Anda di halaman 1dari 9

Fiqih Auwaliyat

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :

Worldview Islam Syariah

Dosen :

Lailah Alfi, M.Ag.

Penyusun :

Muhammad Abdullah

Muhammad Arif Nauvan Annur

Fakultas Ushuluddin

Program Aqidah Filsafat Islam

Universitas Darussalam

Gontor – Ponorogo – Indonesia

1441/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kajian tentang fikih akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan, karena fikih
merupakan buah pikiran yang ditujukan untuk menjawab fenomena kehidupan yang akan selalu
berubah dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Oleh sebab itu, fikih harus secara terus
menerus dipelajari dan dikaji sebagai tanggapan atas hakikatnya yang harus selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Fikih yang pada mulanya mencakup semua aspek
hukum yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, dan
manusia dengan lingkungannya, kini mulai mengalami penyempitan makna, pembahasan dan
penamaan. Hal ini merupakan respon atas adanya perkembangan yang begitu pesat pada masing-
masing pembahasan yang tetntunya semakin menuntut ketelitian dan spesialisasi para ahli fikih.
Misalnya saja, terdapat pembagian fikih dalam kategori, yaitu,fikih ibadah, fikih mu’amalah, fikih
jinayah, fikih kontemporer dan lain-lain.

Salah satu cabang ilmu fikih yang beberapa saat lalu muncul dan menjadi salah satu hal yang
layak untuk ditindaklanjuti adalah apa yang dinamakan dengan fikih prioritas (fiqh al-aulawiyyat).
Fikih prioritas muncul bersumber dari perilaku manusia saat ini yang mulai lalai terhadap perilakunya
sendiri, manusia mulai mengesampingkan perbuatan mana yang harus didahlukan dan perbuatan
mana yang harus diakhirkan.

Fikih prioritas memberikan gambaran dan tuntunan dalam melakukan sesuatu, mana yang
harus didahulukan dan mana yang harus di akhirkan. Memberikan petunjuk tentang urutan amal yang
terpenting dari yang penting. Dalam sholat misalanya, sholat berjamaah lebih diprioritaskan daripada
sholat sendirian.

Oleh sebab itu, fikih prioritas adalah penting dan suatu hal yang perlu ditindaklanjuti. Karena,
fikih prioritas dapat dijadikan sebagai rambu-rambu dalam menjalankan aktivitas dalam keseharian
kita, baik ibadah, muamalah dan lain-lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fikih prioritas?
2. Apakah faktor penentu tingkat auwaliyat?
3. Bagaimanakah cara mengetahui prioritas?
4. Apa batasan-batasan skala prioritas?

C. Tujuan Pembahasan
1. Menjelaskan pengertian fikih prioritas.
2. Menjelaskan faktor penentu tingkat auwaliyat
3. Menjelaskan cara mengetahui prioritas
4. Menjelaskan batasan-batasan skala prioritas

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Karena bahasan tentang fikih prioritas merupakan bahasan yang baru, maka tidak banyak
ditemukan tokoh yang memberikan definisi atau pengertian tentang fikih prioritas atau fiqh al-
aulawiyyat. Fikih prioritas, merupakan kajian yang membicarakan suatu topik yang sangat penting.
Sebab kajian ini akan memecahkan masalah seputar kerancuan dan kekacauan dalam menilai dan
memberikan skala prioritas terhadap perintah-perintang Allah, pemikiran, serta amal-amal. Mana
diantaranya yang mesti didahulukan dan mana yang mesti diakhirkan, mana yang harus diprioritaskan
dan mana yang harus dikemudiankan dalam tingkatan perintah Allah dan petunjuk Nabi.

Menurut DR. Yusuf Al-Qardhawy, Ia berarti suatu ilmu dan keahlian yang dengannya
seseorang bisa meletakkan segala sesuatu pada posisinya sesuai urutan secara proporsional, baik
berupa hukum, norma maupun amal perbuatan dan lain-lain, berdasarkan timbangan-timbangan syar’i
yang benar. Sehingga tidak mengakhirkan yang seharusnya didahulukan ataupun mendahulukan yang
seharusnya diakhirkan, dan tidak mengecilkan perkara yang besar ataupun membesarkan perkara yang
kecil.

B. Faktor penentu tingkat aulawiyat

PERTAMA: Faktor dalil syar’i. Ini merupakan faktor penentu tingkat/peringkat/skala aulawiyat yang
paling utama. Seperti Firman Allah (yang artinya): ” Apakah (orang-orang) yang memberi minuman
orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-
orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama
di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dzalim. Orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih
tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih
tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (QS. At-Taubah:
19 – 20). Dan lain-lain.

KEDUA: Faktor pertimbangan kemaslahatan dan kemadharatan. Baik berdasarkan fakta kasat mata,
maupun sesuai asumsi dan prediksi kategori ”ghalabatudz-dzann” (dugaan/prediksi kuat) dengan
memperhatikan kemungkinan dampak. Berarti disini sangat dibutuhkan ”fiqhul ma-alat”. Tentu sudah
pasti disamping sebelumnya: ”fiqhul muwazanat”. Dan terkait penentuan peringkat aulawiyat
berdasarkan pertimbangan faktor kemaslahatan dan kemadharatan ini, bisa dilihat sebagian kaidahnya
di bawah setelah ini insyaallah (Kaidah-Kaidah dalam Fiqih Aulawiyat). Dimana antara lain misalnya
bahwa, upaya mencegah kemadharatan harus lebih diutamakan daripada upaya menghadirkan
kemaslahatan (‫ح‬ِ ِ‫صال‬ ِ ‫) َدرْ ُء ال َمفَا ِس ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬. Mencegah kemadharatan yang lebih besar dan luas
َ ‫ب ال َم‬
harus lebih didahulukan daripada mencegah kemadharatan yang lebih kecil dan terbatas. Upaya
menghadirkan kemaslahatan dan kemanfaatan yang lebih besar dan luas lebih diprioritaskan daripada
mengupayakan kemaslahatan yang lebih kecil dan terbatas. Dan begitu seterusnya.

KETIGA: Faktor situasi dan kondisi. Dimana faktor ini sendiri, pada gilirannya, sangat ditentukan
dan dipengaruhi oleh banyak faktor lain seperti misalnya: faktor perubahan atau pergantian zaman,
faktor perbedaan tempat, faktor peralihan marhalah (era/periode/tahapan), faktor terjadinya
peristiwa/kejadian tertentu, faktor ketersediaan kemampuan/potensi/sumber daya/daya
dukung/peluang (ini insyaallah dipisahkan dalam faktor keempat secara khusus), dan lain-lain. Dan
itu baik bagi individu maupun kelompok, bagi perorangan aktivis dakwah maupun bagi setiap
harakah. Nah dalam konteks ini, salah satu bidang ilmu yang paling dibutuhkan tentu saja adalah
”fiqhul waqi’” (fiqih realitas).

Maka, dengan demikian, penentuan skala aulawiyat, baik dalam amal ibadah maupun dalam
perjuangan dakwah, bisa dan harus berbeda-beda dari zaman ke zaman, dari masa ke masa, dari era ke
era, dari marhalah ke marhalah, dari tempat ke tempat, dari negara ke negara, dari wilayah ke wilayah,
dari daerah ke daerah, dari peristiwa ke peristiwa, dari kejadian ke kejadian, dan begitu seterusnya.
Karena umumnya sikon (situasi dan kondisi) masing-masing memang telah berbeda dengan yang lain.
Sehingga sering dikatakan misalnya bahwa, setiap marhalah (era) memiliki kondisi dan situasinya
(sendiri yang berbeda dengan marhalah lain), qadhaya-qadhaya-nya, problematika-problematikanya,
tantangan-tantangannya, solusi-solusinya, dan tokoh-tokohnya yang cocok. Maka aulawiyat pada era
generasi khalafus saleh misalnya tak sedikit yang sudah berbeda dengan aulawiyat pada era generasi
salafus saleh sebelumnya , apalagi dengan era dan zaman kita sekarang.

Sebagai contoh misalnya aulawiyat dalam sikon perang tentu pasti berbeda dengan aulawiyat
pada sikon damai. (Dalam konteks ini Syaikh Said Hawwa menyebutkan empat hak “al-huquq al-
arba’ah” [ُ‫ق األَرْ بَ َعة‬ ُ ْ‫ ]ال ُحقُو‬yakni: hak ilmu ”haqqul ’ilmi” [‫ق ال ِع ْل ِم‬
ُّ ‫]ح‬, ُّ ‫َح‬
َ hak tarbiyah ”haqqut tarbiyah” [ ‫ق‬
‫]التَّرْ بِيَ ِة‬, hak dakwah ”haqqud da’wah” [ ‫ق ال َّد ْع َو ِة‬
ُّ ‫]ح‬
َ dan hak sikon perang ”haqqul ma’rakah” [ ‫ق‬ ُّ ‫َح‬
‫)]ال َمع َْر َك ِة‬. Berikutnya aulawiyat pada saat ke-jahil-an tentang Islam merata dan ulama rujukan langka
tentu berbeda dengan aulawiyat ketika ilmu syar’i tersebar dan ulama eksis dimana-mana. Aulawiyat
pada musim paceklik panjang berbeda dengan aulawiyat pada ”musim” masyarakat sejahtera.
Aulawiyat pada musim wabah merajalela berbeda dengan aulawiyat pada ”musim” rakyat sehat
sentosa. Aulawiyat pada ”musim” musibah dan bencana melanda: tsunami, banjir, gunung meletus,
tanah longsor, kecelakaan, kebakaran, asap, dan seterusnya, tentu berbeda dengan aulawiyat pada saat
kehidupan terbebas dari itu semua. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Oleh karena itu Imam Ibnul Qayyim menyatakan yang intinya bahwa, sesudah keimanan dan tauhid,
sebenarnya tidak ada suatu amal ibadah tertentu yang secara mutlak dan permanen merupakan amal
ibadah yang paling afdhal kapanpun dan bagi siapapun. Melainkan ke-afdhal-an itu akan berbeda-
beda sesuai perbedaan orang, zaman, tempat, situasi dan kondisi. Lalu beliau memberi contoh,
misalnya saat ke-jahil-an tentang Islam merata di masyarakat, maka amal ibadah yang paling afdhal
adalah menyebarkan ilmu. Saat musim kelaparan dan paceklik berkepanjangan, maka bersedekah
makanan merupakan amal ibadah yang paling prioritas. Dan begitu selanjutnya.

KEEMPAT: Faktor momentum. Di dalam kehidupan ini, sebagai salah satu bentuk keluasan rahmat-
Nya, Allah Ta’ala senantiasa menyediakan momentum-momentum istimewa yang bisa membuat
ibadah-ibadah dan amal-amal tertentu menjadi lebih prioritas dan lebih spesial karenanya. Baik itu
berupa momentum waktu istimewa seperti bulan Ramadhan misalnya, atau momentum tempat seperti
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, maupun momentum peluang amal ibadah tertentu yang sangat
spesial karena faktor apapun selain itu.

Misalnya kita ambil contoh momentun teristimewa bulan suci Ramadhan yang telah
disepakati keistimewaannya yang luar biasa oleh seluruh ummat Islam, berdasarkan dalil yang sangat
banyak sekali. Antara lain hadits berikut (yang artinya): “Apabila bulan Ramadhan telah tiba, maka
pintu-pintu Surga dibuka selebar-lebarnya, pintu-pintu Neraka ditutup serapat-rapatnya, dan syetan-
syetan pengganggu dibelenggu/dirantai seerat-eratnya” (HR.Muttafaq ‘alaih). Dengan keistimewaan
tersebut, jenis amal ibadah apapun memang akan menjadi lebih istimewa saat dilakukan pada bulan
Ramadhan, dibandingkan waktu selainnya. Namun, meskipun begitu, tetap saja ada amal ibadah
spesial tertentu yang lebih diprioritaskan padanya daripada lainnya.

KELIMA: Faktor kemampuan, kelebihan, potensi, kompetensi, kapasitas, amanah dan mas’uliyah
yang dimiliki serta peluang, sumber daya dan daya dukung yang tersedia, juga sangat menentukan
urutan skala prioritas amal ibadah dan dakwah bagi seseorang atau suatu lembaga. Sehingga
aulawiyat bagi ulama misalnya pasti berbeda dengan aulawiyat bagi orang awam. Aulawiyat bagi
siapapun yang diberi karunia kemampuan ilmu, potensi, kompetensi dan profesi tertentu atau keahlian
apapun di bidangnya masing-masing sudah barang tentu berbeda dengan aulawiyat bagi yang tidak
memiliki potensi-potensi, kelebihan-kelebihan dan keahlian-keahlian tersebut. Aulawiyat bagi
pemimpin/tokoh/mas’ul (sesuai tingkat kepemimpinan, kapasitas ketokohan dan level mas’uliyah
masing-masing) jelas sekali berbeda dengan aulawiyat bagi masyarakat kebanyakan. Aulawiyat bagi
orang kaya berbeda dengan aulawiyat bagi orang fakir miskin. Aulawiyat bagi laki-laki secara umum
sangat berbeda dengan aulawiyat bagi perempuan (“‫الذ َك ُر كَاألُ ْنثَى‬
َّ ‫ْس‬
َ ‫)”ولَي‬.
َ Aulawiyat bagi seorang suami
juga sangat berbeda dengan aulawiyat bagi seorang istri. Aulawiyat bagi orang tua berbeda dengan
aulawiyat bagi anak. Aulawiyat bagi pelajar dan mahasiswa berbeda dengan aulawiyat bagi selain
mereka. Aulawiyat bagi yang telah berkeluarga berbeda dengan aulawiyat bagi yang masih
bujang/lajang. Aulawiyat bagi yang anaknya sepuluh misalnya berbeda dengan aulawiyat bagi yang
anaknya hanya dua atau apalagi satu. Dan begitu seterusnya.

Imam Malik rahimahullah dikisahkan pernah menulis surat balasan kepada seorang ulama
zuhud ahli ibadah sahabat beliau dengan mengatakan (yang intinya begini): Sesungguhnya Allah
Ta’ala telah membagi-bagi potensi dan kecenderungan (muyul) untuk amal diantara hamba-hamba-
Nya (secara berbeda-beda), sebagaimana Dia telah membagi-bagi rezeki diantara mereka (secara
berbeda-beda pula). Sehingga, karenanya, di dalam amal dan ibadahpun mereka berbeda-beda.
Dimana ada orang yang lebih kuat muyul dan kecenderungan serta kesiapannya dalam memperbanyak
ibadah shalat, dzikir, i’tikaf dan tilawah misalnya, tapi tidak seperti itu dalam hal ibadah puasa.
Sementara ada yang lebih cenderung dan lebih semangat dalam beramal sedekah, infak dan bakti
sosial misalnya, tapi justru tidak seperti itu dalam hal ibadah-ibadah ritual mahdhah. Sebagaimana ada
orang-orang lainnya lagi yang lebih banyak menfokuskan diri dalam rangka menyebarkan ilmu
misalnya, atau mendidik, atau melakukan penelitian dan kajian, atau berdakwah, atau ber-amar
b,ilma’ruf wan-nahi ’anil munkar, atau berjihad (secara benar), dan lain-lain. Nah siapapun yang
beramal lebih banyak di bidang tertentu sesuai dengan potensi, kelebihan dan keahlian diri yang telah
dibagikan oleh Allah kepadanya, maka sungguh ia telah berada di dalam kebaikan dan kemuliaan.

Adapun tentang hikmah mengapa Allah membeda-bedakan pembagian potensi, kelebihan dan
keahlian serta kecenderungan diantara hamba-hamba-Nya seperti itu, maka tentu sudah sangat jelas
sekali bagi siapapun yang memahami tabiat hidup ini. Ya antara lain, karena bidang dan aspek
kehidupan ini memang sangat banyak dan sangat beragam sekali. Sementara potensi dan kemampuan
setiap orang telah diciptakan oleh Allah dengan segala keterbatasan yang tidak memungkinkannya
untuk mengisi dan menutup kebutuhan seluruh bidang kehidupan itu. Maka Allah-pun, dengan
hikmah-Nya, sengaja membeda-bedakan pemberian potensi dan kelebihan diantara ummat manusia,
agar antar satu sama lain bisa saling berbagi peran, saling mengisi, saling menutupi, saling
melengkapi dan saling menyempurnakan dalam memenuhi kebutuhan serta tuntutan bidang-bidang
kehidupan yang banyak dan beragam tersebut. Dimana hanya dengan cara saling melengkapi dan
saling berbagi peran itulah hidup ini akan bisa berjalan dengan baik.

Oleh karena itu, dalam konteks ini, sangat urgen sekali bagi setiap muslim/muslimah untuk
ber-ta’aruf sebaik mungkin dengan dirinya sendiri dalam rangka mengenali nikmat potensi dan
kelebihan diri yang Allah karuniakan dan bagikan kepadanya. Karena dengan begitu ia akan bisa
mensyukurinya sesuai perintah agama. Dan salah satu bentuk syukur terbaik atas nikmat potensi dan
kelebihan diri itu adalah dengan menjadikannya sebagai sarana bagi prioritas amal ibadahnya, juga
prioritas bidang kontribusinya dalam dakwah disamping sekaligus merupakan prioritas perannya di
dalam kehidupan secara umum.

C. Cara Mengetahui Prioritas


Untuk mengetahui bahwa sesuatu itu lebih diprioritaskan dari pada yang lain, ada dua cara
yang bisa dipakai, yaitu dengan teks (nash) dan dengan penalaran (ijtihad).
1. Prioritas dengan Metode Tekstual (at-Tanshish al-Aulawi)
Al-Qur’an dan as-Sunnah sering kali membuat gradasi dalam perbuatan tertentu dengan
menjadikan salah satu amaliah lebih utama dibandingkan yang lainnya. Sebagian dari skala prioritas
yang disebutkan dalam nash baik al-Qur’an maupun as-Sunnah tadi bisa diketahui ‘illat nya dan
sebagian lain tanpa bisa diketahui ‘illatnya. Diantara yang tidak bisa diketahui ‘illatnya semisal
keutamaan Masjid Nabawi atas masjid-masjid lain, kelebihan berpuasa sunnah di bulan Muharram
dibanding bulan-bulan lain, keutamaan Shalat Malam dibanding shalat sunnah yang lain, dll.
Keutamaan-keutamaan yang seperti ini jelas tidak bisa diketahui hikmahnya. Walaupun Allah
tetap memberikan hikmah atas segala perintah yang disampaikannya pada manusia atau kelebihan
yang Allah berikan pada suatu tempat atau waktu atas yang lainnya, akan tetapi akal manusia tidak
selamanya bisa menangkap hikmah tersebut. Sedangkan prioritas yang disebutkan melalui nash dan
bisa diketahui ‘illatnya adalah semisal keutamaan ilmu atas ibadah, jihad atas ibadah sunnah yang
lain, shadaqah kepada kerabat dibanding kepada orang lain, keutamaan orang yang fasih bacaan al-
Qur’an sebagai imam atas yang tidak fasih, dsb.
Prioritas yang disebutkan oleh nash al-Qur’an atau as-Sunnah tentang hal-hal tersebut dan
yang semisalnya bisa diketahui alasannya dan bisa dicari hikmahnya. Dan kalau diteliti lebih jauh, hal
ini tidak akan lepas dari adanya kaidah bahwa hal-hal termasuk ibadah adalah ghair ma’qul al-ma’na
atau ta’abbudi. Sedangkan yang termasuk kategori mu’amalah sebagian besarnya adalah ma’qul al-
ma’na atau ta’aqquli. Dan ini tidak menafikan bahwa syari’at dan hukum-hukum Allah pada manusia
itu turun dengan disertai ‘illat, yaitu untuk kemaslahatan manusia.
Muhammad al-Wakili mengatakan bahwa ada beberapa parameter yang disebutkan oleh nash
yang menjadikan suatu amal itu lebih diutamakan dan diprioritaskan dibandaing amal yang lain.
Parameter-parameter itu antara lain:

a. Iman dan Ketaatan


Kebanyakan skala prioritas yang ditentukan oleh nash, didasarkan pada keimanan dan
ketaatan. Seorang mukmin lebih utama dibandingkan dengan seorang yang kafir, kafir
dzimmi lebih utama dibanding kafir harbi, mukmin yang bertaqwa lebih utama dibanding
mukmin yang fasiq, dst. Atas dasar inilah maka terdapat perbedaan keutamaan di antara para
sahabat Nabi. Dasar ini juga yang dipakai oleh syari’at untuk lebih mengutamakan ahl al-
Kitab dari pada orang-orang musyrik baik dari segi kebolehan memakan makanannya maupun
menikahi wanita-wanitanya.

b. Ilmu
Dalam banyak hal, seorang yang dikaruniai ilmu lebih diutamakan dibandingkan
yang tidak berilmu. Hal inilah yang dijadikan dasar dalam menentukan siapa yang paling
berhak untuk menjadi imam dalam shalat misalnya. Orang yang berhak menjadi imam adalah
yang paling tahu dengan al-Qur’an, jika sama maka yang lebih tahu dengan as-Sunnah, dst.[7]
c. Urgensi
Nash juga menentukan skala prioritas pada urgensinya. Sesuatu yang sangat urgen
(al-aham) harus didahulukan dari pada yang sekedar urgen (al-muhim). Dan ini berlaku baik
pada urusan yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.

d. Kecakapan
Yang dimaksud dengan kecakapan dalam hal ini adalah kemampuan seseorang dalam
mengemban sebuah tanggung jawab. Parameter ini juga dipakai sebagaimana dalam hal ilmu.
Artinya, skala prioritas selalu diletakkan pada sesuatu yang paling cakap dan pantas, lalu
berurutan ke bawah sesuai tingkat kecakapannya.
Dalam konteks pemerintahan, Ibnu Taimiyyah –sebagaimana dikutip al-Wakili-
memberikan dua ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan sebuah kecakapan, yaitu
kekuatan dan kemampuan (al-quwwah) dan kepercayaan (al-amanah). Dalam hal kekuatan
dan kemampuan, setiap individu memiliki kekurangan dan kelebihan sesuai dengan tugas dan
aktifitas masing-masing. Kekuatan dan kemampuan yang diperlukan oleh seorang panglima
perang, misalnya, terletak pada keberanian dan kelihaiannya dalam strategi peperangan.
Sedangkan dalam pemerintahan, kemampuan yang diperlukan adalah pada pengetahuan pada
perundang-undangan, kemampuan untuk bertindak secara adil dalam menerapkan berbagai
hukumnya. Sedangkan amanah merupakan sifat yang berasal dari rasa takut pada Allah dan
tidak memperdagangkan hukum-hukum-Nya untuk kepentingan yang bersifat sementara.
Kedua hal tersebutlah yang memungkinkan terwujudnya sebuah pemerintahan yang
bersih dan berwibawa. Segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme yang sekarang ini
menjadi ciri khas negara-negara berkembang pada umumnya dan negara-negara Islam pada
khusunya tidak terlepas dari tidak terpenuhinya dua hal tadi.

2. Prioritas dengan Metode Ijtihad (al-Ijtihad al-Aulawi)


Jika dalam metode tekstual (at-tanshish al-aulawi) prioritas dibatasi dan ditentukan oleh asy-
Syari’, maka prioritas dengan metode ijtihad dibatasi oleh mujtahid sendiri melalui penalarannya.
Wilayah ijtihad aulawi sendiri ada dua; yaitu pada teks-teks (nushush) dan dalil (adillah), dan dalam
ketaatan dan pelaksanaan perintah.

a. Ijtihad Prioritas dalam hal teks dan dalil.


Teks-teks syara’ tidak berada pada satu titik persamaan, baik dari sisi tsubut maupun
dari sisi dilalahnya. Di antaranya ada yang bersifat qath’i dan di antaranya ada yang bersifat
dzanni. Kalau sebuah teks bersifat qath’i dari sisi tsubut dan dilalahnya, maka ijtihad tidak
lagi dipakai. Ijtihad hanya diberlakukan pada teks yang bersifat dzanni, baik dari sisi tsubut,
dilalahnya maupun keduanya.
Pada teks yang seperti inilah ijtihad diperlukan untuk mencari dalil yang yang lebih
sesuai dan lebih dekat dengan kebenaran. Peran ijtihad prioritas dalam hal ini adalah apabila
terdapat dua dalil yang nampak bertentangan, maka mujtahid harus bisa menetukan dalil yang
lebih rajih, dalam arti lebih mendekati kebenaran, yang diprioritaskan untuk dipakai sebagai
salah satu teks dalam memecahkan sebuah problem hukum. Hal ini juga disesuaikan dengan
kondisi aktual yang melingkupinya. Dalil yang lebih aktual lebih diprioritaskan dari pada dalil
lain yang kurang mengena pada sasaran aktualnya.
b. Ijtihad prioritas dalam hal ketaatan dan pelaksanaan perintah.
Ijtihad prioritas dalam hal ketaatan dan pelaksanaan perintah memiliki kawasan yang
lebih luas karena lebih bersifat pemecahan terhadap sebuah aksi.[9] Ijtihad prioritas dalam hal
ini mencakup dua hal, pertama, penentuan prioritas dalam bidang dakwah yang harus
dilakukan secara berangsur dan bertahap. Kedua¸ saat terjadinya benturan dalam
melaksanakan dua buah perintah yang nampak bertentangan. Dalam hal dakwah misalnya,
karena begitu pentingnya sebuah pentahapan dalam menyampaikan sebuah misi dalam
berdakwah, maka penentuan skala perioritas atas sebuah misi dakwah merupakan sebuah
keharusan. Antara satu misi dengan misi yang lain yang sama pentingnya harus diketahui
mana yang harus didahulukan dan mana yang bisa ditunda.
Ijtihad prioritas juga diperlukan apabila terjadi benturan dalam pelaksanaan sebuah
perintah. Apabila terdapat dua perintah yang memiliki kualitas yang sama untuk dilaksanakan
dan keduanya tidak bisa dilakukan secara bersama-sama, maka seorang mujtahid diharuskan
mengerahkan segala daya upayanya untuk menentukan perintah mana yang harus
diprioritaskan. Ijtihad prioritas seperti ini, saat ini sangat dibutuhkan karena terjadi banyak
penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islan dalam menentukan perintah agama yang mana
yang harus benar-benar didahulukan dan diperjuangkan pelaksanaannya. Dalam hal ini, perlu
ada pembahasan tentang berbagai batasan penentuan prioritas baik dalam pentahapan dakwah
maupun ketika terjadi benturan dalam pelaksanaan sebuah amal.

D. Batasan-batasan Skala Prioritas

1. Mengutamakan yang membawa kemaslahatan lebih besar.


2. Menghindari yang membawa mafsadah yang lebih besar
3. Yang lebih dominan lebih diprioritaskan apabila berbenturan antara maslahah dan mafsadah
4. Menghilangkan mafsadah lebih utama dibanding mendatangkan maslahah apabila sisi
maslahah dan mafsadahnya berimbang.
5. Kemaslahatan yang menuju pada masyakat umum lebih diutamakan dari pada kemaslahatan
yang kembali pada individu
6. Lebih memprioritaskan tujuan dari pada sarana
7. Mengutamakan fardhu dan ushul dibandingkan sunnah dan furu’.

BAB III
PENUTUP
Penjelasan di atas tadi membawa kita pada sebuah pemikiran bahwa masih banyak kerancuan
yang terjadi pada umat Islam pada umumnya dalam menetukan skala prioritas. Kerancuan itu
menjadikan banyak hal yang terabaikan, selain menjadikan banyak hal yang tidak penting justru
menghabiskan energi dan pemikiran. Batasan-batasan yang telah penulis sampaikan di atas memang
belum mencakup kesluruhan batasan yang harus diketahui untuk menentukan skala prioritas. Akan
tetapi setidaknya bisa sedikit mmeberikan gambaran tentang bagaimana menentukan batasan skala
prioritas sebuah tindakan.

Anda mungkin juga menyukai