Anda di halaman 1dari 34

COVER

MAKALAH PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK PADA AREA MEDICAL

OLEH:
1. RAHARDYAN DIKA WIRATAMA (1110023001)
2. ARDIANTI FAUZIAH ROCHMAH (1110023002)

PRODI MAGISTER TERAPAN KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur keharirat Allah SWT, karena atas rahamat dan hidayahnya
makalah pengkajian keperawatan medical bedah yang berjudul pemeriksaan
penunjang diagnostic pada area medical dapat disusun dengan baik. Dalam
makalah pengkajian keperawatan medical bedah yang berjudul pemeriksaan
peninjang diagnostic pada area medical menguraikan tentang macam-macam
pemeriksaan penunjang diagnostic pada area medical dalam rangka untuk
menyelesaikan tugas Mata Kuliah Pengkajian Keperawatan Medikal Bedah.
Makalah ini dapat menambah wawasann pengetahuan tentang pentingnya
pemeriksaan penunjang diagnostic pada area medical dalam memberikan
pelayanan keehatan secara holistik. Dalam menyusun makalah ini penulis
menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan pengetikan maupun sumber,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
berarti bagi kami untuk sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi mahasiswa keperawatan dan pembaca lainnya.

Surabaya, 08 November 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
1.4 Manfaat......................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Pengertian Pemeriksaan Penunjang Diagnostik........................................3
2.2 Tujuan Pemeriksaan Penunjang Diagnostik..............................................3
2.3 Macam-Macam Pemeriksaan Penunjang Diagnostik pada Area Medical.4
2.3.1 Pemeriksaan Hematologi...................................................................4
2.3.2 Pemeriksaan Kimia Klinik.................................................................9
2.3.3 Pemeriksaan Urinalis.......................................................................16
2.3.4 Pemeriksaan Elektrolit.....................................................................19
2.3.5 Pemeriksaan Serologis.....................................................................20
2.3.6 Pemeriksaan Kultur..........................................................................23
2.3.7 Pemeriksaan Fungsi Ginjal..............................................................24
BAB 3 PENUTUP................................................................................................29
3.1 Kesimpulan..............................................................................................29
3.2 Saran........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemeriksaan penunjang diagnostik memainkan peran penting dalam
mendeteksi dini penyakit. Terutama pemeriksaan secara laboratorium atau
mikroskopik dan pemeriksaan lainnya memungkinkan identifikasi gangguan
kesehatan bahkan sebelum gejala klinis muncul, memungkinkan intervensi cepat
dan efektif. Melalui pemeriksaan penujang diagnostik, pengobatan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan individu pasien. Informasi yang diperoleh dari
berbagai tes membantu dalam personalisasi perawatan yang dapat
mengoptimalkan hasil dan mengurangi risiko efek samping. Salah satu bentuk
pemeriksaan penunjang diagnostic adalah pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium merupakan kegiatan pelayanan kesehatan yang
tidak terpisahkan dengan kegiatan pelayanan lainnya untuk menunjang upaya
meningkatan kesehatan, pencegahan, dan pengobatan penyakit serta pemuluhan
kesehatan perorangan ataupun masyarakat (Kemenkes RI, 2011).
Tujuan utama dari tes diagnostik adalah untuk membantu dalam menentukan
apakah pasien memiliki kondisi tertentu, sehingga tenaga kesehatan dapat
memberikan perawatan kesehatan yang sesuai dengan kondisi kesehatan. Agar tes
ini dapat digunakan secara akurat dan berhasil, persyaratan mendasar termasuk
memastikan tingkat reliabilitas dan validitas yang sesuai. Kegunaan tes dalam
membantu dokter dalam diagnosis, perencanaan perawatan, dan pemantauan
kemajuan pasien (Mcfarlane, 2022).
Diagnosis memegang kepentingan yang signifikan dalam perawatan
kesehatan, dan peralatan medis diagnostik digunakan untuk menilai dan
memantau berbagai aspek kesehatan pasien. Setelah diagnosis dibuat, strategi
pengobatan yang efektif dirumuskan. Pemeriksaan diganostik akan memberikan
informasi tentang pengukuran penting terkait dengan parameter fungsi metabolik,
fungsi hati, penyakit jantung, penyakit tiroid, hitung darah, penyakit menular,
penanda imunologi, dan antibody (Mcfarlane, 2022).
Informasi diagnostik memberikan nilai bagi profesional perawatan
kesehatan dengan secara langsung memandu keputusan perawatan yang tepat dan

1
perilaku klinis terkait. Diagnostik menghasilkan data (misalnya, kadar glukosa
darah, adanya infeksi, mendukung keputusan klinis. Misalnya, kadar glukosa
darah (berasal dari laboratorium atau tes di tempat perawatan, atau meteran
glukosa darah) dapat disimpan dan dibagikan secara real time dengan penyedia
layanan kesehatan yang memberi saran tentang tindakan terapeutik yang tepat
untuk diambil (misalnya, memodifikasi terapi insulin) (Wurcel et al., 2019). Oleh
karena itu, pentingya dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostic untuk
mengetahui suatu adanya masalah kesehatan atau tidak sehingga dapat diberikan
perawatan yang sesuai dengan kebutuhan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yaitu “Apa saja
pemeriksaan penunjang diagnostic pada area medical?”
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui macam-macam
pemeriksaan penunjang diagnostic pada area medical.
1.4 Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Dapat menambah ilmu pengetahuan dengan menyusun makalah ini yang
terkait pemeriksaan penunjang diagnostic pada area medical, serta dapat menjadi
bahan evaluasi dalam proses akademik.
2. Bagi Keperawatan
Dapat menjadi bahan referensi yang terkait dengan pemeriksaan penunjang
diagnostic pada area medical, serta dapat menjadi bahan penunjang dalam
menegakkan sebuah diagnose keperawatan.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mengoptimalkan tindakan keperawatan dan proses penyembuhan pasien, serta
untuk menegakkan suatu diagnose. Pemeriksaan yang dilakukan oleh medis
dengan mengunakan alat bantu tertentu untuk memperoleh hasil yang
selanjutnya.
2.2 Tujuan Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Adapun beberapa fungsi dan tujuan dari pemeriksaan penunjang
diagnostic sebagai berikut:
1. Skrining atau uji saring suatu penyakit subklinis, dengan tujuan menentukan
resiko terhadap suatu penyakit dan mendeteksi dini penyakit terutama bagi
individu beresiko tinggi (walaupun tidak ada hgejala atau keluhan).
2. Konfirmasi pasti diagnosis, yaitu untuk memastikan penyakit yang diderita
seseorang yang berkaitan dengan penanganan yang akan diberikan oleh dokter
serta berkaitan erat dengan komplikasi yang mungkin saja dapat terjadi.
3. Menentukan kemungkinan diagnostic yang dapat menyamarkan gejala klinis.
4. Membantu pemantauan pengobatan.
5. Menyediakan informasi prognosis atau perjalanan penyakit, yaitu untuk
memprediksi perjalanan penyakit dan berkaitan dengan terapi serta
pengelolaan pasien selanjutnya.
6. Memantau perkembangan penyakit, yaitu untuk memantau perkembangan
penyakit dan memantau efektivitas terapi yang dilakukan agar dapat
meminimalkan komplikasi yang dapat terjadi, pemantauan ini sebaiknya
dilakukan secara berkala.
7. Mengetahui ada tidaknya kelainan atau penyakit yang banyak dijumpai dan
potensial membahayakan.
8. Memberikan ketenangan baik pada pasien maupun klinisi karena tidak
didapati penyakit.

3
2.3 Macam-Macam Pemeriksaan Penunjang Diagnostik pada Area Medical
2.3.1 Pemeriksaan Hematologi
1. Pemeriksaan Hemoglobin
Hemoglobin (Hb atau Hgb) merupakan pemeriksaan kadar hemoglobin
dalam darah. Terdapat berbagai macam metode pemeriksaan hemoglobin,
tetapi metode yang paling umum dilakukan dalam laboratorium klinik adalah
pemeriksaan hemoglobin dengan metode Sahli dan Sianmethemoglobin
(cyanmethemoglobin). Sampai saat ini, gold standard pemeriksaan
hemoglobin adalah Sianmethemoglobin.
Metode pemeriksaan sianmethemoglobin menggunakan reagen Drabkins
yang didasarkan pada pengukuran secara kolorimetri menggunakan
spektrofotometer atau fotometer. Metode ini dapat mengukur hemoglobin
dalam bentuk fraksi oksihemoglobin (HbO2), methemoglobin (Hi),
karboksihemoglobin (HbCO) karena Drabkin mampu merubah hemoglobin
tersebut menjadi sianmethemoglobin kecuali sulfhemoglobin (SHb). Tingkat
kesalahan pemeriksaan ini hanya mencapai 2%. Adapun nilai rujuan pada
pemeriksaan hemoglobin yaitu bayi baru lahit (14-24 g/dL), bayi (10-17
g/dL), anak (11-16 g/dL), pria dewasa (13,5-17 g/dL), dan wanita dewasa (12-
15 g/dL).
2. Pemeriksaan Hematokrit
Hematokrit (Ht atau Hct) disebut juga packed cell volume (PCV) adalah
pemeriksaan volume eritrosit dalam mililiter yang ditemukan dalam 100 ml
darah dan dihitung dalam persen (%). Pemeriksaan ini menggambarkan
komposisi eritrosit dalam darah di dalam tubuh. Perubahan persentase
hematokrit dipengaruhi oleh faktor seluler dan plasma, seperti peningkatan
atau penurunan produksi eritrosit, ukuran eritrosit dan kehilangan atau asupan
cairan.
Metode mikrohematokrit merupakan gold standard pemeriksaan
hematokrit. Teknik pemeriksaan mikrohematokrit dapat menggunakan darah
vena dan kapiler yang dimasukan kedalam pipa kapiler atau tabung
mikrohematokrit dengan ukuran 7 cm dan diameter 1 mm. Terdapat dua jenis
pipa kapiler. Jika menggunakan darah yang telah diberikan antikoagulan,

4
maka tabung yang digunakan tidak mengandung antikoagulan, yang biasanya
tabung disimpan pada wadah biru. Jika menggunakan darah kapiler, maka
harus digunakan tabung yang mengandung antikoagulan (heparin), biasanya
tabung disimpan pada wadah merah. Nilai rujukan sebagai acuan dalam
pemeriksaan ini yaitu bayi baru lahir (44-46%), usia 1-3 tahun (29-40%), usia
4-10 tahun (31-43%), pria dewasa (40-54%), wanita dewasa (36-46%), dan
nilai kritis (< 15% dan >60%) (Nugraha & Badrawi, 2021).
Peningkatan kadar terjadi dapat disebabkan kerena beberaa faktor yaitu
Dehidrasi/hipovolemia, diare berat, polisitemia vera, eritrositosis, diabetes
asidosis, emfisema pulmonar (dalam tahap akhir), iskemia serebrum
sementara, eklampsia, pembedahan, luka bakar. Sedangkan apabila terjadi
penurunan kadar disebabkan oleh Kehilangan darah akut, anemia (aplastik,
hemolitik, defisiensi asam folat, pernisiosa, sideroblastik, sel sabit), leukemia
(limfositik, mielositik, monositik), penyakit Hodgkin, limfosarkoma,
malignasi organ, mieloma multipel, sirosis hati, malnutrisi protein, defisiensi
vitamin (tiamin, vitamin C), fistula lambung atau duodenum, ulkus peptikum,
gagal ginjal kronis, kehamilan, SLE, AR (terutama anak-anak). Untuk obat
pada penurunan kadar dapat diberkan yaitu anti neoplastic, antibiotic
(penisilin, kloramfenikol, dan obat radioaktif (Nugraha & Badrawi, 2021).
3. Pemeriksaan Leukosit
Hitung jumlah leukosit (white blood cell, WBC) adalah pemeriksaan
untuk menentukan jumlah leukosit dalam 1 µL darah. Satuan yang digunakan
untuk hitung jumlah leukosit adalah sel/mm3, sel/µL, x 103 sel/mL, x 106
sel/L. Adapun nilai rujukan pada pemeriksaan leukosit yaitu bayi baru lahir
(9.000-30.000 sel/mm3), anak usia 2 tahun (6.000-17.000 sel/mm 3), anak usia
10 tahun (4.500-13.500 sel/mm3), dewasa (4.500-10.000 sel/mm3). Apabila
terjadi peningkatan kadar akan menimbulkan beberapa masalah yaitu Infeksi
akut (pneumonia, meningitis, apendisitis, kolitis, peritonitis, pankreatitis,
pielonefritis, tuberkulosis, tonsilitis, divertikulitis, septikemia, demam
rematik), nekrosis jaringan (infark miokardial, sirosis hati, luka bakar, kanker
organ, emfisema, ulkus peptikum), leukemia, penyakit kolagen, anemia
hemolitik dan sel sabit, penyakit parasitik, stres (pembedahan, demam,

5
kekacauan emosional yang berlangsung lama). Obat yang digunakan yaitu
Aspirin, heparin, digitalis, epinefrin, litium, histamin, antibiotik (ampisilin,
eritromisin, kanamisin, metisilin, tetrasiklin, vankomisin, streptomisin),
senyawa emas, prokanamid (pronestyl), triamteren (dyrenium), alopurinol,
kalium iodida, derivatif hidantoin, sulfonamid (aksi lama).
Sedangkan apabila terjadi penurunan kadar akan menimbulkan beberapa
masalah yaitu Penyakit hematopoietik (anemia aplastik, anemia pernisiosa,
hipersplenisme, penyakit Gaucher), infeksi virus, malaria, agranulositosis,
alkoholisme, SLE, artritis rheumatoid. Untuk obat yang digunakan yaitu
Penisilin, sefalotin, kloramfenikol, asetaminofen (tylenol), sulfonamid,
propiltiourasil, barbiturat, agen kemoterapi kanker, diazepam (valium),
diuretic (furosemid, asam etzkrinat), klordiazepoksid, agenhipoglikemik oral,
indometasin (indocin), metildopa (aldomet), rimfampin, fenotiazin (Nugraha
& Badrawi, 2021).
4. Pemeriksaan Eritrosit
Elemen eritrosit yang diuji sebagai berikut (Wulandari et al., 2019):
a. Volume Eritrosit Rata-Rata (VER), yang juga dikenal sebagai Mean
Corpuscular Volume (MCV), adalah pengukuran volume rata-rata eritrosit
atau sel darah merah. MCV digunakan sebagai indeks untuk menilai
ukuran sel darah merah. MCV memberikan informasi tentang apakah sel
darah merah memiliki ukuran yang normal (normositik), ukuran yang
lebih kecil dari biasanya (<80 fL) yang disebut mikrositik, atau ukuran
yang lebih besar dari biasanya (>100 fL) yang disebut makrositik. Rentang
nilai normal MCV adalah 80-100 fL. Penurunan nilai MCV dapat terjadi
pada pasien dengan berbagai jenis anemia, seperti anemia kekurangan zat
besi, anemia pernisiosa, dan talasemia, yang sering disebut sebagai anemia
mikrositik. Sebaliknya, peningkatan nilai MCV dapat terjadi pada pasien
dengan penyakit hati, alkoholisme, terapi antimetabolik, kekurangan
folat/vitamin B12, dan terapi valproat, yang sering disebut sebagai anemia
makrositik. Pada pasien dengan anemia sel sabit, nilai MCV mungkin
diragukan karena bentuk eritrosit yang tidak normal.

6
b. Lebar eritrosit atau Red Blood Cell Distribution Width (RDW) juga dapat
memberikan informasi tentang jenis anemia dan kekurangan beberapa
jenis vitamin.
c. Hemoglobin Korpuskuler Rata-Rata atau Mean Corpuscular Hemoglobin
(MCH) adalah nilai yang mengindikasikan berat rata-rata hemoglobin di
dalam sel darah merah, dan dengan demikian menentukan kualitas
pewarnaan (normokromik, hipokromik, hiperkromik) sel darah merah.
MCH dapat digunakan untuk membantu dalam mendiagnosa anemia,
dengan rentang nilai normal antara 28-34 pg per sel.
5. Pemeriksaan Trombosit
Trombosit (platelet) bukan merupakan sel, tetapi merupakan fragmen
fragmen sel granular (diameter 2-4 µm), berbentuk cakram, tidak berinti, dan
elemen terkecil dalam pembuluh darah. Trombosit ini berperan penting dalam
proses homeostasis dan koagulasi. Pemeriksaan laboratorium akan
menunjukkan jumlah per 100 ml darah. Jumlahnya yang rendah secara klinis
dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan secara spontan, atau pada keadaan
yang secara normal dapat diatasi. Trombosit diaktivasi setelah kontak dengan
permukaan dinding endotelia. Proses pembentukan dan pematangan trombosit
disebut trombopoiesis. Trombosit terbentuk dalam sumsum tulang dan
megakariosit (sel yang sangat besar susunan hematopoietikdalam sumsum,
megakariosit pecah menjadi trombosit kecil, baik di sumsum tulang atau
segera setelah memasuki darah khususnya ketika memasuki kapiler. Masa
hidup trombosit sekitar 10 hari. Setelah itu trombosit dibersihkan dari sirkulasi
oleh makrofag jaringan, terutama yang terdapat di dalam hati dan limfa serta
diganti oleh trombosit baru yang dibebaskan dari sumsum tulang. Sebesar 2/3
dari seluruh trombosit terdapat di sirkulasi dan 1/3 nya terdapat di limfa.
Fungsi trombosit yaitu (Wulandari et al., 2019):
a. Fungsi yang terpenting adalah sebagai sumbat sementara dalam proses
hemostatis. Disamping itu trombosit akan menghasilkan zat-zat kimia
tertentu yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.

7
b. Fungsi lainnya masih merupakan hipotesa, 1) Mempertahankan integritas
pembuluh darah, 2) Sebagai fagosit yang menelan berbagai partikel asing,
3) Sebagai alat transport dari subtansi tertentu.
Sifat trombosit: mudah pecah, cenderung melekat pada permukaan
asing, mudah menggumpal, sukar dibedakan dari kotoran kecil. Ada dua cara
menghitung trombosit:
a. Langsung
Terdiri dari metode Reeks Ecker dan metode Breacher Cronkite. Pada
metode Rees Ecker larutan pengencer yang digunakan adalah BCB (Brilliant
Cresyl Blue) yang mengandung zat warna biru sehingga trombosit akan terang
kebiruan di bawah mikroskop. Larutan BCB tidak mengandung zat yang dapat
melisiskan eritrosit sehingga eritrosit akan tetap tampak. Tingkat kesalahan
sekitar 16-25%. Metode Breacher Cronkite menggunakan NH4 Oksalat 1%
sebagai larutan pengencer dan berfungsi melisiskan eritrosit, trombosit akan
tampak tidak berwarna/jernih di bawah mikroskop. Tingkat kesalahan 8-10%.
b. Tidak langsung
Metode Fonio menggunakan sediaan apus darah tepi kemudian
dilakukan perwarnaan menggunakan Wright atau Giemsa atau May Grunwald.
Trombosit dihitung dalam 1000 eritrosit yang tersebar merata. Jumlah mutlak
trombosit diperhitungkan dari jumlah eritrosit. Pemeriksaan metode Fonio
lebih kasar dibandingkan cara langsung.
Adapun beberapa implikasi klinik
a. Trombositosis berhubungan dengan kanker, splenektomi, polisitemia vera,
trauma, sirosis, myelogeneus, stres dan arthritis reumatoid.
b. Trombositopenia berhubungan dengan idiopatik trombositopenia purpura
(ITP), anemia hemolitik, aplastik, dan pernisiosa. Leukimia, multiple
myeloma dan multipledysplasia syndrome.
c. Obat seperti heparin, kinin, antineoplastik, penisilin, asam valproat dapat
menyebabkan trombositopenia
d. Penurunan trombosit di bawah 20.000 berkaitan dengan perdarahan
spontan dalam jangka waktu yang lama.

8
Dalam setiap milliliter darah secara normal terdapat sekitar 250 juta trombosit
(kisaran 150.000 – 350.000/mm3) (Wulandari et al., 2019).
2.3.2 Pemeriksaan Kimia Klinik
1. Pemeriksaan Trigliserida
Trigliserida merupakan lemak cadangan tubuh yang tertimbun dalam
jaringan adiposa pada daerah tertentu dalam tubuh. Darah merupakan alat
transportasi trigliserida yang konsentrasinya dikendalikan oleh metabolism
tubuh secara aktif dan dinamis. Masukan dan keluaran selalu dalam keadaan
berimbang. Trigliserida darah berasal dari proses esterifikasi usus sebagai
sumber eksogen, terutama sesudah makan. Namun, trigliserida juga disintesis
oleh hepar sebagai sumber endogen. Dalam darah, trigliserida terikat dalam
lipoprotein.
Fungsi utama dari trigliserida tubuh yang paling penting adalah sebagai
sumber energi cadangan jika glukosa dan glikogen sudah berkurang, seperti
pada waktu puasa. Sesudah makan, kadar trigliserida dalam darah meningkat
dan terikat dengan misel protein yang disebut dengan chilomikron yang
menyebabkan serum berwarna keruh. Oleh karena itu, untuk pemeriksaan
lemak darah, harus dilakukan puasa 12 – 14 jam. Nilai normal trigliserida
puasa <150 mg%, nilai ambang hingga 200 mg% dan patologi >200 mg%.
Trigliserida dengan enzim lipase terhidrolisis menjadi gliserol. Gliserol
diubah menjadi gliserol 3 fosfat dengan menambahkan ATP dan enzim
gliserokinase (GK). Kemudian, gliserol 3 fosfat dioksidasi menjadi dihidroksi
aseton fosfat dengan bantuan enzim gliserofosfat oksidasi. Dari reaksi ini akan
terbentuk H2O2 dan warnai dengan aminoantipirin dan klorofenol sehingga
terbentuk senyawa benzokuinon yang berwarna merah muda (pink). Warna
merah muda tersebut dibandingkan warna serum standar dengan kadar yang
telah diketahui. Hiperlipidemia (lebih tepat hiperlipoproteinemia) adalah
keadaan, dimana kadar lipoprotein darah meningkat. Dapat dibedakan dua
jenis, yaitu: Hiperkolesterolemia, dengan peningkatan kadar LDL dan
kolesterol total dan Hipertrigliseridemia, dimana kadar trigliserida meningkat
(Wulandari et al., 2019).

9
2. Pemeriksaan Kolesterol dan LDL
Lipoprotein dengan elektroforosis dibedakan menjadi 5 golongan besar
yaitu (Wulandari et al., 2019):
a. Kilomikron
Lipoprotein dengan berat molekul terbesar ini lebih dari 80 %
komponennya terdiri trigliserida yang berasal dari makanan dan kurang dari 5
% kolesterol ester
b. Lipoprotein Densitas Sangat Rendah (VLDL, Very Low-Density
Lipoprotein)
Lipoprotein ini terdiri dari 60 % trigliserida (endogen) dan 10 – 15 %
kolesterol. Lipoprotein ini dibentuk dari asam lemak bebas di hati karena asam
lemak bebas dan gliserol dapat disintesi dari karbohidrat.
c. Lipoprotein Densitas Sedang (IDL, Intermediate Density Lipoprotein)
IDL mengandung trigliserida (30 %) lebih banyak kolesterol (20 %), dan
relative lebih banyak mengandung apoprotein B dan E. IDL adalah zat
perantara yang terjadi sewaktu VLDL dikatabolisme menjadi LDL.
d. Lipoprotein Densitas Rendah (LDL, Low Density Lipoprotein)
LDL merupakan lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar pada
manusia (70 % total). Partikel LDL mengandung trigliserida sebanyak 10 %
dan kolesterol 50 %. LDL merupakan metabolit VLDL, fungsinya membawa
kolesterol kejaringan perifer (untuk sintesis membran plasma dan hormon
steroid) kadar LDL tergantung dari banyak faktor termasuk kolesterol dalam
makanan, asupan lemak jenuh, kecepatan produksi dan eliminasi LDL dan
VLDL. Kadar LDL di dalam darah sangat tergantung dari lemak yang masuk,
semakin tinggi atau banyak lemak yang masuk, semakin menumpuk pula
LDL. Hal ini disebabkan LDL merupakan lemak jenuh yang tidak mudah
larut.
e. Lipoprotein Densitas Tinggi (HDL, High Density Lipoprotein)
HDL merupakan lipoprotein yang terdiri dari 13 % kolesterol, kurang
dari 5 % trigliserida dan 50 % protein. HDL berfungsi mengangkut kolesterol
bebas dari dalam endotel dan mengirimkannya ke pembuluh darah perifer ke
hati lalu dikeluarkan dari tubuh, sehingga penurunan kolesterol di perifer

10
berkurang. Kolesterol dalam makanan diabsorpsi dalam usus bersama lipid
lain termasuk kolesterol yang disintesis dalam usus, kemudian digabungkan ke
dalam kilomikron dan VLDL.
3. Pemeriksaan Glukosa Darah
Gula darah terdiri atas glukosa, fruktosa dan galaktosa. Glukosa
merupakan monosakarida yang paling dominan dan digunakan sebagai sumber
energi. Pada laboratorium pemeriksaan gula darah banyak dilakukan. Kadar
gula darah bergantung pada waktu pengukuran (sebelum atau sesudah makan),
jenis makanan dan metode yang digunakan dalam pemeriksaannya. Berikut
merupakan nilai gula darah yang akan membantu diagnosa penyakit gula
darah (Wulandari et al., 2019):
a. Nilai normal: jika glukosa darah puasa < 110 mg/dl dan glukosa darah
sewaktu <200 mg/dL.
b. Gangguan glukosa darah: jika glukosa darah puasa >110 mg/dl, sekitar
<126 mg/dl dan glukosa darah > 200 mg/dL.
4. Pemeriksaan Asam Urat
Asam urat merupakan hasil akhir dari proses katabolisme purin, suatu
komponen non-esensial bagi tubuh. Jika makanan yang dikonsumsi
mengandung purin, proses katabolisme purin akan terjadi di dalam usus. Urat
hanya dihasilkan oleh jaringan tubuh yang mengandung xantin oxidase,
terutama di hati dan usus. Produksi urat dapat bervariasi tergantung pada
asupan makanan yang mengandung purin, kecepatan biosintesis, dan
penghancuran purin dalam tubuh. Asam urat dapat ditemukan dalam plasma
darah dan cairan sinovial atau cairan sendi. Sebagian besar urat berada dalam
bentuk monosodium urat pada pH 7,4 dan dapat larut dalam plasma pada
konsentrasi 6,8 mg/dl. Jika kadar asam urat melebihi ambang tertentu, plasma
akan menjadi jenuh dan dapat mengendap membentuk kristal urat (Wulandari
et al., 2019).
Pemeriksaan tingkat asam urat dalam darah dapat dilakukan melalui dua
metode, yakni metode Point of Care Test (POCT) menggunakan stik dan
metode enzimatik kolorimetrik (Wulandari et al., 2019).

11
a. Point of Care Test (POCT) POCT merupakan perangkat pemeriksaan yang
sederhana, dirancang khusus untuk pengujian dengan sampel darah
kapiler, bukan untuk sampel serum atau plasma. Metode ini mengukur
asam urat dengan menggunakan katalisator spesifik. Sebuah set perangkat
POCT terdiri dari:
1) Blood uric acid meter, alat pengukur asam urat yang dilengkapi layar
untuk menampilkan hasil pemeriksaan.
2) Blood uric acid test strip, strip untuk setiap pemeriksaan, memiliki zona
untuk meletakkan specimen yang dipasangkan pada alat pengukur (Blood
uric acid meter).
3) Lancing device and lancet, perangkat penusuk dan jarum untuk mengambil
sampel darah perifer.
b. Metode Enzymatic Colorimetric
Prinsip pemeriksaan kadar asam urat dengan menggunakan metode
enzymatic,colorimetric adalah asam urat diubah secara enzimatik menjadi
allantion dan hydrogen peroxide. Hydrogen peroxide yang terbentuk bereaksi
dengan 3,5-dichloro-2-hidroxy benzesulfonic acid (DCHBS) dan 4
aminophenazone (PAP) membentuk quinoneimine. Quinoneimine merupakan
senyawa chromogen berwarna merah coklat yang diukur dengan fotometer
pada panjang gelombang 546nm yang sebanding dengan kadar asam dalam
sampel.
5. Pemeriksaan Bilirubin
a. Bilirubin total
Bilirubin adalah pigmen oranye-kuning yang berasal dari pemecahan
hemoglobin oleh sistem retikuloendotelial, bilirubin diangkut menuju hati dan
mengalami biotransformasi lalu disekresikan melalui cairan empedu dan urine.
Terdapat dua jenis bilirubin di dalam tubuh, yaitu bilirubin terkonjugasi dan
bilirubin tidak terkonjugasi. Pemeriksaan bilirubin total adalah pemeriksaan
pada bilirubin langsung (bilirubin direk) dan bilirubin tidak langsung
(bilirubin indirek). Bilirubin direk adalah bilirubin yang terkonjugasi sehingga
bilirubin larut di dalam darah, sedangkan bilirubin indirek adalah bilirubin
yang tidak terkonjugasi sehingga bilirubin tidak larut dalam darah.

12
Bilirubin serum dapat diukur dengan berbagai macam teknik, teknik yang
umum digunakan yaitu secara spektrofotometri dan teknik lain yang dapat
digunakan yaitu dengan cara kromatografi dan elektroforesis kapiler.
Pemeriksaan bilirubin total umumnya dilakukan untuk mengukur sebarapa
parah tingkat ikterus pada neonatus, icterus kerap tampak jika kadar bilirubin
mencapai lebih dari 3 mg/dL dan mencapai nilai kritis jika kadar bilirubin
melebihi 15 mg/dL (Nugraha & Badrawi, 2021).
Adapun nilai rujukan pada kadar bilirubin total sebagai berikut (Nugraha
& Badrawi, 2021):
Bayi Baru Total Bilirubin (mg/dL)
Lahir Prematur Normal
0-1 hari <8 1,4 – 8,7
1-2 hari < 12 3,4 – 11,5
3-5 hari < 12 1,5 – 12

Dewasa (Bayi > 5 hari dan Total bilirubin (mg/dL)


anak-anak)
>5 hari - 60 tahun 0,3 – 1,2
60 – 90 tahun 0,2 – 1,1
>90 tahun 0,2 – 0,9
Interpretasi hasil apabila terjadi peningkatan kadar bilirubin total terjadi
masalah klinis yaitu ikterik obstruktif (yang disebabkan oleh batu atau
neoplasma, hepatitis, sirosis hati, mononukleus infeksius, metastasis (kanker)
hati, penyakit Wilson), sedangkan apabila terjadi penurunan kadar bilirubin
total menandakan ada masalah klinis anemia defisiensi besi (Nugraha &
Badrawi, 2021).
b. Bilirubin Direct
Pemeriksaan bilirubin direk adalah pemeriksaan pada bilirubin
terkonjugasi. Bilirubin direk umumnya meningkat akibat ikterik obstruktif,
baik yang bersifat intrahepatika maupun ekstrahepatika seperti pembentukan
batu atau neoplasma (Nugraha & Badrawi, 2021).
Adapun nilai rujukan pada kadar bilirubin direct sebagai berikut:
Dewasa (Bayi > 5 hari dan Total bilirubin (mg/dL)
anak-anak)
>5 hari - 60 tahun < 0,2
60 – 90 tahun < 0,2
>90 tahun < 0,2

13
Interpretasi hasil apabila terjadi peningkatan kadar bilirubin direct terjadi
masalah klinis yaitu ikterik obstruktif (yang disebabkan oleh batu atau
neoplasma, hepatitis, sirosis hati, mononukleus infeksius, metastasis (kanker)
hati, penyakit Wilson), sedangkan apabila terjadi penurunan kadar bilirubin
total menandakan ada masalah klinis anemia defisiensi besi (Nugraha &
Badrawi, 2021).
c. Bilirubin Indirect
Bilirubin indirek adalah pemeriksaan bilirubin tidak terkonjugasi dalam
darah. Teknik pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan bilirubin indirek
tidak dilakukan dengan reaksi kimia, kadarnya ditetapkan melalui perhitungan
dengan cara bilirubin total dikurangi bilirubin direk. Bilirubin indirek atau
tidak terkonjugasi dikaitkan dengan peningkatan penghancuran eritrosit
(hemolisis). Kondisi tersebut dapat terjadi pada hemolisis yang dipicu oleh
autoimun, transfusi darah, eritroblastosis atau oleh hemolitik yang disebabkan
anemia. Kadar bilirubin indirek juga dapat meningkat pada kondisi kerusakan
hati sehingga sel hati tidak mampu melakukan konjugasi dan berakibat pada
peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi (Nugraha & Badrawi, 2021).
Adapun nilai rujukan pada kadar bilirubin indericet sebagai berikut:
Usia Total bilirubin (mg/dL)
Dewasa 0,1 – 1
Anak-anak 0,1 – 1
Interpretasi hasil apabila terjadi peningkatan kadar bilirubin direct terjadi
masalah klinis yaitu Eritroblastosis fetalis, anemia sel sabit, reaksi transfusi,
anemia pernisiosa, malaria, septikemia, anemia hemolitik, CHF, sirosis
terdekompensasi, hepatitis, ikterik obstruktif yang disebabkan oleh batu atau
neoplasma, hepatitis, sirosis hati, mononukleus infeksius, metastasis (kanker)
hati, penyakit Wilson, sedangkan apabila terjadi penurunan kadar bilirubin
total menandakan ada masalah klinis anemia defisiensi besi (Nugraha &
Badrawi, 2021).
6. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Enzim transaminase adalah enzim intrasel yang berfungsi mengkatalisasi
reaksi pemindahan (transfer) gugusan asam amino (NH2) dari suatu asam
amino ke asam keto sehingga terbentuk turunan asam keto yang baru dan

14
disamping itu terbentuk pula asam amino baru. Bila sel atau jaringan tubuh
yang banyak mengandung transaminase mengalami nekrosis atau hancur,
maka enzim transaminase akan terlepas dan masuk ke dalam peredaran darah
sehingga kadarnya di dalam serum meningkat. Enzim transaminase yang
sering digunakan dalam menilai penyakit hati adalah (Wulandari et al., 2019):
a. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau AST (Serum
Aspartate Amino Transferase)
Enzim ini terdapat dalam sel-sel organ tubuh, terutama pada otot
jantung, kemudian sel-sel hati, otot tubuh, ginjal dan pankreas. SGOT
sebagian besar terikat dalam organel dan sebagian kecil dalam sitoplasma.
GOT dapat meningkat pada penyakit kerusakan jaringan hati, baik yang
disebabkan
keracunan maupun infeksi karena virus. Umumnya pada kerusakan hati yang
lebih menonjol adalah kenaikan aktivitas GPT. Angka normal tertinggi untuk
pengukuran SGOT adalah 40U Karmen (17 mU per cc) (Wulandari et al.,
2019).
b. SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) atau ALT (Alanin Amino
Transaminase)
Enzim ini terdapat dalam sel-sel jaringan tubuh tetapi yang terbanyak
dan
sebagai sumber utamanya adalah sel-sel hati, sebagian besar enzim ini terikat
dalam sitoplasma sehingga pada kerusakan membran sel hati kenaikannya
lebih menonjol. Angka normal tertinggi untuk pengukuran SGPT adalah 35 U
Karmen (13 mU per cc).
Pada kerusakan sel hati yang disebabkan oleh berbagai hal, termasuk
hepatitis virus, jumlah GPT serum akan terus meningkat mendahului gejala
lainnya. Puncak aktivitas GPT dalam serum dicapai pada hari ke-7 sampai hari
ke-12 sesudah kerusakan dan lambat laun, dalam waktu 3-5 minggu, kembali
ke nilai normal. Adapun rasio normal SGOT: SGPT adalah 1,15.
GOT (tidak spesifik untuk hati) dan GPT adalah indikator yang sensitive
terhadap kerusakan sel hati. Keduanya ada pada sel hati dan adanya proses
penyakit akut (contoh hepaititis virus) yang merusak struktur sel hati akan

15
mengakibatkan pelepasan enzim tersebut ke dalam darah. Kenaikan nilai GOT
dan GPT yang tidak terlalu besar atau bahkan normal dapat dijumpai pada
penyakit kronis.
Kenaikan enzim-enzim tersebut meliputi kerusakan sel-sel hati karena
virus, obat- obatan atau toksin yang menyebabkan hepatitis, kegagalan jantung
dan penyakit hati granulomatus dan yang disebabkan oleh alkohol. Kenaikan
kembali atau bertahannya nilai transaminase yang tinggi biasanya
menunjukkan berkembangnya kelainan dan nekrosis hati (Wulandari et al.,
2019).
2.3.3 Pemeriksaan Urinalis
Pemeriksaan rutin pada penderita sebagai salah satu sarana untuk
menegakkan diagnosis dan mengikuti perjalanan penyakit atau pengobatan
suatu penyakit. Pemeriksaan ini dapat mengungkap masalah terutama pada
sistem kemih dan sistem tubuh lainnya. Terdapat beberapa jenis sampel urin
yaitu (Wulandari et al., 2019):
1. Urin sewaktu: urin yang dikeluarkan pada waktu yang tidak dietntukan
dengan khsusu. Cukup baik untuk pemeriksaan urin rutin.
2. Urin pagi: urin yang pertama kalu dikeluarkan pada pagi hari setelah
bangun tidur. Urin ini baik untuk pemeriksaan sedimen, berat jenis protein,
test kehamilan dan bakteriologi.
3. Urin post prandial: urin yang dikeluarkan 1-5 sampai 3 jam setelah makan.
Baik untuk pemeriksaan terhadap glucosuria.
4. Urin 24 jam: urin yang dikumpulkan selama 24 jam dtampung dalam suatu
wadah untuk keperluan Analisa yang lebih teliti dan menafsirkan proses-
proses metabolic dalam tubuh serta tes kliren ureum kreatinin.
5. Urin 4 porsi: untuk pasien diabetes melitus (melihat banyaknya glukosa
yang dikeluarkan dari santapan satu hingga santapan berikutnya),
misalnya: porsi I (urin jam 06-12), porsi II (urin jam 12-18), porsi III (urin
jam 18-22), porsi IV (urin jam 22-06).
6. Urin sore: urin pada sore hari untuk pemeriksaan uribilinogen
Pemeriksaan urin dilihat dari beberapa aspek yaitu (Wulandari et al.,
2019):

16
1. Makroskopis: warna, volume, kejernihan, dan bau
a. Jumlah urin
Mengukur jumlah urin bermanfaat untuk menentukan adanya gangguan
faal ginjal, dan kelainan dalam kesetimbangan cairan badan. Salah satu
pengukuran jumlah urin dengan dilakukan urin 24 jam. Jumlah urin setiap
orang berbeda tergantung faktor umur, berat badan, jenis kelamin, suhu
badan, makanan dan minuman, iklim dan aktivitas orang yang bersangkutan.
Jumlah urin 24 jam normal antara 800 – 1300 ml untuk orang dewasa.
1) Poliuria: jumlah urin 24 jam > 2000 ml, Penderita diabetes melitus,
diabetes insipidus, terapi diuretik, intake cairan berlebihan & minuman
tertentu: alkohol & kopi
2) Oliguria: jumlah urin < 500 ml/24 jam
3) Anuria: kegagalan pembentukan urin (<300 ml/24 jam)
4) Nocturia: jumlah urin malam hari > 500 ml, BJ < 1,018
b. Warna urin
Memperhatikan warna urin bermakna karena kadang-kadang didapat
kelainan yang berarti untuk klinik. Warna urin diuji pada tebal lapisan 7 – 10
cm dengan Cahaya tembus; tindakan itu dapat dilakukan dengan mengisi
tabung reaksi sampai ¾ penuh dan ditinjau dalam sikap serong. Pada
umumnya warna urin ditentukan oleh besarnya diuresis, makin besar diuresis,
makin muda warna urin itu. Perubahan warna urin disebabkan oleh obat-
obatan, makanan dan penyakit.
No Warna Normal Abnormal Obat &
. Diagnostika
1. Kuning Urobilin Bilirubin Santonin, PSP,
riboflavin, zat
warna permen
2. Hijau Indikan Kuman-kuman Metlen blue
Ps. Aeroginosa Evan’s blue
B. Pyssianeus
3. Merah Ureoritrin Hb, porfirin, Zat-zat bewarna
porfobilin merah pada urin
alkali: santonin,
BSP, PSP,
Amidopirin
4. Coklat Urobilin Bilirubin,
hematin,

17
porfobilin
5. Coklat Indikan Darah, Derifat fenol
tua/hitam melanin, arygyrol
alkapton
6. Seperti Fosfat & urat Pus, chylus,
susu jumlah besar getah prostat
protein yang
membeku
c. Kejernihan
Urin yang baru dikeluarkan berwana jernih. Kekeruhan urin dapat
terjadi setelah dikerluarkan yang dapat disebabkan dan diuji dengan uji
seperti pada tabel dibawah ini:
Sebab Tes
Fosfat-fosfat oleh karena makan 1. Hilangdiberi asam asetat encer
banyak karbonat 2. Sediaan banyak mengandung
kristal fosfat
Bakteri-bakteri 1. Tidak hilang dengan filtrasi
atau pemusingan
2. Sediaan banyak mengandung
bakteri, sel epitel, leukosit
d. Berat jenis
Pengukuran berat jenis urin biasanya dilakukan secara akurat dengan
menggunakan alat yang disebut urinometer. Berat jenis urin sangat erat
kaitannya dengan tingkat produksi urin, di mana semakin besar produksi urin,
berat jenisnya cenderung lebih rendah, dan sebaliknya. Berat jenis urin dalam
periode 24 jam dapat bervariasi antara 1003 hingga 1030 tergantung pada
sejumlah faktor, termasuk jumlah urin yang diproduksi, komposisi urin, dan
fungsi pemekatan ginjal. Berat jenis yang tinggi menunjukkan bahwa urin
cenderung lebih pekat, dan ini berkaitan dengan kemampuan ginjal dalam
melakukan pemekatan urin.
e. Derajat keasaman (pH)
Penentuan reaksi atau pH urin mungkin tampak tidak penting dalam
pemeriksaan penyaringan rutin. Namun, dalam situasi ketidakseimbangan
asam-basa dalam tubuh, penentuan pH dapat memberikan gambaran tentang
kondisi kesehatan pasien. Ini menjadi lebih signifikan ketika ditambah
dengan penentuan jumlah asam yang diekskresikan dalam periode tertentu,
serta jumlah ion NH4 (amonia) dan faktor-faktor lainnya.

18
Urin yang bersifat asam cenderung mengubah warna kertas lakmus biru
menjadi merah, sementara urin yang bersifat basa (alkali) dapat mengubah
kertas lakmus merah menjadi biru. Apabila perubahan warna pada kertas
lakmus yang disebabkan oleh urin basa disebabkan oleh amonia, maka warna
biru dapat kembali berubah jika kertas tersebut dipanaskan hingga
mengering. Sebaliknya, urin yang bersifat netral cenderung tidak mengubah
warna pada kertas lakmus, baik yang berwarna merah maupun biru.
2. Pemeriksaan kimia: pH, protein, glukosa, bilirubin, nitrit, enzim (leukosit
esterase)
3. Mikroskopis: sedimen (silinder, epitel, leukosit, eritrosit, kristal, bakteri,
ragi, & organisme lain).
2.3.4 Pemeriksaan Elektrolit
Elektrolit yang ada dalam cairan tubuh eksis dalam bentuk ion bebas.
Secara umum, elektrolit dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu kation
(ion dengan muatan positif) dan anion (ion dengan muatan negatif). Contoh
kation meliputi natrium (Na+) dan kalium (K+), sementara contoh anion
mencakup klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-). Tubuh kita mengandung
berbagai elektrolit dalam jumlah yang signifikan, termasuk natrium (Na+),
kalium (K+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg+), klorida (Cl-), bikarbonat
(HCO3-), fosfat (HPO42-), dan sulfat (SO42-) (Wulandari et al., 2019).
Elektrolit memiliki berbagai fungsi yang berbeda tergantung pada
jenisnya. Sebagai contoh: a. Natrium (Na+): Natrium berperan sebagai
penentu utama osmolaritas dalam darah dan mengatur volume cairan
ekstraseluler. Kebutuhan natrium harian bagi orang dewasa berkisar antara
1.3-1.6 gram (setara dengan 3.3 – 4 gram NaCl). b. Kalium (K+): Kalium
membantu mempertahankan potensial listrik membran dalam tubuh. Kalium
adalah ion kation utama dalam cairan intraseluler dengan konsentrasi sekitar
150 mmol/L. Kebutuhan kalium minimal diperkirakan sekitar 782 mg per
hari. c. Klorida (Cl-): Klorida berperan dalam mempertahankan tekanan
osmotik, distribusi air dalam cairan tubuh, dan keseimbangan anion dan
kation dalam cairan ekstraseluler. Konsentrasi ion klorida dalam tubuh
berkisar antara 98-106 mmol/L. d. Kalsium (Ca2+): Kalsium penting untuk

19
aktivitas otot, terutama yang berhubungan dengan kontraksi otot dan
pembentukan tulang dan gigi. e. Magnesium (Mg+): Magnesium memiliki
peran penting dalam aktivitas listrik jaringan, mengatur pergerakan kalsium
ke dalam otot, dan memengaruhi kontraksi jantung dan pembuluh darah
(Wulandari et al., 2019).
Kelainan terkait elektrolit termasuk hipernatremia (peningkatan natrium
dalam darah), hiponatremia (penurunan natrium dalam darah), dan dehidrasi
(kehilangan cairan tubuh yang signifikan). Hipernatremia dapat
menyebabkan gangguan listrik di saraf dan otot, serta peningkatan tekanan
darah. Hiponatremia dapat disebabkan oleh kurangnya asupan natrium atau
penggunaan diuretik. Dehidrasi terjadi ketika kehilangan cairan tubuh
melebihi pemasukan cairan, yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi,
seperti diare, muntah, berkeringat berlebihan, diabetes, dan kesulitan minum
(Wulandari et al., 2019).
2.3.5 Pemeriksaan Serologis
1. Pemeriksaan Microscopic Agglutination Test (MAT)
Pemeriksaan serologis ini digunakan dalam mengeakkan diagnosis
leptospirosis, dimana Serum pasien ditambahkan suspensi antigen kemudian
campuran tersebut diinkubasi dan dinilai aglutinasi menggunakan mikroskop
lapangan gelap serta ditentukan titernya. Pemeriksaan MAT dilakukan pada
serum berpasangan dengan perbedaan minimal selama 3 hari. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif jika terdapat peningkatan empat kali lipat atau
lebih pada serum berpasangan. Pemeriksaan serologi lainnya adalah enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA), fiksasi komplemen, aglutinasi slide,
hemaglutinasi indirek, dan lateral flow (Anggraini, 2021).
2. Uji HBsAg
Hepatitis adalah penyakit sistemik yang melibatkan hati. Sebagian besar
kasus virus hepatitis akut ditemukan pada anak-anak dan orang dewasa
disebabkan oleh virus Hepatitis A (Hepatitis A virus, HAV), virus Hepatitis B
(Hepatitis B virus, HBV) atau virus Hepatitis C (Hepatitis C virus, HCV).
Hepatitis B ditemukan oleh Blumberg, dkk. Antigen kompleks yang dikenal
sebagai antigen permukaan Hepatitis B (Hepatitis B surface antigen, HBsAg)

20
yang ditemukan pada permukaan HBV adalah bagian yang pertamakali
terdeteksi kehadiran HBsAg dalam sampel serum menunjukkan adanya infeksi
HBV aktif, baik akut maupun kronis. Pada infeksi HBVyang khas, HBsAg
akan terdeteksi 2 sampai 4 minggu sebelum tingkat transaminase menjadi
tidak normal dan 3 sampai 5 minggu sebelum pasien mengalami gejala atau
menjadi kuning. HBsAg memiliki empat subtipe utama: adw, ayw, ard, dan
ayr. Karena heterogenitas antigenik penentu virus, ada 10 serotipe utama HBV.
Nilai rujukan dalam pemeriksaan ini dewasa (negatif) dan anak-anak (negatif)
(Nugraha & Badrawi, 2021).
3. Uji Widal
Pemeriksaan Widal digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi
terhadap bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi. Pada
pemeriksaan Widal, terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dari Salmonella
typhi dan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan dalam
pemeriksaan Widal adalah suspensi Salmonella yang telah dinonaktifkan dan
diproses di laboratorium. Tujuan utama dari pemeriksaan Widal adalah untuk
mengidentifikasi keberadaan aglutinin dalam serum pasien yang dicurigai
menderita demam tifoid. Terdapat tiga jenis aglutinin yang dapat diuji, yaitu:
a) Aglutinin O (dari bagian sel bakteri), b) Aglutinin H (dari flagella bakteri),
dan Selama infeksi dengan bakteri typhoid atau paratyphoid, antibody
terhadap antigen flagela dari S. typhi (H), S. paratyphi A (AH), S. paratyphi B
(BH), S. paratyphi C (CH) dan Antigen Somatik S.typhi (O), S. paratyphi A
(AO), S. paratyphi B (BO), S. paratyphi C (CO) yang biasanya terdeteksi
dalam
darah setelah 6 hari terinfeksi (Nugraha & Badrawi, 2021).
Dalam konteks diagnosis demam tifoid, hanya aglutinin O dan H yang
digunakan. Tingkat konsentrasi aglutinin yang semakin tinggi
mengindikasikan tingkat infeksi bakteri yang lebih besar. Pembentukan
aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi dalam beberapa minggu dengan peningkatan
aglutinin O terlebih dahulu baru diikuti aglutinin H. Titer antibodi O > 1/320

21
atau antibodi H > 1/640 menguatkan diagnosis pada gambaran klinis yang
khas.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi uji widal, yaitu: 1)
Pengobatan dini dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibodi, dan
pemberian kortikosteroid, 3) waktu pengambilan darah, 4) daerah endemik
dan nonendemik, 5) riwayat vaksinasi, 6) rekasi anannestik, yaitu peningkatan
titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi deman tifoid
masa lalu atau vaksinasi, 7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium,
akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi
antigen (Murzalina, 2019). Nilai rujukan pada tes ini yaitu negative.
4. Uji Tubex
Uji Tubex adalah sebuah uji kolometrik semi-kuantitatif yang digunakan
untuk mendeteksi antibodi anti Salmonella typhi serogroup D. Hasil positif
pada uji ini menunjukkan infeksi oleh salmonellae serogroup D, sementara
tidak spesifik untuk S. typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan menghasilkan
hasil negatif. Sensitivitas uji ini berkisar antara 75% hingga 80%, sedangkan
spesifitasnya berkisar antara 75% hingga 90%. Tes ini dianggap ideal untuk
penggunaan rutin karena cepat, mudah, dan sederhana, terutama di negara-
negara berkembang.
Tes Anti S. typhi IgM merupakan tes aglutinasi kompetitif semi-
kuantitatif yang sederhana dan cepat, dengan waktu hasil dalam kurang lebih 2
menit. Tes ini menggunakan partikel berwarna untuk meningkatkan resolusi
dan sensitivitas. Spesifitas tes ditingkatkan dengan menggunakan antigen 09
yang spesifik untuk Salmonella serogroup D dan tidak ditemukan pada
organisme lain. Tes ini sangat akurat dalam mendiagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi keberadaan antibodi IgM, dan tidak mengidentifikasi
antibodi IgG dalam waktu singkat. Hasil positif pada tes Anti S. typhi IgM
menunjukkan adanya infeksi Salmonella, sementara infeksi yang disebabkan
oleh serotipe lain seperti S. paratyphi A akan menghasilkan hasil negative
(Murzalina, 2019).
Berikut interprestasi hasil dari tes tubex sebagai berikut (Nugraha &
Badrawi, 2021):

22
Skor Interpretasi
<2 Negative: tidak mengidentifikasi infeksi demam
tifoid. Control negative.
3 Bordline:lakukan analisis ulang, jika masih
bordline, lakukan pemeriksaan ulang setelah 2 – 3
hari pemeriksaan.
4 Positif lemah: indikasi demam tifoid
6 – 10 Positif kuat: indikasi infeksi demam tifoid. Control
positif.
5. Uji IgM Dipstik
Pengujian IgM dengan menggunakan metode dipstik adalah suatu teknik
untuk spesifik mendeteksi keberadaan IgM dengan menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida Salmonella typhi dan anti IgM sebagai
kontrol. Pengujian serologis ini dapat mengidentifikasi antibodi IgM yang
spesifik terhadap antigen LPS Salmonella typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi sebagai
pita deteksi dan antibodi IgM anti-human yang terikat sebagai reagen kontrol.
Metode pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan peralatan khusus, dan dapat diaplikasikan di tempat tanpa
fasilitas laboratorium yang lengkap. Antibodi yang umumnya muncul hanya
pada minggu pertama demam (Murzalina, 2019).
Pengujian IgM Dipstick ini dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood. Metode ini
menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S.
typhoid dan IgM (sebagai kontrol). Reagen deteksi mengandung antibodi anti
IgM yang terikat dengan lateks pewarna, dan strip yang telah dibasahi dengan
cairan sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien diletakkan dalam
tabung uji. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran
reagen deteksi dan serum selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi,
strip dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Untuk penilaian semi
kuantitatif, garis uji dinilai dengan membandingkannya dengan strip referensi.
Penting bahwa garis kontrol harus tampak dengan jelas. Sensitivitas berkisar
antara 65-77%, sedangkan spesifisitas mencapai 95-100%. Akurasi tertinggi
diperoleh ketika pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah munculnya gejala
(Murzalina, 2019).

23
2.3.6 Pemeriksaan Kultur
1. Kultur Darah
Penggunaan kultur darah bertujuan untuk mendiagnosis pasien yang
diduga menderita sepsis sekunder akibat infeksi bakteri atau fungi, serta untuk
menegakkan diagnosis osteomyelitis, endocarditis, pneumonia, dan infeksi
jaringan lunak. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil kultur darah
baru adalah 24-48 jam atau lebih, yang dapat menyebabkan keterlambatan
dalam penanganan pasien. Proses kultur darah melibatkan inokulasi sampel
darah secara aseptik ke dalam botol kultur darah dan diinkubasi selama 3–5
hari pada suhu 37°C. Jika terjadi pertumbuhan bakteri, dilakukan pengecatan
Gram dan inokulasi ulang pada media MacConkey agar, blood agar, chocolate
agar, dan xylose–lysine desoxycholate agar. Inokulasi diulang hingga
diperoleh koloni murni untuk uji biokimia, serta uji sensitivitas antibiotic
(Koentjoro et al., 2021).
2. Kultur Gall
Metode kultur Gall, atau yang biasa disebut sebagai metode standar
emas untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid atau paratifoid, digunakan
untuk mengisolasi bakteri Salmonela typhi. Sampel yang digunakan dapat
berupa darah atau bekuan darah dengan volume minimal 5 mL. Proses kultur
Gall dimulai dengan pembuatan media konsentrasi empedu sebanyak 1%
dalam pepton water (1:1). Sampel darah diinokulasikan dan diinkubasi pada
suhu 27°C selama 24 jam (aerob). Jika terjadi pertumbuhan bakteri, langkah
selanjutnya adalah melakukan inokulasi pada media MacConkey. Jika
ditemukan koloni bakteri yang melakukan fermentasi laktosa, pemeriksaan
dihentikan. Namun, jika koloni bakteri tidak melakukan fermentasi laktosa,
pemeriksaan dilanjutkan dengan uji biokimia, dan hasilnya dibandingkan
dengan karakteristik Salmonela typhi atau Salmonela paratyphi (Koentjoro et
al., 2021).
3. Kultur BTA
Kultur BTA bertujuan untuk memantau hasil pengobatan, menilai
potensi penularan, dan mendiagnosis penyakit tuberkulosis (infeksi pada paru-
paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis). Bakteri tuberculosis

24
(BTA) memiliki bentuk batang berwarna merah, dengan sekelilingnya
berwarna biru. Inokulasi diulang untuk mendapatkan koloni bakteri yang
murni. Selanjutnya, uji biokimia dilakukan untuk mengidentifikasi spesies
bakteri menggunakan uji Sulfur-Indol-Motility, katalase, oksidase, dan Fluid
Thioglycolate Medium. Pada tahap akhir, dilakukan uji sensitivitas antibiotik
untuk menentukan respons bakteri terhadap antibiotic (Koentjoro et al., 2021).
2.3.7 Pemeriksaan Fungsi Ginjal
1. Pemeriksaan Kreatinin Serum
Kreatinin adalah hasil metabolisme kreatin yang sebagian besar terletak
di dalam jaringan otot, sebagian kecil kreatin ditemukan dalam hati, ginjal,
dan otak serta cairan tubuh. Kadar kreatinin dalam darah dipengaruhi oleh
massa otot tiap individu, tetapi kadar kreatinin relatif stabil dari waktu ke
waktu, walaupun diet protein dapat mempengaruhi kadar kreatinin darah.
Massa otot wanita 15% lebih rendah daripada pria, sehingga nilai normal
kreatinin wanita lebih rendah dibandingkan pria.
Kreatinin hanya dibuang ke luar tubuh melalui ginjal, melalui filtarasi
glomerulus dan tidak direabsorbsi kembali, 15% disekresi oleh tubulus
melalui urin. Pengukuran kadar kreatinin dapat digunakan untuk menilai
fungsi ginjal dan pemantauan penyakit ginjal. Pemeriksaan ini digunakan
untuk mendiagnosis gangguan fungsi ginjal, Adapun beberapa nilai rujuan
yaitu dewasa (laki-laki: 0,6-1,1 mg/dL; Perempuan: 0,5-1,1 mg/dL), anak
(0,3-0,7 mg/dL), bayi (0,3-1,2 mg/dL) dan nlai kritis dewasa (5 mg/dL) anak
(3,8 mg/dL) (Rosida & Pratiwi, 2019).
Interpretasi hasil apabila terjadi peningkatan kadar kreatinin
menimbulkan beberapa masalah yaitu 1) Penyakit yang mempengaruhi fungsi
ginjal, seperti glomerulonephritis, pielonefritis, tubular nekrosis akut,
obstruksi saluran kemih, penurunan aliran ginjal (misalnya syok, dehidrasi,
gagal jantung), nefropati diabetik, nefritis. 2) Rhabdomyolosis, jejas otot
rangka menyebabkan mioglobin dilepaskan dari otot ke sirkulasi, apabila
jumlahnya berlebih menyebabkan nefrotoksik. 3) Ackromegali, gigiantisme,
penyakit yang berhubungan dengan peningkatan massa otot sehingga
meningkatkan kadar kreatinin darah. Sedangkan apabila terjadi penurunan

25
akan menimbulakn masalah yaitu debilition dan penurunan masa otot
(misalnya distrofi ototm miastenia gravis) (Rosida & Pratiwi, 2019).
2. Pemeriksaan Ureum serum
Ureum adalah senyawa yang terbentuk di dalam hati sebagai hasil dari
metabolisme protein. Terutama, ureum berasal dari pemecahan protein dalam
makanan yang kita konsumsi, tetapi juga dapat dihasilkan dari protein yang
terurai akibat kerusakan jaringan, perdarahan dalam saluran pencernaan, atau
penggunaan kortikosteroid. Protein dari makanan dipecah menjadi asam
amino, yang kemudian diubah oleh bakteri dalam usus menjadi amoniak. Di
dalam hati, amoniak diubah menjadi ureum, yang selanjutnya masuk ke dalam
aliran darah dan diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin.
Pengukuran kadar ureum dalam darah dipengaruhi oleh berbagai faktor
di luar fungsi ginjal, seperti perdarahan dalam saluran pencernaan atas dan
pola makan tinggi protein. Sebagian besar ureum (40-50%) akan diserap
kembali oleh tubulus ginjal, sehingga pengukuran ini tidak selalu
mencerminkan secara akurat laju filtrasi glomerulus ginjal.
Ureum merupakan sebagian besar (sekitar 75%) dari nitrogen non-
protein (NPN) dalam tubuh, selain asam urat dan kreatinin. Peningkatan kadar
NPN disebut azotemia. Azotemia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu pra
renal (sebelum ginjal), renal (karena masalah ginjal), dan pasca renal (setelah
ginjal). Azotemia pra renal dapat disebabkan oleh akumulasi NPN sebelum
mencapai ginjal, seperti dalam kasus syok, dehidrasi, gagal jantung kongestif,
catabolisme protein yang tinggi, perdarahan dalam saluran pencernaan atas,
atau penggunaan kortikosteroid. Azotemia renal dapat muncul akibat gagal
ginjal akut dan kronis, penyakit ginjal seperti nefritis, glomerulonefritis, dan
nekrosis tubular akut. Azotemia pasca renal biasanya terjadi akibat adanya
obstruksi pada saluran kemih.
Proses sintesis ureum sangat tergantung pada fungsi hati. Pada pasien
dengan penyakit hati primer, kadar ureum seringkali rendah karena gangguan
fungsi hati. Dalam sindrom hepatorenal, yang ditandai oleh gangguan fungsi
hati dan ginjal, pengukuran ureum tidak dianjurkan untuk menilai fungsi
ekskresi ginjal. Pemeriksaan ureum ini untuk menilai fungsi ginjal (jika fungsi

26
hati normal) dengan nilai rujukan dewasa (6-20 mg/dL). Apabila terjadi
peingkatan kadar berarti terdapat beberapa masalah pada fungsi ginjalnya
yaitu 1) Prerenal: hipovolemi, syok, luka bakar,dehidrasi, gagal jantung
kongestif, infark miokard, perdarahan saluran cerna, katabolisme brotein
berlebihan, puasa lama, sepsis. 2) Renal: penyakit ginjal (glomerulonephritis,
pielonefritis, tubular nekrosis akut), gagal ginjal 3) Pasca renal: obstruksi
saluran kemih akibat batu, tumor, atau kelainan kongenital. Sedangkan apabila
kadar menurun menandakan gagal hati, hidrasi berlebihan, keseimbangan
nitrogen negative : malnutrisi dan malabsorbsi, kehamilan awal akibat
hemodilusi, sindrom nefrotik, akibat kehilangan protein melalui urin (Rosida
& Pratiwi, 2019).

27
3. Pemeriksaan BUN (Blood Urea Nitrogen)
BUN mengukur jumlah urea nitrogen di darah. Urea dibentuk di hati
sebagai hasil metabolisme protein. Protein dipecah menjadi asam amino, di
hati asam amino dikatabolisme membentuk amonia bebas. Molekul ammonia
membentuk urea yang di bawa oleh darah ke ginjal untuk dieksresikan,
sehingga BUN secara tidak langsung dapat digunakan untuk mengukur fungsi
metabolic hati dan fungsi ekresi ginjal. Pasien dengan kadar BUN yang
meningkat disebut azotemia. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur
fungsi ginal dan laju filtrasi glomerulus secara tidak langsung (jika fungsi hati
baik) dan melihat fungsi ginjal. Adapun nilai rujukan pada pemeriksaan ini
yaitu dewasa (10-20 mg/dL), anak (5-18 mg/dL), dan bayi (3-12 mg/dL).
Interpretasi hasil apabila terjadi peningkatan kadar menandakan ada
beberpa masalah pada fungsi ginjal yaitu 1) Pre renal Hipovolemi, shock, luka
bakar, dehidrasi, gagal jantung kongestif, miokard infark, perdarahan saluran
cerna, intake protein berlebih, katabolisme protein berlebih, kelaparan/puasa
lama, sepsis 2) Renal Penyakit ginjal (misalnya glomerulonephritis,
pielonefritis, nekrosis tubular akut), gagal ginjal, obat-obatan nefrotoksik 3)
Pasca renal azotemia Obstruksi uretra oleh batu, tumor atau kelainan
kongenital Obstruksi saluran vesika urinaria akibat pembesaran prostat atau
kanker mapupun kelainan kongenital menyebabkan aliran urin terhambat
akibatnya jumlah BUN yang dieksresikan berkurang (Rosida & Pratiwi,
2019).
4. Pemeriksaan Cystatin C
Cystatin C adalah sebuah protein dengan berat molekul rendah sekitar 13
kDa yang dihasilkan oleh sel-sel berinti dalam tubuh. Kelebihan cystatin C
diproduksi dengan tingkat konstan dan kadar normalnya stabil pada ginjal
yang sehat. Cystatin C mengalami proses filtrasi di ginjal, diikuti dengan
reabsorbsi di tubulus ginjal, tetapi kemudian langsung mengalami
katabolisme, sehingga tidak kembali ke dalam aliran darah. Selain itu, cystatin
C tidak mengalami sekresi melalui jalur tubulus lain selain ginjal, dan
pengukurannya tidak dipengaruhi oleh asupan protein dalam diet.

28
Evaluasi cystatin C dapat memberikan informasi lebih dini daripada
pengukuran laju filtrasi glomerulus (GFR), terutama bermanfaat dalam situasi
ketika metabolisme protein terganggu, seperti dalam kasus gangguan hati dan
malnutrisi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai fungsi ginjal Adapun
nilai rujukan yaitu dewasa (pria 0,56-0,98 mg/L) (wanita 0,52-0,90 mg/L).
apabila terjadi peningkatan kadar maka terdapat masalah penurunan laju
filtrasi glomerulus (Rosida & Pratiwi, 2019).
5. Uji Bersihan Keratinin (Clerens Creatinin Test/ CCT)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur laju filtrasi glomerulus
ginjal. Pada uji bersihan kreatinin diperiksa kadar kreatinin urin dan darah. Uji
ini memerlukan urin tampung sempurna selama 24 jam untuk dapat
mencerminkan laju filtrasi glomerulus sebenarnya. Urin tampung diberikan
pengawet urin, dicatat volume urin yang terkumpul dalam waktu 24 jam,
diikuti pengambilan darah pada akhir waktu pengumpulan urin. Kreatinin
sangat dipengaruhi oleh massa otot tubuh sehingga untuk mengurangi
pengaruh perubahan massa otot terhadap pemeriksaan laju filtrasi glomerulus
yang diperkirakan dengan bersihan kreatinin dilakukan konversi bersihan
kreatinin terhadap luas permukaan tubuh sebesar 1,73 m2, nilai ini yang
dianggap ratarata pada ukuran tubuh normal.
Adapun nilai rujukan pada pemeriksaan ini yaitu pria dewasa (97-173
ml/menit per 1,73 m2), wanita dewasa (88-128 ml/menit per 1,73 m 2), kadar
normal CCT menurun secara normal dengan bertambahnya usia sekitar 6,5
ml/menit per 1,73 m2 untuk setiap decade umur (Rosida & Pratiwi, 2019).

29
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemeriksaan penujang diagnostik memainkan peran penting dalam dunia
medis dengan memberikan informasi klinis yang kritis untuk mendukung
proses diagnosis, pengelolaan penyakit, dan perawatan pasien. Setiap penyakit
dapat diketahui melalui pemeriksaan penunjang diangnostik melalui
pemeriksaan laboratorium atau mikroskopis. Dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium, kita dapat mengetahui penyakit yang diderita oleh pasien
sehingga dapat memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Banyak macam pemeriksaan penujang diagnostic yang dapat dilakukan
oleh pasien untuk mengetahui penyakit yang diderita dengan kemajuan
teknologi diagnostik, seperti peeriksaan laboratrium, pemindaian gambar dan
uji pencitraan, telah membawa perubahan signifikan dalam pendekatan
terhadap perawatan kesehatan. Deteksi dini, personalisasi perawatan, dan
pemantauan progressi penyakit adalah beberapa manfaat yang diperoleh
melalui pemeriksaan penujang diagnostik.
3.2 Saran
Dengan seiringnya perkembangan zaman, dan kemajuan teknologi,
penting untuk memantau dan mempertahankan etika dan prinsip-prinsip yang
telah ada untuk menjaga perlindungan pasien atau privasi dalam mengelola
data kesehatan. Selain itu, Dukungan terhadap penelitian lanjutan dalam
pengembangan metode diagnostik baru dan perbaikan pada yang sudah ada
perlu dipertahankan untuk memajukan standar diagnostik dan perawatan.

30
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, D. (2021). Pemeriksaan Laboratorium Untuk Diagnosis Leptospirosis.
Jurnal Kesehatan Saintika Meditory, 4(2), 8.
https://doi.org/10.30633/jsm.v4i2.1225

Kemenkes RI. (2011). Pedoman Pemeriksaan Kimia Klinik (pp. 147–157).

Koentjoro, M. P., Maifanda, A. S., Febrianti, A. A., Zahra, N. I., & Yuliawati.
(2021). Teknik Diagnostik Konvensional dan Lanjutan Untuk Pemeriksaan
Mikrobiologi pada Infeksi Nosokomial di Indonesia. Jurnal Insan Cendekia,
8(2), 136–145. https://doi.org/10.35874/jic.v8i2.935

Mcfarlane, S. (2022). A Short Note on Importance of Diagnostic Tools. Journal


of Medical Diagnostic Methods, 11(1000), 161222. https://doi.org/10.35248/
2168-9784.22.11:368. Citation:

Murzalina, C. (2019). Pemeriksaan Laboratorium untuk Penunjang Diagnostik


Demam Tifoid. Jurnal Kesehatan Cehadum, 1(3), 61–68.

Nugraha, G., & Badrawi, I. (2021). Pedoman Teknik Pemeriksaan Laboratorium


Klinik. In Trans Info Media. Trans Info Media.

Rosida, A., & Pratiwi, D. I. N. (2019). Pemeriksaan Laboratorium Sistem


Uropoetik PK UNLAM (1st ed.). Sari Mulia Indah.

Wulandari, N., Wardani, E., Pahriani, A., Rahmi, E., Qibtiyah, M., & Sunaryo, H.
(2019). Modul Praktikum Patologi Klinik. In Universitas Muhammdiyah
Prof. Dr. Hamka Jakarta. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Jakarta.

Wurcel, V., Cicchetti, A., Garrison, L., Kip, M. M. A., Koffijberg, H., Kolbe, A.,
Leeflang, M. M. G., Merlin, T., Mestre-Ferrandiz, J., Oortwijn, W.,
Oosterwijk, C., Tunis, S., & Zamora, B. (2019). The Value of Diagnostic
Information in Personalised Healthcare: A Comprehensive Concept to
Facilitate Bringing This Technology into Healthcare Systems. Public Health
Genomics, 22(1–2), 8–15. https://doi.org/10.1159/000501832

31

Anda mungkin juga menyukai