Kepada Yth,
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Anak Pada Program
Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya
Presentan:
dr. Yuanita Rimadini
Pembimbing:
dr. Moretta Damayanti, Sp.A (K), M. Kes
dr. Julius Anzar, Sp.A (K)
dr. RM Indra, Sp.A (K)
Tabel 2.1. Tindakan pelayanan pada rawat inap balita gizi buruk menurut
fasenya...................................................................................................9
Tabel 2.2 Kebutuhan zat gizi untuk balita gizi buruk menurut fasenya..............16
Tabel 3.1. Batasan Operasional............................................................................39
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Umum, Gejala Penyerta, Penyakit Penyerta,
Toleransi dan Akseptabilitas Subjek Penelitian..................................48
Tabel 4.2 Distribusi gejala penyerta berdasarkan luaran tatalaksana gizi buruk
49 Tabel 4.3 Distribusi.......................................................kombinasi
jenis gejala penyerta berdasarkan luaran tatalaksana gizi buruk....... 50
Tabel 4.4 Distribusi penyakit penyerta berdasarkan luaran tatalaksana gizi
buruk....................................................................................................51
Tabel 4.5 Distribusi kombinasi jenis penyakit penyerta berdasarkan luaran
tatalaksana gizi buruk..........................................................................51
Tabel 4.6 Distribusi gangguan toleransi berdasarkan luaran tatalaksana gizi buruk
.............................................................................................................52
Tabel 4.7 Distribusi kombinasi jenis gangguan toleransi berdasarkan luaran
tatalaksana gizi buruk..........................................................................52
Tabel 4.8 Hubungan antara luaran tatalaksana pasien gizi buruk dengan faktor –
faktor risiko yang memengaruhinya...................................................53
Tabel 4.9 Hubungan luaran tatalaksana gizi buruk dengan berbagai gejala
penyerta..............................................................................................54
Tabel 4.10 Hubungan luaran tatalaksana gizi buruk dengan penyakit-penyakit
penyerta...............................................................................................55
Tabel 4.11 Hubungan antara luaran tatalaksana dengan gangguan toleransi........56
Tabel 4.12 Hubungan antara luaran tatalaksana dengan gejala penyerta, penyakit
penyerta, dan gangguan toleransi lebih dari 2 komponen...................57
Tabel 4.13 Hasil Analisis Multivariat Faktor Risiko terhadap Luaran
Tatalaksana..........................................................................................57
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
DAFTAR SINGKATAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
Hasil penelitian di Addis Ababa, Ethiopia menunjukkan bahwa terdapat
beberapa faktor yang dapat memengaruhi keberhasilan tatalaksana rawat inap
pasien gizi buruk. Faktor risiko seperti kriteria rawat inap (ada tidaknya edema),
hipotermia, anemia, lama perawatan dan penyakit penyerta seperti pneumonia,
tuberkulosis, diare, dan infeksi HIV, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
respon terapi gizi buruk. Sebuah penelitian yang dilakukan di fasilitas kesehatan
Tigray melaporkan bahwa obat yang paling banyak diberikan sebagai terapi
adalah antibiotik (72,13%) dan vitamin A (59,17%). Analisis menunjukkan bahwa
mengonsumsi antibiotik dan vitamin A adalah prediktor positif untuk keberhasilan
terapi pasien gizi buruk.8
Di Indonesia, tepatnya di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung, sebuah
penelitian terhadap 195 pasien gizi buruk melaporkan beberapa faktor yang
memengaruhi keberhasilan terapi gizi buruk dan memengaruhi kenaikan berat
badan pasien, antara lain riwayat imunisasi (12,1%), penyakit komorbid yang
diderita pasien berupa peneumonia (44,2%), anemia (32,6%), tuberkulosis
(20,9%), serta pemberian terapi antibiotik dan multivitamin saat pasien dirawat.
Pasien dengan faktor komorbid akan menghambat keberhasilan terapi dan
kenaikan berat badan.9
Penelitian terhadap 186 pasien gizi buruk sebelumnya telah dilakukan di
Kota Palembang dengan luaran termasuk dalam kategori sedang (moderate). Oleh
karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan penelitian lebih lanjut terhadap faktor-
faktor yang memengaruhi luaran tersebut guna meningkatkan kualitas tatalaksana
rawat inap pasien anak dengan gizi buruk.
2
1.3 Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan faktor medis dan non medis dengan terjadinya stunting
pada anak usia 3 bulan-59 bulan.
3
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat praktis
Penelitian ini akan menghasilkan angka prevalensi kejadian stunting
pada bayi dan anak beserta faktor-faktor yang memengaruhinya.
4
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.2.1 Rawat jalan: untuk balita usia 6-59 bulan dengan gizi buruk tanpa
komplikasi. Layanan ini dilakukan di fasilitas kesehatan
primer/puskesmas.
2.2.2 Rawat inap untuk:
Bayi < 6 bulan dengan gizi buruk (dengan atau tanpa komplikasi);
Balita gizi buruk usia 6-59 bulan dengan komplikasi dan/atau
penyakit penyerta yang diduga dapat menyebabkan gizi buruk,
seperti TB dan HIV;
Semua bayi berusia di atas 6 bulan dengan berat badan kurang
dari 4 kg.
Rawat inap dilakukan di puskesmas perawatan yang mampu memberi
pelayanan balita gizi buruk dengan komplikasi (kecuali pada bayi < 6 bulan
harus di rumah sakit), Therapeutic Feeding Centre, RS pratama, serta RS
tipe C, B dan A. Pada rawat inap, keluarga tetap berperan mendampingi
balita yang dirawat. Penemuan dini kasus kekurangan gizi dilakukan sedini
mungkin, dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan tumbuh kembang
yang mungkin timbul. Karena itu, penapisan sekaligus dilakukan untuk gizi
kurang dan gizi buruk.15
6
Gambar 2. Alur penapisan balita gizi buruk/kurang dan jenis layanan yang
diperlukan5
7
2.2.2.2 Rawat Inap pada Balita 6-59 Bulan Gizi Buruk5,17
Tujuan rawat inap bagi balita gizi buruk dengan komplikasi dan
bayi di atas 6 bulan dengan berat badan kurang dari 4 kg sebagai berikut.
a. Mengupayakan stabilisasi kondisi balita dengan mengembalikan
metabolism untuk keseimbangan elektrolit, normalisasi
metabolisme dan mengembalikan fungsi organ.
b. Menangani komplikasi, yaitu penyakit infeksi dan komplikasi
lainnya.
c. Memberikan makanan bergizi untuk mengejar pertumbuhan, yang
dilakukan secara perlahan dan ditingkatkan dengan hati-hati agar
tidak membebani sistem.
d. Memberikan layanan rehabilitasi gizi lengkap.
e. Memberikan layanan rujukan rawat inap kepada balita gizi buruk
yang semula menjalani rawat jalan.
8
Dalam ketiga fase itu terdapat 10 tindakan pelayanan rawat inap
untuk balita gizi buruk yang perlu dilakukan (Tabel 1).
Tabel 2.1. Tindakan pelayanan pada rawat inap balita gizi buruk menurut fasenya16
A. Fase Stabilisasi5,17
Pada fase ini diprioritaskan penanganan kegawatdaruratan yang
mengancam jiwa:
a. Hipoglikemia.
b. Hipotermia.
c. Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit.
d. Infeksi.
a. Hipoglikemia5,16
Semua balita gizi buruk berisiko mengalami hipoglikemia (kadar gula
darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl), sehingga setiap balita gizi buruk
diberi makan atau larutan glukosa 10% segera setelah masuk layanan
rawat inap. Pemberian makan yang sering (tiap 2 jam) sangat penting
dilakukan pada anak gizi buruk. Jika fasilitas setempat tidak
9
memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah, maka semua anak
gizi buruk dianggap menderita hipoglikemia dan segera ditangani
sebagai berikut:
• Berikan 50 ml larutan glukosa 10% (1 sendok teh munjung gula
pasir dalam 50 ml air) secara oral/melalui NGT, segera
dilanjutkan dengan pemberian Formula 75 (F-75).
• F-75 yang pertama, atau modifikasinya, diberikan 2 jam sekali
dalam 24 jam pertama, dilanjutkan setiap 2-3 jam, siang dan
malam selama minimal dua hari.
• Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal
pemberian F-75.
• Jika anak tidak sadar/letargi, berikan larutan glukosa 10% secara
intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/gula
pasir 50 ml dengan NGT. Jika glukosa IV tidak tersedia, berikan
satu sendok teh gula ditambah 1 atau 2 tetes air di bawah lidah,
dan ulangi setiap 20 menit untuk mencegah terulangnya
hipoglikemi. Pantau jangan sampai balita menelan gula tersebut
terlalu cepat sehingga memperlambat proses penyerapan.
• Hipoglikemia dan hipotermia seringkali merupakan tanda adanya
infeksi berat.
b. Hipotermia5,16
Hipotermia (suhu aksilar kurang dari 36oC) sering ditemukan pada
balita gizi buruk dan jika ditemukan bersama hipoglikemia
menandakan adanya infeksi berat. Cadangan energi anak gizi buruk
sangat terbatas, sehingga tidak mampu memproduksi panas untuk
mempertahankan suhu tubuh.
Tatalaksana:
• Hangatkan tubuh balita dengan menutup seluruh tubuh, termasuk
kepala, dengan pakaian dan selimut.
• Juga dapat digunakan pemanas (tidak mengarah langsung kepada
balita) atau lampu di dekatnya (40 W dengan jarak 50 cm dari
tubuh
10
balita), atau letakkan balita langsung pada dada atau perut ibunya
(dari kulit ke kulit/metode kanguru).
11
sering tidak ada, walaupun rehidrasi penuh telah terjadi; karena itu
sangat penting untuk memantau berat badan. Bila ditemukan tanda
kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit dan frekuensi
nadi 15x/menit), hentikan segera pemberian cairan/ReSoMal dan
lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.
d. Infeksi5,15,16
Balita gizi buruk seringkali menderita berbagai jenis infeksi, namun
sering tidak ditemukan tanda/gejala infeksi bakteri, seperti demam.
Karena itu, semua balita gizi buruk dianggap menderita infeksi pada
saat datang ke faskes dan segera diberi antibiotik. Hipoglikemia dan
hipotermia seringkali merupakan tanda infeksi berat.
Tatalaksana
• Berikan kepada semua balita gizi buruk antibiotika dengan
spektrum luas.
• Imunisasi campak jika balita berusia ≥ 6 bulan dan belum pernah
diimunisasi atau mendapatkan imunisasi campak sebelum usia 9
bulan. Imunisasi ditunda bila balita dalam keadaan syok.
12
- Catatan: metronidazole 7,5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari
dapat diberikan sebagai tambahan antibiotika berspektrum
luas, namun efektivitasnya belum ditegakkan dengan uji klinis.
• Berikan terapi untuk penyakit infeksi sesuai dengan standar terapi
yang berlaku, seperti malaria, meningitis, TB dan HIV.
Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotika tersebut di atas,
lanjutkan terapi sampai 10 hari. Jika nafsu makan belum membaik,
lakukan penilaian ulang menyeluruh pada balita.
B. Fase Transisi5
Fase ini ditandai oleh transisi dari kondisi stabil ke kondisi yang
memenuhi syarat untuk menjalani rawat jalan. Fase Transisi dimulai
ketika:
• Komplikasi medis teratasi;
• Tidak ada hipoglikemia;
• Nafsu makan pulih;
• Edema berkurang.
13
• Perlu diperhatikan bahwa lingkungan RS/tempat rawat inap berisiko
mengakibatkan infeksi nosokomial yang dapat menyebabkan
kematian. Di samping itu, rawat inap yang terlalu lama bisa
mengganggu kehidupan keluarga, terutama keluarga yang mempunyai
banyak anak. Meskipun pemulihan mungkin berjalan lebih lambat
pada layanan rawat jalan, namun pilihan ini lebih baik. Dalam proses
pemulihan, balita sebaiknya dipindahkan secepatnya ke layanan rawat
jalan dan mulai diajak bermain dengan bahan-bahan yang ada untuk
stimulasi tumbuh kembang.
Tatalaksana
Transisi dilakukan secara bertahap dari F-75 ke F-100 atau RUTF
selama 2-3 hari, sesuai dengan kondisi balita.
• Formula F-75 diganti menjadi F-100 dalam volume yang sama
seperti pemberian F-75 yang terakhir selama 2 hari. Berikan
formula tumbuh kejar (F-100 atau RUTF) yang mengandung 100
kkal/100 ml dan 2,9 g protein/100 ml.
14
Bila menggunakan RUTF (lihat Kotak 3): pemberian RUTF
dimulai dengan porsi kecil tapi teratur. Balita dibujuk untuk makan
RUTF lebih sering (8 kali/hari, dan kemudian dapat menjadi 5-6
kali/hari).
Bila balita tidak dapat menghabiskan jumlah RUTF yang
dibutuhkan pada Fase Transisi ini, maka beri tambahan F-75
sehingga mencapai kebutuhan balita/hari. Lakukan sampai balita
mampu menghabiskan RUTF yang diberikan.
Bila balita tidak dapat menghabiskan sedikitnya setengah dari
jumlah RUTF yang dibutuhkan dalam 12 jam, maka pemberian
RUTF dihentikan dan kembali diberikan F-75. Setelah itu,
pemberian RUTF dicoba lagi dalam 1-2 hari sampai balita mampu
menghabiskan jumlah RUTF yang diberikan.
Bila balita masih mendapat ASI, maka pemberian ASI dilanjutkan,
dengan memastikan bahwa balita terlebih dahulu menghabiskan F-
100 atau RUTF sesuai jumlah yang telah ditentukan.
C. Fase Rehabilitasi5
Setelah Fase Transisi, balita mendapatkan perawatan lanjutan ke fase
Rehabilitasi di layanan rawat jalan, atau tetap di layanan rawat inap bila
tidak tersedia layanan rawat jalan.
Tatalaksana
Kebutuhan zat gizi pada Fase Rehabilitasi adalah:
• Energi : 150-220 kkal/kgBB/hari
• Protein: 4-6 g/kgBB/hari
Tabel 2.2 Kebutuhan zat gizi untuk balita gizi buruk menurut fasenya5
15
Pemantauan
Hal yang perlu dihindari pada fase ini adalah terjadinya gagal jantung. Perlu
diamati gejala dini gagal jantung, yaitu nadi cepat dan nafas cepat. Bila
keduanya meningkat, yaitu pernafasan naik 5x/menit dan nadi naik
25x/menit) yang menetap selama 2 kali pemeriksaan masing-masing dengan
jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda bahaya yang perlu
dicari penyebabnya.
Bila terdapat gejala dini gagal jantung, langkah-langkah berikut perlu segera
dilakukan.
• Volume makanan dikurangi, menjadi 100 ml/kgBB/hari diberikan tiap dua jam.
• Selanjutnya volume makanan ditingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
o 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya;
o 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya;
o selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml
o Penyebab ditelusuri dan kemudian diatasi.
Penilaian kemajuan5
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah Fase
Transisi dan mendapat F-100 atau RUTF.
• Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan.
Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam
gram/kgBB/hari.
• Bila kenaikan berat badan:
o Kurang, yaitu bila kenaikan berat badan kurang dari 5 g/kg
BB/hari, balita membutuhkan penilaian ulang lengkap;
o Sedang, yaitu bila kenaikan berat badan 5-10 g/kg BB/hari), perlu
diperiksa apakah target asupan terpenuhi, atau mungkin ada
infeksi yang tidak terdeteksi;
o Baik, yaitu bila kenaikan berat badan lebih dari 10 g/kg BB/hari.
ATAU
16
o Kurang, yaitu bila kenaikan berat badan kurang dari 50 g/kg
BB/per minggu, maka balita membutuhkan penilaian ulang
lengkap;
o Baik, yaitu bila kenaikan berat badan ≥ 50 g/kg BB/per minggu
17
ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik
CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun.
Pemeriksaan laboratorium dan analisis diet dilakukan sesuai
indikasi klinis. Diagnosis klinis merupakan salah satu
pertimbangan dalam memformulasikan rencana pemberian nutrisi.
Dalam keadaan tertentu dimana berat badan dan
panjang/tinggi badan tidak dapat dinilai secara akurat, misalnya
terdapat organomegali, edema anasarka, spondilitis atau kelainan
tulang, dan sindrom tertentu maka status gizi ditentukan dengan
menggunakan parameter lain misalnya lingkar lengan atas, knee
height, arm span dan lain lain akan dijelaskan dalam rekomendasi
tersendiri.
18
2.3.3 Penentuan cara pemberian18
Pemberian nutrisi melalui oral atau enteral merupakan
pilihan utama. Jalur parenteral hanya digunakan pada situasi
tertentu saja. Kontra indikasi pemberian makan melalui saluran
cerna ialah obstruksi saluran cerna, perdarahan saluran cerna serta
tidak berfungsinya saluran cerna. Pemberian nutrisi enteral untuk
jangka pendek dapat dilakukan melalui pipa nasogastrik atau
nasoduodenal atau nasojejunal. Untuk jangka panjang, nutrisi
enteral dapat dilakukan melalui gastrostomi atau jejunostomi.
Untuk nutrisi parenteral jangka pendek (kurang dari 14 hari) dapat
digunakan akses perifer, sedangkan untuk jangka panjang harus
menggunakan akses sentral.
19
khusus/kondisional menjadi esensial, sehingga dibutuhkan sediaan
protein yang bisa berbeda antara bayi dan anak.
20
Gambar 3. Kerangka hubungan antara faktor penyebab kekurangan gizi pada ibu dan anak11
21
ternak dan jenis pangan lain yang dijual di pasar lokal atau tempat
lain. Jika pangan diproduksi dalam jumlah dan ragam yang cukup,
kemudahan bahan tadi cukup tersedia di tingkat desa atau masyarakat
dan kalau keluarga memiliki uang yang cukup untuk membeli
keperluan pangan yang tidak ditanam di tempatnya, tidak akan banyak
terjadi kurang gizi dan kurangnya pangan.
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Manggarai, Nusa
Tenggara timur menyimpulkan bahwa persediaan pangan yang kurang
menjadi penyebab tidak langsung yang berpengaruh terhadap asupan
makanan anak didalam keluarga. Kurangnya pangan yang cukup
untuk dimakam merupakan salah satu sebab utama rendahnya keadaan
penghidupan keluarga. Cara-cara bertani yang tidak baik
mengakibatkan rendahnya produksi tanaman, ternak dan produksi
pertanian lainnya. Produksi pertanian yang rendah menyebabkan
pendapatan petani berkurang. Kemiskinan dan kurangnya pangan
yang tersedia untuk konsumsi rumah tangga karena rendahnya
produksi tanaman biasanya menyebabkan timbulnya kurang gizi.19
b. Pola Asuh
Asuhan anak atau interaksi ibu dan anak terlihat erat sebagai
indikator kualitas dan kuantitas peranan ibu dalam mengasuh anak.
Pola asuh dapat dipakai sebagai peramal atau faktor risiko terjadinya
kurang gizi atau gangguan perkembangan pada anak. Peran ibu dalam
keluarga sangat besar dalam menanamkan kebiasaan makan pada anak
dan proses tumbuh kembang yaitu kebutuhan emosi atau kasih
sayang diwujudkan dengan kontak fisik dan psikis, misalnya dengan
menyusui segera setelah lahir.19
22
Sanitasi lingkungan sehat secara tidak langsung mempengaruhi
kesehatan anak balita yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
kondisi status gizi anak balita.13
Noviati Fuada (2011) dalam penelitian yang mereka lakukan
tentang hubungan sanitasi lingkungan, morbiditas dan status gizi balita
di Indonesia, mereka menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara sanitasi lingkungan sehat dengan status gizi anak
balita berdasarkan indikator BB/U. Balita yang tumbuh di lingkungan
tidak sehat berpeluang satu kali lebih besar akan mengalami status gizi
buruk di bandingkan dengan balita yang normal atau status gizi baik.13
Fasilitas kesehatan sangat penting untuk menyokong status
kesehatan dan gizi anak. Fasilitas kesehatan harus mampu
menampung
dan menjangkau masyarakat di daerah-daerah tertinggal.19
24
besar untuk mengalami status gizi kurang di bandingkan dengan anak
yang asupan proteinnya cukup. Faktor utama yang harus diperhatikan
dalam pemberian makanan anak adalah umur, aktivitas, keadaan sakit
dan jenis kelamin.19
b. Penyakit Infeksi
Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang
berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare,
cacingan dan penyakit pernafasan akut (ISPA). Kaitan penyakit
infeksi dengan keadaan gizi merupakan hubungan timbal balik, yaitu
hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan
gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah terkena infeksi.
Penyakit yang umumnya terkait dengan masalah gizi antara lain diare,
tuberkulosis, pneumonia, dan anemia.20
Interaksi antara malnutrisi dan penyakit infeksi sudah lama
diketahui. Infeksi dapat mempengaruhi asupan makanan sehinggga
akan kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi
berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap penyakit
infeksi. Interaksi sinergistik antara malnutrisi da penyakit infeksi
antara lain:
Dampak Penyakit Infeksi terhadap Status Gizi
Dampak penyakit infeksi terhadap pertumbuhan seperti
menurunnya berat badan telah lama diketahui. Keadaan
demikian disebabkan karena hilangnya nafsu makan penderita
penyakit infeksi sehingga masukan zat gizi dan energi kurang
dari kebutuhannya. Pada penderita penyakit infeksi memerlukan
kebutuhan energi dan zat gizi yang meningkat karena
katabolisme yang berlebihan dan suhu badan yang tinggi.
Dampak Malnutri terhadap Penyakit Infeksi
Menurunnya status gizi berakibat menurunya imunitas penderita
terhadap berbagai infeksi. Tubuh memiliki tiga macam
pertahanan untuk menolak infeksi, yaitu:
25
a. Melalui sel (imunitas seluler)
b. Melalui cairan (imunitas humoral)
c. Aktivitas leukosit polimorfonukleus
Hasil penelitian Hidayat dan Noviati Fuada (2011) mereka
mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
kejadian penyakit diare dengan status gizi anak balita berdasarkan
indikator BB/U, TB/U dan BB/TB. Balita yang sering mengalami
diare berpeluang satu kali lebih besar akan mengalami status gizi
buruk, pendek dan kurus dibandingkan dengan balita yang normal
atau berstatus gizi baik.11
26
penelitian yang dilakukan oleh Suiraoka dkk (2011) pada keluarga
miskin dan tidak miskin di Kecamatan Denpasar utara, dari hasil analisis
mereka menunjukan ada perbedaan status gizi balita pada keluarga
miskin dan tidak miskin.21
27
2.5.2 Faktor Medis
Telah dilakukan penelitian terhadap pasien anak dengan gizi buruk yang
dirawat inap, didapatkan hasil beberapa faktor medis yang memengaruhi
keberhasilan tatalaksana, antara lain:
a. Status Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yaitu resisten atau kebal. Imunisasi
terhadap suatu penyakit hanya dapat memberi kekebalan terhadap
penyakit tersebut sehingga bila balita kelak terpajan antigen yang sama,
balita tersebut tidak akan sakit dan untuk menghindari penyakit lain
diperlukan imunisasi yang lain. Infeksi pada balita penting untuk dicegah
dengan imunisasi. Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan
kekebalan terhadap suatu antigen yang dapat dibagi menjadi imunisasi
aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau
racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan untuk merangsang
tubuh memproduksi antibodi sendiri sedangkan imunisasi pasif adalah
penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam tubuh
meningkat.
Imunisasi juga dapat mencegah penderitaan yang disebabkan oleh
penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian, menghilangkan
kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit, memperbaiki
tingkat kesehatan,dan menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk
melanjutkan pembangunan negara.22
Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi adalah
bayi dan balita karena meraka yang paling peka terhadap penyakit dan
sistem kekebalan tubuh balita masih belum sebaik dengan orang dewasa.
Sistem kekebalan tersebut yang menyebabkan balita menjadi tidak
terjangkit sakit. Apabila balita tidak melakukan imunisasi, maka
kekebalan tubuh balita akan berkurang dan akan rentan terkena penyakit.
Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung dengan kejadian gizi.
28
b. Penyakit penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan
terhadap penyakit. Begitu juga pasien dengan penyakit tertentu dapat
menyebabkan gizi buruk. Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit tersebut
justru menambah rendahnya status gizi anak.
1. Pneumonia
Mikroorganisme penyebab pneumonia dapat berupa virus, bakteri dan
jamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia
disebabkan oleh bakteri, terutama Streptococcus pneumonia dan
Hemophilus influenza tipe B. Pemeriksaan mikroorganisme penyebab
pneumonia pada balita masih belum sempurna karena balita sulit
memproduksi sputum dan tindakan invasif seperti aspirasi paru atau
kultur darah sulit dilakukan. Faktor risiko yang selalu ada (definite risk
factor) pada pneumonia meliputi gizi kurang, berat badan lahir rendah,
tidak mendapatkan ASI, polusi udara dalam ruang, dan pemukiman
padat. Balita dengan gizi kurang dan gizi buruk memperbesar risiko
terjadinya pneumonia pada balita. Pada balita dengan gizi kurang/buruk,
sistem pertahanan tubuh menurun sehingga mudah terkena infeksi.23,24
2. Diare
Diare adalah suatu keadaan yang ditandai dengan bertambahnya
frekuensi defekasi lebih dari tiga kali sehari yang disertai dengan
perubahan konsistensi tinja menjadi lebih cair, dengan/tanpa darah dan
dengan/tanpa lendir. Penelitian memperlihatkan bahwa terdapat
hubungan timbal balik antara diare dan malnutrisi. Diare dapat
menimbulkan terjadinya malnutrisi dan sebaliknya, malnutrisi juga bisa
menjadi penyebab timbulnya diare. Infeksi mempengaruhi status gizi
melalui penurunan asupan makanan, penurunan absorpsi makanan di
usus, meningkatkan katabolisme, dan mengambil nutrisi yang diperlukan
tubuh untuk sintesis jaringan dan pertumbuhan. Di samping itu,
malnutrisi bisa menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi karena
menurunkan pertahanan tubuh dan mengganggu fungsi kekebalan tubuh
manusia.25
29
3. Sepsis26
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam kehidupan (life-threatening
organ dysfunction) yang disebabkan oleh disregulasi imun terhadap infeksi.
Sepsis ditandai dengan adanya infeksi, meliputi faktor predisposisi infeksi,
tanda atau bukti infeksi yang berlangsung, respon inflamasi dan tanda disfungsi
atau gagal organ. Faktor predisposisi infeksi, meliputi: Status nutrisi, status
imunisasi, komorbiditas, riwayat terapi.
Tanda Infeksi, meliputi pemeriksaan klinis dan laboratoris. Klinis ditandai
oleh demam atau hipotermia atau adanya focus infeksi. Laboratoris, dengan
penanda infeksi: pemeriksaan darah tepi (lekosit, trombosit, rasio
netrofil:limfosit, shift to the left), pemeriksaan morfologi darah tepi (granula
toksik, Dohle body, dan vakuola dalam sitoplasma), c-reactive protein (CRP),
dan prokalsitonin.
Respon inflamasi, meliputi:
Klinis:
a. Suhu inti > 38,50C atau < 360C
b. Takikardi, didefinisikan sebagai rerata denyut jantung > 2 SD di atas nilai
normal menurut usia tanpa adanya rangsang luar, obat-obatan kronis, atau
rangsang nyeri; atau peningkatan tak terinci yang bertahan selama lebih dari 0,5
sampai 4 jam ATAU untuk anak-anak < 1 tahun;
c. Bradikardia, didefinisikan sebagai rerata denyut jantung < persentil ke-10
menurut usia tanpa adanya rangsang vagal eksternal, obat-obatan penyekat beta,
atau penyakit jantung kongenital; atau penurunan denyut jantung tak terinci
yang bertahan selama lebih dari 0,5 jam.
d. Laju napas rata-rata > 2 SD di atas nilai normal menurut usia atau ventilasi
mekanik untuk proses akut yang tidak terkait dengan penyakit neuromuskuler
yang mendasar atau pemberian anestesi umum.
Laboratoris: Jumlah leukosit, CRP, transaminase serum, dan prokalsitonin.
Kriteria disfungsi organ meliputi disfungsi siem kardiovaskular,
respirasi, hematologis, system saraf pusat, dan hepatic. Disfungsi organ
ditegakkan berdasarkan skor PELOD-2. Diagnosis sepsis ditegakkan bila
skor pelod ≥ (atau ≥).
Sepsis merupakan infeksi serius yang menjadi masalah global
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penilaian derajat
klinis anak dengan sakit kritis dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain
30
dengan Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) Score. Skor
PELOD dapat digunakan untuk menilai secara akurat disfungsi organ dan
dapat digunakan sebagai indikator untuk tingkat keparahan penyakit
secara klinis.
Malnutrisi, terutama gizi buruk juga merupakan salah satu penyulit
yang cukup banyak ditemukan pada anak dengan sepsis. Komplikasi
malnutrisi pada anak dengan sepsis dapat mengenai seluruh sistem,
seperti menurunkan respon imun, atrofi, dan memudahkan terjadinya
translokasi bakteri saluran cerna akibat peningkatan permiabilitas barrier
intestinal. Pada akhirnya, anak mengalami masa penyembuhan luka yang
lebih lama, infeksi lain atau reinfeksi, dan angka kematian yang
meningkat.
4. Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), yaitu kuman aerob yang
dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh hidup lainnya
yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Bakteri ini tidak
tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terjadipada malam
hari. Tuberkulosis ini dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di
paru maupun di luar paru. Faktor risiko penularan TB pada anak sama
halnya dengan TB pada umumnya, tergantung dari tingkat penularan,
lama pajanan, dan daya tahan tubuh. Sehingga penyakit TB akan lebih
memperburuk keadaan pasien gizi buruk.27
5. HIV (Human Immunodeficiensy Virus)
HIV merupakan retroviru yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan
tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages–
komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan
atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya
penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan
mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.Sistem kekebalan dianggap
menurun ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya
memerangi infeksi dan penyakit- penyakit.28
31
6. Penyakit jantung bawaan
Faktor risiko dari kegagalan pertumbuhan pada anak dengan kelainan
jantung bawaan antara lain status gizi, left-toright intracardiac shunt
(pada kelainan jantung bawaan asianotik), hipertensi pulmonal, dan
sianosis. Gangguan pertumbuhan karena malnutrisi merupakan masalah
pada anak dengan kelainan jantung bawaan, terlebih pada kelainan
jantung bawaan biru.Malnutrisi adalah masalah yang biasa terjadi pada
anak dengan kelainan jantung bawaan biru.
Malnutrisi sebenarnya adalah keadaan status gizi yang mencakup
gizi buruk, kurang maupun lebih. Malnutrisi pada anak dengan kelainan
jantung bawaan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, sebagai
indikasi dari sering dirawat di rumah sakit, hasil bedah yang buruk,
gangguan pertumbuhan somatik yang terus-menerus dan peningkatan
kematian. Peningkatan kecepatan metabolik sering ditemukan pada anak
dengan kelainan jantung bawaan, dan energi total pada anak dengan
kelainan jantung bawaan 40% lebih tinggi dibandingkan dengan anak
sehat.
Penelitian Wulandari dkk di menunjukkan perbedaan bermakna
antara status gizi pada pasien kelainan jantung bawaan antara yang biru
dan tidak biru. Pada pasien dengan kelainan jantung bawaan biru terdapat
63,6% pasien dengan status gizi malnutrisi. Sementara pasien kelainan
jantung bawaan tidak biru yang memiliki status gizi malnutrisi hanya
30,6%. Gizi kurang terjadi pada lebih dari 50% anak dengan kelainan
jantung bawaan biru dan merupakan salah satu penyulit terbanyak pada
kelompok kelainan jantung bawaan biru. Pasien dengan kelainan jantung
bawaan biru biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan yang lebih
parah daripada pasien dengan kelainan jantung bawaan tidak biru.29
7. Penyakit keganasan atau kanker
Nutrisi merupakan bagian yang penting pada pelaksanaan kanker,
baik pada pasien yang sedang menjalani terapi, pemulihan dari terapi,
pada keadaan remisi maupun untuk mencegah kekambuhan. Status
nutrisi pada
32
pasien kanker diketahui berhubungan dengan respon terapi, prognosis
dan kualitas hidup.
Malnutrisi dan kaheksia sering terjadi pada penderita kanker (24%
pada stadium dini dan > 80% pada stadium lanjut). Insiden malnutrisi
tersebut bervariasi tergantung pada asal kanker. Kaheksia berkaitan erat
pula dengan kondisi malnutrisi. Kaheksia didefinisikan sebagai
kehilangan otot, ataupun tanpa lipolysis, yang tidak dapat dipulihkan
dengan dukungan nutrisi konvensional.
Berbagai faktor malnutrisi kanker yang dikenal sebagai kaheksia
telah lama dilaporkan, namun belum dapat dipastikan dan diduga
penyebabnya multifaktorial yaitu menurunnya asupan nutrisi dan
perubahan metabolisme di dalam tubuh. Menurunnya asupan nutrisi
terjadi akibat menurunnya asupan makanan per oral (karena anoreksia,
mual muntah, perubahan persepsi rasa dan bau), efek lokal dari tumor
(odinofagi, disfagi, obstruksi gaster/intestinal, malabsorbsi, early satiety,
faktor psikologis (depresi, ansietas), dan efek samping terapi.30
8. Anemia
Anemia merupakan morbiditas pada pasien anak dengan gizi buruk.
Sesuai pedoman tentang gizi buruk pada anak, hampir 70% anak-anak
(6–
59 bulan) dengan gizi buruk mengalami anemia. Di antaranya, 26%
anemia ringan, 40% anemia sedang, dan 3% anemia berat. Pada
penelitian di India, persentase yang sangat tinggi (85%) dari anak-anak
malnutrisi ditemukan anemia. Mayoritas anak gizi buruk mengalami
anemia sedang (42%). Jenis anemia tersering pada kasus adalah
makrositik diikuti oleh mikrositik dan mikrositosis lebih banyak pada
kontrol.31
2.6 Prognosis
Masa balita merupakan kesempatan emas tumbuh kembang anak,
khususnya dalam dua tahun pertama kehidupan. Dukungan semua pihak
diperlukan agar balita memperoleh makanan bergizi sesuai umur,
mendapatkan stimulasi tumbuh kembang dan terhindar dari penyakit yang
dapat dicegah. Pemenuhan hak anak untuk menjalani proses tumbuh
kembang secara optimal diperlukan guna mengembangkan potensi yang
dimiliki dan menjadi generasi berkualitas di masa depan.5
Masalah gizi buruk pada balita masih merupakan tantangan besar
yang mendesak untuk ditangani mengingat dampak buruk yang
ditimbulkannya. Prevalensinya yang masih tinggi, sedangkan penemuan
kasus, cakupan penanganan dan kualitas pelayanan yang rendah, merupakan
masalah yang perlu segera diatasi. Pengelolaan balita gizi buruk terintegrasi,
yang telah dilaksanakan di berbagai negara, terbukti dapat mengatasi
sebagian besar masalah tersebut. Pendekatan ini melibatkan keluarga dan
masyarakat yang berperan aktif dalam pencegahan dan penemuan kasus
secara dini, serta dalam proses layanan rawat
jalan dan rawat inap. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya dukungan
lintas sektor dan mitra terkait.5
34
2.7 Kerangka Teori
Metabolism Sistem
Mukosa usus atrofi, sekresi Diare
ANAK GIZI e tubuh Gastrointestina
enzim pencernaan
terganggu l TATALAKSANA RAWAT
BURUK
INAP
Kadar insulin menurun, Hipoglikemia
Sistem Intoleransi glukosa,
Status Imunisasi Fasilitas Endokrin cortisol meningkat
Tatalaksana pasien gizi buruk sesuai
Pelayanan kesehatan
pedoman tahun 2013 dan atau 2019
Kesehatan lingkungan Sistem Metabolisme Hipotermia,
Sirkulasi menurun, Sistem
yang tidak memadai Kebutuhan Anemia
pembentukan panas
asupan nutrisi terganggu
meningkat
Fungsi Seluler Aktivitas pompa Na+
Imbalance elektrolit
K+ terganggu,
Penyakit Infeksi:
Pneumonia
Diare
Sepsis
HIV
TB
Penyakit Non Infeksi RERATA KENAIKAN BERAT
PJB BADAN
Keganasan Baik ( > 10gr/kgbb/hari) Sedang (
5-10gr/kgbb/hari) Kurang, ( <
5g/kgbb/hari )
34
2.8 Kerangka Konsep
Pasien Gizi Buruk
Usia 1 bulan - 5 tahun yang dirawat inap
Toleransi
Akseptabilitas
Variabel yang
tidak diteliti
35
BAB III
METODE PENELITIAN
36
( )
2
Z α √ 2 PQ+ Z β √(P 1 Q 1)+(P2 Q2 )
n1 ¿ n2 =
0,2
Keterangan :
n = jumlah
subyek Ditetapkan
α = 0,05
Besar sampel telah dihitung berdasarkan faktor risiko tertentu (Lampiran 5),
didapatkan jumlah sampel rata-rata adalah sebanyak 96,6 orang. Besar sampel
kemudian dikoreksi untuk rasio kedua kelompok (1:1), didapatkan besar sampel
koreksi sebesar 194. Sehingga jumlah sampel minimal yang diperlukan pada
penelitian ini adalah sebanyak 194 orang.
37
3.4.2 Kriteria Eksklusi
Pasien yang memiliki deformitas atau keterbatasan fisik secara normal
misalnya amputasi, fraktur dan massa tumor.
Skala
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Kategori
Ukur
1. Luaran Kenaikan berat badan yang Penimbangan Timbangan 1. Moderate- Kategorik
tatalaksana dihitung selama pasien gizi buruk berat badan berat badan Baik (bila
pasien gizi dalam masa perawatan. setiap pagi digital merk kenaikan
BB >
buruk Lama perawatan minimal 3 hari, hari. SECA.
5gr/kgbb/
dengan lama pengamatan 14 Pasien hari)
hari.5 ditimbang
tanpa 2. Kurang,
Kenaikan berat badan dihitung menggunakan (bila
sejak awal pasien gizi buruk pakaian. kenaikan BB
masuk rumah sakit hingga ≤ 5gr/kgbb/
pasien keluar dari rumah sakit.. hari)
Contoh cara menghitung:5
Berat badan saat ini = 6300 gram
Berat badan 3 hari yang lalu =
6000 gram
38
Langkah 1.
Hitung kenaikan berat badan
(dalam gram) = (6300-6000) g =
300 g
Langkah 2.
Hitung kenaikan berat badan per
harinya = (300 g + 3 hari) = 100
g/hari
Langkah 3.
Bagilah hasil pada langkah 2
dengan berat rata-rata dalam
kilogram (100g/hari + 6.15kg =
16.3 g/kg/hari)
2. Luaran Kenaikan berat badan yang Penimbangan Timbangan 1. Moderate- Kategorik
tatalaksana dihitung pada setiap fase berat badan berat badan Baik (bila
per fase tatalaksana pasien gizi buruk setiap pagi digital merk kenaikan
BB >
selama pasien dirawat inap. hari. SECA.
5gr/kgbb/
Terdapat tiga fase dalam Pasien hari)
tatalaksana pasien gizi buruk ditimbang
yang dirawat inap, yaitu: tanpa 2. Kurang,
Fase stabilisasi (hari ke 1-2) menggunakan (bila
Fase transisi (hari ke 3-7) pakaian. kenaikan BB
Fase rehabilitasi (minggu ke 2-6) ≤ 5gr/kgbb/
hari)
3. Faktor-faktor Faktor-faktor yang Data rekam Kuesioner 1. Tidak Nominal
yang memengaruhi kenaikan berat medis, ada
memengaruhi badan pasien gizi buruk usia anamnesis, 2. Ada
luaran 1 bulan – 5 tahun selama pemeriksaan
tatalaksana tatalaksana rawat inap. fisik
pasien gizi
buruk
a. Diagnosis Semua diagnosis penyakit
Penyakit primer yang diderita pasien gizi
Primer buruk selama dirawat inap, baik
berdasarkan data rekam medis
pasien atau dibuat oleh DPJP
utama pasien.
39
b. Gejala Gejala penyerta yang telah Anamnesis, Kuesioner, 1. Tidak ada Nominal
penyerta dialami oleh pasien sebelum Pemeriksaan Pemeriksaan 2. Ada
pasien mendapatkan tatalaksana fisik, data fisik
pasien gzi buruk. rekam medis
Gejala penyerta dapat berupa:
- Anoreksia
- Demam
- Batuk
- Anemia
- Muntah
- Diare
- Sesak napas
4. Pneumonia Pasien yang telah terdiagnosis Data rekam Kuesioner, 1. Tidak Nominal
pneumonia sesuai dengan PPK medis Pemeriksaan ada
respirologi. fisik 2. Ada
5. Diare Pasien yang telah terdiagnosa Data rekam Kuesioner, 1. Tidak Nominal
diare sesuai dengan PPK medis Pemeriksaan ada
Gastroenterohepatologi. fisik 2. Ada
Baik diare akut, diare persisten,
ataupun diare kronis.
40
6. Sepsis Pasien gizi buruk yang telah Data rekam Kuesioner, 1. Tidak Nominal
terdiagnosis sepsis sesuai medis Pemeriksaan ada
dengan konsensus diagnosis dan fisik 2. Ada
tatalaksana sepsis.26
Diagnosis pasien berdasarkan
data rekam medis atau
ditentukan oleh DPJP pasien.
7. Tuberkulosis Pasien yang telah terdiagnosis Data rekam Kuesioner 1. Tidak Nominal
(TB) TB sesuai dengan PPK medis Rontgen ada
respirologi dan petunjuk teknis thoraks, 2. Ada
TB tahun 2016.27 pemeriksaan
TCM,
mantoux
test.
8. Human Pasien yang telah terdiagnosis Data rekam Kuesioner 1. Tidak Nominal
Immunodefi- HIV, sesuai dengan PPK allergi medis Pemeriksaan ada
ciency Virus immunologi. laboratorium 2. Ada
(HIV)
9. Penyakit Pasien yang terlah terdiagnosis Data rekam Kuesioner 1. Tidak Nominal
jantung kelainan jantung bawaan sesuai medis Echocardio- ada
bawaan dengan PPK kardiologi. grafi 2. Ada
10. Penyakit Pasien yang telah terdiagnosis Data rekam Kuesioner 1. Tidak Nominal
keganasan penyakit keganasan medis ada
(hematoonkologi) yang belum 2. Ada
maupun sudah pernah mendapat
terapi spesifik seperti
kemoterapi
dan radioterapi.
11. Anemia Anemia adalah kadar Data rekam Pemerikssaa 1. Tidak Nominal
haemoglobin (Hb) kurang dari medis, n ada
batas sesuai dengan usia Pemeriksasan laboratorium 2. Ada
menurut Patient Blood Hb
Management
Guidelindes:Module 6
Neonatal
and Paediatrics (2016)
Usia Nilai Hb (g/dL)
2 bulan 9
2-6 bulan 9,5
6-24 bulan 10,5
2-11 tahun 11,5
12. Toleransi Reaksi simpang yang dapat Wawancara Kuesioner 1. Tidak Nominal
terjadi setelah dimulai terhadap Ada
pemberian asuhan nutrisi orang tua, 2. Ada
pediatrik sesuai tatalaksana Food recall
pasien gizi buruk.
Toleransi dapat berupa:
- muntah,
- diare
- reaksi allergi.
41
Toleransi dikatakan tidak baik
apabila terjadi minimal 1 gejala
baik itu muntah, diare atau timbul
reaksi alergi setelah pemberian
terapi asuhan nutrisi pediatrik. 18
13. Akseptabilita Kemampuan pasien dalam Wawancara Kuesioner 1. Baik, (bila Nominal
s menghabiskan makanan dengan terhadap ≥ 80%)
proporsi total asupan makanan orang tua, 2. Tidak
per hari dibandingkan total Food recall baik, (bila
asupan makanan keseluruhan < 80%)
yang direncanakan.
Dikatakan akseptabilitas baik
apabila rerata total asupan
makanan perhari yang
dihabiskan ≥ 80% dari total
asupan yang direncanakan.15
42
Pasien akan diobservasi dengan penimbangan berat badan setiap
pagi hari sebelum makan. Pasien ditimbang dalam kondisi tanpa
pakaian. Kenaikan berat badan pasien akan dinilai setiap hari dan
dievaluasi untuk setiap fase tatalaksana pasien selama pasien
dirawat inap.
e. Dilakukan pencatatan terhadap hasil yang diamati, berat badan dan
tinggi badan pasien, status gizi pasien, diagnosis primer pasien, gejala
penyerta, terapi asuhan nutrisi pediatrik yang diberikan, obat-obatan,
toleransi dan akseptabilitas pasien terhadap tatalaksana selama pasien
dirawat inap.
f. Dilakukan penghitungan terhadap rerata kenaikan berat badan pasien
dan dikelompokkan menjadi kategori kurang dan moderate-baik.
43
3.8 Alur Kerja
Analisis Data
Pelaporan Hasil
44
3.9 Analisis Data
1. Data dicatat pada formulir penelitian, kemudian dimasukkan ke dalam
komputer dan dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS versi 22.
2. Semua variabel penelitian dianalisis secara univariat dan disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi.
3. Luaran tatalaksana pasien gizi buruk yang dinilai dengan kenaikan berat
badan pasien selama perawatan terhadap faktor risiko yang
memengaruhinya dianalisis secara bivariat menggunakan chi square atau
fisher exact bila syarat chi square tidak terpenuhi.
4. Untuk nilai p < 0,25 dilakukan analisis secara multivariat menggunakan
binary logistic regression untuk mengetahui faktor risiko mana yang
secara signifikan berpengaruh terhadap luaran tatalaksana pasien gizi
buruk dengan nilai 𝖺 5%, CI 95%, dan p-value < 0,05.
45
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Adal TG, Kote M. Incidence and Predictors of Mortality among Severe Acute
Malnourished Under Five Children Admitted to Dilla University Referal Hospital: A
Retrospective Longitudinal Study. J Biol. Published online 2016:14.
2. Nabukeera-Barungi N. Predictors of mortality among hospitalized children with
severe acute malnutrition: a prospective study from Uganda. Pediatr Res.:7.
3. Kurniawan R. Y, Hardhana B. ST. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2019.
4. WHO. Guideline: Updates on the Management of Severe Acute Malnutrition in
Infants and Children. Geneva: World Health Organization; 2013.
5. Kemenkes Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan Dan Tatalaksana
Gizi Buruk Pada Balita. Jakarta. 2019;10-1.
6. Tickell KD, Denno DM. Inpatient management of children with severe acute
malnutrition: a review of WHO guidelines. Published online 2013:10.
7. Mehta S. SJ. Predicators for Weight Gain in Children Treated for Severe Acute
Malnutrition: A Prospective Study at Nutritional Rehabilitation Center. Hindawi
Publ Corp. Published online 2014:1-5. doi:http://dx.doi.org/10.1155/2014/808756
8. MB DMM, Billoro BB. Treatment Outcome of Severe Acute Malnutrition and Its
Determinants among Pediatric Patients in West Ethiopia. Int J Pediatircs. 2018:1-7.
doi:https://doi.org/10.1155/2018/8686501
9. Wiramihardja S. KV, Adhutya AP. GDA. Factors Influencing Outcomes of Children
Hospitalized with Acute Severe Malnutrition. Althea Med J. 2018;5:87-92.
doi:http://dx.doi.org/10.15850/amj.v5n2.1246
10. Wagnew F, Dejenu G, Eshetie S, Alebel A, Worku W, Abajobir AA. Treatment cure
rate and its predictors among children with severe acute malnutrition in northwest
Ethiopia: A retrospective record review. :8.
11. Black RE, Lindsay HA, Zulfiqar AB, Laura EC, Mercedes O, Majid E, et al.
Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health
consequences. The Lancet. 2008; 371; 243-60.
12. Derseh B. Co-morbidity, treatment outcomes and factors affecting the recovery rate
of under -five children with severe acute malnutrition admitted in selected hospitals
from Ethiopia: retrospective follow up study. Published online 2018:8.
13. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi Dan Aplikasinya. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
47
14. WHO. Guideline: Updates on the Management of Severe Acute Malnutrition in
Infants and Children. Geneva: World Health Organization; 2013.
15. Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku
Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
:298.
16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan
Kesehatan Ibu Dan Anak Direktorat Bina Gizi. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Buku II. Jakarta. 2013;3-5.
17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan
Kesehatan Ibu Dan Anak Direktorat Bina Gizi. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Buku I. Jakarta. 2011;3.
18. Sjarif DS., Nasar S., Devaera Y., Tanjung C. Dalam: Rekomendasi Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Asuhan Nutrisi Pediatrik (Pediatric Nutrition Care), penyunting.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2011;4-10.
19. Adriani, M Dan Wirjatmadi, B. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Kencana.Jakarta:
48-57.
20. Hansen J.D.L., Pettifor J.M. Protein Energy Malnutrition (PEM). Dalam: McLaren
D.S., Penyunting. Textbook of Paediatric Nutrition. Edisi Ketiga. New York.
Churchill Livingstone; 1991.h.358-88.
21. Suiraoka P., Sukraniti P.D., Gumala YMN. 2011. Perbedaan status gizi, pola
pemberian makan, dan pola asuh balita pada keluarga miskin dan tidak miskin di
Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Jurnal Ilmu gizi 2 (2), 83-92.
22. Novitasari D. Faktor-faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita yang dirawat di
RSUP dr. Kariadi Semarang. Karya Tulis Ilmiah. Semarang. 2012.
23. Rudan I, Katherine L, O’Brien, Harish Nair, Campbell H. Epidemiology and
etiology of childhood pneumonia in 2010: estimates of incidence, severe morbidity,
mortality, underlying risk factors and causative pathogens for 192 countries.
Scotland: Global Healthjournal. 2013; 3(1):54.
24. Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto BB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Ke-1.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.
25. Brown KH. Diarrhea and malnutrition. J. Nutr. 2003; 133:328S-32S.
26. Chairulfatah A. HS, dkk. Konsensus Diagnosis Dan Tata Laksana Sepsis Pada Anak.
Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
27. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen Dan
Tatalaksana TB Anak. Jakarta. 2016. h.3.
48
28. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia. Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika; 2007.
29. Wulandari AP. Onteseno T. Umiastuti P. Hubungan Status Gizi Anak Usia 2-5
Tahun dengan Kelainan Jantung Bawaan Biru di RSUD Dr Soetomo Surabaya. Sari
Pediatri. 2018;20(2):65-9.
30. Boediwarsono. Terapi Nutrisi Pada Penderita Kanker. Dalam: Naskah Lengkap
Surabaya Hematology Oncology Update IV. Medical Care of the Cancer Patient,
editor: Boediwarsono, Soegianto, Ami Ashariati, Made Putra Sedana, Ugroseno;
2012. hlm 134-141.
31. Dwivedi D, Singh V, Singh J, Sharma S. Study of Anaemia in Children with Severe
Acute Malnutrition. J Nepal Paediatr Soc 2017;37(3):250-253.
32. Gebremichael D.Y. Predictors of nutritional recovery time and survival status among
children with severe acute malnutrition who have been managed in therapeutic
feeding centers, Southern Ethiopia: retrospective cohort study. BMC Public Health.
Published online 2015:15:1267.
33. Choudhury K., Hanifi M., Rasheed S., Bhuiya A. Gender inequality and severe
malnutrition among children in a remote rural area of Bangladesh. J Health Popul
Nutr. 2000. Dec;18(3): 123-130.
34. Kumar D.,Kumar R.,Kumar A., Singh T.B. Risk factors of mortality in hospitalized
children with severe acute malnutrition. The Indian Journal of Pediatrics (November
2019). 86(11):1069.
35. Fikrie A. Treatment outcomes and factors affecting time-to-recovery from severe
acute malnutrition in 6–59 months old children admitted to a stabilization center in
Southern Ethiopia: A retrospective cohort study. Published online 2019:9.
36. B. Mengistie. et al. Prevalence of diarrhea and associated risk factors among children
under-five years of age in Eastern Ethiopia: A cross-sectional study. Open Journal of
Preventive Medicine 3. 2013. Vol.3 No.7. p.446-453.
49
Lampiran 1. Informasi Penelitian
Gizi buruk pada balita merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kompleks.
Saat ini kejadian gizi buruk meningkat, bahkan mengakibatkan kematian. Gizi
buruk dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti kurangnya asupan gizi dari
makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau
makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan
ekonomi yaitu kemiskinan. Kemudian, penyakit infeksi, hal ini disebabkan oleh
rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat
makanan secara baik. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau
oleh masyarakat. Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pola asuh
anak. Pengelolaan yang buruk serta perawatan kesehatan yang tidak memadai.
50
Penelitian ini akan dilakukan selama masa perawatan, anak bapak/ibu akan
ditimbang berat badan dan tinggi badan pada saat masuk rawat inap, kemudian
dihitung status gizi sesuai dengan kurva pertumbuhan WHO, akan diberikan
terapi asuhan nutrisi pediatrik sesuai dengan tatalaksana gizi buruk pada anak
kemenkes tahun 2013 dan atau 2019. Lalu akan dipantau dan dievaluasi mengenai
toleransi dan akseptabilitas pasien terhadap terapi. Anak bapak/ibu akan
diobservasi dengan penimbangan berat badan setiap pagi hari sebelum makan,
ditimbang dalam kondisi tanpa pakaian. Dilakukan pencatatan terhadap hasil yang
diamati, berat badan pasien, toleransi dan akseptabilitas pasien, serta komplikasi
medis yang ada. Dilakukan penghitungan terhadap rerata kenaikan berat badan
pasien dan dikelompokkan menjadi kategori kurang, sedang atau baik.
51
Lampiran 2.
Formulir Persetujuan Mengikuti Penelitian
RSMH Palembang
Jl. Jendral Sudirman KM 3,5 Palembang
Phone : +62-711-354088 Fax +62-711-351318
52
Pasien akan diobservasi dengan penimbangan berat
badan setiap pagi hari sebelum makan. Pasien
ditimbang dalam kondisi tanpa pakaian. Rerata
kenaikan berat badan pasien akan dihitung untuk
setiap fase tatalaksana pasien.
Bapak/Ibu sebagai orangtua atau pendamping dapat
kapan pun memutuskan untuk memberhentikan
keikutsertaan anaknya dalam penelitian ini.
Keikutsertaan anak bapak/ibu bersifat sukarela dan
tidak ada paksaan. Kerahasiaan data putra/putri
bapak/ibu akan dijaga dan akan dilakukan tindak
lanjut apabila dari hasil pemeriksaan terdapat
kelainan.
4 Jumlah subyek 87 pasien
5 Waktu penelitian Januari 2021 – Juli 2021
6 Manfaat penelitian Penelitian ini memberikan informasi mengenai luaran
termasuk manfaat bagi tatalaksana pasien gizi buruk selama perawatan. Dan
subyek penelitian faktor-faktor yang memengaruhinya sehingga upaya
tatalaksana dan pencegahan pasien gizi buruk menjadi
lebih baik.
7 Risiko dan efek samping Tidak ada risiko dan efek samping dalam penelitian
dalam penelitian ini.
8 Ketidaknyamanan subyek Penelitian ini tidak menyebabkan ketidaknyamanan
penelitian subyek penelitian karena peneliti hanya melakukan
observasi terhadap subyek penelitian.
9 Kompensasi bila terjadi Tidak ada efek samping pada penelitian ini.
efek samping
10 Penjagaan kerahasiaan Identitas pasien sesungguhnya tidak akan ditampilkan
data Identitas dan data-data pasien akan ditulis dengan
kode tertentu.
11 Biaya yang ditanggung Tidak ada
oleh subyek
12 Insentif bagi subyek Tidak ada
13 Nama dan alamat peneliti dr. Masayu Mutiara Puspasari
serta nomor telepon yang Jl. Jendral Sudirman KM 3,5 Palembang
dapat dihubungi No HP. 082179421396
53
Tanda tangan wali/orangtua subyek atau cap jempol Tanggal
Nama saksi
Ket. Tanda tangan saksi/ wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis,
penurunan kesadaran, mengalami gangguan jiwa dan berusia dibawah 18 tahun.
54
Lampiran 3
Formulir Penelitian
Nama No.MR/RI
Jenis Kelamin Laki-Laki / Perempuan Tanggal MRS
Tanggal lahir Tanggal KRS
Umur
Alamat
No. Telp
Antropometri Saat Masuk
Berat Badan (gram) BB/U
Tinggi Badan (cm) TB/U
LILA (cm) BB/TB
Kesan
Riwayat Kesehatan
Diare Ya Tidak
Muntah Ya Tidak
Batuk Ya Tidak
Sesak napas Ya Tidak
Pucat Ya Tidak
Demam Ya Tidak
Edema Ya Tidak
Keluhan lain
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Nadi (x/m)
Pernapasan (x/m)
Suhu (⁰ C)
Keadaan Spesifik
Kepala
Mata
Telinga
Mulut
Thoraks
COR
Pulmo
Abdomen
Extremitas
Catatan lain
Pemeriksaan Penunjang
Hb
Leuko, trombo,Diff.count,
LED, CRP
GDS
Lain-Lain
Diagnosis awal
55
Formula
Terapi Lainnya
56
Follow Up Pasien
Tanggal
Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
BB (gram)
TB (cm)
LILA (cm)
Rute (Oral/NGT)
Formula
Toleransi
Muntah (M) /
Tidak Muntah
(TM)
Diare (D) /
Tidak Diare (TD)
Allergi (A) /
Tidak Allergi
(TA)
Akseptabilitas
Habis (H) /
Tidak Habis (TH)
Total yang
dihabiskan
Suka (S) /
Tidak Suka (TS)
Diagnosis Akhir
CONTOH PERHITUNGAN KENAIKAN BERAT BADAN SETELAH 3 Nama & TTD Pemeriksa,
HARI
Berat badan saat ini = 6300 gram
Berat badan 3 hari yang lalu = 6000 gram
Langkah 1. Hitung kenaikan berat badan (dalam gram) = (6300-6000) g = 300
g
Langkah 2. Hitung kenaikan berat badan per harinya = (300 g + 3 hari) = 100
g/hari
Langkah 3. Bagilah hasil pada langkah 2 dengan berat rata-rata dalam
kilogram (100g/hari + 6.15kg = 16.3 g/kg/hari)
57
Lampiran 4.
Estimasi Besar Sampel Faktor risiko
1. Anemia
Perhitungan yang digunakan untuk mencari besar sampel faktor risiko:
(𝑍𝛼 √2𝑃𝑄× 𝑍𝛽 √(𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2))2
n1 = n2 =
(𝑃1−𝑃2)2
Keterangan :
n = jumlah
subyek Ditetapkan
α = 0,05
Besar sampel yang dibutuhkan adalah 43 orang. Jika dikoreksi untuk rasio kedua
kelompok (1:1), maka dibutuhkan sampel sekitar 86 orang.
2. Pneumonia
Perhitungan yang digunakan untuk mencari besar sampel faktor risiko:
Keterangan :
n = jumlah
subyek Ditetapkan
α = 0,05
59
Q1 = 1 – P1
P2 = Proporsi untuk kelompok yang faktor risikonya diketahui (67,7% menurut
kepustakaan) = 67,7%
Q2 = 1 – P2
(P1 –P2) = besar efek = 0,2
2
(1,96 √2×0,77×0,23 + 0.84 √(0,877×0,133)+(0,677×0,323))
n1 = n2 = n = (0,2)2 = 68
Besar sampel yang dibutuhkan adalah 68 orang. Jika dikoreksi untuk rasio kedua
kelompok (1:1), maka dibutuhkan sampel sekitar 136 orang.
3. Demam
Perhitungan yang digunakan untuk mencari besar sampel faktor risiko:
(𝑍𝛼 √2𝑃𝑄× 𝑍𝛽 √(𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2))2
n1 = n2 =
(𝑃1−𝑃2)2
Keterangan :
n = jumlah
subyek Ditetapkan
α = 0,05
4. HIV
Perhitungan besar sampel komparatif kategorik tidak berpasangan satu kali
60
pengukuran digunakan untuk mencari besar sampel faktor risiko:
61
(𝑍𝛼 √2𝑃𝑄× 𝑍𝛽 √(𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2))2
n1 = n2 = (0,3)2
(𝑃1−𝑃2)2
Keterangan :
n = jumlah
subyek Ditetapkan
α = 0,05
2
(1,96 √(2×0,588×0,412) + 0.84 √(0,738×0,262)+(0,438×0,562)) = 43,5
n1 = n2 = n =
Besar sampel yang dibutuhkan adalah 43,5 orang. Jika dikoreksi untuk rasio
kedua kelompok (1:1), maka dibutuhkan sampel sekitar 87 orang.
62