda dengan kriteria Beers, kriteria STOPP telah dikaitkan secara
signifikan dengan kejadian obat yang tidak diinginkan yang dapat dihindari pada
orang tua yang menyebabkan atau berkontribusi pada rawat inap. START (alat
skrining untuk mengingatkan dokter tentang pengobatan yang tepat) adalah alat
skrining berbasis bukti yang dapat mendeteksi kelalaian potensial dalam terapi
pasien usia lanjut. Ini mencakup 22 skenario yang dibagi berdasarkan sistem
fisiologis (kardiovaskular, pernapasan, SSP, GI, alat gerak dan endokrin) di
mana obat-obatan tertentu direkomendasikan (Barry P, 2007).
4. Chronic Kidney Disease
a. Definisi
Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi
lebih dari 3 bulan berupa kelainan struktur ataupun fungsi dengan atau tanpa

3
penurunan laju filtrasi glomerulus yang ditandai dengan kelainan patologis,
tanda kelainan ginjal, kelainan komposisi darah dan urin, atau kelainan
dalam imaging test. Laju filtrasi pada gagal ginjal kronik biasanya kurang
dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
(Sherwood, 2012). Kerusakan ginjal selama 3 bulan, adanya kelainan
struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan GFR atau
GFR <60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan
ginjal (KDOQI).
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia, dengan hasil yang merugikan dari gagal ginjal,
penyakit kardiovaskular (CVD), dan kematian dini. CKD didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerulus (GFR) <60
mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih, tanpa memandang
penyebabnya (Levey et al., 2005 ; Arora, 2021). Kerusakan ginjal dapat
dipastikan dengan adanya albuminuria, yang didefinisikan sebagai rasio
albumin-kreatinin >30 mg/g pada dua dari tiga spesimen urin spot. GFR
dapat diperkirakan dari kreatinin serum yang dikalibrasi dan persamaan
estimasi, seperti persamaan Studi Modifikasi Diet pada Penyakit Ginjal
(MDRD) atau rumus Cockcroft-Gault. Tingkat keparahan penyakit ginjal
diklasifikasikan menjadi lima tahap sesuai dengan tingkat GFR. Pengobatan
penyakit ginjal dapat dilakukan dengan dialisis dan transplantasi ginjal
(Levey et al., 2005).
CKD lebih sering terjadi pada populasi lanjut usia, tetapi pada pasien
yang lebih muda CKD dapat diketahui karena mengalami kehilangan fungsi
ginjal secara progresif, 30% pasien yang berusia di atas 65 tahun dengan
CKD memiliki penyakit yang stabil (Arora, 2021). CKD diklasifikasikan
menurut KDIGO seperti pada Gambar 1.

4
Gambar 1. Klasifikasi CKD menurut KDIGO
(Kidney Int 2005;67:2089)
b. Epidemiologi
Penyakit Ginjal Kronis di dunia saat ini mengalami peningkatan dan
menjadi masalah kesehatan serius, hasil penelitian Global Burden of
Disease tahun 2010, Penyakit Ginjal Kronis merupakan penyebab kematian
peringkat ke 27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18
pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta penduduk di dunia mendapatkan
perawatan dengan dialisis atau transplantasi ginjal dan hanya sekitar 10%
yang benar-benar mengalami perawatan tersebut. Sepuluh persen penduduk
di dunia mengalami Penyakit Ginjal Kronis dan jutaan meninggal setiap
tahun karena tidak mempunyai akses untuk pengobatan.
Pada tahun 2011 sekitar 113.136 pasien di Amerika Serikat
mengalami End Stage Renal Diseasse (ESDR), penyebab utamanya adalah
diabetes dan hipertensi dengan jumlah kasus terbanyak ditemukan pada usia
lebih dari 70 tahun. Penelitian di Amerika Serikat risiko 2,3 kali mengalami
PGK bagi orang yang mengonsumsi cola dua gelas atau lebih per hari.
Pada tahun 2013, sebanyak 2 per 1000 penduduk atau 499.800
penduduk Indonesia menderita Penyakit Gagal Ginjal. Sebanyak 6 per 1000

5
penduduk atau 1.499.400 penduduk Indonesia menderita Batu Ginjal
(Riskesdas, 2013). Prevalensi gagal ginjal pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan karakteristik umur
prevalensi tertinggi pada kategori usia diatas 75 tahun (0,6%), dimana mulai
terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke atas. Penelitian Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) tahun 2004 menunjukkan
konsumsi minuman bersoda dan berenergi lebih dari tiga kali perbulan
berisiko 25,8 kali mengalami PGK.
Riskesdas 2013 mengumpulkan data responden yang didiagnosis
dokter menderita penyakit gagal ginjal kronis, juga beberapa faktor risiko
penyakit ginjal yaitu hipertensi, diabetes melitus dan obesitas. Penting untuk
melakukan deteksi dini PGK yang dapat dilihat dalam diagram di bawah ini:
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal
ginjal kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi
PGK di negara-negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar
12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang
terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar PGK di Indonesia baru
terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir.
Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur
35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada
laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi
terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%),
pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3%.
Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah
sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing
0,4 %.

6
c. Etiologi
Penyebab utama CKD didasarkan pada reaksi imunologi (oleh
kompleks imun atau sel imun), hipoksia jaringan dan iskemia, agen
eksogenik seperti obat-obatan, zat endogen seperti glukosa atau paraprotein,
dan cacat genetik. Terlepas dari penyebab yang mendasari
glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstitial sering terjadi pada CKD
(Vaidya, 2021).
Beberapa penyebab penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut:
1) Glomerulonefritis Glomerulonefritis adalah inflamasi nefron, terutama
pada glomerulus. Glomerulonefritis terbagi menjadi dua, yaitu
glomerulonefritis akut dan glomerulonefritis kronis. Glomerulonefritis
akut seringkali terjadi akibat respon imun terhadap toksin bakteri tertentu
(kelompok streptokokus beta A). Glomerulonefritis kronis tidak hanya
merusak glomerulus tetapi juga tubulus. Inflamsi ini mungkin
diakibatkan infeksi streptokokus, tetapi juga merupakan akibat sekunder
dari penyakit sistemik lain atau glomerulonefritis akut (Sloane, 2004).
2) Pielonefritis kronis Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal
akibat infeksi bakteri. Inflamasi dapat berawal di traktus urinaria bawah
(kandung kemih) dan menyebar ke ureter, atau karena infeksi yang
dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi kaktus urinaria terjadi akibat
pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau defek kongenital yang
memicu terjadinya pielonefritis (Sloane, 2004).
3) Batu ginjal Batu ginjal atau kalkuli urinaria terbentuk dari pengendapan
garam kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat
mengalir bersama urine, batu yang lebih besar akan tersangkut dalam
ureter dan menyebabkan rasa nyeri yang tajam (kolik ginjal) yang
menyebar dari ginjal ke selangkangan (Sloane, 2004).
4) Penyakit polikistik ginjal Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista
multiple, bilateral, dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan (Price dan
Wilson, 2012).

7
5) Penyakit endokrin (nefropati diabetik) Nefropati diabetik (peyakit ginjal
pada pasien diabetes) merupakan salah satu penyebab kematian
terpenting pada diabetes mellitus yang lama. Lebig dari sepertiga dari
semua pasien baru yang masuk dalam program ESRD (End Stage Renal
Disease) menderita gagal ginjal. Diabetes mellitus menyerang struktur
dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah
yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes mellitus
(Price dan William, 2012).
d. Patofisiologi
Menurut Bayhakki (2013), patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan
penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang
progresif. Total laju filtrasi glomerulus (LFG) menurun dan klirens menurun,
BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami
hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak.
Akibatnya, ginjal kehilangan kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk
melanjutkan ekskresi, sejumlah besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan
klien mengalami kekurangan cairan. Tubulus secara bertahap kehilangan
kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya, urine yang dibuang mengandung
banyak sodium sehingga terjadi poliuri (Veronika, 2017).
Pada gagal ginjal kronik, fungsi ginjal menurun secara drastis yang
berasal dari nefron. Insifisiensi dari ginjal tersebut sekitar 20% sampai 50%
dalam hal GFR (Glomerular Filtration Rate). Pada penurunan fungsi rata-
rata 50% , biasanya muncul tanda dan gejala azotemia sedang, poliuri,
nokturia, hipertensi dan sesekali terjadi anemia. Selain itu, selama terjadi
kegagalan fungsi ginjal maka keseimbangan cairan dan elektrolit pun
terganggu. Pada hakikatnya tanda dan gejala gagal ginjal kronis hampir sama
dengan gagal ginjal akut, namun awitan waktunya saja yang membedakan.
Perjalanan dari gagal ginjal kronis membawa dampak yang sistemik
terhadap seluruh sistem tubuh dan sering mengakibatkan komplikasi.
Proses terjadinya CKD melibatkan 3 kompartemen ginjal, yaitu
glomeruli, tubulus, interstitium, dan pembuluh darah. Hal ini bermanifestasi

8
secara histologis sebagai glomerulosklerosis, fibrosis tubulointerstisial, dan
sklerosis vascular (Vaidya,2021). Mekanisme percepatan perkembangan
CKD adalah sebagai berikut:
1) Hipertensi sistemik dan intraglomerulus
2) Hipertrofi glomerulus
3) Presipitasi kalsium fosfat intrarenal
4) Metabolisme prostanoid yang berubah
Semua mekanisme ini mengarah pada histologis yang disebut
glomerulosklerosis segmental fokal. Faktor risiko klinis pada percepatan
perkembangan CKD adalah proteinuria, hipertensi, ras kulit hitam, dan
hiperglikemia. Paparan lingkungan seperti timbal, merokok, sindrom
metabolik, mungkin beberapa agen analgesik, dan obesitas juga telah
dikaitkan dengan percepatan perkembangan CKD.
Pertama, laju aliran darah ginjal, kedua filtrasi glomerulus bergantung
pada tekanan intra dan transglomerulus yang cukup tinggi, membuat kapiler
glomerulus rentan terhadap cedera hemodinamik, berbeda dengan kapiler
lainnya. Berkaitan dengan hal ini, mengidentifikasi hipertensi glomerulus
dan hiperfiltrasi sebagai kontributor utama perkembangan penyakit ginjal
kronis. Ketiga, membran filtrasi glomerulus memiliki molekul bermuatan
negatif yang berfungsi sebagai penghalang penghambat makromolekul
anionik. Keempat, pengaturan sekuensial mikrovaskular nefron (belitan
glomerulus dan jaringan kapiler peritubulus) dan posisi hilir tubuli
sehubungan dengan glomeruli, tidak hanya mempertahankan keseimbangan
glomerulo-tubulus tetapi juga memfasilitasi penyebaran cedera glomerulus
ke kompartemen tubulointerstisial pada penyakit mengekspos sel epitel
tubulus ke ultrafiltrat abnormal. Karena pembuluh darah peritubular
mendasari sirkulasi glomerulus, beberapa mediator reaksi inflamasi
glomerulus dapat meluap ke dalam sirkulasi peritubulus yang berkontribusi
pada reaksi inflamasi interstisial yang sering terjadi pada penyakit
glomerulus. Selain itu, setiap penurunan perfusi preglomerulus atau
glomerulus menyebabkan penurunan aliran darah peritubulus, yang

9
tergantung pada derajat hipoksia, menyebabkan cedera tubulointerstitial dan
remodeling jaringan. Dengan demikian, konsep nefron sebagai unit
fungsional tidak hanya berlaku untuk fisiologi ginjal, tetapi juga untuk
patofisiologi penyakit ginjal. Kelima, glomerulus dianggap sebagai unit
fungsional dengan masing-masing konstituen individualnya sel-sel epitel
endotel, mesangial, visceral dan parietal - podosit, dan matriks
ekstraselulernya mewakili bagian integral dari fungsi normal. Kerusakan
pada salah satu bagian akan mempengaruhi yang lain melalui mekanisme
yang berbeda, koneksi sel-sel langsung (misalnya, gap junction), mediator
terlarut seperti kemokin, sitokin, faktor pertumbuhan, dan perubahan matriks
dan komposisi membran basal.
Gangguan fungsi ginjal dapat berdampak pada kondisi klinis pasien,
diantaranya adalah:
1) Sindroma uremia (Irwan ,2016) Ginjal merupakan organ dengan daya
kompensasi tinggi. Jaringan ginjal sehat akan mengambil alih tugas dan
pekerjaan jaringan ginjal yang sakit dengan mengkat perfusi darah ke
ginjal dan flitrasi. Bila jaringan ginjal yang rusak mencapai 77-85%,
maka daya kompensasi tidak lagi mencukupi sehingga timbul uremia
yaitu penumpukan zat-zat yang tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal yang
sakit. Gejala sindroma uremia adalah:
a) Gastrointestinal, yang ditandai dengan nafsu makan menurun, mual,
muntah, mulut kering, rasa pahit, perdarahan ephitel. Manifestasi
uremia pada saluran pencernaan adalah mual, muntah, anoreksia, dan
penurunan berat badan. Keadaan anoreksia, mudah lelah, dan
penurunan asupan protein menyebabkan malnutrisi pada penderita.
Penurunan asupan protein juga memengaruhi kerapuhan kapiler dan
mengakibatkan penurunan fungsi imun serta kesembuhan luka (Price
dan William, 2012).
b) Kulit kering, mengalami atrofi, dan gatal. Manifestasi sindrom
uremia pada kulit adalah gambaran kulit menyerupai lilin dan
berwarna kuning akibat gabungan antara retensi pigmen urokrom dan

10
pucat karena anemia, pruritus akibat deposit garam Ca++ atau PTH
dengan kadar yang tinggi, perubahan warna rambut, dan deposit urea
yang berwarna keputihan (Price dan William, 2012).
c) Pada sistem kardiovaskuler yaitu hipertensi, pembesaran jantung,
payah jantung, pericarditis
d) Anemia dan asidosis
e) Pada sistem neurologi yaitu apatis, neuropati perifer, depresi,
prekoma.
2) Anemia
Anemia merupakan salah satu gejala komplikasi akibat dari
penyakit gagal ginjal kronik. Mekanisme yang dikemukakan sebagai
penyebab anemia pada gagal ginjal kronis, yaitu: defisiensi eritropoietin
(Epo), pemendekan panjang hidup eritrosit, metabolik toksik yang
merupakan inhibitor eritropoesis, dan kecenderungan berdarah karena
trombopati (Pranawa,1993).
3) Hiperkalemia
Kelebihan kalium atau hiperkalemia biasanya akibat dari disfungsi
ginjal sementara atau permanen. Kelebihan ini sering terjadi dalam
kaitannya dengan gagal ginjal. Kalium serum akan meningkat karena
penyerapan kalium yang meningkat, penurunan eksternal ginjal,
kematian sel dan pelepasan kalium serta keadaan yang menimbulkan
hipoaldosteronisme. Pada hiperkalemia terpenting pada klinik gagal
ginjal akut (ARF). Tidak bijaksana untuk melakukan operasi, kecuali bila
kalium dapat dibuang terlebih dahulu. Hemodialisis atau dialysis
peritoneum merupakan pilihan terbaik (Sabiston, 1995).
4) Hipokalemia
Hipokalemia adalah konsentrasi kalium plasma kurang dari 3,5
mEq/1. Dapat terjadi akibat penurunan asupan dalam diet, peningkatan
pengeluaran kalium dari ginjal, usus, atau lewat keringat, atau
perpindahan kalium dari kompartemen ekstrasel ke intrasel. Pada

11
hypokalemia yang lebih parah, muncul gejala kelemahan, keletihan,
mual dan muntah, dan konstipasi (Corwin, 2009).
Hipokalemia biasanya berhubungan dengan penurunan kalium total
tubuh. Diantara penyebab terlazimnya adalah penggunaan diuretik
menahun dan disini hipokalemia plasma dapat menunjukkan adanya
kekurangan kalium total tubuh yang besar. Penyebab lain dari
hipokalemia meliputi pengeluaran gastrointestinalis akibat muntah dan
diare, serta pengeluaran ginjal akibat asidosis tubulus ginjal (Sabiston,
1995).
e. Klasifikasi
Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan mengukur Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG). Melihat nilai laju filtrasi glomerulus ( LFG ) baik secara
langsung atau melalui perhitungan berdasarkan nilai pengukuran
kreatinin, jenis kelamin dan umur seseorang. Pengukuran LFG tidak dapat
dilakukan secara langsung, tetapi hasil estimasinya dapat dinilai melalui
bersihan ginjal dari suatu penanda filtrasi. Salah satu penanda tersebut yang
sering digunakan dalam praktik klinis adalah kreatinin serum.
Menurut Chronic Kidney Disease Improving Global Outcomes (CKD
KDIGO) proposed classification, dapat dibagi menjadi :

Berdasarkan albumin didalam urin (albuminuia), penyakit ginjal kronis


dibagi menjadi :

12
* berhubungan dengan remaja dan dewasa
** termasuk nephrotic syndrom, dimana biasanya ekskresi albumin >
2200mg/ 24 jam
f. Manifestasi Klinik
Pasien dengan CKD stadium 1-3 umumnya tidak menunjukkan gejala.
Biasanya, tidak sampai tahap 4-5 (GFR < 30 mL/min/1,73 m²) gangguan
endokrin/metabolik atau gangguan keseimbangan air atau elektrolit menjadi
nyata secara klinis.
Tanda-tanda asidosis metabolik pada CKD stadium 5 meliputi:
1) Malnutrisi energi protein
2) Kehilangan massa tubuh tanpa lemak
3) Kelemahan otot
Tanda-tanda perubahan cara ginjal menangani garam dan air pada
tahap 5 adalah sebagai berikut:
1) Edema perifer
2) Edema paru
3) Hipertensi
Anemia pada CKD dikaitkan dengan hal-hal berikut:
1) Kelelahan
2) Kapasitas latihan berkurang
3) Gangguan fungsi kognitif dan kekebalan tubuh
4) Penurunan kualitas hidup
5) Perkembangan penyakit kardiovaskular
6) Serangan baru gagal jantung atau perkembangan gagal jantung yang
lebih parah
7) Peningkatan mortalitas kardiovaskular
Manifestasi lain dari uremia pada ESRD, banyak di antaranya lebih
mungkin terjadi pada pasien yang tidak cukup dialisis, termasuk yang
berikut:
1) Perikarditis: Dapat dipersulit oleh tamponade jantung, mungkin
mengakibatkan kematian jika tidak dikenali

13
2) Ensefalopati: Dapat berkembang menjadi koma dan kematian
3) Neuropati perifer, biasanya asimtomatik
4) Sindrom kaki gelisah
5) Gejala gastrointestinal: Anoreksia, mual, muntah, diare
6) Manifestasi kulit: Kulit kering, pruritus, ekimosis
7) Kelelahan, peningkatan kantuk, gagal tumbuh
8) Malnutrisi
9) Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenore
10) Disfungsi trombosit dengan kecenderungan berdarah
Skrining pasien dewasa dengan CKD untuk gejala depresi; skala
laporan diri pada inisiasi terapi dialisis mengungkapkan bahwa 45% dari
pasien ini memiliki gejala seperti itu, meskipun dengan penekanan somatik.
g. Faktor Risiko
Proporsi terbesar pasien hemodialisis dilatarbelakangi penyakit
hipertensi dan diabetes, sedangkan faktor risiko yang menjadi tema Hari
Ginjal Sedunia tahun ini adalah obesitas.
1) Hipertensi
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada Riskesdas 2013,
prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke atas di Indonesia
adalah sebesar 25,8%. Sedangkan yang berdasarkan wawancara telah
terdiagnosis hipertensi oleh dokter hanya 9,4%.
2) Diabetes
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi penderita diabetes di
Indonesia adalah sebesar 5,7%, dan hanya 26,3% yang telah terdiagnosis.
3) Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko kuat terjadinya penyakit ginjal.
Obesitas meningkatkan risiko dari faktor risiko utama dari PGK seperti
hipertensi dan diabetes. Pada obesitas, ginjal juga harus bekerja lebih
keras menyaring darah lebih dari normal untuk memenuhi kebutuhan
metabolik akibat peningkatan berat badan. Peningkatan fungsi ini dapat

14
merusak ginjal dan meningkatkan risiko terjadinya PGK dalam jangka
panjang.
Hasil Riskesdas 2013 obesitas pada penduduk umur >18 tahun sebesar
14,8% dan berat badan lebih sebesar 11,5%. Sedangkan obesitas sentral
terjadi pada 26,6% penduduk. Persentase tersebut menunjukkan peningkatan
dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2010.

Obesitas merupakan faktor risiko yang dapat dicegah dan diperbaiki


dengan gaya hidup sehat termasuk asupan makanan yang baik dan olah raga.
h. Penatalaksanaan
Terapi untuk CKD dilakukan sesuai dengan penyakit penyertanya,
apabila pada pasien mengalami hal tersebut maka terapi yang dapat
dilakukan adalah (Kemenkes RI, 2017):
1) Mengontrol kadar gula darah pada pasien dengan diabetes,
2) Mengontrol tekanan darah pada pasien dengan hipertensi,
3) Mengatur pola makan yang sesuai dengan kondisi ginjal
CKD tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dipertahankan supaya tetap
berfungsi dengan optimal dapat melalui:
1) Terapi dengan menggunakan obat
2) Transplantasi ginjal

15
3) Hemodialysis
4) Modifikasi gaya hidup
Menurut Permenkes RI (2017) terapi pengganti ginjal adalah modalitas
terapi yang digunakan untuk pasien yang mengalami penurunan fungsi
ginjal, bisa bersifat sementara maupun berkesinambungan. Modalitas Terapi
Pengganti Ginjal yang didiskusikan pada pedoman ini adalah terapi
pengganti ginjal yang kronik dan berkesinambungan. Klasifikasi terapi
pengganti ginjal (Permenkes RI, 2017):
1) Transplantasi ginjal
2) Dialisis:
a) Hemodialisis/filtrasi:
 Intermiten (<12 jam/hari): Intermitten hemodialysis (IHD),
Hybrid HD, (extended daily dialysis (EDD), slow continuous
dialysis (SCD), sustained low efficiency dialysis/SLED),
sustained low efficiency daily dialysis(SLEDD), sustained low
efficiency daily dialfiltration (SLEDD-f).
 Kontinu (24 jam): continuous renal replacement therapy (CRRT).
b) Peritoneal dialisis: PD Akut, continuous ambulatory peritoneal
dialysis (CAPD), automated peritoneal dialysis (APD).
5. Asidosis Metabolik
a. Definisi
Gangguan asam basa adalah gangguan pada homeostasis konsentrasi
ion hidrogen dalam plasma. Setiap proses yang meningkatkan konsentrasi
ion hidrogen serum adalah proses asidosis. Asidosis metabolik ditandai
dengan peningkatan konsentrasi ion hidrogen dalam sirkulasi sistemik yang
mengakibatkan kadar bikarbonat serum rendah secara abnormal. Asidosis
metabolik menandakan gangguan mendasar yang perlu dikoreksi untuk
meminimalkan morbiditas dan mortalitas. Asidosis metabolic ditandai
dengan pH kurang dari normal 7,35-7,45. Selain itu, asidosis metabolik
membutuhkan nilai bikarbonat kurang dari 24 mEq/L. Klasifikasi lebih
lanjut dari asidosis metabolik didasarkan pada ada atau tidak adanya anion

16
gap, atau konsentrasi anion serum yang tidak terukur (Burger and Derek,
2021).
b. Etiologi
Penyebab mendasar dari asidosis metabolik adalah penambahan asam
(nonkarbonat), kegagalan ginjal untuk mengekskresi beban asam setiap hari,
dan kehilangan bikarbonat basa. Penyebab dari asdosis metabolik umumnya
dibagi lagi menjadi dua kelompok berdasarkan apakah selisih anion normal
atau meningkat. Asidosis metabolik dengan selisi anion yang tinggi terjadi
akibat peningkatan anion tak terukur seperti asam sulfat dan asam-asam
organik lainnya. Jika asidosis disebabkan oleh kehilangan bikarbonat
(misal diare), atau bertambahnya asam klorida (misalny
pemberian amonium klorida), selisih anion akan normal (Arif Muttaqin).
c. Patofisiologi
Asidosis metabolik terjadi ketika peningkatan produksi asam
nonvolatil atau hilangnya bikarbonat dari tubuh melebihi mekanisme asam-
basa. Homeostasis atau ketika mekanisme pengasaman ginjal terganggu.
Produksi asam
Dalam kondisi diet dan metabolisme normal, produksi asam bersih
rata-rata adalah 1 mmol/kg per hari pada orang dewasa dan 1-3 mmol/kg per
hari pada bayi dan anak-anak. Kelainan pada metabolisme perantara, seperti:
yang terjadi dalam sintesis asam laktat atau ketogenesis, dan konsumsi zat
yang dimetabolisme menjadi asam organik, seperti metanol atau etilen
glikol, dapat meningkatkan produksi asam beberapa kali lipat (Kraut, J. A. &
Madias, 2010).
Pengaturan keseimbangan asam-basa ginjal
Untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa yang normal, setiap
hari tubulus ginjal harus secara kuantitatif menyerap kembali zat yang
disaring HCO3– (~4.500 mmol) dan mensintesis cukup HCO3– untuk
menetralkan beban asam endogen. Mayoritas (80-85%) HCO3– yang
disaring direabsorbsi di tubulus proksimal (PCT) melalui isoform NHE3
(90%) dari penukar Na+/H+ dan protontranslokasi. ATPase (H+ATPase;

17
10%). Karbonat anhidrase II (CA II) di PCT memfasilitasi pemecahan
H2CO3 sitosol menjadi H+ dan HCO3–, sehingga menyediakan proton untuk
disekresikan ke dalam lumen. HCO3– terbentuk keluar dari sel melalui
elektrogenik basolateral Na+/HCO3– cotransporter, SlC4A4 (juga dikenal
sebagai kNBCe1). CA Iv yang terletak di luminal meningkatkan disosiasi
H2CO3 luminal menjadi CO2 dan H2O, yang mencegah penumpukan
gradien proton yang akan memperlambat proses. Penentu utama reabsorpsi
HCO3– termasuk konsentrasi HCO3– luminal, pH luminal, laju aliran
luminal, tekanan parsial CO2 peritubular (pCO2), dan konsentrasi luminal
dan peritubular angiotensin II. Cacat atau tidak adanya aktivitas CA II atau
CA Iv, atau mutasi pada Gen SLC4A4,12 menyebabkan gangguan HCO3-
reabsorpsi dan karena itu dapat menyebabkan asidosis tubulus ginjal
proksimal (RTA) (Kraut, J. A. & Madias, 2010).
HCO3– yang keluar dari PCT direabsorbsi di lengkung Henle asendens
yang tebal melalui penukar NHE3 Na+/H+ dan H+ATPase elektrogenik, dan
juga direabsorbsi di duktus kolektivus melalui elektrogenik H+ATPase dan
mungkin elektroneutral H+/K+ATPase dengan mekanisme pengasaman ginjal
normal, sedikit HCO3– diekskresikan dalam urin dan pH urin puasa biasanya
di bawah 6,0. HCO3– baru dihasilkan oleh proses yang melibatkan PCT dan
saluran pengumpul. Sebagian besar HCO3– dihasilkan di PCT sebagai hasil
produksi NH3 dan ekskresinya dalam urin sebagai NH4+. Glutamin
dimetabolisme oleh glutaminase untuk menghasilkan NH3 dan HCO3–.
HCO3– yang terbentuk keluar dari sel melalui kotransporter Na+/HCO3
SlC4A4. HCO3– yang keluar dari PCT direabsorbsi di lengkung Henle
asendens yang tebal melalui penukar NHE3 Na+/H+ dan H+ATPase
elektrogenik, dan juga direabsorbsi di duktus kolektivus melalui elektrogenik
H+ATPase dan mungkin elektroneutral H+/K+ATPase dengan mekanisme
pengasaman ginjal normal, sedikit HCO3– diekskresikan dalam urin dan pH
urin puasa biasanya di bawah 6,0 (Kraut, J. A. & Madias, 2010).
HCO3– baru dihasilkan oleh proses yang melibatkan PCT dan saluran
pengumpul. Sebagian besar HCO3– dihasilkan di PCT sebagai hasil produksi

18
NH3 dan ekskresinya dalam urin sebagai NH4+. Glutamin dimetabolisme
oleh glutaminase untuk menghasilkan NH3 dan HCO3–. HCO3– yang
terbentuk keluar dari sel melalui kotransporter Na+/HCO3 SlC4A4. NH3
dapat memasuki lumen secara pasif dan juga disekresikan sebagai NH4+
melalui penukar NHE3 Na+/H+, kemungkinan di bawah pengaruh
angiotensin II. NH4+ yang keluar dari PCT direabsorbsi di cabang asenden
tebal medula lengkung Henle melalui kotransporter Na+/K+/2Cl-, proses
yang meningkatkan konsentrasi NH4+ dan NH3 di medula, sehingga
menghasilkan gradien konsentrasi yang mendukung masuknya NH3 ke
dalam lumen saluran pengumpul. Berlawanan dengan kepercayaan lama
bahwa NH3 memasuki lumen di situs ini semata-mata melalui difusi pasif,
penelitian terbaru menunjukkan bahwa ada proses aktif yang sangat diatur.
Meskipun NH3 dapat memasuki lumen melalui difusi nonionik, tampaknya
NH3 sebagian besar diangkut pada salah satu protein mirip Rhesus, RhCG,
yang terlokalisasi pada membran luminal duktus pengumpul. NH3 yang
disekresikan kemudian terperangkap sebagai NH4+ sebagai akibat dari
pengasaman urin. Asidosis metabolik meningkatkan produksi NH3, sebagian
melalui penurunan pH dan peningkatan produksi glukokortikoid. HCO3–
baru juga dikembalikan ke darah sebagai akibat dari pembentukan asam
yang dapat dititrasi di seluruh nefron (Kraut, J. A. & Madias, 2010).
Proton yang disekresikan ke dalam lumen sebagian besar bergabung
dengan HPO42– untuk membentuk H2PO4–. Jumlah HCO3– yang
dikembalikan ke darah melalui mekanisme ini ditentukan oleh tingkat pH
urin yang dicapai (pH terendah yang dapat dicapai adalah 4,5–5,0) dan
jumlah fosfat yang diekskresikan dalam urin. Yang terakhir ini tergantung
pada beban filtrasi fosfat dan reabsorpsi fraksional fosfat oleh tubulus ginjal.
Oleh karena itu, proses ini bukanlah proses yang sangat mudah beradaptasi
untuk mengubah generasi HCO3–. Proton yang memasuki cairan luminal
dari duktus pengumpul untuk bergabung dengan NH3 dan asam yang dapat
dititrasi disekresikan melalui H+ATPase dan mungkin suatu H+/K+ATPase,
keduanya terlokalisasi pada membran luminal sel yang terinterkalasi. HCO3–

19
yang terbentuk kembali ke darah melalui penukar anion Cl-/ HCO3–
basolateral (AE1). Pendrin, penukar Cl–/ HCO3– yang terlokalisasi pada
permukaan apikal sel interkalasi, mensekresikan HCO3– ke dalam lumen,
sehingga mengurangi transpor proton bersih. Aktivitas pendrin berkurang
pada asidosis metabolik (Kraut, J. A. & Madias, 2010).
Tingkat di mana H+ATPase mengangkut H+ tergantung pada jumlah
pompa proton yang dimasukkan ke dalam membran apikal dan potensial
elektrokimia melintasi saluran pengumpul. Potensi elektrokimia di saluran
pengumpul tergantung pada laju Cl- independen Transpor Na+, yang pada
gilirannya dipengaruhi oleh jumlah Na+ yang mencapai pengumpul duktus
dan tingkat aldosteron (yang meningkatkan reabsorpsi Na+). Ekskresi asam
oleh duktus pengumpul diatur secara ketat oleh tambahan sistemik dan faktor
lokal, termasuk angiotensin II, reseptor penginderaan kalsium (CaSR), Ca2+
ekstraseluler, pH, dan pCO2. Disfungsi H+ATPase, AE1, dan mungkin
H+/K+ATPase, dan penurunan kadar aldosteron atau resistensi terhadap
aksinya dapat mengurangi ekskresi asam bersih dan menyebabkan asidosis
tubulus ginjal distal. Namun, penurunan ekskresi asam bersih lebih sering
disebabkan oleh penurunan produksi NH3 (terkait dengan CKD), daripada
oleh defek pada H+ATPase, AE1, atau aldosteron (Kraut, J. A. & Madias,
2010).
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asidosis metabolik harus mengatasi penyebab
gangguan asam basa yang mendasarinya. Misalnya, resusitasi cairan yang
memadai dan koreksi kelainan elektrolit diperlukan untuk sepsis dan
ketoasidosis diabetikum. Terapi lain yang perlu dipertimbangkan termasuk
penangkal keracunan, dialisis, antibiotik, dan pemberian bikarbonat dalam
situasi tertentu. Pemberian natrium bikarbonat dapat membatasi efek
merugikan kardiovaskular, pernapasan, dan energi seluler dari hilangnya
bikarbonat. Natrium bikarbonat harus diberikan dengan hati-hati karena
dikaitkan dengan risiko hipokalemia, hipernatremia, hipokalsemia, alkalemia
rebound, dan kelebihan air-natrium(Jung et al., 2019).

20
BAB II
LEMBAR PHARMACEUTICAL CARE
A. Profil Pasien CKV Stage V
1. Identitas Pasien
Nama Bp. SS
No CM 19xxxxx
Umur 58 tahun
Alamat Karangmulyo

2. Data Subjectif Pasien


a) Keluhan Utama MRS
- Nyeri di scrotum sejak 1 bulan sebelum MRS disertai bengkak pada
kedua kaki sekitar 1,5 bulan sebelum MRS dan susah berjalan
- H-1 sebelum MRS mengeluh sesak memberat, harus tidur dengan bantal
lebih tinggi, dan sesak bila melakukan aktivitas
- Demam (-); Sesak (+); Nyeri pinggang (-); Kesemutan (+)
b) Riwayat Penyakit Dahulu :-
c) Riwayat Penggunaan Obat :-
d) Riwayat Alergi :-
e) Kebiasaan Penggunaan Obat :-
f) Jamu :-
g) Rokok/Kopi/Alkohol :-
h) Rekonsiliasi Obat :-
i) Diagnosa Awal : Edema Scrotal EC Suspec Related
Hipoalbuminemia dengan gangguan
Venous Return
j) Diagnosa Sekunder : 1. CKD Stage V dengan problem
hypoalbuminemia renal
2. CHF Stage 2, HT Stage 2
3. HT on terapi

21
3. Data Objektif Pasien
a) Tanda-Tanda Vital
Parameter 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6 23/6 24/6
(HD)
TD 112/58 131/69 133/69 137/99 155/67 154/87 162/90
165/102
Nadi 50 61 54 59 91 72 89
RR 20 20 20 20 26 26 24
Suhu 36,7 36,2 36,6 36,7 36,2 36,2 36,2
SPO2 98% 99% 84-92% 99%

b) Pemeriksaan RO/Ct Scan/Penunjang Lain : -


4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Lainnya
a) Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah

Parameter Nilai Tanggal Pemeriksaan


Normal
17/6 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6 23/6 24/6 25/6

Hemoglobin 13-16 7,4 7 8

Lekosit 4,50- 13,4 12,21 9,39 92


11,50
Trombosit 150-450 316 29,2 247

Eritrosit 4,60- 2,79 2,68 3,14 269


6,00
Hematokrit 40-54 23,6 22,3 26,1

MCV 80-94 84,6 83,2 83,6


MCH 26-32 26,5 2,1 25,5
MCHC 32-36 31,4 30,7
AMC 107
46

22
SGPT 59

SGOT 25

GDS 84

GDP 158 129

BUN 6-20 76,1 44,8 67,2 37,6 26,70


0
Creatinin 0,7-1,2 8,75 5,30 7,02 4,07 3,05

Natrium 136-145 130 134 132 135 134

2) Pemeriksaan Urin

Parameter Nilai Tanggal Pemeriksaan


Normal
17/6 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6 23/6 24/6 25/6

Warna Berwarna V V V

BJ 1,005- 1,02 1,010


1,030 0
TCO2 23-27 13

LAC 0,96

PO2 61 52,1

PCO2 35-45 25,6 34,3

BE -2-3 -15

HCO3 22-26 12,3 23,8

pH 7,35-7,45 7,27 7,4 6

23
Warna Berwarna V V V

BJ 1,005- 1,02 1,010


1,030 0
TCO2 23-27 13

LAC 0,96

PO2 61 52,1

PCO2 35-45 25,6 34,3

BE -2-3 -15

HCO3 22-26 12,3 23,8

pH 7,35-7,45 7,27 7,4 6

3) Pemeriksaan Sedimen

Parameter Nilai Tanggal Pemeriksaan


Normal
17/6 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6 23/6 24/6 25/6

Sel Epitel 0,0-40,6 3 24,6

Silinder 0,0-1,2 1,4 0,6

Bakteri 0,0-100 177 26441,8

Kristal 0.0-10,0 0,5 0,5

Yeast 0,0-25,0 1737,4 252,3

Silinder 0,0-0,5 0,8 1,5


Patologis
Mucus 0,0-0,5 0,0 0,0

24
Sperma 0,0-3,0 0,0 0,0

Konduktivitas 3,1-27,0 7,0 14,4

5. Terapi Pasien
Nama Obat Aturan Rute Tanggal
Pakai 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6 23/6 24/6 25/6
Furosemid 10 2 amp/8 jam IV V V V V V V V
mg
Candesartan 16 1 x 24 jam PO V V V
mg
Candesartan 8 1 x 24 jam PO V V V V
mg
Amlodipin 10 1 x 24 jam PO V V V V V V
mg
Asam Folat 1 x 24 jam PO V V V
Atorvastatin 20 1 x 24 jam PO V V V V V
mg
ISDN 5 mg prn PO V
Natrium 1 x 12 jam PO V V V V V V V
Bikarbonat 500
mg
Fluconazole 1 x 24 jam IV V V V V V V V V
2000 mg (PO)
Cefoperazon 1 1 x 12 jam IV V V V V V V V
gr
Clopidogrel 75 1 x 24 jam PO V V V
mg
Novorapid Extra SC V V V
Furosemid 10 Extra IV V
mg
Osteocal 500 1 x 8 jam PO V
mg

25
6. Assessment Pasien (SOAP)

Problem medik Subyektif, Obyektif Terapi Assesment Plan

CKD stage V S : Ada udem di kaki, Hemodialisis 2 kali Terapi sudah sesuai dan adekuat karena Terapi dilanjutkan sesuai
sesak napas seminggu setelah dilakukan HD keadaan pasien advice dokter dan
O: Furosemid 10 mg IV membaik dan nilai BUN dan kreatinin monitoring kondisi pasien
BUN: 76,1 ; 44,8 ; 67,2 ; (2amp/8jam)
membaik.
37,6 ; 26,7 Furosemid 10mg extra
Furosemid diberikan karena pasien
Creatinin: 8,75 ; 5,30 ; (21/6/2021)
mengalami udem sehingga dapat membantu
7,02 ; 4,07 ; 3,05 Osteocal 500mg 1x
mengurangi udem pada kaki dan mengalami
8jam (25/6)
perbaikan
Osteocal diberikan pada pasien CKD karena
kondisi tersebut dapat menyebabkan
defisiensi kalsium sehingga dapat membantu
meningkatkan penyerapan kalsium.
Asidosis O: Hemodialisis Terapi sudah sesuai Cek pH urin, HCO3 dan
Metabolik pH: 7,27 Na Bicarbonat 500mg Hemodialisis dapat memperbaiki kondisi PCO2
PCO2: 25,6 1 x 12 jam asidosis pasien, perbaikan pada hasil lab
BE: -15 pasien
HCO3: 12,3 Na bikarbonat diberikan untuk maintenance

26
kondisi pasien dan menstabilkan asam –
basa tubuh
Anemia O: Asam folat 1x 24 jam Asam folat dapat diberikan untuk anemia Terapi dilanjutkan sesuai
Hb: 7,4 ; 7 ; 8 (PO) pada pasien CKD. Asam folat dapat memicu dengan advice dokter dan
Eritrosit : 2,79 ; 2,68 ; pembentukan WBC dan trombosit, dapat dilakukan monitoring data
3,14; 2,69 juga untuk pemeliharaan nukleoprotein lab darah (Hb, Eritrosit,
Hematokrit : 23,6; dalam eritropoiesis. Sehingga dapat trombosit, hematocrit)
22,3; 26,1 digunakan untuk memperbaiki kondisi
anemia pasien
Hipertensi Hipertensi on terapi Candesartan 10mg 1x Terapi sudah adekuat untuk hipertensi pasien Monitoring tekanan darah
O: 24jam (18/6) dan Candesartan dan amlodipine digunakan pasien
TD : 165/102 mmHg (23/6 - 24/6) untuk mengontrol tekanan darah pasien
(22/6/21) Candesartan 8mg 1x karena pasien memiliki riwayat hipertensi,
154/87 mmHg 24jam (19/6 – 22/6) dan dapat digunakan untuk mencegah
(23/6/21) Amlodipin 10mg 1x remodeling.
162/90 mmHg 24 jam
(24/6/21)
Infeksi jamur O: Flukonazole 200mg Flukonazole dapat digunakan untuk Penggunaan flukonazol
Yeast : 1732,4 (17/6) 1x24jam mengeradikasi infeksi jamur. Terapi sudah apabila pasien HD maka
252,3 (25/6) adekuat karena ada penurunan jumlah diberikan setelah HD

27
bakteri pada hasil lab. Flukonazol dapat Monitoring kadar yeast
diberikan pada pasien dengan gangguan pada lab urin pasien
ginjal, dan diberikan 100% dosis apabila
tidak dilakukan dialysis, dan apabila dialysis
maka diberikan setelah pasien dialysis.
Infeksi Bakteri O: Cefoperazon 1 gr 1x Terapi infeksi bakteri sudah adekuat. Cek lab bakteri
(ISK) Bakteri: 26441,8 12jam Apabila pasien HD, maka pemberian obat
dilakukan setelah pasien melakukan HD
CHF (riwayat) Clopidogrel 75 mg Clopidogrel dan atorvastatin digunakan Monitoring kadar
Atorvastatin 20mg untuk maintenance CHF pasien, sehingga kolesterol pasien (LDL,
ISDN 5mg tetap digunakan sesuai dengan terapi HDL, TG)

28
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien BP. SS datang kerumah sakit dengan keluhan nyeri di scrotum sejak 1
bulan sebelum MRS disertai bengkak pada kedua kaki sekitar 1,5 bulan sebelum MRS
dan susah berjalan. Kemudian pada H-1 sebelum MRS mengeluh sesak memberat,
harus tidur dengan bantal lebih tinggi, dan sesak bila melakukan aktivitas dan juga
mengalami kesemutan. Dokter mendiagnosa pasien mengalami Edema Scrotal EC
Suspec Related Hipoalbuminemia dengan gangguan Venous Return dengan diagnosa
sekunder yaitu CKD Stage V dengan problem hypoalbuminemia renal, CHF Stage 2
dan HT Stage 2 yang saat ini on terapi. Berdasarkan tanda-tanda vital pasien, pada awal
MRS TD pasien masih rendah namun mengalami peningkatan hingga 162/90 pada
tanggal 24 juni dengan nasi, RR, suhu tubuh dan SPO2 yang masih normal.
Pasien melakukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah, urin dan
sedimen. Hasil pemeriksaan darah pasien ditemukan kadar Hb yang rendah sejak awal
MRS yaitu 7,4 pada tanggal 17 juni dan 7 pada tanggal 18 juni hingga menjelang pasien
pulang pada tanggal 23 juni Hb nya 8. Sedangkan kadar leukosit pasien tinggi sejak
awal MRS yaitu 13,4 namun secara berangsur mengalami penurunan dan kembali
normal hingga pasien pulang pada tanggal 25 juni.
Hasil diagnosa dokter pasien mengalami CKD Stage V dengan overload cairan.
Kerusakan ginjal selama 3 bulan yang disertai dengan adanya kelainan struktural atau
fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan GFR atau GFR <60 mL/min/1,73m2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal (KDOQI).

CKD Stave 5 pasien didukung dengan hasil pemeriksaan laboratoriumnya yang


menungjukkan nilai BUN yang sangat tinggi mencapai 76,10 dengan kadar kreatinin

29
yang juga tinggi mencapai 8,75 sehingga pada tanggal 22 Juni pasien menjalani
hemodialisis. Sekitar 92% dari pasien dialisis insiden di Amerika Serikat menjalani HD
konvensional, biasanya dilakukan tiga kali seminggu di unit HD yang ditunjuk, yaitu
dialisis di pusat, dengan waktu pengobatan khas 3-4 jam. Tatalaksana terapi pada pasien
hipertensi yang menjalani hemodialisis memerlukan perhatian pada manajemen status
cairan/volume ekstra vaskuler dan penyesuaian terapi antihipertensi (National Kidney
Foundation, 2005).
Pasien didiagnosis CKD Stage 5 dengan overload cairan sehingga mengalami
udem pada kaki. Dokter meresepkan Furosemid untuk mengurangi udem pada kaki.
Pemberian Furosemid 10 mg 2 amp/8 jam yang memiliki mekanisme kerja menghambat
kotransport Na+; K+; 2Cl- di cabang menaik yang tebal dari loop Henle. Dosis yang
direkomendasikan untuk Edema untuk penggunaan dalam bentuk oral dosis awal yang
dapat digunakan adalah 20 - 80 mg/dosis; jika respon tidak memadai, dapat mengulangi
dosis yang sama atau meningkatkan dosis dengan peningkatan 20-40 mg/dosis dengan
interval 6-8 jam; dapat dititrasi hingga 600 mg/hari dengan keadaan edema yang parah;
dosis pemeliharaan biasa interval adalah sekali atau dua kali sehari, sedangkan untuk
pemberian melalui IV ataupun IM dosis yang direkomendasikan diawal: 20-40
mg/dosis; jika respon tidak memadai, dapat mengulangi dosis yang sama atau
meningkatkan dosis dengan peningkatan 20 mg/dosis dan diberikan 1-2 jam setelah
dosis sebelumnya (dosis maksimum: 200 mg/dosis).
Pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD) dapat mengalami gangguan
metabolisme tulang dan mineral yang mengakibatkan gangguan kompleks yang disebut
gangguan tulang CKD-mineral (CKD-MBD). Perubahan biokimia CKD-MBD
termasuk peningkatan faktor pertumbuhan fibroblast-23 (FGF23) dan hormon paratiroid
(PTH), penurunan 1,25-dihidroksivitamin D (1,25D), peningkatan serum fosfat, dan
penurunan kalsium serum (Kathleen M, 2017).
Metabolisme kalsium diatur melalui kontrol hormonal, hormon utama yang
terlibat adalah 1,25D ("vitamin D aktif"/kalsitriol) dan PTH. PTH memberikan beberapa
efek untuk meningkatkan kalsium terionisasi serum (Kathleen M, 2017):
1. Bekerja pada tubulus proksimal ginjal untuk meningkatkan reabsorpsi K ginjal,

30
2. Merangsang aktivitas osteoklas tulang untuk meningkatkan resorpsi tulang dan
pelepasan kalsium, dan
3. Meningkatkan enzim ginjal, 1-α-hidroksilase (CYP27B1), bertanggung jawab atas
konversi 25-hidroksivitamin D (25D) menjadi bentuk paling aktif 1,25D yang
berperan dalam mengoreksi kalsium terionisasi serum rendah adalah untuk
meningkatkan penyerapan kalsium usus.
Sebelum pulang pasien mendapatkan
Osteocal 500 mg digunakan 3x sehari 1 tab. Osteocal merupakan suplemen yang
mengandung Ca karbonat.

Komorbid dengan hipertensi sehingga pasien mendapatkan terapi antihipertensi


diantaranya: Candesartan dan Amlodipin.

(Elaine Ku, 2019)

31
Obat lain yang diterima pasien adalah Candesartan 8 mg dan 16 mg. Obat ini
bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor AT1 angiotensin II dan mencegah
angiotensin II mengikat reseptor sehingga menghalangi vasokonstriksi dan efek sekresi
aldosteron dari angiotensin II. Candesartan cilexetil menentang aksi angiotensin II
dengan memblokir reseptor angiotensin tipe-1 (AT1) (Asif Husain, 2011).

(Elaine Ku, 2019)


Candesartan bekerja dengan cara menghambat efek pressor dari infus angiotensin
II dengan cara yang bergantung pada dosis. Setelah 1 minggu dosis sekali sehari dengan
8 mg Candesartan cilexetil, efek pressor dihambat sekitar 90% pada puncaknya dengan
sekitar 50% penghambatan bertahan selama 24 jam. Konsentrasi plasma angiotensin I
dan angiotensin II, dan aktivitas renin plasma, meningkat dengan cara yang bergantung
pada dosis setelahnya. Pemberian Candesartan Cilexetil hingga 16 mg sekali sehari pada
subjek sehat tidak mempengaruhi konsentrasi aldosteron plasma, tetapi menurunkan
konsentrasi plasma aldosteron diamati ketika 32 mg Candesartan cilexetil diberikan
kepada pasien hipertensi (Asif Husain, 2011). Selain itu obat lain yang diberikan adalah
Amlodipin 10 mg.

(Elaine Ku, 2019).


Pada pasien geriatri Amlodipin diberikan dengan dosis yang harus dimulai dari
batas bawah rentang dosis dan dititrasi untuk merespon karena kemungkinan

32
peningkatan insiden gangguan hati, ginjal, atau jantung. Pasien lanjut usia juga
menunjukkan penurunan bersihan amlodipine.Hipertensi: 2,5 mg sekali sehari; Angina:
5 mg sekali sehari. Penyesuaian dosis pada gangguan ginjal yang menjalani
hemodialisis dan dialisis peritoneal tidak meningkatkan eliminasi sehingga dosis
tambahan tidak diperlukan (DIH 21th, 2012).
Pasien kemungkinan mengalami anemia karena beberapa kasus anemia telah
terjadi pada 95% pasien yang telah menerima dialisis dan 5% pasien dengan gagal
ginjal kronik (Beach et al., 2016). Anemia merupakan komplikasi yang biasa terjadi
pada pasien Gagal ginjal kronik (Wagner, Tata and Fink, 2016). Hal ini biasa terjadi
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, terutama saat laju GFR turun dibawah 60
mL/menit (Nakhoul and Simon, 2016). Anemia merupakan kompilkasi yang sering
terjadi pada pasien gagal ginjal kronik. Pasien gagal ginjal kronik dengan anemia terjadi
kekurangan eritropoietin akibat berkurangnya dari massa ginjal (Ryu et al., 2017).
Pasien CKD merupakan keadaan adanya peradangan kronis, adanya hal tersebut
dapat melemahkan respons kekebalan tubuh terhadap suatu infeksi. Kondisi CKD
merupakan immunocompromised dan lebih rentan terhadap infeksi, baik infeksi bakteri
ataupun infeksi jamur (Shankar et al., 2021). Pasien mengalami infeksi jamur yang
ditandai dengan hasil laboratorium dengan kadar yeast 1732,4 pada tanggal 17/6/2021,
terapi yang di berikan yaitu dengan flukonazol 200mg 1x 24jam. Flukonazol merupakan
golongan antifungi yang dapat digunakan untuk mengeradikasi fungi (jamur) pada
saluran kemih. Mekanisme aksi flukonazol adalah mengganggu aktivitas sitokrom P450
jamur (lanosterol 14-demethylase) kemudian menurunkan sintesis ergosterol yang
merupakan sterol utama dalam membran sel jamur sehingga dapat menghambat
pembentukan membran sel jamur (Lacy et al., 2008). Flukonazol dapat terdialisis 50%
sehingga apabila pasien melakukan hemodialysis maka pemberian flukonazol diberikan
setelah terapi hemodialysis dengan dosis 100%. Pemberian terapi sudah menunjukkan
perbaikan kondisi yaitu kadar yeast (Jamur) pada hasil pemeriksaan laboratorium urin
menunjukkan penurunan yaitu 252,3 pada tanggal 25/6/21, sehingga terapi tetap
dilanjutkan diganti dengan flukonazol oral 200mg per hari. Selain itu pada pasien juga
mengalami infeksi bakteri pada hasil laboratorium urin dengan kadar 26441,8. ISK
adalah invasi mikroba patologis pada saluran kemih yang merupakan salah satu infeksi

33
paling umum terjadi. Apabila ISK tidak diobati, maka dapat berkembang dan
memperbutuk fungsi ginjal, dapat menyebabkan pielonefritis, sepsis, syok septik hingga
kematian (Shankar et al., 2021). Pengobatan ISK dapat digunakan berbagai jenis
antibiotic sesuai dengan sensitivitasnya. Sebagian besar penyebab ISK adalah bakteri
E.coli, Pseudomonas, dan Klebsiella. Terapi antibiotic pasien adalah cefoperazon 1g
tiap 12 jam, cefoperazon merupakan antibiotic golongan sefalosporin generasi ke 3 yang
lebih efektif mengeradikasi bakteri Gram negative. Cefoperazon masih memiliki
sensitifitas yang baik untuk mengeradikasi bakteri E.coli, Pseudomonas, dan Klebsiella
(Shankar et al., 2021). Cefoperazon juga dapat diberikan pada pasien dengan gagal
ginjal dengan dosis 1 gram tiap 12 jam (PIONAS, 2015). Terapi dapat diberikan dan di
lakukan monitoring kadar bakteri dalam urin untuk mengetahui efektifitas terapi.
Tabel 4 Sensitifitas antibakteri (Shankar et al., 2021)

Pasien sebelumnya memiliki riwayat CHF Stage 2 dan mendapatkan terapi


Clopidogrel 75 mg, Atorvastatin 20mg dan ISDN 5mg. Gagal jantung kongestif (CHF)
adalah sindrom klinis kompleks yang dapat terjadi akibat gangguan jantung fungsional
atau struktural yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk mengisi atau
mengeluarkan darah (Figueroa M.S, 2006). CHF biasanya diklasifikasikan berdasarkan
tingkat keparahan gejalanya. Tabel di bawah ini menjelaskan sistem klasifikasi yang

34
paling umum digunakan, Klasifikasi Fungsional New York Heart Association
(NYHA)1.

Pemberian Clopidogrel dan Atorvastatin digunakan untuk maintenance CHF


pasien, sehingga tetap digunakan sesuai dengan terapi. Penggunaan Atorvastatin sebagai
maintenance pada kasus ini karena Atorvastatin termasuk kedalam golongan Statin.
Statin adalah antagonis kompetitif dari 3-hidroksi-3-metil-glutaril-CoA reduktase,
sehingga mengurangi kecepatan biosintesis kolesterol di hati dan usus. Dengan
menghambat biosintesis kolesterol, statin mengurangi kehadirannya dalam sel, yang
menyebabkan penurunan konsentrasi serum total kolesterol, trigliserida, fraksi
kolesterol low-density lipoprotein (LDL), dan lipoprotein densitas menengah, sambil
meningkatkan sekresi high-density lipoprotein. lipoprotein (HDL) dan ekspresi reseptor
LDL (Cybulska, 2012).
Statin dapat menurunkan CAD dengan menstabilkan plak ateroma, pengurangan
volume ateroma, dan pencegahan pembentukan lesi aterosklerotik baru yang
menghasilkan lebih sedikit MI dan lebih sedikit kerusakan jaringan jantung yang terkait
sam halmya ketika statin menurunkan insiden Hearth Failure (Ford I, 2016). Sedangkan
Clopidogrel yang merupakan obat antiplatelet. Pasien dengan CHF dengan aktivitas
trombosit yang meningkat merupakan populasi target potensial di mana penambahan
clopidogrel dapat menurunkan angka kematian dengan mengurangi kejadian kejadian
vaskular trombotik.

35
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Terapi yang diterima pasien sudah sesuai dan adekuat
2. Obat-obatan yang digunakan pasien aman dan tidak masuk kedalam kriteria
Beers dan STOP START
3. Perlu dilakukan monitoring terkait kemungkinan timbulnya efek samping
penggunaan obat-obatan pada pasien

36
DAFTAR PUSTAKA
American Geriatrics Society. (2012). "Identifying medications that older adults should
avoid or use with caution: the 2012 American Geriatrics Society updated Beers
criteria". New York: Foundation for Health in Aging.

American Geriatrics Society. (2019). “Updated AGS Beers Criteria® for Potentially
Inappropriate Medication Use in Older Adults". Journal of the American
Geriatrics Society. Wiley. 67 (4): 674–694. 2019-01-
29. doi:10.1111/jgs.15767. ISSN 0002-8614. PMID 30693946. The AGS Beers
Criteria® is an explicit list of Potentially Inappropriate Medications (PIMs) that
are typically best avoided by older adults in most circumstances or under specific
situations, such as in certain diseases or conditions.

Arora, P. (2021). Chronic Kidney Disease (CKD). terdapat di


https://emedicine.medscape.com/article/238798-overview [Diakses pada 9
Agustus 2021].

Arif Muttaqin. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Penerbit Salemba Medika.

Asif, M.D. Sabir, A. (2011). A Review on Candesartan: Pharmacological and


Pharmaceutical Profile. Jurnal of Applied Pharmaceutical Sciense.
www.japsonline.com

Barry, P. (2007). START (screening tool to alert doctors to the right treatment) an
evidance based screening tool to detect prescribing omissions in elderly patients.
O’MAHONY Age and Ageing; 36. 632–638
http://ageing.oxfordjournals.org/content/36/6/632.full.pdf+html

Burger, M.K. Schaller DJ. Metabolic Acidosis. [Updated 2021 Jul 26]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482146/

Chodzko-Zajko, Ringel, Miller R. (2009). Biology of aging and longevity. In: Halter BJ,
Ouslander JG Tiinneti ME, Studenski S, Higj KP, Asthana K, editors. Hazzard’s
geriatric medicines and gerontology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Health
Professions Divisons.

Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Diterjemahkan oleh: Nike Budhi
Subekti. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

37
Clinical Practice Recommendations for Primary Care Physicians and Healthcare
Providers. (2011). Chronic Kidney Disease (CKD). A Collaborative Approach
(Edition 6.0)

Cybulska B, Kłosiewicz-Latoszek L. (2012). Statins 25 years in preventive


cardiology. Kardiol Pol. ;70:511–516.

Duke Clinical Research Institute. (2018). Beers Criteria (Medication List). Duke
Health. Retrieved August 28,

Elaine, K.U, Benjamin, J.L. (2019). Hypertension in CKD: Core Curriculum 2019.
AJKD Vol XX | Iss XX.

Fakhidah, L. N., & Putri, K. S. E. (2016). Faktor-faktor yang berhubungan dengan


status hemoglobin pada remaja putri. Maternal, 1(1), 60–66.

Feigin, V. L., Forouzanfar, M. H., Krihshnamurthi, R., Mensah, G. A., Connor, M.,
Bennett, D. A., Naghavi, M. (2014). Global and regional burden of stroke during
1990-2010: Findings from the Global Burden of Disease Study 2010. The Lancet,
383(9913), 245–255.

Figueroa, M.S. Jay, I.P. (2006). Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology,
Therapy, and Implications for Respiratory Care.

Ford, I., Shah, A.S.V., Zhang, R., McAllister,D.A, Strachan, F.E., Caslake, M., et al.
(2016). High-sensitivity cardiac troponin, statin therapy, and risk of coronary
heart disease. J Am Coll Cardiol ;68:2719–2728. doi: 10.1016/j.jacc.2016.10.020.

Hutagaol., Emma., Veronika. (2017). “Peningkatan Kualitas Hidup Pada Penderita


Gagal Ginjal Krinik Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Melalui Psygological
Intervention Di Unit Hemodialisa RS Royal Prima Medan Tahun 2016.” In Light
of Another’s Word: European Ethnography in the Middle Ages 2: 1–211.

Kathleen, M., Hill, Gallant & David, M. Spiegel. (2017). Calcium Balance in Chronic
Kidney Disease. Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME). Curr
Osteoporos Rep 15:214–221.

Jung, B., Martinez, M., Claessens, Y. E., Darmon, M., Klouche, K., Lautrette, A.,
Levraut, J., Maury, E., Oberlin, M., Terzi, N., Viglino, D., Yordanov, Y., Claret,
P. G., Bigé, N., Société de Réanimation de Langue Française (SRLF), & Société
Française de Médecine d’Urgence (SFMU). (2019). Diagnosis and management of
metabolic acidosis: guidelines from a French expert panel. Annals of intensive
care, 9(1), 92. https://doi.org/10.1186/s13613-019-0563-2

Kemenkes RI. (2013). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013. Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta.

38
Kemenkes RI. (2017). Diagnosis, Klasifikasi, Pencegahan, Terapi Penyakit Ginjal
Kronis, terdapat pada. http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/dki-
jakarta/diagnosis-klasifikasi-pencegahan-terapi-penyakit-ginjal-kronis [diakses
pada 10 Agustus 2021].

Kraut, J. A. & Madias, N. E. (2010). Metabolic acidosis: pathophysiology, diagnosis


and management. Macmillan Publishers Limited. Nat. Rev. Nephrol. 6, 274–285.
www.nature.com/nrneph. doi:10.1038/nrneph.2010.33.

Levey, A.S. et al. (2005). Definition and classification of chronic kidney disease: A
position statement from Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO),
Kidney International, Vol. 67, pp. 2089–2100.

Lynch, S. (2007). Indicators of iron status of populations: red blood cell parameters. In
Assessing the Iron Status of Populations: Including Literature Reviews: Report of
a Joint World Health Organization/Centers for Disease Control and Prevention
Technical Consultation on the Assessment of Iron Status at the Population Level,
Geneva Switzerland. 6–8 April 2004 2nd ed. Geneva: World Health Organization.

Macdougall, I.C. Locatelli, F,. Fishbane, S., Block, G.A. (2017). Targeting Hypoxia-
Inducible Factors for the Treatment of Anemia in Chronic Kidney Disease
Patients. Am J Nephrol 2017;45:187-199. https://doi.org/10.1159/000455166

Menteri Kesehatan RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 79 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri di Rumah
Sakit. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Miller, E.M. (2014). Iron status and reproduction in US women: National Health and
Nutrition Examination Survey, 1999–2006. PLoS One 9: e112216. [PubMed:
25375360]

National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative. (2005).


K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Cardiovascular Disease in Dialysis
Patients.

National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative. (200).


KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. Available
at http://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/toc.htm.

Paul, Gallagher. (2011). Potentially Inappropriate Medications Defined by STOPP


Criteria and the Risk of Adverse Drug Events in Older Hospitalized Patients
Hilary Hamilton. FRCPI Arch Intern Med. 2011;171(11):1013--‐1019
http://ageing.oxfordjournals.org/content/37/6/673.full.pdf+html

39
Peraturan Menkes RI. (2017). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana
Penyakit Ginjal Tahap Akhir. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Price, S.A., Wilson, L.M. (2012). Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Pranawa. (1993). Anemia pada Gagal Ginjal Kronik. Majalah Ilmu Penyakit Dalam.
Surabaya. 1 (19) : 31-32.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Diakses: 17 September 2021, dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20

Sabiston, D.C, 1995, Buku Ajar Bedah, EGC, Jakarta

Schreir, S.L. (2018). Approach to the Adult Patient with Anemia Mentzer WC, Ed.
Waltham, MA: UpToDate Inc

Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem 6 th ed.Jakarta:EGC.

Sloane, Ethel. (2004). Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Steinman, M.A., Beizer, J.L., DuBeau, C.E., Laird, R.D., Lundebjerg, N.E., Mulhausen,
P. (2015). "How to Use the American Geriatrics Society 2015 Beers Criteria-A
Guide for Patients, Clinicians, Health Systems, and Payors". Journal of the
American Geriatrics Society. Wiley. 63 (12): e1–
e7. doi:10.1111/jgs.13701. ISSN 0002-8614. PMC 5325682.

Suryani, D., Hafiani, R., & Junita, R. (2015). Analisis pola makan dan anemia gizi besi
pada remaja putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. 10(1),
11–18.

The Drug Information Handbook with International Trade Names Index, 21st Edition is
divided into four sections.

Triwinarni, C., Hartini, T. N. S., & Susilo, J. (2017). Hubungan status gizi dengan
kejadian anemia gizi besi (AGB) pada siswi SMA di Kecamatan Pakem. Jurnal
Nutrisia. 19(1), 61–67.

Vaidya, S.R., Aeddula, N.R. (2021). Chronic Renal Failure. [Updated 2021 Jul 16]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535404/

40
Warner, H.R., Sierra, F., Thompson, L.V. (2010). Biology of aging. In: Fillit HM,
Rockwood K, Woodhouse K, editors. Brocklehurst’s textbook of geriatric
medicine and gerontology. 7th ed. New York: Saunders.

World Health Organization. (2003). Pregnancy, childbirth, postpartum and newborn


care: a guide for essential practice Geneva. World Health Organization.

World Health Organization. (2005). Handbook: IMCI integrated management of


childhood illness Geneva. World Health Organization.

World Health Organization. (2011). Haemoglobin concentrations for the diagnosis of


anaemia and assessment of severity Accessed August 4, 2021
http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf.

41
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Latar Belakang
Geriatri adalah pelayanan kesehatan untuk lanjut usia (lansia) yang
mengobati kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua, lansia adalah
seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun ke atas. Saat ini ilmu geriatri menjadi
sangat penting untuk dipahami oleh tenaga kesehatan karena jumlah penduduk usia
lanjut di Indonesia yang semakin meningkat. Berdasarkan data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2014, jumlah lansia di Indonesia mencapai 20,24
juta jiwa atau 8,03% dari seluruh penduduk Indonesia sehingga termasuk negara
dengan struktur penduduk menuju tua atau ageing population. Hal ini juga
mempengaruhi angka harapan hidup yang meningkat mencapai 70,7 tahun.
Diperkirakan persentase lansia di Indonesia akan mencapai 11,34% pada tahun 2020
dan Indonesia akan menjadi negara ke-5 yang paling banyak jumlah lansianya pada
tahun 2025. Perubahan struktur demografi ini mengakibatkan perubahan juga dalam
strategi pelayanan kesehatan di Indonesia, yaitu dengan lebih memperhatikan
penyakit yang terjadi pada lansia.
B. Tinjauan Pustaka
a. Uremikum
a. Definisi
Uremia adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada
semua organ akibat penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi retensi sisa
pembuangan metabolisme protein, yang ditandai dengan peningkatan kadar
ureum diatas 50 mg/dl. Uremia lebih sering terjadi pada Gagal Ginjal Kronis
(GGK), tetapi dapat juga terjadi pada Gagal Ginjal Akut (GGA) jika
penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat. Hingga sekarang belum
ditemukan satu toksin uremik yang ditetapkan sebagai penyebab segala
manifestasi klinik pada uremia1
b. Manifestasi Klinis
- Kejang

42
- Tremor
- Lemah otot di salah satubagian tubuh
- Sulit menelan dan berbicara
- Penurunan kesadaran
c. Patofisiologi
Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus
sawar darah otak melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa
dijadikan satusatunya penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena jumlah
ureum dan kreatinin tidak berhubungan dengan tingkat penurunan kesadaran
ataupun adanya asterixis dan myoclonus, Pada gangguan ginjal, metabolisme
otak menurun sehingga menyebabkan rendahnya konsumsi oksigen serebri.
Penjelasan yang memungkinkan pada perubahan ini adalah reduksi
neurotransmitter, menyebabkan aktivitas metabolik berkurang. Pompa Na/K
ATPase mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan penting dalam menjaga
1
gradien kalsium 10 000:1 (di luar−di dalam sel) Dengan adanya uremia,
terdapat peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi
menyatakan bahwa aktivitas pompa Na/K ATPase menurun pada keadaan
uremik akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan
neurotransmitter seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu
menjelaskan gangguan fungsi sinaps dan menurunnya konsentrasi
neurotransmitter, Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan
peningkatan jumlah glisin dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga
terjadi perubahan metabolisme dopamin dan serotonin di dalam otak,
menyebabkan gejala awal berupa clouded sensorium. Selanjutnya terdapat
gangguan fungsi sinaps yaitu memburuknya uremia, terjadi akumulasi
komponen guanidino, terutama guanidinosuccinic acid, yang meningkat
pada otak dan LCS pada gagal ginjal, memiliki efek inhibisi pada pelepasan
ã-aminobutyric acid (GABA) dan glisin, juga mengaktivasi reseptor
Nmethyl-D-aspartate (NMDA). Toksin ini menganggu pelepasan
neurotransmitter dengan cara menghambat channel klorida pada membran
neuronal. Hal ini dapat menyebabkan myoklonus dan kejang. Sebagai

43
tambahan, methylguanidine terbukti menghambat aktivitas pompa Na/K
ATPa

Kontribusi aluminium pada UE kronik masih belum jelas diketahui.


Sumber alumunium diperkirakan dari diet dan obat-obatan terikat fosfat.
Transpor aluminium menuju otak hampir pasti melalui reseptor transferin
pada permukaan luminal pada sel endotel kapiler otak. Jika sudah melewati
otak, aluminium dapat mempengaruhi ekspresi âA4 protein prekursor yang
melalui proses kaskade menyebabkan deposisi ekstraselular dari âA4
protein. Secara ringkas, patofisiologi dari UE adalah kompleks dan mungkin
multifaktorial2
d. Tatalaksana
Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang
terjadi sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif,
prognosis buruk tanpa dialisis dan transplantasi renal. UE akut ditatalaksana
dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis, Transplantasi ginjal juga dapat
dipertimbangkan. Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake
intestinal dan fungsi renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur
diet atau dengan pemberian absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk
menurunkan toksin uremik dengan diet rendah protein, atau pemberian
prebiotic atau probiotik seperti bifidobacterium. Menjaga sisa fungsi ginjal
juga penting untuk eliminasi toksin uremik obat antikonvulsan yang sering
digunakan dalam menangani kejang yang berhubungan dengan uremia
adalah2

44
 Benzodiazepine untuk kejang myoklonus, konvulsif atau non-
konvulsif parsial kompleks atau absens
 Ethosuximide, untuk status epileptikus absens
 Fenobarbital, untuk status epileptikus konvulsif

Koreksi anemia dengan eritropoetin rekombinan pada pasien dialisis


dengan target Hb 11 sampai 12 g/dl dapat berhubungan dengan
meningkatnya fungsi kognitif dan menurunkan perlambatan pada EEG
b. Sindrom Geriatri
a. Definisi
Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang
dapatmempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan kecacatan.
(amplan klinisyang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak
terdiagnosis. Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi,
inkontinesia, ket ergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat
menyebabkan angka morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk
pada usia tua yang lemah.Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem
organ. Sindrom geriatrik mungkin memiliki kesamaan patofisiologi
meskipun presentasi yang berbeda, dan memerlukaninter4entasi dan strategi
yang berfokus terhadap faktor etiologi3
b. Klasifikasi
1) Imobility
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau
lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menhilang akibat perubahan
fungsi fisiologis. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat
menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi
adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekuatan otot, ketidakseimbangan dan
masalah psikologis
2) Instability
Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri
terjatuh dan dapat mengalami patah tulang. Terdapat banyak faktor yang
berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut.

45
Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor enstrinsik
(faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor
yang terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan
masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah mengobati berbagai kondisi
yang mendasari instabilitas dan jatuh,memberikan terapi fisik dan
penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu,
sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih
aman seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin
3) Intelektual Impairment
Keadaan yang terutama menyebabkan gangguan intelektual pada pasien
lanjut usia adalah delirium dan demensia. Demensia adalah gangguan
fungsi intelektual dan memori yang dapat disebabkan oleh penyakit otak,
yang tidak berhubungan tingkat kesadaran. Demensia tudak hanya
masalah pada memori. Demensia mencakup berkurangnya kemampuan
untuk mengenal, berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang
lalu dan juga kehilangan pola sentuh, psien menjadi perasa dan
terganggunya aktivitas3
c. Etiologi
1) Immobility
Lansia yang terus-menerus berada ditempat tidur (disebut berada pada
keadaan(bed rdden). Berakiabt atrofi otot, decubitus, malnutrisi, serta
pnemonia. Faktor resikonya dapat berupa osteortritis, gangguan
penglihatan, fraktur, hipotensi postural, anemia, stroke, nyeri, demensia,
lemah otot, vertigo, keterbatsan ruanglingkup, PPOK, gerak sendi
hipotiroid dan sesak napas, imobilisasi pada lansiadiakibatkan oleh
adanya gangguan nyeri, kekakuan, ketidakseimbangan, sertakelainan
psikolog
2) Instability
Akibat yang ditimbulkan seperti peristiwa jatuh merupakan masalah
yang juga penting pada lansia terutama lansia wanita.
3) Intelektual impaired

46
Gangguan intelektual berlangsung progresif disebut demensia. Muncul
secara perlahan secara perlahan tetapi progresif (biasanya selang bulanan
hingga tahunan). Gangguandepresi juga merupakan penyebab
kemunduran intelektual yang cukup seringditemukan namun seringkali
terabaikan.depresi disebabkan oleh adanya suasanahati atau mood yang
bersifat depresif yang berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu yang
disertai keluhan-keluhan negetatif berupa gangguan tidur, penurunan
minat, perasaan bersalah, merasa tidak bertenaga, kurang konsentrasi,
hilangnya nafsu makan
4) Incontinance
Adalah penegluaran urin/feses tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi
yangcukup sehingga mengakibatkan maslah gangguan kesehatan atau
sosial. Ini bukan konsekuensi normal dari pertambahan usia. Penyebanya
kelainan urologi (radang, batu, tumor), kelainan neurologi (stroke,
trauma medula spinalis, demensia) lainya (imobilisasi, lingkungan).
Dapat akut disaat timbul penyakit atau yang kronik.
5) Isolation
Penyebabnya: kehilangan orang/objek yang dicintai, sikap
pasimistik,kecenderungan beradumsi negatif terhadap suatu pengalaman
yang mengecewakan, kehilangan integritas pribadi, penyakit degeneratif
kronik tanpadukungan sosial yang adekuat
6) Impotance
- DE organik akibat gangguan endokrin, neurogenik, vaskuler
(aterosklerosis atau fibrosi)
- DE psikogenik merupakan penyebab utama pada gangguan
organik,walaupun faktor psikogenik ikut memegang peranan. DE
jenis ini yang berpotensi reversible potensial biasanya yang
disebabkan oleh kecemasan,depresi, rasa bersalah, masalah
perkawinan atau juga akibat dari rasa takutakan gagal dalam
hubungan seksual.

47
7) Infection
Terjdi akibat beberapa hal antara lain adanya penyakit penyakit yang
cukup banyak, menurunnya daya takan/imunitas terhadap infeksi,
menurunya daya komunikasi sehingga sulit/jarang mengeluh, sulitnya
mengenal tanda infeksisecara dini. Ciri utama pada semua penyakit
infeksi biasanya ditandai dengan peningkatan temperatur badan, sering
dijumpai pada usia lanjut.
8) Inanitation
Penyebab terjadinya gizi buruk adalah depresi berkabung, imobilisasi,
penyakit kronis (PPOK, rematik, gagal jantung, diabetes, gagal ginjal,
dispepsia, gangguanhati, keganasan), demensia dan demam.
9) Impaction
Konstipasi yang terjadi pada lansia dibabkan karena pergerakan fisik
pada lansiayang kurang mengkonsumsi makan berserat, kurang minum,
juga akibat pemberian obat-obatan tertentu.
10) Insomnia
Pada lansia dapat disebabkan oleh faktor yang terdiri dari nyeri kronis,
sesak napas pada penyakit paru obstruktif kronis, gangguan psikiatrik
(gangguan cemas dandepresi), penyakit neurologi (parkinson’s
disease, alzheimer disease) da n obat-obatan kortikosteroid dan
diuretik)4
d. Manifestasi Klinis
Semakin bertambah usia seseorang semakin banyak terjadi
perubahan pada berbagai sistem dalam tubuh. Perubahan yang terjadi
cenderung mengarah pada penurunan berbagai fungsi tersebut. Pada sistem
saraf pusat terjadi pengurangan massa otak, aliran darah otak, densitas
koneksi dendritik, reseptor glukokortikoid hipokampal, dan terganggunya
autoregulasi perfusi. Timbul proliferasi astrosit dan berubahnya
neurotransmiter, termasuk dopamin dan serotonin. Terjadi
peningkatanaktivitas monoamin oksidase dan melambatnya proses sentral
dan waktu reaksi3

48
Pada fungsi kognitif terjadi penurunan kemampuan meningkatkan
fungsi intelektual; berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak yang
menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang
selama transmisi; berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru
dan mengambil informasi dari memori. Kemampuan mengingat kejadian
masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuamengingat kejadian yang baru
saja terjadi. ingat kejadian yang baru saja terjadi.
Pada fungsi penglihatan terjadi gangguan adaptasi gelap; pengeruhan
pada lensa: ketidakmampuan untuk fokus pada benda-benda jarak dekat
(presbiopia);berkurangnya sensitivitas terhadap kontras dan lakrimasi.
Hilangnya nada berfrekuensi tinggi secara bilateral timbul pada funsgsi
pendengaran. Di samping itu pada usia lanjut terjadi kesulitan untuk
membedakan sumber bunyi danterganggunya kemampuan membedakan
target dari noise.
Pada sistem kardiovaskuler, pengisian ventrikel kiri dan sel pacu
jantung (pacemaker) di nodus SA berkurang; terjadi hipertrofi atrium kiri;
kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama; respons inotropik,
kronotropik, terhadap stimulasi beta-adrenergik berkurang; menurunnya
curah jantung maksimal; peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP)
serum dan resistensi vaskular perifer.
Pada fungsi paru-paru terjadi penurunan forced expiration volume 1
second (FEVI) dan forced volume capacity (FVC); berkurangnya efektivitas
batuk dan fungsi silia dan meningkatnya volume residual. Adanya
‘ventilation-perfusion mismatching’ yang menyebabkan PaO2 menurun
seiring bertambahnya usia : 100 – (0,32 x umur).
Pada fungsi gastrointestinal terjadi penururan ukuran dan aliran
darah ke hati, terganggunya bersihan (clearance) obat oleh hati sehingga
membutuhkan metabolisme fase I yang lebih ekstensif. Terganggunya
respons terhadap cedera pada mukosa lambung, berkurangnya massa
pankreas dan cadangan enzimatik, berkurangnya kontraksi kolon yang
efektif dan absorpsi kalsium. Menurunnya bersihan kreatinin (creatinin

49
clearance) dan laju filtrasi glomerulus (GFR) 10 ml/dekade terjadi dengan
semakin bertambahnya usia seseorang. Penurunan massa ginjal sebanyak
25%, terutama dari korteks dengan peningkatan relatif perfusi nefron
jukstamedular. Aksentuasi pelepasan anti diuretic hormone (ADH) sebagai
respons terhadap dehidrasi berkurang dan meningkatnya ketergantungan
prostaglandin ginjal untuk mempertahankan perfusi. Pada saluran kemih dan
kelamin timbul perpanjangan waktu refrakter untuk ereksi pada pria,
berkurangnya intensitas orgasme pada pria maupun wanita, berkurangnya
sekresi prostat di urin dan pengosongan kandung kemih yang tidak
sempurna serta peningkatan volume residual urin. Toleransi glukosa
terganggu (gula darah puasa meningkat 1 mg/dl/dekade; gula darah
postprandial meningkat 10 mg/dl/dekade). Insulin serum meningkat, HbA1C
meningkat, IGF-1 berkurang. Penurunan yang bermakna pada
dehidroepiandrosteron (DHEA), hormon T3, testosteron bebas maupun
yang bioavailable, dan produksi vitamin D oleh kulit serta peningkatan
hormon paratiroid (PTH). Ovarian failure disertai menurunnya hormon
ovarium.
Pada sistem saraf perifer lanjut usia mengalami hilangnya neuron
motor spinal, berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki, berkurangnya
sensitivitas termal (hangatdingin), berkurangnya amplitudo aksi potensial
yang termielinasi dan meningkatnya heterogenitas selaput akson myelin.
Massa otot berkurang secara bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya
serat otot. Efek penuaan paling kecil pada otot diafragma; berkurangnya
sintesis rantai berat miosin, inervasi, meningkatnya jumlah miofibril per unit
otot dan berkurangnya laju basal metabolik(berkurang 4%/dekade setelah
usia 50). Pada sistem imun terjadi penurunan imunitas yang dimediasi sel,
rendahnya produksi antibodi, meningkatnya autoantibodi, berkurangnya
hipersensitivitas tipe lambat, berkurangnya produksi sel B oleh sumsum
tulang; dan meningkatnya IL-6 dalam sirkulasi.
Pada umumnya lansia mengalami depresi ditandai oleh mood depresi
menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas sehari- hari,

50
dan dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri. Pada lansia
gejala depresi lebih banyak terjadi pada orang dengan penyakit kronik,
gangguan kognitif, dan disabilitas. Kesulitan konsentrasi dan fungsi
eksekutif lansia depresi akan membaik setelah depresi teratasi. Gangguan
depresi lansia dapat menyerupai gangguan kognitif seperti demensia,
sehingga dua hal tersebut perlu dibedakan. Para lansia depresi sering
menunjukkan keluhan nyeri fisik tersamar yang bervariasi, kecemasan, dan
perlambatan berpikir. Perubahan pada lansia depresi dapat dikategorikan
menjadi perubahan fisik, perubahan dalam pemikiran, perubahan dalam
perasaan, dan perubahan perilaku3
e. Patofisiologi
Patatofisologi yang terjadi pada setiap orang bisa berbedah, tetapi
antara lain mencangkup4
1. Penurunan fungsi otonom yang berhubungan dengan usia dan
munhkin disertai hilangnya elastisatas dinding pembuluh darah
2. Gangguan dari aktivitas baro-refleks akibat tirah baring yang
terlalu lama. Keadaan ini sering terdapat pada penderita lansia
yang tekanan darahnya dipertahankan dengan fasokontreksi yang
hampir maksimal (misaknya setelah terkena infark miocard). Tak
terdapat lagi cadangan otot jantung , sehingga pada saat bangun
tiudr tekanan tidak bisa dipertahankan lagi.
3. Hipovalemia dan/ hiponatremia sebagai akibat berbagai keadaan,
antara lain pemberian diuretika
4. Berbagai obat yang bersifat hipotensif, antara lain tiasid dan
diuretika, fenotiasin, antidepresan trisiklik, butirofenon, lefodopa,
dan bromokriptin
5. Akibat berbagai penyakit yang menggangu saraf otonom

51
BAB II
LEMBAR PHARMACEUTICAL CARE
A. Profil Pasien Sindrom Geriatri

1. Identitas Pasien

Nama Tn. K Status BPJS


Umur 83 tahun MRS 15/6/2021
Alamat Jl. Monjali KRS -

2. Data Subjektif Pasien


a. Keluhan masuk RS
1) Lemas
2) Nafsu makan dan minum menurun
3) Gelisah
b. Diagnosis
1) Uremikum
2) Gagal ginjal akut
3) Hiperkalemia
4) Sindrom Geriatri
3. Data Objektif Pasien
Parameter Tanggal Pemeriksaan
15/6 16/6 17/6 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6 23/6 24/6
TD 140/80 130/70 132/74 130/70 135/80 133/72 130/70 140/70 137/76 130/70
Nadi 87 85 88 84 85 84 83 79 88 86
Nafas 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
Suhu 36 36 36 36 36 36 36 36 36 36

4. Data Laboratorium

Parameter Nilai Tanggal Pemeriksaan


Normal
16/6 18/6 25/6 28/6

52
Hemoglobin 13-16 8,3 6,9 2,05 11,2
Lekosit 4,50-11,50 17,2 13,5 11,32
Trombosit 150-450 290 310
Eritrosit 4,60-6,00 3,84 3,38
Hematokrit 40-54 33,7
MCV 80-94 59,3
MCH 26-32 21,1
MCHC 32-36

Parameter Nilai Tanggal Pemeriksaan


Normal 16/6 18/6 25/6 28/6
SGPT 104
SGOT 88
GDS 95 114
BUN 6-20 155, 64,6 90,5 77,8
5
Creatinin 0,7-1,2 9,69 4,33 6,42 6,16
Natrium 136-145 130 142 130
Kalium 3,5-5 8,75 5,33 5,1
Klorida 98-107 110 108 10,1
Albumin 3,97-4,94 2,53 1,97 2,21
Bilirubin total 2,09
Bilirubin direct 1,76

Parameter Nilai Normal 17/6


Neutrofil 50-70 87
Monosit 2,0-11 5
Basofil 0,0-2 1,6
Eosinofil 1-3 3,1

53
Limfosit 1,62-5,37 6,8

Parameter Nilai Normal 16/6


TCO2 23-27 13
LAC 0,36-1,25 1,57
PO2 80-105 62
PCO2 35-45 23,6
BE -2-3 -15
HCO3 22-26 12,6
pH 7,35-7,45 7,308

5. Faal Hemostasis

Parameter Nilai Normal 16/6/21


PPT 12,3-15,3 detik 22,0

INR 0,90-1,10 1,82

Kontrol PTT - 14,7

APTT 27,9-37,0 detik 33,2

Kontrol APTT - 31,3

54
B. Terapi Pasien

Obat Rute Dosis 16/6 17/6 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6 23/6 24/6 25/6 26/6 27/6 28/6
Durogesik Patch 72mcq/72 V V V V
patch jam
MST P.O 10mg/12 V STOP
jam
Xarelto P.O 10mg/12 V V V V V STOP
jam
Kalitake P.O 1 sach/8 V V V V V V V V V V V V
jam
Nadic P.O 2x50mg V V
Gabapentin P.O 1x100mg V V V V V V V V
Laxadyn syr P.O 1x10 cc V V
Lansoprazole P.O 2x30 mg V V
(ac)
Cefoprazone I.V 1g/12 jam V V V V V V V STOP
Undafalk P.O 250mg/ 12 V V V V V V V V V V V V V
jam
Concor P.O 2,5 mg/24 V V V V V V V V V V V V V
jam

55
Furosemide I.V 1A/24 jam V V V V V V V V V V V V V
Claritromisin P.O 500mg/24 V V V V V V V V STOP
jam
D40% I.V 2 flash V V
Vitamin K I.V 1 amp/8 V V V V V V V V V V V V V
jam
Barotec MDI 3x1 amp V V V V V V V
Prove D3 P.O 1000 V V V V V V V V V V V V V
unit/24 jam
Vip Albumin P.O 3x1 tab V V V V V V V V V V V V V
Piracetam I.V 1 gr V

56
C. Assesment Pasien (SOAP)

Problem Medik Subyektif Obyektif Assesment Plan


- Uremikum 1. Lemas Terapi : Interaksi serius antara - Monitoring Pernafasan pasien
- Gagal ginjal 2. Pasien - Durogesik Patch Durogesik (Fentanyl) - Monitoring tekanan darah pasien
akut merasakan - MST dan MST (Morfin) - Monitoring tingkat sedasi pasien
- Hiperkalemia nyeri di - Rivaroxaban secara signifikan - Monitoring kadar albumin pasien
- Sindrom bagian - Kalitake pemberian bersama setelah diberikan VIP albumin
Geriatri bahu - Nadic dengan depresan SSP - Monitoring perdarahan pasien
- Hipoalbumin 3. Gelisah - Lansoprazole lainnya, seperti karena PTT dan APTT mengalami
4. Nafsu - Gabapentin relaksan otot rangka, perpanjangan
makan dan - Laxadyn dapat menyebabkan - Monitoring ESO dari natrium
minum - Cfoprazone depresi pernapasan, diklofenak, jika pasien mengalami
pasien - Furosemide hipotensi, sedasi ulcer segera diberikan obat golongan
menurun - Bisoprolol mendalam, koma, dan PPI
- D40% / atau kematian - Monitoring kadar kalium darah
- Vip Albumin pasien
- Piracetam - Monitoring nyeri pada bahu pasien

57
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Tn. K berumur 83 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan Lemas,
nafsu makan dan minum menurun, kemudian gelisah, demam (-), mual (-), muntah (-),
diare (-), sesak nafas (-), batuk (-) setelah dilakukan pemeriksaan pasien didiagnosa
Uremikum, Gagal Ginjal Akut, Sindrom Geriatri, Hiperkalemia. Riwayat pernah
opname 2x kemudian ISK kondisi lemas. Berdasarkan hasil laboratorium, AL pasien
13,5 dimana batas normalnya adalah 11,50. Oleh karena itu deberikan Cefoperazone
untuk menurunkan angka leukosit. Cefoperazone, sefalosporin generasi ketiga,
mengganggu sintesis dinding sel dengan mengikat protein pengikat penisilin (PBP),
sehingga mencegah ikatan silang peptidoglikan yang baru lahir. Cefoperazone stabil
terhadap penisilinase dan memiliki tingkat stabilitas yang tinggi terhadap banyak beta-
laktamase yang dihasilkan oleh bakteri gram negative 6
Digunakannya furosemide golongan Loop diuretik masuk kategori Stopp jika
digunakan sebagai antihipertensi karena ada alternatif yang lebih aman seperti ACEI
atau ARB dan juga masuk dalam kategori stopp jika untuk edema pergelangan kaki
tanpa adanya bukti klinis karena penyakit gagal jantung, gagal hati, atau gagal ginjal,
karena pasien mempunyai diagnosa jadi furosemide boleh untuk dilanjutkan.
- Absorbsi : Furosemide cukup mudah diserap disaluran cerna, bioavabilitas sekitar
60-70%. Waktu paruh furosemid. Waktu paruh sekitar 2 jam dan lebih panjang pada
pasien neonatal dan pasien gangguan ginjal dan hati.
- Eksresi : diekskresikan dalam urin dalam bentuk tidak berubah, sisanya
berkonjugasi dengan asam glukuronat di ginjal, dan t ½ furosemid diperpanjang
pada pasien dengan penyakit ginjal.7,8
Sodium atau Calcium Polystyrene Sulfonate (Kayexalate atau analog) adalah
resin pertukaran kation yang biasa digunakan untuk mengobati hiperkalemia pada
pasien dengan Chronic Kidney Disease. Sodium polystyrene sulfonate dan calcium
polystyrene sulfonate telah digunakan untuk meningkatkan ekskresi kalium. Calcium
polystyrene sulfonate adalah resin penukar kation dimana menukar kalsium dengan
kalium yang disekresikan kedalam lumen usus besar. Ketika resin ditempatkan dalam
suatu pelarut, strukturnya mengembang, yang memungkinkan pertukaran ion antara

58
kelompok reaktif pada resin dan ion terlarut dalam pelarut. Sodium polystyrene
sulfonate bergerak melalui usus, melepaskan ion sodium dan ditukar dengan ion
kalium. Sodium polystyrene sulfonate yang berikatan dengan kalium terus melalui usus
besar dan akhirnya dikeluarkan melalui feses5
Pasien mengeluhkan nyeri, berdasarkan hasil pengukurang VAS pasien
mencapai angka 7 dan terasuk nyeri berat. Terapi yang diberikan adalah analgesik
golongan Opioid yaitu Fentanil. Fentanil mirip dengan obat opioid lainnya. Molekul
fentanil menargetkan subkelas sistem reseptor opioid dalam tubuh, banyak di antaranya
terlokalisasi di otak dalam struktur neuroanatomi khusus, terutama yang melibatkan
kontrol emosi, rasa sakit, dan berbicara sampai pada titik sifat adiktifnya yang terkenal,
penghargaan. Secara biokimia, ini adalah agonis opioid selekti. Namun, ia memiliki
kemampuan untuk mengaktifkan reseptor sistem opioid lain seperti delta dan berpotensi
reseptor kappa. Akibatnya, aktivasi reseptor ini, terutama reseptor Mu, menghasilkan
analgesia. Juga, neurotransmitter dopamin (Da) meningkat di area potak, yang
memunculkan efek kegembiraan dan relaksasi stereotip, dan biasanya dikaitkan dengan
kecanduan obat9
Kemudian pasien juga mengeluhkan nyeri pada bahu, dosis yang digunakan
berdasarkan BNF,2015-2016 Natrium Diklofenak 100mg/hari untuk mengatasi nyeri
pada bahu pasien10 Kemudian Natrium Diklofenak masuk kategori stopp jika
menyebabkan peptic ulcer, kemudian berdasarkan hasil lab hemostatis nilai PTT
mengalami perpanjangan sehingga terjadi perdarahan lambung yang kemudian Natrium
Diklofenak dihentikan, untuk mengatasi perdarahan lambung atau peptic ulcer pasien
diberikan lansoprazole, Lansoprazole masuk dalam kategori START jika pasien
mengalami perdarahan lambung yang dikarenakan pemakaian NSAID. Kemudian
Gabapentin diberikan untuk mengatasi nyeri syaraf pada pasien11. Kemudian laxadine
diberikan sebagai terapi supportif untuk pasien pada penyakit kardiovaskular dengan
cara merangsang gerakan peristaltik usus besar, menghambat reabsorpsi air dan
melicinkan jalannya feses. Pemberian Laxadine disini bertujuan untuk mencegah
terjadinya pengejanan yang dapat menyebabkan memperberat kerja jantung pada pasien.
Seperti yang diketahui pasien memiliki penyakit gagal jantung dengan diberikannya
Bisoprolol. Nilai Albumin pasien adlah 2,93 yang beraarti nilai albumin dibawah

59
normal atau hipoalbuminea, oleh karena itu pasien diberikan VIP Albumin untuk
menaikkan nilai albumin pasien. Terdapat interaksi obat antara Claritromisin dan
Rivaroxaban dimana claritromisin akan meningkatkan rivaroxaban sehingga dapat
menyebabkan pemanjangan nilai PTT dan APTT. Kemudian Interaksi serius antara
Durogesik (Fentanyl) dan MST (Morfin) secara signifikan pemberian bersama dengan
depresan SSP lainnya, seperti relaksan otot rangka, dapat menyebabkan depresi
pernapasan, hipotensi, sedasi mendalam, koma, dan / atau kematian.

60
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pasien Geriatri jika mengalami keluhan harus segera ditangani dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien
2. Dalam memilih terapi untuk pasien geriatri harus melakukan pertimbangan START,
STOPP, BEERS

61
DAFTAR PUSTAKA
1. Deyn PP, D’hooge R, Bogaert PP, Marescau B. Endogenous guanidino compounds
as uremic neurotoxins. Kidney Int J. 2010; 59:77-83
2. Deguchi T, Isozaki K, Yousuke k, Terasaki T, Otagiri M. Involvement of organic
anion transporters in the efflux of uremic toxins across the blood-brain barrier. J
NeuroChem. 2006; 96:1051-9
3. Andayani, R. 2011. Buku Ajar Geriatri, Balai Penerbit FKUI: Jakarta
4. Dini, A.A., 3013, Sindrom Geriatric (Imobilitas, Instabilitas, Gangguan intelektual,
Inkontinensia, Infeksi, Malnutrisi, gangguan Pendengaran), Med.Unila,1(3):117-125
5. Biff F. Palmer, Juan Jesus Carrero, Deborah J. Clegg 2020. Clinical Management of
Hyperkalemia
6. Liang Meng, Lingti Kong, Chenchen Wu, Benquan Qi, Xiaofei Wu, 2019.
Pharmacokinetics of cefoperazone/sulbactam in plasma and cerebrospinal fluid in
patients with intraventricular hemorrhage after external ventricular drains

7. Maxwell Eyram Afari, Joe Aoun, Sarthak Khare, Lana Tsao. 2019. Subcutaneous
furosemide for the treatment of heart failure: a state-of-the art review. Division of
Cardiovascular Medicine, St. Elizabeth’s Medical Center/ Tufts University School
of Medicine, Brighton, MA 02135, USA
8. Hannah Britz, Nina Hanke, Mitchell E. Taub, Ting Wang, Bhagwat Prasad, Éric
Fernandez, Peter Stopfer, Valerie Nock, Thorsten Leh. 2020. Physiologically Based
Pharmacokinetic Models of Probenecid and Furosemide to Predict Transporter
Mediated Drug-Drug Interactions
9. Derry S, Stannard C, Cole P, Wiffen PJ, Knaggs R, Aldington D, Moore RA. 2016.
Fentanyl for neuropathic pain in adults
10. Vinicius Tieppo Francio, Saeid Davani, Chris Towery & Tony L. Brown. 2017. Oral
Versus Topical Diclofenac Sodium in the Treatment of Osteoarthritis
11. Wiffen PJ, Derry S, Bell RF, Rice ASC, Tölle TR, Phillips T, Moore RA. 2017.
Gabapentin for chronic neuropathic pain in adults.

62

Anda mungkin juga menyukai