Anda di halaman 1dari 70

PROPOSAL TESIS

Kepada Yth,

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEJADIAN STUNTING PAD ANAK USIA 3-59 BULAN

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Anak Pada Program
Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya

Presentan:
dr. Yuanita Rimadini

Pembimbing:
dr. Moretta Damayanti, Sp.A (K), M. Kes
dr. Julius Anzar, Sp.A (K)
dr. RM Indra, Sp.A (K)

KSM KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT dr. MOH. HOESIN PALEMBANG/
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tindakan pelayanan pada rawat inap balita gizi buruk menurut
fasenya...................................................................................................9
Tabel 2.2 Kebutuhan zat gizi untuk balita gizi buruk menurut fasenya..............16
Tabel 3.1. Batasan Operasional............................................................................39
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Umum, Gejala Penyerta, Penyakit Penyerta,
Toleransi dan Akseptabilitas Subjek Penelitian..................................48
Tabel 4.2 Distribusi gejala penyerta berdasarkan luaran tatalaksana gizi buruk
49 Tabel 4.3 Distribusi.......................................................kombinasi
jenis gejala penyerta berdasarkan luaran tatalaksana gizi buruk....... 50
Tabel 4.4 Distribusi penyakit penyerta berdasarkan luaran tatalaksana gizi
buruk....................................................................................................51
Tabel 4.5 Distribusi kombinasi jenis penyakit penyerta berdasarkan luaran
tatalaksana gizi buruk..........................................................................51
Tabel 4.6 Distribusi gangguan toleransi berdasarkan luaran tatalaksana gizi buruk
.............................................................................................................52
Tabel 4.7 Distribusi kombinasi jenis gangguan toleransi berdasarkan luaran
tatalaksana gizi buruk..........................................................................52
Tabel 4.8 Hubungan antara luaran tatalaksana pasien gizi buruk dengan faktor –
faktor risiko yang memengaruhinya...................................................53
Tabel 4.9 Hubungan luaran tatalaksana gizi buruk dengan berbagai gejala
penyerta..............................................................................................54
Tabel 4.10 Hubungan luaran tatalaksana gizi buruk dengan penyakit-penyakit
penyerta...............................................................................................55
Tabel 4.11 Hubungan antara luaran tatalaksana dengan gangguan toleransi........56
Tabel 4.12 Hubungan antara luaran tatalaksana dengan gejala penyerta, penyakit
penyerta, dan gangguan toleransi lebih dari 2 komponen...................57
Tabel 4.13 Hasil Analisis Multivariat Faktor Risiko terhadap Luaran
Tatalaksana..........................................................................................57

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Klasifikasi edema pada balita gizi buruk...............................................5


Gambar 2. Alur penapisan balita gizi buruk............................................................7

iii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informasi penelitian...........................................................................68


Lampiran 2. Formulir persetujuan mengikuti penelitian........................................70
Lampiran 3. Formulir penelitian............................................................................73
Lampiran 4. Estimasi Besar Sampel Faktor risiko.................................................75
Lampiran 5. Surat Keterangan Layak Etik.............................................................78
Lampiran 6. Hasil Analisis Penelitian....................................................................79
Lampiran 7. Data Subjek Penelitian.....................................................................104

iv
DAFTAR SINGKATAN

WHO : World Health Organization


BB : Berat Badan
PB : Panjang Badan
SD : Standar Deviasi
LILA : Lingkar Lengan Atas
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
UNICEF : United Nations Children's Fund
IGF-1 : Insulin-Like Growth Factor-1
MP-ASI : Makanan Pendamping – Air Susu Ibu
PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini
TB : Tuberkulosis
HIV : Human Immunodeficiency Virus
NGT : Nasogastric Tube
RUTF : Ready to Use Therapheutic Feeding
F-100 : Formula-100
F-75 : Formula-75
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
PPK : Panduan Praktik Klinis

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gizi buruk masih merupakan permasalahan utama di bidang kesehatan
secara global. Gizi buruk bisa dialami oleh semua kelompok usia, namun lebih
sering terjadi pada anak usia 4-6 tahun. Gizi buruk juga merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas anak di seluruh dunia. Sebesar 35% dari 7,6 juta
kematian pada anak usia di bawah 5 tahun disebabkan oleh masalah gizi dan 4,4%
kematian telah terbukti secara khusus disebabkan oleh gizi buruk.1,2
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan
Indonesia 2018, menunjukkan 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita)
mengalami masalah gizi dan 3,9% diantaranya adalah gizi buruk.3 Pada 2019,
telah diterbitkan pedoman terbaru mengenai pencegahan dan tatalaksana gizi
buruk pada balita yang merupakan revisi dari pedoman pelayanan anak gizi buruk
tahun 2011 dan buku tatalaksana anak gizi buruk tahun 2013.4 Berdasarkan
pedoman tersebut, semua bayi gizi buruk berusia kurang dari 6 bulan
(dengan/tanpa komplikasi) dan balita 6- 59 bulan dengan komplikasi dilakukan
tatalaksana rawat inap. Rawat inap dapat dilakukan di rumah sakit atau puskesmas
rawat inap untuk terapi fase stabilisasi.5 World Health Organization (WHO)
mengindikasikan bahwa, melalui penerapan pedoman tatalaksana pasien gizi
buruk yang telah ada, angka kematian bisa berkurang sekitar 10%.2,6
Sebuah penelitian selama 15 bulan di India. Pada 300 pasien gizi buruk
yang dirawat inap didapatkan hasil sebesar 39% pasien mengalami kenaikan berat
badan lebih dari 5 gr/kgbb/hari pada saat hari ke 14 perawatan, 42,6% pasien
mengalami kenaikan berat badan setelah 2 bulan perawatan, dan 57,4% pasien
tidak mengalami kenaikan berat badan walaupun telah diberikan tatalaksana gizi
buruk yang adekuat sesuai dengan pedoman yang ada. Terdapat faktor medis yang
memengaruhi keberhasilan terapi yaitu adanya penyakit penyerta dan infeksi yang
diderita oleh pasien. Selain itu, dilaporkan juga faktor non medis berupa praktik
pemberian makan yang tidak tepat saat bayi, tingkat pengetahuan ibu, dan status
sosial ekonomi orang tua berperan terhadap keberhasilan terapi gizi buruk. 7

1
Hasil penelitian di Addis Ababa, Ethiopia menunjukkan bahwa terdapat
beberapa faktor yang dapat memengaruhi keberhasilan tatalaksana rawat inap
pasien gizi buruk. Faktor risiko seperti kriteria rawat inap (ada tidaknya edema),
hipotermia, anemia, lama perawatan dan penyakit penyerta seperti pneumonia,
tuberkulosis, diare, dan infeksi HIV, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
respon terapi gizi buruk. Sebuah penelitian yang dilakukan di fasilitas kesehatan
Tigray melaporkan bahwa obat yang paling banyak diberikan sebagai terapi
adalah antibiotik (72,13%) dan vitamin A (59,17%). Analisis menunjukkan bahwa
mengonsumsi antibiotik dan vitamin A adalah prediktor positif untuk keberhasilan
terapi pasien gizi buruk.8
Di Indonesia, tepatnya di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung, sebuah
penelitian terhadap 195 pasien gizi buruk melaporkan beberapa faktor yang
memengaruhi keberhasilan terapi gizi buruk dan memengaruhi kenaikan berat
badan pasien, antara lain riwayat imunisasi (12,1%), penyakit komorbid yang
diderita pasien berupa peneumonia (44,2%), anemia (32,6%), tuberkulosis
(20,9%), serta pemberian terapi antibiotik dan multivitamin saat pasien dirawat.
Pasien dengan faktor komorbid akan menghambat keberhasilan terapi dan
kenaikan berat badan.9
Penelitian terhadap 186 pasien gizi buruk sebelumnya telah dilakukan di
Kota Palembang dengan luaran termasuk dalam kategori sedang (moderate). Oleh
karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan penelitian lebih lanjut terhadap faktor-
faktor yang memengaruhi luaran tersebut guna meningkatkan kualitas tatalaksana
rawat inap pasien anak dengan gizi buruk.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1.2.1 Berapa besar prevalensi stunting pada bayi dan anak usia 3-59 bulan di
RSMH ?
1.2.2 Apakah ada hubungan faktor medis dan non medis dengan proporsi
stunting di RSUP dr. Mohammad Hoesin, Palembang?

2
1.3 Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan faktor medis dan non medis dengan terjadinya stunting
pada anak usia 3 bulan-59 bulan.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Untuk Mengidentifikasi proporsi dan faktor-faktor yang memengaruhi
kejadian stunting pada bayi dan anak usia 3-59 bulan di RSUP dr. Mohammad
Hoesin, Palembang.

1.4.2 Tujuan khusus


a. Mengetahui angka kejadian stunting pada bayi dan anak usia 3-59
bulan di RSMH Palembang di RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang.

b. Mengetahui faktor medis yang memengaruhi kejadian stunting pada


anak di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

c. Mengetahui faktor non medis yang memengaruhi kejadian stunting


pada anak di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

d. Menganalisis hubungan faktor-faktor yang memengaruhi kejadian


stunting pada anak di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

3
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat praktis
Penelitian ini akan menghasilkan angka prevalensi kejadian stunting
pada bayi dan anak beserta faktor-faktor yang memengaruhinya.

1.5.2 Manfaat ilmiah


Penelitian ini memberikan kontribusi ilmiah dalam bentuk publikasi
nasional ataupun internasional dan dapat menjadi sumber data bagi
penelitian lain.

1.5.3 Manfaat pelayanan dan pengabdian masyarakat


Penelitian ini memberikan informasi dan pengetahuan kepada
masyarakat umum tentang faktor-faktor yang memengaruhi kejadian
stunting. Umtuk pemerintah, dapat menjadi masukan data prevalensi dan
faktor medis dan non medis yang memengaruhi terjadinya stunting
sehingga data tersebut dapat digunakan untuk kegiatan promotif, preventif
dan kuratif.

4
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA

2.1 Definisi Stunting


Severe acute malnutrition atau manutrisi akut berat, atau disebut juga gizi
buruk akut, adalah keadaan dimana seseorang anak tampak sangat kurus, ditandai
dengan BB/PB < - 3 SD dari median WHO child growth standard, atau didapatkan
edema nutrisional, dan pada anak umur 5-59 bulan Lingkar Lengan Atas (LiLA) <
11,5cm.10,11

Menurut WHO (2013), gizi buruk dibedakan menurut umur anak:12,13


a. Usia kurang dari 6 bulan dengan BB/PB (atau BB/TB) kurang dari -3 SD, atau
edema bilateral yang bersifat pitting (tidak kembali setelah ditekan).
b. Usia 6-59 bulan: dengan BB/PB (atau BB/TB) kurang dari -3 SD atau LiLA
< 11,5 cm, atau edema bilateral yang bersifat pitting.

Berdasarkan ada/tidaknya komplikasi, gizi buruk dikategorikan sebagai berikut:


A. Gizi buruk tanpa komplikasi, yang ditandai dengan:
a. Lingkar lengan atas (LiLA) < 11,5 cm untuk balita berusia 6-59
bulan;
b. BB/PB (atau BB/TB) kurang dari -3 SD;
c. Adanya edema bilateral dengan derajat +1 atau +2 (Gambar 5).

Gambar 1. Klasifikasi edema pada balita gizi buruk14


5
B. Gizi buruk dengan komplikasi, yang ditandai oleh hal tersebut di
atas dan adanya satu atau lebih komplikasi berikut (sama dengan tanda
bahaya pada MTBS):5
a. anoreksia;
b. dehidrasi berat (muntah terus-menerus, diare);
c. letargi atau penurunan kesadaran;
d. demam tinggi;
e. pneumonia berat (sulit bernapas atau bernapas cepat);
f. anemia berat.

2.2 Tatalaksana Gizi Buruk5


Tatalaksana gizi buruk merupakan komponen dari upaya Pengelolaan Gizi
Buruk Terintegrasi, yang terdiri atas rawat jalan dan rawat inap.

2.2.1 Rawat jalan: untuk balita usia 6-59 bulan dengan gizi buruk tanpa
komplikasi. Layanan ini dilakukan di fasilitas kesehatan
primer/puskesmas.
2.2.2 Rawat inap untuk:
 Bayi < 6 bulan dengan gizi buruk (dengan atau tanpa komplikasi);
 Balita gizi buruk usia 6-59 bulan dengan komplikasi dan/atau
penyakit penyerta yang diduga dapat menyebabkan gizi buruk,
seperti TB dan HIV;
 Semua bayi berusia di atas 6 bulan dengan berat badan kurang
dari 4 kg.
Rawat inap dilakukan di puskesmas perawatan yang mampu memberi
pelayanan balita gizi buruk dengan komplikasi (kecuali pada bayi < 6 bulan
harus di rumah sakit), Therapeutic Feeding Centre, RS pratama, serta RS
tipe C, B dan A. Pada rawat inap, keluarga tetap berperan mendampingi
balita yang dirawat. Penemuan dini kasus kekurangan gizi dilakukan sedini
mungkin, dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan tumbuh kembang
yang mungkin timbul. Karena itu, penapisan sekaligus dilakukan untuk gizi
kurang dan gizi buruk.15

6
Gambar 2. Alur penapisan balita gizi buruk/kurang dan jenis layanan yang
diperlukan5

2.2.2.1 Rawat Inap pada Balita Gizi Buruk5,16


Layanan rawat inap dapat dilakukan di rumah sakit dan puskesmas
rawat inap. Ada dua jenis protokol dalam rawat inap balita dengan gizi
buruk sebagai berikut:
a. Balita gizi buruk usia 6-59 bulan dengan komplikasi dan/atau edema
+3 atau dengan berat kurang dari 4 kg.
b. Bayi di bawah 6 bulan: semua bayi di bawah 6 bulan dengan gizi
buruk menjalani rawat inap, walaupun tidak ada komplikasi.

7
2.2.2.2 Rawat Inap pada Balita 6-59 Bulan Gizi Buruk5,17
Tujuan rawat inap bagi balita gizi buruk dengan komplikasi dan
bayi di atas 6 bulan dengan berat badan kurang dari 4 kg sebagai berikut.
a. Mengupayakan stabilisasi kondisi balita dengan mengembalikan
metabolism untuk keseimbangan elektrolit, normalisasi
metabolisme dan mengembalikan fungsi organ.
b. Menangani komplikasi, yaitu penyakit infeksi dan komplikasi
lainnya.
c. Memberikan makanan bergizi untuk mengejar pertumbuhan, yang
dilakukan secara perlahan dan ditingkatkan dengan hati-hati agar
tidak membebani sistem.
d. Memberikan layanan rehabilitasi gizi lengkap.
e. Memberikan layanan rujukan rawat inap kepada balita gizi buruk
yang semula menjalani rawat jalan.

2.2.2.3 Penilaian ketika masuk ke layanan rawat inap


Penilaian awal difokuskan pada hal-hal berikut:
a. Penegakan diagnosis komplikasi/penyakit penyerta yang
mengancam jiwa dan segera lakukan layanan darurat untuk
mengatasinya.
b. Konfirmasi status gizi buruk dengan pengukuran BB, PB atau TB,
dan LiLA sebagai data awal untuk pemantauan selanjutnya. Setelah
itu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap kemudian
dengan tindakan lainnya berdasarkan 10 langkah tatalaksana gizi
buruk.
c. Hasil pemeriksaan dicatat pada rekam medis pasien dan bagian
rawat inap.

2.2.2.4 Tiga fase dalam terapi rawat inap


Terdapat tiga fase dalam tatalaksana rawat inap, yaitu:16
a. Fase Stabilisasi;
b. Fase Transisi;
c. Fase Rehabilitasi.

8
Dalam ketiga fase itu terdapat 10 tindakan pelayanan rawat inap
untuk balita gizi buruk yang perlu dilakukan (Tabel 1).

Tabel 2.1. Tindakan pelayanan pada rawat inap balita gizi buruk menurut fasenya16

A. Fase Stabilisasi5,17
Pada fase ini diprioritaskan penanganan kegawatdaruratan yang
mengancam jiwa:
a. Hipoglikemia.
b. Hipotermia.
c. Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit.
d. Infeksi.

a. Hipoglikemia5,16
Semua balita gizi buruk berisiko mengalami hipoglikemia (kadar gula
darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl), sehingga setiap balita gizi buruk
diberi makan atau larutan glukosa 10% segera setelah masuk layanan
rawat inap. Pemberian makan yang sering (tiap 2 jam) sangat penting
dilakukan pada anak gizi buruk. Jika fasilitas setempat tidak

9
memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah, maka semua anak
gizi buruk dianggap menderita hipoglikemia dan segera ditangani
sebagai berikut:
• Berikan 50 ml larutan glukosa 10% (1 sendok teh munjung gula
pasir dalam 50 ml air) secara oral/melalui NGT, segera
dilanjutkan dengan pemberian Formula 75 (F-75).
• F-75 yang pertama, atau modifikasinya, diberikan 2 jam sekali
dalam 24 jam pertama, dilanjutkan setiap 2-3 jam, siang dan
malam selama minimal dua hari.
• Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal
pemberian F-75.
• Jika anak tidak sadar/letargi, berikan larutan glukosa 10% secara
intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/gula
pasir 50 ml dengan NGT. Jika glukosa IV tidak tersedia, berikan
satu sendok teh gula ditambah 1 atau 2 tetes air di bawah lidah,
dan ulangi setiap 20 menit untuk mencegah terulangnya
hipoglikemi. Pantau jangan sampai balita menelan gula tersebut
terlalu cepat sehingga memperlambat proses penyerapan.
• Hipoglikemia dan hipotermia seringkali merupakan tanda adanya
infeksi berat.

b. Hipotermia5,16
Hipotermia (suhu aksilar kurang dari 36oC) sering ditemukan pada
balita gizi buruk dan jika ditemukan bersama hipoglikemia
menandakan adanya infeksi berat. Cadangan energi anak gizi buruk
sangat terbatas, sehingga tidak mampu memproduksi panas untuk
mempertahankan suhu tubuh.
Tatalaksana:
• Hangatkan tubuh balita dengan menutup seluruh tubuh, termasuk
kepala, dengan pakaian dan selimut.
• Juga dapat digunakan pemanas (tidak mengarah langsung kepada
balita) atau lampu di dekatnya (40 W dengan jarak 50 cm dari
tubuh

10
balita), atau letakkan balita langsung pada dada atau perut ibunya
(dari kulit ke kulit/metode kanguru).

c. Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit5,16


Diagnosis dan derajat dehidrasi pada balita gizi buruk sulit ditegakkan
secara akurat dengan tanda/gejala klinis saja. Semua balita gizi buruk
dengan diare/penurunan jumlah urin dianggap mengalami dehidrasi
ringan. Hipovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.
Tatalaksana (tergantung kondisi kegawatdaruratan yang ditemukan):
• Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi
berat dengan syok.
• Beri ReSoMal12 (lihat Tabel 12), secara oral atau melalui NGT,
lakukan lebih lambat dari rehidrasi pada anak dengan gizi baik:
- beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama;
- selanjutnya, berikan ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam berselang-
seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam
selama 10 jam. Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak
anak mau, volume tinja yang keluar dan apakah anak muntah.
• Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
• Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 2
tahun: 50-100 ml setiapbuang air besar, usia ≥ 2 tahun: 100-200 ml
setiap buang air besar.
Jika balita gizi buruk dalam keadaan syok atau dehidrasi berat tapi
tidak memungkinkan untuk diberi rehidrasi oral/melalui NGT, maka
rehidrasi diberikan melalui infus cairan Ringer Laktat dan
Dextrosa/Glukosa 10% dengan perbandingan 1:1 (RLG 5 %). Jumlah
cairan yang diberikan sebanyak 15 ml/kg BB selama 1 jam, atau 5
tetes/menit/kg BB (infus tetes makro 20 ml/menit).
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang
dan mulai ada diuresis. Tanda membaiknya hidrasi antara lain:
kembalinya air mata, mulut basah, cekung mata dan fontanel berkurang
dan turgor kulit membaik. Namun, pada anak gizi buruk tanda tersebut

11
sering tidak ada, walaupun rehidrasi penuh telah terjadi; karena itu
sangat penting untuk memantau berat badan. Bila ditemukan tanda
kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit dan frekuensi
nadi 15x/menit), hentikan segera pemberian cairan/ReSoMal dan
lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.

d. Infeksi5,15,16
Balita gizi buruk seringkali menderita berbagai jenis infeksi, namun
sering tidak ditemukan tanda/gejala infeksi bakteri, seperti demam.
Karena itu, semua balita gizi buruk dianggap menderita infeksi pada
saat datang ke faskes dan segera diberi antibiotik. Hipoglikemia dan
hipotermia seringkali merupakan tanda infeksi berat.
Tatalaksana
• Berikan kepada semua balita gizi buruk antibiotika dengan
spektrum luas.
• Imunisasi campak jika balita berusia ≥ 6 bulan dan belum pernah
diimunisasi atau mendapatkan imunisasi campak sebelum usia 9
bulan. Imunisasi ditunda bila balita dalam keadaan syok.

Pilihan antibiotika berspektrum luas


• Bila tanpa komplikasi, beri amoksisilin (25 mg/kg per oral setiap
12 jam) selama 5 hari.
• Pada balita gizi buruk dengan komplikasi (hipoglikemia,
hipotermia, penurunan kesadaran/letargi, atau terlihat sakit) atau
komplikasi lainnya, maka berikan antibiotika parenteral (IM/IV):
- Ampisilin (50 mg/kg IM atau IV setiap 6 jam) selama 2 hari,
kemudian dilanjutkan dengan Amoksisilin oral (25-40 mg/kg
setiap 8 jam selama 5 hari); ditambah
- Gentamisin (7.5 mg/kg IM atau IV) sehari sekali selama 7 hari.
• Pemilihan jenis antibiotika juga disesuaikan dengan pola resistensi
kuman setempat.

12
- Catatan: metronidazole 7,5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari
dapat diberikan sebagai tambahan antibiotika berspektrum
luas, namun efektivitasnya belum ditegakkan dengan uji klinis.
• Berikan terapi untuk penyakit infeksi sesuai dengan standar terapi
yang berlaku, seperti malaria, meningitis, TB dan HIV.
Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotika tersebut di atas,
lanjutkan terapi sampai 10 hari. Jika nafsu makan belum membaik,
lakukan penilaian ulang menyeluruh pada balita.

B. Fase Transisi5
Fase ini ditandai oleh transisi dari kondisi stabil ke kondisi yang
memenuhi syarat untuk menjalani rawat jalan. Fase Transisi dimulai
ketika:
• Komplikasi medis teratasi;
• Tidak ada hipoglikemia;
• Nafsu makan pulih;
• Edema berkurang.

Pengelolaan Fase Transisi mempunyai dua pendekatan sebagai berikut:


a. Transisi ke layanan rawat jalan, bila tersedia.
b. Transisi ke layanan rawat inap Fase Rehabilitasi, bila layanan
rawat jalan tidak tersedia.

a. Transisi ke layanan rawat jalan


Tujuannya adalah untuk:
• mempersiapkan rehabilitasi gizi pada balita dengan gizi buruk agar
dapat menjalani rawat jalan dan memakan Ready to Use Therapheutic
Feeding (RUTF) atau F-100 dalam jumlah cukup untuk meningkatkan
berat badan dan kesembuhan;
• memastikan balita tersebut untuk memperoleh kebutuhan gizi yang
dibutuhkan, yang dilakukan dengan memperkenalkan dan
meningkatkan proporsi harian pemberian RUTF atau F-100 secara
bertahap.

13
• Perlu diperhatikan bahwa lingkungan RS/tempat rawat inap berisiko
mengakibatkan infeksi nosokomial yang dapat menyebabkan
kematian. Di samping itu, rawat inap yang terlalu lama bisa
mengganggu kehidupan keluarga, terutama keluarga yang mempunyai
banyak anak. Meskipun pemulihan mungkin berjalan lebih lambat
pada layanan rawat jalan, namun pilihan ini lebih baik. Dalam proses
pemulihan, balita sebaiknya dipindahkan secepatnya ke layanan rawat
jalan dan mulai diajak bermain dengan bahan-bahan yang ada untuk
stimulasi tumbuh kembang.

b. Transisi ke layanan rawat inap Fase Rehabilitasi


Bila tidak tersedia layanan rawat jalan, balita dirawat dan dipulihkan
sepenuhnya di layanan rawat inap. Bila setidaknya 90% dari jatah F-
100 yang diresepkan berhasil diminum habis lewat mulut dan tidak ada
masalah lain yang ditemukan dalam pemantauan, balita dinilai siap
melanjutkan ke fase Rehabilitasi.

Tatalaksana
Transisi dilakukan secara bertahap dari F-75 ke F-100 atau RUTF
selama 2-3 hari, sesuai dengan kondisi balita.
• Formula F-75 diganti menjadi F-100 dalam volume yang sama
seperti pemberian F-75 yang terakhir selama 2 hari. Berikan
formula tumbuh kejar (F-100 atau RUTF) yang mengandung 100
kkal/100 ml dan 2,9 g protein/100 ml.

• Pada hari ke-3:


 Bila menggunakan F-100, jumlah F-100 dinaikkan sebanyak 10
ml/kali pemberian sampai balita tidak mampu
menghabiskan/tersisa sedikit. Biasanya hal ini terjadi ketika
pemberian formula mencapai
200 ml/kgBB/hari. Setelah transisi bertahap, berikan dalam
frekuensi yang sering, dengan jumlah kalori: 150-220
kkal/kgBB/hari dan protein: 4-6 g/ kgBB/hari.

14
 Bila menggunakan RUTF (lihat Kotak 3): pemberian RUTF
dimulai dengan porsi kecil tapi teratur. Balita dibujuk untuk makan
RUTF lebih sering (8 kali/hari, dan kemudian dapat menjadi 5-6
kali/hari).
 Bila balita tidak dapat menghabiskan jumlah RUTF yang
dibutuhkan pada Fase Transisi ini, maka beri tambahan F-75
sehingga mencapai kebutuhan balita/hari. Lakukan sampai balita
mampu menghabiskan RUTF yang diberikan.
 Bila balita tidak dapat menghabiskan sedikitnya setengah dari
jumlah RUTF yang dibutuhkan dalam 12 jam, maka pemberian
RUTF dihentikan dan kembali diberikan F-75. Setelah itu,
pemberian RUTF dicoba lagi dalam 1-2 hari sampai balita mampu
menghabiskan jumlah RUTF yang diberikan.
 Bila balita masih mendapat ASI, maka pemberian ASI dilanjutkan,
dengan memastikan bahwa balita terlebih dahulu menghabiskan F-
100 atau RUTF sesuai jumlah yang telah ditentukan.

C. Fase Rehabilitasi5
Setelah Fase Transisi, balita mendapatkan perawatan lanjutan ke fase
Rehabilitasi di layanan rawat jalan, atau tetap di layanan rawat inap bila
tidak tersedia layanan rawat jalan.

Tatalaksana
Kebutuhan zat gizi pada Fase Rehabilitasi adalah:
• Energi : 150-220 kkal/kgBB/hari
• Protein: 4-6 g/kgBB/hari

Tabel 2.2 Kebutuhan zat gizi untuk balita gizi buruk menurut fasenya5

15
Pemantauan
Hal yang perlu dihindari pada fase ini adalah terjadinya gagal jantung. Perlu
diamati gejala dini gagal jantung, yaitu nadi cepat dan nafas cepat. Bila
keduanya meningkat, yaitu pernafasan naik 5x/menit dan nadi naik
25x/menit) yang menetap selama 2 kali pemeriksaan masing-masing dengan
jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda bahaya yang perlu
dicari penyebabnya.

Bila terdapat gejala dini gagal jantung, langkah-langkah berikut perlu segera
dilakukan.
• Volume makanan dikurangi, menjadi 100 ml/kgBB/hari diberikan tiap dua jam.
• Selanjutnya volume makanan ditingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
o 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya;
o 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya;
o selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml
o Penyebab ditelusuri dan kemudian diatasi.

Penilaian kemajuan5
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah Fase
Transisi dan mendapat F-100 atau RUTF.
• Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan.
Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam
gram/kgBB/hari.
• Bila kenaikan berat badan:
o Kurang, yaitu bila kenaikan berat badan kurang dari 5 g/kg
BB/hari, balita membutuhkan penilaian ulang lengkap;
o Sedang, yaitu bila kenaikan berat badan 5-10 g/kg BB/hari), perlu
diperiksa apakah target asupan terpenuhi, atau mungkin ada
infeksi yang tidak terdeteksi;
o Baik, yaitu bila kenaikan berat badan lebih dari 10 g/kg BB/hari.
ATAU

16
o Kurang, yaitu bila kenaikan berat badan kurang dari 50 g/kg
BB/per minggu, maka balita membutuhkan penilaian ulang
lengkap;
o Baik, yaitu bila kenaikan berat badan ≥ 50 g/kg BB/per minggu

CONTOH PERHITUNGAN KENAIKAN BERAT BADAN


SETELAH 3 HARI
Berat badan saat ini = 6300 gram
Berat badan 3 hari yang lalu = 6000 gram
Langkah 1. Hitung kenaikan berat badan (dalam gram) = (6300-6000) g = 300 g
Langkah 2. Hitung kenaikan berat badan per harinya = (300 g + 3 hari) = 100
g/hari Langkah 3. Bagilah hasil pada langkah 2 dengan berat rata-rata dalam
kilogram
(100g/hari + 6.15kg = 16.3 g/kg/hari)

2.3 Asuhan Nutrisi Pediatrik18


Langkah-langkah asuhan nutrisi pediatric, antara lain:
2.3.1 Assesment
Penilaian meliputi penentuan status gizi, masalah yang
berhubungan dengan proses pemberian makanan dan diagnosis
klinis pasien. Anamnesis meliputi asupan makan, pola makan,
toleransi makan, perkembangan oromotor, motorik halus dan
motorik kasar, perubahan berat badan, faktor sosial, budaya dan
agama serta kondisi klinis yang mempengaruhi asupan.
Penimbangan berat badan dan pengukuran panjang/tinggi badan
dilakukan dengan cara yang benar dan menggunakan timbangan
yang telah ditera secara berkala. Pemeriksaan fisik terhadap
keadaan umum dan tanda spesifik khususnya defisiensi
mikronutrien harus dilakukan.
Penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan
(BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB
atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan

17
ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik
CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun.
Pemeriksaan laboratorium dan analisis diet dilakukan sesuai
indikasi klinis. Diagnosis klinis merupakan salah satu
pertimbangan dalam memformulasikan rencana pemberian nutrisi.
Dalam keadaan tertentu dimana berat badan dan
panjang/tinggi badan tidak dapat dinilai secara akurat, misalnya
terdapat organomegali, edema anasarka, spondilitis atau kelainan
tulang, dan sindrom tertentu maka status gizi ditentukan dengan
menggunakan parameter lain misalnya lingkar lengan atas, knee
height, arm span dan lain lain akan dijelaskan dalam rekomendasi
tersendiri.

2.3.2 Penentuan kebutuhan18


Kebutuhan kalori idealnya ditentukan secara individual
menggunakan kalorimetri indirek, namun hal tersebut mahal dan
tidak praktis. Kebutuhan nutrien tertentu secara khusus dihitung
pada kondisi klinis tertentu.
Untuk kemudahan praktek klinis, kebutuhan kalori ditentukan
berdasarkan:
a. Kondisi sakit kritis (critical illness) :

Kebutuhan energi = REE x faktor aktivitas x faktor stres

b. Kondisi tidak sakit kritis (non critical illness):


Kebutuhan nutrien tertentu secara khusus dihitung pada
kondisi klinis tertentu.
• Tatalaksana Gizi Buruk menurut WHO, atau
• Berdasarkan perhitungan target BB-ideal:

BB-ideal x RDA menurut usia-tinggi

c. Pemberian kalori awal sebesar 50-75% dari target untuk


menghindari sindrom refeeding.

18
2.3.3 Penentuan cara pemberian18
Pemberian nutrisi melalui oral atau enteral merupakan
pilihan utama. Jalur parenteral hanya digunakan pada situasi
tertentu saja. Kontra indikasi pemberian makan melalui saluran
cerna ialah obstruksi saluran cerna, perdarahan saluran cerna serta
tidak berfungsinya saluran cerna. Pemberian nutrisi enteral untuk
jangka pendek dapat dilakukan melalui pipa nasogastrik atau
nasoduodenal atau nasojejunal. Untuk jangka panjang, nutrisi
enteral dapat dilakukan melalui gastrostomi atau jejunostomi.
Untuk nutrisi parenteral jangka pendek (kurang dari 14 hari) dapat
digunakan akses perifer, sedangkan untuk jangka panjang harus
menggunakan akses sentral.

2.3.4 Penentuan jenis makanan18


Pada pemberian makan melalui oral bentuk makanan
disesuaikan dengan usia dan kemampuan oromotor pasien,
misalnya 0-6 bulan ASI dan/formula, 6 bulan-1 tahun ASI dan/atau
formula di-tambah makanan pendamping, 1-2 tahun makanan
keluarga ditambah ASI dan/atau susu sapi segar, dan di atas 2
tahun makanan keluarga. Jenis sediaan makanan untuk enteral
disesuaikan dengan fungsi gastrointestinal dan dapat dibagi dalam
beberapa jenis, yaitu:
• Polimerik, yang terbuat dari makronutrien intak yang ditujukan
untuk fungsi gastrointestinal yang normal, terbagi menjadi
formula standar dan formula makanan padat kalori.
• Oligomerik (elemental), biasanya terbuat dari glukosa polimer,
protein terhidrolisat, trigliserida rantai sedang (MCT, medium
chain triglyceride).
• Modular, terbuat dari makronutrien tunggal
Pada pemberian parenteral, pemberian jenis preparat sesuai
dengan usia, perhitungan kebutuhan dan jalur akses vena. Untuk
neonatus dan bayi beberapa asam amino seperti sistein, taurin,
tirosin, histidin merupakan asam amino yang secara

19
khusus/kondisional menjadi esensial, sehingga dibutuhkan sediaan
protein yang bisa berbeda antara bayi dan anak.

2.3.5 Pemantauan dan evaluasi18


Pemantauan dan evaluasi meliputi pemantauan terhadap
akseptabilitas atau penerimaan makanan, dan toleransi (reaksi
simpang makanan). Reaksi simpang yang dapat terjadi pada
pemberian enteral antara lain adalah mual/muntah, konstipasi dan
diare. Pada pemberian parenteral dapat terjadi reaksi infeksi,
metabolik dan mekanis. Selain itu, diperlukan pemantauan
efektivitas berupa monitoring pertumbuhan. Pada pasien rawat inap
evaluasi dan monitoring dilakukan setiap hari, dengan
membedakan antara pemberian jalur oral/enteral dan parenteral.
Pada pasien rawat jalan evaluasi dilakukan sesuai kebutuhan.

2.4 Faktor Risiko Gizi Buruk


Gizi buruk pada balita merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
kompleks. Akar masalahnya terkait dengan ketahanan pangan dan gizi,
kemiskinan, pendidikan, keamanan, ketersediaan air bersih, higiene dan sanitasi
lingkungan, serta terkait dengan situasi darurat atau bencana (Bagan 1). Berbagai
kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap daya beli, akses pangan, kerentanan
terhadap penyakit, akses informasi dan akses terhadap pelayanan yang mendasari
terjadinya penyebab langsung dan tidak langsung masalah kekurangan gizi.11

20
Gambar 3. Kerangka hubungan antara faktor penyebab kekurangan gizi pada ibu dan anak11

United Nations Children's Fund (UNICEF) mengemukakan bahwa faktor-


faktor penyebab kurang gizi dapat di lihat dari penyebab langsung, tidak langsung,
pokok permasalahan dan akar masalah.

2.4.1 Faktor Tidak Langsung Gizi Buruk19


Faktor tidak langsung penyebab gizi buruk antara lain ialah :
a. Ketersedian Pangan
Pertanian berpengaruh terhadap gizi melalui produksi pangan
untuk keperluan rumah tangga dan distribusi hasil tanaman
perdagangan,

21
ternak dan jenis pangan lain yang dijual di pasar lokal atau tempat
lain. Jika pangan diproduksi dalam jumlah dan ragam yang cukup,
kemudahan bahan tadi cukup tersedia di tingkat desa atau masyarakat
dan kalau keluarga memiliki uang yang cukup untuk membeli
keperluan pangan yang tidak ditanam di tempatnya, tidak akan banyak
terjadi kurang gizi dan kurangnya pangan.
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Manggarai, Nusa
Tenggara timur menyimpulkan bahwa persediaan pangan yang kurang
menjadi penyebab tidak langsung yang berpengaruh terhadap asupan
makanan anak didalam keluarga. Kurangnya pangan yang cukup
untuk dimakam merupakan salah satu sebab utama rendahnya keadaan
penghidupan keluarga. Cara-cara bertani yang tidak baik
mengakibatkan rendahnya produksi tanaman, ternak dan produksi
pertanian lainnya. Produksi pertanian yang rendah menyebabkan
pendapatan petani berkurang. Kemiskinan dan kurangnya pangan
yang tersedia untuk konsumsi rumah tangga karena rendahnya
produksi tanaman biasanya menyebabkan timbulnya kurang gizi.19
b. Pola Asuh
Asuhan anak atau interaksi ibu dan anak terlihat erat sebagai
indikator kualitas dan kuantitas peranan ibu dalam mengasuh anak.
Pola asuh dapat dipakai sebagai peramal atau faktor risiko terjadinya
kurang gizi atau gangguan perkembangan pada anak. Peran ibu dalam
keluarga sangat besar dalam menanamkan kebiasaan makan pada anak
dan proses tumbuh kembang yaitu kebutuhan emosi atau kasih
sayang diwujudkan dengan kontak fisik dan psikis, misalnya dengan
menyusui segera setelah lahir.19

c. Sanitasi Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan


Kutipan Noviati Fuada (2011) dalam Soekirman dkk (2010)
mengatakan masalah gizi selain disebabkan oleh kurangnya asupan zat
gizi, juga dapat terjadi akibat buruknya sanitasi lingkungan dan
kebersihan diri. Sehingga memudahkan timbulnya penyakit infeksi.

22
Sanitasi lingkungan sehat secara tidak langsung mempengaruhi
kesehatan anak balita yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
kondisi status gizi anak balita.13
Noviati Fuada (2011) dalam penelitian yang mereka lakukan
tentang hubungan sanitasi lingkungan, morbiditas dan status gizi balita
di Indonesia, mereka menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara sanitasi lingkungan sehat dengan status gizi anak
balita berdasarkan indikator BB/U. Balita yang tumbuh di lingkungan
tidak sehat berpeluang satu kali lebih besar akan mengalami status gizi
buruk di bandingkan dengan balita yang normal atau status gizi baik.13
Fasilitas kesehatan sangat penting untuk menyokong status
kesehatan dan gizi anak. Fasilitas kesehatan harus mampu
menampung
dan menjangkau masyarakat di daerah-daerah tertinggal.19

2.4.2 Faktor Langsung Gizi Buruk


Faktor langsung penyebab gizi buruk adalah:
a. Asupan Makanan
Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan
yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi
syarat gizi seimbang yaitu beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan
aman, misalnya bayi tidak memperoleh ASI Eksklusif. Gizi buruk
banyak terjadi pada anak usia enam bulan hingga lima tahun pada
umur tersebut tubuh anak memerlukan zat gizi yang sangat tinggi,
sehingga apabila kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi maka tubuh akan
menggunakan cadangan zat gizi yang ada dalam tubuh, yang
akibatnya semakin lama cadangan semakin habis dan akan
menyebabkan terjadinya kekurangan yang akan menimbulkan
perubahan pada gejala klinis.
Berdasarkan penelitian Arnisam (2006) di Kecamatan Ulee
Kareng Kota Banda Aceh, anak dengan asupan energi yang kurang
mempunyai risiko 2,9 kali lebih besar untuk mengalami status gizi
kurang di banding dengan anak yang asupan energinya cukup,
sedangkan anak dengan asupan protein yang kurang mempunyai
23
risiko 3,1 kali lebih

24
besar untuk mengalami status gizi kurang di bandingkan dengan anak
yang asupan proteinnya cukup. Faktor utama yang harus diperhatikan
dalam pemberian makanan anak adalah umur, aktivitas, keadaan sakit
dan jenis kelamin.19

b. Penyakit Infeksi
Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang
berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare,
cacingan dan penyakit pernafasan akut (ISPA). Kaitan penyakit
infeksi dengan keadaan gizi merupakan hubungan timbal balik, yaitu
hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan
gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah terkena infeksi.
Penyakit yang umumnya terkait dengan masalah gizi antara lain diare,
tuberkulosis, pneumonia, dan anemia.20
Interaksi antara malnutrisi dan penyakit infeksi sudah lama
diketahui. Infeksi dapat mempengaruhi asupan makanan sehinggga
akan kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi
berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap penyakit
infeksi. Interaksi sinergistik antara malnutrisi da penyakit infeksi
antara lain:
 Dampak Penyakit Infeksi terhadap Status Gizi
Dampak penyakit infeksi terhadap pertumbuhan seperti
menurunnya berat badan telah lama diketahui. Keadaan
demikian disebabkan karena hilangnya nafsu makan penderita
penyakit infeksi sehingga masukan zat gizi dan energi kurang
dari kebutuhannya. Pada penderita penyakit infeksi memerlukan
kebutuhan energi dan zat gizi yang meningkat karena
katabolisme yang berlebihan dan suhu badan yang tinggi.
 Dampak Malnutri terhadap Penyakit Infeksi
Menurunnya status gizi berakibat menurunya imunitas penderita
terhadap berbagai infeksi. Tubuh memiliki tiga macam
pertahanan untuk menolak infeksi, yaitu:

25
a. Melalui sel (imunitas seluler)
b. Melalui cairan (imunitas humoral)
c. Aktivitas leukosit polimorfonukleus
Hasil penelitian Hidayat dan Noviati Fuada (2011) mereka
mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
kejadian penyakit diare dengan status gizi anak balita berdasarkan
indikator BB/U, TB/U dan BB/TB. Balita yang sering mengalami
diare berpeluang satu kali lebih besar akan mengalami status gizi
buruk, pendek dan kurus dibandingkan dengan balita yang normal
atau berstatus gizi baik.11

2.5 Faktor yang mempengaruhi keberhasilan tatalaksana pasien gizi


buruk7–9
2.5.1 Faktor Non Medis
Telah dilakukan penelitian terhadap pasien anak dengan gizi buruk yang
dirawat inap, didapatkan hasil beberapa faktor non medis yang
memengaruhi keberhasilan tatalaksana, antara lain:

a. Status sosial ekonomi orang tua19,21


Tidak dipungkiri, masalah utama penyebab gizi buruk adalah
kemiskinan, tingkat pendapatan yang rendah, pendidikan dan
pengetahuan orang tua yang tidak memadai. Beberapa ahli ekonomi
berpendapat bahwa masalah kemiskinan adalah akar dari masalah
kekurangan gizi. Kemiskinan menyebabkan akses terhadap pangan di
rumah tangga sulit dicapai sehingga orang akan kekurangan berbagai zat
gizi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi
rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi
makanan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan anak-anak dari
keluarga berada.
Hal ini terkait dengan kemampuan rumah tangga untuk menyediakan
pangan yang ditentukan oleh faktor ekonomi. Hal ini sesuai dengan

26
penelitian yang dilakukan oleh Suiraoka dkk (2011) pada keluarga
miskin dan tidak miskin di Kecamatan Denpasar utara, dari hasil analisis
mereka menunjukan ada perbedaan status gizi balita pada keluarga
miskin dan tidak miskin.21

b. Pengetahuan ibu mengenai praktik pemberian makan


Tingkat pendidikan terutama tingkat pendidikan ibu dapat
mempengaruhi derajat kesehatan karena pendidikan ibu berpengaruh
terhadap kualitas pengasuhan anak. Tingkat pendidikan yang tinggi
membuat seseorang mudah untuk menyerap informasi dan mengamalkan
dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan adalah usaha yang terencana dan
sadar untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi diri dan ketrampilan yang
diperlukan oleh diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
Inappropriate feeding practice adalah masalah makan yang
disebabkan oleh perilaku makan yang salah ataupun pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan usia. Penyebab inappropriate feeding practice
perlu ditelusuri lebih lanjut, primer ataukah sekunder. Inappropriate
feeding practice primer disebabkan karena kurangnya pengetahuan
orangtua mengenai empat aspek cara pemberian makan yang benar, yaitu
(1) tepat waktu, (2) kuantitas dan kualitas makanan, (3) penyiapan dan
penyajian yang higienis, serta (4) pemberian makan yang sesuai dengan
tahapan perkembangan anak dengan menerapkan feeding rules.
Penelitian terhadap 300 pasien gizi buruk dilakukan di India. Selama
15 bulan didapatkan hasil bahwa secara statistik ditemukan perbedaan
bermakna keberhasilan terapi gizi buruk pada pasien dengan ibu yang
memiliki pengetahuan mengenai praktik pemberian makan yang baik dan
benar dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki pengetahuan sama
skali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien gizi buruk dari ibu dengan
status pendidikan lebih rendah, lebih banyak yang tidak mengalami kenaikan
berat badan (34,3%) dibandingkan yang mengalami kenaikan berat badan
(21,9%).7

27
2.5.2 Faktor Medis
Telah dilakukan penelitian terhadap pasien anak dengan gizi buruk yang
dirawat inap, didapatkan hasil beberapa faktor medis yang memengaruhi
keberhasilan tatalaksana, antara lain:

a. Status Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yaitu resisten atau kebal. Imunisasi
terhadap suatu penyakit hanya dapat memberi kekebalan terhadap
penyakit tersebut sehingga bila balita kelak terpajan antigen yang sama,
balita tersebut tidak akan sakit dan untuk menghindari penyakit lain
diperlukan imunisasi yang lain. Infeksi pada balita penting untuk dicegah
dengan imunisasi. Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan
kekebalan terhadap suatu antigen yang dapat dibagi menjadi imunisasi
aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau
racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan untuk merangsang
tubuh memproduksi antibodi sendiri sedangkan imunisasi pasif adalah
penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam tubuh
meningkat.
Imunisasi juga dapat mencegah penderitaan yang disebabkan oleh
penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian, menghilangkan
kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit, memperbaiki
tingkat kesehatan,dan menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk
melanjutkan pembangunan negara.22
Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi adalah
bayi dan balita karena meraka yang paling peka terhadap penyakit dan
sistem kekebalan tubuh balita masih belum sebaik dengan orang dewasa.
Sistem kekebalan tersebut yang menyebabkan balita menjadi tidak
terjangkit sakit. Apabila balita tidak melakukan imunisasi, maka
kekebalan tubuh balita akan berkurang dan akan rentan terkena penyakit.
Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung dengan kejadian gizi.

28
b. Penyakit penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan
terhadap penyakit. Begitu juga pasien dengan penyakit tertentu dapat
menyebabkan gizi buruk. Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit tersebut
justru menambah rendahnya status gizi anak.
1. Pneumonia
Mikroorganisme penyebab pneumonia dapat berupa virus, bakteri dan
jamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia
disebabkan oleh bakteri, terutama Streptococcus pneumonia dan
Hemophilus influenza tipe B. Pemeriksaan mikroorganisme penyebab
pneumonia pada balita masih belum sempurna karena balita sulit
memproduksi sputum dan tindakan invasif seperti aspirasi paru atau
kultur darah sulit dilakukan. Faktor risiko yang selalu ada (definite risk
factor) pada pneumonia meliputi gizi kurang, berat badan lahir rendah,
tidak mendapatkan ASI, polusi udara dalam ruang, dan pemukiman
padat. Balita dengan gizi kurang dan gizi buruk memperbesar risiko
terjadinya pneumonia pada balita. Pada balita dengan gizi kurang/buruk,
sistem pertahanan tubuh menurun sehingga mudah terkena infeksi.23,24
2. Diare
Diare adalah suatu keadaan yang ditandai dengan bertambahnya
frekuensi defekasi lebih dari tiga kali sehari yang disertai dengan
perubahan konsistensi tinja menjadi lebih cair, dengan/tanpa darah dan
dengan/tanpa lendir. Penelitian memperlihatkan bahwa terdapat
hubungan timbal balik antara diare dan malnutrisi. Diare dapat
menimbulkan terjadinya malnutrisi dan sebaliknya, malnutrisi juga bisa
menjadi penyebab timbulnya diare. Infeksi mempengaruhi status gizi
melalui penurunan asupan makanan, penurunan absorpsi makanan di
usus, meningkatkan katabolisme, dan mengambil nutrisi yang diperlukan
tubuh untuk sintesis jaringan dan pertumbuhan. Di samping itu,
malnutrisi bisa menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi karena
menurunkan pertahanan tubuh dan mengganggu fungsi kekebalan tubuh
manusia.25

29
3. Sepsis26
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam kehidupan (life-threatening
organ dysfunction) yang disebabkan oleh disregulasi imun terhadap infeksi.
Sepsis ditandai dengan adanya infeksi, meliputi faktor predisposisi infeksi,
tanda atau bukti infeksi yang berlangsung, respon inflamasi dan tanda disfungsi
atau gagal organ. Faktor predisposisi infeksi, meliputi: Status nutrisi, status
imunisasi, komorbiditas, riwayat terapi.
Tanda Infeksi, meliputi pemeriksaan klinis dan laboratoris. Klinis ditandai
oleh demam atau hipotermia atau adanya focus infeksi. Laboratoris, dengan
penanda infeksi: pemeriksaan darah tepi (lekosit, trombosit, rasio
netrofil:limfosit, shift to the left), pemeriksaan morfologi darah tepi (granula
toksik, Dohle body, dan vakuola dalam sitoplasma), c-reactive protein (CRP),
dan prokalsitonin.
Respon inflamasi, meliputi:
Klinis:
a. Suhu inti > 38,50C atau < 360C
b. Takikardi, didefinisikan sebagai rerata denyut jantung > 2 SD di atas nilai
normal menurut usia tanpa adanya rangsang luar, obat-obatan kronis, atau
rangsang nyeri; atau peningkatan tak terinci yang bertahan selama lebih dari 0,5
sampai 4 jam ATAU untuk anak-anak < 1 tahun;
c. Bradikardia, didefinisikan sebagai rerata denyut jantung < persentil ke-10
menurut usia tanpa adanya rangsang vagal eksternal, obat-obatan penyekat beta,
atau penyakit jantung kongenital; atau penurunan denyut jantung tak terinci
yang bertahan selama lebih dari 0,5 jam.
d. Laju napas rata-rata > 2 SD di atas nilai normal menurut usia atau ventilasi
mekanik untuk proses akut yang tidak terkait dengan penyakit neuromuskuler
yang mendasar atau pemberian anestesi umum.
Laboratoris: Jumlah leukosit, CRP, transaminase serum, dan prokalsitonin.
Kriteria disfungsi organ meliputi disfungsi siem kardiovaskular,
respirasi, hematologis, system saraf pusat, dan hepatic. Disfungsi organ
ditegakkan berdasarkan skor PELOD-2. Diagnosis sepsis ditegakkan bila
skor pelod ≥ (atau ≥).
Sepsis merupakan infeksi serius yang menjadi masalah global
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penilaian derajat
klinis anak dengan sakit kritis dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain
30
dengan Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) Score. Skor
PELOD dapat digunakan untuk menilai secara akurat disfungsi organ dan
dapat digunakan sebagai indikator untuk tingkat keparahan penyakit
secara klinis.
Malnutrisi, terutama gizi buruk juga merupakan salah satu penyulit
yang cukup banyak ditemukan pada anak dengan sepsis. Komplikasi
malnutrisi pada anak dengan sepsis dapat mengenai seluruh sistem,
seperti menurunkan respon imun, atrofi, dan memudahkan terjadinya
translokasi bakteri saluran cerna akibat peningkatan permiabilitas barrier
intestinal. Pada akhirnya, anak mengalami masa penyembuhan luka yang
lebih lama, infeksi lain atau reinfeksi, dan angka kematian yang
meningkat.
4. Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), yaitu kuman aerob yang
dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh hidup lainnya
yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Bakteri ini tidak
tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terjadipada malam
hari. Tuberkulosis ini dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di
paru maupun di luar paru. Faktor risiko penularan TB pada anak sama
halnya dengan TB pada umumnya, tergantung dari tingkat penularan,
lama pajanan, dan daya tahan tubuh. Sehingga penyakit TB akan lebih
memperburuk keadaan pasien gizi buruk.27
5. HIV (Human Immunodeficiensy Virus)
HIV merupakan retroviru yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan
tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages–
komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan
atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya
penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan
mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.Sistem kekebalan dianggap
menurun ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya
memerangi infeksi dan penyakit- penyakit.28

31
6. Penyakit jantung bawaan
Faktor risiko dari kegagalan pertumbuhan pada anak dengan kelainan
jantung bawaan antara lain status gizi, left-toright intracardiac shunt
(pada kelainan jantung bawaan asianotik), hipertensi pulmonal, dan
sianosis. Gangguan pertumbuhan karena malnutrisi merupakan masalah
pada anak dengan kelainan jantung bawaan, terlebih pada kelainan
jantung bawaan biru.Malnutrisi adalah masalah yang biasa terjadi pada
anak dengan kelainan jantung bawaan biru.
Malnutrisi sebenarnya adalah keadaan status gizi yang mencakup
gizi buruk, kurang maupun lebih. Malnutrisi pada anak dengan kelainan
jantung bawaan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, sebagai
indikasi dari sering dirawat di rumah sakit, hasil bedah yang buruk,
gangguan pertumbuhan somatik yang terus-menerus dan peningkatan
kematian. Peningkatan kecepatan metabolik sering ditemukan pada anak
dengan kelainan jantung bawaan, dan energi total pada anak dengan
kelainan jantung bawaan 40% lebih tinggi dibandingkan dengan anak
sehat.
Penelitian Wulandari dkk di menunjukkan perbedaan bermakna
antara status gizi pada pasien kelainan jantung bawaan antara yang biru
dan tidak biru. Pada pasien dengan kelainan jantung bawaan biru terdapat
63,6% pasien dengan status gizi malnutrisi. Sementara pasien kelainan
jantung bawaan tidak biru yang memiliki status gizi malnutrisi hanya
30,6%. Gizi kurang terjadi pada lebih dari 50% anak dengan kelainan
jantung bawaan biru dan merupakan salah satu penyulit terbanyak pada
kelompok kelainan jantung bawaan biru. Pasien dengan kelainan jantung
bawaan biru biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan yang lebih
parah daripada pasien dengan kelainan jantung bawaan tidak biru.29
7. Penyakit keganasan atau kanker
Nutrisi merupakan bagian yang penting pada pelaksanaan kanker,
baik pada pasien yang sedang menjalani terapi, pemulihan dari terapi,
pada keadaan remisi maupun untuk mencegah kekambuhan. Status
nutrisi pada

32
pasien kanker diketahui berhubungan dengan respon terapi, prognosis
dan kualitas hidup.
Malnutrisi dan kaheksia sering terjadi pada penderita kanker (24%
pada stadium dini dan > 80% pada stadium lanjut). Insiden malnutrisi
tersebut bervariasi tergantung pada asal kanker. Kaheksia berkaitan erat
pula dengan kondisi malnutrisi. Kaheksia didefinisikan sebagai
kehilangan otot, ataupun tanpa lipolysis, yang tidak dapat dipulihkan
dengan dukungan nutrisi konvensional.
Berbagai faktor malnutrisi kanker yang dikenal sebagai kaheksia
telah lama dilaporkan, namun belum dapat dipastikan dan diduga
penyebabnya multifaktorial yaitu menurunnya asupan nutrisi dan
perubahan metabolisme di dalam tubuh. Menurunnya asupan nutrisi
terjadi akibat menurunnya asupan makanan per oral (karena anoreksia,
mual muntah, perubahan persepsi rasa dan bau), efek lokal dari tumor
(odinofagi, disfagi, obstruksi gaster/intestinal, malabsorbsi, early satiety,
faktor psikologis (depresi, ansietas), dan efek samping terapi.30
8. Anemia
Anemia merupakan morbiditas pada pasien anak dengan gizi buruk.
Sesuai pedoman tentang gizi buruk pada anak, hampir 70% anak-anak
(6–
59 bulan) dengan gizi buruk mengalami anemia. Di antaranya, 26%
anemia ringan, 40% anemia sedang, dan 3% anemia berat. Pada
penelitian di India, persentase yang sangat tinggi (85%) dari anak-anak
malnutrisi ditemukan anemia. Mayoritas anak gizi buruk mengalami
anemia sedang (42%). Jenis anemia tersering pada kasus adalah
makrositik diikuti oleh mikrositik dan mikrositosis lebih banyak pada
kontrol.31

c. Toleransi dan akseptabilitas terhadap terapi


Pemantauan dan evaluasi meliputi pemantauan terhadap akseptabilitas
atau penerimaan makanan, dan toleransi (reaksi simpang makanan). Reaksi
simpang yang dapat terjadi pada pemberian enteral antara lain adalah
mual/muntah, konstipasi dan diare. Pada pemberian parenteral dapat terjadi
reaksi infeksi, metabolik dan mekanis. Selain itu, diperlukan pemantauan
33
efektivitas berupa monitoring pertumbuhan. Pada pasien rawat inap evaluasi
dan monitoring dilakukan setiap hari, dengan membedakan antara
pemberian jalur oral/enteral dan parenteral. Pada pasien rawat jalan evaluasi
dilakukan sesuai kebutuhan.18
Pada penelitian di Ethiopia, didapatkan hasil pasien anak gizi buruk
yang ditatalaksana saat rawat inap mengalami toleransi muntah sebanyak
(78,6%) dan diare sebanyak (53,1%). Penelitian melaporkan bahwa pasien
gizi buruk yang mengalami diare saat perawatan, memiliki hubungan
bermakna dengan tingkat keberhasilan terapi (p-value = 0.002), sedangkan
pasien gizi buruk dengan keluhan muntah tidak memiliki hubungan
bermakna dengan keberhasilan terapi (p-value = 0,33).32

2.6 Prognosis
Masa balita merupakan kesempatan emas tumbuh kembang anak,
khususnya dalam dua tahun pertama kehidupan. Dukungan semua pihak
diperlukan agar balita memperoleh makanan bergizi sesuai umur,
mendapatkan stimulasi tumbuh kembang dan terhindar dari penyakit yang
dapat dicegah. Pemenuhan hak anak untuk menjalani proses tumbuh
kembang secara optimal diperlukan guna mengembangkan potensi yang
dimiliki dan menjadi generasi berkualitas di masa depan.5
Masalah gizi buruk pada balita masih merupakan tantangan besar
yang mendesak untuk ditangani mengingat dampak buruk yang
ditimbulkannya. Prevalensinya yang masih tinggi, sedangkan penemuan
kasus, cakupan penanganan dan kualitas pelayanan yang rendah, merupakan
masalah yang perlu segera diatasi. Pengelolaan balita gizi buruk terintegrasi,
yang telah dilaksanakan di berbagai negara, terbukti dapat mengatasi
sebagian besar masalah tersebut. Pendekatan ini melibatkan keluarga dan
masyarakat yang berperan aktif dalam pencegahan dan penemuan kasus
secara dini, serta dalam proses layanan rawat
jalan dan rawat inap. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya dukungan
lintas sektor dan mitra terkait.5

34
2.7 Kerangka Teori

Sosioekonomi Toleransi &


Asupan nutrisi Mudah terinfeksi
Sosiodemografik Pendidikan kuman bakteri, virus TB, HIV, ISPA, Akseptabilitas
dan pengetahuan ibu Pola tidak adekuat Sistem Imun Tubuh PNEUMONIA,
asuh yang tidak memadai SEPSIS

Metabolism Sistem
Mukosa usus atrofi, sekresi Diare
ANAK GIZI e tubuh Gastrointestina
enzim pencernaan
terganggu l TATALAKSANA RAWAT
BURUK
INAP
Kadar insulin menurun, Hipoglikemia
Sistem Intoleransi glukosa,
Status Imunisasi Fasilitas Endokrin cortisol meningkat
Tatalaksana pasien gizi buruk sesuai
Pelayanan kesehatan
pedoman tahun 2013 dan atau 2019
Kesehatan lingkungan Sistem Metabolisme Hipotermia,
Sirkulasi menurun, Sistem
yang tidak memadai Kebutuhan Anemia
pembentukan panas
asupan nutrisi terganggu
meningkat
Fungsi Seluler Aktivitas pompa Na+
Imbalance elektrolit
K+ terganggu,

Hepar Gangguan sintesa protein, Edema


hipoalbumin, perlemakan Fase Stabilisasi Fase Transisi Hari Fase Rehabilitasi
Hari (1-2) (3-7) (Minggu 2-6)
hati

Penyakit Infeksi:
Pneumonia
Diare
Sepsis
HIV
TB
Penyakit Non Infeksi RERATA KENAIKAN BERAT
PJB BADAN
Keganasan Baik ( > 10gr/kgbb/hari) Sedang (
5-10gr/kgbb/hari) Kurang, ( <
5g/kgbb/hari )

34
2.8 Kerangka Konsep
Pasien Gizi Buruk
Usia 1 bulan - 5 tahun yang dirawat inap

Tanpa Faktor Risiko Dengan Faktor Risiko

Gejala penyerta: Penyakit Infeksi


Anoreksia Diare
Demam Pneumonia
Batuk Sepsis
Anemia Tuberkulosis
Muntah HIV
Diare
Sesak napas Penyakit Non Infeksi
Penyakit jantung bawaan
Penyakit keganasan

Tatalaksana pasien gizi buruk sesuai pedoman tahun 2013


dan atau 2019

Toleransi
Akseptabilitas

Keterangan: Luaran Tatalaksana

Variabel yang diteliti

Variabel yang
tidak diteliti

35
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross
sectional untuk mengidentifikasi dan menganalisis hubungan faktor medis dan
non medis dengan kejadian stunting

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di instalasi rawat inap dan poli Kesehataan Anak, RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang dengan waktu penelitian Oktober 2022 sampai
Maret 2021.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1. Populasi penelitian
1. Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien bayi dan anak yang
berusia 3-59 bulan di KSM Kesehatan Anak RSUP Moh. Hoesin
Palembang.
2. Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua anak yang berusia kurang
dari 5 tahun di KSM Kesehatan Anak RSUP Moh. Hoesin Palembang.

3.3.2 Pemilihan sampel


Sampel adalah semua anak yang berusia kurang dari 5 tahun di KSM Kesehatan
Anak RSUP Moh. Hoesin Palembang yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi
dari bulan Oktober 2022 – Maret 2023.

3.3.3 Estimasi Besar Sampel


Perkiraan besar sampel untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi
kejadian stunting pada anak usia 3-59 bulan dirawat inap dan poli RSUP Moh.
Hoesin Palembang ditetapkan berdasarkan perhitungan sebagai berikut:

36
( )
2
Z α √ 2 PQ+ Z β √(P 1 Q 1)+(P2 Q2 )
n1 ¿ n2 =
0,2

Keterangan :
n = jumlah
subyek Ditetapkan
α = 0,05

Zα = deviasi baku normal untuk = 0,05 (2 arah) maka adalah 1,96


Zβ = deviasi baku normal. Bila power 80% , maka = 0,84
P1 = Proporsi kelompok lain tanpa faktor risiko = 0,581
Q1 = 1 – P1
P2 = Proporsi untuk kelompok yang faktor risikonya diketahui (38,1 % menurut
kepustakaan) = 0,381
Q2 = 1 – P2
(P1 –P2) = besar efek = 0,2
n 1=n2=¿ ¿

Besar sampel telah dihitung berdasarkan faktor risiko tertentu (Lampiran 5),
didapatkan jumlah sampel rata-rata adalah sebanyak 96,6 orang. Besar sampel
kemudian dikoreksi untuk rasio kedua kelompok (1:1), didapatkan besar sampel
koreksi sebesar 194. Sehingga jumlah sampel minimal yang diperlukan pada
penelitian ini adalah sebanyak 194 orang.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien yang berusia 1 bulan sampai dengan 59 bulan dirawat inap dan
poli di KSM Kesehatan Anak RSUP Moh. Hoesin Palembang.
2. Orang tua anak bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani
informed consent.

37
3.4.2 Kriteria Eksklusi
Pasien yang memiliki deformitas atau keterbatasan fisik secara normal
misalnya amputasi, fraktur dan massa tumor.

3.4.3 Kriteria Drop out


Pasien anak gizi buruk yang pulang rawat atau meninggal kurang dari 3
hari perawatan.

3.5 Variabel Penelitian


1. Variabel bebas pada penelitian ini adalah penyakit primer pasien, gejala
penyerta, toleransi dan akseptabilitas pasien terhadap tatalaksana pasien
gizi buruk.
2. Variabel terikat pada penelitian ini adalah luaran tatalaksana pasien gizi
buruk usia 1 bulan sampai dengan 5 tahun yang dinilai dari kenaikkan
berat badan pasien selama dirawat inap.

3.6 Batasan Operasional

Tabel 3.1. Batasan Operasional

Skala
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Kategori
Ukur
1. Luaran Kenaikan berat badan yang Penimbangan Timbangan 1. Moderate- Kategorik
tatalaksana dihitung selama pasien gizi buruk berat badan berat badan Baik (bila
pasien gizi dalam masa perawatan. setiap pagi digital merk kenaikan
BB >
buruk Lama perawatan minimal 3 hari, hari. SECA.
5gr/kgbb/
dengan lama pengamatan 14 Pasien hari)
hari.5 ditimbang
tanpa 2. Kurang,
Kenaikan berat badan dihitung menggunakan (bila
sejak awal pasien gizi buruk pakaian. kenaikan BB
masuk rumah sakit hingga ≤ 5gr/kgbb/
pasien keluar dari rumah sakit.. hari)
Contoh cara menghitung:5
Berat badan saat ini = 6300 gram
Berat badan 3 hari yang lalu =
6000 gram

38
Langkah 1.
Hitung kenaikan berat badan
(dalam gram) = (6300-6000) g =
300 g
Langkah 2.
Hitung kenaikan berat badan per
harinya = (300 g + 3 hari) = 100
g/hari
Langkah 3.
Bagilah hasil pada langkah 2
dengan berat rata-rata dalam
kilogram (100g/hari + 6.15kg =
16.3 g/kg/hari)
2. Luaran Kenaikan berat badan yang Penimbangan Timbangan 1. Moderate- Kategorik
tatalaksana dihitung pada setiap fase berat badan berat badan Baik (bila
per fase tatalaksana pasien gizi buruk setiap pagi digital merk kenaikan
BB >
selama pasien dirawat inap. hari. SECA.
5gr/kgbb/
Terdapat tiga fase dalam Pasien hari)
tatalaksana pasien gizi buruk ditimbang
yang dirawat inap, yaitu: tanpa 2. Kurang,
Fase stabilisasi (hari ke 1-2) menggunakan (bila
Fase transisi (hari ke 3-7) pakaian. kenaikan BB
Fase rehabilitasi (minggu ke 2-6) ≤ 5gr/kgbb/
hari)
3. Faktor-faktor Faktor-faktor yang Data rekam Kuesioner 1. Tidak Nominal
yang memengaruhi kenaikan berat medis, ada
memengaruhi badan pasien gizi buruk usia anamnesis, 2. Ada
luaran 1 bulan – 5 tahun selama pemeriksaan
tatalaksana tatalaksana rawat inap. fisik
pasien gizi
buruk
a. Diagnosis Semua diagnosis penyakit
Penyakit primer yang diderita pasien gizi
Primer buruk selama dirawat inap, baik
berdasarkan data rekam medis
pasien atau dibuat oleh DPJP
utama pasien.

Diagnosis penyakit primer dapat


berupa:
*Penyakit infeksi
- Pneumonia
- Diare
- Sepsis
- TB
- HIV
*Penyakit non infeksi
- Penyakit jantung
bawaan
- Penyakit keganasan
hematoonkologi

39
b. Gejala Gejala penyerta yang telah Anamnesis, Kuesioner, 1. Tidak ada Nominal
penyerta dialami oleh pasien sebelum Pemeriksaan Pemeriksaan 2. Ada
pasien mendapatkan tatalaksana fisik, data fisik
pasien gzi buruk. rekam medis
Gejala penyerta dapat berupa:
- Anoreksia
- Demam
- Batuk
- Anemia
- Muntah
- Diare
- Sesak napas

4. Pneumonia Pasien yang telah terdiagnosis Data rekam Kuesioner, 1. Tidak Nominal
pneumonia sesuai dengan PPK medis Pemeriksaan ada
respirologi. fisik 2. Ada

5. Diare Pasien yang telah terdiagnosa Data rekam Kuesioner, 1. Tidak Nominal
diare sesuai dengan PPK medis Pemeriksaan ada
Gastroenterohepatologi. fisik 2. Ada
Baik diare akut, diare persisten,
ataupun diare kronis.

Diare akut, adalah defekasi


dengan feses cair atau lembek
dengan/tanpa lendir atau darah,
dengan frekuensi 3 kali atau
lebih sehari, berlangsung
kurang dari
14 hari, kurang dari 4
episode/bulan. Perubahan
konsistensi feses menjadi lebih
lembek/cairdan frekuensi
defekasi lebih sering menurut
ibu.

Diare kronik adalah diare


berlangsung 14 hari atau lebih,
dapat berupa diare cair atau
disentri. Diare akut dengan
episode serangan 4 kali atau
lebih dalam sebulan. Diare
kronik dibagi menjadi 2, antara
lain: diare persisten dengan
sebab infeksi, diare kronik
dengan sebab non-infeksi.

40
6. Sepsis Pasien gizi buruk yang telah Data rekam Kuesioner, 1. Tidak Nominal
terdiagnosis sepsis sesuai medis Pemeriksaan ada
dengan konsensus diagnosis dan fisik 2. Ada
tatalaksana sepsis.26
Diagnosis pasien berdasarkan
data rekam medis atau
ditentukan oleh DPJP pasien.

7. Tuberkulosis Pasien yang telah terdiagnosis Data rekam Kuesioner 1. Tidak Nominal
(TB) TB sesuai dengan PPK medis Rontgen ada
respirologi dan petunjuk teknis thoraks, 2. Ada
TB tahun 2016.27 pemeriksaan
TCM,
mantoux
test.
8. Human Pasien yang telah terdiagnosis Data rekam Kuesioner 1. Tidak Nominal
Immunodefi- HIV, sesuai dengan PPK allergi medis Pemeriksaan ada
ciency Virus immunologi. laboratorium 2. Ada
(HIV)
9. Penyakit Pasien yang terlah terdiagnosis Data rekam Kuesioner 1. Tidak Nominal
jantung kelainan jantung bawaan sesuai medis Echocardio- ada
bawaan dengan PPK kardiologi. grafi 2. Ada

10. Penyakit Pasien yang telah terdiagnosis Data rekam Kuesioner 1. Tidak Nominal
keganasan penyakit keganasan medis ada
(hematoonkologi) yang belum 2. Ada
maupun sudah pernah mendapat
terapi spesifik seperti
kemoterapi
dan radioterapi.
11. Anemia Anemia adalah kadar Data rekam Pemerikssaa 1. Tidak Nominal
haemoglobin (Hb) kurang dari medis, n ada
batas sesuai dengan usia Pemeriksasan laboratorium 2. Ada
menurut Patient Blood Hb
Management
Guidelindes:Module 6
Neonatal
and Paediatrics (2016)
Usia Nilai Hb (g/dL)
2 bulan 9
2-6 bulan 9,5
6-24 bulan 10,5
2-11 tahun 11,5

12. Toleransi Reaksi simpang yang dapat Wawancara Kuesioner 1. Tidak Nominal
terjadi setelah dimulai terhadap Ada
pemberian asuhan nutrisi orang tua, 2. Ada
pediatrik sesuai tatalaksana Food recall
pasien gizi buruk.
Toleransi dapat berupa:
- muntah,
- diare
- reaksi allergi.
41
Toleransi dikatakan tidak baik
apabila terjadi minimal 1 gejala
baik itu muntah, diare atau timbul
reaksi alergi setelah pemberian
terapi asuhan nutrisi pediatrik. 18
13. Akseptabilita Kemampuan pasien dalam Wawancara Kuesioner 1. Baik, (bila Nominal
s menghabiskan makanan dengan terhadap ≥ 80%)
proporsi total asupan makanan orang tua, 2. Tidak
per hari dibandingkan total Food recall baik, (bila
asupan makanan keseluruhan < 80%)
yang direncanakan.
Dikatakan akseptabilitas baik
apabila rerata total asupan
makanan perhari yang
dihabiskan ≥ 80% dari total
asupan yang direncanakan.15

3.7 Cara Kerja Penelitian


a. Orang tua diberikan penjelasan bahwa sedang dilakukan penelitian
mengenai rerata luaran tatalaksana pasien gizi buruk dan faktor-faktor
yang memengaruhinya.
b. Dijelaskan bahwa anak akan diambil data identitas, dan hasil
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan penunjang lainnya untuk data
penelitian, namun hal ini tidak akan menimbulkan adanya penambahan
atau pengurangan intervensi yang akan memengaruhi terapi. Semua
data akan dirahasiakan.
c. Orang tua yang bersedia anaknya berpartisipasi, menandatangani
persetujuan tindakan medik (informed consent).
d. Perlakuan terhadap subjek penelitian:
 Semua pasien akan ditimbang berat badan dan tinggi badan pada
saat masuk rawat inap, kemudian dihitung status gizi sesuai dengan
kurva pertumbuhan WHO.
 Semua pasien dengan gizi buruk akan diberikan terapi asuhan
nutrisi pediatrik sesuai dengan pedoman tatalaksana gizi buruk
pada anak. (Kemenkes 2013 dan 2019)
 Semua pasien yang telah dilakukan terapi tatalaksana gizi buruk,
akan dipantau dan dievaluasi mengenai toleransi dan akseptabilitas
pasien terhadap terapi.

42
 Pasien akan diobservasi dengan penimbangan berat badan setiap
pagi hari sebelum makan. Pasien ditimbang dalam kondisi tanpa
pakaian. Kenaikan berat badan pasien akan dinilai setiap hari dan
dievaluasi untuk setiap fase tatalaksana pasien selama pasien
dirawat inap.
e. Dilakukan pencatatan terhadap hasil yang diamati, berat badan dan
tinggi badan pasien, status gizi pasien, diagnosis primer pasien, gejala
penyerta, terapi asuhan nutrisi pediatrik yang diberikan, obat-obatan,
toleransi dan akseptabilitas pasien terhadap tatalaksana selama pasien
dirawat inap.
f. Dilakukan penghitungan terhadap rerata kenaikan berat badan pasien
dan dikelompokkan menjadi kategori kurang dan moderate-baik.

43
3.8 Alur Kerja

Semua pasien gizi buruk usia


1 bulan - 5 tahun yang dirawat inap di Kriteria Inklusi:
bagian anak RSUP dr. Mohammad - Pasien gizi buruk, usia 1
Hoesin Palembang dengan lama bulan - 5 tahun yang
perawatan minimal 3 hari. rawat inap
- Orang tua pasien bersedia
ikut dalam penelitian.

Informed consent Kriteria Eksklusi:


- Pasien gizi buruk yang
tidak ditatalaksana sesuai
dengan panduan
tatalaksana anak gizi
Pengumpulan data yang diperlukan ( Identifikasi, buruk Kemenkes 2013
data demografi, diagnosis primer, gejala penyerta dan atau 2019.
- Pasien gizi buruk dengan
pasien, pemeriksaan penunjang pasien )
organomegali masif.

Pasien telah ditatalaksana sesuai dengan panduan tatalaksana anak gizi


buruk kemenkes tahun 2013 dan atau 2019

Penimbangan berat badan setiap pagi hari

Toleransi & Akseptabilitas

Observasi keberhasilan luaran tatalaksana yang


dinilai dengan kenaikan berat badan selama
perawatan

Analisis Data

Pelaporan Hasil

44
3.9 Analisis Data
1. Data dicatat pada formulir penelitian, kemudian dimasukkan ke dalam
komputer dan dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS versi 22.
2. Semua variabel penelitian dianalisis secara univariat dan disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi.
3. Luaran tatalaksana pasien gizi buruk yang dinilai dengan kenaikan berat
badan pasien selama perawatan terhadap faktor risiko yang
memengaruhinya dianalisis secara bivariat menggunakan chi square atau
fisher exact bila syarat chi square tidak terpenuhi.
4. Untuk nilai p < 0,25 dilakukan analisis secara multivariat menggunakan
binary logistic regression untuk mengetahui faktor risiko mana yang
secara signifikan berpengaruh terhadap luaran tatalaksana pasien gizi
buruk dengan nilai 𝖺 5%, CI 95%, dan p-value < 0,05.

3.10 Justifikasi Etik


Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan FK UNSRI/RSMH Palembang dengan nomor surat No.
05/kepkrsmh/2021. Sertifikat persetujuan etik ini dapat dilihat pada lampiran.

3.11 Jadwal Penelitian


WAKTU
KEGIATAN (Januari 2021 – Mei 2021)
Jan Feb Mar Apr Mei
Persiapan
Pelaksanaan Penelitian
Analisis Data
Pelaporan

3.12 Rencana Pendanaan


Pada penelitian ini semua biaya akan ditanggung sepenuhnya oleh peneliti.
Berikut rincian dana yang dibutuhkan:
1. Keperluan alat tulis : Rp. 2.000.000,-
2. Tenaga pembantu pelaksanaan : Rp. 4.000.000,-
3. Pelaporan : Rp. 2.000.000,-
4. Biaya lain-lain (10% dari total) : Rp. 450.000,-
Total perkiraan biaya penelitian : Rp. 8.450.000,-

45
46
DAFTAR PUSTAKA

1. Adal TG, Kote M. Incidence and Predictors of Mortality among Severe Acute
Malnourished Under Five Children Admitted to Dilla University Referal Hospital: A
Retrospective Longitudinal Study. J Biol. Published online 2016:14.
2. Nabukeera-Barungi N. Predictors of mortality among hospitalized children with
severe acute malnutrition: a prospective study from Uganda. Pediatr Res.:7.
3. Kurniawan R. Y, Hardhana B. ST. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2019.
4. WHO. Guideline: Updates on the Management of Severe Acute Malnutrition in
Infants and Children. Geneva: World Health Organization; 2013.
5. Kemenkes Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan Dan Tatalaksana
Gizi Buruk Pada Balita. Jakarta. 2019;10-1.
6. Tickell KD, Denno DM. Inpatient management of children with severe acute
malnutrition: a review of WHO guidelines. Published online 2013:10.
7. Mehta S. SJ. Predicators for Weight Gain in Children Treated for Severe Acute
Malnutrition: A Prospective Study at Nutritional Rehabilitation Center. Hindawi
Publ Corp. Published online 2014:1-5. doi:http://dx.doi.org/10.1155/2014/808756
8. MB DMM, Billoro BB. Treatment Outcome of Severe Acute Malnutrition and Its
Determinants among Pediatric Patients in West Ethiopia. Int J Pediatircs. 2018:1-7.
doi:https://doi.org/10.1155/2018/8686501
9. Wiramihardja S. KV, Adhutya AP. GDA. Factors Influencing Outcomes of Children
Hospitalized with Acute Severe Malnutrition. Althea Med J. 2018;5:87-92.
doi:http://dx.doi.org/10.15850/amj.v5n2.1246
10. Wagnew F, Dejenu G, Eshetie S, Alebel A, Worku W, Abajobir AA. Treatment cure
rate and its predictors among children with severe acute malnutrition in northwest
Ethiopia: A retrospective record review. :8.
11. Black RE, Lindsay HA, Zulfiqar AB, Laura EC, Mercedes O, Majid E, et al.
Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health
consequences. The Lancet. 2008; 371; 243-60.
12. Derseh B. Co-morbidity, treatment outcomes and factors affecting the recovery rate
of under -five children with severe acute malnutrition admitted in selected hospitals
from Ethiopia: retrospective follow up study. Published online 2018:8.
13. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi Dan Aplikasinya. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

47
14. WHO. Guideline: Updates on the Management of Severe Acute Malnutrition in
Infants and Children. Geneva: World Health Organization; 2013.
15. Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku
Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
:298.
16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan
Kesehatan Ibu Dan Anak Direktorat Bina Gizi. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Buku II. Jakarta. 2013;3-5.
17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan
Kesehatan Ibu Dan Anak Direktorat Bina Gizi. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Buku I. Jakarta. 2011;3.
18. Sjarif DS., Nasar S., Devaera Y., Tanjung C. Dalam: Rekomendasi Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Asuhan Nutrisi Pediatrik (Pediatric Nutrition Care), penyunting.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2011;4-10.
19. Adriani, M Dan Wirjatmadi, B. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Kencana.Jakarta:
48-57.
20. Hansen J.D.L., Pettifor J.M. Protein Energy Malnutrition (PEM). Dalam: McLaren
D.S., Penyunting. Textbook of Paediatric Nutrition. Edisi Ketiga. New York.
Churchill Livingstone; 1991.h.358-88.
21. Suiraoka P., Sukraniti P.D., Gumala YMN. 2011. Perbedaan status gizi, pola
pemberian makan, dan pola asuh balita pada keluarga miskin dan tidak miskin di
Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Jurnal Ilmu gizi 2 (2), 83-92.
22. Novitasari D. Faktor-faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita yang dirawat di
RSUP dr. Kariadi Semarang. Karya Tulis Ilmiah. Semarang. 2012.
23. Rudan I, Katherine L, O’Brien, Harish Nair, Campbell H. Epidemiology and
etiology of childhood pneumonia in 2010: estimates of incidence, severe morbidity,
mortality, underlying risk factors and causative pathogens for 192 countries.
Scotland: Global Healthjournal. 2013; 3(1):54.
24. Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto BB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Ke-1.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.
25. Brown KH. Diarrhea and malnutrition. J. Nutr. 2003; 133:328S-32S.
26. Chairulfatah A. HS, dkk. Konsensus Diagnosis Dan Tata Laksana Sepsis Pada Anak.
Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
27. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen Dan
Tatalaksana TB Anak. Jakarta. 2016. h.3.

48
28. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia. Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika; 2007.
29. Wulandari AP. Onteseno T. Umiastuti P. Hubungan Status Gizi Anak Usia 2-5
Tahun dengan Kelainan Jantung Bawaan Biru di RSUD Dr Soetomo Surabaya. Sari
Pediatri. 2018;20(2):65-9.
30. Boediwarsono. Terapi Nutrisi Pada Penderita Kanker. Dalam: Naskah Lengkap
Surabaya Hematology Oncology Update IV. Medical Care of the Cancer Patient,
editor: Boediwarsono, Soegianto, Ami Ashariati, Made Putra Sedana, Ugroseno;
2012. hlm 134-141.
31. Dwivedi D, Singh V, Singh J, Sharma S. Study of Anaemia in Children with Severe
Acute Malnutrition. J Nepal Paediatr Soc 2017;37(3):250-253.
32. Gebremichael D.Y. Predictors of nutritional recovery time and survival status among
children with severe acute malnutrition who have been managed in therapeutic
feeding centers, Southern Ethiopia: retrospective cohort study. BMC Public Health.
Published online 2015:15:1267.
33. Choudhury K., Hanifi M., Rasheed S., Bhuiya A. Gender inequality and severe
malnutrition among children in a remote rural area of Bangladesh. J Health Popul
Nutr. 2000. Dec;18(3): 123-130.
34. Kumar D.,Kumar R.,Kumar A., Singh T.B. Risk factors of mortality in hospitalized
children with severe acute malnutrition. The Indian Journal of Pediatrics (November
2019). 86(11):1069.
35. Fikrie A. Treatment outcomes and factors affecting time-to-recovery from severe
acute malnutrition in 6–59 months old children admitted to a stabilization center in
Southern Ethiopia: A retrospective cohort study. Published online 2019:9.
36. B. Mengistie. et al. Prevalence of diarrhea and associated risk factors among children
under-five years of age in Eastern Ethiopia: A cross-sectional study. Open Journal of
Preventive Medicine 3. 2013. Vol.3 No.7. p.446-453.

49
Lampiran 1. Informasi Penelitian

Bapak/Ibu yang Terhormat,

Gizi buruk pada balita merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kompleks.
Saat ini kejadian gizi buruk meningkat, bahkan mengakibatkan kematian. Gizi
buruk dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti kurangnya asupan gizi dari
makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau
makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan
ekonomi yaitu kemiskinan. Kemudian, penyakit infeksi, hal ini disebabkan oleh
rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat
makanan secara baik. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau
oleh masyarakat. Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pola asuh
anak. Pengelolaan yang buruk serta perawatan kesehatan yang tidak memadai.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman


masyarakat tentang kekurangan gizi, penyebab dan akibatnya, agar mereka
termotivasi untuk berperan serta dalam upaya penanggulangannya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui rerata kenaikan berat badan pada pasien gizi buruk
dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Partisipasi bapak/ibu bersifat sukarela. Seandainya bapak/ibu memutuskan untuk


tidak berpartisipasi dalam penelitian ini, hal tersebut tidak akan mempengaruhi
proses penanganan penyakit anak bapal/ibu. Jika bapak/ibu memutuskan untuk
berpartisipasi, bapak/ibu akan diminta untuk menandatangani lembar persetujuan
tindakan medis untuk menyatakan bahwa bapak ibu telah mengetahui dan
dijelaskan dengan baik tentang segala hal dalam penelitian ini, bahwa, bapak/ibu
memberikan persetujuan untuk berpartisipasi. Bapak/ibu masih dapat memutuskan
untuk berhenti dari penelitian ini kapan saja, tanpa perlu khawatir akan
mempengaruhi penanganan yang diterima dari dokter. Jika bapak/ibu setuju anak
bapak/ibu berpartisipasi dalam penelitian ini, maka dokter akan mengisi satu
formulir pernyataan tentang bapak/ibu dan penyakit yang diderita anak bapak/ibu.

50
Penelitian ini akan dilakukan selama masa perawatan, anak bapak/ibu akan
ditimbang berat badan dan tinggi badan pada saat masuk rawat inap, kemudian
dihitung status gizi sesuai dengan kurva pertumbuhan WHO, akan diberikan
terapi asuhan nutrisi pediatrik sesuai dengan tatalaksana gizi buruk pada anak
kemenkes tahun 2013 dan atau 2019. Lalu akan dipantau dan dievaluasi mengenai
toleransi dan akseptabilitas pasien terhadap terapi. Anak bapak/ibu akan
diobservasi dengan penimbangan berat badan setiap pagi hari sebelum makan,
ditimbang dalam kondisi tanpa pakaian. Dilakukan pencatatan terhadap hasil yang
diamati, berat badan pasien, toleransi dan akseptabilitas pasien, serta komplikasi
medis yang ada. Dilakukan penghitungan terhadap rerata kenaikan berat badan
pasien dan dikelompokkan menjadi kategori kurang, sedang atau baik.

Identitas bapak/ibu dalam penelitian ini akan dirahasiakan sepenuhnya. Yang


dapat mengetahui identitas bapak/ibu hanyalah tim peneliti dan petugas yang
berwenang. Keikutsertaan ini tidak dipungut biaya. Jika terdapat hal-hal yang
kurang jelas, bapak/ibu dipersilahkan untuk menghubungi peneliti secara
langsung atau melalui terlpon.

Atas perhatian dan kerjasamanya, saya ucapkan terima kasih.

dr. Masayu Mutiara Puspasari


KSM Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI-RSMH
Telp. 082179421396 / Email: puspasari_mutiara@yahoo.com

51
Lampiran 2.
Formulir Persetujuan Mengikuti Penelitian

RSMH Palembang
Jl. Jendral Sudirman KM 3,5 Palembang
Phone : +62-711-354088 Fax +62-711-351318

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN


(FORMULIR INFORMED CONSENT)
Peneliti utama : dr. Masayu Mutiara Puspasari
Pemberi informasi :
Penerima informasi :
Nama subyek :
Tanggal lahir (Umur) :
Jenis kelamin :
Alamat :
No. Telp. (HP) :
JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDAI
(diisi dengan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat (√)
awam)
1 Judul penelitian Luaran tatalaksana pasien gizi buruk usia 1 bulan
sampai 5 tahun dan faktor-faktor yang
memengaruhinya
2 Tujuan penelitian Untuk mengetahui luaran tatalaksana pasien anak gizi
buruk selama rawat inap dan faktor-faktor yang
memengaruhinya.
3 Cara dan prosedur Bila Bapak/Ibu setuju untuk mengikutsertakan putra
penelitian atau putrinya dalam penelitian ini, maka terdapat
beberapa prosedur yang akan dilalui, yaitu :
Pencatatan identitas meliputi nama, nomor rekam
medis, tanggal lahir, umur, jenis kelamin, alamat,
diagnose penyakit.
Semua pasien akan ditimbang berat badan dan tinggi
badan pada saat masuk rawat inap, kemudian
dihitung status gizi sesuai dengan kurva
pertumbuhan.
Semua pasien dengan gizi buruk akan diberikan
terapi asuhan nutrisi pediatrik sesuai dengan
tatalaksana gizi buruk tahun 2013 dan atau tahun
2019.
Semua pasien yang telah dilakukan terapi asuhan
nutrisi pediatrik, akan dipantau dan dievaluasi
mengenai reaksi allergi, muntah, atau diare setelah
pemberian makanan dan total asupan makanan yang
bisa pasien habiskan setiap harinya sesuai dengan
tatalaksana yang diberikan serta penyakit penyerta
atau komplikasi medis yang dialami pasien.

52
Pasien akan diobservasi dengan penimbangan berat
badan setiap pagi hari sebelum makan. Pasien
ditimbang dalam kondisi tanpa pakaian. Rerata
kenaikan berat badan pasien akan dihitung untuk
setiap fase tatalaksana pasien.
Bapak/Ibu sebagai orangtua atau pendamping dapat
kapan pun memutuskan untuk memberhentikan
keikutsertaan anaknya dalam penelitian ini.
Keikutsertaan anak bapak/ibu bersifat sukarela dan
tidak ada paksaan. Kerahasiaan data putra/putri
bapak/ibu akan dijaga dan akan dilakukan tindak
lanjut apabila dari hasil pemeriksaan terdapat
kelainan.
4 Jumlah subyek 87 pasien
5 Waktu penelitian Januari 2021 – Juli 2021
6 Manfaat penelitian Penelitian ini memberikan informasi mengenai luaran
termasuk manfaat bagi tatalaksana pasien gizi buruk selama perawatan. Dan
subyek penelitian faktor-faktor yang memengaruhinya sehingga upaya
tatalaksana dan pencegahan pasien gizi buruk menjadi
lebih baik.
7 Risiko dan efek samping Tidak ada risiko dan efek samping dalam penelitian
dalam penelitian ini.
8 Ketidaknyamanan subyek Penelitian ini tidak menyebabkan ketidaknyamanan
penelitian subyek penelitian karena peneliti hanya melakukan
observasi terhadap subyek penelitian.
9 Kompensasi bila terjadi Tidak ada efek samping pada penelitian ini.
efek samping
10 Penjagaan kerahasiaan Identitas pasien sesungguhnya tidak akan ditampilkan
data Identitas dan data-data pasien akan ditulis dengan
kode tertentu.
11 Biaya yang ditanggung Tidak ada
oleh subyek
12 Insentif bagi subyek Tidak ada
13 Nama dan alamat peneliti dr. Masayu Mutiara Puspasari
serta nomor telepon yang Jl. Jendral Sudirman KM 3,5 Palembang
dapat dihubungi No HP. 082179421396

Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 dan 2 mengenai


penelitian yang akan dilakukan oleh dr. Masayu Mutiara Puspasari
dengan judul: Luaran tatalaksana pasien gizi buruk usia 1 bulan sampai
5 tahun dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Informasi tersebut telah saya pahami dengan baik. Dengan menandatangani


formulir, saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian ini dengan
sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila suatu waktu saya merasa
dirugikan dalam bentuk apapun, saya berhak membatalkan persetujuan ini.

53
Tanda tangan wali/orangtua subyek atau cap jempol Tanggal

Nama wali/orang tua subyek

Tanda tangan saksi Tanggal

Nama saksi

Ket. Tanda tangan saksi/ wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis,
penurunan kesadaran, mengalami gangguan jiwa dan berusia dibawah 18 tahun.

Saya telah menjelasakan kepada subyek/wali/orangtua secara benar dan jujur


mengenai maksud penelitian, manfaat penelitian, serta risiko dan
ketidaknyamanan potensial yang mungkin timbul (penjelasan terperinci sesuai
dengan hal-hal yang telah saya tandai di atas. Saya juga telah menjawab
pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian dengan sebaik-baiknya.

dr. Masayu Mutiara Puspasari

54
Lampiran 3

Formulir Penelitian
Nama No.MR/RI
Jenis Kelamin Laki-Laki / Perempuan Tanggal MRS
Tanggal lahir Tanggal KRS
Umur

Alamat

No. Telp
Antropometri Saat Masuk
Berat Badan (gram) BB/U
Tinggi Badan (cm) TB/U
LILA (cm) BB/TB
Kesan
Riwayat Kesehatan
Diare Ya Tidak
Muntah Ya Tidak
Batuk Ya Tidak
Sesak napas Ya Tidak
Pucat Ya Tidak
Demam Ya Tidak
Edema Ya Tidak

Keluhan lain

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Nadi (x/m)
Pernapasan (x/m)
Suhu (⁰ C)
Keadaan Spesifik
Kepala
Mata
Telinga
Mulut
Thoraks
COR
Pulmo
Abdomen
Extremitas

Catatan lain

Pemeriksaan Penunjang
Hb
Leuko, trombo,Diff.count,
LED, CRP
GDS
Lain-Lain

Diagnosis awal

Asuhan Nutrisi Pediatrik


Kebutuhan Kalori
Rute

55
Formula

Terapi Lainnya

56
Follow Up Pasien
Tanggal
Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

BB (gram)

TB (cm)

LILA (cm)

Rute (Oral/NGT)

Formula

Toleransi
Muntah (M) /
Tidak Muntah
(TM)
Diare (D) /
Tidak Diare (TD)
Allergi (A) /
Tidak Allergi
(TA)
Akseptabilitas
Habis (H) /
Tidak Habis (TH)
Total yang
dihabiskan

Suka (S) /
Tidak Suka (TS)

Diagnosis Akhir

Rerata Kenaikan Berat Badan


Fase Stabilisasi:
Fase Transisi:
Fase Rehabilitasi:

Rerata Kenaikan Berat Badan (Pada akhir pengamatan):

CONTOH PERHITUNGAN KENAIKAN BERAT BADAN SETELAH 3 Nama & TTD Pemeriksa,
HARI
Berat badan saat ini = 6300 gram
Berat badan 3 hari yang lalu = 6000 gram
Langkah 1. Hitung kenaikan berat badan (dalam gram) = (6300-6000) g = 300
g
Langkah 2. Hitung kenaikan berat badan per harinya = (300 g + 3 hari) = 100
g/hari
Langkah 3. Bagilah hasil pada langkah 2 dengan berat rata-rata dalam
kilogram (100g/hari + 6.15kg = 16.3 g/kg/hari)

57
Lampiran 4.
Estimasi Besar Sampel Faktor risiko

1. Anemia
Perhitungan yang digunakan untuk mencari besar sampel faktor risiko:
(𝑍𝛼 √2𝑃𝑄× 𝑍𝛽 √(𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2))2
n1 = n2 =
(𝑃1−𝑃2)2

Keterangan :
n = jumlah
subyek Ditetapkan
α = 0,05

Zα = deviasi baku normal untuk = 0,05 (2 arah) maka = 1,96


Zβ = deviasi baku normal. Bila power 80% , maka = 0,84
P1 = Proporsi Proporsi kelompok lain tanpa faktor risiko = 0,555
Q1 = 1 – P1
P2 = Proporsi untuk kelompok yang faktor risikonya diketahui = (25,5% menurut
kepustakaan9) = 0,255
Q2 = 1 – P2
(P1 –P2) = besar efek = 0,3
2
(1,96 √(2×0,588×0,412) + 0.84 √(0,738×0,262)+(0,438×0,562))
n1 = n2 = n = (0,3)2 = 43

Besar sampel yang dibutuhkan adalah 43 orang. Jika dikoreksi untuk rasio kedua
kelompok (1:1), maka dibutuhkan sampel sekitar 86 orang.

2. Pneumonia
Perhitungan yang digunakan untuk mencari besar sampel faktor risiko:

n1 = n2 (𝑍𝛼 √2𝑃𝑄× 𝑍𝛽 √(𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2))2


=
(𝑃1−𝑃2)2

Keterangan :
n = jumlah
subyek Ditetapkan
α = 0,05

Zα = deviasi baku normal untuk = 0,05 (2 arah) maka = 1,96


58
Zβ = deviasi baku normal. Bila power 80% , maka = 0,84
P1 = Proporsi kelompok lain tanpa faktor risiko = 0,877

59
Q1 = 1 – P1
P2 = Proporsi untuk kelompok yang faktor risikonya diketahui (67,7% menurut
kepustakaan) = 67,7%
Q2 = 1 – P2
(P1 –P2) = besar efek = 0,2
2
(1,96 √2×0,77×0,23 + 0.84 √(0,877×0,133)+(0,677×0,323))
n1 = n2 = n = (0,2)2 = 68

Besar sampel yang dibutuhkan adalah 68 orang. Jika dikoreksi untuk rasio kedua
kelompok (1:1), maka dibutuhkan sampel sekitar 136 orang.

3. Demam
Perhitungan yang digunakan untuk mencari besar sampel faktor risiko:
(𝑍𝛼 √2𝑃𝑄× 𝑍𝛽 √(𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2))2
n1 = n2 =
(𝑃1−𝑃2)2

Keterangan :
n = jumlah
subyek Ditetapkan
α = 0,05

Zα = deviasi baku normal untuk = 0,05 (2 arah) maka = 1,96


Zβ = deviasi baku normal. Bila power 80% , maka = 0,84
P1 = Proporsi kelompok lain tanpa faktor risiko = 0,728
Q1 = 1 – P1
P2 = Proporsi untuk kelompok yang faktor risikonya diketahui (52,8% menurut
kepustakaan) = 0,528
Q2 = 1 – P2
(P1 –P2) = besar efek = 0,3
2
(1,96 √(2×0,678×0,322) + 0.84 √(0,828×0,172)+(0,528×0,472))
n1 = n2 = n = (0,3)2 = 38,5
Besar sampel yang dibutuhkan adalah 38,5 orang. Jika dikoreksi untuk
rasio kedua kelompok (1:1), maka dibutuhkan sampel sekitar 77 orang.

4. HIV
Perhitungan besar sampel komparatif kategorik tidak berpasangan satu kali

60
pengukuran digunakan untuk mencari besar sampel faktor risiko:

61
(𝑍𝛼 √2𝑃𝑄× 𝑍𝛽 √(𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2))2
n1 = n2 = (0,3)2
(𝑃1−𝑃2)2

Keterangan :
n = jumlah
subyek Ditetapkan
α = 0,05

Zα = deviasi baku normal untuk = 0,05 (2 arah) maka = 1,96


Zβ = deviasi baku normal. Bila power 80% , maka = 0,84
P1 = Proporsi kelompok lain tanpa faktor risiko = 0,738
Q1 = 1 – P1
P2 = Proporsi untuk kelompok yang faktor risikonya diketahui (43,8% menurut
kepustakaan) = 0,438
Q2 = 1 – P2
(P1 –P2) = besar efek = 0,3

2
(1,96 √(2×0,588×0,412) + 0.84 √(0,738×0,262)+(0,438×0,562)) = 43,5
n1 = n2 = n =

Besar sampel yang dibutuhkan adalah 43,5 orang. Jika dikoreksi untuk rasio
kedua kelompok (1:1), maka dibutuhkan sampel sekitar 87 orang.

62

Anda mungkin juga menyukai