RAHMAT WIDIANTO
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Bahan Baku
Gula Merah Kelapa dan Tebu yang Digunakan untuk Kecap Kedelai Manis adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Rahmat Widianto
NIM F24140016
vi
vii
ABSTRAK
RAHMAT WIDIANTO. Profil Bahan Baku Gula Merah Kelapa dan Tebu yang
Digunakan untuk Kecap Kedelai Manis. Dibimbing oleh NURHENI SRI
PALUPI.
Gula merah merupakan salah bahan baku penting dalam pembuatan kecap
kedelai manis dalam kontribusinya menciptakan rasa manis. Tujuan penelitian ini
adalah melihat pengaruh asal daerah atau pengrajin gula merah kelapa dan tebu
terhadap karakteristik fisikokimia gula merah yang dihasilkan pada proses
pembuatan kecap kedelai manis. Gula merah yang dianalisa terdiri dari 2 jenis,
yaitu gula merah kelapa (A, B1, B2, dan B3) gula merah tebu (C1 dan C2) yang
masing-masing berasal dari asal daerah yang berbeda (Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur). Karakteristik fisikokimia yang diuji, yaitu kadar air, pH, kadar
kotoran kasar dan halus, residu sulfit, derajat Brix, total gula, serta gula pereduksi.
Analisa komponen gula metode HPLC menunjukkan bahwa sukrosa, glukosa, dan
fruktosa merupakan komponen utama penyusun gula merah. Berdasarkan analisis
Principal Component Analysis (PCA) dan Pearson Corelation, gula merah tebu
(C1 dan C2) yang berasal dari Jawa Tengah memiliki warna yang paling pekat
serta total gula dan kadar gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
gula merah kelapa. Sementara gula merah kelapa A yang berasal dari Jawa Timur
memiliki kadar air, pH dan kadar kotoran halus yang lebih tinggi dibandingkan
dengan gula merah lainnya. Gula merah kelapa yang berasal dari Jawa Barat (B1
dan B2) dan Jawa Tengah (B3) memiliki kadar residu sulfit yang tinggi serta
tekstur yang lebih keras dibandingkan gula merah lainnya. Sementara kotoran
kasar, derajat Brix, dan rasa bukan merupakan karakteristik yang dominan
terdapat pada keenam gula merah.
Kata kunci: gula merah kelapa, gula merah tebu, HPLC, PCA, profil gula
viii
ix
ABSTRACT
RAHMAT WIDIANTO. Profile of Coconut and Sugarcane Brown Sugar Raw
Material for Making Sweet Soy Sauce. Supervised by NURHENI SRI PALUPI.
Brown sugar is one of the important raw material in the process of making
sweet soy sauce due to its contribution for creating sweet flavor. The objective of
this research is to see the influence of origin or craftsmen of coconut brown sugar
and sugarcane brown sugar on its physicochemical characteristics in making of
sweet soy sauce. There are 2 types of brown sugar that was analyzed, namely
coconut brown sugar (A, B1, B2, and B3) and sugarcane brown sugar (C1 and
C2), which each comes from different regions (West Java, Central Java, and East
Java). Physicochemical characteristics that was analyzed, there are moisture
content, pH, rough dirt content, soft dirt content, sulfit residue, Brix degree, total
sugar, and reducing sugar. Sugar component analysis with HPLC method shows
that sucrose, glucose, and fructose are main components of brown sugar. Based on
Principal Component Analysis (PCA) and Pearson Corelation analysis, sugarcane
brown sugar (C1 and C2) which come from Central Java has the darkest color,
also total sugar and reducing sugar content higher than coconut brown sugar.
Meanwhile, coconut brown sugar A which come from East Java has moisture
content, pH, and soft dirt content higher compared to other brown sugar. Coconut
brown sugar which come from West Java (B1 and B2) and Central Java (B3), has
high sulfite residues and harder texture compared to other brown sugar.
Meanwhile, rough dirt content, Brix degree, and taste are not dominant
characteristics in all brown sugar.
Keywords: coconut brown sugar, HPLC, sugar profile, sugarcane brown sugar,
PCA
x
xi
RAHMAT WIDIANTO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
Pada
Departemenen Ilmu dan Teknologi Pangan
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilakukan sejak bulan Maret 2018 hinggs Juli 2018 ini ialah gula
merah, dengan judul Profil Bahan Baku Gula Merah Kelapa dan Tebu yang
Digunakan untuk Pembuatan Kecap Kedelai Manis. Skripsi ini ditulis berdasarkan
penelitian yang dilakukan di laboratorium kimia Divisi Quality Control salah
industri pangan di Kabupaten Bekasi.
Selama pelaksanaan dan penulisan ini, penulis mendapat banyak bantuan
baik moril maupun materiil. Ucapan terima kasih penulisa sampaikan kepada
semua pihak yag telah membantu penyelesaian karya tulis ini, yaitu:
1. Dr. Ir Nurheni Sri Palupi, M.Si, selaku dosen pembimbing tugas akhir
yang selalu memberikan nasehat dan arahan yang bermanfaat.
2. Dr. Ir Hanifah Nuryani Lioe, M.Si dan Ibu Nur Wulandari, STP, M.Si
sebagai dosen penguji yang memberikan masukan untuk skripsi saya.
3. Keluarga tercinta: Bapak Agus Rudjianto, Ibu Wiwik Dartini, Kakak-
kakak tercinta (Mega Ayu Fitriani, Bayu Fitriaji, dan Pandu Sastra
Negara) yang selalu memberikan semangat dan motivasi.
4. Ibu Dian Nugrahenny, selaku pembimbing lapang selama pelaksanaan
magang yang telah mengizinkan kegiatan magang saya dan memberikan
arahan selama magang di industri pangan.
5. Tim QC Lab. Kimia (Mba Endah, Mba Nilam, Mba Dewi, Ibu Sarmini,
Mas Suhendra, Mas Bayu, dan Rizki) yang selalu dengan sabar
membimbing saya dalam penelitian ini dan memberikan nasehat yang
bermanfaat untuk kehidupan pasca kampus.
6. Tim QC Field (Pak Yani dan Pak Sakim) yang telah mengambilkan
sampel gula merah untuk bahan penelitian saya.
7. Viano Pierre Diaz Viera, selaku teman magang yang telah memberikan
saya info magang dan menjadi tempat bertukar pikiran dalam penyelesaian
penelitian ini.
8. Teman-teman ITP angkatan 51 yang sama-sama berjuang menyelesaikan
tugas akhir, terkhusus Hafsah dan Yusuf sebagai teman satu bimbingan.
9. Sahabat-sahabat tercinta (Ariyanto, Mukhlis, Praditya, Maulana, Dwiky,
Arini, Fitri, Teguh, Bagus, Nita, Virssano) yang terus memberikan
semangat dan menjadi hiburan saya ketika penat peneletian.
10. Sahabat seperjuangan (Iqbal, Fajar, Farras, dan Fadly) yang mengingatkan
saya untuk selalu dekat dengan Allah SWT.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan
kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.
Terima kasih.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
1. Syarat mutu kecap kedelai manis (SNI 3543: 2013 bagian 1) 3
2. Syarat mutu gula palma (SNI 01-3743-1995) 5
3. Syarat mutu gula merah tebu (SNI 01-6237-2000) 6
4. Asal daerah dan kode sampel gula merah kelapa dan tebu 9
5. Deskripsi karakteristik fisik gula merah kelapa dan tebu 9
6. Kondisi proses HPLC 14
7. Sifat fisik gula merah kelapa dan tebu secara deskriptif 17
8. Sifat fisik gula merah kelapa dan tebu secara kuantitatif 17
9. Profil komponen gula merah kelapa dan tebu 23
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
aroma dan bentuknya, yang sangat berbeda dengan gula putih yang terbuat dari
bahan tebu.
Rumusan Masalah
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh asal daerah atau pengrajin
gula merah kelapa dan tebu terhadap karakteristik fisikokimia gula merah yang
dihasilkan pada proses pembutan kecap kedelai manis
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Kecap Kedelai
Kecap kedelai dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu kecap Jepang dan kecap
Cina. Kecap jepang menggunakan kedelai dan terigu dalam porsi yang sama,
selanjutnya kecap Jepang dibedakan lagi menjadi shoyu koikuchi, shoyu usukuchi,
dan shoyu saishikomi dimana perbedaannya terletak pada proses produksi dan
karakteristik khasnya (dalam hal warna, aroma, dan viskositas). Sedangkan kecap
kedelai Cina biasanya dibuat dengan sedikit sekali bahkan tanpa kandungan terigu
sebagai bahan bakunya (Lioe 2014). Berdasarkan BSN (2013), kecap kedelai
manis didefinisikan sebagai produk berbentuk cair yang dibuat dari cairan hasil
fermentasi kedelai atau bungkil kedelai ditambah gula dengan atau tanpa
penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan.
Syarat mutu kecap kedelai manis berdasarkan BSN (2013) dapat dilihat pada
Tabel 1.
dalam skala industri kecil dengan menggunakan peralatan yang sederhana (Meutia
2015).
.Proses fermentasi kecap terdiri dari 2 tahap, yaitu fermentasi padat
(fermentasi koji/tempe) dan fermentasi cair (fermentasi moromi). Kapang yang
digunakan dalam fermentasi padat, adalah Aspergillus sp. dan Rhizopus sp. Hasil
fermentasi padat disebut koji. Selanjutnya, koji dikeringkan, kemudian direndam
dalam air garam 20-30%. Proses perendaman koji dalam air garam disebut
fermentasi moromi. Mikroba yang berperan dalam fermentasi moromi, adalah
mikroba tahan garam seperti Hansenula sp., Zygosaccharomeces sp., dan
Lactobacillus sp. Fermentasi moromi memerlukan waktu selama 14-28 hari.
Cairan hasil fermentasi moromi disebut moromiSelanjutnya moromi ditambah
dengan rempah-rempah dan dikentalkan sehingga diperoleh kecap (Meutia 2015).
Proses pembuatan kecap kedelai manis dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 1 Syarat mutu kecap kedelai manis (SNI 3543: 2013 bagian 1)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - Normal, khas
1.2 Rasa - Normal, khas
2 Kadar protein (Nx6, 25) % (b/b) min. 1,0
3 Kadar gula (dihitung sebagai sakarosa) % (b/b) min. 30
4 pH - 3,5 – 6,0
5 Cemaran logam
5.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 1,0
5.2 Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,2
5.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0
5.4 Merkuri (Hg) mg/kg maks. 0,05
6 Cemaran Arsen (As) mg/kg maks. 0,5
7 Cemaran mikroba
7.1 Bakteri coliform APM/g <3
7.2 Kapang koloni/g maks. 50
8 Aflatoksin*
8.1 B1 µg/kg maks. 15
8.2 Total aflatoksin µg/kg maks. 20
Keterangan: *hanya untuk cairan hasil fermentasi kedelai
Gula Merah
Gula merah dapat berasal dari nira tanaman kelapa, tebu, aren, nipah, atau
siwalan. Nira merupakan cairan yang rasanya manis keluar dari pembuluh tapis
sebagai hasil dari penyadapan tongkol (tandan) bunga, baik bunga jantan maupun
betina dari jenis tanaman tertentu (Heryani 2016). Gula kelapa atau gula merah
adalah gula yang terbuat dari bahan baku utama nira kelapa yang telah diolah.
Sentra pembuatan produk gula merah/ gula kelapa adalah terletak di Blitar,
Lumajang, sebagian Ponorogo dan Kediri (Heri 2007).Produksi gula merah telah
lama dikenal di berbagai daerah, antara lain di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat. Gula merah yang berasal dari
Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur umumnya diproses dengan
4
menggunakan bahan baku tetes tebu atau siwalan, sedangkan dari Jawa Barat
biasanya menggunakan bahan baku nira kelapa atau aren (Sukardi 2010).
Nira segar memiliki komposisi kimia yang beragam dengan kandungan air
75 - 90%. (Suwardjono 2001). Kandungan sukrosa yang dominan diantara
kandungan bahan kimia non-air lainnya menjadikan nira sebagai sumber gula
yang sangat potensial. Komposisi nira kelapa terdiri dari sukrosa sekitar 13 –
17%, protein 0.02 – 0.03%, dan yang lainnya adalah bahan organik seperti
karbohidrat, asam amino, zat warna, lemak serta garam mineral. Getah kelapa
mengandung sejumlah kecil garam-garam mineral dan vitamin, antara lain asam
askorbat sebesar 16 – 30 mg/10 mL getah kelapa (Muchtadi 2010). Syarat mutu
gula palma atau kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.
Menurut SNI 01-6237-2000 (Tabel 3), gula merah tebu adalah gula yang
dihasilkan dari pengolahan sari tebu (Saccharum officinarum) melalui pemasakan
dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diperbolehkan dan
berwarna kecokelatan., nira tebu memiliki kadar air sebanyak 70–75 %, kadar
sukrosa sebanyak 11-16 %, gula pereduksi 0.4-2 %, dan mineral 0.5-1 % (Loto et
al. 2012). Mutu gula merah tebu terutama berasal dari rasa dan juga
penampilannya yang meliputi bentuk, warna, kekerasan dan kekeringannya. Gula
merah yang berwarna lebih cerah dan agak keras lebih disukai serta memiliki
harga jual yang lebih tinggi (Narulita 2008). Syarat mutu gula merah tebu dapat
dilihat pada Tabel 3.
yang khas, sedikit asam, dan berbau karamel. Rasa karamel pada gula merah
diduga disebabkan adanya reaksi karamelisasi akibat panas selama pemasakan
(Utami 2008).
cetakan kemudian dikemas. Bahan kemasan yang digunakan antara lain daun
pisang kering dan plastik. Pengemasan gula dengan plastik dapat
mempertahankan mutu dengan baik karena kadar air, gula reduksi, dan warna gula
relatif konstan dalam penyimpanan 12 minggu (Mashud dan Matana 2014).
METODE
Bahan
Bahan yang digunakan yaitu gula kelapa, gula tebu, standar glukosa
(Merck, Jerman), standar fruktosa (Merck, Jerman), standar sukrosa (Merck,
Jerman), etanol, asetonitril (Merck, Jerman), akuades, aquabidest, H2SO4 28%
(Merck, Jerman), KI 30% (Merck, Jerman), HCl 25% (Merck, Jerman), Na2S2O3
0.1 N (Merck, Jerman), H2O2 3% (Merck, Jerman), NaOH 0.01M (Merck,
Jerman), HCl 4M (Merck, Jerman), larutan buffer, indikator kanji 1%, indikator
metil merah 1%, larutan Fehling A (CuSO4) (Merck, Jerman), larutan Fehling B
(tartarat alkali) (Merck, Jerman).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian kali ini yaitu neraca analitik, hot
plate, sentrifuge (Kubota, Jepang), vortex, desikator, oven, alat-alat gelas, pisau,
kertas saring Whatman No. 2 (Whatman Inc, Inggris), saringan ukuran 120 mesh,
pH meter (Metrohm 913 Series, Swiss), refraktometer Abbe (Atago, Jepang),
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) tipe isokratik dengan
detektor Refractive Index (Agilent Tech. 1200 Series, USA), Rheodyne Loop
Injector 20 µL, dan kolom HPLC untuk karbohidrat (ZORBAX Carbohydrate
Analysis Columns) (Agilent, USA).
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap persiapan sampel
dan tahap karakterisasi sifat fisik dan kimia gula merah. Alur penelitian yang
dilakukan dapat dilihat pada diagram alir prosedur penelitian (Gambar 2).
Penelitian dimulai dengan tahap persiapan sampel gula merah. Selanjutnya,
sampel gula merah dikarakterisasi sifat kimia (kadar kotoran kasar, kadar kotoran
halus, kadar air, pH, residu sulfit, total gula, dan gula pereduksi) dan komponen
penyusunnya. Karakterisasi sifat fisik (bentuk, warna, dan rasa) dapat dilakukan
tanpa perlu melakukan preparasi sampel.
Metode Analisis
Sampel gula merah kelapa dan tebu diperoleh dari berbagai daerah di
Pulau Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat). Pengambilan sampel
8
pertama dilakukan pada bagian penerimaan bahan baku di gudang. Divisi Quality
Control Field akan mengambil sampel gula merah kelapa dan tebu pada truk di 4
bagian (atas, bawah, tengah, dan samping) sebanyak 5 – 10 kg. Selanjutnya
sampel akan dibawa ke laboratorium QC untuk dianalisis. Preparasi sampel gula
merah dilakukan dengan mengiris gula hingga halus menggunakan pisau. Pada
setiap bongkahan gula merah kelapa dan tebu, pengirisan dilakukan setengah
bagian gula merah hingga setiap sampel terwakilkan. Asal daerah dan kode
sampel dapat dilihat pada Tabel 4.
Pengambilan sampel
Gula Merah
Kelapa dan Tebu
(5-10 kg)
Preparasi sampel
Sampel Gula
Merah
Tabel 4 Asal daerah dan kode sampel gula merah kelapa dan tebu
Jenis Gula Kode Asal Daerah
Gula Kelapa GK A Jawa Timur
GK B1 Jawa Barat
GK B2 Jawa Barat
GK B3 Jawa Tengah
Gula Tebu GT C1 Jawa Tengah
GT C2 Jawa Tengah
Sampel gula merah yang telah diiris ditimbang sebanyak 200 gram pada
gelas piala 1 liter. Akuades ditambahkan secukupnya, kemudian sampel
dipanaskan pada penangas sambil terus diaduk hingga seluruh gula merah larut.
Setelah seluruh gula merah larut, larutan gula merah disaring menggunakan
saringan ukuran 120 mesh. Benda-benda asing yang tertinggal pada saringan
tersebut dinyatakan sebagai kotoran kasar. Perhitungan kotoran kasar dapat
dilakukan sebagai berikut:
( )
( )
Sampel disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Cairan yang
tersisa dibuang dan kemudian hasil endapan ditimbang. Endapan tersebut
dinyatakan sebagai kotoran halus. Perhitungan kotoran halus dapat diakukan
sebagai berikut:
( )
( )
( )
( )
( )
Keterangan:
A = Inlet adaptor dengan
konektor selang
B = Corong pemisah
C = Labu bulat
D = Tabung gas inlet
E = Kondensor Allihn
F = Bubbler
G = Wadah penampung
Prisip metode ini adalah sampel gula merah dihidrolisis menggunakan HCl
25% menjadi gula pereduksi. Kemudian hasil hidrolisis tersebut direaksikan
dengan larutan Fehling A yang mengandung ion kupri (Cu2SO4) dan larutan
Fehling B yang mengandung campuran alkali (NaOH dan KNaC4H4O6)
membentuk endapan merah bata. Selanjutnya, endapan merah bata tersebut akan
dititrasi secara iodometri untuk mengetahui kandungan total gula yang
terhidrolsis.
Sampel gula merah kelapa dan tebu masing-masing ditimbang secara teliti
0.9 – 1.0 gram pada tabung dekstruksi. Akuades ditambahkan sebanyak 50 mL
untuk melarutkan sampel gula merah. Larutan HCl 25% sebanyak 2.5 mL dipipet
ke dalam tabung dekstruksi. Selanjutnya sampel dipanaskan dan didihkan selama
15 menit pada hotplate dengan suhu 250oC. Setelah 15 menit, sampel didinginkan
ke dalam bak berisi air dingin. Sampel dilarutkan menggunakan akuades pada
labu ukur 100 mL hingga tanda tera. Larutan Fehling A dan B masing-masing
dipipet 10 mL pada gelas piala 100 mL. Larutan sampel dipipet 10 mL ke dalam
campuran larutan Fehling. Campuran sampel dan larutan Fehling dididihkan pada
penangas dengan suhu 285oC selama 3 menit dan akan terbentuk endapan merah
bata. Setelah 3 menit, sampel didinginkan. Larutan H2SO4 28% dan KI 30%
masing-masing dipipet 10 ml ke dalam campuran sampel dan Fehling. Indikator
kanji ditambahkan sebanyak 3 tetes. Selanjutnya, sampel dititrasi dengan Na2S2O3
0.1 N hingga terbentuk warna putih susu. Penetapan blanko dilakukan sesuai
dengan prosedur sebelumnya tanpa menggunakan larutan sampel. Perhitungan
total gula dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
( )
( )
( )
( )
Sampel gula merah kelapa dan tebu masing-masing ditimbang secara teliti
0.9 – 1.0 gram pada labu ukur 100 mL. Sampel dilarutkan menggunakan akuades
hingga tanda tera. Larutan Fehling A dan B masing-masing dipipet 10 mL pada
gelas ukur 100 mL. Larutan sampel dipipet 10 mL ke dalam campuran larutan
Fehling. Campuran sampel dan larutan Fehling dididihkan pada penangas dengan
suhu 285 oC selama 3 menit dan akan terbentuk endapan merah bata. Setelah 3
menit, sampel didinginkan. Larutan H2SO4 28% dan KI 30% masing-masing
dipipet 10 ml ke dalam campuran sampel dan Fehling. Indikator kanji 1%
ditambahkan sebanyak 3 tetes. Selanjutnya, sampel dititrasi dengan Na2S2O3 0.1
N hingga terbentuk warna putih susu. Penetapan blanko dilakukan sesuai dengan
prosedur sebelumnya tanpa menggunakan larutan sampel. Perhitungan gula
pereduksi dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
( )
( )
( )
( )
( )
( )
Kadar Kotoran
Nira mentah hasil dari penggilingan tebu berwarna coklat agak kehitam-
hitaman karena masih mengandung zat-zat bukan gula seperti kotoran kasar
(tanah, ampas halus), dan bahan tersuspensi (getah lilin, bahan organik non-
sukrosa) (Suprihatin 2007). Berdasarkan Gambar 4, diperoleh informasi bahwa
gula kelapa B1 memiliki kotoran kasar paling tinggi yaitu 3.34±0.84%. Hasil
ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nayata pada kadar kotoran
kasar di taraf signifikansi 5%. Kotoran kasar pada gula merah merupakan benda
asing yang tertahan pada saringan berukuran 120 mesh. Benda asing tersebut
berupa daging buah kelapa, bunga kelapa, serat tanaman, kayu, kerikil, pasir, dan
kotoran lainnya. Proses pembuatan gula merah yang masih tradisional merupakan
salah satu faktor utama dari keberadaan kotoran kasar tersebut. Salah satu proses
yang dapat meminimalisir kotoran kasar yaitu penyaringan nira dengan kain
sebelum proses pemasakan dan mengusahakan segala peralatan yang digunakan
sudah bersih. Menurut Maharani (2014), total padatan tak terlarut
menggambarkan keseluruhan bahan-bahan organik dan anorganik yang
terkandung di dalam suatu cairan. Total Dissoluble Solid (TDS) tidak
mengindikasikan adanya polutan dalam suatu bahan, tetapi lebih digunakan untuk
mengindikasikan nilai estetika bahan tersebut serta sebagai indikator adanya
kontaminan kimia.
4 3.34c
Kadar Kotoran Kasar
3 2.70bc 2.69bc
2.12ab 2.20ab
2 1.65a
(%)
1
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula
Sementara itu, kotoran yang lolos pada saringan 120 mesh dan dapat
dipisahkan dengan sentrifugasi (3500 rpm) disebut sebagai kotoran halus. Kotoran
halus merupakan suspensi yang tidak terlarut di dalam gula. Berdasarkan Gambar
5, gula kelapa A memiliki kotoran halus paling tinggi yaitu 14.20±2.32%. Gula
merah B2 memiliki kotoran halus terendah yaitu, 6.02±2.13%. Pada umumnya
kotoran halus akan mengendap pada larutan gula merah dan memiliki warna yang
lebih muda. Kotoran kasar dan halus merupakan salah satu faktor penting
16
penentuan penolakan bahan baku gula merah di industri. Jika kotoran kasar
melebihi 5% dan kotoran halus melebihi 14%, maka gula merah tersebut akan
ditolak dan dikembalikan kepada supplier. Rata-rata kotoran kasar gula merah
tebu lebih besar dibandingkan gula merah kelapa, yaitu 2.70±0.01%. Sementara
gula merah kelapa memiliki rata-rata kotoran halus yang lebih besar dibandingkan
dengan gula merah tebu, yaitu 9.65±3.52%. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa
kadar kotoran halus terdapat perbedaan nyata pada taraf signifikansi 5%.
Berdasarkan SNI 01-3743-1995 tentang syarat mutu gula palma, total bagian tidak
larut air atau kotoran yaitu maksimal 1%. Jika dilihat, terdapat perbedaan yang
cukup signifikan antara standar yang ditetapkan SNI dengan hasil analisis. Hal ini
disebabkan karena kotoran kasar dan halus masih dalam basis basah, sehingga
masih terkandung air di dalamnya.
15 14.2c
Kadar Kotoran Halus
10.37b 9.94b
10 7.99ab 7.42ab
6.02a
(%)
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula
Sifat fisik gula merah yang mudah diamati yaitu, bentuk, tekstur, warna,
dan rasa. Pada umumnya proses akhir pembuatan gula merah tradisional yaitu
pencetakan gula merah yang menggunakan cetakan yang terbuat dari bambu atau
batok kelapa Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 7), gula kelapa umumnya
menggunakan cetakan dari bambu sehingga gula yang dihasilkan berbentuk
silinder. Pada pembuatan gula kelapa A pengrajin juga menggunkan cetakan dari
batok kelapa, yang menghasilkan gula berbentuk setengah lingkaran. Namun,
pada pembuatan gula tebu tidak melalui proses pencetakan gula menggunakan
bambu atau batok kelapa. Bentuk gula tebu yang dihasilkan yaitu berupa granula
atau bongkahan besar.
Warna yang dihasilkan pada pengolahan gula merah berasal dari reaksi
maillard dan karamelisasi. Reaksi karamelisasi pada gula merah dapat terjadi
apabila pemasakan nira telah mencapai suhu yang tinggi (≥120oC) yang umumnya
dicapai diakhir proses pemasakan (Safitri 2017). Reaksi Maillard merupakan
reaksi pencoklatan non-enzimatik yang terjadi melalui reaksi antara gugus
karbonil dari gula pereduksi dengan gugus amino primer dari asam amino,
peptida, dan protein (Manzocco et al. 2011). Warna yang dihasilkan gula kelapa
umumnya yaitu cokelat muda hingga cokelat tua. Sementara warna yang
dihasilkan gula tebu umunya lebih gelap, yaitu coklat tua hingga hitam. Hal ini
17
disebabkan karena kandungan gula pereduksi nira tebu lebih besar dibandingkan
nira kelapa. Nira tebu mengandung 0.54 - 1.59% gula pereduksi (Erwinda dan
Susanto 2014) dan nira kelapa mengandung 0.16 - 0.99% gula pereduksi
(Haryanti 2017).
Tabel 7 Sifat fisik gula merah kelapa dan tebu secara deskriptif
Jenis Gula Bentuk Tekstur Warna Rasa
Sedikit Manis, agak
Silinder,
GK A berpasir, Cokelat tua pahit, ada
setengah bulat
sedikit keras flavor besi
Cokelat muda- Manis, sedikit
GK B1 Silinder Keras
tua asin
Cokelat muda-
GK B2 Silinder Keras Sangat manis
tua
Cokelat muda-
GK B3 Silinder Keras Manis
tua
Cokelat tua- Sangat manis,
GT C1 Granula besar Lunak
hitam agak pahit
Cokelat tua- Sangat manis,
GT C2 Granula besar Lunak
hitam agak pahit
Tabel 8 Sifat fisik gula merah kelapa dan tebu secara kuantitatif
Skor
Jenis Gula
Tekstur Warna Rasa
GK A 3 4 3
GK B1 4 3.5 3.5
GK B2 4 3.5 5
GK B3 4 3.5 4
GT C1 2 4.5 4.5
GT C2 2 4.5 4.5
18
Karakteristik kimia gula merah yang dianalisis terdiri dari: kadar air, pH,
derajat Brix, gula pereduksi, total gula, dan residu sulfit. Interaksi dari tiap
parameter akan menentukan kualitas gula merah kelapa dan tebu dan menciptakan
ciri khas gula merah dari produk pemanis alami yang lain.
Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu faktor penting penentu kualitas gula.
Konsumen pada umunya menyukai gula merah dengan kadar air relatif rendah
karena akan mempermudah dalam proses pengolahannya. Air merupakan salah
satu komponen yang berpengaruh terhadap keempukan gula. Semakin tinggi
kadar air maka kekerasan gula merah akan semakin rendah, sebaliknya
keempukan gula akan semakin meningkat dengan meningkatnya kadar air dalam
gula merah (Sudarmadji et al. 1989). Proses pemasakan gula merah akan
mengurangi kadar air gula karena adanya proses evaporasi. Evaporasi merupakan
proses pemasakan dimana air diuapkan dari bahan pangan yang bersifat cair
dengan tujuan untuk mengentalkan, meningkatkan total padatan, mengurangi
aktivitas air, dan meningkatkan perubahan warna atau flavor (Estiasih dan
Ahmadi 2011).
12
9.57b 9.17b 8.83ab 8.50ab 8.68ab
10
Kadar Air (%)
7.83a
8
6
4
2
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula
kecap manis sudah sesuai dengan standar. Sementara itu, menurut SNI 01-6237-
2000 tentang syarat mutu gula merah tebu, gula tebu C1 dan C2 masuk ke dalam
kategori mutu II. Hal ini disebabkan karena rata-rata kadar airnya yaitu
8.59±0.13%. Kadar air tersebut melebihi batas maksimum mutu I yaitu 8%,
namun berada dibawah batas maksimum mutu II yaitu 10%. Pada penelitian
sebelumnya (Maharani et al. 2014), kadar air gula merah yang dihasilkan berkisar
antara 8.3% sampai 12%.
Derajat Brix
Brix adalah zat padat kering yang terlarut dalam suatu larutan yang
dihitung sebagai sukrosa. Brix juga dapat didefinisikan sebagai persentase massa
sukrosa yang terkandung di dalam massa larutan sukrosa. Sedangkan massa
larutan sukrosa adalah massa sukrosa yang ditambah dengan massa pelarutnya
(Hidayanto 2010). Derajat brix ditentukan dengan alat refraktometer yang
menggunakan prinsip pembiasan cahaya. Pada umumnya derajat brix merupakan
satuan yang digunakan untuk mengukur tingkat kemanisan buah (Ranny 2016).
Berdasarkan Gambar 7, gula C2 memiliki derajat Brix tertinggi yaitu, 92.30±1.68.
Hal ini menandakan gula merah C2 memiliki rasa manis yang lebih tinggi
dibanding gula lain. Namun, rasa manis yang terlalu tinggi justru akan
menghasilkan sensasi rasa pahit di akhir. Berdasarkan hasil ANOVA terdapat
perbedaan nyata dengan taraf signifikansi 5% pada derajat Brix berbagai jenis
gula merah. Gula merah B2, B3, C1, dan C2 tidak berbeda nyata derajat Brixnya,
namun berbeda nyata dengan gula merah A dan B1. Gula merah tebu
(91.91±0.56) umumnya memiliki derajat Brix yang lebih tinggi dibandingkan
dengan gula merah kelapa (89.59±2.07).
94 92.30c
92 91.23c 91.16c 91.51c
90 89.11b
oBrix
88 86.85a
86
84
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula
Total Gula
Gula merah yang baik merupakan gula yang banyak mengandung sukrosa
karena semakin tinggi kadar sukrosa yang terkandung, maka akan semakin mudah
gula untuk mengkristal atau bergranulasi. Menurut Radam (2014), semakin tinggi
kandungan sukrosa maka akan semakin keras gula merah yang dihasilkan.
Sukrosa sebagai komponen utama penyusun gula merah merupakan komponen
gula yang kurang stabil. Proses pemanasan pada produksi gula merah akan
menyebabkan inversi sukrosa menjadi molekul glukosa (dekstrosa) dan fruktosa
(levulosa) sebagai gula pereduksi. Total gula merupakan total kandungan gula non
pereduksi (sukrosa) dan gula pereduksi (glukosa dan sukrosa). Salah satu penentu
kualitas gula merah merupakan total gula yang terkandung di dalamnya.
78 77.81a 77.67a
77.38a
77.5
Total Gula (%)
76.94a
77
76.37a
76.5 76.19a
76
75.5
75
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula
Infeksi mikroba ke dalam nira terjadi selama panen tebu dimana terjadi kontak
antara batang tebu dengan pisau atau tanah. Kerusakan nira ditandai dengan rasa
nira menjadi masam, berbuih putih dan berlendir. Kerusakan ini terjadi karena
aktivitas mikroorganisme terhadap kandungan nira yaitu sukrosa (Erwinda dan
Susanto 2014).
8 7.28c
5.88ab 6.24b 6.11ab 5.59ab 5.43a
6
pH
4
2
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula
Salah satu faktor yang menentukan warna gula merah yang dihasilkan
adalah pH awal nira yang digunakan. Selama pemasakan nira, pH gula merah
akan semakin menurun. Seiring dengan penurunan pH, warna gula merah akan
semakin keruh (Safitri 2017). Menurut Naknean et al. (2013), kekeruhan pada
gula merah sangat berhubungan dengan kandungan protein dan polifenol. Reaksi
kompleks antara protein dan polifenol akan menghasilkan koloid berukuran besar.
Selain itu, interaksi antara gula atau ion logam dengan protein juga dapat
membentuk kekeruhan. Berdasarkan Gambar 9, pH gula tertinggi diperoleh dari
gula kelapa A yaitu 7.24±0.21. Hasil ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan
nyata pada derajat keasamaan di taraf signifikansi 5%.
Gula Pereduksi
25
Gula Perduksi (%)
19.84d
20 17.13c
15
10 8.39b 6.98b
6.69b
5 2.06a
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula
Residu Sulfit
10 9.30a
8.16a
Residu Sulfit (ppm)
8
6 5.35a
4.19a
4 2.84a
1.75a
2
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula
Menurut Rosanti (2016), kandungan residu sulfit yang terlalu besar akan
menyebabkan gangguan pencernaan dan membahayakan bagi kesehatan
masyarakat. Kadar sulfit yang rendah tidak berbahaya bagi tubuh, karena tubuh
manusia mampu memetabolisme sulfit menjadi sulfat yang dikeluarkan bersama
urine. Hal ini berarti penggunaan sulfit dengan konsentrasi 2500 ppm pada bahan
pangan kering masih cukup aman (Winarno 1992). Pada dasarnya gula merah
yang digunakan sebagai bahan baku kecap manis ini tidak ditambahkan natrium
23
metabisulfit secara langsung oleh pengrajin. Gula merah yang mengandung sulfit
umumnya diperjualbelikan ke pasar tradisional. Namun, para pengrajin tersebut
menggunakan wajan yang sama untuk membuat gula non-sulfit dan gula sulfit.
Proses pencucian wajan yang tidak sempurna menyebabkan masih terdapat residu
sulfit pada wajan dan akhirnya terbawa ke dalam gula non-sulfit.
kelapa A, yaitu 67.01%. Gula tebu C2 memiliki kadar sukrosa sebesar 71.22%.
Menurut SNI 01-3743-1995 tentang syarat mutu gula palma, kadar minimal
sukrosa pada gula palma atau kelapa yaitu 77%. Gula kelapa B2 kadar sukrosanya
sudah sesuai dengan SNI, namun tidak untuk gula kelapa A karena kadar
sukrosanya kurang dari 77%. Sementara itu, menurut SNI 01-6237-2000 tentang
syarat mutu gula merah tebu, kadar minimal sukrosa yaitu 65% (Mutu I) dan 60%
(Mutu II). Gula tebu C2 masuk ke dalam mutu I karena kadar sukrosa yang
terkandung lebih dari 65%.
Sukrosa merupakan komponen yang menentukan tingkat kekerasan gula
karena proses pengkristalan yang terjadi selama proses pemasakan. Menurut
Radam (2014), semakin tinggi kandungan sukrosa maka akan semakin keras gula
merah yang dihasilkan. Gula kelapa B2 memiliki tekstur keras, karena memiliki
kandungan sukrosa tertinggi. Gula tebu C2 meskipun memiliki kadar sukrosa
lebih tinggi dibanding gula kelapa A, tetapi memliki tekstur yang lebih lunak
dibandingkan gula kelapa A. Hal ini disebabkan karena kandungan gula
pereduksinya lebih tinggi, sehingga mengurangi tingkat kekerasan gula.
Berdasarkan analisa kadar air yang dilakukan, terdapat beberapa penyimpangan.
Semakin tinggi kadar air, seharusnya gula merah akan semakin lunak. Namun,
pada gula merah B2 terjadi sebaliknya. Hal tersebut disebabkan karena proses
transportasi dan penyimpanan gula yang kurang sesuai, mengingat gula
merupakan bahan pangan yang cukup higroskopis.
Urutan total gula pereduksi tertinggi, yaitu gula tebu C2 (9.18%), gula
kelapa B2 (5.03%), dan gula kelapa A (4.22%). Hasil tersebut sesuai dengan
kadar gula pereduksi yang dihasilkan dengan metode Iodometri. Namun, ada
beberapa perbedaan dari kadarnya. Seperti contohnya pada gula kelapa B2, kadar
gula pereduksi metode Iodometri (8.56%) lebih besar dibandingkan dengan
metode HPLC (5.03%). Rendahnya kandungan gula pereduksi metode HPLC
dapat disebabkan karena sensitivitas peralatan yang rendah (Pontoh 2012).
Kandungan glukosa dan fruktosa ketiga sampel gula merah cenderung tidak
terlalu berbeda. Gula tebu C2 memiliki kandungan fruktosa (4.76%) yang lebih
tinggi dibandingkan dengan glukosa (4.42%). Namun, terjadi sebaliknya pada
gula kelapa A dan gula kelapa B2.
Gula pereduksi dan pH mempengaruhi karakteristik warna atau intensitas
pencoklatan pada gula merah. Reaksi Maillard sangat dipengaruhi oleh pH, ketika
pH tinggi maka reaksi Maillard atau intensitas warna coklat yang dihasilkan juga
tinggi (Karseno et al. 2018). Pada umumnya ketika pH rendah, nira akan
terfermentasi dan menginversi sukrosa menjadi gula pereduksi. Namun, pada pH
rendah, gugus amino akan terprotonasi, jadi hanya sedikit gugus amino yang
tersedia untuk reaksi Maillard (El-Ghorab et al. 2010). Jadi, meskipun banyak
gula pereduksi yang tersedia pada pH rendah, tetapi tidak meningkatkan reaksi
Maillard karena tidak tersedianya gugus amino yang cukup. Hal tersebut terjadi
pada gula kelapa A yang memiliki warna cokelat tua pada pH 7.72. Gula kelapa
B2 memiliki warna yang lebih muda dibandingkan dengan gula kelapa A karena
pH yang dihasilkan lebih rendah (5.84). Pada gula tebu C2, warna yang
dihasilkan yaitu cokelat tua hingga hitam pada pH 5.60. Hal tersebut terjadi
karena kandungan protein dan gula pereduksi pada nira tebu lebih besar
dibandingkan nira kelapa, sehingga cukup banyak gugus amino yang tersedia
untuk reaski Maillard meskipun pada pH rendah. Kandungan protein pada nira
25
tebu yaitu 0.5 – 2.5%, sementara pada nira kelapa yaitu 0.02 – 0.03% (Chen dan
Chou 1993; Muchtadi 2010).
Gula pereduksi dapat mempengaruhi proses pengkristalan gula. Semakin
tinggi kandungan gula pereduksi dalam suatu bahan gula, maka akan menghambat
proses pengkristalan gula (Rumayar 2012). Gula pereduksi merupakan prekusor
dalam reaksi Maillard yang berperan penting dalam proses pembentukkan warna
pada gula merah. Semakin tinggi gula pereduksi, warna gula merah yang
dihasilkan akan semakin gelap atau berwarna coklat tua hingga kehitaman. Faktor
penting lainnya yang mempengaruhi pembentukkan warna gula merah yaitu
modifikasi komponen strukturalnya, karena pH membatasi pigmen natural yang
terkandung di dalam nira. Flavonoid merupakan salah satu komponen paling kritis
pada proses pengolahan gula dan bertanggung jawab sebanyak 30% dari
pembentukkan warna yang terjadi pada gula dengan pH 7.0 (Orlandi 2017).
Berdasarkan analisis Pearson Corelation (Lampiran 3), terdapat korelasi
positif antara derajat Brix dengan beberapa komponen gula (sukrosa, glukosa, dan
fruktosa). Semakin tinggi kandungan komponen gula tersebut, maka semakin
tinggi derajat Brix yang dihasilkan. Fruktosa memiliki korelasi tertinggi (r =
0.830) dibandingkan dengan glukosa (r = 0.800) dan sukrosa (r = 0.597). Tingkat
kemanisan relatif sukrosa yaitu 1, sementara glukosa sebesar 0.56 dan fruktosa
sebesar 1.3 (Parker 2010). Namun Brix tidak bisa semata-mata digunakan untuk
menentukkan tingkat kemanisan gula karena terdapat beberapa komponen lain
selain gula yang terlarut dalam air.
bahwa asal daerah dan jenis bahan baku berpengaruh terhadap karakteristik
fisikokimia yang dihasilkan.
Selain dapat melihat parameter dominan tiap sampel, analisis PCA juga
dapat melihat korelasi dari tiap parameter yang diuji. Jika dilihat pada Gambar 12,
parameter yang berdekatan akan menunjukkan korelasi positif, sementara
parameter yang berseberangan akan menunjukkan korelasi negatif. Menurut
Sarwono (2009), korelasi yang sangat kuat antar parameter jika nilai r 0.75.
Berdasarkan analisis Pearson Corelation (Lampiran 2), terdapat korelasi positif
yang sangat kuat terdapat pada beberapa parameter, yaitu antara derajat Brix
dengan total gula (r = 0.841), kadar residu sulfit dengan tekstur (r = 0.808), dan
rasa dengan derajat Brix (r = 0.882). Sementara itu terdapat korelasi negatif yang
sangat kuat pada beberapa parameter, yaitu antara pH dengan kotoran kasar (r = -
0.764), kadar air dengan kotoran kasar (r = -0.981), derajat Brix dengan kotoran
halus (r = -0.871), derajat Brix dengan pH (r = -0.846), gula pereduksi dengan pH
(r = -0.875), warna dengan residu sulfit (r = -0.808), dan warna dengan tekstur (r
= -1.000).
1.5
A
Warna
1
Kadar Air
Kotoran Halus
C1 C2
0.5 pH
Gula Pereduksi
F2 (25.27 %)
Total Gula
0
B3 Rasa Brix
-0.5
Kotoran Kasar
B2
-1 Sulfit
Tekstur
B1
-1.5
-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
F1 (50.61 %)
Gambar 12 Biplot analisis PCA sampel gula merah kelapa dan tebu
berdasarkan karakteristik fisik dan kimia
Menurut penelitian yang dilakukan Safitri (2017), gula merah dengan nilai
pH tinggi memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan gula merah dengan
nilai pH yang lebih rendah. Hal tersebut karena nira pada pH tinggi masih
mengandung sukrosa dalam jumlah banyak. Seiring dengan semakin lama waktu
penyimpanan nira maka proses fermentasi akan mengubah sukrosa hingga
menghasilkan komponen air yang akan meningkatkan kadar air nira. Sehingga
semakin rendah nilai pH maka kadar air gula merah akan semakin tinggi. Nira
yang baik mempunyai pH antara 5-7 (Estiasih 2009). Berdasarkan analisis
Pearson Corelation, terdapat korelasi positif antara pH dan kadar air namun tidak
kuat (r = 0.718). Salah satunya penyebabnya adalah kondisi transportasi gula.
Gula kelapa A berasal dari Jawa Timur yang membutuhkan waktu sekitar 2 hari
untuk mencapai pabrik pengolahan kecap, sehingga banyak gula yang meleleh
sebagian karena kondisi panas di dalam truk pengangkut gula. Pada proses
pengolahan gula merah beberapa pengrajin menambahkan kapur (Ca(OH)2) pada
larutan nira. Penambahan Ca(OH)2 dimaksudkan untuk mengikat dan
mengendapkan kotoran yang bebas dari saringan kain dan meningkatkan pH nira
sehingga kapang tidak bisa tumbuh (Dewi et al. 2014).
Simpulan
Gula merah kelapa dan tebu memiliki beberapa ciri khas dari segi
komponen penyusunnya. Berdasarkan hasil analisis, terdapat hubungan antara asal
daerah produsen gula dan bahan baku gula terhadap karakteristik fisikokimianya.
Gula merah tebu (C1 dan C2) yang berasal dari Jawa Tengah memiliki warna
yang paling pekat serta total gula dan kadar gula pereduksi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan gula merah kelapa. Sementara gula merah kelapa A yang
berasal dari Jawa Timur memiliki kadar air, pH dan kadar kotoran halus yang
lebih tinggi dibandingkan dengan gula merah lainnya. Gula merah kelapa yang
berasal dari Jawa Barat (B1 dan B2) dan Jawa Tengah (B3) memiliki kadar residu
sulfit yang tinggi serta tekstur yang lebih keras dibandingkan gula merah lainnya.
Sementara kotoran kasar, derajat Brix, dan rasa bukan merupakan parameter yang
dominan terdapat pada keenam gula merah. Hasil analisis profil gula sederhana
menunjukkan bahwa sukrosa (dominan), fruktosa dan glukosa merupakan
kandungan penyusun utama gula merah. Fruktosa merupakan komponen yang
berkorelasi paling tinggi dengan derajat Brix dalam hal menciptakan rasa manis
pada gula merah. Hubungan korelasi tertinggi yaitu antara warna dan tekstur (r = -
1.000, p < 0.0001).
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdi H, Williams LJ. 2010. WIREs Comp Stat: Pricipal Component Analysis
Volume 2. New York (US): John Wiley and Sons Inc.
[AOAC] Association of Official Analythical Chemist. 2000. Official Method
990.28. Sulfites in Foods, Optimized Monier-Williams Method.
Washington DC (US): Benjamin Franklin Station.
[AOAC] Association of Official Analythical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of the Association of Official Analythical Chemist. Washington
DC (US): Benjamin Franklin Station.
[AOAC] Association of Official Analythical Chemist. 2006. Official Method
977.20. Separation of Sugar in Honey, Liquid Chromatography Method.
Washington DC (US): Benjamin Franklin Station.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Surat Keputusan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
HK.00.05.52.4040 tentang Kategori Pangan. Jakarta (ID): BPOM.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia SNI 01-
3743-1995 tentang Gula Palma. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standar Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia SNI 01-6237-
2000 tentang Gula Merah Tebu. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia SNI
3140.1:2008 tentang Gula Kristal Mentah. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. Standar Nasional Indonesia SNI
3543: 2013 tentang Kecap Kedelai Manis bagian 1. Jakarta (ID): BSN.
Chen JCP, Chou CC. 1993. Cane Sugar Handbook 12th Edition. New York (US):
John Wiley & Sons, Inc.
Curi PN, Carvalho CS, Saldago DL, Pio R, Pasqual M, Souza FBM, Souza VR.
2014. Influence of different types of sugars in physalis jellies. Food Sci.
Technol. Campinas. 37(3): 349-355.
Dewi SR, Izza N, Agustiningrum DA, Indriani DW, Sugiarto Y, Maharani DM,
Yulianingsih R. 2014. Pengaruh suhu pemasakan dan kecepatan
pengadukan terhadap kualitas gula merah tebu. Jurnal Teknologi
Pertanian. 15(3): 149-158.
Du H, Chen XQ (2009). Comparative study of the separation ofoleanolic acid and
ursolic acid in Prunella vulgaris by High Performance Liquid
Chromatography and Cyclodextrin-Modified Micellar Electrokinetic
Chromatography. J. Iran Chem. Soc., 6(2): 334-340.
Erwinda MD, Susanto WH. 2014. Pengaruh pH nira tebu (Saccharum
officinarum) dan konsentrasi penambahan kapur terhadap kualitas gula
merah. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(3): 54 – 64.
Estiasih E. 2009. Teknologi Pengologan Pangan. Jakarta (ID); Bumi Aksara
Estiasih T, Ahmadi K. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta (ID): Bumi
Aksara.
Farahnaky A, Mardani M, Mesbahi Gh, Majzoobi M, Golmakani MT. 2016.
Some physicochemical properties of date syrup, concentrate, and liquid
sugar in comparison with sucrose solutions. J. Agr. Sci. Tech. 18: 657 –
668.
30
Meutia YR. 2015. Standardisasi produk kecap kedelai manis sebagai produk khas
Indonesia. JS. 17(2): 147 – 156.
Muangthai PUP. Suwunna, Patumpai W. 2009. Development of healthy soy
sauce from pigeon pea and soybean. As. J. Food Ag-Ind. 2: 291 – 301.
Muchtadi T, Sugiyono, Ayustaningwarno F. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Bandung (ID) : CV Alfabeta.
Naknean P, Meenune M, Roudat G. 2013. Changes in properties of palm sugar
syrup by an open pan and vacuum evaporator during storage. International
Food Research Journal. 20(5): 2323-2334.
Narulita RR. 2008. Peningkatan mutu gula merah tebu melalui penerapan
teknologi pemasakan sistem uap (studi kasus di Kabupaten Rembang,
Jawa Tengah). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nistiyanti I, Hidayanto E. 2015. Studi pemanfaatan sifat pembiasan cahaya pada
portable brix meter untuk menganalisis hubungan konsentrasi larutan
sukrosa terhadap pH. Youngster Physics Journal. 4(3): 231-236.
Nurlela E. 2002. Kajian faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukkan warna
gula merah. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Orlandi RDM, Bernardi MRV, Sartorio SD, Borges MTMR. 2017.
Physicochemical and sensory quality of brown sugar: variables of
processing study. Journal of Agricultural Science. 9(2): 115-121.
Parker K, Salas M, Nwosu VC. 2010. High fructose corn syrup: production, uses
and public health concerns. Biotechnology and Molecular Biology Review
5(5): 71-78.
Pontoh J. 2007. Analisa komponen kimia dalam gula dan nira aren. [skripsi].
Tomohon (ID) : Yayasan Masarang.
Pontoh J. 2012. Metode analisa dan komponen kimia dalam nira dan gula aren. Di
dalam: Balitbang Pertanian, editor. Aren untuk Pangan dan Alteratif
Energi Terbarukan dan Seminar Nasional Aren; Balikpapan, Indonesia.
Balikpapan (ID): Kementerian Pertanian. hlm 66-71.
Pontoh J. 2013. Penentuan kandungan sukrosa pada gula aren dengan metode
enzimatik. Chem. Prog. 6 (1) : 26 – 33.
Radam RR, Sari NM, Lusyani. 2014. Chemical compounds of granulated palm
sugar made from sap of nipa palm (Nypa fruticans Wurmb) growing in
three different places. Journal of Wetlands Environmental Management.
2(1): 108-114.
Ranny, Soelistio YE, Satvika NM. 2016. Metode pencocokan bunyi ketuk buah
dengan kadar kemanisan menggunakan k-Nearest Neighbour. Jurnal
Ultimatics. 8(2): 119-124.
Ratnayani K, Adhi NMAD, Gitadewi IGAMAS. 2008. Penentuan kadar glukosa
dan fruktosa pada madu randu dan madu kelengkeng dengan metode
kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Kimia. 2(2): 77-86.
Rosanti AD. 2016. Pengaruh penambahan dosis natrium bisulfit dan natrium
metabisulfit terhadap kualitas gula merah tebu. Jurnal Hijau Cendekia.
1(1): 6-10.
Rumayar H, Pontoh J, Kowel L. 2011. Kristalisasi sukrosa pada pembuatan gula
kristal dari nira aren. Buletin Palma. 12(2): 100-114.
Safitri DW. 2017. Karakteristik sifat reologi gula merah aren cair pada berbegai
pH dan konsentrasi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
32
LAMPIRAN
o
Jenis Gula Brix Total Gula (%) Gula Pereduksi (%)
Gula Kelapa A 86.85±1.56 76.19±0.88 2.06±0.33
Gula Kelapa B1 89.11±1.36 76.37±1.03 8.39±1.34
Gula Kelapa B2 91.23±1.81 76.94±1.19 6.98±1.85
Gula Kelapa B3 91.16±1.38 77.81±2.70 6.69±1.40
Rata-rata 89.59±2.07 76.83±0.73 6.03±2.75
Gula Tebu C1 91.51±0.44 77.67±1.37 17.13±0.87
Gula Tebu C2 92.30±1.68 77.38±0.80 19.84±0.31
Rata-rata 91.91±0.56 77.53±0.21 18.49±1.92
34 34
Lampiran 2 Hasil analisis Pearson Corelation parameter fisik dan kimia gula merah kelapa dan tebu
Kotoran Kotoran Kadar Total Gula
Variabel pH Sulfit Brix Tekstur Warna Rasa
Kasar Halus Air Gula Pereduksi)
Kotoran Kasar 1
Kotoran Halus -0,218 1
pH -0,764 0,633 1
Kadar Air -0,981* 0,177 0,718 1
Sulfit 0,159 0,040 0,327 -0,188 1
Brix 0,331 -0,871* -0,846* -0,287 -0,444 1
Total Gula 0,082 -0,595 -0,633 -0,121 -0,659 0,841* 1
Gula Pereduksi 0,543 -0,410 -0,875* -0,446 -0,634 0,753 0,580 1
Tekstur -0,062 -0,162 0,346 -0,039 0,808 -0,269 -0,298 -0,747 1
Warna 0,062 0,162 -0,346 0,039 -0,808 0,269 0,298 0,747 -1,000* 1
Rasa 0,125 -0,881* -0,625 -0,049 -0,199 0,882* 0,627 0,562 -0,161 0,161 1
Keterangan:
Angka yang dicetak tebal menunjukkan korelasi yang sangat kuat (r 0.75)
Simbol (*) menunjukkan korelasi yang signifikan (p < 0.05)
Lampiran 3 Hasil analisis Pearson Corelation parameter fisik, kimia, dan profil gula sederhana gula merah kelapa dan tebu
Kotoran Kotoran Total Gula Kadar
Variabel Brix pH Sukrosa Glukosa Fruktosa Sulfit Tekstur Warna Rasa
Kasar Halus Gula Pereduksi Air
Kotoran Kasar 1
Kotoran Halus 0,504 1
Brix -0,635 -0,987 1
pH 0,490 1,000* -0,985 1
Total Gula -0,982 -0,334 0,480 -0,319 1
Gula Pereduksi -0,425 -0,996 0,969 -0,997* 0,249 1
Sukrosa 0,240 -0,717 0,597 -0,728 -0,417 0,776 1
Glukosa -0,972 -0,694 0,800 -0,682 0,910 0,628 -0,004 1
Fruktosa -0,958 -0,730 0,830 -0,719 0,888 0,667 0,048 0,999* 1
Kadar Air 0,983 0,338 -0,484 0,323 -1,000* -0,254 0,413 -0,912 -0,890 1
Sulfit -0,953 -0,217 0,370 -0,202 0,993 0,130 -0,524 0,854 0,826 -0,992 1
Tekstur 0,826 -0,070 -0,089 -0,086 -0,917 0,159 0,746 -0,669 -0,630 0,915 -0,958 1
Warna -0,918 -0,119 0,276 -0,103 0,976 0,031 -0,606 0,798 0,765 -0,975 0,995 -0,982 1
Rasa -0,803 -0,920 0,970 -0,913 0,678 0,881 0,386 0,921 0,940 -0,681 0,584 -0,327 0,500 1
Keterangan:
Angka yang dicetak tebal menunjukkan korelasi yang sangat kuat (r 0.75)
Simbol (*) menunjukkan korelasi yang signifikan (p < 0.05)
35
36
Kadar_kotoran_kasar
Duncan
1 2 3
A 5 1,6540
B2 5 2,1220 2,1220
B3 5 2,2020 2,2020
C2 5 2,6940 2,6940
C1 5 2,7040 2,7040
B1 5 3,3360
Sig. ,197 ,185 ,132
ANOVA
Kadar_kotoran_halus
Kadar_kotoran_halus
Duncan
1 2 3
B2 5 6,0220
C2 5 7,4200 7,4200
B3 5 7,9900 7,9900
C1 5 9,9380
B1 5 10,3700
A 5 14,2040
Sig. ,172 ,050 1,000
ANOVA
Ph
Ph
Duncan
1 2 3
C2 5 5,4280
C1 5 5,5920 5,5920
B1 5 5,8760 5,8760
B3 5 6,1080 6,1080
B2 5 6,2000
A 5 7,2820
Sig. ,055 ,085 1,000
ANOVA
Kadar_air
Kadar_air
Duncan
1 2
B1 5 7,8340
C1 5 8,5020 8,5020
C2 5 8,6760 8,6760
B3 5 8,8280 8,8280
B2 5 9,1700
A 5 9,5720
Sig. ,065 ,052
ANOVA
Residu_sulfit
Residu_sulfit
Duncan
C2 5 1,7460
C1 5 2,8420
B3 5 4,1920
A 5 5,3540
B2 5 8,1560
B1 5 9,2980
Sig. ,071
ANOVA
Brix
Brix
Duncan
1 2 3
A 5 86,8540
B1 5 89,1120
B3 5 91,1580
B2 5 91,2340
C1 5 91,5080
C2 5 92,3040
Sig. 1,000 1,000 ,262
ANOVA
Total_gula
Total_gula
Duncan
A 5 76,1940
B1 5 76,3740
B2 5 76,9380
C2 5 77,3820
C1 5 77,6660
B3 5 77,8060
Sig. ,140
ANOVA
Gula_pereduksi
Gula_pereduksi
Duncan
1 2 3 4
A 4 2,0600
B3 4 6,6900
B2 4 6,9850
B1 4 8,3900
C1 4 17,1325
C2 4 19,8425
Sig. 1,000 ,070 1,000 1,000
RIWAYAT HIDUP