Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Sumber adalah rujukan dasar atau asal muasal. Sumber yang baik adalah sumber yang
memiliki sifat dinamis dan tidak pernah mengalami kemandegan. Sumber yang benar
bersifat mutlak, artinya terhindar dari nilai kefanaan.
Ia menjadi pangkal, tempat kembalinya sesuatu. Ia menjadi pusat, termpat mengalirnya
sesuatu. Ia menjadi sentral dari tempat bergulirnya suatu percikan. Ia juga menjadi pokok
dari pencahnya partikel-partikel yang berserakan.
Para ulama fikih dan ushul fikih menggunakan istilah al Adillah al Syar’iyyah untuk
menjelaskan arti hukum islam didalam kitab-kitab yang mereka tulis. Adapun istilah
Masadir al Ahkam yang secara bahasa berarti sumber-sumber hukum mereka gunakan
untuk menyebut dalil-dalil hukum syara’ yang diambil untuk menemukan hukum.
Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan atau dasar yang utama dalam
pengambilan hukum Islam. Sumber hukum Islam, artinya sesuatu yang menjadi pokok dari
ajaran islam. Sumber hukum Islam bersifat dinamis, benar, dan mutlak, serta tidak pernah
mengalami kemandegan, kefanaan, atau kehancuran.
Sumber hukum dalam islam, ada yang disepakati (muttafa) para ulama dan ada yang
masih dipersilisihi (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama
adalah Al Quran, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur
ulama yakni Al Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas.
I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan Al Quran sebagai sumber hukum islam?


2. Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber hukum islam?
3. Bagaimana kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum islam?
4. Bagaimana kedudukan qiyas sebagai sumber hukum islam?

I.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui kedudukan Al Quran sebagai sumber hukum islam


2. Untuk mengetahui kedudukan hadits sebagai sumber hukum islam?
3. Untuk mengetahui kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum islam?
4. Untuk mengetahui kedudukan qiyas sebagai sumber hukum islam?

1
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Al Quran Sumber Hukum Pertama

1. Dasar Kehujjahan Al Quran dan Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum

Sebelum membahas lebih jauh tentang al-qur’an sebagai sumber hukum islam, mari kita
kaji terlebih dahulu pengertian dari al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah firman Allah s.w.t.
yang di turunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara berangsur-angsur melalui malaikat
Jibril, sebagai mukjizat dan pedoman hidup bagi umatnya dan membacanya adalah ibadah. Al-
Qur’an ini turun pada sekitar tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran nabi Muhammad
s.a.w.

Menurut bahasa, kata “Al Quran” adalah bentuk isim masdar dari kata “qa-ra-a” Al
Quran merupakan sumber hukum utama dan menepati kedudukan pertama dari sumber-sumber
hukum yang lain dan merupakan aturan dasar yang paling tinggi. Sumber hukum maupun
ketentuan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan isi Al Quran.

Telah kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam dan merupakan
pedoman hidup yang abadi. Dikatakan abadi karena kemurniannya sejak diturunkan sampai di
akhir zaman senantiasa terpelihara. Allah s.w.t. menjamin pasti kemurnian al-Qur’an, seperti
dalam firmannya yang berarti “Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan
sesungguhnya kami benar-benar menjaganya”(QS. Al-Hijr, 15:9).

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup yang pertama dan utama bagi umat islam. Pada
masa rasulullah s.a.w. setiap persoalan solusinya selalu di kembalikan kepada al-Qur’an.
Rasulullah sendiri dalam perilakunya sehari-hari selalu mengacu pada al-Qur’an. Oleh karena itu
kita sebagai seorang muslim kita harus menggunakan al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

Sepeti dalam firman-Nya yang berarti “Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah
s.w.t. dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar
(perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal,8:20). Ayat tersebut mengandung dua perintah yang
pertama adalah perintah untuk taat kepada allah, taat berarti kita harus menjalankan smua
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Dan perintah-perintah Allah itu ada
dalam al-Qur’an, jadi kalau kita taat kepada Allah kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang
ada dalam al-Qur’an. Perintah yang kedua adalah taat kepada Rasulullah, artinya kita harus taat
kepada sunnah dan hadits-haditsnya. Baik perintah maupun larangannya.

Fungsi dari al-Qur’an itu sendiri ada 4 yaitu petunjuk, penjelas, pembeda dan obat.
Petunjuk artinya al-Qur’an merupakan suatu aturan yang harus diikuti, layaknya sebuah papan
jalan yang di temple pada jalan-jalan. Seseorang yang tidak mengetahui jalan, jika ia
mengabaikan petujuk jalan itu dan dan berjalan tidak sesuai dengan petunjuknya sudah pastilah
orang tersebut akan tersesat. Sama seperti orang hidup di dunia ini, jika ia mengabaikan
petunjuk dari Allah maka pastilah jalannya akan tersesat.

Fungsi yang kedua adalah penjelas artinya di dalam al-Qur’an sudah dijelaskan tentang
segala sesuatu yang ditanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya al-Qur’an harus dijadikan
rujukan dari semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat
aturan sendiri tanpa ada dasar-dasarnya dari al-Qur’an.

Al-Qur’an sebagai pembededa, maksudnya sebagai pembeda antara yang benar dan
salah. Kita bisa mengetahui suatu hal apakah itu benar atau salah dari al-Qur’an. Selain itu juga

2
pembeda antar muslim dan luar muslim, antar nilai yang diyakini benar oleh orang mukmin dan
nilai yang dipegang oleh orang-orang kufur.

Selanjutnya fungsi al-Qur’an sebagai obat. Ibarat resep dari seorang dokter, pasien sering
sulit untuk membacanya bahkan memahaminya. Tetapi seorang pasien percaya bahwa resep
tersebut tidak mungkin salah karena dokter diyakini tidak mungkin berbohong. Sama seperti
halnya dengan al-qur’an, al-qur’an adalah resep yang diberikan oleh Allah dan sudah pasti resep
tersebut tidak mungkin salah karena Allah maha besar. Dengan demikian tidak menjadi masalah
apabila ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang belum kita mengerti maksud dan tujuannya,
maka jalankan sajalah. Sebab kalau harus menunggu kita memahami semua maksudnya bisa-
bisa waktu kita di dunia ini habis terlebih dahulu sebelum kita menjalankan semua perintah-
perintah-Nya.

Sebagaimana kita ketahui Al Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan
disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib diamalkan semua perintah-Nya dan wajib
ditinggalkan segala larangan-Nya.

َ ‫َّاس مِب َ ا أ ََر‬


‫اك اللَّ هُ ۚ? َو اَل تَ ُك ْن‬ ِ ‫اب بِا حْلَ ِّق لِتَ ْح ُك َم َب نْي َ الن‬
َ َ‫ك الْ كِت‬َ ‫إِنَّ ا أَ ْن َز لْ نَ ا إِلَ ْي‬
‫يم ا‬
ً ‫ص‬ِ ‫ِني َخ‬ َ ‫ل ِْل َخ ائِن‬
Artinya :

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat.” (An-Nisa : 105)

‫اح ُك ْم َبْيَن ُه ْم مِب َا أَْنَز َل اللَّهُ َواَل َتتَّبِ ْع أ َْه َواءَ ُه ْم‬ ِ
ْ ‫َوأَن‬
Artinya:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka apa yang diturunka allah,
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”.(Al-Maidah:49)

2. Pedoman Al-Quran dalam Menetapkan Hukum

Pedoman Al-quran dalam menetapkan hukum sesuai dengan perkembangan dan


kemampuan manusia, baik secara fisik maupun rohani. Manusia selalu berawal dari kelemahan
dan ketidakmampuan. Untuk itu Al-Quran berpedoman kepada tiga hal, yaitu:

a. Tidak memberatkan

Firman Allah SWT:

‫ف اللَّهُ َن ْف ًسا إِاَّل ُو ْس َع َها‬


ُ ِّ‫اَل يُ َكل‬
Artinya:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.


(Al-Baqarah: 286).

3
‫يد بِ ُك ُم الْعُ ْسر‬
ُ ‫يد اللَّهُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َواَل يُِر‬
ُ ‫يُِر‬
:Artinya
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimimu.” (Al-Baqarah: 185).

b. Meminimalisir beban

dasar ini merupakan konsekwensi logis dari dasar pertam. Dengan dasar ini kita dapati
rukhshah dalam beberapa jenis ibadah, seperti:

Mejamak dan mengqashar salat apabila dalam perjalanan dengan syarat yang telah ditentukan.

c. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum

Al-quran dalam menetapkan hukum adalah secara bertahap, hal ini bvisa kita telusuri
dalam hukum haramnya meminum-minuman keras dan sejenisnya, bejudi serta perbuatan-
perbuatan yang mengandung judi ditetapkan dalam Al-Quran.

II.2 Hadits Sumber Hukum Kedua

1. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam

Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi
Muhammad SAW. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada
”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila
mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka
namai dengan ”Sunnah”. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum
yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum
kerasulannya.

Semua umat islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan
dasar hukum islam setelah Al Quran, dan umat islam diwajibkan mengikuti dan mengamalkan
hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al Quran

Al Qurah dan hadits adalah dua sumber hukum pokok syari’at Islam yang tetap, dan
orang Islam tidak akan mungkin bisa memahami syari’at Islam secara mendalam dan lengkap
tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama pun
tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu dari keduanya.

Banyak kita jumpai ayat-ayat Al Quran dan Hadits-hadits yang memberikan pengertian
bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al Quran yang wajib diikuti, dan
diamalkan baik dalam bentuk pemerintah maupun larangannya.

Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama
dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali
Al-Qur’an membicarakanya, Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak
dibicarakan sama sekali. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas
dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.

2. Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum

4
Sunnah adalah sumber hukum Isla (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah
Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Di
dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
Firman Allah SWT:

‫ِين‬
َ ‫ب الْ َك افِر‬ َّ ‫ِن َت َو لَّ ْو ا فَ إ‬
ُّ ِ‫ِن اللَّ هَ اَل حُي‬ ْ ‫ولۖ? فَ إ‬ َّ ‫قُ ْل أَطِيعُ وا اللَّ هَ َو‬
َ ‫الر ُس‬
Artinya : Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS.Ali Imran(3); 32)

‫اب‬ ُ ‫ول فَ ُخ ُذوهُ َو َما َن َها ُك ْم َعْنهُ فَا ْنَت ُهوا ۚ َو َّات ُقوا اللَّهَ ۖ إِ َّن اللَّهَ َش ِد‬
ِ ‫يد الْعِ َق‬ ُ ‫الر ُس‬
َّ ‫َو َما آتَا ُك ُم‬
Artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka
tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.
(QS. Al-Hasyr(59): 7)

ۚ ‫اح َذ ُروا‬ ِ ‫َطيعوا اللَّه وأ‬


ِ ‫وأ‬
ْ ‫ول َو‬
َ ‫الر ُس‬
َّ ‫َطيعُوا‬ َ َ ُ َ
Artinya : “Dan taatlah kamu kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, dan berhati-hatilah”. (QS. Al-
Maidah(5): 92)
3. Hubungan Al-hadits/As-sunnah Dengan Al-Qur’an

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, dan
penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam
hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
a) Bayan Tafsir: yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak.
Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :
“Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat).
b) Bayan Taudhih: yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti
pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-
hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an
dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang
menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka
gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.

4. Dapatkah As-sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum

Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang


bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan
yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah
berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada
‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi
sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati.
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa
lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika
hendak menetapkan hukum.

5
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan
keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan
sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan
penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber
dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan
(sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan
seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak
lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:

ِ ‫الذ ْكَر لِتَُبنِّي َ لِلن‬


‫َّاس َما نُِّز َل إِلَْي ِه ْم‬ ِّ ‫ك‬َ ‫َنزلْنَا إِلَْي‬
َ ‫الزبُِر ۗ َوأ‬
ِ َ‫بِالْبِّين‬
ُّ ‫ات َو‬ َ
Artinya : “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski
secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan “Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38). Sebenarnya kedua pendapat itu tidak
mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi
kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang
berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak
membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah
karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai
tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka
sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang
apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh
Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya,
walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama
dengan pihak yang pertama.

5. Perbuatan Nabi Muhammad SAW Berfungsi Sebagai Sumber Hukum

Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga
umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya. Namun
perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti.
Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan
dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang
menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi
tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya
menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi
umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
a) Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya. Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru
haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
1) Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu
bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan
hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.

6
2) Boleh beristri lebih dari empat wanita. Contoh lainnya adalah masalah kebolehan
poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya
berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila
melakukannya.
b) Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya. Sedangkan dari sisi kewajiban, ada
beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya
hanya Sunnah bagi umatnya.
1) Shalat Dhuha’: Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi
hukumnya wajib.
2) Qiyamullail: Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar.
Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW
3) Bersiwak: Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi
umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
4) Bermusyawarah: Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
5) Menyembelih kurban (udhhiyah): Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah
bagi umatnya.
c) Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
1) Menerima harta zakat, Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan
menerima harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau
(ahlul bait).
2) Makan makanan yang berbau: Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang
hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena
menyebabkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu.
Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka
jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan
oleh umat Muhammad SAW.
3) Haram menikahi wanita ahlulkitab: Karena isteri Nabi berarti umahat muslim,
ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka
bagaimana mungkin bisa terjadi. Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi
wanita ahli kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran
surat Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum
kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah
dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau
mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu
contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita
mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam
sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara
memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah
Nabi SAW. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus
diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

II.3 Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam

1. Definisi Ijma’

7
Secara Etimologi (Bahasa) Ijma’ berasal dari kata “ajma’a”,“yujmi’u”,“ijma’an” dengan
isim maf’ul mujma yang memiliki dua makna :
a) Ijma’ secara etimologi bisa bermakna tekad yang kuat
‫َو ُش َر َكا َء ُك ْم أَ ْم َر ُك ْم فَأَجْ ِمعُوا‬
“…Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinsakanku)…” (QS. Yunus : 71)
b) Ijma’ secara etimologi juga memiliki makna sepakat
ِّ‫فَلَ َّما َذهَبُوا بِ ِه َوأَجْ َمعُوا أَ ْن يَجْ َعلُوهُ فِي َغيَابَ ِة ْالجُب‬
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur” (QS. Yusuf :
15)
Adapun definisi secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma’
menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat
Ijma’. Namun definisi Ijma’ yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama
ahli ijtihad (mujtahid) dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu
’alaihi wa sallam pada masa tertentu akan suatu perkara agama.
c) Hakikat Ijma’
Seperti yang ditegaskan oleh Syakhul-Islam Ibnu Tamiyah, Ijma’ ialah kesepakatan para
ulama kaum muslimin atas hukum tertentu. Bila Ijma’ telah diputuskan secara permanen atas
suatu hukum, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan Ijma’ tersebut, karena
mustahil umat islam sepakat dalam kesesatan. Tetapi boleh jadi, banyak masalah yang diklaim
berdasarkan Ijma’ ternyata tidak demikian, bahkan pendapat lain lebih kuat dari Al-Qur’an dan
As-sunnah. [Majmu’ Fatâwâ, Ibnu Taimiyyah]
Ijma’ merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum ketiga agama Islam
setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak terdapat ketetapan Ijma’ yang menentang kebenaran,
kecuali tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Maka suatu keutamaan bagi para ulama ahli
ijtihad untuk berijma’ berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Ibnu Hazm rahimahumullah berkata, “Tidak ada ijma’ kecuali berdasarkan nash agama,
baik berasal dari ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun dari perbuatan atau
perilaku beliau.” [Al-Ihkam fî Ushulil-Ahkam, Ibnu Hazm]
d) Peran Ijma’ dalam Penetapan Hukum
Sebagian besar ulama berpandangan, ijma’ memiliki bobot yang sangat kuat dalam
menetapkan hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah setelah Al-Qur’an dan Sunnah, karena
ijma’ berdasarkan dalil syar’i baik secara eksplisit maupun secara implisit. Bahkan sebagian
besar ulama berpandangan, ijma’ wajib diaplikasikan.
Tidak sedikit pula yang menolak ijma’ seperti kalangan Syi’ah dan Khawarij. Namun, itu
tidak usah dihiraukan, karena para ulama Islam telah sepakat menjadikan Ijma’ sebagai salah
satu pegangan selain Al-Qur’an dan Sunnah. Hal itu didasarkan pada :
e) Ijma’ menurut Al-Qur’an
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai…” [QS. Ali Imran : 103]
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. An-Nisa: 115]

II.4 Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam


Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al
Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Ada juga membuat definisi lain, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat
hukum. Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang
serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya
hukum meminum khamar , nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya
haram. Sebagaimana firman Allah Swt: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya

8
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (Qs.5:90) Haramnya meminum khamr yang berdasar illat hukumnya adalah
memabukkan. Maka setiap minuman yang memabukkan sama saja dengan khamar dalam
hukumnya, maka minuman tersebut adalah haram hukumnya untuk dikonsumsi.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham
dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan
tujuan nash termasuk menyingkap alasan- alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum
yang sesuai dengan illat . Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat . Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas
sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan
termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat
hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan
hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan
selanjutnya menjadi hukum syar’i. Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum
qiyas adalah firman Allah: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab
dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka,
bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng- benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan
dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri
dan tangan orang- orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil
pelajaran’ . Kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang
lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka
menjadi (hukum) yang diperintahkan.
Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’
memiliki pengertian melewati dan melampaui. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs.4:59) Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab
maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain
adalah perintah supaya menyelidiki tanda- tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas. Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasarkan pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni
ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya
ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.

9
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat
Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat
pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa
qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan. Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali
ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan
pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang
dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini
disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian
(dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama , bahwasanya Allah Swt
mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan
tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun
hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan
tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum agama.
Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya
permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan
apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah .
Qiyas memiliki empat rukun, yaitu:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs .
3. Hukmu al-asal , yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam nash dalam hukum asalnya. Yang
kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.

10
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Sebagai umat islam, kita diwajibkan untuk mengetahui serta memperdalam sumber
ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena sumber ajaran agama islam
merupakan merupakan media penuntun agar kita dapat melaksanakan semua perintah Allah dan
semua larangan-Nya. Agama islam pun tidak mempersulit kita dalam mempelajari seluk beluk
agama islam. Karena terdapat tingkatan sumber ajaran agama islam yang harus kita pedomani.

11

Anda mungkin juga menyukai