Anda di halaman 1dari 12

ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI JURNAL READING

FAKULTAS KEDOKTERAN Oktober 2019


UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

“PLASENTA AKRETA”

Muftihatu Rahmi,S.Ked
12 17 777 14 176

Pembimbing:
dr. Heryani HS Parewasi, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT
PALU
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa mahasiswa yang

bersangkutan sebagai berikut:

Nama : Muftihatu Rahmi

No stambuk : 12 17 777 14 176

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Alkhairaat

Judul Jurnal : Plasenta Akreta

Bagian : Ilmu Obstetri dan Ginekologi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu

Obstetri dan Ginekologi RSUD Anutapura Palu, Fakultas Kedokteran Universitas Al-

Khairaat.

Palu, Oktober 2019


Pembimbing

dr. Heryani HS Parewasi Sp.OG

PLASENTA AKRETA

2
American College of Obstetricians and Gynecologists. Commitee Opinion : Placenta
Accreta. Obstet Gynecol. 2012

ABSTRAK : Plasenta akreta merupakan kondisi obstetrik yang berpotensi mengancam


nyawa yang membutuhkan tatalaksana dengan pendekatan multidisiplin. Insidensi
plasenta akreta mengalami peningkatan dan tampaknya sejalan dengan peningkatan
angka kelahiran dengan sectio caesarean. Perempuan yang paling berisiko menderita
plasenta akreta adalah perempuan dengan kerusakan myometrium disebabkan oleh
riwayat sectio caesarean dengan plasenta previa yang terletak di anterior atau posterior
dari jaringan parut uterus. Diagnosis plasenta akreta sebelum persalinan memungkinkan
perencanaan multidisiplin dalam menurunkan potensi morbiditas dan mortalitas ibu atau
neonatus. Ultrasonografi grayscale cukup sensitif dan spesifik untuk menegakkan
diagnosis plasenta akreta; magnetic resonance imaging (MRI) dapat membantu pada
kasus yang membingungkan. Meskipun faktor risiko obstetrik yang diketahui
memudahkan identifikasi sebagian besar kasus selama periode antepartum, diagnosis
kadang ditegakkan pada saat persalinan. Secara umum, tatalaksana yang
direkomendasikan pada kecurigaan plasenta akreta adalah histerektomi caesarean
preterm yang direncanakan dengan plasenta dibiarkan in situ karena percobaan
pengangkatan plasenta berkaitan dengan morbiditas perdarahan yang signifikan.
Namun, tatalaksana bedah pada plasenta akreta dapat disesuaikan dengan masing –
masing individu. Meskipun persalinan yang direncanakan merupakan tujuan utama,
rencana kontingensi untuk persalinan emergensi harus dibentuk untuk setiap pasien,
dapat berupa mengikuti protokol institusi untuk tatalaksana perdarahan maternal.

Plasenta akreta merupakan istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan


kondisi klinis dimana sebagian atau seluruh plasenta menginvasi dan tidak dapat
dipisahkan dari dinding uterus. Ketika vili korionik hanya menginvasi miometrium,
istilah yang tepat adalah plasenta inkreta; sedangkan plasenta perkreta dideskripsikan
sebagai plasenta yang menginvasi organ sekitar, seperti kandung kemih. Secara klinis,
plasenta akreta menjadi masalah selama proses persalinan ketika plasenta tidak terpisah
secara sempurna dari uterus dan diikuti dengan perdarahan obstetrik yang masif,
menyebabkan disseminated intravascular coagulopathy (DIC); perlunya tindakan

3
histerektomi; cedera pada ureter, kandung kemih, usus, atau struktur neurovaskular
akibat pembedahan; sindrom distress pernapasan pada dewasa; reaksi transfusi akut;
ketidakseimbangan elektrolit; dan gagal ginjal. Rata – rata kehilangan darah selama
proses persalinan pada perempuan dengan plasenta akreta adalah 3000 – 5000 mL.
Sebanyak 90% pasien dengan plasenta akreta memerlukan transfusi darah, dan
sebanyak 40% memerlukan >10 unit packed red blood cells(PRC). Mortalitas ibu
dengan plasenta akreta dilaporkan mencapai 7%. Kematian ibu dapat terjadi meskipun
dengan perencanaan yang optimal, terapi transfusi, dan tindakan pembedahan. Dari
sebuah kohort yang dilakukan pada 39.244 perempuan yang menjalani sectio caesarea
(SC), peneliti menemukan sebanyak 186 perempuan menjalani caesarean hysterectomy.
Indikasi utama adalah plasenta akreta (38%).

Insidensi
Insidensi plasenta akreta mengalami peningkatan dan tampaknya sejalan dengan
peningkatan angka persalinan dengan SC. Peneliti melaporkan insidensi plasenta akreta
sebesar 1 dalam 533 kehamilan selama periode tahun 1982 – 2002. Hal ini sangat
bertentangan dengan laporan sebelumnya, dimana insidensi penyakit tersebut sebesar 1
dalam 4027 kehamilan pada tahun 1970–an, meningkat menjadi 1 dalam 2510
kehamilan pada tahun 1980–an.

Persalinan Sectio Caesarea Berulang dan Faktor Risiko Lainnya


Perempuan yang paling berisiko untuk mengalami plasenta akreta adalah
perempuan yang mengalami kerusakan miometrium akibat riwayat persalinan SC
dengan plasenta terletak di anterior atau posterior pada jaringan parut uterus. Penelitian
dari satu studi menemukan bahwa dengan adanya plasenta previa, risiko plasenta akreta
ditemukan sebesar 3% untuk persalinan SC pertama, 11% untuk persalinan SC kedua,
40% untuk persalinan SC ketiga, 61% untuk persalinan SC keempat, dan 67% untuk
persalinan SC kelima atau lebih. Plasenta previa tanpa riwayat pembedahan uterus
berkaitan dengan risiko plasenta akreta sebesar 1 – 5%. Di samping usia ibu yang tua
dan multiparitas, faktor risiko yang dilaporkan antara lain kondisi apapun yang
menyebabkan kerusakan jaringan miometrium diikuti dengan repair kolagen sekunder,
seperti riwayat miomektomi sebelumnya, defek endometrium akibat kuretase yang

4
menyebabkan sindrom Asherman, leiomioma submukosa, ablasi termal, dan embolisasi
a. uterina.

Diagnosis
Nilai penegakan diagnosis plasenta akreta sebelum persalinan adalah agar
perencanaan multidisplin dapat dilaksanakan guna meminimalisir potensi morbiditas
dan mortalitas maternal atau neonatal. Diagnosis umumnya ditegakkan dengan
ultrasonografi (USG) dan kadang dilengkapi dengan magnetic resonance imaging
(MRI).

Ultrasonografi
Ultrasonografi transvaginal dan transabdomen merupakan teknik diagnostik
tambahan dan harus digunakan sesuai kebutuhan. USG transvaginal aman dilakukan
untuk pasien dengan plasenta previa dan memungkinkan pemeriksaan segmen bahwa
uterus yang lebih lengkap. Lokasi perlekatan plasenta normal dikarakteristikkan dengan
batas hipoekoik antara plasenta dan kandung kemih. Gambaran USG yang sugestif
plasenta akreta antara lain adalah lakuna plasenta dengan bentuk ireguler (rongga
vaskular) dalam plasenta, penipisan miometrium pada lokasi perlekatan plasenta,
hilangnya “clear space” retroplasenta, penonjolan plasenta ke kandung kemih,
peningkatan vaskularitas pada perbatasan serosa uterus – kandung kemih, dan aliran
darah turbulen pada lakuna yang dijumpai pada USG Doppler. Ditemukannya lakuna
dan peningkatan jumlah lakuna dalam plasenta pada usia kehamilan 15 – 20 minggu
ditunjukkan sebagai tanda plasenta akreta yang paling prediktif pada USG, dengan
sensitivitas sebesar 79% dan nilai prediktif positif sebesar 92%. Lakuna tersebut dapat
menimbulkan gambaran plasenta berupa “moth – eaten” atau “Swiss cheese”.
Secara keseluruhan, USG grayscale cukup untuk menegakkan diagnosis plasenta
akreta, dengan sensitivitas sebesar 77 – 87%, spesifisitas sebesar 96 – 98%, nilai
prediktif positif sebesar 65 – 93%, dan nilai prediktif negatif sebesar 98%. Penggunaaan
power Doppler, color Doppler, atau pencitraan tiga dimensi (3D) tidak meningkatkan
sensitivitas secara signifikan, dibandingkan dengan gambaran yang diperoleh dengan
USGgrayscale saja.
Magnetic Resonance Imaging

5
Magnetic resonance imaging (MRI) membutuhkan biaya yang lebih besar dari
USG dan membutuhkan pengalaman serta keahlian dalam evaluasi invasi plasenta yang
abnormal. Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan ketepatan diagnostik MRI
setara dengan USG untuk plasenta akreta, MRI dianggap sebagai modalitas tambahan
dan menambahkan sedikit ketepatan diagnostik USG. Namun, ketika terdapat temuan
USG yang membingungkan atau adanya kecurigaan plasenta akreta letak posterior,
dengan atau tanpa plasenta previa, USG mungkin tidak cukup untuk menegakkan
diagnosis. Sebuah rangkaian prospektif dari 300 kasus yang dipublikasikan pada tahun
2005 menunjukkan bahwa MRI mampu menegaskan anatomi invasi plasenta dan
menghubungkannya dengan sistem vaskular anastomotik regional. Selain itu, penelitian
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan MRI potongan aksial memungkinkan
konfirmasi invasi parametrium dan keterlibatan ureter.
Terdapat kontroversi seputar penggunaan kontras berbasis gadolinium meskipun
penggunaan kontras tersebut menambah spesifisitas penegakan diagnosis plasenta
akreta dengan MRI. Penggunaan kontras gadolinium memungkinkan MRI untuk
menggambarkan permukaan luar plasenta yang relatif terhadap miometrium dengan
lebih jelas dan membedakan antara sinyal vaskular heterogen dalam plasenta dengan
sinyal vaskular yang disebabkan oleh pembuluh darah ibu. Terdapat ketidakpastian
mengenai risiko efek terhadap janin karena kontras tersebut mampu melintasi plasenta
dan masuk ke dalam sistem sirkulasi janin. Contrast Media Safety Committee of
European Society of Urogenital Radiologi meninjau literatur tersebut dan menentukan
bahwa tidak ditemukan adanya efek terhadap janin setelah penggunaan media kontras
gadolinium. Namun, dokumen pedoman American College of Radiology untuk
penggunaan MRI yang aman merekomendasikan bahwa gadolinium intravena harus
dihindari selama kehamilan dan hanya digunakan jika sangat dibutuhkan.

Tatalaksana
Pertimbangan Umum
Sangat penting bagi dokter kebidanan dan radiologi untuk mengenali faktor risiko
dan modalitas diagnostik untuk plasenta akreta karena sifatnya yang berpotensi muncul
dan risiko terkait berupa perdarahan yang mengancam jiwa. Jika terdapat kecurigaan
kuat adanya invasi plasenta yang abnormal, penyedia layanan kesehatan yang bekerja di

6
rumah sakit kecil atau institusi dengan suplai bank darah yang tidak cukup atau
ketersediaan subspesialis dan tenaga pembantu yang tidak adekuat harus
mempertimbangkan untuk merujuk pasien ke pusat pelayanan perinatal tersier.
Perbaikan outcome ditunjukkan ketika pasien tersebut bersalin di pusat spesialisasi
tersier.
Perencanaan persalinan dapat melibatkan seorang dokter anestesi, kebidanan,
bedah pelvis, seperti dokter ginekologi onkologi, intensivist, spesialis fetomaternal, ahli
neonatologi, urologi, hematologi, dan radiologi intervensi untuk mengoptimalkan
outcome pasien. Untuk meningkatkan keamanan pasien, penting bahwa persalinan
dilakukan oleh tim obstetri berpengalaman yang terdiri dari dokter kebiadanan, dengan
dokter bedah lainnya, seperti urologi, bedah umum, dan ginekologi onkologi, jika
tersedia dan dibutuhkan. Karena risiko perdarahan masif, kadar hemoglobin ibu
sebelum persalinan harus diperhatikan. Sejumlah besar pasien dengan plasenta akreta
membutuhkan persalinan preterm emergensi karena onset perdarahan masif akut.
Autologius blood salvage devices telah terbukti aman, dan penggunaan alat tersebut
dapat bermanfaat selama pembedahan.

Perencanaan Persalinan
Waktu persalinan pada kasus kecurigaan plasenta akreta harus disesuaikan
dengang masing – masing individu. Pilihan harus diputuskan bersama dengan pasien,
ahli kebidanan, dan ahli neonatologi. Konseling pasien harus membahas tentang
kemungkinan dilakukan tindakan histerektomi, risiko perdarahan masif, dan kematian
ibu. Prinsip utama dalam tatalaksana adalah mencapai persalinan yang direncanakan
karena data menunjukkan kehilangan darah dalam jumlah besar dan komplikasi lebih
sering terjadi pada caesarean hysterectomy emergensi dibandingkan dengan caesarean
hysterectomy yang direncanakan. Meskipun persalinan yang direncanakan merupakan
tujuan utama, rencana kontingensi untuk persalinan emergensi harus disiapkan untuk
setiap pasien, dapat berupa protokol institusional untuk tatalaksana perdarahan pada ibu.
Waktu persalinan harus disesuaikan dengan masing – masing individu,
bergantung pada keadaan dan preferensi pasien. Salah satu pilihan adalah untuk
melakukan persalinan setelah kematangan paru janin ditunjukkan dari pemeriksaan
amniosentesis. Namun, hasil analisis keputusan terbaru menunjukkan bahwa outcome

7
gabungan ibu dan neonatus dioptimalkan pada pasien stabil yang bersalin pada usia
kehamilan 34 minggu tanpa amniosentesis. Keputusan untuk memberikan kortikosteroid
antenatal dan waktu pemberian juga harus disesuaikan.
Persalinan harus dilakukan di ruang operasi dengan tenaga dan alat bantu yang
dibutuhkan untuk mengatasi komplikasi yang mungkin terjadi. Penilaian oleh ahli
anestesi harus dilakukan sedini mungkin sebelum pembedahan. Teknik anestesi umum
dan regional dilaporkan aman untuk dilakukan pada kondisi klinis tersebut; pemilihan
teknik yang digunakan harus disesuaikan. Stocking kompresi pneumatik harus diberikan
preoperatif dan dipertahankan hingga pasien dapat berjalan. Antibiotik profilaksis
diindikasikan, dengan dosis ulangan setelah 2 – 3 jam pembedahan atau 1500 ml
perkiraan kehilangan darah. Sistoskopi preoperatif dengan pemasangan stent ureter
dapat membantu mencegah cedera saluran kemih yang tidak disengaja. Beberapa ahli
menyarankan pemasangan kateter Foley three-way di kandung kemih melalui uretra
untuk memungkinkan irigasi, drainase, dan distensi kandung kemih jika diperlukan,
selama diseksi. Saat periode preoperatif, bank darah harus diperingatkan untuk
kemungkinan adanya perdarahan masif. Rekomendasi terbaru untuk transfusi darah
pada trauma adalah rasio 1:1 PRC dengan fresh frozen plasma (FFP). Protokol transfusi
masif yang telah ditentukan harus diikuti. PRC dan thawed FFP harus tersedia di ruang
operasi. Kantong darah tambahan dan faktor koagulasi harus diberikan melalui infus
cepat dan disesuaikan dengan tanda vital serta stabilitas hemodinamik pasien.

Pendekatan Pembedahan
Umumnya, tatalaksana kecurigaan plasenta akreta yang direkomendasikan adalah
sectio caesarea terencana dengan plasenta ditinggalkan in situ karena pengangkatan
plasenta berkaitan dengan morbiditas perdarahan yang signifikan. Namun, pendekatan
ini mungkin tidak dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk perempuan dengan
keinginan kuat untuk kesuburan di masa depan. Oleh karena itu, tatalaksana bedah
plasenta akreta sebaiknya disesuaikan per individu.
Memposisikan pasien di meja operasi pada posisi khusus yaitu modified dorsal
lithotomy dengan lateral tilt memungkinkan penilaian langsung perdarahan pervaginam,
memudahkan akses pemasangan vaginal pack, dan memberikan ruang tambahan untuk
asisten operasi. Karena tindakan tersebut diduga akan memakan waktu lama, bantalan

8
dan pemosisian untuk mencegah kompresi saraf serta pencegahan dan tatalaksana
hipotermia juga penting. Meminimalisir perdarahan merupakan hal yang sangat penting.
Pemilihan insisi juga harus dilakukan berdasarkan habitus tubuh pasien dan riwayat
operasi. Penggunaan insisi vertikel midline dapat dipertimbangkan karena memberikan
pajanan yang cukup jika histerektomi harus dilakukan. Insisi rahim klasik, seringkali
pada transfundal, mungkin diperlukan untuk menghindari plasenta dan memungkinkan
persalinan bayi. Pemetaan lokasi perlekatan plasenta dari USG, baik preoperatif maupun
intraoperatif juga dapat membantu. Karena nilai prediktif positif USG untuk plasenta
akreta berkisar antara 65% - 93%, pemisahan plasenta spontan dapat ditunggu untuk
memastikan diagnosis plasenta akreta secara klinis.
Umumnya, percobaan perencanaan pemisahan plasenta secara manual harus
dihindari. Jika histerektomi harus dilakukan, pendekatan standar adalah untuk
meninggalkan plasenta in situ, secara cepat menggunakan “whip stitch” untuk menutup
insisi histerektomi, dan dilanjutkan dengan histerektomi. Jika histerektomi dilakukan
dengan teknik biasa, diseksi bladder flap dapat dilakukan kemudian, setelah kontrol
vaskuler a. uterina tercapai, pada kasus akreta anterior, bergantung pada temuan saat
intraoperatif. Kadang, histerektomi subtotal dapat dilakukan dengan aman, tetapi
perdarahan persisten dari serviks mungkin menghambat pendekatan ini, sehingga
diperlukan histerektomi total.
Terdapat beberapa laporan mengenai pendekatan alternatif untuk tatalaksana
plasenta akreta berupa ligasi tali pusat di dekat permukaan janin, mengangkat tali pusat,
dan meninggalkan plasenta in situ, mungkin dengan reseksi plasenta parsial untuk
meminimalisir ukurannya. Namun, pendekatan ini harus dipertimbangkan hanya ketika
pasien memiliki keinginan yang kuat untuk fertilitas di masa depan serta stabilitas
hemodinamik, status koagulasi normal, dan bersedia menanggung risiko yang mungkin
terjadi dengan pendekatan konservatif tersebut. Pasien harus diberikan konseling bahwa
outcome pendekatan tersebut tidak dapat diprediksi dan bahwa terdapat peningkatan
risiko komplikasi yang signifikan serta kemungkinan histerektomi. Kasus dengan
kehamilan selanjutnya yang berhasil pada pasien yang diterapi dengan pendekatan
tersebut sangat jarang dilaporkan. Pendekatan tersebut harus ditinggalkan dan harus
diingat bahwa histerektomi harus dilakukan jika terjadi perdarahan hebat. Dari 26
pasien yang diterapi dengan pendekatan tersebut, sebanyak 21 pasien (80.7%) berhasil

9
menghindari histerektomi, sedangkan 5 pasien (19.3%) memerlukan histerektomi.
Namun, mayoritas dari 21 pasien yang tidak melakukan histerektomi memerlukan terapi
tambahan, antara lain adalah ligasi a. hipogastrik, embolisasi arteri, metroteksat,
transfusi produk darah, antibiotik, atau kuretase. Kecuali pada kasus spesifik,
histerektomi tetap menjadi terapi pilihan utama untuk pasien dengan plasenta akreta.

Tindakan Radiologi Intervensi


Bukti terbaru tidak cukup untuk memberikan rekomendasi yang cup kuat
mengenai penggunaan oklusi balon kateter atau embolisasi untuk mengurangi
perdarahan dan meningkatkan outcome bedah, tetapi situasi individual dapat digunakan
sebagai dasar penggunaann. Meskipun terdapat entusiasme mengenai penggunaan
oklusi balon kateter, data yang tersedia mengenai keberhasilannya tidak jelas. Walaupun
beberapa peneliti melaporkan berkurangnya kehilangan darah, peneliti lain melaporkan
tindakan tersebut tidak bermanfaat, dan bahkan menimbulkan komplikasi yang
signifikan.

Metroteksat
Antagonis folat metroteksat telah diajukan sebagai terapi tambahan untuk plasenta
akreta. Beberapa peneliti berpendapat bahwa setelah persalinan, trofoblast tidak lagi
membelah, sehingga metroteksat tidak efektif. Meskipun konservasi uterus tercapai
dalam satu penelitian, sejumlah besar pasien mengalami perdarahan postpartum yang
memerlukan histerektomi. Laporan lain mencatat kegagalan terapi dengan metroteksat.
Jadi, tidak ada data yang meyakinkan mengenai penggunaan metroteksaat untuk
tatalaksana plasenta akreta postpartum.

Retensio Plasenta Setelah Persalinan Pervaginam


Retensio plasenta atau perdarahan postpartum persisten kadang terjadi setelah
persalinan pervaginam. Setelah penilaian ulang faktor risiko untuk plasenta akreta,
kemungkinan invasi plasenta abnormal harus dipertimbangkan sebelum melanjutkan
dengan percobaan tambahan berupa pengangkatan plasenta secara manual atau
pembedahan karena tindakan tersebut dapat memperberat perdarahan dan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu. Ketika terdapat kecurigaan diagnosis plasenta akreta,

10
pilihan tatalaksana antara lain adalah tamponade balon intrauterin, embolisasi pelvis
selektif pada kasus stabil, dan bedah emergensi.

Rekomendasi dan Kesimpulan


 Perempuan yang paling berisiko menderita plasenta akreta adalah perempuan yang
mengalami kerusakan miometrium yang disebabkan oleh riwayat persalinan sectio
caesarea (SC) dengan plasenta previa letak anterior atau posterior pada jaringan
parut uterus.
 Ultrasonografi grayscale cukup sensitif (77 – 87%) dan spesifik (96 – 98%) untuk
menegakkan diagnosis plasenta akreta.
 Jika terdapat kecurigaan kuat invasi plasenta abnormal, penyedia layanan kesehatan
yang bekerja di rumah sakit kecil atau institusi dengan suplai bank darah yang tidak
cukup atau ketersediaan subspesialis dan tenaga yang tidak adekuat, pertimbangkan
untuk merujuk pasien ke pusat pelayanan perinatal tersier.
 Untuk meningkatkan keamanan pasien, persalinan harus dilakukan di kamar operasi
oleh tim obstetrik berpengalaman yang terdiri dari dokter kebidanan, dengan dokter
bedah lainnya, seperti dokter urologis, bedah umum, ginekologi onkologi, jika
dibutuhkan. Perempuan dengan plasenta akreta yang melahirkan di pusat spesialisasi
tersier dilaporkan memiliki outcome yang lebih baik.
 Konseling pasien preoperatif harus mendiskusikan tentang kemungkinan
histerektomi, risiko perdarahan hebat, dan kematian ibu.
 Meskipun perslinan yang direncanakan merupakan tujuan utama, rencana
kontingensi untuk persalinan emergensi harus disiapkan untuk setiap pasien, seperti
mengikuti protokol institusional untuk tatalaksana perdarahan ibu.
 Waktu persalinan harus disesuaikan dengan masing – masing individu, bergantung
pada keadaan pasien. Gabungan outcome ibu dan neonatus dioptimalkan pada pasien
stabil dengan perencanaan persalinan pada usia kehamilan 34 minggu tanpa
amniosentesis.
 Keputusan untuk memberikan kortikosteroid antenatal dan waktu pemberian harus
disesuaikan dengan masing – masing individu.
 Umumnya, tatalaksana yang direkomendasikan pada kecurigaan plasenta akreta
adalah caesarean hysterectomy preterm yang direncanakan dengan plasenta

11
dibiarkan in situ, karena pengangkatan plasenta berkaitan dengan morbiditas
perdarahan yang signifikan. Namun, tatalaksana bedah plasenta akreta dapat
disesuaikan dengan masing – masing individu.

12

Anda mungkin juga menyukai