Anda di halaman 1dari 66

iii

PROFIL BAHAN BAKU GULA MERAH KELAPA DAN TEBU


YANG DIGUNAKAN UNTUK PEMBUATAN KECAP
KEDELAI MANIS

RAHMAT WIDIANTO

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PETANIAN BOGOR
BOGOR
2018
iv
v

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER


INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Bahan Baku
Gula Merah Kelapa dan Tebu yang Digunakan untuk Kecap Kedelai Manis adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2018

Rahmat Widianto
NIM F24140016
vi
vii

ABSTRAK
RAHMAT WIDIANTO. Profil Bahan Baku Gula Merah Kelapa dan Tebu yang
Digunakan untuk Kecap Kedelai Manis. Dibimbing oleh NURHENI SRI
PALUPI.

Gula merah merupakan salah bahan baku penting dalam pembuatan kecap
kedelai manis dalam kontribusinya menciptakan rasa manis. Tujuan penelitian ini
adalah melihat pengaruh asal daerah atau pengrajin gula merah kelapa dan tebu
terhadap karakteristik fisikokimia gula merah yang dihasilkan pada proses
pembuatan kecap kedelai manis. Gula merah yang dianalisa terdiri dari 2 jenis,
yaitu gula merah kelapa (A, B1, B2, dan B3) gula merah tebu (C1 dan C2) yang
masing-masing berasal dari asal daerah yang berbeda (Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur). Karakteristik fisikokimia yang diuji, yaitu kadar air, pH, kadar
kotoran kasar dan halus, residu sulfit, derajat Brix, total gula, serta gula pereduksi.
Analisa komponen gula metode HPLC menunjukkan bahwa sukrosa, glukosa, dan
fruktosa merupakan komponen utama penyusun gula merah. Berdasarkan analisis
Principal Component Analysis (PCA) dan Pearson Corelation, gula merah tebu
(C1 dan C2) yang berasal dari Jawa Tengah memiliki warna yang paling pekat
serta total gula dan kadar gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
gula merah kelapa. Sementara gula merah kelapa A yang berasal dari Jawa Timur
memiliki kadar air, pH dan kadar kotoran halus yang lebih tinggi dibandingkan
dengan gula merah lainnya. Gula merah kelapa yang berasal dari Jawa Barat (B1
dan B2) dan Jawa Tengah (B3) memiliki kadar residu sulfit yang tinggi serta
tekstur yang lebih keras dibandingkan gula merah lainnya. Sementara kotoran
kasar, derajat Brix, dan rasa bukan merupakan karakteristik yang dominan
terdapat pada keenam gula merah.

Kata kunci: gula merah kelapa, gula merah tebu, HPLC, PCA, profil gula
viii
ix

ABSTRACT
RAHMAT WIDIANTO. Profile of Coconut and Sugarcane Brown Sugar Raw
Material for Making Sweet Soy Sauce. Supervised by NURHENI SRI PALUPI.

Brown sugar is one of the important raw material in the process of making
sweet soy sauce due to its contribution for creating sweet flavor. The objective of
this research is to see the influence of origin or craftsmen of coconut brown sugar
and sugarcane brown sugar on its physicochemical characteristics in making of
sweet soy sauce. There are 2 types of brown sugar that was analyzed, namely
coconut brown sugar (A, B1, B2, and B3) and sugarcane brown sugar (C1 and
C2), which each comes from different regions (West Java, Central Java, and East
Java). Physicochemical characteristics that was analyzed, there are moisture
content, pH, rough dirt content, soft dirt content, sulfit residue, Brix degree, total
sugar, and reducing sugar. Sugar component analysis with HPLC method shows
that sucrose, glucose, and fructose are main components of brown sugar. Based on
Principal Component Analysis (PCA) and Pearson Corelation analysis, sugarcane
brown sugar (C1 and C2) which come from Central Java has the darkest color,
also total sugar and reducing sugar content higher than coconut brown sugar.
Meanwhile, coconut brown sugar A which come from East Java has moisture
content, pH, and soft dirt content higher compared to other brown sugar. Coconut
brown sugar which come from West Java (B1 and B2) and Central Java (B3), has
high sulfite residues and harder texture compared to other brown sugar.
Meanwhile, rough dirt content, Brix degree, and taste are not dominant
characteristics in all brown sugar.

Keywords: coconut brown sugar, HPLC, sugar profile, sugarcane brown sugar,
PCA
x
xi

PROFIL BAHAN BAKU GULA MERAH KELAPA DAN TEBU


YANG DIGUNAKAN UNTUK PEMBUATAN KECAP
KEDELAI MANIS

RAHMAT WIDIANTO

Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
Pada
Departemenen Ilmu dan Teknologi Pangan

DERARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
xii
xiv
xv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilakukan sejak bulan Maret 2018 hinggs Juli 2018 ini ialah gula
merah, dengan judul Profil Bahan Baku Gula Merah Kelapa dan Tebu yang
Digunakan untuk Pembuatan Kecap Kedelai Manis. Skripsi ini ditulis berdasarkan
penelitian yang dilakukan di laboratorium kimia Divisi Quality Control salah
industri pangan di Kabupaten Bekasi.
Selama pelaksanaan dan penulisan ini, penulis mendapat banyak bantuan
baik moril maupun materiil. Ucapan terima kasih penulisa sampaikan kepada
semua pihak yag telah membantu penyelesaian karya tulis ini, yaitu:
1. Dr. Ir Nurheni Sri Palupi, M.Si, selaku dosen pembimbing tugas akhir
yang selalu memberikan nasehat dan arahan yang bermanfaat.
2. Dr. Ir Hanifah Nuryani Lioe, M.Si dan Ibu Nur Wulandari, STP, M.Si
sebagai dosen penguji yang memberikan masukan untuk skripsi saya.
3. Keluarga tercinta: Bapak Agus Rudjianto, Ibu Wiwik Dartini, Kakak-
kakak tercinta (Mega Ayu Fitriani, Bayu Fitriaji, dan Pandu Sastra
Negara) yang selalu memberikan semangat dan motivasi.
4. Ibu Dian Nugrahenny, selaku pembimbing lapang selama pelaksanaan
magang yang telah mengizinkan kegiatan magang saya dan memberikan
arahan selama magang di industri pangan.
5. Tim QC Lab. Kimia (Mba Endah, Mba Nilam, Mba Dewi, Ibu Sarmini,
Mas Suhendra, Mas Bayu, dan Rizki) yang selalu dengan sabar
membimbing saya dalam penelitian ini dan memberikan nasehat yang
bermanfaat untuk kehidupan pasca kampus.
6. Tim QC Field (Pak Yani dan Pak Sakim) yang telah mengambilkan
sampel gula merah untuk bahan penelitian saya.
7. Viano Pierre Diaz Viera, selaku teman magang yang telah memberikan
saya info magang dan menjadi tempat bertukar pikiran dalam penyelesaian
penelitian ini.
8. Teman-teman ITP angkatan 51 yang sama-sama berjuang menyelesaikan
tugas akhir, terkhusus Hafsah dan Yusuf sebagai teman satu bimbingan.
9. Sahabat-sahabat tercinta (Ariyanto, Mukhlis, Praditya, Maulana, Dwiky,
Arini, Fitri, Teguh, Bagus, Nita, Virssano) yang terus memberikan
semangat dan menjadi hiburan saya ketika penat peneletian.
10. Sahabat seperjuangan (Iqbal, Fajar, Farras, dan Fadly) yang mengingatkan
saya untuk selalu dekat dengan Allah SWT.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan
kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.
Terima kasih.

Bogor, September 2018


Rahmat Widianto
xvi
xvii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xviii


DAFTAR GAMBAR xix
DAFTAR LAMPIRAN xix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kecap Kedelai 2
Proses Pembuatan Kecap Kedelai Manis 2
Gula Merah 3
Proses Pembuatan Gula Merah 6
METODE 7
Bahan 7
Alat 7
Tahapan Penelitian 7
Metode Analisis 7
Prosedur Analisis Data 14
HASIL DAN PEMBAHASAN 14
Karakteristik Fisik Gula Merah Kelapa dan Tebu 14
Karakteristik Kimia Gula Merah Kelapa dan Tebu 18
Hubungan antara Profil Komponen Gula dengan Karakteristik Fisik dan Kimia
Gula Merah 23
Analisis Principal Component Analysis (PCA) dan Pearson Corelation 25
SIMPULAN DAN SARAN 28
Simpulan 28
Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 33
RIWAYAT HIDUP 47
xviii
xix

DAFTAR TABEL
1. Syarat mutu kecap kedelai manis (SNI 3543: 2013 bagian 1) 3
2. Syarat mutu gula palma (SNI 01-3743-1995) 5
3. Syarat mutu gula merah tebu (SNI 01-6237-2000) 6
4. Asal daerah dan kode sampel gula merah kelapa dan tebu 9
5. Deskripsi karakteristik fisik gula merah kelapa dan tebu 9
6. Kondisi proses HPLC 14
7. Sifat fisik gula merah kelapa dan tebu secara deskriptif 17
8. Sifat fisik gula merah kelapa dan tebu secara kuantitatif 17
9. Profil komponen gula merah kelapa dan tebu 23

DAFTAR GAMBAR

1. Tahapan pengolahan kecap kedelai manis 4


2. Tahapan penelitian 8
3. Rangkaian alat ekstraksi dan distilasi Monier-Williams 11
4. Kadar kotoran kasar berbagai jenis gula merah 15
5. Kadar kotoran halus berbagai jenis gula merah 16
6. Kadar air berbagai jenis gula merah 18
7. Derajat Brix berbagai jenis gula 19
8. Kadar total gula berbagai jenis gula merah 20
9. Derajat keasaman (pH) berbagai jenis gula merah 21
10. Kadar gula pereduksi berbagai jenis gula merah 21
11. Kadar residu sulfit berbagai jenis gula merah 22
12. Biplot analisis PCA sampel gula merah kelapa dan tebu berdasarkan
karakteristik fisik dan kimia 26

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data fisikokimia gula merah 33


2. Hasil analisis Pearson Corelation parameter fisik dan kimia gula 34
merah kelapa dan tebu
3. Hasil analisis Pearson Corelation parameter fisik, kimia, dan profil 35
gula sederhana gula merah kelapa dan tebu
4. Tabel konversi perbedaan titrasi ke kadar gula pereduksi 36
5. Kurva kalibrasi standar gula pada HPLC 37
6. Kromatogram HPLC Sampel Gula Tebu C2 38
7. Kromatogram HPLC Sampel Gula Kelapa B2 39
8. Kromatogram HPLC Sampel Gula Kelapa A 40
9. Hasil ANOVA dan Uji Duncan 41
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan kategori pangan yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan


Makanan (BPOM) tahun 2006, kecap kedelai manis adalah produk cair yang
diperoleh dari hasil fermentasi kacang kedelai (Glycine max L.) dan gula, gula
merah, dengan atau tanpa proses karamelisasi dengan atau tanpa penambahan
bahan lain, dengan karakteristik dasar total gula tidak kurang dari 40%. Kecap
kedelai merupakan salah satu produk fermentasi yang digunakan sebagai produk
pencita rasa khususnya di negara Asia yang merupakan produk bumbu
(kondimen) yang tertua di Cina selama lebih dari 3000 tahun (Muangthai 2009).
Salah satu ciri khas kecap kedelai Indonesia yang membedakan dengan negara
lain yaitu kecap kedelai manis. Cita rasa yang khas menjadikan kecap manis
sebagai primadona penyedap berbagai masakan tradisional Indonesia dan hampir
ditemui di setiap dapur rumah tangga.
Menurut Setiawati (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas
kecap manis antara lain jenis kedelai, lama pembuatan moromi (larutan garam),
dan jumlah gula yang ditambahkan. Atribut kecap kedelai organik yang menjadi
pertimbangan konsumen dalam membeli produk kecap antara lain: 1) cita rasa dan
aroma, diperoleh dari proses pembuatan kecap secara fermentasi kedelai hitam
tanpa menggunakan bahan penyedap; 2) kekentalan, tingkat kekentalan kecap
manis dihasilkan dari penambahan gula kelapa tanpa penambahan bahan
pengental, 3) warna coklat kehitam-hitaman pada kecap diperoleh dari gula kelapa
tanpa penambahan bahan pewarna.
Gula merah merupakan salah satu bahan pemanis alami yang cukup aman
bagi tubuh (Heryani 2016). Gula merah pada umumnya berwarna coklat dan
cukup keras. Gula merah merupakan salah bahan baku penting dalam pembuatan
kecap kedelai manis dalam kontribusinya menciptakan rasa manis dan
memberikan kekentalan. Gula merah yang biasa digunakan yaitu gula merah
kelapa atau gula merah aren. Selain itu, gula merah juga dapat dibuat dengan
bahan baku nira tanaman tebu. Faktor-faktor yang menentukan kualitas gula
merah antara lain, warna, kekerasan, dan rasa. Faktor-faktor tersebut dipengarungi
oleh proses pengolahan dan komponen kimia yang terkandung di dalamnya. Pada
umumnya pembuatan gula merah di Indonesia masih menggunakan cara
tradisional.
Penentuan profil gula merah merupakan hal yang penting karena dapat
menentukan peranan tiap komponennya yang mempengaruhi kualitas kecap
kedelai manis. Gula merah yang dihasilkan di setiap daerah memiliki rasio
komposisi gula sederhana yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk melihat pengaruh pengrajin/supplier gula merah dan sumber bahan baku
gula merah terhadap karakteristik fisikokimia gula merah yang dihasilkan. Gula
merah yang diuji terdiri dari 2 jenis, yaitu gula merah kelapa dan gula merah tebu.
Gula merah kelapa terdiri dari 4 dari pengarin dan gula tebu terdiri dari 2
pengrajin. Sentra gula merah yang diuji berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Jawa Barat. Menurut Heri (2007), gula kelapa memiliki ciri khusus baik rasa,
2

aroma dan bentuknya, yang sangat berbeda dengan gula putih yang terbuat dari
bahan tebu.

Rumusan Masalah

Kualitas kecap yang dihasilkan dengan penambahan gula merah dari


beberapa penyuplai dan jenisnya memiliki perbedaan, sehingga perlu dilakukan
karakterisasi gula merah kelapa dan tebu yang digunakan pada proses pembuatan
kecap kedelai manis.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh asal daerah atau pengrajin
gula merah kelapa dan tebu terhadap karakteristik fisikokimia gula merah yang
dihasilkan pada proses pembutan kecap kedelai manis

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi kepada industri


pangan yang memproduksi kecap kedelai manis dalam menentukan standar
komposisi gula merah yang tepat sehingga dapat menghasilkan kualitas kecap
kedelai manis terbaik.

TINJAUAN PUSTAKA

Kecap Kedelai

Kecap kedelai dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu kecap Jepang dan kecap
Cina. Kecap jepang menggunakan kedelai dan terigu dalam porsi yang sama,
selanjutnya kecap Jepang dibedakan lagi menjadi shoyu koikuchi, shoyu usukuchi,
dan shoyu saishikomi dimana perbedaannya terletak pada proses produksi dan
karakteristik khasnya (dalam hal warna, aroma, dan viskositas). Sedangkan kecap
kedelai Cina biasanya dibuat dengan sedikit sekali bahkan tanpa kandungan terigu
sebagai bahan bakunya (Lioe 2014). Berdasarkan BSN (2013), kecap kedelai
manis didefinisikan sebagai produk berbentuk cair yang dibuat dari cairan hasil
fermentasi kedelai atau bungkil kedelai ditambah gula dengan atau tanpa
penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan.
Syarat mutu kecap kedelai manis berdasarkan BSN (2013) dapat dilihat pada
Tabel 1.

Proses Pembuatan Kecap Kedelai Manis

Sebagian besar proses produksi kecap termasuk dalam kategori industri


pengolahan kedelai tradisional. Istilah tradisional di sini digunakan untuk
menunjukkan bahwa tipe dan metode pengolahannya sudah dipraktekkan berabad-
abad lamanya dan diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya.
Di Indonesia, umumnya kecap diproduksi dengan cara fermentasi tradisional
3

dalam skala industri kecil dengan menggunakan peralatan yang sederhana (Meutia
2015).
.Proses fermentasi kecap terdiri dari 2 tahap, yaitu fermentasi padat
(fermentasi koji/tempe) dan fermentasi cair (fermentasi moromi). Kapang yang
digunakan dalam fermentasi padat, adalah Aspergillus sp. dan Rhizopus sp. Hasil
fermentasi padat disebut koji. Selanjutnya, koji dikeringkan, kemudian direndam
dalam air garam 20-30%. Proses perendaman koji dalam air garam disebut
fermentasi moromi. Mikroba yang berperan dalam fermentasi moromi, adalah
mikroba tahan garam seperti Hansenula sp., Zygosaccharomeces sp., dan
Lactobacillus sp. Fermentasi moromi memerlukan waktu selama 14-28 hari.
Cairan hasil fermentasi moromi disebut moromiSelanjutnya moromi ditambah
dengan rempah-rempah dan dikentalkan sehingga diperoleh kecap (Meutia 2015).
Proses pembuatan kecap kedelai manis dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1 Syarat mutu kecap kedelai manis (SNI 3543: 2013 bagian 1)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - Normal, khas
1.2 Rasa - Normal, khas
2 Kadar protein (Nx6, 25) % (b/b) min. 1,0
3 Kadar gula (dihitung sebagai sakarosa) % (b/b) min. 30
4 pH - 3,5 – 6,0
5 Cemaran logam
5.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 1,0
5.2 Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,2
5.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0
5.4 Merkuri (Hg) mg/kg maks. 0,05
6 Cemaran Arsen (As) mg/kg maks. 0,5
7 Cemaran mikroba
7.1 Bakteri coliform APM/g <3
7.2 Kapang koloni/g maks. 50
8 Aflatoksin*
8.1 B1 µg/kg maks. 15
8.2 Total aflatoksin µg/kg maks. 20
Keterangan: *hanya untuk cairan hasil fermentasi kedelai

Gula Merah

Gula merah dapat berasal dari nira tanaman kelapa, tebu, aren, nipah, atau
siwalan. Nira merupakan cairan yang rasanya manis keluar dari pembuluh tapis
sebagai hasil dari penyadapan tongkol (tandan) bunga, baik bunga jantan maupun
betina dari jenis tanaman tertentu (Heryani 2016). Gula kelapa atau gula merah
adalah gula yang terbuat dari bahan baku utama nira kelapa yang telah diolah.
Sentra pembuatan produk gula merah/ gula kelapa adalah terletak di Blitar,
Lumajang, sebagian Ponorogo dan Kediri (Heri 2007).Produksi gula merah telah
lama dikenal di berbagai daerah, antara lain di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat. Gula merah yang berasal dari
Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur umumnya diproses dengan
4

menggunakan bahan baku tetes tebu atau siwalan, sedangkan dari Jawa Barat
biasanya menggunakan bahan baku nira kelapa atau aren (Sukardi 2010).
Nira segar memiliki komposisi kimia yang beragam dengan kandungan air
75 - 90%. (Suwardjono 2001). Kandungan sukrosa yang dominan diantara
kandungan bahan kimia non-air lainnya menjadikan nira sebagai sumber gula
yang sangat potensial. Komposisi nira kelapa terdiri dari sukrosa sekitar 13 –
17%, protein 0.02 – 0.03%, dan yang lainnya adalah bahan organik seperti
karbohidrat, asam amino, zat warna, lemak serta garam mineral. Getah kelapa
mengandung sejumlah kecil garam-garam mineral dan vitamin, antara lain asam
askorbat sebesar 16 – 30 mg/10 mL getah kelapa (Muchtadi 2010). Syarat mutu
gula palma atau kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.

Gambar 1 Tahapan pengolahan kecap kedelai manis (Maryani 2007).


5

Menurut SNI 01-6237-2000 (Tabel 3), gula merah tebu adalah gula yang
dihasilkan dari pengolahan sari tebu (Saccharum officinarum) melalui pemasakan
dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diperbolehkan dan
berwarna kecokelatan., nira tebu memiliki kadar air sebanyak 70–75 %, kadar
sukrosa sebanyak 11-16 %, gula pereduksi 0.4-2 %, dan mineral 0.5-1 % (Loto et
al. 2012). Mutu gula merah tebu terutama berasal dari rasa dan juga
penampilannya yang meliputi bentuk, warna, kekerasan dan kekeringannya. Gula
merah yang berwarna lebih cerah dan agak keras lebih disukai serta memiliki
harga jual yang lebih tinggi (Narulita 2008). Syarat mutu gula merah tebu dapat
dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2 Syarat mutu gula palma (SNI 01-3743-1995)


Jenis uji Satuan Persyaratan
Bentuk - Normal
Bau - Normal
Rasa - Normal dan khas
Warna - Kuning sampai kecoklatan
Bagian tidak larut air % (b/b) Maks 1.0
Air % (b/b) Maks 10.0
Abu % (b/b) Maks 2.0
Gula pereduksi % (b/b) Maks 10.0
Sukrosa % (b/b) Min. 77.0
Cemaran logam
Timbal (Pb) mg/kg Maks 2.0
Tembaga (Cu) mg/kg Maks 10.0
Seng (Zn) mg/kg Maks 40.0
Raksa (Hg) mg/kg Maks 0.03
Arsen (As) mg/kg Maks 40.0

Faktor-faktor yang menentukan kualitas gula merah antara lain, warna,


kekerasan, dan rasa. Menurut Nurlela (2002), warna gula merah ditentukkan oleh
mutu nira yang digunakan. Nira yang telah terfermentasi mengandung asam dan
gula pereduksi relatif tinggi. Kandungan gula pereduksi berperan penting dalam
proses pencoklatan (Maillard). Menurut Heryani (2016), kekerasan gula merah
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti mutu nira, kadar air, dan kadar lemak.
Semakin baik mutu nira, jumlah sukrosa akan semakin tinggi dan gula merah
yang terbentuk akan memiliki tekstur yang baik. Penguraian sukrosa menjadi gula
pereduksi disebabkan adanya aktivitas enzim invertase yang dihasilkan mikroba
kontaminan atau akibat pemanasan dalam suasana asam yang terjadi selama
pengolahan. Lemak juga berperah dalam menentukan keempukan gula merah.
Molekul-molekul lemak di dalam gula merah. Molekul-molekul lemak di dalam
gula merah akan membentuk globula-globula yang menyebar diantara kristal atau
butiran gula sehingga kekerasan gula akan berkurang (Santoso 1993).
Gula merah mempunyai nilai kemanisan 10% lebih manis daripada gula
pasir. Nilai kemanisan ini terutama disebabkan oleh adanya fruktosa dalam gula
merah yang memiliki nilai kemanisan lebih tinggi daripada sukrosa. Gula merah
juga memiliki rasa sedikit asam karena adanya kandungan asam-asam organik di
dalamnya. Adanya asam-asam ini menyebabkan gula merah mempunyai aroma
6

yang khas, sedikit asam, dan berbau karamel. Rasa karamel pada gula merah
diduga disebabkan adanya reaksi karamelisasi akibat panas selama pemasakan
(Utami 2008).

Tabel 3 Syarat mutu gula merah tebu (SNI 01-6237-2000)


Persyaratan
Jenis uji Satuan
Mutu I Mutu II
Bau - Khas Khas
Rasa - Khas Khas
Warna - Coklat muda Coklat muda
sampai tua sampai tua
Penampakan - Tidak berjamur Tidak berjamur
Bagian tidak larut air % (b/b) Maks 1.0 Maks 5.0
Air % (b/b) Maks 8.0 Maks 10.0
Gula pereduksi % (b/b) Maks 11.0 Maks 14.0
Sukrosa % (b/b) Min. 65.0 Min 60.0
Bahan tambahan
pangan
Residu sulfit mg/kg Maks 20 Maks 20
Benzoat mg/kg Maks 200 Maks 200
Cemaran logam
Timbal (Pb) mg/kg Maks 2.0 Maks 2.0
Tembaga (Cu) mg/kg Maks 2.0 Maks 2.0
Seng (Zn) mg/kg Maks 40.0 Maks 40.0
Timah (Sn) mg/kg Maks 40.0 Maks 40.0
Raksa (Hg) mg/kg Maks 0.03 Maks 0.03
Arsen (As) mg/kg Maks 0.1 Maks 0.1

Proses Pembuatan Gula Merah

Pembuatan gula merah pada prinsipnya terdiri atas 2 tahap, yaitu


penguapan air dan pengkristalan gula. Penguapan air dilakukan sampai kadar air
menguap semuanya. Nira yang digunakan sebagai bahan baku gula merah adalah
nira yang memiliki pH 6.0-7.0. Nira disaring dengan kain halus agar kotoran
seperti semut, lebah dan serangga lainnya tidak lolos dalam saringan. Nira
dimasak pada suhu sekitar 110-120°C, sambil diaduk agar nira tidak meluap.
Wadah yang digunakan untuk pemasakan nira adalah wajan yang lebar sehingga
penguapan berlangsung lebih cepat. Selama pemasakan, ke dalam nira
ditambahkan satu sendok makan minyak goreng agar luapan busa dapat
diperkecil. Pemasakan dihentikan apabila gula yang kental mendidih. Wajan
diangkat dari tungku didinginkan selama 15-20 menit. Pengadukan terus
dilanjutkan agar kekentalannya seragam dan mudah dicetak.
Pencetakan gula dilakukan setelah nira mengental dan berwarna kemerah-
merahan dengan cara menuangkannya ke dalam cetakan yang telah dibasahi
dengan air agar mudah dilepaskan. Bentuk cetakan bermacam-macam. Cetakan
yang biasa digunakan adalah potongan bambu dan tempurung kelapa. Setelah
kurang lebih 10 menit dalam cetakan cairan sudah memadat berarti proses
pembuatan gula telah selesai. Gula merah cetak yang telah dingin dikeluarkan dari
7

cetakan kemudian dikemas. Bahan kemasan yang digunakan antara lain daun
pisang kering dan plastik. Pengemasan gula dengan plastik dapat
mempertahankan mutu dengan baik karena kadar air, gula reduksi, dan warna gula
relatif konstan dalam penyimpanan 12 minggu (Mashud dan Matana 2014).

METODE

Bahan

Bahan yang digunakan yaitu gula kelapa, gula tebu, standar glukosa
(Merck, Jerman), standar fruktosa (Merck, Jerman), standar sukrosa (Merck,
Jerman), etanol, asetonitril (Merck, Jerman), akuades, aquabidest, H2SO4 28%
(Merck, Jerman), KI 30% (Merck, Jerman), HCl 25% (Merck, Jerman), Na2S2O3
0.1 N (Merck, Jerman), H2O2 3% (Merck, Jerman), NaOH 0.01M (Merck,
Jerman), HCl 4M (Merck, Jerman), larutan buffer, indikator kanji 1%, indikator
metil merah 1%, larutan Fehling A (CuSO4) (Merck, Jerman), larutan Fehling B
(tartarat alkali) (Merck, Jerman).

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian kali ini yaitu neraca analitik, hot
plate, sentrifuge (Kubota, Jepang), vortex, desikator, oven, alat-alat gelas, pisau,
kertas saring Whatman No. 2 (Whatman Inc, Inggris), saringan ukuran 120 mesh,
pH meter (Metrohm 913 Series, Swiss), refraktometer Abbe (Atago, Jepang),
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) tipe isokratik dengan
detektor Refractive Index (Agilent Tech. 1200 Series, USA), Rheodyne Loop
Injector 20 µL, dan kolom HPLC untuk karbohidrat (ZORBAX Carbohydrate
Analysis Columns) (Agilent, USA).

Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap persiapan sampel
dan tahap karakterisasi sifat fisik dan kimia gula merah. Alur penelitian yang
dilakukan dapat dilihat pada diagram alir prosedur penelitian (Gambar 2).
Penelitian dimulai dengan tahap persiapan sampel gula merah. Selanjutnya,
sampel gula merah dikarakterisasi sifat kimia (kadar kotoran kasar, kadar kotoran
halus, kadar air, pH, residu sulfit, total gula, dan gula pereduksi) dan komponen
penyusunnya. Karakterisasi sifat fisik (bentuk, warna, dan rasa) dapat dilakukan
tanpa perlu melakukan preparasi sampel.

Metode Analisis

Persiapan Sampel Gula Merah

Sampel gula merah kelapa dan tebu diperoleh dari berbagai daerah di
Pulau Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat). Pengambilan sampel
8

pertama dilakukan pada bagian penerimaan bahan baku di gudang. Divisi Quality
Control Field akan mengambil sampel gula merah kelapa dan tebu pada truk di 4
bagian (atas, bawah, tengah, dan samping) sebanyak 5 – 10 kg. Selanjutnya
sampel akan dibawa ke laboratorium QC untuk dianalisis. Preparasi sampel gula
merah dilakukan dengan mengiris gula hingga halus menggunakan pisau. Pada
setiap bongkahan gula merah kelapa dan tebu, pengirisan dilakukan setengah
bagian gula merah hingga setiap sampel terwakilkan. Asal daerah dan kode
sampel dapat dilihat pada Tabel 4.

Pengambilan sampel

Gula Merah
Kelapa dan Tebu
(5-10 kg)

Preparasi sampel

Sampel Gula
Merah

Karakterisasi Sifat Karakterisasi Sifat Analisis Komponen


Fisik Kimia Gula (HPLC)

 Bentuk  pH Profil gula


 Warna  Kadar Air sederhana:
 Rasa  Residu Sulfit  Sukrosa
 Kadar kotoran  Brix  Fruktosa
 Total Gula  Glukosa
 Gula Pereduksi

Gambar 2 Tahapan penelitian


9

Tabel 4 Asal daerah dan kode sampel gula merah kelapa dan tebu
Jenis Gula Kode Asal Daerah
Gula Kelapa GK A Jawa Timur
GK B1 Jawa Barat
GK B2 Jawa Barat
GK B3 Jawa Tengah
Gula Tebu GT C1 Jawa Tengah
GT C2 Jawa Tengah

Analisis Fisik (Bentuk, Warna, Rasa, dan Tekstur)

Analisis deskriptif pada parameter fisik dilakukan menggunakan expert


judgement atau pendapat para ahli. Expert judgement terdiri dari analis
laboratorium organoleptik dan kimia. Metode deskriptif bertujuan untuk membuat
deskripsi, menggambarkan suatu fakta-fakta, dan hubungan antara fenomena
secara sistematis, faktual, dan akurat. Selanjutnya, data kualitatif parameter fisik
gula merah akan diubah menjadi data kuantitatif. Deskrisi karakteristik fisik gula
merah kelapa dan tebu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Deskripsi karakteristik fisik gula merah kelapa dan tebu


Deskripsi
Skor
Warna Tekstur Rasa
1 Kuning tua Sangat lunak Tidak manis, pahit
Cokelat kekuningan Lunak Sedikit manis, agak
2
asin
3 Cokelat muda Sedikit keras Sedikit manis
4 Cokelat tua Keras Manis
5 Hitam Sangat keras Sangat manis

Analisis Kadar Kotoran Kasar dan Halus

Sampel gula merah yang telah diiris ditimbang sebanyak 200 gram pada
gelas piala 1 liter. Akuades ditambahkan secukupnya, kemudian sampel
dipanaskan pada penangas sambil terus diaduk hingga seluruh gula merah larut.
Setelah seluruh gula merah larut, larutan gula merah disaring menggunakan
saringan ukuran 120 mesh. Benda-benda asing yang tertinggal pada saringan
tersebut dinyatakan sebagai kotoran kasar. Perhitungan kotoran kasar dapat
dilakukan sebagai berikut:

( )
( )

Keterangan: A = Bobot kotoran + saringan (gram)


B = Bobot saringan kosong (gram)

Hasil saringan sebelumnya kemudian ditambahkan akuades hingga tepat


1000 mL. Selanjutnya, sampel dipipet sebanyak 50 mL ke dalam tabung sentrifus.
10

Sampel disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Cairan yang
tersisa dibuang dan kemudian hasil endapan ditimbang. Endapan tersebut
dinyatakan sebagai kotoran halus. Perhitungan kotoran halus dapat diakukan
sebagai berikut:

( )
( )

Keterangan: A = Bobot endapan + tabung sentrifus (gram)


B = Bobot tabung sentrifus kosong (gram)
FP = Faktor pengenceran (20 kali)

Analisis Kadar Air Metode Oven (Modifikasi AOAC 2005)

Cawan timbang kosong dipanaskan dengan oven 105 oC selama 30 menit,


kemudian didinginkan dengan desikator dan ditimbang. Prosedur pengeringan
cawan diulang sampai didapatkan bobot seimbang. Sampel gula merah sebanyak
3 - 5 g dalam cawan yang sudah dikeringkan ditimbang, kemudian dikeringkan
pada oven dengan suhu 105 oC selama 4 jam. Setelah cawan dikeluarkan dari
oven, didingikan dalam desikator selama 30 menit. Proses pengeringan diulang
sampai didapatkan bobot bahan seimbang. Persentase kadar air basis basah dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

( )
( )

Keterangan: w = bobot sampel sebelum dikeringkan (g)


w1 = bobot sampel + cawan setelah dikeringkan (g)
w2 = bobot cawan kosong kering (g)

Analisis Total Padatan Terlarut Metode Brix (BSN 2008)

Sampel gula merah kelapa dan tebu masing-masing ditimbang sebanyak 5


gram dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Sampel dilarutkan pada air
hangat (60 oC) hingga tanda tera dan didinginkan hingga suhu sekitar 20 oC.
Selanjutnya larutan sampel diteteskan pada alat refraktometer Abbe dan dibaca
kadar sukrosanya pada skala oBrix.

Analisis pH (AOAC 2005)

Sampel gula merah kelapa dan tebu masing-masing seberat 5 g


ditambahkan 45 mL akuades, kemudian dihomogenisasi. Nilai pH ditentukan
dengan menggunakan pH meter. Sebelum dilakukan pengukuran, pH meter perlu
dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan buffer pH 4 dan 7. Setelah
dikalibrasi baru dilakukan pengukuran sampel dengan cara elektroda dicelupkan
ke dalam larutan sampai diperoleh pembacaan yang stabil.
11

Analisis Residu Sulfit (AOAC 2000)

Analisis residu sulfit pada penelitian ini menggunakan metode Monier-


Williams. Sampel gula merah kelapa dan tebu masing-masing sebanyak 50 g
ditimbang dan dimasukkan ke dalam gelas piala 300 mL. Akuabides sebanyak
400 mL ditambahkan ke dalam gelas piala secara bertahap untuk melarutkan gula.
Selanjutkan gula yang cukup larut dimasukkan ke dalam labu bulat. Larutan HCl
4M sebanyak 90 mL ditambahkan ke dalam labu bulat berisi sampel gula secara
hati-hati. Sebelumnya, 30 mL H2O2 3% dipipet ke dalam tabung penampung dan
ditambahkan indikator metil merah 1%. Selanjutnya, dititrasi hingga berwarna
kuning menggunakan NaOH 0.01M. Setelah semua siap, alat dirangkai
sedemikian rupa seperti pada Gambar 3. Gas nitrogen dialirkan menuju tabung
penampung yang berisi larutan H2O2. Heating mantel dinyalakan dengan panas
maksimum (skala 10) selama 30 menit, kemudian diturunkan ke skala 7 selama
1.5 jam. Setelah 2 jam waktu pengoperasian alat, heating mantel dan aliran gas
nitrogen dihentikan. Pindahkan larutan pada tabung penampung ke dalam labu
erlenmeyer 250 mL. Larutan tersebut akan berubah warna menjadi merah muda
yang menandakan terdapat kandungan sulfit di dalamnya. Selanjutnya, dititrasi
dengan NaOH 0.01M hingga larutan berubah warna menjadi kuning kembali.
Perhitungan residu sulfit dapat dilakukan menggunakan rumus berikut:

( )

Keterangan: V = Volume titrasi NaOH pada sampel (mL)


M = Molaritas NaOH (M)
W = Bobot sampel (g)

Keterangan:
A = Inlet adaptor dengan
konektor selang
B = Corong pemisah
C = Labu bulat
D = Tabung gas inlet
E = Kondensor Allihn
F = Bubbler
G = Wadah penampung

Gambar 3 Rangkaian alat ekstraksi dan distilasi Monier-Williams


12

Analisis Total Gula Metode Iodometri (USP 2015)

Prisip metode ini adalah sampel gula merah dihidrolisis menggunakan HCl
25% menjadi gula pereduksi. Kemudian hasil hidrolisis tersebut direaksikan
dengan larutan Fehling A yang mengandung ion kupri (Cu2SO4) dan larutan
Fehling B yang mengandung campuran alkali (NaOH dan KNaC4H4O6)
membentuk endapan merah bata. Selanjutnya, endapan merah bata tersebut akan
dititrasi secara iodometri untuk mengetahui kandungan total gula yang
terhidrolsis.
Sampel gula merah kelapa dan tebu masing-masing ditimbang secara teliti
0.9 – 1.0 gram pada tabung dekstruksi. Akuades ditambahkan sebanyak 50 mL
untuk melarutkan sampel gula merah. Larutan HCl 25% sebanyak 2.5 mL dipipet
ke dalam tabung dekstruksi. Selanjutnya sampel dipanaskan dan didihkan selama
15 menit pada hotplate dengan suhu 250oC. Setelah 15 menit, sampel didinginkan
ke dalam bak berisi air dingin. Sampel dilarutkan menggunakan akuades pada
labu ukur 100 mL hingga tanda tera. Larutan Fehling A dan B masing-masing
dipipet 10 mL pada gelas piala 100 mL. Larutan sampel dipipet 10 mL ke dalam
campuran larutan Fehling. Campuran sampel dan larutan Fehling dididihkan pada
penangas dengan suhu 285oC selama 3 menit dan akan terbentuk endapan merah
bata. Setelah 3 menit, sampel didinginkan. Larutan H2SO4 28% dan KI 30%
masing-masing dipipet 10 ml ke dalam campuran sampel dan Fehling. Indikator
kanji ditambahkan sebanyak 3 tetes. Selanjutnya, sampel dititrasi dengan Na2S2O3
0.1 N hingga terbentuk warna putih susu. Penetapan blanko dilakukan sesuai
dengan prosedur sebelumnya tanpa menggunakan larutan sampel. Perhitungan
total gula dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

( )
( )

( )
( )

Keterangan: V1 = Volume Na2S2O3 untuk titrasi sampel (mL)


V2 = Volume Na2S2O3 untuk titrasi blanko (mL)
FP = Faktor pengenceran

Analisis Gula Pereduksi Metode Iodometri (USP 2015)

Prinsip metode ini adalah iodometri. Penentuan total gula pereduksi


dilakukan dengan memanaskan larutan gula dengan larutan Fehling A yang
mengandung ion kupri (Cu2SO4) dan larutan Fehling B yang mengandung
campuran alkali (NaOH dan KNaC4H4O6) masing-masing 10 mL. Gula reduksi
dengan alkali akan membentuk enediol, kemudian enediol ini dengan ion kupri
akan membentuk ion kupro dan campuran asam. Selanjutnya ion kupro dalam
suasana basa akan membentuk kupro hidroksida yang dalam keadaan panas
mendidih akan mengendap menjadi endapan kupro oksida (Cu2O) yang berwarna
merah bata. Banyaknya endapan Cu2O tergantung pada banyaknya gula reduksi
dalam larutan gula (Lestari 2011).
13

Sampel gula merah kelapa dan tebu masing-masing ditimbang secara teliti
0.9 – 1.0 gram pada labu ukur 100 mL. Sampel dilarutkan menggunakan akuades
hingga tanda tera. Larutan Fehling A dan B masing-masing dipipet 10 mL pada
gelas ukur 100 mL. Larutan sampel dipipet 10 mL ke dalam campuran larutan
Fehling. Campuran sampel dan larutan Fehling dididihkan pada penangas dengan
suhu 285 oC selama 3 menit dan akan terbentuk endapan merah bata. Setelah 3
menit, sampel didinginkan. Larutan H2SO4 28% dan KI 30% masing-masing
dipipet 10 ml ke dalam campuran sampel dan Fehling. Indikator kanji 1%
ditambahkan sebanyak 3 tetes. Selanjutnya, sampel dititrasi dengan Na2S2O3 0.1
N hingga terbentuk warna putih susu. Penetapan blanko dilakukan sesuai dengan
prosedur sebelumnya tanpa menggunakan larutan sampel. Perhitungan gula
pereduksi dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

( )
( )

( )
( )

Keterangan: V1 = Volume Na2S2O3 untuk titrasi sampel (mL)


V2 = Volume Na2S2O3 untuk titrasi blanko (mL)
FP = Faktor pengenceran

Analisis Gula Sederhana Metode HPLC (AOAC 2006)

Prinsip pemisahan HPLC sama dengan prinsip kromatografi pada


umumnya yaitu berdasarkan pada perbedaan sifat dalam distribusi kesetimbangan
dari 2 komponen yang berbeda fasenya (fase diam dan fase gerak). HPLC terdiri
dari fase diam dengan permukaan aktifnya yang berupa padatan, resin penukar
ion, atau polimer berpori yang ditempatkan pada kolom serta dialiri fase gerak
cair dengan aliran yang diatur oleh suatu pompa. Analisis dengan HPLC
dilakukan pada temperatur rendah dengan adanya kompetisi 2 fase (gerak dan
diam). Migrasi dari komponen molekul akan sebanding dengan koefisien
distribusinya, maka komponen dengan distribusi tinggi pada fase diam akan
bergerak lebih perlahan didalam kolom sehingga dapat terpisah dari komponen
yang distribusinya rendah (Du & Chen 2009).
Sampel gula merah (gula kelapa dan gula tebu) harus melewati tahapan
persiapan sampel sebelum dilakukan analisis menggunakan HPLC. 0.5 g sampel
gula merah ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL. Aquabidest
ditambahkan hingga tanda tera dan dihomogenkan. Larutan sampel disaring
menggunakan mikrofilter 0.45 µm ke dalam vial 2 mL. Sampel siap diinjeksikan
ke dalam HPLC. Sebelumnya, standar gula mix (glukosa, fruktosa, sukrosa,
maltosa, dan laktosa) juga diinjeksikan ke dalam HPLC dengan deret konsentrasi
yaitu, 0.01%, 0.025%, 0.05%, 0.10%, 0.25%, 0.50%, dan 1.00%. Kondisi proses
kromatografi dapat dilihat pada Tabel 2. Perhitungan kadar gula sederhana
dilakukan menggunakan rumus:
14

( )
( )

Keterangan: As = Luas area peak sampel


a = Intercept dari kurva kalibrasi standar
b = Slope dari kurva kalibrasi standar
Vs = Volume larutan sampel (mL)
FP = Faktor pengenceran
W = Berat sampel (g)

Tabel 6 Kondisi proses HPLC


Parameter Kondisi
Kolom Waters, Carbohydrate Column, 4.60
mm x 250 mm, 4 µm
Fase gerak Asetonitril 80% : Air 20%
Laju alir 1.40 mL/menit, sistem isokratik
Volume injeksi 10 µL
Detektor Refractive Index Detector (RID)
Sensitivitas 512
Suhu kolom 35oC
Suhu detektor 35oC

Prosedur Analisis Data

Analisis sifat fisik dan kimia selanjutnya dianalisis dengan menggunakan


One Way Analysis of Variance (ANOVA) pada aplikasi statistik (SPSS 22).
ANOVA adalah suatu metode untuk menguraikan keragaman total data menjadi
komponen-komponen yang mengukur berbagai sumber keragaman. Secara
aplikatif, ANOVA digunakan untuk menguji rata-rata lebih dari dua sampel
berpengaruh secara signifikan atau tidak. Jika terdapat perbedaan nyata, maka
analisis dilanjutkan dengan uji Duncan untuk menentukan perbedaan antar
sampel. Data antar parameter dianalisis secara multivariate menggunakan
Principal Component Analysis (PCA) dan Pearson Correlation menggunakan
aplikasi XLSTAT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisik Gula Merah Kelapa dan Tebu

Faktor-faktor yang menentukan kualitas gula merah antara lain, warna,


kekerasan, dan rasa. Menurut Nurlela (2002), warna gula merah ditentukkan oleh
mutu nira yang digunakan. Nira yang telah terfermentasi mengandung asam dan
gula pereduksi relatif tinggi. Kandungan gula pereduksi berperan penting dalam
proses pencoklatan (Maillard). Gula pereduksi yang tinggi disebabkan karena
aktivitas enzim invertase yang memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.
15

Enzim invertase atau sukrase (α-D-glukosidase dan β-D-fructofuranosidase)


bekerja menghidrolisis sukrosa dengan cara memutar arah putaran optik
menghasilkan senyawa glukosa dan fruktosa (Winarno 1983). Menurut Heryani
(2016), kekerasan gula merah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti mutu nira,
kadar air, dan kadar lemak.

Kadar Kotoran

Nira mentah hasil dari penggilingan tebu berwarna coklat agak kehitam-
hitaman karena masih mengandung zat-zat bukan gula seperti kotoran kasar
(tanah, ampas halus), dan bahan tersuspensi (getah lilin, bahan organik non-
sukrosa) (Suprihatin 2007). Berdasarkan Gambar 4, diperoleh informasi bahwa
gula kelapa B1 memiliki kotoran kasar paling tinggi yaitu 3.34±0.84%. Hasil
ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nayata pada kadar kotoran
kasar di taraf signifikansi 5%. Kotoran kasar pada gula merah merupakan benda
asing yang tertahan pada saringan berukuran 120 mesh. Benda asing tersebut
berupa daging buah kelapa, bunga kelapa, serat tanaman, kayu, kerikil, pasir, dan
kotoran lainnya. Proses pembuatan gula merah yang masih tradisional merupakan
salah satu faktor utama dari keberadaan kotoran kasar tersebut. Salah satu proses
yang dapat meminimalisir kotoran kasar yaitu penyaringan nira dengan kain
sebelum proses pemasakan dan mengusahakan segala peralatan yang digunakan
sudah bersih. Menurut Maharani (2014), total padatan tak terlarut
menggambarkan keseluruhan bahan-bahan organik dan anorganik yang
terkandung di dalam suatu cairan. Total Dissoluble Solid (TDS) tidak
mengindikasikan adanya polutan dalam suatu bahan, tetapi lebih digunakan untuk
mengindikasikan nilai estetika bahan tersebut serta sebagai indikator adanya
kontaminan kimia.

4 3.34c
Kadar Kotoran Kasar

3 2.70bc 2.69bc
2.12ab 2.20ab
2 1.65a
(%)

1
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula

Gambar 4 Kadar kotoran kasar berbagai jenis gula metah

Sementara itu, kotoran yang lolos pada saringan 120 mesh dan dapat
dipisahkan dengan sentrifugasi (3500 rpm) disebut sebagai kotoran halus. Kotoran
halus merupakan suspensi yang tidak terlarut di dalam gula. Berdasarkan Gambar
5, gula kelapa A memiliki kotoran halus paling tinggi yaitu 14.20±2.32%. Gula
merah B2 memiliki kotoran halus terendah yaitu, 6.02±2.13%. Pada umumnya
kotoran halus akan mengendap pada larutan gula merah dan memiliki warna yang
lebih muda. Kotoran kasar dan halus merupakan salah satu faktor penting
16

penentuan penolakan bahan baku gula merah di industri. Jika kotoran kasar
melebihi 5% dan kotoran halus melebihi 14%, maka gula merah tersebut akan
ditolak dan dikembalikan kepada supplier. Rata-rata kotoran kasar gula merah
tebu lebih besar dibandingkan gula merah kelapa, yaitu 2.70±0.01%. Sementara
gula merah kelapa memiliki rata-rata kotoran halus yang lebih besar dibandingkan
dengan gula merah tebu, yaitu 9.65±3.52%. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa
kadar kotoran halus terdapat perbedaan nyata pada taraf signifikansi 5%.
Berdasarkan SNI 01-3743-1995 tentang syarat mutu gula palma, total bagian tidak
larut air atau kotoran yaitu maksimal 1%. Jika dilihat, terdapat perbedaan yang
cukup signifikan antara standar yang ditetapkan SNI dengan hasil analisis. Hal ini
disebabkan karena kotoran kasar dan halus masih dalam basis basah, sehingga
masih terkandung air di dalamnya.

15 14.2c
Kadar Kotoran Halus

10.37b 9.94b
10 7.99ab 7.42ab
6.02a
(%)

0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula

Gambar 5 Kadar kotoran halus berbagai jenis gula merah

Sifat Fisik Gula Merah (Bentuk, Tekstur, Warna dan Rasa)

Sifat fisik gula merah yang mudah diamati yaitu, bentuk, tekstur, warna,
dan rasa. Pada umumnya proses akhir pembuatan gula merah tradisional yaitu
pencetakan gula merah yang menggunakan cetakan yang terbuat dari bambu atau
batok kelapa Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 7), gula kelapa umumnya
menggunakan cetakan dari bambu sehingga gula yang dihasilkan berbentuk
silinder. Pada pembuatan gula kelapa A pengrajin juga menggunkan cetakan dari
batok kelapa, yang menghasilkan gula berbentuk setengah lingkaran. Namun,
pada pembuatan gula tebu tidak melalui proses pencetakan gula menggunakan
bambu atau batok kelapa. Bentuk gula tebu yang dihasilkan yaitu berupa granula
atau bongkahan besar.
Warna yang dihasilkan pada pengolahan gula merah berasal dari reaksi
maillard dan karamelisasi. Reaksi karamelisasi pada gula merah dapat terjadi
apabila pemasakan nira telah mencapai suhu yang tinggi (≥120oC) yang umumnya
dicapai diakhir proses pemasakan (Safitri 2017). Reaksi Maillard merupakan
reaksi pencoklatan non-enzimatik yang terjadi melalui reaksi antara gugus
karbonil dari gula pereduksi dengan gugus amino primer dari asam amino,
peptida, dan protein (Manzocco et al. 2011). Warna yang dihasilkan gula kelapa
umumnya yaitu cokelat muda hingga cokelat tua. Sementara warna yang
dihasilkan gula tebu umunya lebih gelap, yaitu coklat tua hingga hitam. Hal ini
17

disebabkan karena kandungan gula pereduksi nira tebu lebih besar dibandingkan
nira kelapa. Nira tebu mengandung 0.54 - 1.59% gula pereduksi (Erwinda dan
Susanto 2014) dan nira kelapa mengandung 0.16 - 0.99% gula pereduksi
(Haryanti 2017).

Tabel 7 Sifat fisik gula merah kelapa dan tebu secara deskriptif
Jenis Gula Bentuk Tekstur Warna Rasa
Sedikit Manis, agak
Silinder,
GK A berpasir, Cokelat tua pahit, ada
setengah bulat
sedikit keras flavor besi
Cokelat muda- Manis, sedikit
GK B1 Silinder Keras
tua asin
Cokelat muda-
GK B2 Silinder Keras Sangat manis
tua
Cokelat muda-
GK B3 Silinder Keras Manis
tua
Cokelat tua- Sangat manis,
GT C1 Granula besar Lunak
hitam agak pahit
Cokelat tua- Sangat manis,
GT C2 Granula besar Lunak
hitam agak pahit

Sukrosa merupakan komponen utama penyusun gula merah dan


berkontribusi menghasilkan rasa manis. Selain sukrosa, golongan gula pereduksi
seperti glukosa dan fruktosa juga berkontribusi menghasilkan rasa manis. Pada
gula tebu dan gula kelapa A terdapat rasa sedikit pahit yang muncul meskipun
tidak mendominasi. Menurut Lund dan Ray (2017), reaksi maillard yang
berlebihan akan menciptakan rasa pahit dan burnt pada produk pangan. Hal
tersebut menunjukkan reaksi maillard yang terjadi pada gula tebu cukup tinggi
dan dapat dilihat dari warna gula yang sangat gelap atau kehitaman. Pada gula
kelapa A juga muncul sedikit flavor besi selain rasa manis. Gula kelapa B1 juga
memiliki rasa selain manis, yaitu asin yang mungkin disebabkan oleh residu
natrium metabisulfit yang tertinggal di dalam gula. Perolehan skor tiap parameter
fisik dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sifat fisik gula merah kelapa dan tebu secara kuantitatif
Skor
Jenis Gula
Tekstur Warna Rasa
GK A 3 4 3
GK B1 4 3.5 3.5
GK B2 4 3.5 5
GK B3 4 3.5 4
GT C1 2 4.5 4.5
GT C2 2 4.5 4.5
18

Karakteristik Kimia Gula Merah Kelapa dan Tebu

Karakteristik kimia gula merah yang dianalisis terdiri dari: kadar air, pH,
derajat Brix, gula pereduksi, total gula, dan residu sulfit. Interaksi dari tiap
parameter akan menentukan kualitas gula merah kelapa dan tebu dan menciptakan
ciri khas gula merah dari produk pemanis alami yang lain.

Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu faktor penting penentu kualitas gula.
Konsumen pada umunya menyukai gula merah dengan kadar air relatif rendah
karena akan mempermudah dalam proses pengolahannya. Air merupakan salah
satu komponen yang berpengaruh terhadap keempukan gula. Semakin tinggi
kadar air maka kekerasan gula merah akan semakin rendah, sebaliknya
keempukan gula akan semakin meningkat dengan meningkatnya kadar air dalam
gula merah (Sudarmadji et al. 1989). Proses pemasakan gula merah akan
mengurangi kadar air gula karena adanya proses evaporasi. Evaporasi merupakan
proses pemasakan dimana air diuapkan dari bahan pangan yang bersifat cair
dengan tujuan untuk mengentalkan, meningkatkan total padatan, mengurangi
aktivitas air, dan meningkatkan perubahan warna atau flavor (Estiasih dan
Ahmadi 2011).

12
9.57b 9.17b 8.83ab 8.50ab 8.68ab
10
Kadar Air (%)

7.83a
8
6
4
2
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula

Gambar 6 Kadar air berbagai jenis gula merah

Berdasarkan Gambar 6, kadar air tertinggi diperoleh dari gula kelapa A,


yaitu 9.57±0.55%. Kadar air yang tinggi pada gula kelapa A menyebabkan gula
mudah diiris dan cepat larut dalam air. Menurut Imanda (2007), kadar air yang
tinggi menandakan telah terjadi penyerapan uap air dari lingkungan, pada
dasarnya produk gula palma cetak merupakan produk yang higroskopis (mudah
menyerap air dari lingkungan). Kondisi penyimpanan dan penanganan yang tidak
sesuai selama penyimpanan dapat berpengaruh terhadap perubahan kadar air.
Rata-rata kadar air gula kelapa lebih tinggi dibandingkan gula tebu, yaitu
8.85±0.74%. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada
kadar air di taraf signifikansi 5%, terutama kadar air gula kelapa B1. Menurut SNI
01-3743-1995 tentang syarat mutu gula palma, kadar air maksimal untuk gula
merah kelapa, yaitu 10%. Sehingga gula kelapa yang digunakan untuk pembuatan
19

kecap manis sudah sesuai dengan standar. Sementara itu, menurut SNI 01-6237-
2000 tentang syarat mutu gula merah tebu, gula tebu C1 dan C2 masuk ke dalam
kategori mutu II. Hal ini disebabkan karena rata-rata kadar airnya yaitu
8.59±0.13%. Kadar air tersebut melebihi batas maksimum mutu I yaitu 8%,
namun berada dibawah batas maksimum mutu II yaitu 10%. Pada penelitian
sebelumnya (Maharani et al. 2014), kadar air gula merah yang dihasilkan berkisar
antara 8.3% sampai 12%.

Derajat Brix

Brix adalah zat padat kering yang terlarut dalam suatu larutan yang
dihitung sebagai sukrosa. Brix juga dapat didefinisikan sebagai persentase massa
sukrosa yang terkandung di dalam massa larutan sukrosa. Sedangkan massa
larutan sukrosa adalah massa sukrosa yang ditambah dengan massa pelarutnya
(Hidayanto 2010). Derajat brix ditentukan dengan alat refraktometer yang
menggunakan prinsip pembiasan cahaya. Pada umumnya derajat brix merupakan
satuan yang digunakan untuk mengukur tingkat kemanisan buah (Ranny 2016).
Berdasarkan Gambar 7, gula C2 memiliki derajat Brix tertinggi yaitu, 92.30±1.68.
Hal ini menandakan gula merah C2 memiliki rasa manis yang lebih tinggi
dibanding gula lain. Namun, rasa manis yang terlalu tinggi justru akan
menghasilkan sensasi rasa pahit di akhir. Berdasarkan hasil ANOVA terdapat
perbedaan nyata dengan taraf signifikansi 5% pada derajat Brix berbagai jenis
gula merah. Gula merah B2, B3, C1, dan C2 tidak berbeda nyata derajat Brixnya,
namun berbeda nyata dengan gula merah A dan B1. Gula merah tebu
(91.91±0.56) umumnya memiliki derajat Brix yang lebih tinggi dibandingkan
dengan gula merah kelapa (89.59±2.07).

94 92.30c
92 91.23c 91.16c 91.51c
90 89.11b
oBrix

88 86.85a
86
84
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula

Gambar 7 Derajat Brix berbagai jenis gula

Derajat Brix menggambarkan total padatan terlarut dalam suatu bahan


pangan (total gula, asam organik, soluble asam amino) (Curi et al. 2017). Menurut
penelitian yang dilakukan Saputra (2015), gula merah mengandung asam-asam
organik berupa asam piroglutamat, malat, laktat, askorbat, dan asetat. Nilai derajat
Brix yang melebihi 92 akan menghasilkan after taste gula yang cenderung agak
pahit. Seperti contohnya gula merah tebu C2. Menurut penelitian yang dilakukan
Hidayanto (2010), semakin tinggi derajat Brix akan menyebabkan viskositasnya
meningkat.
20

Total Gula

Gula merah yang baik merupakan gula yang banyak mengandung sukrosa
karena semakin tinggi kadar sukrosa yang terkandung, maka akan semakin mudah
gula untuk mengkristal atau bergranulasi. Menurut Radam (2014), semakin tinggi
kandungan sukrosa maka akan semakin keras gula merah yang dihasilkan.
Sukrosa sebagai komponen utama penyusun gula merah merupakan komponen
gula yang kurang stabil. Proses pemanasan pada produksi gula merah akan
menyebabkan inversi sukrosa menjadi molekul glukosa (dekstrosa) dan fruktosa
(levulosa) sebagai gula pereduksi. Total gula merupakan total kandungan gula non
pereduksi (sukrosa) dan gula pereduksi (glukosa dan sukrosa). Salah satu penentu
kualitas gula merah merupakan total gula yang terkandung di dalamnya.

78 77.81a 77.67a
77.38a
77.5
Total Gula (%)

76.94a
77
76.37a
76.5 76.19a
76
75.5
75
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula

Gambar 8 Kadar total gula berbagai jenis gula merah

Berdasarkan Gambar 8, gula merah B3 memiliki kandungan total gula


paling tinggi, yaitu 77.81±2.70%. Gula merah tebu memiliki total gula
(77.53±0.21%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan gula merah kelapa
(76.83±0.73%). Hasil analisa ANOVA menunjukkan kadar total gula keenam
sampel tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Menurut Orlandi (2017),
gula merah berkualitas tinggi memiliki kadar total gula pereduksi minimal 90%.
Total gula dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai total gula pereduksi
karena sampel gula merah yang mengandung sukrosa tinggi dihidrolisis terlebih
dahulu menggunakan HCl 20%, sehingga kandungan gula yang terukur
merupakan total gula pereduksi. Semakin tinggi kadar total gula pada bahan baku
gula merah, maka semakin manis kecap kedelai manis yang dihasilkan

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH pada gula merah menentukkan kualitas nira


yang digunakan pada produksi gula merah. Nira adalah cairan yang keluar dari
pembuluh tapis hasil penyadapan tongkol (tandan) bunga, baik bunga jantan
maupun betina yang mempunyai rasa manis dari jenis tanaman tertentu (Heryani
2016). Salah satu sifat nira tebu yaitu asam dengan pH 4.9-5.5. Sementara itu, nira
kelapa berkualitas baik memiliki pH sekitar 6-7 (Indahyanti 2014). Nira
merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak karena kontaminasi
mikroba. Proses kerusakan nira sebenarnya sudah dimulai sejak awal produksi.
21

Infeksi mikroba ke dalam nira terjadi selama panen tebu dimana terjadi kontak
antara batang tebu dengan pisau atau tanah. Kerusakan nira ditandai dengan rasa
nira menjadi masam, berbuih putih dan berlendir. Kerusakan ini terjadi karena
aktivitas mikroorganisme terhadap kandungan nira yaitu sukrosa (Erwinda dan
Susanto 2014).

8 7.28c
5.88ab 6.24b 6.11ab 5.59ab 5.43a
6
pH

4
2
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula

Gambar 9 Derajat keasaman (pH) berbagai jenis gula merah

Salah satu faktor yang menentukan warna gula merah yang dihasilkan
adalah pH awal nira yang digunakan. Selama pemasakan nira, pH gula merah
akan semakin menurun. Seiring dengan penurunan pH, warna gula merah akan
semakin keruh (Safitri 2017). Menurut Naknean et al. (2013), kekeruhan pada
gula merah sangat berhubungan dengan kandungan protein dan polifenol. Reaksi
kompleks antara protein dan polifenol akan menghasilkan koloid berukuran besar.
Selain itu, interaksi antara gula atau ion logam dengan protein juga dapat
membentuk kekeruhan. Berdasarkan Gambar 9, pH gula tertinggi diperoleh dari
gula kelapa A yaitu 7.24±0.21. Hasil ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan
nyata pada derajat keasamaan di taraf signifikansi 5%.

Gula Pereduksi

25
Gula Perduksi (%)

19.84d
20 17.13c
15
10 8.39b 6.98b
6.69b
5 2.06a
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula

Gambar 10 Kadar gula pereduksi berbagai jenis gula merah

Berdasarkan Gambar 10, gula merah tebu C2 memiliki kadar gula


pereduksi tertinggi yaitu 19.84±0.31%. Gula merah kelapa A memiliki kadar gula
pereduksi terendah yaitu 2.06±0.33%. Rata-rata kadar gula pereduksi gula merah
22

kelapa (6.03±2.75%) lebih kecil dibandingkan dengan gula merah tebu


(18.49±1.92%). Kadar gula pereduksi yang tinggi menyebabkan warna gula tebu
C1 dan C2 berwarna coklat tua hingga hitam. Menurut SNI 01-3743-1995 tentang
syarat mutu gula palma, kadar maksimal gula pereduksi gula merah kelapa yaitu
10%. Sementara itu, menurut SNI 01-6237-2000 tentang syarat mutu gula merah
tebu, kadar maksimal gula pereduksi gula merah tebu yaitu 11% (Mutu I) dan
14% (Mutu II). Gula merah kelapa yang digunakan untuk pembuatan kecap manis
sesuai dengan SNI, sedangkan gula merah tebu tidak sesuai dengan SNI.
Berdasarkan hasil ANOVA, terdapat perbedaan nyata pada kadar gula pereduksi
berbagai jenis gula dengan taraf signifikansi 5%. Gula pereduksi pada sampel gula
jenis B tidak terdapat perbedaan nyata, karena berada pada subset yang sama jika
dilakukan analisa Duncan.

Residu Sulfit

Pembuatan gula secara tradisioanl hanya melalui proses pemasakan nira


hingga terbentuk kristal-kristal gula akibat proses evaporasi. Namun, beberapa
pengrajin menambahkan bahan kimia tambahan agar gula merah yang dihasilkan
bermutu baik. Salah satu bahan tambahan yang digunakan, yaitu natrium
metabisulfit. Molekul sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil sehingga
reaksi itu akan meningkatkan melanoidin sehingga menghambat timbulnya warna
coklat (Rosanti 2016). Berdasarkan Gambar 11, residu sulfit terbesar berasal dari
gula kelapa B1, yaitu sebesar 9.30±11.62 ppm. Rata-rata kada residu sulfit gula
kelapa (6.70±6.40 ppm) lebih besar dibandingkan gula tebu (2.30±1.61 ppm).
Hasil ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata pada residu sulfit di
taraf signifikansi 5%. Menurut SNI 01-6237-2000 tentang syarat mutu gula
merah tebu, batas maksimal residu sulfit yang diizinkan yaitu 20 ppm.

10 9.30a
8.16a
Residu Sulfit (ppm)

8
6 5.35a
4.19a
4 2.84a
1.75a
2
0
A B1 B2 B3 C1 C2
Jenis Gula

Gambar 11 Kadar residu sulfit berbagai jenis gula merah

Menurut Rosanti (2016), kandungan residu sulfit yang terlalu besar akan
menyebabkan gangguan pencernaan dan membahayakan bagi kesehatan
masyarakat. Kadar sulfit yang rendah tidak berbahaya bagi tubuh, karena tubuh
manusia mampu memetabolisme sulfit menjadi sulfat yang dikeluarkan bersama
urine. Hal ini berarti penggunaan sulfit dengan konsentrasi 2500 ppm pada bahan
pangan kering masih cukup aman (Winarno 1992). Pada dasarnya gula merah
yang digunakan sebagai bahan baku kecap manis ini tidak ditambahkan natrium
23

metabisulfit secara langsung oleh pengrajin. Gula merah yang mengandung sulfit
umumnya diperjualbelikan ke pasar tradisional. Namun, para pengrajin tersebut
menggunakan wajan yang sama untuk membuat gula non-sulfit dan gula sulfit.
Proses pencucian wajan yang tidak sempurna menyebabkan masih terdapat residu
sulfit pada wajan dan akhirnya terbawa ke dalam gula non-sulfit.

Hubungan antara Profil Komponen Gula dengan Karakteristik Fisik dan


Kimia Gula Merah

Penentuan gula pereduksi selama ini dilakukan dengan metode


pengukuran konvensional seperti metode osmometri, polarimetri, dan
refraktometri maupun berdasarkan reaksi gugus fungsional dari senyawa sakarida
tersebut (seperti metode Luff-Schorl, Seliwanoff, Nelson-Somogyi dan lain-lain).
Hasil analisisnya adalah kadar gula pereduksi total dan tidak dapat menentukan
gula pereduksi secara individual (Ratnayani 2008). Metode lain yang lebih
komprehensif, yaiu dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid
Chromatography) yang mampu menganalisa jenis gula pereduksi bahkan
sekaligus dengan sukrosa (Pontoh 2012).

Tabel 9 Profil komponen gula merah kelapa dan tebu


Parameter Gula Kelapa A Gula Kelapa B2 Gula Tebu C2
Profil Komponen Gula
Sukrosa (%) 67.01 77.84 71.22
Glukosa (%) 2.26 2.55 4.42
Fruktosa (%) 1.96 2.48 4.76
Gula Pereduksi (%) 4.22 5.03 9.18
Total Gula (%) 71.23 82.87 80.40
Karakteristik Kimia
o
Brix 85.77 91.48 93.75
pH 7.72 5.84 5.60
Kadar Air (%) 7.32 9.20 2.96
Total Gula (%) 75.66 75.11 76.91
Gula Pereduksi (%) 2.20 8.56 8.79

Pada dasarnya komponen gula (sukrosa, glukosa, dan fruktosa) tidak


terlalu berpengaruh terhadap bentuk gula yang dihasilkan, karena bentuk gula
merah menyesuaikan dengan bentuk cetakan yang digunakan. Profil komponen
gula sangat berpengaruh terhadap tekstur, warna dan rasa. Sampel gula merah
yang digunakan dalam penentuan komponen gula yaitu, gula kelapa A, gula
kelapa B2, dan gula kelapa C2. Pemilihan sampel tersebut berdasarkan intensitas
kedatangan gula merah. Ketiga sampel tersebut memiliki intensitas kedatangan
yang tinggi dari setiap jenis gula merah. Berdasarkan hasil analisa HPLC (Tabel
9), komponen utama penyusun gula merah yaitu sukrosa dan gula pereduksi
(glukosa dan fruktosa). Gula kelapa B2 memiliki kadar sukrosa tertinggi dari
ketiga sampel yaitu 77.84%. Sementara kadar sukrosa terendah terdapat pada gula
24

kelapa A, yaitu 67.01%. Gula tebu C2 memiliki kadar sukrosa sebesar 71.22%.
Menurut SNI 01-3743-1995 tentang syarat mutu gula palma, kadar minimal
sukrosa pada gula palma atau kelapa yaitu 77%. Gula kelapa B2 kadar sukrosanya
sudah sesuai dengan SNI, namun tidak untuk gula kelapa A karena kadar
sukrosanya kurang dari 77%. Sementara itu, menurut SNI 01-6237-2000 tentang
syarat mutu gula merah tebu, kadar minimal sukrosa yaitu 65% (Mutu I) dan 60%
(Mutu II). Gula tebu C2 masuk ke dalam mutu I karena kadar sukrosa yang
terkandung lebih dari 65%.
Sukrosa merupakan komponen yang menentukan tingkat kekerasan gula
karena proses pengkristalan yang terjadi selama proses pemasakan. Menurut
Radam (2014), semakin tinggi kandungan sukrosa maka akan semakin keras gula
merah yang dihasilkan. Gula kelapa B2 memiliki tekstur keras, karena memiliki
kandungan sukrosa tertinggi. Gula tebu C2 meskipun memiliki kadar sukrosa
lebih tinggi dibanding gula kelapa A, tetapi memliki tekstur yang lebih lunak
dibandingkan gula kelapa A. Hal ini disebabkan karena kandungan gula
pereduksinya lebih tinggi, sehingga mengurangi tingkat kekerasan gula.
Berdasarkan analisa kadar air yang dilakukan, terdapat beberapa penyimpangan.
Semakin tinggi kadar air, seharusnya gula merah akan semakin lunak. Namun,
pada gula merah B2 terjadi sebaliknya. Hal tersebut disebabkan karena proses
transportasi dan penyimpanan gula yang kurang sesuai, mengingat gula
merupakan bahan pangan yang cukup higroskopis.
Urutan total gula pereduksi tertinggi, yaitu gula tebu C2 (9.18%), gula
kelapa B2 (5.03%), dan gula kelapa A (4.22%). Hasil tersebut sesuai dengan
kadar gula pereduksi yang dihasilkan dengan metode Iodometri. Namun, ada
beberapa perbedaan dari kadarnya. Seperti contohnya pada gula kelapa B2, kadar
gula pereduksi metode Iodometri (8.56%) lebih besar dibandingkan dengan
metode HPLC (5.03%). Rendahnya kandungan gula pereduksi metode HPLC
dapat disebabkan karena sensitivitas peralatan yang rendah (Pontoh 2012).
Kandungan glukosa dan fruktosa ketiga sampel gula merah cenderung tidak
terlalu berbeda. Gula tebu C2 memiliki kandungan fruktosa (4.76%) yang lebih
tinggi dibandingkan dengan glukosa (4.42%). Namun, terjadi sebaliknya pada
gula kelapa A dan gula kelapa B2.
Gula pereduksi dan pH mempengaruhi karakteristik warna atau intensitas
pencoklatan pada gula merah. Reaksi Maillard sangat dipengaruhi oleh pH, ketika
pH tinggi maka reaksi Maillard atau intensitas warna coklat yang dihasilkan juga
tinggi (Karseno et al. 2018). Pada umumnya ketika pH rendah, nira akan
terfermentasi dan menginversi sukrosa menjadi gula pereduksi. Namun, pada pH
rendah, gugus amino akan terprotonasi, jadi hanya sedikit gugus amino yang
tersedia untuk reaksi Maillard (El-Ghorab et al. 2010). Jadi, meskipun banyak
gula pereduksi yang tersedia pada pH rendah, tetapi tidak meningkatkan reaksi
Maillard karena tidak tersedianya gugus amino yang cukup. Hal tersebut terjadi
pada gula kelapa A yang memiliki warna cokelat tua pada pH 7.72. Gula kelapa
B2 memiliki warna yang lebih muda dibandingkan dengan gula kelapa A karena
pH yang dihasilkan lebih rendah (5.84). Pada gula tebu C2, warna yang
dihasilkan yaitu cokelat tua hingga hitam pada pH 5.60. Hal tersebut terjadi
karena kandungan protein dan gula pereduksi pada nira tebu lebih besar
dibandingkan nira kelapa, sehingga cukup banyak gugus amino yang tersedia
untuk reaski Maillard meskipun pada pH rendah. Kandungan protein pada nira
25

tebu yaitu 0.5 – 2.5%, sementara pada nira kelapa yaitu 0.02 – 0.03% (Chen dan
Chou 1993; Muchtadi 2010).
Gula pereduksi dapat mempengaruhi proses pengkristalan gula. Semakin
tinggi kandungan gula pereduksi dalam suatu bahan gula, maka akan menghambat
proses pengkristalan gula (Rumayar 2012). Gula pereduksi merupakan prekusor
dalam reaksi Maillard yang berperan penting dalam proses pembentukkan warna
pada gula merah. Semakin tinggi gula pereduksi, warna gula merah yang
dihasilkan akan semakin gelap atau berwarna coklat tua hingga kehitaman. Faktor
penting lainnya yang mempengaruhi pembentukkan warna gula merah yaitu
modifikasi komponen strukturalnya, karena pH membatasi pigmen natural yang
terkandung di dalam nira. Flavonoid merupakan salah satu komponen paling kritis
pada proses pengolahan gula dan bertanggung jawab sebanyak 30% dari
pembentukkan warna yang terjadi pada gula dengan pH 7.0 (Orlandi 2017).
Berdasarkan analisis Pearson Corelation (Lampiran 3), terdapat korelasi
positif antara derajat Brix dengan beberapa komponen gula (sukrosa, glukosa, dan
fruktosa). Semakin tinggi kandungan komponen gula tersebut, maka semakin
tinggi derajat Brix yang dihasilkan. Fruktosa memiliki korelasi tertinggi (r =
0.830) dibandingkan dengan glukosa (r = 0.800) dan sukrosa (r = 0.597). Tingkat
kemanisan relatif sukrosa yaitu 1, sementara glukosa sebesar 0.56 dan fruktosa
sebesar 1.3 (Parker 2010). Namun Brix tidak bisa semata-mata digunakan untuk
menentukkan tingkat kemanisan gula karena terdapat beberapa komponen lain
selain gula yang terlarut dalam air.

Analisis Principal Component Analysis (PCA) dan Pearson Corelation

Principal Component Analysis (PCA) merupakan analisis multivariat yang


hasil observasi atau pengamatannya dijelaskan oleh beberapa variabel kuantitatif
yang saling terkait (Abdi dan Williams 2010). Tujuan analisis PCA pada
penelitian kali ini adalah untuk melihat pengaruh asal daerah dan jenis bahan baku
gula merah terhadap karakteristik fisikokimia yang dihasilkan. Hasil PCA pada
Gambar ... menunjukkan komponen F1 dan F2 merepresentasikan 75.88% total
keragaman data. Total keragaman ini sudah baik karena mampu menerangkan
lebih dari 70 % total keragaman data (Everitt dan Dunn 1998). Total parameter
yang diuji yaitu 11 parameter, dengan 6 parameter kimia (kadar air, pH, derajat
Brix, total gula, gula pereduksi, dan residu sulfit) dan 5 parameter fisik (kotoran
kasar, kotoran halus, rasa , tekstur, dan warna).
Berdasarkan hasil analisis PCA, gula merah tebu C1 dan C2 berada pada
kuadran I dengan parameter yang paling dominan yaitu warna, gula pereduksi,
dan total gula. Gula merah kelapa A berada pada kuadaran II dengan parameter
dominan yaitu kadar air, kotoran halus, dan pH. Sementara gula merah kelapa B1,
B2, dan B3 berada pada kuadran III dengan parameter dominan yaitu sulfit dan
tekstur. Pada kuadran IV terdapat parameter rasa, derajat Brix, dan kotoran kasar.
Namun tidak terdapat sampel gula merah pada kuadran IV. Hal ini menunjukkan
bahwa ketiga parameter tersebut bukanlah parameter dominan untuk semua
sampel gula merah kelapa dan tebu. Jika dilihat, gula merah tebu dan kelapa. Gula
kelapa A yang berasal dari Jawa Timur memiliki ciri-ciri yang cukup berbeda dari
keenam sampel gula merah. Berdasarkan hasil analisis PCA, dapat dikatakan
26

bahwa asal daerah dan jenis bahan baku berpengaruh terhadap karakteristik
fisikokimia yang dihasilkan.
Selain dapat melihat parameter dominan tiap sampel, analisis PCA juga
dapat melihat korelasi dari tiap parameter yang diuji. Jika dilihat pada Gambar 12,
parameter yang berdekatan akan menunjukkan korelasi positif, sementara
parameter yang berseberangan akan menunjukkan korelasi negatif. Menurut
Sarwono (2009), korelasi yang sangat kuat antar parameter jika nilai r 0.75.
Berdasarkan analisis Pearson Corelation (Lampiran 2), terdapat korelasi positif
yang sangat kuat terdapat pada beberapa parameter, yaitu antara derajat Brix
dengan total gula (r = 0.841), kadar residu sulfit dengan tekstur (r = 0.808), dan
rasa dengan derajat Brix (r = 0.882). Sementara itu terdapat korelasi negatif yang
sangat kuat pada beberapa parameter, yaitu antara pH dengan kotoran kasar (r = -
0.764), kadar air dengan kotoran kasar (r = -0.981), derajat Brix dengan kotoran
halus (r = -0.871), derajat Brix dengan pH (r = -0.846), gula pereduksi dengan pH
(r = -0.875), warna dengan residu sulfit (r = -0.808), dan warna dengan tekstur (r
= -1.000).
1.5
A

Warna
1
Kadar Air
Kotoran Halus
C1 C2
0.5 pH
Gula Pereduksi
F2 (25.27 %)

Total Gula
0

B3 Rasa Brix
-0.5

Kotoran Kasar
B2
-1 Sulfit
Tekstur

B1
-1.5
-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
F1 (50.61 %)

Gambar 12 Biplot analisis PCA sampel gula merah kelapa dan tebu
berdasarkan karakteristik fisik dan kimia

Analisis Pearson Corelation digunakan untuk melihat signifikansi pada


taraf signifikansi 5% pada setiap korelasi antar parameter yang diuji. Berdasarkan
Lampiran 2, terdapat korelasi yang signifikan (p < 0.05) pada beberapa parameter,
yaitu antara kadar air dengan kotoran kasar (p = 0.001), derajat Brix dengan
kotoran halus (p = 0.024), derajat Brix dengan pH (p = 0.034), gula pereduksi
27

dengan pH (p = 0.022), rasa dengan kotoran halus (p = 0.020), rasa dengan


derajat Brix (p = 0.020), total gula dengan derajat Brix (p = 0.036) dan warna
dengan tekstur ( p < 0.0001).
Korelasi negatif dan signifikan antara gula pereduksi dan pH (r = -0.875, p
= 0.022) sesuai dengan pernyataan yang disampaikan Sukoyo (2014), yaitu
semakin rendah pH dan semakin tinggi suhu penguapan, laju inversi akan semakin
tinggi. Proses inversi sukrosa yang terjadi pada suasana asam dimana semakin
tinggi suhu maka semakin banyak presentasi gula invert atau gula reduksi yang
terbentuk (Erwinda dan Susanto 2014). Penurunan nilai pH menyebabkan
peningkatan reaksi inversi sukrosa dalam nira tebu. Sukrosa pada kondisi asam
dapat terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa yang disebut gula reduksi karena
adanya gugus OH bebas yang reaktif (Kuncara 2010). Gula pereduksi yang tinggi
menyebabkan warna gula yang dihasilkan akan semakin gelap akibat dari reaksi
Maillard yang terjadi. Menurut Orlandi (2017), semakin tinggi suhu pemasakan
dan semakin rendah pH nira akan menunjukkan kecenderungan penggelapan
warna gula yang dihasilkan. Kecap kedelai manis yang menggunakan gula merah
dengan kadar gula pereduksi cukup tinggi akan menghasilkan warna yang lebih
gelap. Hal tersebut disebabkan karena gula pereduksi akan memicu reaksi
Maillard yang terjadi selama pemasakan kecap dan ditambah dengan keberadaan
asam-asam amino dari kacang kedelai yang digunakan.
Menurut penelitian yang dilakukan Nistiyanti dan Hidayanto (2015),
peningkatan larutan sukrosa (derajat Brix) akan menyebabkan penurunan nilai pH
pada sampel susu, madu, dan cuka karena berkontribusi dalam penambahan ion
H+, sehingga pH akan menurun. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis PCA dan
Pearson Corelation antara pH dengan derajat Brix yang berkorelasi negatif dan
signifikan (r = -0.846, p = 0.034). Semakin tinggi derajat Brix pada gula merah,
maka nilai pH yang dihasilkan akan semakin rendah. Menurut penelitian
Farahnaky et al. (2016), semakin tinggi konsetrasi sirup kurma dan larutan
sukrosa akan menyebabkan penurunan nilai pH. Hal ini disebabkan karena
penambahan komponen pada air dapat menyebabkan penurunan nilai pH.
Korelasi positif dan signifikan antara derajat Brix dan rasa (r = 0.882, p =
0.020) menunujukkan bahwa semakin tinggi derjat Brix gula merah, maka
semakin ringgi rasa manis yang ditimbulkan. Menurut Magwaza dan Opara
(2015), semakin tinggi total soluble solid (TSS) berkorelasi dengan semakin
tingginya tingkat kemanisan. TSS dapat diukur dengan derajat Brix yang secara
teknis menggambarkan kandungan gula di dalam bahan pangan. Semakin tinggi
total gula pada gula merah, maka semakin tinggi pula derajat Brix yang
dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat antara korelasi signifikan antara derajat Brix
dan total gula (r = 0.841, p = 0.036)
Tekstur gula merah berkorelasi negatif dan signifikan dengan warna gula
merah (r = -1.000, p < 0.0001). Warna gula yang semakin gelap mengindikasikan
telah terjadi reaksi Maillard yang tinggi akibat banyak terkandung gula pereduksi.
Dikaitkan dengan sifat higroskopisnya, gula pereduksi akan menyebabkan
peningkatan kadar air sehingga kekerasan gula menurun (Santoso 1993). Semakin
gelap warna gula, maka tekstur gula yang dihasilkan akan semakin lunak. Tekstur
juga berkorelasi kuat namun tidak signifikan dengan residu sulfit. Penambahan
sulfit berfungsi untuk mencegah reaksi Maillard dengan cara mencegah inversi
sukrosa, sehingga kadar sukrosa akan tinggi dan tekstur menjadi keras.
28

Menurut penelitian yang dilakukan Safitri (2017), gula merah dengan nilai
pH tinggi memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan gula merah dengan
nilai pH yang lebih rendah. Hal tersebut karena nira pada pH tinggi masih
mengandung sukrosa dalam jumlah banyak. Seiring dengan semakin lama waktu
penyimpanan nira maka proses fermentasi akan mengubah sukrosa hingga
menghasilkan komponen air yang akan meningkatkan kadar air nira. Sehingga
semakin rendah nilai pH maka kadar air gula merah akan semakin tinggi. Nira
yang baik mempunyai pH antara 5-7 (Estiasih 2009). Berdasarkan analisis
Pearson Corelation, terdapat korelasi positif antara pH dan kadar air namun tidak
kuat (r = 0.718). Salah satunya penyebabnya adalah kondisi transportasi gula.
Gula kelapa A berasal dari Jawa Timur yang membutuhkan waktu sekitar 2 hari
untuk mencapai pabrik pengolahan kecap, sehingga banyak gula yang meleleh
sebagian karena kondisi panas di dalam truk pengangkut gula. Pada proses
pengolahan gula merah beberapa pengrajin menambahkan kapur (Ca(OH)2) pada
larutan nira. Penambahan Ca(OH)2 dimaksudkan untuk mengikat dan
mengendapkan kotoran yang bebas dari saringan kain dan meningkatkan pH nira
sehingga kapang tidak bisa tumbuh (Dewi et al. 2014).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Gula merah kelapa dan tebu memiliki beberapa ciri khas dari segi
komponen penyusunnya. Berdasarkan hasil analisis, terdapat hubungan antara asal
daerah produsen gula dan bahan baku gula terhadap karakteristik fisikokimianya.
Gula merah tebu (C1 dan C2) yang berasal dari Jawa Tengah memiliki warna
yang paling pekat serta total gula dan kadar gula pereduksi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan gula merah kelapa. Sementara gula merah kelapa A yang
berasal dari Jawa Timur memiliki kadar air, pH dan kadar kotoran halus yang
lebih tinggi dibandingkan dengan gula merah lainnya. Gula merah kelapa yang
berasal dari Jawa Barat (B1 dan B2) dan Jawa Tengah (B3) memiliki kadar residu
sulfit yang tinggi serta tekstur yang lebih keras dibandingkan gula merah lainnya.
Sementara kotoran kasar, derajat Brix, dan rasa bukan merupakan parameter yang
dominan terdapat pada keenam gula merah. Hasil analisis profil gula sederhana
menunjukkan bahwa sukrosa (dominan), fruktosa dan glukosa merupakan
kandungan penyusun utama gula merah. Fruktosa merupakan komponen yang
berkorelasi paling tinggi dengan derajat Brix dalam hal menciptakan rasa manis
pada gula merah. Hubungan korelasi tertinggi yaitu antara warna dan tekstur (r = -
1.000, p < 0.0001).

Saran

Penelitian selanjutnya perlu dilakukan untuk melihat pengaruh komponen


gula merah terhadap sifat fisik, kimia, dan organoleptik kecap kedelai manis yang
dihasilkan. Selain itu, perlu ada kajian mengenai bahan baku nira yang digunakan
untuk pembuatan gula merah kelapa dan tebu.
29

DAFTAR PUSTAKA

Abdi H, Williams LJ. 2010. WIREs Comp Stat: Pricipal Component Analysis
Volume 2. New York (US): John Wiley and Sons Inc.
[AOAC] Association of Official Analythical Chemist. 2000. Official Method
990.28. Sulfites in Foods, Optimized Monier-Williams Method.
Washington DC (US): Benjamin Franklin Station.
[AOAC] Association of Official Analythical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of the Association of Official Analythical Chemist. Washington
DC (US): Benjamin Franklin Station.
[AOAC] Association of Official Analythical Chemist. 2006. Official Method
977.20. Separation of Sugar in Honey, Liquid Chromatography Method.
Washington DC (US): Benjamin Franklin Station.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Surat Keputusan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
HK.00.05.52.4040 tentang Kategori Pangan. Jakarta (ID): BPOM.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia SNI 01-
3743-1995 tentang Gula Palma. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standar Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia SNI 01-6237-
2000 tentang Gula Merah Tebu. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia SNI
3140.1:2008 tentang Gula Kristal Mentah. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. Standar Nasional Indonesia SNI
3543: 2013 tentang Kecap Kedelai Manis bagian 1. Jakarta (ID): BSN.
Chen JCP, Chou CC. 1993. Cane Sugar Handbook 12th Edition. New York (US):
John Wiley & Sons, Inc.
Curi PN, Carvalho CS, Saldago DL, Pio R, Pasqual M, Souza FBM, Souza VR.
2014. Influence of different types of sugars in physalis jellies. Food Sci.
Technol. Campinas. 37(3): 349-355.
Dewi SR, Izza N, Agustiningrum DA, Indriani DW, Sugiarto Y, Maharani DM,
Yulianingsih R. 2014. Pengaruh suhu pemasakan dan kecepatan
pengadukan terhadap kualitas gula merah tebu. Jurnal Teknologi
Pertanian. 15(3): 149-158.
Du H, Chen XQ (2009). Comparative study of the separation ofoleanolic acid and
ursolic acid in Prunella vulgaris by High Performance Liquid
Chromatography and Cyclodextrin-Modified Micellar Electrokinetic
Chromatography. J. Iran Chem. Soc., 6(2): 334-340.
Erwinda MD, Susanto WH. 2014. Pengaruh pH nira tebu (Saccharum
officinarum) dan konsentrasi penambahan kapur terhadap kualitas gula
merah. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(3): 54 – 64.
Estiasih E. 2009. Teknologi Pengologan Pangan. Jakarta (ID); Bumi Aksara
Estiasih T, Ahmadi K. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta (ID): Bumi
Aksara.
Farahnaky A, Mardani M, Mesbahi Gh, Majzoobi M, Golmakani MT. 2016.
Some physicochemical properties of date syrup, concentrate, and liquid
sugar in comparison with sucrose solutions. J. Agr. Sci. Tech. 18: 657 –
668.
30

Haryanti P. 2017. Chemical properties of coconut sap obtained at different


tapping time and addition of preservatives. The International Journal of
Science and Technoledge. 5(3): 52-59.
Heri M K, Lukman M. 2007. Pendampingan penerapan diversifikasi produk gula
kelapa/merah kemasan kecil. J Dedikasi. 4: 73-81.
Heryani H. 2016. Keutamaan Gula Aren dan Strategi Pengembangan Produk.
Banjarmasin (ID) : Lambung Mangkurat University Press.
Hidayanto E, Rofiq A, Sugito H. 2010. Aplikasi portable brix meter untuk
pengukuran indeks bias. Berkala Fisika. 13(4): 113-118.
Hidayanto E, Tanabe T, Kawai J. 2010. Measurement of viscosity and sucrose
concentration in aqeous solution using portable brix meter. Berkala Fisika.
13(2): 23-28.
Indahyanti E, Kamulyan B, Ismuyanto B. 2014. Optimasi konsentrasi garam
bisulfit pada pengendalian kualitas nira kelapa. Jurnal Penelitian Saintek.
19(1): 1-8.
Karseno, Erminawati, Yanto T, Setyowanti R, Haryanti P. 2018. Effect of pH and
temperature on browning intensity of coconut sugar and its antioxidant
activity. Food Research. 2(1): 32-38.
Kuncara RT. 2010. Pengaruh konsentrasi kalium sorbat dan lama penundaan
penggilingan terhadap penghambatan inversi sukrosa nira tebu. [skripsi].
Malang (ID): Universitas Brawijaya.
Lestari PP, Ma’sum Z, Mustikaningrum L. 2011. Verifikasi metode uji total
reducing sugar ICUMSA GS4/3-7. [skripsi]. Malang (ID) : Universitas
Tribbuana Tunggadewi.
Lioe HN. 2014. Encyclopaedia of the History of Science, Technology, and
Medicine in Non-Western Cultures-Soy Sauce. Berlin (DE) : Springer-
Verlag Berlin Heidelberg.
Loto CA, Olofinjana A, Popoola API. 2012. Effect of Saccharum officinarum
juice extract additive on the electrodeposition of zinc on mild steel in acid
chloride solution. International Journal of Electrochemical Science. 9795-
9811.
Lund MN, Ray CA. 2017. Control of maillard reaction in foods; strategies and
chemical mechanisms. J. Agric. Food Chem. 65: 4537-4552.
Magwaza LS, Opara UL. 2015. Analytical methods for determination of sugar and
sweetness of horticultural products – a review. Scientia Holticulturae.
184(2015): 179-192.
Maharani DM, Yulianingsih R, Dewi SR, Sugiarto Y, Indriani DW. 2014.
Pengaruh penambahan natrium metabisulfit dan suhu pemasakan dengan
menggunakan teknologi vakum terhadap kualitas gula merah tebu.
Agritech. 34(4): 365-373.
Manzocco L, Calligaris S, Mastrocola D, Nicoli M, Lerici C. 2011. Review of
nonenzymatic browning and antioxidant capacity in processed food.
Trends Food Science and Technology. 11: 340-346.
Maryani R. 2007. Analisis permintaan dan penawaran industri kecap di Indonesia.
[skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Mashud N, Matana Y. 2014. Kelapa genjah sebagai sumber nira untuk pembuatan
gula. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VIII: 2014 Mei 21 – 22;
Jambi. Jambi (ID) : Balitbang Pertanian. hlm 179 – 184.
31

Meutia YR. 2015. Standardisasi produk kecap kedelai manis sebagai produk khas
Indonesia. JS. 17(2): 147 – 156.
Muangthai PUP. Suwunna, Patumpai W. 2009. Development of healthy soy
sauce from pigeon pea and soybean. As. J. Food Ag-Ind. 2: 291 – 301.
Muchtadi T, Sugiyono, Ayustaningwarno F. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Bandung (ID) : CV Alfabeta.
Naknean P, Meenune M, Roudat G. 2013. Changes in properties of palm sugar
syrup by an open pan and vacuum evaporator during storage. International
Food Research Journal. 20(5): 2323-2334.
Narulita RR. 2008. Peningkatan mutu gula merah tebu melalui penerapan
teknologi pemasakan sistem uap (studi kasus di Kabupaten Rembang,
Jawa Tengah). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nistiyanti I, Hidayanto E. 2015. Studi pemanfaatan sifat pembiasan cahaya pada
portable brix meter untuk menganalisis hubungan konsentrasi larutan
sukrosa terhadap pH. Youngster Physics Journal. 4(3): 231-236.
Nurlela E. 2002. Kajian faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukkan warna
gula merah. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Orlandi RDM, Bernardi MRV, Sartorio SD, Borges MTMR. 2017.
Physicochemical and sensory quality of brown sugar: variables of
processing study. Journal of Agricultural Science. 9(2): 115-121.
Parker K, Salas M, Nwosu VC. 2010. High fructose corn syrup: production, uses
and public health concerns. Biotechnology and Molecular Biology Review
5(5): 71-78.
Pontoh J. 2007. Analisa komponen kimia dalam gula dan nira aren. [skripsi].
Tomohon (ID) : Yayasan Masarang.
Pontoh J. 2012. Metode analisa dan komponen kimia dalam nira dan gula aren. Di
dalam: Balitbang Pertanian, editor. Aren untuk Pangan dan Alteratif
Energi Terbarukan dan Seminar Nasional Aren; Balikpapan, Indonesia.
Balikpapan (ID): Kementerian Pertanian. hlm 66-71.
Pontoh J. 2013. Penentuan kandungan sukrosa pada gula aren dengan metode
enzimatik. Chem. Prog. 6 (1) : 26 – 33.
Radam RR, Sari NM, Lusyani. 2014. Chemical compounds of granulated palm
sugar made from sap of nipa palm (Nypa fruticans Wurmb) growing in
three different places. Journal of Wetlands Environmental Management.
2(1): 108-114.
Ranny, Soelistio YE, Satvika NM. 2016. Metode pencocokan bunyi ketuk buah
dengan kadar kemanisan menggunakan k-Nearest Neighbour. Jurnal
Ultimatics. 8(2): 119-124.
Ratnayani K, Adhi NMAD, Gitadewi IGAMAS. 2008. Penentuan kadar glukosa
dan fruktosa pada madu randu dan madu kelengkeng dengan metode
kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Kimia. 2(2): 77-86.
Rosanti AD. 2016. Pengaruh penambahan dosis natrium bisulfit dan natrium
metabisulfit terhadap kualitas gula merah tebu. Jurnal Hijau Cendekia.
1(1): 6-10.
Rumayar H, Pontoh J, Kowel L. 2011. Kristalisasi sukrosa pada pembuatan gula
kristal dari nira aren. Buletin Palma. 12(2): 100-114.
Safitri DW. 2017. Karakteristik sifat reologi gula merah aren cair pada berbegai
pH dan konsentrasi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
32

Santoso HB. 1993. Pembuatan Gula Kelapa. Yogyakarta (ID) : Kanisius.


Saputra KA, Pontoh JS, Momuat LI. 2015. Analisis kandungan asam organik pada
beberapa sampel gula aren. Jurnal MIPA Unsrat Online. 4(1): 69-74.
Setiawati BB. 2008. Penentuan komponen kualitas dan bahan baku optimal
produk kecap organik berbasis off line quality control. JIPI. 49(1): 8 - 19.
Sudarmadji et al. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta (ID)
: Liberty.
Sukardi. 2010. Gula merah tebu: Peluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui pengembangan agroindustri pedesaan. Jurnal Pangan. 19(4): 317
– 330.
Sukoyo A, Argo BD, Yulianingsih R. 2014. Analisis pengaruh suhu pengolahan
dan derajat brix terhadap karakteristik fisikokimia dan sensoris gula kelapa
cair dengan metode pengolahan vakum. Jurnal Bioproses Komoditas
Tropis. 2(2): 170-179.
Suprihatin. 2007. Penjernihan nira tebu menggunakan membran ultrafiltrasi
dengan sistem aliran silang. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.12(2): 93-99.
Suwardjono. 2001. Pengaruh penggunaan bahan pengawet alam terhadap kualitas
nira kelapa yang digunakan untuk pembuatan gula kelapa di Daerah
Istimewa Yogyakarta. [skripsi]. Tangerang Selatan (ID) : Universitas
Terbuka.
[USP] U.S Pharmacopeial Convention. 2015. Food Chemicals Codex Ninth
Edition, Third Supplement. Rockville (US): U.S Pharmacopeial.
Utami MF. 2008. Studi pengembangan usaha gula merah tebu di Kabupaten
Rembang. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia.
33

LAMPIRAN

Lampiran 1 Data fisikokimia gula merah


Kadar Kotoran (%) Kadar Air
Jenis Gula pH Sulfit (ppm)
Kasar Halus (%)
Gula Kelapa A 1.65±0.42 14.20±2.32 7.28±0.20 9.57±0.55 5.35±2.38
Gula Kelapa B1 3.34±0.84 10.37±2.06 5.88±0.17 7.83±0.97 9.30±11.62
Gula Kelapa B2 2.12±0.31 6.02±2.13 6.24±0.75 9.17±0.67 8.16±6.05
Gula Kelapa B3 2.20±0.55 7.99±2.59 6.11±0.58 8.83±0.43 4.19±2.46
Rerata 2.33±0.72 9.65±3.52 6.38±0.62 8.85±0.74 6.75±2.38
Gula Tebu C1 2.70±0.55 9.94±1.87 5.59±0.53 8.50±0.84 2.84±1.94
Gula Tebu C2 2.69±0.84 7.42±1.36 5.43±0.40 8.68±0.88 1.75±1.39
Rerata 2.70±0.01 8.68±1.78 5.51±0.11 8.59±0.13 2.30±0.77

o
Jenis Gula Brix Total Gula (%) Gula Pereduksi (%)
Gula Kelapa A 86.85±1.56 76.19±0.88 2.06±0.33
Gula Kelapa B1 89.11±1.36 76.37±1.03 8.39±1.34
Gula Kelapa B2 91.23±1.81 76.94±1.19 6.98±1.85
Gula Kelapa B3 91.16±1.38 77.81±2.70 6.69±1.40
Rata-rata 89.59±2.07 76.83±0.73 6.03±2.75
Gula Tebu C1 91.51±0.44 77.67±1.37 17.13±0.87
Gula Tebu C2 92.30±1.68 77.38±0.80 19.84±0.31
Rata-rata 91.91±0.56 77.53±0.21 18.49±1.92
34 34

Lampiran 2 Hasil analisis Pearson Corelation parameter fisik dan kimia gula merah kelapa dan tebu
Kotoran Kotoran Kadar Total Gula
Variabel pH Sulfit Brix Tekstur Warna Rasa
Kasar Halus Air Gula Pereduksi)
Kotoran Kasar 1
Kotoran Halus -0,218 1
pH -0,764 0,633 1
Kadar Air -0,981* 0,177 0,718 1
Sulfit 0,159 0,040 0,327 -0,188 1
Brix 0,331 -0,871* -0,846* -0,287 -0,444 1
Total Gula 0,082 -0,595 -0,633 -0,121 -0,659 0,841* 1
Gula Pereduksi 0,543 -0,410 -0,875* -0,446 -0,634 0,753 0,580 1
Tekstur -0,062 -0,162 0,346 -0,039 0,808 -0,269 -0,298 -0,747 1
Warna 0,062 0,162 -0,346 0,039 -0,808 0,269 0,298 0,747 -1,000* 1
Rasa 0,125 -0,881* -0,625 -0,049 -0,199 0,882* 0,627 0,562 -0,161 0,161 1

Keterangan:
Angka yang dicetak tebal menunjukkan korelasi yang sangat kuat (r 0.75)
Simbol (*) menunjukkan korelasi yang signifikan (p < 0.05)
Lampiran 3 Hasil analisis Pearson Corelation parameter fisik, kimia, dan profil gula sederhana gula merah kelapa dan tebu
Kotoran Kotoran Total Gula Kadar
Variabel Brix pH Sukrosa Glukosa Fruktosa Sulfit Tekstur Warna Rasa
Kasar Halus Gula Pereduksi Air
Kotoran Kasar 1
Kotoran Halus 0,504 1
Brix -0,635 -0,987 1
pH 0,490 1,000* -0,985 1
Total Gula -0,982 -0,334 0,480 -0,319 1
Gula Pereduksi -0,425 -0,996 0,969 -0,997* 0,249 1
Sukrosa 0,240 -0,717 0,597 -0,728 -0,417 0,776 1
Glukosa -0,972 -0,694 0,800 -0,682 0,910 0,628 -0,004 1
Fruktosa -0,958 -0,730 0,830 -0,719 0,888 0,667 0,048 0,999* 1
Kadar Air 0,983 0,338 -0,484 0,323 -1,000* -0,254 0,413 -0,912 -0,890 1
Sulfit -0,953 -0,217 0,370 -0,202 0,993 0,130 -0,524 0,854 0,826 -0,992 1
Tekstur 0,826 -0,070 -0,089 -0,086 -0,917 0,159 0,746 -0,669 -0,630 0,915 -0,958 1
Warna -0,918 -0,119 0,276 -0,103 0,976 0,031 -0,606 0,798 0,765 -0,975 0,995 -0,982 1
Rasa -0,803 -0,920 0,970 -0,913 0,678 0,881 0,386 0,921 0,940 -0,681 0,584 -0,327 0,500 1
Keterangan:
Angka yang dicetak tebal menunjukkan korelasi yang sangat kuat (r 0.75)
Simbol (*) menunjukkan korelasi yang signifikan (p < 0.05)
35
36

Lampiran 4 Tabel konversi perbedaan titrasi ke kadar gula pereduksi


37

Lampiran 5 Kurva kalibrasi standar gula pada hplc


38

Lampiran 6 Kromatogram HPLC Sampel Gula Tebu C2


39

Lampiran 7 Kromatogram HPLC Sampel Gula Kelapa B2


40

Lampiran 8 Kromatogram HPLC Sampel Gula Kelapa A


41

Lampiran 9 Hasil ANOVA dan Uji Duncan


ANOVA
Kadar_kotoran_kasar

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 8,559 5 1,712 4,492 ,005


Within Groups 9,146 24 ,381
Total 17,704 29

Kadar_kotoran_kasar
Duncan

Jenis_Gula N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

A 5 1,6540
B2 5 2,1220 2,1220
B3 5 2,2020 2,2020
C2 5 2,6940 2,6940
C1 5 2,7040 2,7040
B1 5 3,3360
Sig. ,197 ,185 ,132

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

ANOVA
Kadar_kotoran_halus

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 207,967 5 41,593 9,513 ,000


Within Groups 104,940 24 4,372
Total 312,907 29
42

Kadar_kotoran_halus
Duncan

Jenis_Gula N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

B2 5 6,0220
C2 5 7,4200 7,4200
B3 5 7,9900 7,9900
C1 5 9,9380
B1 5 10,3700
A 5 14,2040
Sig. ,172 ,050 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

ANOVA
Ph

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 10,824 5 2,165 8,914 ,000


Within Groups 5,828 24 ,243
Total 16,653 29

Ph
Duncan

Jenis_Gula N Subset for alpha = 0.05

1 2 3
C2 5 5,4280
C1 5 5,5920 5,5920
B1 5 5,8760 5,8760
B3 5 6,1080 6,1080
B2 5 6,2000
A 5 7,2820
Sig. ,055 ,085 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
43

ANOVA
Kadar_air

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 8,815 5 1,763 3,135 ,026


Within Groups 13,498 24 ,562
Total 22,313 29

Kadar_air
Duncan

Jenis_Gula N Subset for alpha = 0.05

1 2

B1 5 7,8340
C1 5 8,5020 8,5020
C2 5 8,6760 8,6760
B3 5 8,8280 8,8280
B2 5 9,1700
A 5 9,5720
Sig. ,065 ,052

Means for groups in homogeneous subsets are


displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

ANOVA
Residu_sulfit

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 220,183 5 44,037 1,398 ,260


Within Groups 755,792 24 31,491
Total 975,975 29
44

Residu_sulfit
Duncan

Jenis_Gula N Subset for


alpha = 0.05

C2 5 1,7460
C1 5 2,8420
B3 5 4,1920
A 5 5,3540
B2 5 8,1560
B1 5 9,2980
Sig. ,071

Means for groups in homogeneous subsets


are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
5,000.

ANOVA
Brix

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 101,736 5 20,347 9,785 ,000


Within Groups 49,908 24 2,079
Total 151,644 29

Brix
Duncan

Jenis_Gula N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

A 5 86,8540
B1 5 89,1120
B3 5 91,1580
B2 5 91,2340
C1 5 91,5080
C2 5 92,3040
Sig. 1,000 1,000 ,262

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
45

ANOVA
Total_gula

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 11,314 5 2,263 1,037 ,419


Within Groups 52,376 24 2,182
Total 63,691 29

Total_gula
Duncan

Jenis_Gula N Subset for


alpha = 0.05

A 5 76,1940
B1 5 76,3740
B2 5 76,9380
C2 5 77,3820
C1 5 77,6660
B3 5 77,8060
Sig. ,140

Means for groups in homogeneous subsets


are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
5,000.

ANOVA
Gula_pereduksi

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 932,911 5 186,582 132,537 ,000


Within Groups 25,340 18 1,408
Total 958,251 23
46

Gula_pereduksi
Duncan

Jenis_Gula N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

A 4 2,0600
B3 4 6,6900
B2 4 6,9850
B1 4 8,3900
C1 4 17,1325
C2 4 19,8425
Sig. 1,000 ,070 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
47

RIWAYAT HIDUP

Rahmat Widianto, merupakan anak keempat


dari empat bersaudara. Lahir di Bekasi pada 5 Juli
1996 dari ayah Agus Rudjianto dan ibu Wiwik
Dartini. Penulis pernah menempuh pendidikan di
SDN Duren Jaya 14, SMPN 1 Bekasi, dan SMAN 2
Bekasi. Pada tahun 2014, penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian. Selama menjalani perkuliahan
di IPB, penulis terlibat dalam beberapa organisasi
kemahasiswaan, yaitu anggota Departemen Advokasi
dan Kesejahteraan Mahasiswa (Adkesmah) BEM
Fakultas Teknologi Pertanian periode 2015/2016, Wakil Ketua Umum Himpunan
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan periode 2016/2017. Penulis merupakan
asisten Praktikum Dasar-Dasar Komunikasi pada tahun 2016, asisten Praktikum
Mikrobiologi Pangan pada tahun 2017, dan fasilitator Summer Course Program
“Tempe: The Indonesian Cultural Heritage to the World”pada tahun 2018.
Penulis juga altif dalam kegiatan kepanitiaan, antara lain Anggota Divisi K3
Essential TPB 2015, Anggota Divisi Medis MPKMB 52, Anggota Divisi Acara
Suksesi Himitepa 2015, Ketua Panitia Donor Darah Hi-FI 2016, Anggota Divisi
Acara Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP) XXIV 2016, Ketua Divisi Acara
BAUR 2016, Ketua Divisi Medis Reds Cup 2016, dan Ketua Divisi Humas
Seafast Food Product Development Competition (FPDC) 2017. Beberapa prestasi
yang pernah ditorehkan oleh penulis, yaitu Juara I Agroquiz 2015, Juara I Lomba
Desain Tong Sampah 2015, dan Juara I Fateta – Do It Yourself pada Fateta Art
Contest 2017. Penulis memiliki bakat dalam hal public speaking dan beberapa
kali menjadi Master of Ceremony (MC), yaitu pada acara Suksesi KEMSI 2015,
Malam Keramat ITP 2016, Agritech Festival 2017, LCTIP XXV 2017, dan
beberapa seminar internal Departemen ITP. Penulis merupakan penerima bantuan
Beasiswa Bakti BCA pada tahun 2016. Pada tahun 2017, penulis melaksanakan
praktik lapang di PT Perkebunan Nusantara VIII, Kebun Sedep dengan judul
“Mempelajari Proses Pengemasan dan Penyimpanan Produk Teh Hitam di PTPN
VIII Kebun Sedep”. Penulis pernah melakukan magang selama 4 bulan (5 Maret
2018 – 5 Juli 2018) di PT Indofood CBP Sukses Makmur Divisi Food Seasoning
pada bagian Quality Control (QC) Laboratorium Kimia.

Anda mungkin juga menyukai