penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Sudoyo dkk, 2010). Gejalanya yang
bersifat umum, membuat penderita gagal ginjal kronik biasanya tidak menyadari gejala yang
Gagal ginjal kronik dipandang sebagai masalah kesehatan sosial serius yang menjadi
beban berat masyarakat di seluruh dunia. Peningkatan nilai prevalensi global penderita gagal
ginjal kronik selama bertahun-tahun menunjukkan peningkatan dalam jumlah pasien gagal ginjal
kronik serta peningkatan akses dalam menjalani perawatan. Pada tahun 2007, lebih dari 1,6 juta
pasien menjalani perawatan dialisis di seluruh dunia dan setengah juta pasien lain hidup dengan
transplantasi ginjal (Ahmed dkk, 2015). Kecenderungan kenaikan penderita gagal ginjal terlihat
dari meningkatnya jumlah pasien yang menjalani terapi hemodialisis, dimana frekuensi
hemodialisis perminggu di Bali tahun 2012 yaitu frekuensi sekali seminggu sebanyak 814,
frekuensi 2 kali seminggu sebanyak 580, frekuensi 3 kali seminggu sebanyak 66, frekuensi >3
kali seminggu sebanyak 11, sedangkan frekuensi yang tidak teratur sebanyak 317 (PERNEFRI,
2013).
Penderita gagal ginjal kronik dapat dengan mudah terkena infeksi saluran nafas, infeksi
saluran cerna, maupun infeksi saluran kemih. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara natrium dan kalium.
Pasien juga dapat memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual dan
muntah (Sudoyo dkk, 2010). Sebagian besar penderita GGK dengan kreatinin serum diatas 3,5
mg/dl atau klirens kreatinin kurang dari 30% mengalami anemia (Bakta, 2013).
Anemia adalah suatu keadaan dimana massa hemoglobin atau massa eritrosit yang
beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara
laboratorium dilihat dari penurunan kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (pakced
red cell) di bawah normal (Bakta, 2013). Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena
gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar tubuh
(pendarahan), dan karena proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya
Anemia pada penderita gagal ginjal kronik terjadi karena adanya penurunan
eritropoesis, hemolisis oleh karena efek toksin uremik terhadap membran eritrosit, defisiensi besi
karena perdarahan dan hemodialisa, serta defisiensi asam folat. Pengobatan anemia pada gagal
ginjal kronik dapat dilakukan dengan pemberian transfusi darah jika kadar hemoglobin < 7 g/dl
atau nilai hematokrit kurang < 20%. Pemberian Rekombinant human erythropoetin (rHuEpo)
juga dapat dilakukan untuk menurunkan kebutuhan transfusi. Serta perlu dilakukan monitor
kadar besi dan asam folat untuk mengetahui defisiensi kedua zat tersebut sehingga dapat
Untuk menentukan terapi anemia pada penderita GGK, maka perlu diketahui jenis
anemia yang dialami. Jenis anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, yang pertama
yaitu klasifikasi etiopatogenesis yang berdasarkan etiologi dan pathogenesis terjadinya anemia.
Kedua adalah klasifikasi morfologik yang diamati berdasarkan morfologi eritrosit pada hapusan
darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit. Perhitungan indeks eritrosit dilakukan dengan
menggunakan alat hematologi automatik, sehingga validitas klasifikasi morfologik ini menjadi
mengindikasikan ukuran sel darah merah (mikrositik, normositik dan makrositik). MCH
mengidikasikan berat hemoglobin di dalam sel darah merah tanpa memperhatikan ukurannya.
Sedangkan MCHC mengidikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume sel darah merah
(Kee, 2013). Hasil pemeriksaan indeks eritrosit akan dapat mengklasifikasikan anemia menjadi
anemia hipokrom mikrositer, anemia normokrom normositer dan anemia normokrom makrositer
(Bakta, 2013). Anemia normokrom normositer muncul secara teratur dan ikut berperan dalam
simtomatologi gagal ginjal kronik karena adanya penurunan produksi eritropoetin, namun tidak
Berdasarkan data yang diperoleh dari RIKESDAS provinsi Bali tahun 2013, kabupaten
Gianyar menempati urutan ketiga kasus GGK dengan nilai 0,2%. Nilai 0,2% berarti dari setiap
seribu orang yang ada di kabupaten Gianyar, terdapat 2 orang menderita gagal ginjal kronik.
Laporan yang diperoleh dari RSUD Sanjiwani Gianyar, penderita gagal ginjal kronik pada tahun
2014 sebanyak 173 orang, tahun 2015 sebanyak 93 orang dan pada tahun 2016 terdapat 224
penderita gagal ginjal kronik yang menjalani pengobatan dan terdapat lebih dari 8000 tindakan
kehilangan 3-5 gr zat besi per tahun, hal ini 10-20 kali lebih banyak dari orang pada umumnya.
Tindakan hemodialisa juga akan menyebabkan terjadinya defisiensi asam folat, karena vitamin
Penderita GGK yang mengalami defisiensi besi maka akan menunjukkan adanya
anemia hipokrom mikrositer dan jika mengalami defisiensi vitamin B12 atau asam folat dapat
menunjukkan anemia normokrom makrositer (Bakta, 2013). Hal ini juga terlihat dari penelitian
yang dilakukan oleh Maulidya dkk, (2016) dimana hasil pemeriksaan MCH dari 100 pasien
gagal ginjal kronik menunjukkan 30% anemia hipokrom dan pada penelitian Suyatno et al,
(2016), dari 39 penderita gagal ginjal kronik menunjukkan hasil pemeriksaan MCV 12,8%
anemia mikrositer, dan 15,4% anemia makrositer. Mengetahui jenis anemia penting dilakukan
karena dapat membantu menentukan terapi yang tepat dan terbaik untuk mengobati anemia pada
pasien gagal ginjal kronik, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita
Dari latar belakang tersebut diatas, peneliti tertarik meneliti gambaran indeks eritrosit