Anda di halaman 1dari 139

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341591633

Solusi Qur'ani Terhadap Masalah-Masalah Sosial Kontemporer

Book · May 2018

CITATIONS READS
0 16

2 authors, including:

Erwati Aziz
State Institute For Islamic Studies, Surakarta
10 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Erwati Aziz on 23 May 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PERTAMA
MUKADDIMAH

1
A.Latar Belakang
Permasalahan sosial sejak kehadiran umat manusia di muka bumi ini sampai sekarang
selalu eksis; bahkan bolehjadi tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun; malah terkesan
terus meningkat dan semakin kompleks sejalan dengan kecanggihan iptek(ilmu pengetahuan &
teknologi) dan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin maju dan moderen. Hal itu
tidak terlepas dari sunnatullah yang mengatur sistem kehidupan di muka bmi ini; dan aturan itu
tidak pernah berubah(Q.S.33:62;35:43;48:23). Juga tidak tertutup kemungkinan hal itu sengaja
diberlakukan Allah terhadap kehidupan sosial sebagai bagian dari bentuk manajemen konflik
dalam kaitannya dengan pendewasaan umat dalam mengelola dan mencarikan solusi yang tepat
bagi setiap konflik yang terjadi di kalangan mereka. Inilah yang membuat para ulama dan
ilmuwan harus selalu berpikir dinamis terus-menerus tidak boleh statis; apalagi mandek. Sebab
bilamana hal itu tidak ditangani secara benar dan profesional dapat mengakibatkan sesuatu
yang fatal bahkan tidak mustahil menuju pada kehancuran tatanan sosial yang sudah diatur
sedemikian rupa secara sistematis harmonis. Dalam konteks inilah Allah menegaskan:
َْ ْ ‫ت ْ ِإلَى‬
ْ‫ّللاِ ْ َمر ِجعه هكمْ ْ َج ِميعا ْفَيهن َِبئ ه هكمْ ْ ِب َما ْ هكنتهمْ ْفِي ِْه‬ ِ ‫ّللاه ْلَ َج َعلَ هكمْ ْأ ه َمةْ ْ َو‬
ِْ ‫احدَةْ ْ َولَ ِكنْ ْ ِليَبله َو هكمْ ْفِي ْ َما ْآتَا هكمْ ْفَاستَ ِبقهوا ْالخَي َرا‬ َْ ْ ‫“ َولَوْ ْشَا َْء‬
)48ْ:‫ت َخت َ ِلفهونَْْ"(المائدة‬
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia mampu menjadikan kalian semua satu umat
(saja), tetapi Allah sengaja tidak melakukan hal itu karena hendak menguji kalian terhadap
semua anugerah yang diberikan-Nya; maka dari itu berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
[Sebab]hanya kepada Allah-lah kembali kalian semua; lalu Dia akan memberitahu kalian
[keputusan terhadap]semua yang telah kalian perselisihkan itu”(al-Mȃ′idah(5):48)

Terjadinya berbagai permasalahan sosial di tengah masyarakat adalah suatu kenyataan


yang tidak dapat dibantah; bahkan Nabi saw sendiri sampai-sampai mengadukan hal itu kepada
Allah sebagai ditegaskan-Nya di dalam ayat 30 dari al-Furqȃn:”Oh Tuhanku! Kaumku benar-
benar telah meninggalkan Alqur′an ini”.1 Kalau Alqur′an telah ditinggalkan umat, itu berarti
mereka telah berbuat di luar alur yang benar dan patut; bilamana hal ini tidak segera ditangani
secara baik dan profesional, maka kemungkinan terjadinya kerusakan yang lebih parah menjadi
semakin besar.
Buku yang sederhana ini ditulis dalam upaya penanggulangan terhadap kondisi yang
demikian; khususnya dalam bidang akadenik. Artinya apa yang diungkapkan di dalam buku ini
bersifat teoritis konseptual tidak membicarakan hal-hal yang praktis di lapangan. Dari itu untuk

( 30ْ:‫نْقَو ِميْات َ َخذهواْ َهذَاْالقهرآنَْْ َمه هجورا)الفرقان‬


َْ ِ‫بْإ‬ ْ‫سو ه‬
ِْ ‫لْيَاْ َر‬ ‫الر ه‬
َ ْ‫ل‬َْ ‫ َوقَا‬1
2
mengaplikasikannya diperlukan buku yang lebih bersifat praktis aplikabel sehingga umat dapat
langsung menerapkannya sesuai situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
B.Ruang Lingkup Kajian
Buku ini terdiri atas tiga pokok bahasan. Pertama membicarakan pendidikan dan iptek;
kedua membahas kehidupan berbangsa dan bernegara; dan ketiga penanggulangan permas
alahan perempuan. Ketiga permasalahan ini sepintas lalu sederhana sekali; tapi bila diamati
dengan saksama maka akan terasa ketiga hal itu adalah suatu yang amat krusial dan perlu
ditangani secara saksama dan tuntas. Hal itu terutama dikarenakan permasalahan tersebut
menyangkut hajat hidup masyarakat pada umumnya. Pendidikan dan iptek, misalnya,
merupakan pondasi pertama dan utama dalam memajukan peradaban umat manusia kapan pun
dan di mana pun mereka berada. Dari itu hal ini harus diolah secara serius dan professional;
tidak boleh keluar sedikit pun dari alur kebenaran dan kepatutan sesuai norma-norma yang
diatur oleh Allah sebagaimana tertuang secara eksplisit di dalam Alqur′an dan Sunnah Rasul
meskipun hanya dalam bentuk prinsip-prinsip pokoknya saja. Namun hal itu sudah cukup
sebagai pijakan dasar dalam proses pengembangannya.
Kehidupan berbangsa dan bernegara juga tidak kalah pentingnya dari dua permasalahan
lainnya. Hal itu terutama berdasarkan realitas kehidupan, di mana seseorang mustahil dapat
hidup sendirian di alam ini tanpa teman. Jangankan untuk mengurusi hal-hal yang besar seperti
kehidupan berbangsa dan bernegara; bahkan hal yang sangat sepele saja kita membutuhkan
teman. Senyum, misalnya, tidak bisa dilakukan sendirian tanpa teman; padahal yang bergerak
bibirnya sendiri. Begitulah besarnya peranan teman dalam kehidupan. Berdasarkan kenyataan
itu, maka sangat logis bilamana permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi isu
sentral yang sangat penting dalam ajaran Islam. Karenanya tidak aneh ketika Nabi saw telah
hijrah ke Madinah, maka beliau segera membentuk apa yang dalam sejarah peradaban Islam
dikenal dengan sebutan Islamic Civil Society. Inilah cikal bakal lahirnya Negara Islam yang
langsung dipimpin oleh Rasulullah. Setelah terbentukanya Negara Islam ini barulah mereka
mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam mengembangkan ajaran Islam ke seluruh penjuru
dunia dan masyarakat internasional pun mengakuinya. Hanya dalam kurun waktu sepuluh
tahun negara baru ini tumbuh dan berkembang sangat pesat. Ini terbukti tidak sampai satu abad
Negara Islam ini pun telah menyebar luas, sehingga mereka menguasai sepertiga wilayah
dunia, mulai dari Cina di timur membentang luas sampai ke Utara Spanyol, di barat

3
sebagaimana diakui oleh para sejarahwan Barat dan Timur;2 padahal sebelumnya pada periode
Mekah selama tigabelas tahun mereka betul-betul hina tidak punya kekuatan apa-apa, bahkan
mereka diintimidasi, difitnah, dikejar-kejar, malah menjadi bulan-bulanan di tengah kaum
musyrik Quraisy di Mekah. Fakta ini menjadi bukti yang sangat autentik betapa besarnya
peranan negara dalam keberhasilan suatu ajaran. Dalam konteks inilah perlunya dikaji dengan
saksama apa petunjuk Alqur′an berkeaan dengan permasalahan kehidupan berbangsa dan
bernegara ini.
Permasalahan ketiga yang juga harus mendapat perhatian serius ialah masalah
perempuan. Bolehjadi ada yang berkata kenapa masalah perempuan selalu ditonjolkan
sementara masalah pria tidak pernah atau jarang sekali diekspos atau dijadikan topik bahasan.
Hal ini tidak hanya terdapat dalam karya para ilmuwan; bahkan di dalam kitab suci Alqur′an
sendiri tidak ada apa yang disebut Surat al-Rijȃl(surat laki-laki) yang ada hanyalah Surat al-
Nisȃ′ (surat perempuan). Sebenarnya hal itu tidak perlu menjadi persoalan karena
permasalahan perempuan tidak dapat dilepaskan secara total dari persoalan pria. Atau dengan
kata lain pria dan wanita adalah satu paket; disebut satu yang lain inklusif di dalamnya.
Apabila salah satu pihak mederita, misalnya, maka akan berimbas kepada yang lain; begitu
seterusnya. Dalam konteks inilah Rasulullah memesankan dalam hadisnya yang sahih:
ْ‫ش ٍْة‬ ِ َ‫ّل ْأَنْ ْيَأتِينَْ ْ ِبف‬
َ ‫اح‬ ْ َ ‫ ْ ِإ‬، َ‫ن ْشَيئا ْغَي َْر ْذَلِك‬ َْ ‫ ْلَي‬،‫ان‬
َْ ‫س ْت َم ِل هكونَْ ْ ِمن هه‬ ٍ ‫ن ْ ِعندَ هكمْ ْ َع َو‬
َْ ‫ ْفَإِنَ هه‬،‫اء ْخَيرا‬
ِْ ‫س‬ ‫ْ«است َو ه‬:‫قَا َلْ رسولْهللاْصْم‬
َ ِ‫صوا ْ ِبالن‬
ْ‫ن ْلَ هكمْ ْ ِمن‬
َْ ‫ ْ ِإ‬،‫س ِبيل‬ َْ ‫ل ْتَبغهوا ْ َعلَي ِه‬
َ ْ‫ن‬ َ َ ‫ ْفَإِنْ ْأ‬،ٍ‫ضربا ْغَي َْر ْ هم َب ِرح‬
ْ َ َ‫طعنَ هكمْ ْف‬ َْ ‫ ْ َواض ِربهوه‬،ِ‫اجع‬
َ ْ ‫هن‬ ِ ‫ض‬ َْ ‫ ْفَإِنْ ْفَ َعلنَْ ْفَاه هج هروه‬،ٍ‫هم َب ِينَة‬
َ ‫هن ْ ِفي ْال َم‬
ْ، َ‫نْفِيْبهيهوتِ هكمْ ْ ِل َمنْْتَك َر ههون‬
َْ َ ‫ّلْيَأذ‬ َ ‫ن ْفه هر‬
ْ َ ‫ ْ َو‬، َ‫ش هكمْْ َمنْ ْتَك َر ههون‬ َ ِ‫ْفَأ َ َما ْ َحقُّ هكمْ ْ َعلَى ْن‬،‫سا ِئ هكمْ ْ َعلَي هكمْْ َحقًّا‬
ْ َ َ‫ ْف‬،‫سائِ هكم‬
َْ ‫لْي َهو ِطئ‬ َ ِ‫ ْ َو ِلن‬،‫سائِ هكمْ ْ َحقًّا‬
َ ِ‫ن‬
َْ ‫ام ِه‬
)594ْ/1:ْ‫ن»)سننْابنْماجه‬ َ ‫نْ َو‬
ِ َ‫طع‬ َْ ‫نْ َعلَي هكمْْأَنْْتهح ِسنهواْإِلَي ِه‬
َْ ‫نْفِيْ ِكس َوتِ ِه‬ ْ َ َ‫أ‬
َْ ‫ّلْ َو َحقُّ هه‬
Rasulullah saw bersabda:”Perlakukan isteri-isteri kalian dengan baik karena mereka
bagaikan tawanan di rumahmu. Kalian tidak boleh memperlakukan mereka layaknya hak-
milik; akan tetapi jika mereka terbukti melakukan suatu tindakan yang keji, maka pisahkan
mereka dari tempat tidur dan boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak
mencederai[jiwa raga] mereka. Jika mereka telah menunjukkan kepatuhan kepadamu, maka
jangan mencari-cari kesalahan mereka. Kalian berhak mendapatkan pelayanan dari isterimu;
sebaliknya isteri pun mempunyai hak yang harus kalian tunaikan kepada mereka. Adapun hak
kalian yang harus dipenuhi oleh isteri ialah mereka tidak membolehkan pria lain tidur di
tempat tidurmu dan tidak mengizinkan tinggal di rumahmu, orang yang kalian benci. Ingatlah
hak mereka yang harus kalian tunaikan ialah menyediakan fasilitas bagi keperluan mereka
berupa sandang, pangan dan papan”(Sunan Ibn Mȃjah, I/594)

2
Selanjutnya, lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, London: the Macmillan Press Ltd., Cet. X, hlm. 501.

4
Tampak dengan jelas di dalam hadis itu, di mana Nabi saw menggambarkan bahwa
suami-isteri mempunyai tugas sesuai kodratnya masing-masing. Itu artinya tidak boleh ada
yang merasa lebih unggul dari yang lain; tapi masing-masing mempunyai kehebatan dan
keistimewaan yang tidak dipunyai oleh yang lain, sesuai tupoksinya(tugas pokok dan
fungsinya) masing-masing. Hal-hal semacam inilah yang akan dibahas pada bagian ketiga
dalam tulisan ini.
Perlu ditegaskan bahwa apa yang dibahas di dalam buku ini baru hal-hal yang bersifat
prinsip pokok berupa konsep-konsep yang perlu dijabarkan lebih rinci; namun sebagai informasi
awal hal itu dipandang cukup. Moga-moga Allah mengaruniai kita semua, kekuatan lahir batin
untuk dapat mengamalkan ajaran-ajaran yang tertuang di dalam kitab suci yang di turunkan-Nya
lebih 1450 tahun yang lalu.

5
KEDUA

PENDIDIKAN DAN IPTEK

1
6
PRINSIP PENGEMBANGAN IPTEK
PERSPEKTIF ALQUR′AN

A.Pendahuluan
Di dalam kehidupannya, umat manusia tidak dapat membebaskan diri dari produk-
produk iptek. Sebab, semua kebutuhan mereka, mulai dari pangan, sandang, dan papan, tidak
mungkin terwujud tanpa Iptek. Bisa dikatakan, Iptek merupakan bagian inheren dalam
kehidupan manusia, sehingga tidak bisa dipisahkan dari mereka.
Di dalam Alqur′an, keberadaan Iptek digambarkan dengan menggunakan kosakata al-
‘ilm dalam berbagai konjugasinya dan terulang sebanyak 803 kali. Sementara kosakata lain
yang juga memberi isyarat terhadap pengembangan iptek ditemukan pula lebih dari 1810 kali
dalam berbagai term dan lafadz. Term al-fikr misalnya, disebutkan sebanyak 18 kali, al-fiqh 20
kali, al-’aql 49 kali, al-qira'ah 17 kali, tadbîr 8 kali, al-dzikr 273 kali, al-bashar 148 kali, al-
ra'y 326 kali, al-sam’ 174 kali, fu'âd 16 kali, qalb 132 kali, al-sayr 23 kali, dan al-nazhr 129
kali.3 Jika ditotal, semuanya berjumlah 1810 kata sebagaimana telah disebut.
Data tersebut memberikan beberapa informasi penting kepada kita mengenai
kedudukan iptek dalam Alqur′an. Pertama, Allah menginginkan Iptek itu dikembangkan.
Kedua, Iptek tidak terpisah dari ajaran Islam, malah merupa kan bagian yang integral darinya.
Ketiga, tujuan pengembangan Iptek itu adalah untuk meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan
dan kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat; bukan sebaliknya. Itu berarti, iptek tidak
bebas nilai, melainkan selalu mengacu pada nilai-nilai luhur yang transenden. Epistemologi
inilah yang seharusnya dianut dan dijadikan dasar pijakan oleh para ilmuwan dalam
mengembangkannya. Berbagai kerusakan yang terjadi di muka bumi tidak terlepas dari
pengembangan epistemologi iptek yang bebas nilai. Akibatnya, dunia sekarang mulai
merasakan ‘buah pahit’ yang dihasilkannya berupa ekosistem yang semakin labil, efek rumah
kaca, dan berkurangnya lapisan ozon di atmosfer. Bahkan, pada tahun 2050 diperkirakan ozon
akan tereduksi hingga 10%. Jika hal ini terjadi, akan muncul bencana besar bagi kehidupan di
muka bumi, sebab ozon itulah satu-satunya yang melindungi makhluk hidup dari sinar

3
Muhammad al-Fu'âd ’Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur'ân, t.tp., Dâr al-Fikr, cet. ke-1,
1986, hlm. 121-123; 252; 270-275; 280-285; 358-361; 374; 468-480; 510; 525; 549-551; 705-707.

7
ultraviolet matahari. Perkiraan ini masuk akal karena pada tahun 1986 telah ditemukan lubang
ozon di atas Antartika dan ternyata meluasnya lebih cepat dari dugaan.4
Rusaknya ozon itu disebabkan oleh segolongan zat kimia yang disebut CFC (Chloro
Fluoro Carbon). CFC banyak digunakan dalam industri dan kehidupan kita sehari-hari, antara
lain sebagai gas freon yang dipakai dalam alat pendingin AC dan lemari es. Zat ini juga
digunakan sebagai gas pendorong dalam aerosol, misalnya parfum, hairspray, dan zat racun
hama.5 Tidak hanya itu, setiap tahun, 6 juta hektar tanah produktif berubah menjadi gurun dan
dalam kurun waktu 3(tiga) dasawarsa yang akan datang diperkirakan gurun akan bertambah
seluas Arab Saudi.6
Kasus Minamata di Jepang masih segar dalam ingatan kita. Di mana limbah
Methylmercuri (MeHg) yang berasal dari pabrik Chisso, telah membuat kehidupan berantakan.
Manusia yang terserang menderita sakit dengan gerakan yang tidak terkontrol. Sementara itu,
ikan mati mengambang di permukaan laut, burung jatuh dari udara, dan ayam, anjing, babi,
serta musang menjadi gila. Di samping itu, ada pula laporan berjangkitnya penyakit baru di
Jepang, yang diberi nama itai-itai. Tulang penderita penyakit ini menjadi rapuh sehingga
rentan mengalami patah tulang. Pemerintah Jepang secara resmi menyatakan logam air raksa
(MeHg) sebagai penyebab penyakit Minamata dan logam Cadmium yang menjadi penyebab
itai-itai.7
Sebenarnya masih banyak fakta yang menggambarkan berbagai kerusakan yang terjadi
di alam ini seperti polusi udara yang sangat mencemaskan, terutama di kota-kota besar dunia
seperti London, Los Angeles, dan Tokyo. Polusi udara yang dialami Los Angeles setengah
abad yang silam cukup parah akibat penggunaan teknologi modern. Kota ini pernah diselimuti
asap yang berasal dari knalpot kendaraan bermotor dan cerobong pabrik. Dampaknya,

4
Ozon ialah senyawa kimia yang terdiri atas tiga atom oksigen. Di lapisan atmosfer yang rendah ia
mengganggu kesehatan. Di lapisan atas atmosfer ia melindungi makhluk hidup dari sinar ultraviolet yang
dipancarkan oleh matahari. Apabila kadar ozon dalam lapisan itu berkurang, maka kadar sinar ultraviolet yang
sampai ke bumi bertambah. Dengan ini risiko untuk mengidap penyakit kanker kulit, katarak, dan menurunnya
kekebalan tubuh akan meningkat. (Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta:
Penerbit Djambatan, Cet. IV, 1989, hlm. 16).
5
Ibid.
6
Haidar Baqir dan Zainal Abidin, dalam Mahdi Ghulsyami, Filsafat Sains Menurut Alqur’an , Bandung:
Penerbit Mizan, cet. III, 1990, hlm. 8.
7
Otto Soemarwoto, Ibid., hlm. 11.

8
kesehatan warga menjadi terganggu, terutama saluran pernapasan mereka. Tidak cukup di situ,
asap juga merusak tanaman sayuran dan buah-buahan.8
Sejak peristiwa itu, mulai tumbuh kesadaran bahwa teknologi modern menjadi
bumerang bagi kehidupan. Jika diibaratkan seperti “madu berisi racun”. Sekitar 12 tahun yang
lalu Jakarta tercatat sebagai kota ketiga setelah Meksiko dan Bangkok yang memiliki tingkat
polusi udara mencapai ambang batas.9
Fakta-fakta itu cukup memberikan bukti kepada kita bahwa bila iptek yang
dikembangkan tidak didasarkan pada nilai-nilai moral dan kemanusiaan, ia bisa menjadi liar
dan tidak terkendali. Akibat buruknya, iptek akan menabrak rambu-rambu kebenaran dan
moralitas yang pada gilirannya menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Ini
seperti diingatkan Allah di dalam al-Rûm ayat 41: “Telah bermunculan kerusakan di daratan
[termasuk ruang angkasa] dan di lautan [termasuk perut bumi] disebabkan oleh tangan-tangan
manusia agar mereka merasakan sebagian dari perbuatan mereka, supaya mereka [segera
menyadari kekeliruan itu dan] kembali ke jalan yang benar.”10
Islam -dengan Alqur′an sebagai pijakan dasarnya dan Sunnah acuan operasionalnya-
menganjurkan dan mendorong umat mengembangkan iptek; namun tidak boleh keluar garis
atau salah kaprah (misleading) dalam pengembang annya. Terjadinya berbagai kerusakan
sebagaimana telah disebutkan, tidak terlepas dari epistemologi pengembangan Iptek yang salah
kaprah tersebut.
Berangkat dari realitas yang demikian, maka para ilmuwan pun mulai mengeritik
epistemologi tersebut, yaitu epistemologi yang bebas nilai karena sebenarnya tidak ada ilmu
yang tanpa nilai. Menurut mereka, ilmu (sains) terbentuk oleh pengaruh personal,
pertimbangan kelompok, dan cara pandang sosial sang ilmuwan. Alam ini tidak menjelaskan
sendiri dirinya, maka sang ilmuwanlah yang memberi makna kepada pesan-pesan alam itu.
Jadi, tidak ada istilah ilmu netral, bebas nilai, dan objektif sebagaimana diakui oleh para
ilmuwan Barat seperti Polonyi, Feyerabend, Whitehead Kuhn, Mittroff, dan Parvez; dan
ilmuwan dari luar Barat seperti Roszak, Nashr, Illic, dan Naquib al-Attas. Selain tokoh-tokoh
ilmuwan ini, David Home, seorang ilmuwan kawakan, juga mengeritik keras epistemologi

8
Ibid., hlm. 10.
9
Harian Republika, “Pencemaran Udara”, Senin 17 Juni 1996.
َ )41َ:‫عمِ لواَ َلعَلَّه َْمَيَ ْر ِجعونَََ(الروم‬
َ َ‫ضَالَّذِي‬ َ ِ َّ‫تَأ َ ْيدِيَالن‬
ََ ‫اسَلِيذِيقَه َْمَبَ ْع‬ َ ‫سادََفِيَ ْالبَ َِرَ َو ْالبَحْ َِرَبِ َماَ َك‬
َْ ‫س َب‬ َ َ‫ظ َه ََرَ ْالف‬
َ 10

9
yang selama ini dikembangkan di Barat. Sebagaimana dikatakannya, “Ilmuwan bekerja dalam
kerangka sistem kepercayaan atau paradigmanya.”11
Berdasarkan kondisi tersebut, sangat masuk akal apabila para ilmuwan muslim ingin
mengembalikan epistemologi ilmu yang telah keluar dari rel yang benar itu, dan ditempatkan
kembali pada posisi yang tepat sesuai ketentuan Allah SWT. Inilah target yang ingin dijelaskan
oleh tulisan ini.

B.Alqur′an dan Iptek


Menyebut Alqur′an bersamaan dengan iptek tidak dimaksudkan bahwa Alqur′an sama
statusnya dengan iptek, melainkan untuk mengingatkan kita bahwa:1) Ajaran Alqur′an
senantiasa sejalan dengan iptek; 2) Alqur′an selalu mendorong pengembangan iptek;
3)Pengembangan iptek tidak boleh menyele weng dari Alqur′an atau bertentangan dengannya;
dan 4) Iptek merupakan sarana bagi aplikasi ajaran Alqur′an.
Banyaknya ayat Alqur′an yang menginformasikan berbagai hal yang berhubungan
dengan ilmu dapat menjadi bukti autentik atas kebenaran tesis di atas. Berbagai informasi yang
disampaikan Alqur′an, misalnya, lewat kisah para nabi dan rasul, tampak dengan jelas bahwa
Allah ingin mengintrodusir dan melakukan transformasi teknologi kepada umat manusia.12
Nuh, misalnya, memperkenalkan teknologi pembuatan kapal (QS.11:37-3813); Ibrahim teknik
bangunan (QS. 2:12714); sementara Hud di bidang industri dan peternakan (QS. 26:129,132-
13415); Soleh di bidang pertanian (QS.26:147-14816); dan Syu’aib, sektor perdagangan. Selain
bidang-bidang teknik sipil dan pertanian, manusia diperkenalkan pula dengan teknik industri
seperti Nabi Dawud yang mengajarkan pembuatan baju besi.

11
Kutipan Haidar Bagir dari Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, t.tp.: Pustaka Salman, 1987, hlm. 92.
Lihat pula Syekh Naquib al-Attas, “Dewesternisasi Pengetahuan” dalam Islam dan Sekulerisme, t.tp.: Pustaka
Salman, 1981.
12
Dalam hal ini informasi yang cukup memadai dan representatif dapat ditemukan dalam Syawqî Abû
Khalîl, Athlas Alqur’an , Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, Cet. II, 2003. Karya ini sesuai namanya Athlas Alqur’an ,
memuat penjelasan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu di dalam Alqur’an , beserta peta wilayah tempat
mereka bersama kaumnya beraktivitas.
َ‫ن‬ ََ ‫سخِ رواَمِ ْنهََقَا‬
َْ ِ‫لَإ‬ َْ ِ‫ل أَم‬
َ َ‫نَقَ ْومِ َِه‬ َ َ‫صنَعََ ْالف ْلكَََ َوكلَّ َماَ َم ََّر‬
َ َ ‫علَ ْي َِهَ َم‬ ْ ‫َ َو َي‬.َََ‫ظلَمواَإِنَّه َْمَم ْغ َرقون‬ َ َََ‫لَتخَاطِ ْبنِيَفِيَالَّذِين‬ ََ ‫صن ََعَِ ْالف ْلكَََبِأَعْي ِننَاَ َو َوحْ يِنَاَ َو‬ ْ ‫ َوا‬13
ْ
َ ََ)37-38َ:‫ت َ ْسخَرواَمِ نَّاَفَإِنَّاَنَ ْسخَرََمِ نك َْمَ َك َماَت َ ْس َخرونََ(هود‬
ْ
َ )127َ:‫َّلَمِ ناَإِنكَََأنتَََالسَّمِ يعََالعَلِيمََ(البقرة‬ْ َ َّ َّ َِ ‫ َوإِ َْذَيَ ْرفَعََإِب َْراهِيمََ ْالقَ َوا ِع ََدَمِ نَََ ْالبَ ْي‬14
َْ ‫تَ َو ِإ ْس َماعِيلََ َربَّنَاَتَقَب‬
ََ‫)َ َو َجنَّاتََ َوعيون‬133(َََ‫)َأ َمدَّك َْمَبِأ ْنعَامََ َو َبنِين‬132(َََ‫) َواتقواَالذِيَأ َمدَّك َْمَبِ َماَت َ ْعلمون‬129َ:‫صانِ ََعَلَعَلَّك َْمَت َْخلدونَََ(الشعراء‬
َ َ َ َ َّ َّ َ ‫ َوتَتَّخِ ذونَََ َم‬15
َ )134َ–َ132َ:‫(الشعراء‬
َ )148َ-147َ:‫)(الشعراء‬148(َ‫َضي أَم‬ ِ ‫ط ْلع َهاَه‬َ ََ‫)َ َوزروعََ َون َْخل‬147(ََ‫فِيَ َجنَّاتََ َوعيون‬16

10
‫‪Demikian pula teknik arsitektur, seni ukir, pahat, dan sebagainya (QS. 21: 8017; 34:10-‬‬
‫‪1118). Kaum ‘Ȃd dan Tsamûd, misalnya, terkenal ahli memahat batu; sehingga mereka‬‬
‫‪membangun rumah tempat tinggal mereka di bukit-bukit batu cadas hingga membentuk rumah-‬‬
‫‪rumah yang artistik dan menakjubkan, yang sampai sekarang masih dapat disaksikan di‬‬
‫‪wilayah antara Hijaz dan Syam.‬‬
‫‪Begitu pula di bidang wirausaha. Jika ingin menjadi kaya raya, maka bidang ini harus‬‬
‫‪ditekuni. Namun, bila kekayaan tidak didasari dengan iman, maka pemiliknya akan celaka.‬‬
‫‪Itulah yang dipesankan Allah lewat kisah Qarun, umat Nabi Musa yang sangat populer sebagai‬‬
‫;‪orang yang paling kaya di kala itu, tapi hidupnya berakhir sengsara karena kesombongan‬‬
‫‪yakni ditelan oleh bumi bersama harta-kekayaannya. Bidang ilmu pemerintahan diperankan‬‬
‫‪oleh Nabi Dawud dan putranya, Nabi Sulaiman (QS. 21:78-7919; 38:2620); bahkan, Sulaiman‬‬
‫‪tidak hanya menjadi raja manusia, melainkan juga menguasai makhluk-makhluk lain seperti‬‬
‫‪jin, burung, angin, dan lain-lain (QS. 27:15-4421).‬‬
‫‪Selain ilmu pemerintahan, kisah Sulaiman juga mengisyaratkan bidang telekomunikasi‬‬
‫‪informasi dan transportasi. Nabi Sulaiman sendiri adalah ahli dalam berbagai bahasa, tidak‬‬

‫لَأ َ ْنت َْمَشَاكِرونَََ(األنبياء‪َ )80َ:‬‬ ‫نَبَأْسِك َْمَفَ َه َْ‬ ‫صنَك َْمَمِ َْ‬ ‫ص ْنعَ َةََ َلبوسََلَك َْمَلِتحْ ِ‬ ‫علَّ ْمنَاهََ َ‬ ‫‪َ 17‬و َ‬
‫صا ِل ًحاَإِنِيَبِ َماَ‬ ‫ِرَفِيَالس َّْر َِدَ َوا ْع َملواَ َ‬ ‫سابِغَاتََ َوقَد َْ‬ ‫لَ َ‬ ‫نَا ْع َم َْ‬ ‫َ‬
‫ْرَ َوألنَّاَلهََال َحدِي ََدَ(‪َ)10‬أ َِ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َّ‬
‫ْلَيَاَ ِجبَالََأ ِو ِبيَ َمعَهََ َوالطي ََ‬ ‫َ‬ ‫‪َ 18‬ولَقَ َْدَآت َ ْينَاَ َداوو ََدَمِ نَّاَ َفض َ‬
‫ً‬
‫يرَ(‪()11‬سبأ‪َ )11َ،10َ:‬‬ ‫ص أَ‬ ‫ت َ ْع َملونَََبَ ِ‬
‫لَآت َ ْينَاَح ْك ًماَ َوع ِْل ًماَ‬ ‫غنَمََ ْالقَ ْو َِمَ َوكنَّاَلِح ْكمِ ِه َْمَشَا ِهدِينَََ(‪َ)78‬فَفَ َّه ْمنَاهَاَسلَ ْي َمانَََ َوك ً َ‬ ‫َتَفِي َِهَ َ‬ ‫ثَإِ َْذَنَفَش َْ‬ ‫انَفِيَ ْال َح ْر َِ‬ ‫‪َ 19‬و َداوو ََدَ َوسلَ ْي َمانَََإِ َْذَيَحْ ك َم َِ‬
‫ْرَ َوكنَّاَفَا ِعلِينَََ(‪(َ)79‬األنبياء‪َ )79َ–َ78َ:‬‬ ‫الطي ََ‬ ‫س ِبحْ نَََ َو َّ‬ ‫لَي َ‬ ‫س َّخ ْرنَاَ َم ََعَ َداوو ََدَ ْال ِجبَا ََ‬ ‫َو َ‬
‫ّللاَلَه َْمَ‬ ‫لَ ََِّ‬ ‫سبِي َِ‬ ‫نَ َ‬ ‫ع َْ‬ ‫ضلونَََ َ‬ ‫ُّ‬ ‫نَالذِينَََيَ ِ‬ ‫َّ‬ ‫ّللاَإِ ََّ‬ ‫لَ ََِّ‬ ‫سبِي َِ‬ ‫نَ َ‬ ‫ع َْ‬‫ضلكَََ َ‬ ‫َّ‬ ‫لَتَت َّ ِب َعَِال َه َوىَفَي ِ‬ ‫ْ‬ ‫قَ َو ََ‬ ‫اسَبِال َح َِ‬ ‫ْ‬ ‫ضَفَاحْ ك َْمَبَيْنَََالنَّ ِ َ‬ ‫‪20‬يَاَ َداوودََ ِإنَّاَ َجعَلنَاكَََ َخلِيفَ َةًَفِيَ ْاأل َ ْر ِ َ‬ ‫ْ‬
‫بَ(ص‪َ )26َ:‬‬ ‫سا َِ‬ ‫شدِي أَدَبِ َماَنَسواَيَ ْو ََمَ ْالحِ َ‬ ‫عذَابأََ َ‬ ‫َ‬
‫َ‬
‫ل َيَا َأَيُّ َها َالنَّاسََ‬ ‫ن َ ِعبَا ِدَِه َ ْالمؤْ مِ نِينََ َ(‪َ َ)15‬و َو ِرثََ َسلَ ْي َمانَ َ َداوو ََد َ َوقَا ََ‬ ‫علَى َ َكثِيرَ َمِ َْ‬ ‫ض َلنَا َ َ‬ ‫لِل َالَّذِي َفَ َّ‬ ‫ال َ ْال َح ْمدَ َ ِ ََِّ‬ ‫‪َ 21‬ولَقَ َْد َآت َ ْينَا َ َداوو ََد َ َوس َل ْي َمانََ َع ِْل ًما َ َوقَ ََ‬
‫ْر َفَه َْم َيوزَ عونََ َ(‪َ َ)17‬حتَّى َإِ َذاَ‬ ‫الطي َِ‬ ‫س َ َو َّ‬ ‫اْل ْن ِ َ‬ ‫ن َ َو ْ ِ‬ ‫ْ‬
‫ِر َلِسلَ ْي َمانََ َجنودهَ َمِ نََ َال ِج َِ‬ ‫ن َ َهذَا َلَه ََو َالفَضْلَ َالم ِبينَ َ(‪َ َ)16‬وحش ََ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫َيءَ َإِ ََّ‬ ‫ل َش ْ‬ ‫ن َك َِ‬ ‫ْر َ َوأوتِينَا َمِ َْ‬ ‫الطي َِ‬ ‫عل ِْمنَا َ َم ْنطِ قََ َ َّ‬
‫بَ‬‫ل َ َر َِ‬ ‫ن َقَ ْو ِل َها َ َوقَا ََ‬ ‫ضاحِ ًكا َمِ َْ‬ ‫ل َ َي ْشعرونََ َ(‪َ)18‬فَتَبَس َََّم َ َ‬ ‫ل َيَحْ طِ َمنَّك َْم َسلَ ْي َمانَ َ َوجنودهَ َ َوه َْم َ ََ‬ ‫سا ِكنَك َْم َ ََ‬ ‫ت َن َْملَ َةأ َيَا َأَيُّ َها َالنَّ ْملَ َادْخلوا َ َم َ‬ ‫ل َقَالَ َْ‬ ‫علَى َ َوا َِد َالنَّ ْم َِ‬ ‫أَت َْوا َ َ‬
‫ِيَ‬
‫لَ َماَل ََ‬ ‫ْرَفَقَا ََ‬ ‫الطي ََ‬ ‫صالِحِ ينَََ(‪َ َ)19‬وتَفَقَّ ََدَ َّ‬ ‫ضاهََ َوأ َ ْدخِ ْلنِيَبِ َرحْ َمتِكَََفِيَ ِعبَادِكَََال َّ‬ ‫صا ِل ًحاَت َْر َ‬ ‫لَ َ‬ ‫نَأ َ ْع َم ََ‬ ‫يَ َوأ َ َْ‬ ‫علَىَ َوا ِل َد ََّ‬ ‫يَ َو َ‬ ‫علَ ََّ‬ ‫نَأ َ ْشك ََرَنِ ْع َمت َكَََالَّتِيَأَ ْن َع ْمتَََ َ‬ ‫أ َ ْو ِز ْعنِيَأ َ َْ‬
‫طتَ َبِ َما َلَ َْم َتحِ َْ‬
‫ط َبِ َِهَ‬ ‫ل َأ َ َح ْ‬ ‫غَْي ََر َبَعِيدَ َفَقَا ََ‬ ‫طانَ َمبِينَ َ(‪َ)21‬فَ َمكَثََ َ َ‬ ‫شدِيدًا َأ َ َْو َ َأل َ ْذبَ َح َّنهَ َأ َ َْو َلَيَأْتِ َينِي َبِس ْل َ‬ ‫عذَابًا َ َ‬ ‫ع ِذبَنَّهَ َ َ‬ ‫ل َأ َ َرى َ ْالهدْه ََد َأ ََْم َكَانََ َمِ نََ َ ْالغَائِ ِبينََ َ(‪َ َ)20‬أل َ‬ ‫ََ‬
‫ون َ ََِّ‬
‫ّللاَ‬ ‫ن َد َِ‬ ‫س َمِ َْ‬ ‫ش ْم ِ َ‬ ‫عظِ ي أَم َ(‪َ َ)23‬و َجدْت َها َ َوقَ ْو َم َها َيَسْجدونََ َلِل َّ‬ ‫شَ َ‬ ‫ع ْر أَ‬ ‫َيءَ َ َولَ َها َ َ‬ ‫ِ ْ‬ ‫ش‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ل‬ ‫ك‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ن‬ ‫ْ‬ ‫مِ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ت‬‫ْ‬ ‫ي‬
‫َ‬ ‫ت‬
‫ِ‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫َ‬
‫ْ َ‬ ‫َ‬
‫م‬ ‫ه‬ ‫ِك‬ ‫ل‬ ‫َم‬
‫ْ‬ ‫ت‬ ‫َ‬ ‫ً‬ ‫َ‬
‫ة‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫ر‬ ‫َ‬ ‫ام‬‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ْت‬
‫َ‬ ‫د‬ ‫ج‬
‫ِ َ َ‬ ‫و‬ ‫َ‬ ‫ِي‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ‫)َ‬ ‫‪22‬‬ ‫(‬ ‫َ‬ ‫ِين‬
‫َ‬ ‫ق‬ ‫ي‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫إ‬
‫َ‬ ‫ب‬
‫َ‬ ‫ن‬
‫َ‬ ‫ب‬
‫َ ِ‬ ‫َ‬ ‫إ‬
‫َ‬ ‫ب‬
‫َ‬ ‫س‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ن‬‫ْ‬ ‫مِ‬ ‫َ‬ ‫كََ‬ ‫ت‬ ‫ْ‬ ‫ئ‬‫ج‬ ‫ِ‬ ‫َو‬
‫ض َ َويَ ْعلَمَ َ َما َت ْخفونََ َ َو َماَ‬ ‫ت َ َو ْاأل َ ْر ِ َ‬ ‫س َم َاوا َِ‬ ‫لِل َالَّذِي َي ْخ ِرجَ َ ْالخَبْ ََء َفِي َال َّ‬ ‫ل َيَسْجدوا َ ِ ََِّ‬ ‫ل َيَ ْهت َدونََ َ(‪َ)24‬أ َ ََّ‬ ‫ل َفَه َْم َ ََ‬ ‫س ِبي َِ‬ ‫ن َال َّ‬ ‫ع َِ‬ ‫َ‬
‫َ ْ َ ْ َ‬ ‫َ‬
‫م‬ ‫َّه‬ ‫د‬ ‫ص‬ ‫ف‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫م‬ ‫ه‬ ‫َ‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ع‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫َ‬ ‫ان‬
‫َ‬ ‫ط‬‫َ‬ ‫ي‬
‫ْ‬ ‫َّ‬
‫ش‬ ‫ال‬ ‫َ‬ ‫م‬
‫َ‬ ‫ه‬ ‫َ‬ ‫ل‬‫َ‬ ‫َّنََ‬ ‫ي‬ ‫زَ‬ ‫َو‬
‫ع ْنه َْمَفَا ْنظ َْرَ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ل‬ ‫َّ‬
‫ِ ِ ْ َّ َ َ‬ ‫َو‬ ‫ت‬‫َ‬ ‫َ‬
‫م‬ ‫ث‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫م‬ ‫ه‬ ‫ي‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫َ‬
‫ه‬ ‫ق‬
‫ِ‬ ‫ْ‬
‫ل‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫َ‬
‫ف‬ ‫َ‬ ‫ا‬‫َ‬ ‫ذ‬ ‫ه‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ي‬ ‫ب‬
‫ِ ِ‬‫َا‬ ‫ت‬ ‫ك‬
‫ِ‬ ‫ب‬ ‫َ‬ ‫َبَْ‬‫ه‬ ‫ْ‬
‫ذ‬ ‫ا‬ ‫)َ‬ ‫‪27‬‬ ‫(‬ ‫َ‬ ‫ينََ‬ ‫ب‬
‫ِ‬ ‫ذ‬‫ِ‬ ‫َا‬‫ك‬ ‫ْ‬
‫ال‬ ‫َ‬ ‫نََ‬ ‫مِ‬ ‫َ‬ ‫تََ‬ ‫ْ‬
‫ن‬ ‫ك‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫م‬‫ْ‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫َ‬ ‫تََ‬ ‫ْ‬
‫ق‬ ‫د‬
‫َ‬ ‫ص‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫َ‬‫ر‬
‫َ‬ ‫ظ‬ ‫ن‬ ‫ْ‬ ‫ن‬
‫َ‬ ‫س‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ل‬
‫َ‬ ‫ا‬‫َ‬ ‫ق‬ ‫)َ‬ ‫‪26‬‬ ‫(‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫يم‬ ‫َ ِ َ ِ‬ ‫ظِ‬ ‫ع‬ ‫ْ‬
‫ال‬ ‫َ‬‫َ‬
‫ش‬ ‫ر‬ ‫ْ‬ ‫ع‬ ‫ْ‬
‫ال‬ ‫َ‬‫بَُّ‬ ‫ر‬ ‫َ‬
‫َ َ‬ ‫َ‬
‫و‬ ‫ه‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ل‬ ‫َّ‬ ‫إ‬
‫ِ ِ‬‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ه‬ ‫َ‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ل‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ّللا‬ ‫َّ‬ ‫)َ‬ ‫‪25‬‬ ‫(‬ ‫َ‬ ‫ونََ‬ ‫ِن‬ ‫ل‬ ‫ع‬
‫ْ‬ ‫ت‬
‫يَ َوأْتونِيَم ْسلِمِ ينَََ‬ ‫علَ ََّ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫وا‬ ‫ل‬ ‫ع‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ت‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ل‬ ‫َّ‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫)َ‬ ‫‪30‬‬ ‫(‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫يم‬ ‫الر‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ن‬
‫َ َ ِ ِ ِ َّ َّ َ ِ َّ حِ ِ‬ ‫م‬ ‫حْ‬ ‫الر‬ ‫َ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬
‫ّللا‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ْم‬ ‫س‬ ‫ب‬ ‫َ‬ ‫ه‬
‫َ‬ ‫َّ‬
‫ن‬ ‫إ‬ ‫و‬ ‫َ‬ ‫انََ‬ ‫م‬ ‫ي‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ل‬‫س‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ن‬ ‫ْ‬ ‫ِ مِ‬ ‫َ‬ ‫ه‬
‫َ‬ ‫َّ‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ‫)َ‬ ‫‪29‬‬ ‫(‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫م‬
‫ِ أ‬ ‫ي‬ ‫َر‬ ‫ك‬ ‫َ‬ ‫َابأَ‬ ‫ت‬‫ك‬ ‫َ‬
‫َ ِ َّ ِ‬ ‫َ‬
‫ي‬ ‫َ‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ِي‬ ‫ق‬ ‫ْ‬
‫ل‬ ‫أ‬ ‫َ‬ ‫ِي‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ‫َ‬
‫َ َ َ ِ‬ ‫َ‬
‫ل‬ ‫َ‬ ‫م‬ ‫ْ‬
‫ال‬ ‫َ‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ي‬
‫ُّ‬ ‫َ‬ ‫أ‬‫َ‬ ‫ا‬ ‫ي‬‫َ‬ ‫َ‬
‫ت‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫ل‬ ‫ا‬ ‫َ‬ ‫ق‬ ‫)َ‬ ‫‪28‬‬ ‫(‬ ‫َ‬ ‫ونََ‬ ‫ع‬ ‫ج‬ ‫ر‬
‫َ َْ ِ‬ ‫ي‬ ‫َ‬ ‫ا‬‫َ‬ ‫ذ‬ ‫ا‬ ‫م‬
‫شدِيدَ َ َو ْاأل َ ْمرَ َ ِإلَيْكَِ َفَا ْنظ ِري َ َماذَاَ‬ ‫ون َ(‪َ)32‬قَالوا َنَحْ نَ َأولو َق َّوةَ َ َوأولو َ َبأْسَ َ َ‬ ‫ل َأ َ ْفتونِي َفِي َأ َ ْم ِري َ َما َك ْنتَ َقَاطِ َع َةً َأ َ ْم ًرا َ َحتَّى َت َ ْش َهد َِ‬ ‫ت َ َيا َأَيُّ َها َ ْال َم َ َ‬ ‫(‪َ)31‬قَالَ َْ‬
‫سلونَََ‬ ‫نَ ْالملوكَََ ِإذَاَ َدخَلواَقَ ْر َي َةًَأ َ ْف َسدوهَاَ َو َج َعلواَأَع َِّزَة ََأَ ْه ِل َهاَأَذِلَّ َةًَ َو َكذَلِكَََ َي ْف َعلَونَََ(‪َ َ)34‬و ِإنِيَم ْر ِس َل َةأَ ِإلَ ْي ِه َْمَ ِب َه ِديَّةََ َفنَاظِ َرَة أَ ِب ََمَ َي ْر ِجعََ ْالم ْر َ‬ ‫تَ ِإ ََّ‬ ‫ت َأْم ِرينَََ(‪َ)33‬قَالَ َْ‬
‫ل َله َْم َبِ َهاَ‬ ‫َ‬ ‫ل َقِ َب ََ‬ ‫َ‬
‫ار ِج َْع َإِل ْي ِه َْم َفلنَأتِ َينه َْم َبِجنودَ َ َ‬ ‫َّ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫ل َأنت َْم َبِ َه ِديَّتِك َْم َتف َرحونََ َ(‪ْ َ )36‬‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫ْر َمِ َّما َآت َاك َْم َبَ َ‬ ‫ّللا َ َخي أَ‬ ‫ِي َ ََّ‬ ‫َن َ ِب َمالَ َف َما َآت َان ََ‬ ‫َ‬ ‫ل َأتمِ دُّون َِ‬ ‫َ‬ ‫(‪َ )35‬فَلَ َّما َ َجا ََء َسل ْي َمانََ َقا ََ‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫ل َأ ََ‬
‫نَْ‬ ‫َ‬
‫ن َأنَا َآتِيكََ َ ِب َِه َق ْب ََ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫ل َ ِعف ِريتأَ َمِ نََ َال ِج َِ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫ن َيَأتونِي َم ْسلِمِ ينََ َ(‪َ)38‬قا ََ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫ل َأ َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ل َأيُّك َْم َيَأتِينِي َبِعَ ْر ِش َها َق ْب ََ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫ل َ َيا َأيُّ َها َال َم َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫صاغِرونََ َ(‪َ)37‬قا ََ‬ ‫َولَن ْخ ِر َجنَّه َْم َمِ ْن َها َأَذِلَّ َةًَ َوه َْم َ َ‬
‫لَ‬‫ض َِ‬ ‫نَف ْ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫لَ َهذاَمِ َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫نَيَ ْرت َ ََّدَإِليْكَََط ْرفكَََفل َّماَ َرآهََم ْستَق ًِراَ ِعن َدهََقا ََ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫لَأ َ‬‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫بَأنَاَآتِيكَََبِ َِهَق ْب ََ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫لَالذِيَ ِعن َدهََعِل أَمَمِ نَََال ِكتَا َِ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫َّ‬ ‫علَ ْي َِهَلَقَ ِويََأمِ ينأََ(‪َ)39‬قا ََ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫نَ َمقَامِ كَََ َوإِنِيَ َ‬ ‫ومَمِ َْ‬ ‫ت َق ََ‬
‫لَ‬ ‫َّ‬
‫ش َها َنَنظ َْر َأت َ ْهتَدِي َأ َْم َت َكونَ َمِ نََ َالذِينََ َ ََ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ع ْر َ‬ ‫َ‬
‫ل َنَكِروا َل َها َ َ‬ ‫غنِيَ َك َِري أَم َ(‪َ)40‬قَا ََ‬ ‫ن َ َربِي َ َ‬ ‫ن َ َكف َََر َفَإ ِ ََّ‬ ‫ْ‬
‫َرَفَإِن َما َيَشكرَ َ ِلنَف ِس َِه َ َو َم َْ‬ ‫ْ‬ ‫َّ‬ ‫شك ََ‬ ‫نَ َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫َربِي َ ِليَبْل َونِي َأأشكرَ َأ َْم َأكفرَ َ َو َم َْ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫نَ‬‫َت َمِ َْ‬ ‫ّللا َ ِإنَّ َها َكَان َْ‬ ‫ون َ ََِّ‬ ‫ن َد َِ‬ ‫َت َت َ ْعبدَ َمِ َْ‬ ‫ص َّدهَا َ َما َكَان َْ‬ ‫ن َقَ ْب ِل َها َ َوكنَّا َم ْسلِمِ ينََ َ(‪َ َ)42‬و َ‬ ‫ت َ َكأَنَّهَ َه ََو َ َوأوتِينَا َ ْالع ِْل ََم َمِ َْ‬ ‫ل َأَ َه َكذَا َ َع ْرشكَِ َقَالَ َْ‬ ‫ت َقِي ََ‬ ‫يَ ْهت َدونََ َ(‪َ)41‬فَلَ َّما َ َجا َء َْ‬
‫َ‬
‫ظلَ ْمتََنَفسِيَ َوأ ْسلَ ْمتََ‬ ‫ْ‬ ‫بَإِنِيَ َ‬ ‫تَ َر َِ‬ ‫يرَقَالَ َْ‬ ‫نَقَ َو ِار ََ‬ ‫حَم َم َّر أَدَمِ َْ‬ ‫ص ْر أَ‬ ‫لَإِ َّنهََ َ‬ ‫ساقَ ْي َهاَقَا ََ‬ ‫نَ َ‬ ‫ع َْ‬ ‫َتَ َ‬ ‫شف َْ‬ ‫ً‬
‫حَفََلَ َّماَ َرأتْهََ َح ِسبَتْهََل َّج َةَ َو َك َ‬ ‫َ‬ ‫ص ْر ََ‬ ‫لَلَ َهاَادْخلِيَال َّ‬ ‫قَ ْومََكَاف ِِرينَََ(‪َ)43‬قِي ََ‬
‫بَ ْالعَالَمِ ينَََ(‪(َ)44‬النمل‪َ )44-15َ:‬‬ ‫لِلَ َر َِ‬ ‫َم ََعَسلَ ْي َمانَََ ِ ََِّ‬

‫‪11‬‬
hanya bahasa manusia tapi juga bahasa-bahasa makhluk lain seperti bahasa jin, semut, burung,
dan lain-lain. Dengan demikian, dia bisa berkomunikasi dengan berbagai makhluk itu secara
lancar dan efektif. Di samping penguasaan bahasa, dia juga dapat mengendalikan makhluk-
makhluk lain. Salah satu bukti kecanggihan teknologi waktu itu ialah keberhasilan ilmuwannya
memindahkan istana Ratu Bilqis di Yaman, Selatan Jazirah Arab dalam tempo sekejap mata ke
Qudus (Palestina) di Utara Jazirah Arab yang berjarak ribuan kilometer. Keberhasilan ini tidak
tertandingi oleh ‘Ifrit, jin yang paling pintar di kala itu (QS. 27: 38-4022).
Tidak hanya bidang-bidang teknik, Allah juga mengisyaratkan sains modern tentang
kemungkinan rekayasa genetika. Yaitu, dikembangkannya teknik kloning manusia
sebagaimana dalam kisah penciptaan Nabi Isa yang berasal dari ibunya tanpa ayah (QS. 3:4523;
4:17124).
Diberikannya kepada Nabi Isa kemampuan menghidupkan orang mati dan
menyembuhkan berbagai jenis penyakit, memberikan inspirasi yang mendalam kepada umat
manusia bahwa semua penyakit pada umumnya ada obatnya. Jadi, manusia perlu berusaha, dan
tidak boleh putus asa sekalipun seseorang telah mendekati ajalnya. Kecanggihan teknologi
yang diperlihatkan Nabi Isa sampai sekarang belum ada tandingannya, yaitu menghidupkan
orang mati (QS.3:4925; 5: 11026).
Di akhir zaman, kecanggihan teknologi semakin menonjol. Pemikiran-pemikiran
rasional-filosofis semakin marak. Hal ini telah menghasilkan alat-alat komunikasi informasi
yang amat spektakuler, sehingga lahirlah beragam produk industri modern dengan
menggunakan peralatan teknologi super canggih. Tapi, semua itu masih belum dapat
menandingi teknologi yang digunakan Allah ketika menjemput Nabi Muhammad SAW untuk

َ‫علَ ْي َِه‬
َ َ‫نَ َمقَامِ كَََ َو ِإنِي‬ َْ ِ‫ومَم‬
ََ ‫نَت َق‬ َْ َ ‫لَأ‬ََ ‫نَأَنَاَآتِيكَََ ِب َِهَقَ ْب‬ َِ ‫لَ ِع ْف ِريتأََمِ نَََ ْال ِج‬ ََ ‫)َ َقا‬38(َََ‫نَ َيأْتونِيَم ْسلِمِ ين‬ َْ َ ‫لَأ‬ ََ ‫لَأَيُّك َْمَ َيأْتِينِيَ ِب َع ْر ِش َهاَ َق ْب‬ َ َ ‫لَ َياَأَيُّ َهاَ ْال َم‬ ََ ‫قَا‬22
ََ‫لَ َر ِبيَ ِل َيبْل َونِيَأَأ َ ْشكرََأ ََْمَأ َ ْكفر‬ َِ ‫ض‬ ْ َ‫نَف‬ َْ ِ‫لَ َهذَاَم‬ ََ ‫ط ْرفكَََفَلَ َّماَ َرآهََم ْستَق ًِراَ ِع ْن َدهََقَا‬ َْ َ ‫لَأ‬
َ َََ‫نَ َي ْرت َََّدَ ِإلَيْك‬ ََ ‫بَأَنَاَآتِيكَََ ِب َِهَقَ ْب‬ َِ ‫لَالَّذِيَ ِع ْن َدهََع ِْل أَمَمِ نَََ ْال ِكت َا‬ ََ ‫)َقَا‬39(ََ‫لَقَ ِويََأَمِ ينأ‬
َ )40َ–َ38َ:‫)(النمل‬40(َ‫غنِيََك َِري أَم‬ َ َ‫نَ َر ِبي‬ َْ ‫َرَفَإِنَّ َماَ َي ْشكرََ ِلنَ ْف ِس َِهَ َو َم‬
ََّ ِ ‫نَ َكف َََرَ َفإ‬ ََ ‫شك‬ َْ ‫َو َم‬
َ َ‫ن‬
َ ْ ْ ْ ُّ
َ:‫ّللاَيبَشِركََِبِك ِل َمةََمِ نهََاسْمهََال َمسِيحََعِي َسىَابْنََ َم ْر َي ََمَ َو ِجي ًهاَفِيَالدنيَاَ َواْلخِ َرةََِ َومِ نَََالمق َّربِينَََ(آلَعمران‬ ْ ْ َ َّ
َََّ َ‫ن‬
َ ِ‫تَال َملئِكَةََيَاَ َم ْريَمََإ‬ َ ْ َ َ
َِ ‫إِ َذَقال‬ ْ 23

ََ )45
َ )171َ:‫(النساء‬...‫حَمِ ْنه‬ َ‫ّللاَ َو َك ِل َمتهََأ َ ْلقَاهَاَإِلَىَ َم ْريَ ََمَ َورو أ‬ ََِّ ََ‫إِنَّ َماَ ْال َمسِيحََعِي َسىَابْنََ َم َْريَ ََمَ َرسول‬...24
َ‫ي َِ ْال َم ْوت َى‬
َ ْ‫صَ َوأح‬ ََ ‫ّللاَ َوأب ِْرئََ ْاأل َ ْك َم َهََ َو ْاألَب َْر‬ ََِّ َ‫ن‬ َِ ‫طي ًْراَبِإ ِ ْذ‬ َ ََ‫ْرَفَأ َ ْنفخََفِي َِهَفَ َيكون‬ َّ َ‫ينَ َك َه ْيئ َ َِة‬
َِ ‫الطي‬ َِ ‫الط‬ِ َََ‫نَ َربِك َْمَأَنِيَأ َ ْخلقََلَك َْمَمِ ن‬ َْ ِ‫أَنِيَقَ َْدَ ِجئْتك َْمَبِآيَةََم‬...25
َ )49َ:‫نَك ْنت َْمَمؤْ مِ نِينَََ(آلَعمران‬ َ ً
َْ ِ‫نَفِيَذَلِكَََ َْليَ َةَلك َْمَإ‬ ََّ ِ‫ّللاَ َوأنَبِئك َْمَبِ َماَت َأْكلونَََ َو َماَت َ َّدخِ رونَََفِيَبيوتِك َْمَإ‬ ََِّ َ‫ن‬َِ ‫بِإ ِ ْذ‬
ْ ْ ْ
َ‫صَبِإِذنِيَ َوإِ َذَت ْخ ِرجََال َم ْوت َىَبِإِذنِي‬ ْ َ ْ ْ َ ْ
ََ ‫طي ًْراَبِإِذنِيَ َوتب ِْرئََاألك َم َهََ َواألب َْر‬ ْ َ ََ‫ْرَبِإِذنِيَفَت َ ْنفخََفِي َهاَفَت َكون‬ ْ َّ
َِ ‫ينَ َك َه ْيئ َ َِةَالطي‬ ِ َََ‫ َوإِ َذَت َْخلقََمِ ن‬...
َِ ‫الط‬ ْ 26

َ )110َ:‫(المائدة‬...

12
melakukan perjalanan Isrȃ′-Mi’rȃj (QS. 17:1; 53:11-1727) dari bumi (Makkah ke Yerusalem)
terus ke langit, pulang pergi menempuh jarak miliaran tahun cahaya.28
Selain bidang informasi komunikasi, bidang astronomi kedirgantaraan juga tidak luput
dari isyarat Alqur′an . Dalam bidang kedirgantaraan dapat dilihat dari peristiwa Isrȃ′-Mi’raj
tersebut. Sementara dalam bidang astronomi, ayat-ayat Alqur′an telah menginformasikan
bahwa bintang dan benda langit lain berfungsi untuk menjadi pedoman bagi kehidupan
manusia, dan juga sebagai tolok ukur perhitungan waktu (QS. 6:9729; 10:530; 16:1631; 17:1232;
36:36-4033).
Berdasarkan paparan di atas tampak jelas bahwa Alqur′an dan iptek merupakan satu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah satu dari yang lain. Dalam kaitan ini, seorang
ilmuwan ulung semisal Ibnu Rusyd menulis buku yang berjudul Fashl Al-Maqâl fî Mâ Bayn
Al-Hikmah wa Al-Syarî’ah min Al-Ittishâl. Buku ini berisi teori Ibnu Rusyd bahwa tidak ada
pertentangan antara Islam dan filsafat [termasuk Iptek], malah keduanya saling mendukung.34
Kebenaran tesis Ibnu Rusyd itu tidak hanya diakui oleh ilmuwan muslim, bahkan para
ilmuwan Barat dapat menerimanya. Ini terbukti ketika menelaah karya monumental dari
Profesor Philip Hitti, History of the Arabs. Dengan sangat gamblang ia melukiskan berbagai

َ:‫صيرََ(اْلسراء‬ ِ َ‫نَآيَاتِنَاَ ِإنَّهََه ََوَالسَّمِ يعََ ْالب‬َْ ِ‫ار ْكنَاَ َح ْولَهَ َلِن ِريَهََم‬ َ َ‫صىَالَّذِيَب‬ َ ‫امَ ِإلَىَ ْال َمس ِْج َِدَ ْاأل َ ْق‬ َِ ‫ْلَمِ نََ َ ْال َمس ِْج َِدَ ْال َح َر‬ َ ً ‫س ْب َحانَََالَّذِيَأَس َْرىَ ِب َع ْب ِدَِه َلَي‬27
َ‫)َ ِإ َْذَ َي ْغشَى‬15(َ‫)َ ِع ْن َدهَاَ َجنَّةََ ْال َمأ ْ َوى‬14(َ‫)َ ِع ْن ََدَ ِسد َْرةََِ ْالم ْنت َ َهى‬13(َ‫)َ َولَقَ َْدَ َرآهََن َْزلَةًََأ ْخ َرى‬12(َ‫علَىَ َماَ َي َرى‬ َ ََ‫)َأَفَت َمارونَه‬11(َ‫بَ ْالف َؤادََ َماَ َرأَى‬ ََ َ‫)؛ََ َماَ َكذ‬1
َ )17-11:‫)َ(النجم‬17(َ‫طغَى‬ َ َ‫صرََ َو َما‬ َ َ ‫ب‬ ْ
‫ال‬ َ َ
َ
‫غ‬ ‫ا‬ َ‫ز‬ َ ‫ا‬‫م‬ َ َ) 16 ( َ ‫َى‬ ‫ش‬ ‫السد َْرَة ََ َماَ َي ْغ‬
ِ
28
Alqur′an menginformasikan bahwa Nabi melakukan Isrȃ′ (perjalanan malam hari) dari Makkah terus ke
Baitul Maqdis (Masjid Aqsha), dari situ Nabi naik ke langit (mi’raj) sampai ke Sidratul Muntaha di atas dari langit
ke tujuh, dan kembali lagi menjelang subuh. Jadi, tak sampai satu malam Nabi sudah tiba lagi di bumi. Dalam teori
astronomi untuk mencapai bintang yang paling jauh dibutuhkan waktu sebelas miliar tahun cahaya, dan bintang-
bintang itu menurut Alqur′an masih berada pada langit pertama (al-samâ' al-dunyâ) (QS. 37:6; 41:12; 67: 5). Jadi,
pulang-pergi membutuhkan waktyu 22 miliar tahun cahaya dan satu detik perjalanan cahaya sama dengan tujuh
keliling bumi, sedangkan jarak bulan dari bumi 1,5 detik perjalanan cahaya, dan jarak matahari dari bumi sekitar 8
menit perjalanan cahaya.
Berdasarkan teori itu, jelas Nabi menggunakan alat transportasi yang tidak bisa dibayangkan canggihnya
dan agaknya sampai kapan pun belum bisa tertandingi oleh teknologi buatan manusia. (Tentang betapa luasnya alam
raya ini, dapat ditelaah karya A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Bandung: Penerbit Pustaka, cet. ke-
1, 1983. Mengenai betapa menga gumkannya peristiwa isrȃ′ mi’raj Nabi, lihat tulisan Nurcholish Madjid, “Nabi
Menembus Langit Ketujuh”, Harian Pelita, 9 Pebruari 1990 M/13 Rajab 1410 H.
)97َ:‫تَ ِلقَ ْومََيَ ْعلَمونَََ(األنعام‬ َِ ‫ص ْلنَاَ ْاْليَا‬
َّ ‫تَ ْالبَ َِرَ َو ْالبَحْ َِرَ َق َْدَ َف‬
َِ ‫ومَ ِلت َ ْهت َدواَبِ َهاَفِيَظل َما‬ ََ ‫لَلَكمََالنُّج‬ ََ َ‫ َوه ََوَالَّذِيَ َجع‬29
َ )5َ:‫ابَ(يونس‬ ََ ‫س‬ ْ
َ ِ‫السنِينَََ َوالح‬ ِ َ‫ع َد ََد‬ َ َ‫لَ ِلت َ ْعلَموا‬ ََ ‫َاز‬ِ ‫وراَ َوقَد ََّرهََ َمن‬ ْ
ً ‫ضيَا ًَءَ َوالقَ َم ََرَن‬ ِ َ‫س‬ ََ ‫ش ْم‬ َّ ‫لَال‬ ََ َ‫ه ََوَالَّذِيَ َجع‬30
َ )16َ:‫ع َل َماتََ َوبِالنَّجْ َِمَه َْمَيَ ْهتَدونَََ(النحل‬ َ ‫ َو‬31
َ:‫(اْلسراء‬...َ‫اب‬ ََ ‫س‬ ْ
َ ِ‫السنِينَََ َوالح‬ َ َ‫نَ َربِك َْمَ َو ِلت َ ْعلَموا‬
ِ َ‫ع َد ََد‬ َ ً ‫ْص َرَة ًَ ِلتَ ْبت َغواَ َفض‬
َْ ِ‫ْلَم‬ ِ ‫ارَمب‬ ْ
َِ ‫لَ َو َجعَلنَاَآ َي َةََالنَّ َه‬ َّ
َِ ‫ْنَفَ َم َح ْونَاَآيَ َةََالل ْي‬ َِ ‫ارَآيَتَي‬ ََ ‫لَ َوالنَّ َه‬ َّ ْ
ََ ‫ َو َجعَلنَاَالل ْي‬32
َ )12
َ‫لَ َحتَّى‬ ِ ‫)َ َو ْال َق َم ََرَقَد َّْرنَاهََ ََمن‬38(َ‫ِيم‬
ََ ‫َاز‬ َِ ‫يزَ ْالعَل‬
َِ ‫ش ْمسََت َجْ ِريَلِم ْستَقَرََلَ َهاَذَلِكَََت َ ْقدِيرََ ْالعَ ِز‬ َّ ‫)َ َوال‬37(َََ‫ظلِمون‬ ْ ‫ارَفَإِذَاَه َْمَم‬ ََ ‫ َوآيَ َةأَلَهمََاللَّيْلََنَ ْسلَخََمِ ْنهََالنَّ َه‬33
َ )40َ–َ37َ:‫)َ(يس‬40(َََ‫ارَ َوكلََفِيَفَلَكََيَ ْسبَحون‬ َِ ‫سابِقََالنَّ َه‬ َ ََ‫الليْل‬ َّ َ‫ل‬ ََ ‫نَتد ِْركَََ ْالقَ َم ََرَ َو‬ َْ َ ‫ش ْمسََ َي ْنبَغِيَلَ َهاَأ‬ َّ ‫لَال‬ ََ َ)39(َ‫ِيم‬ َِ ‫ونَ ْالقَد‬
َِ ‫عا ََدَك َْالع ْرج‬ َ
34
Lebih lanjut, lihat Fashl Al-Maqâl fî Mâ Bayn Al-Hikmah wa Al-Syarî’ah min Al-Ittishâl, Mesir: Dâr al-
Ma’ârif, 1972.

13
kemajuan yang diperoleh umat Islam dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
sepanjang sejarah sekitar 600 tahun lamanya di abad-abad pertengahan dulu.
Dapat disimpulkan, umat Islam telah mengukir sebuah sejarah dunia dengan tinta emas.
Terbukti, lahir tokoh-tokoh besar seperti Abû Hanîfah, Mâlik, al-Syâfi’i, Ahmad bin Hanbal,
dan al-Tsawrî dalam bidang fiqih; al-Asy’arî, Wâshil bin ’Athâ', dan al-Mâtûridî di bidang
teologi Islam; al-Bukhârî, Muslim, al-Nasâ'î, Abû Dâwûd, al-Tirmidzî, dan Ibnu Mâjah di
dalam bidang hadis (Sunnah); di bidang tafsir lahir tokoh semisal al-Thabarî, al-Râzî, al-
Baghawî, al-Zamakhsyarî, dan Ibn Katsir; begitu pula lahir tokoh sufi semisal Dzû al-Nun al-
Mishrî, Abû Yazîd Busthâmi, Rabî’ah al-’Adâwiyah, al-Hallâj, dan al-Ghazâlî; dalam bidang
filsafat muncul tokoh semisal al-Fârâbî, al-Kindî, Ibnu Sînâ, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Thufayl.
Bahkan, selain populer sebagai filsuf, Ibnu Sînâ dan Ibnu Rusyd dikenal sebagai dokter. Ibnu
Sînâ terkenal sebagai ahli bedah pertama di dunia. Karyanya, al-Qânûn fi al-Thîbb, menjadi
buku teks kedokteran di Spanyol selama berabad-abad. Demikian pula Ibnu Rusyd terkenal
dengan teori campaknya, yaitu orang akan ditimpa penyakit campak (cacar air) hanya sekali
selama hidupnya. Teori yang dituangkannya di dalam karyanya al-Kulliyât fi al-Thibb ini
sampai sekarang masih diakui oleh kedokteran modern.
Dalam bidang ilmu-ilmu umum seperti astronomi tercatat nama al-Biruni. Pada bidang
kedokteran, selain Ibnu Sînâ dan Ibnu Rusyd, lahir pula Abû Bakar al-Râzî, ahli penyemenan
tulang pertama di dunia. Al-Bathani ahli ilmu tumbuh-tumbuhan, Ibnu al-Haitsam ahli optik,
Ibnu Khaldûn ahli sejarah; Ibnu Batutah seorang pelaut, al-Jabarti ahli matematika, dan masih
banyak lagi.35
Kemajuan yang diperoleh umat di abad-abad pertengahan itu mustahil terwujud apabila
antara Alqur′an dan iptek tidak sejalan. Dengan kata lain, karena Alqur′an dan iptek selalu
berjalan beriringan, maka peradaban menjadi tumbuh subur. Buktinya, selama 600 tahun umat
Islam mampu memimpin peradaban dunia. Selama enam abad itu tidak pernah tercatat ada
kerusakan alam akibat tindakan dan tangan jahil manusia. “Umat Islam justru selalu membawa

35
Ada dua buku yang cukup representatif dalam topik ini. Pertama, karya Prof. Hitti, History of the Arabs,
London: The MacMillan Press, Ltd., cet.ke-10 (reprinted), 1974. Kedua, Hasan Ibrâhîm Hasan, Târîkh al-Islâm,
Kairo: Maktabat al-Nahdhat al-Mishriyyah, I-V, 1976.

14
damai dan obor peradaban di saat orang Barat waktu itu masih terbenam dalam lumpur
kebodohan,” tegas Prof. K. Ali dari India.36
Membandingkan kondisi kejayaan Islam 700 tahun lalu dengan kondisi abad modern
sekarang memang tidak tepat. Tapi, bila diamati, kerusakan yang terjadi dalam kurun waktu
sekitar 300 tahun setelah keruntuhan peradaban Islam sudah sedemikian parah, sebagaimana
digambarkan di awal. Maka, mau tidak mau kita harus merenung ulang (rethinking) apa
sebenarnya biang keladi yang membuat kehidupan modern ini menjadi runyam, bahkan
mengarah pada kehancuran.
Mengenai hal ini, menurut para ahli, setelah iptek lepas dari pangkuan umat Islam,
para ilmuwan Barat mengembangkannya secara liberal sehingga dia cenderung bebas nilai.
Ibarat kuda liar, dia berlari ke sana ke mari dan ke depan tanpa memedulikan rambu-rambu
yang ada di depannya. Lantas dia menabrak apa saja yang ada di hadapannya. Kondisi inilah
yang mendorong dilancarkannya kritik keras oleh para ahli yang idealis, baik muslim maupun
nonmuslim terhadap kekeliruan epistemologi ilmu yang dikembangkan di Barat semenjak
bermulanya periode modern, yakni ketika pecah revolusi industri di Inggris pada abad ke-17
yang silam.37
Kondisi ini sampai sekarang belum berubah, malah cenderung semakin parah jika
ilmuwan muslim masih belum sadar bahwa mereka -meminjam pernyataan Sardar- telah
dijajah oleh epistemologi Barat. Artinya, epistemologi iptek yang dikembangkan oleh ilmuwan
Barat sekarang telah menjadi semacam “imperialisme epistemologis”, yakni penjajahan yang
bersifat epistemologis atas para ilmuwan Timur (muslim).38
Penjajahan epistemologis semacam itu bukanlah hal yang sederhana karena jauh lebih
berbahaya, bahkan lebih dahsyat dari bom atom yang pernah dijatuhkan di dua kota, Jepang:

36
Selanjutnya lihat bukunya, A Study of Islamic History, Delhi: Idarah-I Adabiat-I Delhi, reprint, 1980,
hlm. 181-182.
37
Revolusi Industri yaitu istilah untuk suatu bentang waktu dalam sejarah Inggris, saat terjadi perubahan
mencolok dalam struktur ekonomi (1750-1850) sebagai akibat dari peralihan masyarakat agraris dan perdagangan
abad pertengahan ke masyarakat industri modern dan perniagaan maju. Pelayaran yang mengarungi dunia dan
penemuan negeri jajahan membuka pintu kepada perdagangan internasional. Abad ke-17 melahirkan kapitalisme,
penemuan mesin uap (James Watt, abad ke-18), alat tenun, dan perkembangan Inggris menjadi negara penghasil
tekstil utama. Lahir doktrin-doktrin Adam Smith, Karl Marx, sosialisme, dan Mazhab Manchester. Negara-negara
penjajah mengalami jaman keemasan dan negeri-negeri jajahan kehilangan kepribadian karena dijadikan sumber
penghasil bahan mentah, tenaga murah, dan kawasan utama pemasaran hasil industri negara industri. Jerman,
Amerika Serikat, dan Jepang, menyusul Inggris, menjadi negara industri. (Hassan Shadily (Pimp. Redaksi),
Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1984, hlm. 2897.
38
Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, t.tp.: Pustaka Salman, 1987, hlm. 86.

15
Hiroshima dan Nagasaki. Sebab, bom atom tersebut hanya merusak bangunan dan membunuh
penduduk sekitar tempat kejadian yang menurut data ada 170.000 orang tewas dan 100.000
orang terluka di dua kota itu.39 Kerusakan yang dialami hanya bersifat fisik, sedangkan
generasi berikutnya tidak akan kena imbasnya.
Adapun penjajahan epistemologis akan berdampak luas, tidak hanya merusak umat
manusia, bahkan alam seisinya juga bisa hancur. Karena itu, patut disambut gembira apa yang
sedang diupayakan oleh para ilmuwan muslim, yakni mengembalikan lagi epistemologi ilmu
yang telah salah jalan itu ke atas rel yang benar.

C.Pengembangan Iptek Masa Depan


Sebagaimana telah dijelaskan di atas, menurut penilaian para ahli, hal itu berkaitan erat
dengan dikembangkannya paradigma ilmu yang sarat dengan nilai-nilai sekuler dari Barat.
Karenanya, jika memang ingin menyelamatkan hidup dan kehidupan di muka bumi ini, maka
paradigma keilmuan yang dikembangkan selama ini harus diubah dan dikembalikan lagi pada
jalan yang benar. Hal ini merupakan suatu keniscayaan demi mencegah makin meluasnya
kerusakan yang terjadi. Jika hal ini tidak dilakukan, boleh jadi kiamat kubra yang
diinformasikan Alqur′an segera melanda dunia, lalu berakhir dan hancurlah semua kehidupan
ini.
Mengenai hal ini, para ilmuwan muslim boleh dikatakan sepakat, dalam arti mereka
memang menginginkan diupayakannya paradigma alternatif untuk menggantikan paradigma
ilmu yang sekarang. Namun pada tataran teknis aplikasinya, mereka berbeda pendapat.
Ziauddin Sardar, sebagaimana dikutip Haidar Bagir, misalnya, menjelaskan, para ilmuwan
muslim dalam hal ini terbagi dalam tiga kelompok sbb.40:
Pertama, bersikap apologetik. Mereka berupaya melegitimasi sains modern dengan
ayat-ayat Alqur′an karena menganggap sains modern itu universal dan netral. Sardar menyebut
mereka “Bucaillism” karena pola pikir mereka mirip Maurice Bucaille, yakni meninjau
Alqur′an dari sudut pandang sains modern. Sikap kelompok ini dikritik keras oleh Sardar
karena argumen mereka tak bisa dipertahankan meskipun diakuinya hal itu dapat mengobati
luka umat Islam yang terpinggirkan oleh peradaban modern.

39
Ahmad al-Shouwi, et.al. Mukjizat Alqur’an dan As-Sunnah tentang IPTEK, Jakarta: Gema Insani Press,
cet. ke-1, 1995, hlm. 20.
40
Selanjutnya lihat Haidar Bagir dan Zainal Abidin, op.cit., hlm. 21-22.

16
Kedua, mereka tidak menolak secara apriori sains modern, melainkan melakukan
pemilahan lalu menyaring elemen-elemen yang non-Islami. Namun, menurut Sardar, hal ini
sulit dilakukan karena selalu akan terjadi konflik antara tujuan sains dengan tujuan umat Islam.
Tokoh utama kelompok ini ialah Abdus Salam, pemenang hadiah Nobel Fisika tahun 1979.
Ketiga, mereka yang berupaya membangun kembali sains Islami. Kelom pok ini
didukung oleh tokoh-tokoh besar seperti Sayyed Hussein Nashr dengan karyanya The
Encounter of Man and Nature (1968); Ayatullah Baqir Shadr, dengan karyanya Iqtishâdunâ
(1960-an); dan diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan lain semisal Khursid Ahmad, Syed Nawab
Haider Naqvi, dan Muhammad Nejatullah Shiddiqui.
Upaya membangun kembali sains Islami ini muncul secara resmi pertama kali pada
Konferensi Dunia tentang Pendidikan Muslim yang pertama di Mekah pada 1977. Dalam
forum ini Syed Naquib al-Attas menekankan perlunya pemben tukan epistemologi Islami
dengan mengemukakan argumen yang jelas. Tokoh lain yang juga berbicara tentang topik yang
sama ialah Ismâ’îl Râjî al-Fârûqî, namun penekanannya pada “Islamisasi” ilmu-ilmu sosial
terasa lebih menonjol.
Di penghujung abad ke-20 terasa sekali gerakan pencarian epistemologi Islami, seakan-
akan tidak terbendung lagi sampai sekarang. Ini ditandai dengan terbitnya majalah
Afkar/Inquiry pada 1984 yang banyak membahas persoalan- persoalan yang menyangkut
epistemologi Islami. Tidak hanya itu, mereka juga membahas temuan-temuan terakhir sains
modern seperti biologi, antropologi kota/pemukiman, lingkungan hidup, dan sebagainya. Di
dalam kelompok ini tercatat nama-nama ilmuwan, antara lain Ziauddin Sardar, Munawar
Ahmad Anees, Parvez Mansoor, Gulzar Haidar, dan Meryll Wynn Davies.
Selain itu, juga diadakan pertemuan-pertemuan ilmiah semisal seminar. Ini
dilaksanakan oleh International Federation of Institute Advanced Study (IFIAS). Seminar yang
diadakan di Stockholm pada 1981 ini membahas “Pengetahuan dan Nilai-Nilai”, dan di
Spanyol dengan topik “Lingkungan dan Habitat”. Perlu dicatat di sini bahwa seminar-seminar
tersebut dilaksanakan di bawah tema besar “Sains dan Teknologi dalam Islam dan Barat: Suatu
Sintesa”.41

41
Hasil seminar ini dituangkan dalam bentuk buku The Touch of Midas. Buku ini –tulis Haidar Bagir–
termasuk yang cukup lengkap dalam membahas upaya pencarian sintesis sains Barat dan Islam serta alternatif bagi
sains modern. Ibid., hlm. 148.

17
Sebenarnya masih banyak lagi ilmuwan muslim yang sangat consern terhadap
pengembangan epistemologi Islami meskipun mereka tidak secara langsung membahasnya.
Tokoh-tokoh tersebut antara lain Ali Syari’ati, Muthah hari dari Iran, Hasan Hanafi, Yusuf al-
Qardhȃwȋ dari Mesir, dan dari Indonesia seperti B.J. Habibie bersama para pakar Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), semisal Amien Rais, A.M. Saifuddin, Wardiman
Djojonegoro, Dawan Raharjo, M. Quraish Shihab, dan lain-lain. B.J. Habibie bersama para
ilmuwan dari ICMI itu pada awal dasawarsa 1990-an sangat gencar memasarkan apa yang
mereka sebut Imtaq (Iman dan Taqwa). Menurut mereka, Iptek tanpa Imtaq menjadi kurang
bermakna, bahkan dikhawatirkan akan liar dan tidak terkendali.42
Diskusi-diskusi tentang permasalahan ini selalu diadakan, dan pada 25 Nopember 1985
digelar Seminar “Epistemologi Islam”. Pada 29 Agustus sampai 2 September 1994 diadakan
pula seminar serupa di Bandung bertema “Mukjizat Alqur′an dan as-Sunnah tentang Iptek ”.
Di dalam seminar ini tampil sekitar 30 pemakalah (narasumber) dari dalam dan luar negeri,
dari berbagai disiplin ilmu. Meskipun seminar ini tidak dimaksudkan untuk membahas
epistemologi Islami secara khusus, tapi tidak dapat dimungkiri bahwa pertemuan ini
mengindikasikan ke arah terbentuknya epistemologi Islami tersebut.43
Jika diamati, di luar Indonesia, seperti di Malaysia misalnya, gerakan pencarian
epistemologi juga tidak kalah gencarnya. Gerakan ini dipelopori oleh Ismâîl Râji’ al-Fârûqî,
yang pada tahun 1981 mendirikan sebuah lembaga ilmiah yang cukup prestisius, International
Institute of Islamic Thought (IIIT). Lembaga ini selain mengadakan seminar-seminar
internasional juga menerbitkan buku. Salah satu bukunya yang cukup terkenal, Islamization of
Knowledge. Buku yang terbit di tahun 1982 ini memuat konsep-konsep al-Fârûqî tentang
Islamisasi ilmu sebagai penjabaran gagasan-gagasan yang pernah ia sampaikan pada
Konferensi Pendidikan Muslim Pertama di Mekah. Selain itu, al-Fârûqî menerbitkan buku
berjudul Tawhid: Its Implication for Thought and Life, terbitan IIIT, 1982 dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indoensia dengan judul Tauhid, diterbitkan oleh Pustaka
Salman, Bandung, tahun 1988.

42
Wardiman Djojonegoro(Mendiknas), “Relevansi Alqur’an dalam Menyongsong Era Industriali sasi”
dalam kata sambutan yang disampaikan pada Kongres Nasional Alqur′an, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi, Serta
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Umat, di Pekanbaru, Riau, 13 Juni 1994, hlm. 3-4.
43
Baca buku hasil seminar tersebut, yang berjudul Mukjizat Alqur’an dan as-Sunnah tentang IPTEK,
Jakarta: Gema Insani Press, cet. ke-1, 1995.

18
Upaya menggulirkan konsep epistemologi Islami tampaknya akan terus berlanjut tidak
hanya di dunia Islam, bahkan di dunia Barat pun sinyalnya tampak jelas. Sejak tahun 1985,
misalnya, Mansell Publishing Limited di London banyak menerbitkan buku serial Islamic
Futures and Policy Studies, dengan Ziauddin Sardar sebagai editornya.44
Fakta yang dikemukakan di atas memberikan gambaran yang amat jelas bahwa
semangat untuk menemukan epistemologi Islami sangat luar biasa. Hal itu bukanlah sesuatu
yang aneh dan mengada-ada. Ini tidak hanya didorong oleh suatu maksud: ingin
menyelamatkan kehidupan di muka bumi ini, melainkan karena sesuai pesan-pesan Alqur′an.
Jadi, kebutuhan terhadap epistemologi Islami ini tidak hanya untuk kita sebagai pemeluk
Islam, melainkan lebih luas lagi, yakni untuk mengayomi seluruh umat manusia. Oleh sebab
itu, baik dari sudut pandang religius (Islam), maupun dari sudut pandang sosiologis, geografis,
dan historis, umat Islam memang sangat membutuhkan epistemologi yang khas Islam (Islamic
epistemology).
Berangkat dari kondisi yang demikian dan dari berbagai ide dan gagasan yang
dikemukakan para ahli, maka penulis mencoba menelusuri berbagai literatur untuk menemukan
suatu paradigma yang komprehensif tentang pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Tetapi,
ternyata tidak ditemukan. Semula penulis berharap buku al-Fârûqî, Islamisasi Pengetahuan,
bisa menjawab persoalan ini. Namun, buku ini ternyata mendapat kritikan keras dari sebagian
pemikir muslim. Maka, belajar dari kasus al-Fârûqî itu, Ziauddin Sardar mengajukan usul
bahwa yang pertama kali harus dilakukan, ialah menemukan pandangan dunia Islam. Dari situ
dapat diformulasikan epistemologi Islami. Lalu, bersama-sama dengan syariah sebagai sebuah
metodologi akan dapat dilahirkan disiplin-disiplin ilmu yang benar-benar Islami. Ide ini juga
tak luput dari kritik. Maka, digelarlah “Seminar Pengetahuan dan Nilai-nilai” di Stockholm
yang merekomendasikan 10 konsep dari Alqur′an yang merupakan kerangka acuan yang
menuju pada pembentukan sebuah masyarakat muslim yang ideal. Sepuluh konsep itu ialah
tauhîd, khilâfah, ibâdah, ’ilm, halal, harâm, ’adl, zhalim, istishlah, dan dhiya'. Sekalipun

44
Di antara buku-buku yang telah diterbitkannya: 1) Islam and Biological Futures, karya Munawar Ahmad
Anees; 2) Astronomy of Islamic Times for the Twenty First Century, karya Muhammad Ilyas; 3) Knowing One
Another: Shaping an Islamic Anthropology oleh Meryll Wynn Davies. Lihat Haidar Bagir dan Zainal Abidin, op.cit.,
hlm. 24.

19
konsep ini cukup mendasar, sebagaimana dicatat Haidar Bagir, tapi tetap saja tidak terlepas
dari berbagai kritikan yang tajam.45
Berbagai kritikan tersebut mengindikasikan bahwa konsep itu baru mulai digulirkan
dan semua ilmuwan muslim mempunyai hak yang sama untuk memberikan kritikan dan
masukan demi menyempurnakannya. Hal itu sekaligus membuktikan bahwa para pemikir
muslim mempunyai kepedulian yang sama tentang urgensi epistemologi Islami yang dapat
dipegangi oleh kita bersama.
Sebagai bentuk sumbangsih dalam membentuk konsep epistemologi Islami, berikut ini
penulis kemukakan bangunan paradigma ilmu-ilmu keislaman sebagaimana tergambar pada
figur sebatang pohon di bawah ini:

Catatan: Gambar ini berbeda sekali dari pohon ilmu yang pernah dibuat oleh STAIN Malang (sekarang UIN).
Perbedaannya terletak pada simbol akar yang melambangkan “akidah” sementara STAIN Malang akar itu
untuk melambangkan penguasaan bahasa Arab dan bahasa asing. Demikian pula Alqur′an dan Sunnah
oleh STAIN Malang tidak ditegaskan dengan lambang tanah. Di sini hal itu dijelaskan sangat gamblang.

Di dalam gambar pohon itu ada tiga unsur utama yang senantiasa berinteraksi satu sama
lain untuk menghasilkan Iptek. Ketiga unsur itu ialah 1) Alqur′an dan Sunnah Rasul; 2)
Akidah; dan 3) Ijtihad. Berikut ini dijelaskan posisi masing-masing:

45
Ibid., hlm. 25.

20
1. Alqur′an dan Sunnah Rasul46
Alqur′an dan Sunnah Rasul (selanjutnya disebut sunnah) merupakan dua sejoli yang
tidak boleh dipisahkan satu dari yang lain karena pada hakikatnya kedua sumber itu adalah
satu sebab keduanya sama-sama datang dari Allah (QS. 6:5047; 7:20348; 53:3-449).
Dalam hal ini, baik Alqur′an maupun Sunnah menegaskan, bila umat berpegang teguh
pada kedua sumber itu, maka mereka tidak akan salah kaprah (misleading) atau tersesat
dalam menjalani hidup dan kehidupan mereka di muka bumi ini, termasuk dalam
pengembangan Iptek. Sebaliknya, mereka akan terbimbing mendapatkan jalan yang benar
dan akan memperoleh kesuksesan dalam meraih cita-cita di dunia dan akhirat.
Di antara ayat Alqur′an dan Sunnah yang membicarakan hal ini ialah sebagai berikut:
a. Dalam surat al-Najm ayat 2-4: “Sahabatmu itu (Muhammad) tidak pernah bingung, sesat
atau keliru. Dia tidak pernah berkata berdasarkan keinginan hawa nafsunya. Semua yang
diucapkannya itu tiada lain dari wahyu yang disampaikan khusus kepadanya”50
b. Dalam surat al-Hasyr ayat 7: “…dan apa pun yang diberikan Rasul kepada kalian
terimalah, dan semua yang dilarangnya hentikanlah. Bertakwalah kepada Allah;
sesungguhnya siksaan-Nya teramat keras.”51
c. Dalam surat Ali Imram ayat 31: “Katakanlah [hai Muhammad] jika kalian benar-benar
mencintai Allah maka ikuti [sunnah]ku, niscaya Allah akan mencintaimu dan akan
mengampuni dosa-dosamu. Allah itu Maha Pengampun lagi Penyayang.”52
d. Dalam surat al-Nisȃ′ ayat 59 dan 80:
1) “Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri yang
diangkat di antara kalian” (al-Nisȃ′(4):59)53
2) “Siapa pun yang menaati Rasul maka sebenarnya dia telah menaati Allah; dan
[sebaliknya] siapa pun yang berpaling darinya, maka kamu tidak ditugasi untuk menjaga
mereka”(al-Nisȃ′(4):80)54

46
Di sini sengaja digunakan term “Sunnah Rasul” untuk menunjuk pada perkataan, perbuatan, dan
persetujuan Nabi, tidak Sunnah Muhammad, sebab konotasi Sunnah Muhammad terlalu luas, baik bersifat pribadi
maupun yang formal sebagai Rasul atau Nabi. Padahal, yang wajib diikuti adalah Sunnah Rasul, bukan Sunnah
Muhammad. Lihat Muhammad ‘Ajâj al-Khathîb, Ushul al-Hadits, t.tp.: Dâr al-Fikr, cet. ke-3, 1975, hlm. 19.
َ َ‫بْ َو َّلْأَقهولهْلَ هكمْ ِإنِيْ َملَكٌ ْإِنْأَت َ ِب هعْ ِإ َّلْ َماْيهو َحىْإِل‬
ْ )50ْ:‫(األنعام‬...ْ‫ي‬ َ ‫ْو َّلْأَعلَ همْالغَي‬ َ ‫قهل َّْلْأَقهولهْلَ هكمْعِندِيْخَزَ ائِنه‬47
َ ِ‫ّْللا‬
ْ )203ْ:‫ىْو َرح َمةْ ِلقَو ٍمْيهؤمِ نهونَْْ(األعراف‬ ٌ َ ‫ْوههد‬ َ ‫ْربِ هكم‬ َ ‫صائ هِرْمِ ن‬ َ ‫ْربِيْ َهذَاْ َب‬ َ ‫يْمِ ن‬ َ َ‫قهلْإِنَ َماْأَتَبِ هعْ َماْيهو َحىْ ِإل‬
48

َ )4ْ-3ْ:‫يْيهو َحىْ(النجم‬ ٌ ‫ْوح‬ َ


َ ‫)ْإِنْه َهوْإِّل‬3(ْ‫نْال َه َوى‬ ِْ ‫ع‬ َ ْ ‫َو َماْيَنطِ قه‬ 49

)4َ–َ2َ:‫)(النجم‬4(َ‫يَيو َحى‬ َ‫لَ َوحْ أ‬ََّ ِ‫نَه ََوَإ‬ َْ ِ‫)َإ‬3(َ‫نَ ْال َه َوى‬ َ ََ‫)َ َو َماَيَ ْنطِ ق‬2(َ‫صاحِ بك َْمَ َو َماَغ ََوى‬
َِ ‫ع‬ َ َ‫ل‬ ََّ ‫ض‬
َ َ‫ َما‬50
َ )7َ:‫بَ(الحشر‬ ْ
َِ ‫شدِيدََال ِعقَا‬ َ َ‫ّللا‬
َََّ َ‫ن‬ ََّ ِ‫ّللاَإ‬ َّ
َََّ َ‫عنهََفَانت َهواَ َواتقوا‬ ْ ْ َ َ‫الرسولََفَخذوهََ َو َماَنَ َهاك َْم‬ َّ ََ‫ َو َماَآت َاكم‬51
َ )31َ:‫ورَ َرحِ ي أَمَ(آلَعمران‬ َ‫ّللاَغَف أ‬ ََّ ‫ِرَلك َْمَذنوبَك َْمَ َو‬ َ َْ ‫ّللاَ َويَ ْغف‬
ََّ ََ‫ّللاَفَاتبِعونِيَيحْ بِبْكم‬ َّ َََّ َََ‫نَك ْنت َْمَتحِ بُّون‬ َْ ِ‫لَإ‬ َْ ‫ق‬52
َ )59َ:‫(النساء‬...َ‫لَ َوأولِيَاأل ْم َِرَمِ ْنك َْم‬ َ ْ ََ ‫الرسو‬ َّ َ‫ّللاَ َوأطِ يعوا‬ َ َ َّ
َََّ َ‫يَاَأيُّ َهاَالذِينَََآ َمنواَأطِ يعوا‬53 َ
َ )80َ:‫علَ ْي ِه َْمَ َحفِيظاَ(النساء‬ً َ َََ‫سلنَاك‬ْ َ
َ ‫نَت ََولىَفَ َماَأ ْر‬ َّ َْ ‫ّللاَ َو َم‬
َََّ َ‫ع‬ََ ‫طا‬ َ َ ‫لَفَقَ َْدَأ‬
ََ ‫الرسو‬ َّ َِ‫نَيطِ َع‬ َْ ‫ َم‬54

21
e. Dalam surat al-Nahl ayat 44: “…dan Kami telah menurunkan kepadamu al-Dzikr
(Alqur′an ) supaya kamu menjelaskan kepada manusia ajaran yang diturunkan kepada
mereka, moga-moga mereka mau merenungkannya.”55
Alqur′an bukan konstitusi buatan manusia, melainkan wahyu Allah yang tidak
pernah salah dan berlaku abadi secara universal di seluruh dunia. Maka dari itu,
kebenarannya bersifat absolut dan tidak boleh diamandemen atau direvisi. Ia hanya boleh
diberi interpretasi sesuai tuntutan zaman berdasarkan aturan dan kaidah-kaidah yang
mu’tabarah (diakui kebenarannya).
Demikian pula Sunnah, meskipun dia berfungsi sebagai penjelas bagi Alqur′an,
namun tidak boleh diutak-atik sesuka hati melainkan harus sesuai aturan dan kaidah-kaidah
yang berlaku. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi salah kaprah dalam penerapan suatu
ajaran.
Mengingat sangat mendasar dan strategisnya posisi kedua sumber itu, maka
Alqur′an dan Sunnah dilambangkan dengan tanah tempat tumbuhnya pohon ilmu
sebagaimana tampak di dalam gambar. Itu artinya, selain berfungsi sebagai tempat
tumbuhnya pohon itu, Alqur′an dan Sunnah juga yang memberi suplai nutrisi bagi pohon
tersebut. Dengan demikian, pohon itu akan tumbuh secara sistemik qur'ani. Ia tidak akan
menyimpang apalagi bertentangan dengan ruh qur'ani. Dengan kata lain, apapun buah yang
dihasilkan kelak akan senantiasa berorientasi pada prinsip-prinsip qur'ani. Itulah peran
penting dan strategis yang dimaksudkan dengan menjadikan tanah tempat tumbuhnya
pohon itu sebagai simbol bagi Alqur′an dan Sunnah.
Dalam konteks ini, bisa jadi timbul pertanyaan: apakah mungkin Alqur′an yang
turun pada 14 abad yang lalu itu dapat dijadikan pegangan dalam pengembangan Iptek di
abad modern dengan peralatan yang serba canggih? Perlu disadari, Alqur′an bisa dijadikan
sebagai pegangan dalam pengembangan Iptek dari sisi spiritnya, bukan untuk menemukan
teori-teori atau konsep ilmiah. Sebab, Alqur′an adalah “kitab suci”, kumpulan wahyu Allah
yang amat kaya dengan inspirasi yang diturunkan-Nya demi menyela matkan kehidupan di
muka bumi ini. Jadi Alqur′an, jangan berharap Alqur′an akan memberikan penjelasan
tentang teori atau konsep Iptek, apalagi pengem bangannya. Itu tidak ada di dalamnya.

َ )44َ:‫لَ ِإلَ ْي ِه َْمَ َولَعَلَّه َْمَيَتَفَ َّكرونَََ(النحل‬ ِ َََ‫ َوأ َ ْنزَ ْلنَاَ ِإلَيْك‬55
َ ِ َّ‫الذ ْك ََرَلِتبَيِنَََلِلن‬
ََ ‫اسَ َماَن ِز‬

22
Alqur′an hanya berbicara hal-hal yang bersifat global dan substansial, yakni
melindungi kehidupan di dunia dan akhirat. Sedangkan soal pengembangan Iptek dengan
teknologi secanggih dan semaju apa pun, itu sepenuhnya terserah kita. Alqur′an hanya
mengingatkan satu hal: “jangan merusak apalagi membuat kehidupan hancur”.
Bila petunjuk Alqur′an itu tidak dipatuhi, maka yang akan menderita dan celaka
adalah manusia sendiri. Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan
kehidupan di muka bumi ini kecuali menciptakan Iptek yang sejalan dengan spirit
Alqur′an . Sebagai contoh, pembangunan reaktor nuklir. Alqur′an dan Sunnah tidak pernah
melarang selama ditujukan untuk maksud-maksud yang luhur seperti perdamaian,
pengembangan ilmu, dan sebagainya. Bukan untuk merusak apalagi menghancurkan
kehidupan. Jika yang terakhir ini yang menjadi tujuannya, maka jelas hal itu dilarang keras
dan hukumnya haram. Sesuai kaidah ushul fiqih “al-umûr bi maqâshidihâ” (segala sesuatu
itu tergantung tujuannya). Demikian kaidah yang sangat populer di kalangan ulama sejak
dulu sampai sekarang. Karena, apabila hal itu tidak dipedulikan, berarti bertentangan
dengan spirit Alqur′an dan Sunnah yang ingin membangun kehidupan, bukan sebaliknya,
menghancurkannya.
2. Akidah56
Dalam Islam, ada 6 unsur pokok yang membentuk akidah umat Islam, yaitu
mempercayai keberadaan Allah, malaikat, kitab suci, rasul (QS. 2:28557), kebangkitan di
akhirat (QS. 2:458), dan takdir: baik dan buruk dari Allah (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam
berbagai lini kehidupan dan hampir pada semua lapisan masyarakat, mulai dari lapisan
(strata) teratas sampai terbawah, akidah tauhid itu tampak kurang mengejawantah dengan
baik di dalam bentuk perilaku dan keseharian umat Islam. Inilah sesungguhnya masalah

Term “akidah” berasal dari Bahasa Arab aqîdah (jamaknya ’aqâ’id) yang berarti buhul atau “ikatan”.
56

Kosakata ‫ عقد‬di dalam Alqur’an semuanya dalam konotasi lughawi itu. Maka dari itu, untuk menyelaraskan
keyakinan, Alqur’an menggunakan term “iman”. Kosakata ini digunakan Alqur’an dalam berbagai konjugasinya
sebanyak 811 kali. Di samping itu, Alqur’an juga memakai term “yakin” dan dalam berbagai konjugasinya, tapi
dalam jumlah yang teramat kecil bila dibandingkan dengan pemakaian term “iman”, yakni sebanyak 28 kali.
(Muhammad Abdul Baqi, op.cit., hlm. 773-774). Berdasarkan kenyataan itu, tidak heran bila Mahmud Syaltut
menyatakan bahwa Alqur’an memakai kosakata “iman” sebagai ganti dari kosakata aqîdah. (Mahmûd Syaltut, Al-
Islam, Aqîdah wa Syari’ah, t.tp.: Dâr al-Qalam, Cet. III, 1966, hlm. 13). Nama lain dari akidah ialah ilmu kalam dan
ilmu tauhid. Namun ilmu tauhid dan akidah lebih populer di kalangan bangsa kita daripada istilah ilmu kalam.
َْ ِ‫لَنف َِرقََ َبيْنَََأ َ َحدََم‬
َ )285َ:‫(البقرة‬...َ‫نَرس ِل َِه‬ ََِّ ِ‫ َو ْالمؤْ مِ نونَََكلََآ َمنَََب‬...57
ََ َ‫الِلَ َو َم َلئِ َكتِ َِهَ َوكتبِ َِهَ َورس ِل َِه‬
َ )4َ:‫ َوبِ ْاْلخِ َرَِةَه َْمَيوقِنونَََ(البقرة‬..58

23
terbesar dalam tatanan kehidupan, baik secara pribadi, berkeluarga, maupun bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali di kalangan para ilmuwan.
Di dalam diri para ilmuwan harus tertanam iman kepada Allah secara mendalam dan
kokoh. Hal itu tidak saja dikarenakan kedudukan mereka sebagai tokoh umat; melainkan
lebih dari itu yakni sebagai interpreter (juru bicara) Alqur′an dalam bidang Iptek. Sebab
Alqur′an dan Sunnah hanya memuat prinsip-prinsip pokok saja dan bahkan hanya berisi
isyarat bagi pengembangan iptek. Maka, agar tidak salah dalam memberikan makna dan
interpretasi terhadap ayat-ayat semacam itu, para ilmuwan harus tampil dengan
mengemukakan teori-teori dan konsep-konsep yang benar, akurat, serta dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah; dan tidak bertentangan dengan Alqur′an dan tidak
pula melenceng darinya.
Pertanggungjawaban ilmiah dari seorang ilmuwan tidak hanya di depan manusia,
melainkan juga di hadapan Allah karena semua yang dilakukan selama hidupnya tercatat rapi
dalam buku amalan harian(diary activities) di bawah koordinasi Raqîb dan ’Atîd, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun perilaku. Sekecil apa pun yang mereka lakukan ditulis lengkap
bersama data pendukungnya, lalu di akhirat kelak buku tersebut akan diserahkan kepada
yang bersangkutan (QS.18:4959; 50:1860; 99:7-861). Selain pencatatan malaikat, anggota
tubuh mereka bertindak pula sebagai saksi atas semua yang mereka lakukan (QS. 36:6562;
41:20-2263).
Keyakinan terhadap kondisi itu jelas akan membuat semua ilmuwan lebih berhati-hati
dalam mengembangkan iptek yang ditekuninya. Dia tidak akan berani bermain-main dengan
iptek, apalagi bila hal itu akan membawa dampak negatif, baik terhadap dirinya maupun
pihak lain. Sebagai ilustrasi, mari kita simak pengalaman Dr. Pratiwi Sudarmono, seorang
ilmuwan muslim yang rajin meneliti virus. Ketika ia berhasil mendeteksi virus demam

َ‫عمِ لوا‬ َ َ‫صاهَاَ َو َو َجدواَ َما‬ َ ْ‫لَأَح‬ ََّ ‫يرَة ًَ ِإ‬


َ ‫لَ َك ِب‬ََ ‫ِيرَة ًَ َو‬
َ ‫صغ‬َ ََ‫لَيغَادِر‬ ََ َ‫ب‬َِ ‫لَ َهذَا َ ْال ِكتَا‬َِ ‫ض ََعَ ْال ِكت َابََ َفت ََرىَ ْالمجْ ِرمِ ينَََم ْش ِفقِينَََمِ َّماَفِي َِهَ َو َيقولونَََ َياَ َو ْيلَتَنَاَ َما‬ ِ ‫ َوو‬59
َ )49َ:‫ظلِمََ َربُّكَََأ َحدًاَ(الكهف‬ َ ْ َ‫لَي‬ََ ‫اض ًراَ َو‬ ِ ‫َح‬
َ )18َ:‫لَل َد ْي َِهَ َرقِيبأََ َعتِي أَدَ(ق‬ َ َّ
َ ِ‫نَق ْولََإ‬ َ ْ ْ
َ ِ‫َماَيَلفِظََم‬ 60

َ )8-7:‫)(الزلزلة‬8(ََ‫لَذَ َّرةََش ًَراَيَ َره‬ ََ ‫لَمِ ثْقَا‬ َْ ‫)َ َو َم‬7(ََ‫لَذَ َّرةََ َخي ًْراَيَ َره‬
َْ ‫نَيَ ْع َم‬ ََ ‫لَمِ ثْقَا‬ َْ ‫نَيَ ْع َم‬ َْ ‫فَ َم‬61
ْ َ ْ َ
َ )65َ:‫علىَأف َوا ِه ِه َْمَ َوتكَلِمنَاَأ ْيدِي ِه َْمَ َوتَش َهدََأ ْرجله َْمَبِ َماَكَانواَيَكسِبونَََ(يس‬ ْ َ َ َ ََ‫ ْاليَ ْو ََمَنَختِم‬62
ْ
َّ
َ‫ّللا َالذِي‬ َ َ
ََّ َ ‫عل ْينَا َقَالوا َأ ْنطقَنَا‬ َ َ َ ‫ش ِهدْت َْم‬ َ َ ‫) َوقَالوا َلِجلو ِد ِه َْم َل ََِم‬20(َ ََ‫صاره َْم َ َوجلوده َْم َبِ َما َكَانوا َيَ ْع َملون‬ َ
َ ‫س ْمعه َْم َ َوأ ْب‬ َ
َ َ ‫عل ْي ِه َْم‬ َ َ ‫ َحتَّى َ ِإذَا َ َما َ َجاءوهَا‬63
َ َ ‫ش ِه ََد‬
ََ‫لَيَ ْعلَم‬ ََ َ‫ّللا‬ َ َ َ‫ِن‬
ََّ ‫ظنَ ْنت َْمَأ‬
َََّ َ‫ن‬ َْ ‫لَجلودك َْمَ َولَك‬ ََ ‫صارك َْمَ َو‬ َ َ َ‫علَيْك َْم‬
ََ ‫س ْمعك َْمَ َو‬
َ ‫لَأ ْب‬ َ
َْ ‫)َ َو َماَك ْنت َْمَت َ ْستَتِرونَََأ‬21(َََ‫لَ َم َّرةََ َوإِ َل ْي َِهَت ْر َجعون‬
َ َ‫نَيَ ْش َه ََد‬ ََ ‫َيءََ َوه ََوَ َخلَقَك َْمَأ َ َّو‬ ْ ‫لَش‬ ََّ ‫طقَََك‬ َ ‫أ َ ْن‬
َ )22-20َ:‫)َ(فصلت‬22(َََ‫ِيراَمِ َّماَت َ ْع َملون‬ ً ‫َكث‬

24
berdarah, ia lantas berucap, “Allahu Akbar, kian banyak orang tahu, dia kian merasa kecil,
sehingga kekagumannya kepada Tuhan semakin bertambah.”64
Sebaliknya, apabila penelitian didasarkan pada sikap anti-Tuhan (ateis), maka seperti
dialami oleh Gherman Titov, seorang kosmonot Rusia (Komunis), sebagaimana
dinyatakannya, “Belajar tentang planet dan penembusan lebih jauh sampai ke intinya dari
alam semesta ini telah menjelaskan bahwa tidak ada Tuhan di bumi maupun di langit.”65
Berdasarkan dua kisah ilmuwan tadi, tampak jelas dua kesimpulan yang bertolak
belakang. Pertiwi yang seorang mukmin, ketika semakin jauh dan radikal pemikirannya
dalam menganalisa suatu gejala alam, imannya kian bertambah kokoh (QS.8:266).
Sebaliknya, Titov, karena berangkat dari sikap ateis, anti-Tuhan, maka apa pun hasil yang
didapatkannya tetap dia tidak mengakui adanya Tuhan. Bagi seorang ilmuwan semacam
Titov ini, mungkin untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang tidak sejalan dengannya ia
tidak perlu berpikir panjang karena dia tidak punya iman terhadap Allah dan kebangkitan di
akhirat di mana dia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya semasa hidup di
dunia ini.
Begitulah besarnya peranan akidah dalam pengembangan iptek. Oleh karena itu,
dalam proses pengembangan iptek sebagaimana tergambar dalam figur pohon di atas, posisi
akidah itu ditempatkan sebagai akar dari pohon tersebut. Artinya, pohon tersebut akan berdiri
kokoh selama akar-akarnya yang enam itu kuat, sehat, dan tertanam jauh di dalam tanah
sebagai simbol Alqur′an dan Sunnah. Allah menyebut pohon semacam itu dengan syajarah
thayyibah, yang akarnya tertanam kokoh dan ranting-rantingnya menjulang ke angkasa setiap
saat dia memberikan buahnya untuk dinikmati umat manusia (QS.14:24-2567). Keberadaan
akar-akar akidah itu menggambarkan bahwa untuk memahami Alqur′an dan menafsirkannya,
harus melalui akidah yang benar; mustahil dapat dilakukan melalui akidah yang keliru
apalagi ateis sebagaimana yang dialami Titov seperti telah dijelaskan di atas.

Pratiwi Sudarmono, “Profil”, Majalah Amanah, No. 122, 8-21 Maret, 1991, hlm. 97.
64

Ali Akbar, Israil dan Isyarat di dalam Kitab Suci Alqur’an , terj. Lukman Laksono, Bandung: PT.
65

Alma’arif, cet.ke-1, 1986, hlm. 183.


َ )2َ:‫علَىَ َربِ ِه َْمَ َيت ََو َّكلونَََ(األنفال‬
َ ‫ع َل ْي ِه َْمَآيَاتهََزَ ا َدتْه َْمَ ِإي َمانًاَ َو‬ َْ َ‫تَقلوبه َْمَ َوإِ َذاَت ِلي‬
َ َ‫ت‬ َْ ‫ّللاَ َو ِج َل‬
ََّ َ‫ِر‬ ََ ‫إِنَّ َماَ ْالمؤْ مِ نونَََالَّذِينَََإِ َذاَذك‬66
َ‫ّللا‬
ََّ ََ‫ض ِرب‬
ْ َ‫نَ َربِ َهاَ َوي‬ ْ ََّ ‫)َتؤْ تِيَأكلَ َهاَك‬24(ََِ‫س َماء‬
َِ ‫لَحِ ينََبِإِذ‬ َّ ‫ط ِيبَةََأصْل َهاَثَا ِبتأََ َوفَ ْرع َهاَفِيَال‬ َ َ ََ‫ش َج َرة‬ ً
َ ‫طيِبَ َةَ َك‬ ً
َ َ‫لَ َك ِل َم َة‬َ ً َ ‫ّللاَ َمث‬
ََّ َ‫ب‬
ََ ‫ض َر‬ ََ ‫أَلَ َْمَت َََرَ َكي‬67
َ َ‫ْف‬
َ )24-25َ:‫)َ(إبراهيم‬25(َََ‫اسَلَعَلَّه َْمَيَتَذَ َّكرون‬ ََ ‫ْاأل َ ْمثَا‬
َ ِ َّ‫لَلِلن‬

25
3. Ijtihad68
Ijtihad ialah pengerahan seluruh pemikiran rasional secara objektif dan argumentatif
untuk mendapatkan hasil yang diharapkan demi menemukan hukum-hukum syariat
(agama).69 Jika dikaitkan dengan iptek, ijtihad bertujuan untuk mendapatkan produk-produk
iptek yang sejalan dengan ketentuan-ketentuan Alqur′an.
Ijtihad merupakan suatu keniscayaan bila kita memang menginginkan Alqur′an
dijadikan dasar dan inspirator dalam pengembangan iptek. Dengan diaplikasikannya ijtihad
dalam proses memahami isyarat-isyarat ilmiah di dalam ayat-ayat Alqur′an, maka akan
dihasilkan produk iptek yang handal dan bisa mengayomi kehidupan di bumi ini tanpa
menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan tersebut.
Mengingat pentingnya posisi ijtihad ini, maka dia ditempatkan bagaikan batang bagi
sebuah pohon. Sudah pasti pohon baru akan berbuah jika batangnya sudah matang, dan
pohon tersebut akan berdiri kokoh selama batangnya kuat dan tangguh. Nutrisi yang diserap
oleh akar akan dapat diteruskan ke ranting lalu terwujudlah sosok daun hijau yang rindang.
Kemudian bila saatnya tiba, pohon tersebut akan menghasilkan buah yang lezat dengan
berbagai cita rasa yang enak dimakan. Daun dan buah itulah yang melambangkan lahirnya
berbagai produk Iptek, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut.
Jelas sekali, posisi dan peran ijtihad sangat menentukan arah pengembangan iptek.
Melalui ijtihad tersebut, iptek akan dapat dikendalikan dan dikembalikan lagi pada posisi
yang benar sebagaimana dulu ketika Islam menguasainya selama 600 tahun.
4. Iptek
Iptek merupakan buah dari interaksi semua unsur yang telah dijelaskan sebelumnya,
yakni Alqur′an dan Sunnah, akidah, serta ijtihad. Apabila semua itu difungsikan secara
maksimal dan proporsional, maka akan didapatkan iptek yang ramah, baik untuk kehidupan
di dunia ini, maupun untuk kehidupan yang abadi kelak di akhirat. Jika figur pohon di atas
diamati sekali lagi, maka akan tampak iptek tersebut tidak terpisah dari ilmu agama,
melainkan menyatu dalam bentuk daun dan buah dari pohon. Artinya, baik buah yang

68
Ijtihad merupakan term yang populer di kalangan ulama dan ilmuwan muslim. Istilah ini pertama diusung
oleh para fuqaha (ahli hukum Islam) berdasarkan sebuah hadis Nabi yang amat populer ketika beliau mengangkat
Mu’adz bin Jabal sebagai qadhi di Yaman. Beliau langsung merekomendasikan kepada Mu’adz untuk menggunakan
akal sehatnya (ijtihad) jika permasalahan yang dihadapinya tidak ada di dalam Alqur′an dan Sunnah.
69
Uraian cukup representatif tentang ini, lihat al-Bannânî, Hasyiyat al-‘Allâmah al-Bannânî, Mesir: Dâr
Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th., II, hlm. 379.

26
bernama ilmu agama –seperti ilmu tafsir, hadis, fiqih, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain–
maupun yang bernama ilmu umum –seperti kedokteran, biologi, teknik, psikologi, geografi,
arsitektur, semantik, astronomi, antropologi, sosiologi, dan lain-lain– mempunyai cita rasa
yang sangat serasi dan sejalan dengan kebutuhan dan menu kehidupan yang amat variatif di
abad mederen ini; Artinya produk-produk iptek itu dalam berbagai jenis dan spesifikasinya
sama-sama memberikan manfaat dan pengayoman bagi kehidupan umat manusia di dunia
dan akhirat. Dengan kata lain, tidak ada kelebihan yang satu dari yang lain karena semuanya
sama-sama datang dari Allah dan berguna untuk meningkatkan kesejehtaeraan kehidupan di
muka bumi ini.
Bilamana prinsip keberadaan dan keesaan Allah itu telah dijadikan dasar dalam
pembentukan dan pengembangan epistemologi dan paradigma keilmuan, maka kita ke depan
iptek tidak akan menjadi perusak, apalagi penghancur kehidupan. Malah sebaliknya, dengan
iptek tersebut, kehidupan akan menjadi lebih bermakna dan berdaya guna dalam mengayomi
umat.
D.Penutup
Semua uraian yang disajikan di atas berupa kerusakan alam yang terjadi, salah satu
penyebab utamanya ialah karena Alqur′an telah ditinggalkan seperti dikeluhkan Nabi kepada
Allah dalam sebuah ayat Alqur′an: “Oh Tuhanku, sungguh kaumku telah meninggalkan
Alqur′an ini” (QS.25:3070). Jika demikian, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan
kehidupan ini, kecuali menggunakan satu kata kunci, yaitu “kembali kepada Alqur’an dan
Sunnah.” Kembali kepada Alqur’an dan Sunnah bukanlah dalam bentuk slogan dan tidak pula
hanya dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan harus secara menyeluruh dalam semua
aspek dan lini kehidupan, tidak terkecuali dalam pengembangan iptek. Dalam konteks ini, hal
pertama yang harus dilakukan ialah menciptakan paradigma ilmu berdasarkan pada
epistemologi Islami atau yang diistilahkan oleh B.J. Habibie dan kawan-kawannya dengan
Imtaq (iman dan taqwa).
Jika slogan “kembali kepada kedua sumber” itu hanya sebagai penghias bibir
(lipservice), maka jangan pernah bermimpi keadaan dapat berubah. Justru sebaliknya: boleh
jadi semakin parah. Bila ini yang terjadi, agaknya “kiamat kubra” telah berada di ambang

ً ‫نَقَ ْومِ يَاتَّخَذَواَ َهذَاَ ْالق ْرآنَََ َم ْهج‬


َ )30َ:‫وراَ(الفرقان‬ ََّ ِ‫بَإ‬
َِ ‫الرسولََيَاَ َر‬ ََ ‫ َوقَا‬70
َّ َ‫ل‬

27
pintu. Kita tinggal menunggu timing yang tepat menghadapi detik-detik kehancuran itu.
Na’ûdzu biLlah min dzâlika.

PENGUATAN LEMBAGA PENDIDIKAN


DAN SUMBER DAYA MANUSIA PROFESIONAL

A.Pendahuluan
Pendidikan, apalagi pendidikan agama adalah suatu yang sangat krusial dalam
membina kehidupan seseorang, baik secara individual, berkeluarga, berma syarakat, berbangsa
dan bernegara. Agar manusia memiliki kepribadian yang baik, pendidikan agama perlu
ditanamkan semenjak dini. Proses internalisasi ajaran agama Islam dalam kehidupan anak tidak
boleh dianggap remeh karena hal ini akan berpengaruh pada masa depannya saat dewasa.
Berbagai penyimpangan dan penyelewengan di tengah masyarakat kita, seperti
merebaknya kasus pornografi, penggunaan narkoba, tindak kejahatan dan criminal; baik
kejahatan ekonomi, maupun sosial; semua itu membuktikan kepada kita bahwa ada yang salah
dalam proses pendidikan agama di negeri ini. Karena itu, substansi lembaga pendidikan dan
materi pembelajaran agama Islam yang kita kembangkan selama ini perlu dikaji ulang. Apakah
konsepnya masih relevan atau harus direvisi? Demikian pula sistem dan metode implementasi
serta pembelaja rannya perlu ditinjau kembali. Apakah sudah bisa mengantarkan anak didik
kepada apa yang diharapkan atau masih tertinggal di belakang? Selain itu, bisa jadi
kelembagaannya sudah tidak cocok, sehingga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Demikian pula sumber daya manusia (SDM) yang mengelo lanya; mulai dari tenaga
pengajarnya, terus tenaga kependidikannya perlu ditata ulang.
Perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan lembaga di sini adalah badan
(organisasi) yang tujuannya melakukan usaha kependidikan.71 Lembaga ini secara struktural
formal terdiri atas beberapa tingkatan (jenjang) pendidikan mulai pra sekolah (TK, TKA,
TKIT), sekolah dasar (SD, MI, SDIT), sekolah menengah (SMP, MTs, MAN, SMU, SMK),

71
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, hlm. 512.

28
dan perguruan tinggi (STAIN, IAIN, UIN, PTU, PTS). Di samping itu ada pula lembaga
pendidikan non-formal seperti majlis ta’lim, pengajian, dan sebagainya. Selain itu, ada pula
lembaga informal seperti pendidikan dalam keluarga, di tengah masyarakat, dan sebagainya.
Secara umum, semua lembaga itu dapat dikatakan tidak menghadapi permasalahan dari
sudut fisik dan stratanya. Akan tetapi dari sudut administrasi, pengelolaan keuangan,
akademik, dan SDM, sarat dengan problema yang harus segera dicarikan solusinya.
Pembahasan tulisan ini akan dipusatkan pada dua aspek, yaitu:
Pertama, masalah kelembagaan yang meliputi bidang akademik, seperti materi
pembelajaran, metode, kurikulum, dan sebagainya. Kedua, sumber daya manusia (SDM),
seperti tenaga pendidik, kependidikan, dan lain-lain.

B.Belajar Dari Kesalahan


Sebelum membahas lebih jauh tentang permasalahan ini, ada pepatah lama yang patut
direnungkan: “Mengambil tuah pada yang menang, mengambil contoh pada yang sudah.” Bila
pepatah ini dihubungkan kepada pendidikan, maka kita dapat berkaca ke masa silam, masa
keemasan Islam tempo dulu, yakni di abad-abad pertengahan. Selama kurang lebih 600 tahun
umat Islam menguasai peradaban dunia, mulai dari Cina di timur sampai ke Spanyol di barat.
Itu berarti hampir sepertiga wilayah dunia ini dikuasai kaum muslimin sebagaimana telah
disebut (cat. kaki 2)
Sungguh sangat spektakuler suatu negara dapat menguasai wilayah yang demikian luas.
Kalau tidak didukung oleh sistem pendidikan yang mumpuni, manajemen dan kepemimpinan
yang mantap, persatuan dan kesatuan yang kokoh dan kompak, dukungan militer yang kuat dan
solid, serta perekonomian yang memadai, maka semua itu mustahil dapat terwujud.
Semua keberhasilan yang diraih itu tentunya berawal dari keberhasilan lembaga
pendidikan yang mereka bangun. Tanpa itu, rasanya mustahil mereka akan dapat menguasai
dan mengontrol wilayah yang begitu luas dalam kurun waktu yang relatif lama. Pada fakta
keberhasilan umat Islam tersebut jelas terlihat bahwa mereka telah membangun lembaga
pendidikan dengan sistem pendidikan yang integral, yaitu mengintegrasikan dua sistem
pendidikan sekaligus: pendidi kan ilmu agama dan sains. Artinya, mereka tidak mengenal
dikotomi antara dua sistem itu. Mereka hanya mengenal satu sistem pendidikan, yaitu yang

29
diajarkan oleh Allah di dalam Alqur′an . Itulah yang disebut sistem pendidikan ilahi atau
sistem pendidikan qur′ani.
Dalam sistem pendidikan ini, mereka tidak memisahkan ilmu agama dari umum,
melainkan mengajarkannya secara integral. Para sejarahwan, baik yang muslim, seperti al-
Thabarî, Ibnu al-Atsîr, dan Ibnu Khaldûn, Hasan Ibrȃhȋm Hasan, maupun yang non-muslim,
seperti Hitti dan Brocklemann, mengungkap kan fakta-fakta sejarah yang menunjukkan betapa
umat Islam pada masa silam itu telah mewariskan peradaban dan kemajuan ilmu serta
teknologi yang tidak ternilai harganya.
Peninggalan mereka itu sampai sekarang masih dapat disaksikan dan dinikmati oleh
generasi moderen. Ada yang dalam bentuk fisik, seperti berdirinya kota-kota besar seperti
Bagdad, Damaskus, Kairo, Cordova, Granada, dan lain-lain. Di dalam kota-kota itu berdiri
pula istana, masjid, sekolah, rumah sakit, dan bangunan-bangunan penting lainnya. Ada pula
yang dalam bentuk non-fisik seperti pengembangan teori dan konsep-konsep ilmu
pengetahuan, seni, dan budaya.
Peninggalam masa lalu tersebut masih dapat dinikmati dan dirasakan manfaatnya dalam
membangun peradaban di muka bumi ini, sampai sekarang. Ilmu-ilmu yang mereka
kembangkan itu dalam berbagai cabang, baik ilmu agama (naqlî) seperti tafsir, hadits, fiqih,
kalam (teologi), tasawuf, bahasa Arab, qira’at dan lain-lain; maupun ilmu umum (‘aqlî),
seperti astronomi, kedokteran, farmasi, falak, geografi, filsafat, kimia, dan lain-lain.
Dengan menerapkan sistem pendidikan ilahi tersebut pada lembaga-lembaga
pendidikan yang mereka desain, maka lahirlah para ilmuwan yang utuh. Dalam arti, lahir batin
mereka terbentuk dengan baik secara integral, sehingga seorang ahli ilmu umum, misalnya,
juga ahli ilmu agama atau paling tidak mengerti seluk-beluk ilmu-ilmu keagamaan itu. Begitu
pula sebaliknya. Imam al-Syâfi’î, misalnya, di samping seorang ahli fiqih, ahli hadis dan imam
mazhab, dia juga terkenal seorang sastrawan. Demikian pula Imam Mȃlik terkenal seorang ahli
hadis dan Imam Mazhab. Al-Thabarî selain ahli sejarah, dia juga terkenal sebagai seorang ahli
tafsir kenamaan dan ahli bahasa. Ibnu Sina terkenal sebagai seorang dokter, ahli bedah pertama
di dunia, karyanya al-Qanûn fi al-Thibb menjadi buku daras (teks) kedokteran di Cordova
beberapa abad lamanya, dan ia juga dikenal luas sebagai seorang filosof.
Al-Ghazâlî selain guru besar fiqih, dia juga seorang teolog, lalu menjadi filosof dan di
akhir hayatnya dia terkenal sebagai seorang sufi. Karyanya Ihyâ′ ‘Ulûm al-Dîn sampai

30
sekarang masih tetap eksis dan menjadi referensi utama bagi umat Islam dalam beragama. Ibnu
Rusyd tercatat sebagai ahli fiqih, filosof, dan dokter yang terkenal di Spanyol. Karyanya al-
Kulliyât fi al-Thibb menjadi rujukan dan buku teks kedokteran di Spanyol hingga beberapa
abad. Teorinya yang amat terkenal sampai sekarang dan masih dianut oleh ilmu kedokteran
modern, bahwa seseorang hanya sekali seumur hidupnya akan terkena penyakit cacar
(campak).72
Selain para ilmuwan muslim yang ahli di berbagai bidang, ada pula yang
mengkhususkan keahliannya dalam bidang tertentu, seperti Imam Abû Hanîfah dan Ahmad bin
Hanbal, masing-masing sebagai ahli fiqih dan Imam mazhab yang terkenal. Demikian pula al-
Bukharî, Muslim, al-Nasâ’î, Abû Dâwûd, al-Tirmidzî, dan Ibnu Mâjah, merupakan tokoh-
tokoh kenamaan ahli hadis. Wâshil bin ‘Athâ′ seorang tokoh teologi Islam (ilmu kalam) yang
masyhur dan menjadi pendiri aliran Muktazilah. Abû al-Hasan al-Asy’arî, seorang ahli teologi
Islam kenamaan dan pendiri Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Mazhab Sunni).73
Dalam bidang ilmu umum cukup banyak yang menonjol seperti al-Majritî dari Cordova
dalam bidang astronomi. Al-Kindî dan al-Fârâbî di dalam bidang filsafat. Al-Râzî (yang di
Jerman namanya disebut Razier), selain ahli dalam bidang kimia, juga dikenal luas sebagai
seorang dokter ahli penyemenan tulang pertama di dunia. Al-Khawârizmî, Abû al-Kâmil
Sujâ’î, dan Abû al-Wafâ′ al-Buzjânî tercatat sebagai ahli dalam ilmu alam dan matematika.74
Bukti lain kejayaan Islam adalah tersimpannya 400.000 manuskrip di dalam
perpustakaan Universitas Cordova pada masa pemerintahan al-Hakam II (961-976 M).75
Bahkan, di perpustakaan pusat kerajaan di Bagdad dan yang disimpan di perpustakaan
Damaskus, pusat kerajaan Umayyah, jauh lebih besar jumlahnya. Semua itu menjadi bukti
autentik bahwa para ulama dan ilmuwan di kala itu betul-betul giat berkarya untuk
mengembangkan ilmu dan peradaban. Lebih istimewa lagi di masa itu belum ada mesin
percetakan; semua buku ditulis tangan(manuskrip).

72
Selanjutnya lihat Hasan Ibrâhîm Hasan, Târîkh al-Islâm, Kairo: Maktabat al-Nahdhat al-Mishriyyah, II,
1964, hlm. 325-326; dan III, Cet. IX, 1979, hlm. 339; Ibnu Khaldûn, Muqaddimah, Mesir: Mushthafa Muhammad,
t.th., hlm. 447-448.
73
Hasan Ibrâhîm Hasan, Târîkh, III, hlm. 347; Hudhari Bek, Târîkh al-Umam al-Islamiyah, Kairo: al-
Istiqȃmah, 1945, hlm. 211-212.
74
Ahmad Syalabî, Mawsû’at al-Târîkh al-Islâmî, Kairo: al-Nahdhat al-Mishriyyah, III, 1974, hlm. 234;
Hasan Ibrâhim Hasan, Târîkh, III, hlm. 357; Hitti, History, hlm. 233-234; Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1979, hlm. 56-57; 71-91.
75
Lebih lanjut lihat Hitti, History, hlm. 531; Hasan Ibrâhîm Hasan, Târîkh, III, hlm. 178-179.

31
Selain fakta itu, apabila diamati, para rasul yang diutus Allah, selain membawa ajaran
suci, mereka juga memiliki berbagai keterampilan sesuai situasi dan kondisi kaum mereka
masing-masing. Nabi Nuh ahli teknik perkapalan (QS. 11:3776), Nabi Ibrahim ahli teknik sipil
(QS.2:12777), Nabi Sulaiman ahli bahasa atau lingustik (QS. 27:1678), Nabi Isa Ahli
pengobatan dan bahkan mampu menghidupkan orang mati (QS.3:4979; 5: 11080); Nabi
Muhammad ahli pemerintahan dan strategi.81 Begitulah ajaran para nabi. Pendek kata, mereka
tidak hanya membawa agama, melainkan sekaligus mengajarkan kepada umat sesuatu yang
akan menopang kehidupan mereka.
Jadi, berdasarkan sistem yang diterapkan Allah dalam merekrut para rasul itu tampak
dengan jelas sebuah isyarat bahwa umat harus mempunyai agama yang baik dan benar
sekaligus harus memiliki keterampilan yang memadai agar mereka mendapatkan penghasilan
untuk menunjang hidupnya di bumi ini. Dengan mengintegrasikan kedua ilmu agama dan
umum itu, maka mereka mampu menjalankan ajaran agama secara baik dan benar serta
konsekuen dan konsisten sesuai tuntunan dan demi memenuhi tuntutan kebutuhan hidup dan
kehidupan mereka.
Demikian sekelumit fakta dari ribuan fakta yang tercatat dalam sejarah peradaban
Islam. Fakta ini membuktikan bahwa apabila kelembagaan pendidikan Islam dirancang secara
baik dengan sistem yang benar, maka akan membuahkan hasil sesuai harapan. Itulah buah dari
sistem pendidikan ilahi yang bertumpu pada Alqur′an dan Sunnah Nabi. Paling tidak, terdapat
sekitar 159 ayat Alqur′an yang mendorong supaya umat berpikir rasional (rational thinking)
demi menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Amatilah firman Allah berkikut:
ْ‫وإِلَى‬...ْ
َ ‫ْرفِ َعت‬
‫َ ه‬َ ‫اءْكَي‬ َ ‫وإِلَىْال‬...ْ
ِ ‫س َم‬ َ َ ‫ْوإِلَىْا ِِإبِ ِلْكَي‬...ْ
‫َْ هخ ِلقَْت‬ َ َ‫ْمنْ َماْ هخلِق‬
ِ ‫سانه‬ ‫فَليَن ه‬...ْ َ‫أَفَ َلْتَتَفَ َك هرون‬...ْ َ‫لْت َع ِقلهون‬
َ ‫ُ ِرْا ِِإن‬ ْ َ َ‫أَف‬
.‫س ِط َحت‬ ‫َْ ه‬َ ‫ضْكَي‬ ِ ‫األَر‬
ْ

َ )37َ:‫)َ(هود‬37(َََ‫ظلَمواَ ِإنَّه َْمَم ْغ َرقون‬ َ َََ‫لَتخَاطِ ْبنِيَفِيَالَّذِين‬ ََ ‫صن ََعَِ ْالف ْلكَََ ِبأَعْي ِننَاَ َو َوحْ ِينَاَ َو‬ ْ ‫ َوا‬76
َ )127َ:‫َّلَمِ نَّاَ ِإ َّنكَََأ َ ْنتَََالسَّمِ يعََ ْال َعلِيمََ(البقرة‬
َْ ‫تَ َو ِإ ْس َماعِيلََ َربَّنَاَتَقَب‬ َِ ‫ َو ِإ َْذَ َي ْرفَعََ ِإب َْراهِيمََ ْالقَ َوا ِع ََدَمِ نَََ ْال َب ْي‬77
َ )16َ:‫َ(النمل‬...ََ‫لَ َش ْيء‬ َِ ‫نَك‬ َْ ِ‫ْرَ َوأوتِينَاَم‬ َِ ‫الطي‬َّ َََ‫لَ َياَأَيُّ َهاَالنَّاسََعل ِْمنَاَ َم ْنطِ ق‬ ََ ‫ َو َو ِرثَََسلَ ْي َمانََ َداوو ََدَ َوقَا‬78
َ )49َ:‫(آلَعمران‬...َ‫ّللا‬ ََِّ َ‫ن‬ َِ ‫ي َِ ْال َم ْوت َىَ ِبإ ِ ْذ‬
َ ْ‫صَ َوأح‬ ََ ‫ َوأب ِْرئََ ْاأل َ ْك َم َهََ َو ْاألَب َْر‬...79
َ )110َ:‫(المائدة‬...َ‫صَ ِبإ ِ ْذنِيَ َو ِإ َْذَت ْخ ِرجََ ْال َم ْوت َىَ ِبإ ِ ْذنِي‬ ََ ‫ َوتب ِْرئََ ْاأل َ ْك َم َهََ َو ْاألَب َْر‬...80
81
Berdirinya sebuah negara modern di Madinah pada masa pemerintahan beliau, awal abad ke-7 M.
Sebagaimana diakui oleh para sejarawan Barat dan Timur, merupakan bukti yang sangat autentik atas kebenaran
tesis itu. Hal itu didukung oleh adanya Piagam Madinah yang sangat populer sebagaimana dicatat oleh para
sejarawan tersebut. (Abdurrahmân al-Suhailî, al-Rawdh al-Unuf fi Syarh al-Sîrat al-Nabawiyyah li Ibni Hisyâm,
(tahqîq Abdurrahmân al-Wakîl, Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1389 H/1969 M, hlm. 240-243).

32
Semua ayat tersebut menggelitik pikiran para ilmuwan agar segera mengerahkan daya
nalar (ijtihad) mereka untuk menjawab persoalan ini. Mereka semua berusaha merespons pesan
yang disampaikan ayat-ayat Alqur’an sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.
Selain Alqur′an, hadis Nabi pun mendorong agar umat menggunakan pemikiran
rasional (al-ra′y) dalam mencari solusi terhadap berbagai persoalan yang terjadi di tengah
masyarakat, seperti dalam sabda Rasul SAW kepada Ibnu Mas’ûd berikut:
َ ‫ْفَإِنْلَمْت َِجدْفِي ِه َماْفَاجت َ ِهد‬،‫اْو َجدت َ هه َما‬
ْ َْ‫ْرأ َيك‬ َ َ‫سنَ ِةْ ِإذ‬
ُّ ‫ْوال‬
َ ‫ب‬ِ ‫ضْ ِبال ِكت َا‬
ِ ‫ِإق‬
“Putuskanlah suatu perkara berdasarkan ketentuan al-Kitab (Alqur′an ) dan al-Sunnah (Hadis
Rasul) apabila kasusnya ada di dalamnya. Jika tidak ditemukan di dalam kedua sumber itu,
maka berijtihadlah dengan mengerahkan pemikiran rasionalmu (untuk menemukan
jawabannya).”

Dalam hadis itu, Nabi menganjurkan kepada Ibnu Mas’ûd, apabila suatu masalah tidak
ditemukan hukumnya di dalam al-Kitab (Alqur′an) dan al-Sunnah (hadis) Nabi, maka
hendaknya dia menggunakan akal (pemikiran rasional) untuk memutuskannya.82 Itu berarti
bahwa ijtihad merupakan salah satu sumber hukum yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dalam mencari dan menemukan kebenaran.
Pemikiran rasional semacam itu tidak dapat dilakukan tanpa melalui pendidikan.
Tetapi, sayang sekali, pendidikan Islam yang demikian maju di abad-abad pertengahan itu
semenjak pertengahan abad ke-13 mulai memasuki abad kemunduran. Khususnya, setelah
Bagdad sebagai pusat peradaban Islam di kala itu dibumihanguskan oleh Hulagu Khan, cucu
Jengis Khan dari Mongolia.
Sejarahwan Barat, Arnold Toynbee, memperkirakan kerugian peradaban Islam akibat
serangan itu mundur 500 tahun ke belakang. Perkiraan Toynbee ini boleh jadi ada benarnya
karena para ilmuwan dan tokoh-tokoh ulama Islam dibantai habis, hingga khalifah pun
dibunuh. Buku-buku karya para ilmuwan dan ulama dibakar dan dibuang ke sungai sehingga
semua ludes bersamaan dengan hancurnya bangunan gedung-gedung dan istana yang rata
dengan tanah.83 Sungguh malapetaka yang sangat memilukan hati sekaligus menghancurkan
peradaban Islam yang sudah dibangun beratus tahun lamanya.

82
Uraian yang lengkap tentang peranan akal ini, dapat dibaca dalam Harun Nasution, Akal dan Wahyu
Dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1982.
83
Pada bulan Januari 1258, Hulago Khan, cucu Jengis Khan bersama pasukannya menghancurkan kota
Bagdad, sehingga pusat peradaban Islam yang amat tinggi di kala itu menjadi bumi hangus. Setelah kota banjir

33
Sejak abad ke-13 sampai periode modern sekitar lima abad lamanya peradaban Islam
bisa dikatakan terbelenggu di dalam kebekuan berpikir sehingga mengakibatkan kebodohan
dan keterbelakangan. Tak ada lagi tokoh ulama atau ilmuwan yang muncul ke permukaan.
Seakan-akan mereka dihinggapi penyakit frustrasi dan pasrah kepada keadaan. Tak tampak lagi
daya ijtihad yang dulunya menggebu-gebu.
Walaupun pada abad ke-14 M tampil Ibnu Khaldûn, seorang sejarawan dan sosiolog
paling terkemuka saat itu, namun hal itu merupakan pengecualian, sebab pada umumnya
pemikiran di dunia Islam masih jumûd (statis). Demikian pula pada abad ke-16 M, dunia
mengakui munculnya tiga kerajaan besar di dunia Islam, yaitu Kerajaan Usmani di Turki,
Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Akan tetapi, sejarah mencatat,
ketiga kerajaan ini lebih banyak memusatkan perhatian mereka dalam bidang pemerintahan
(politik) ketimbang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Mungkin karena inilah, Prof. Ahmad Amin dari Mesir menggambarkan Kerajaan
Usmani sebagai orang pintar perang dan memperluas kerajaan, tetapi mereka tidak pandai
mengisinya dengan ilmu dan peradaban. Akibatnya, dunia Islam makin tertinggal di belakang,
penalaran ilmiah tetap buntu, dan cakrawala pemikiran masih gelap. Sehingga, masalah buta
huruf dan kebodohan dominan di seluruh kerajaan. 84
Di Indonesia sendiri, meski telah memasuki millenium III, namun kondisi keterpurukan
ilmiah masih sangat terasa, malah lebih menyedihkan lagi. Sebagai contoh, sampai tahun 2004,
penduduk Indonesia yang buta huruf berjumlah 16 juta orang.85 Pada dasawarsa 1970-an,
warga negara tetangga Malaysia banyak yang belajar ke Indonesia. Tapi, mulai dasawarsa
1980-an situasi berbalik sudah. Sekarang warga Indonesia berduyun-duyun belajar ke
Malaysia. Kebenaran tesis ini didasarkan atas laporan akhir tahun 2007 oleh United Nations
Development Program (UNDP), di mana Indonesia menduduki urutan ke-107 dari 170 negara-
negara anggota PBB dalam pencapaian indeks pembangunan manusia (HDI).
Kemorosotan HDI tersebut berkaitan erat dengan pendidikan. Artinya, jatuhnya HDI itu
merupakan salah satu indikator kegagalan kita dalam bidang pendidikan. Fakta ini diperkuat

darah dan tinggal puing-puingnya saja, ia membantai Khalifah al-Mu’tashim bersama 300 pejabat tinggi kerajaan
(Hitti, History, hlm. 486-487).

84
Selanjutnya, lihat Ahmad Amîn, Zu’amâ’ a-Ishlah fi al-‘Ashr al-Hadîts, Kairo: Maktabat al-Nahdhat al-
Mishriyyah, cet. ke-4, 1979, hlm. 6.
85
Harian Kompas, “Angka Buta Huruf Ikut Pengaruhi HDI Indonresia”, Selasa 27 Juli 2004.

34
pula oleh rendahnya patokan angka kelulusan yang menjadi standar Ujian Nasional (UN), yaitu
5,5. Yang menjadi permasalahan bukan rendahnya standar, tetapi masih banyak di antara
mereka yang tidak lulus. Padahal, standar itu sudah di bawah garis.
Bahkan, yang lebih ironis lagi, 9 orang guru di Medan tertangkap basah menjadi
“sukarelawan” membantu para siswa mereka dalam mengerjakan soal agar para siswanya lulus
dalam Ujian Nasional. Tindakan amoral yang dilakukan oleh guru secara kolektif itu
mengindikasikan bahwa pendidikan yang mereka lakukan tidak bermutu.
Begitulah rendahnya mutu pendidikan kita. Karena itu, tidak ada jalan lain, seluruh
lembaga pendidikan dari semua jenjang, mulai dari TK sampai PT, harus mendapatkan
perhatian yang serius. Maka, perlu adanya action plan yang terencana dan terprogram dengan
baik sehingga maju dan mundurnya proses pendidikan dapat diukur dan dipantau.
Peringkat 107 sebagaimana dinukil di atas sungguh jauh sekali di bawah negara-negara
lain. Jangankan dibandingkan negara maju, dengan negara-negara tetangga sesama ASEAN
saja Indonesia jauh ketinggalan. Singapura, misalnya, berada pada urutan ke-25, Malaysia di
urutan ke-36 dan Thailand urutan ke-78.86 Capaian HDI ini berkorelasi langsung dengan
indikator pokok, yaitu kesehatan, pendidikan dasar, dan daya beli.
Dalam pembangunan SDM, ternyata posisi Indonesia semakin melorot. Apabila
sebelum krisis multidimensi (1977) World Competitiveness Year Book menempatkan
Indonesia pada urutan ke-39, maka pada awal abad ke-21, posisi itu meluncur ke urutan ke-46
dari 47 negara yang disurvei. Setelah lebih dari satu dasawarsa reformasi berjalan, peringkat itu
tak berubah.87
Buruknya pencapaian HDI ini menunjukkan rendahnya kondisi sosial-ekonomi. Di
tahun 2006, persentase penduduk miskin mencapai 17,8% atau 52 juta orang (Badan Pusat
Statistik). Selain itu, pengangguran pada tahun 2005 berjumlah 40 juta orang atau 31,2% dari
total penduduk 200 juta orang.88
Sedang dalam bidang akademik, kondisi HDI yang buruk itu berakibat fatal terhadap
pengembangan sains dan teknologi serta ilmu-ilmu humaniora lainnya. Sebagai contoh, di
tahun 2006 saat Amerika berhasil mendapat 5 hadiah Nobel dalam bidang ekonomi, fisika, dan

86
Selanjutnya lihat “Laporan Akhir Tahun 2007 Pembangunan Manusia”, Harian Kompas”, Selasa, 18
Desember, 2007, hlm. 6.
87
Ibid.
88
Republika, 20 Oktober 2005.

35
kimia, maka negara-negara Islam hanya menjadi penonton setia. Tak satu pun di antara mereka
yang memperolehnya, termasuk Indonesia.89

C.Langkah Nyata Perbaikan


Dari fakta yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara substansial,
maju mundurnya suatu bangsa tergantung pada lembaga pendidikan yang mereka bangun dan
sistem pendidikan yang mereka terapkan serta SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, untuk
menguatkan lembaga dan SDM-nya, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian
serius.
Setidaknya, ada dua aspek yang harus diperhatikan. Pertama, hal yang berhubungan
dengan akademik, seperti materi pelajaran, metode pembelajaran, kurikulum, dan silabus.
Kedua, yang berhubungan dengan SDM, misalnya tenaga pengajar dan kependidikan.
1.Bidang Akademik
a. Materi Pembelajaran
Jika diamati, materi pembelajaran yang diberikan kepada anak didik kita, baik di
sekolah menengah maupun di perguruan tinggi, tampak masih menganut sistem
dikotomis antara mata pelajaran agama dan umum. Hal ini terlihat dengan jelas ketika
kita menelaah buku daras (teks) yang dipakai, misalnya Islam untuk Disiplin Ilmu
Pendidikan (Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum) dan
Dasar-Dasar Agama Islam (Buku Daras Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan
Tinggi Umum).
Di antara materi pokok yang diajarkan ialah 1) pengantar agama Islam, 2)
akidah/keimanan, 3) arkanul Islam, 4) akhlak/ihsan, 5) syari’ah/ ibadah, 6) perbandingan
agama, dan 7) kapita selekta.90
Sebenarnya, dari sudut materi pokok, apa yang diajarkan sudah cukup, tetapi karena
tidak ada aturan yang mengwajibkan bahwa sistem pengajarannya bersifat integral atau
terpadu, maka mata pelajaran ini diajarkan terpisah (dikotomis) dari mata pelajaran
umum. Akibatnya, timbul kesan di dalam benak para anak didik bahwa ilmu agama harus

89
Kompas, 18 Oktober 2006.
90
Tim Penulis, Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, Jakarta: Proyek Pembinaan Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi Umum, 1984, hlm. 210.

36
dibedakan dari ilmu umum karena substansi keduanya jauh berbeda; padahal sumber
keduanya satu yakni sama-sama berasal dari yang Maha ‘Alȋm yaitu Allah.
Akibat dari pemisahan ilmu-ilmu umum dari ilmu agama, maka lahirlah ilmuwan-
ilmuwan sekuler dengan karakter yang tidak utuh sebab hanya menerima satu sisi dari
pengetahuan, yakni teori-teori ilmiah, cara-cara berpikir rasional dan konseptual,
sementara ilmu agama yang dapat mencerahkan jiwa dan budi pekerti tidak mereka
peroleh secara optimal. Dampaknya, jiwa mereka menjadi labil dan mudah dipengaruhi
oleh hal-hal negatif. Dari sanalah awal mula timbulnya berbagai kerusakan dan bencana.
Oleh karena itu, jika kita menginginkan suatu perubahan yang signifikan
substansial, maka materi pelajaran umum, seperti ekonomi, fisika, biologi, antropologi,
geografi, matematika, dan sebagainya, semestinya diberikan secara terpadu dengan
materi pelajaran agama. Begitu pula sebaliknya. Dengan begitu, para anak didik akan
selalu menyadari bahwa ilmu yang mereka dapatkan berasal dari sumber yang sama,
yaitu Allah, baik ilmu umum maupun ilmu agama. Kondisi inilah yang melahirkan
ilmuwan-ilmuwan muslim di abad pertengahan yang telah mengukir sejarah keemasan
Islam di kala itu sebagaimana telah dinukil di atas.
Dengan diterapkannya sistem pendidikan terpadu sebagaimana dijelaskan di atas,
maka lembaga-lembaga pendidikan kita diharapkan akan bisa menghasilkan lulusan yang
memiliki integritas kepribadian yang kokoh dan tangguh, lahir batin. Artinya, secara
akademik ia memiliki kemampuan dan daya nalar ilmiah yang kuat dan secara religius
mempunyai ketaatan beragama yang tinggi. Kondisi inilah yang kelak akan melahirkan
tiga bentuk kesalehan, yaitu kesalehan intelektual, struktural, dan sosial.
Jika kita dapat melahirkan ilmuwan yang memiliki kemampuan yang seimbang
antara ilmu umum dan agama sebagaimana digambarkan itu, maka saat itulah kita akan
dapat melihat perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam menyelamatkan hidup
dan kehidupan di muka bumi ini; baik dalam lingkup pribadi, berkeluarga,
bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara.
b.Metode Pembelajaran
Metode Pembelajaran yang dimaksudkan di sini bukan sekadar penyampaian
materi secara teknis, namun juga mencakup perencanaan pendidikan dan pengajaran serta

37
manajemennya secara menyeluruh dan komprehensif, sejak tahap awal sampai akhir
proses.91
Jika materi pengajarannya sudah bersifat integral, maka metode penyampaiannya
juga harus terpadu. Artinya, saat menyampaikan materi harus diupayakan pula untuk
memberikan contoh yang menggambarkan keterpaduan antara ilmu agama dan ilmu
umum, mulai pada tingkat TK sampai ke perguruan tinggi.
Metode ini memang terdengar terlalu ideal. Tetapi, sebenarnya tidaklah demikian
asalkan materi atau bahan ajar yang akan diajarkan telah dipersiapkan secara terpadu
pula. Namun, bila bahan ajarnya belum dibuat secara terpadu, maka penerapan metode
ini bisa jadi akan menghadapi berbagai kendala yang cukup berat. Hal ini berarti metode
dan materi merupakan satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisahkan satu sama lain; tapi
hanya dapat dipilah. Itu artinya kedua komponen itu harus digarap secara profesional dan
dilaksanakan secara integral. Sebagai contoh, materi pembelajaran biologi harus
dikaitkan secara langsung dengan sang Penciptanya, yaitu Allah beserta dalil-dalilnya
dari Alqur′an dan Sunnah. Demikian pula ketika menguraikan materi pelajaran tentang
fisika, astronomi, geologi, geografi, dan lainnya. Semua itu harus dihubungkan dengan
sang Maha Pencipta. Begitulah seterusnya pada semua mata pelajaran yang diberikan
sesuai tingkat dan daya serap anak didik pada jenjang pendidikan mereka masing-masing.
Apabila metode integral ini diterapkan dengan benar, maka di dalam diri para anak
didik diharapkan akan terbentuk suatu watak atau karakter kepribadian mukmin sejati
yang tunduk kepada sang Khaliknya. Dengan demikian, dia tak akan mudah melakukan
tindakan di luar garis kebenaran, apalagi menyimpang atau berbuat sesuatu yang
dilarang.
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, tentu para pengajar harus memiliki
wawasan yang memadai dan keterampilan yang cukup. Karenanya, mereka harus diberi
didikan, pelatihan dan wawasan yang memadai terlebih dahulu supaya mereka benar-
benar siap secara akademik untuk mengajarkan materi terpadu itu dengan metode
integral.

91
Dalam hal ini, Webster menjelaskan, “Method: 1. a way of doing anything; mode; procedure, process;
especially, a regular, orderly definite procedure or way of teaching, investigating, etc; 2. regularity and orderliness
in action, thought, or expression; system in doing things or handling ideas;[and] 3. regular, orderly, arrangement.
(NoahWebster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, Cet. II, Amerika Serikat: William Collins, 1980, hlm.
1134.

38
c.Kurikulum dan Silabus
Semua materi yang terintegrasi itu harus dituangkan dalam bentuk kurikulum dan
silabus. Selain itu, di dalam kurikulum dan silabus itu harus pula tergambar pola
kontinuitas sebuah alur pembelajaran agar tidak terjadi tumpang tindih, mulai dirancang
sejak sekolah dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi (PT).
Pada tingkat SD, misalnya, diberikan pokok-pokok agama Islam serta
pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai tingkat kemampuan daya serap
mereka yang masih pada level sekolah dasar dan sejalan dengan aturan serta norma-
norma yang berlaku. Pada tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dilanjutkan dengan
pengenalan dalil-dalilnya, baik dalil ‘aqliyah (rasional), maupun dalil naqliyah (Alqur′an
dan Sunnah) di samping pengamalannya makin ditingkatkan. Pada tingkat SMA, dalil
yang telah diperkenalkan tadi dibahas, dianalisa secukupnya sesuai daya nalar mereka,
lalu dijelaskan hikmah dan manfaatnya. Pada tingkat perguruan tinggi, kurikulumnya
harus lebih diperdalam lagi dengan kajian-kajian filosofis dan ilmiah.92
Sustainabilitas atau estafet penerapan kurikulum dan silabus seba gaimana
dijelaskan di atas sangat diperlukan dan harus diterapkan secara konsisten supaya anak
didik tidak bosan; bahkan lebih penting lagi, agar pencapaian bahan ajar itu dapat diukur
secara transparan sesuai program dan rencana yang telah ditetapkan.
Keterpaduan kurikulum dan silabus tidak hanya berlaku antar mata pelajaran agama
dan umum, melainkan juga pada tataran jenjang kependidikan, mulai dari tingkat dasar
sampai perguruan tinggi. Begitu pula diperlukan alokasi waktu yang cukup untuk
mengajarkan kurikulum tersebut.
Dari semua rentetan pembelajaran tersebut, mulai dari tingkat pra sekolah sampai
dengan PT, semua itu akan membuahkan hasil apabila para pelaku atau pengelola yang
terlibat dalam proses pendidikan mampu memberikan teladan yang baik dan benar dalam
perilaku dan kehidupan keseharian mereka; baik di sekolah atau di kampus, maupun di
luar kampus dalam pergaulan sehari-hari di tengah masyarakat seperti di lingkungan
kerja pada lembaga atau institusi pemerintahan, swasta, dan sebagainya.
Pola pikir semacam ini sebenarnya telah lama mengakar dalam budaya kita. Tapi,
akhir-akhir ini kurang mendapat tempat dalam realitas kehidupan nyata para pendidik.

92
Bandingkan dengan Tim Penyusun, Islam, hlm. 209.

39
Dikatakan telah lama mengakar, karena dalam budaya kita pendidik itu disebut “guru”.
Seseorang disebut “guru” ialah karena dia digugu (ucapannya yang baik) dan ditiru (bisa
menjadi teladan). Karena itulah tugas seorang guru tidak hanya mengajar, mentransfer
ilmu (kognisi), melainkan juga harus mendidik yang di dalam bahasa agama disebut
ta’dîb.
2.Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber daya manusia (SDM) mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam
suatu program, tidak terkecuali pendidikan. Dalam kaitan ini, banyak permasalahan yang
berhubungan dengan SDM, seperti proses perekrutan, keterampilan (skill), karakter, dan
kemampuan akademik yang perlu diselesaikan. Singkat kata, untuk menjalankan program
dengan baik, SDM harus berkualitas dalam berbagai aspek, sesuai kebutuhan dan rencana
yang telah ditetapkan.
Untuk meningkatkan kemampuan fisik dan skill, seseorang dapat berlatih. Begitu pula
untuk meningkatkan kualitas diri, orang bisa belajar dengan tekun. Tapi, menyangkut
pembinaan karakter (character building), ini membutuhkan perhatian khusus dan serius.
Sebab, di sinilah terletak semua permasalahan yang menyangkut jati diri SDM.
Berbagai kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, termasuk persoalan
kependidikan, semua itu tergantung pada karakter SDM tersebut. Karakter ialah inti yang
membentuk jati diri dan kepribadian seseorang. Apabila karakter telah terbentuk dengan
baik dan benar, maka bangunan sosok diri seseorang sudah established (mapan).
Contoh karakter yang sudah terbentuk baik dapat dilihat pada diri para sahabat Nabi
Muhammad SAW. Mereka rela menderita di bawah tekanan kaum kafir Quraisy, dan
bahkan siap mati demi membela Islam. Tak hanya itu, mereka dengan senang hati berhijrah
ke Madinah dengan penuh tawakal meninggalkan kekayaan, anak, dan istri serta kampung
halaman yang mereka cintai demi mempertahankan Islam yang telah menjadi karakternya.
Itulah bukti kuat tentang keberhasilan Rasulullah SAW dalam membangun karakter bangsa
Arab selama tiga belas tahun, yakni selama periode Makkah.
Ditempatkannya Muhammad SAW oleh Hart pada urutan pertama dari seratus tokoh
yang paling berpengaruh dalam sejarah, membuktikan kebenaran tesis itu.93 Itulah cikal

93
Selanjutnya lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh, hlm. 15, 27-34.

40
akal yang melahirkan Daulah Islamiyah, sebuah negara besar yang menguasai hampir
sepertiga wilayah dunia selama 600 tahun di abad pertengahan dulu.
Watak yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW itu adalah sosok mukmin sejati.
Sosok inilah yang telah mengukir sejarah dan peradaban di dunia. Term “mukmin” ialah
bentuk adjective (kata sifat) dari iman. Kata ini berasal dari bahasa Arab ‫ أمن‬yang berarti
aman. Kata ini telah menjadi bagian dari bahasa Indonesia.94
Dari akar kata ‫ أمن‬itu diturunkan kata imân )‫ (إيمان‬sehingga tashrifnya menjadi
“âmana-yu'minu-îmânan” )‫(آ َمنَ ْيهؤ ِمنه ْ ِإي َمانا‬. Dengan diberi imbuhan huruf alif )‫ (ا‬di awal
kosakata َْ‫ أَ َمن‬itu, maka dia pun berubah menjadi َْ‫( آ َمن‬dengan memanjangkan bacaan alif:
“‫)”آ‬. Perubahan bentuk ini berdampak pada perubahan konotasinya. Jika semula َْ‫ أ َ َمن‬berarti
“aman”, maka dengan perubahan bentuk itu maknanya menjadi “memberi keamanan”.
Jadi, orang yang beriman ialah orang yang selalu memberi rasa aman, baik terhadap
dirinya maupun pihak lain, seperti keluarga, masyarakat, dan lingkungan di sekitarnya.
Kalau ada orang yang mengaku beriman, tapi perkataan dan perbuatannya menyakiti atau
mengganggu orang lain, maka keimanan orang semacam itu patut dixurigai. Dalam hal ini
Allah SWT menegaskan dalam surat al-Nisȃ′ ayat 136 sbb.:
َِْ ‫ل ْ َو َمنْ ْيَكفهرْ ْ ِب‬
ْ‫اّلل‬ َْ َ‫ب ْالَذِي ْأَنز‬
ْ‫ل ْ ِمنْ ْقَب ه‬ ِْ ‫سو ِل ِْه ْ َوال ِكت َا‬ َْ ‫ب ْالَذِي ْن ََز‬
‫ل ْ َعلَى ْ َر ه‬ ِْ ‫سو ِل ِْه ْ َوال ِكتَا‬ َْ ‫يَا ْأَيُّ َها ْالَذِينَْ ْآ َمنهوا ْ ِآمنهوا ْ ِب‬
‫اّللِ ْ َو َر ه‬
ْْْ)136ْ:‫ض َلّلْْبَ ِعيداْ(النساء‬ َ ْ‫ل‬ َ ْْ‫س ِل ِْهْ َواليَو ِْمْاْل ِخ ِْرْفَقَد‬
َْ ‫ض‬ ‫َو َم َل ِئ َكتِ ِْهْ َو هكتهبِ ِْهْ َو هر ه‬
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka orang serupa itu benar-benar telah sesat
jauh sekali dari jalan yang benar” (QS. An-Nisȃ′: 136)

Di dalam ayat ini dengan sangat jelas dan tegas Allah meminta kepada mereka yang
mengaku beriman tersebut, agar mengaktualisasikan imannya itu dalam realitas
kehidupannya. Itu artinya, pengakuan beriman saja belum cukup untuk menyelamatkan
kehidupan di muka bumi, termasuk pribadi yang bersangkutan. Iman itu harus
diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, baik secara individual maupun kolektif.
Pelaksanaan itu akan terwujud dalam amal saleh, sehingga akan tercipta kesalehan
intelektual, kesalehan, kesalehan struktural, dan kesalehan sosial.
a.Kesalehan Intelektual

94
Anton Moeliono, Kamus, hlm. 25.

41
Kesalehan intelektual merupakan buah dari interaksi antara akidah yang tertanam
kokoh di dalam diri seseorang. Ketika seorang ilmuwan tidak menghasilkan karya ilmiah
yang dapat membuat dirinya dan atau masyara kat pemakai menjadi saleh (baik), maka hal
itu dapat dijadikan suatu indikator bahwa pengembangan ilmu yang dilakukannya tidak
didasarkan pada akidah yang benar dan etika yang luhur.
Gherman Titov, seorang kosmonot Rusia penganut paham komunis misalnya, pernah
berkata, “Belajar tentang planet dan penembusan lebih jauh lagi sampai ke intinya dari
alam semesta ini, telah menjelaskan bahwa tidak ada Tuhan di bumi maupun di langit.”95
Jelas ilmuwan semisal Titov itu tidak mungkin menghasilkan karya ilmiah yang akan
membuat dia dan pihak lain di luar dirinya menjadi saleh (baik). Hal itu terutama
dikarenakan wataknya yang telah terbentuk oleh ajaran ateisme, sekulerisme yang lebih
mengutamakan dirinya sendiri daripada orang lain. Terjadinya berbagai tindakan kriminal,
kerusuhan, kegaduhan, kedakdamaian di tengah masyarakat umat manusia.; bahkan antar
negara di seluruh dunia bermula dari sikap yang demikian.
b.Kesalehan Struktural
Kesalehan struktural yang dimaksud di sini ialah kesalehan para pejabat, yakni
mereka yang diberi tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola dan memanaj suatu
urusan atau organinsasi mulai level yang paling atas sampai yang paling bawah, termasuk
para staf. Artinya, semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program, baik secara
langsung maupun tidak langsung, harus mdemiliki sifat kesalehan; baik dalam bersikap,
maupun berperilaku. Semua itu masuk kategori struktur yang harus mempunyai kesalehan
mental-spiritual. Jika tidak, organisasi tempat ia bekerja itu tidak akan membawanya
kepada kebaikan. Kebaikan itu bisa diwujudkan dengan sistem organisasi yang menunjang
terciptanya suasana yang saleh, seperti penyediaan sarana peribadatan dan pengalokasian
waktu yang cukup untuk pelaksanaan ibadah dan sebagainya. Selain itu, nuansa ukhuwah
atau solidaritas sesama warga terasa amat kental di dalam organisasi yang kesalehan
strukturalnya tinggi.
Apabila kesalehan struktural itu telah terwujud pada semua lini organisasi, maka
produk yang dihasilkannya akan maksimal. Sebab, para pegawai atau staf yang bekerja di

95
Ali Akbar, Israel dan Isyarat di dalam Kitab Suci Alqur’an , terj. Lukman Saksono, Bandung: PT. Al-
Ma’arif, Cet. I, 1986, hlm. 183.

42
sana, baik yang memegang jabatan ataupun staf biasa, mereka selalu ikhlas dan jujur dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya. Kondisi ini akan mendorong
mereka mempunyai rasa tanggung jawab penuh terhadap tugas yang diberikan atau
dipercayakan kepada mereka. Inilah yang membentuk sistem kinerja yang baik.
Jika ini telah terwujud, maka penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang tidak
akan terjadi, atau paling tidak, akan dapat ditekan ke titik minimal. Demonstrasi yang
menuntut hak tidak akan terdengar karena mereka telah mendapatkan hak yang harus
mereka terima sesuai aturan yang berlaku.
Jika kesalehan struktural ini telah terwujud dengan baik dan merata pada semua
tingkatan organisasi, mulai dari pusat sampai ke lini organisasi yang terbawah, maka sistem
pendidikan akan berjalan dengan baik. Manajemen dan pengeloaannya akan semakin
mantap. SDM-nya akan makin profesional. Lebih dari itu, dari sudut finansial, anggaran
tidak akan ada lagi yang “bocor” atau tercecer dalam proses pelaksanaan program. Ini
berarti, penyimpangan anggaran atau penyalahgunaannya akan dapat ditekan ke titik yang
paling rendah.
c.Kesalehan Sosial
Kesalehan sosial sangat umum dan mencakup semua aspek yang berkaitan dengan
permasalahan sosial kemasyarakatan, baik berhubungan dengan sesama warga atau antara
warga dan pemerintah, dan sebagainya. Kesalehan sosial juga mencakup persoalan
ekonomi, budaya, politik, ideologi, pendidikan, dan sebagainya.
Namun, bahasan di sini hanya difokuskan pada kesalehan sosial pendidikan.
Pendidikan harus bernilai sosial, dalam arti masyarakat merasa beruntung dengan telah
dilaluinya proses pendidikan. Dengan terdidiknya warga masyarakat, maka kondisi
masyarakat harus meningkat dari tidak tahu menjadi tahu; dari tidak punya pekerjaan
(pengangguran) menjadi seorang yang rajin bekerja dan bahkan professional; dari
kehidupan ekonomi yang serba kekurangan dan bergantung kepada pihak lain, menjadi
berkecukupan dan mandiri, dan begitu seterusnya.
Apabila pendidikan tidak berhasil mengantarkan anak didik kepada kondisi yang
demikian, maka berarti pendidikan yang dilaksanaan belum berhasil menciptakan SDM
yang memiliki kesalehan sosial. Jika kondisi serupa itu yang terjadi, maka perlu dikaji
ulang dan diteliti dengan saksama mengapa hal itu terjadi. Dalam kasus semacam ini,

43
tampak faktor watak lebih dominan. Bila memang hal itu yang terjadi, maka berarti akidah
dan akhlak yang harus diintensifkan pembinaannya.
Jika nilai-nilai iman sebagaimana dijelaskan di atas telah berhasil membentuk jati diri
para SDM pendidikan itu secara matang, maka ketiga bentuk kesalehan itu akan terwujud
dengan sendirinya. Tapi, bila terjadi juga defiasi sehingga masih timbul berbagai tindakan
negatif seperti pelanggaran hukum, asusila, dan perbuatan kriminal lainnya, maka hal itu
dapat dijadikan salah satu indikator bahwa pembinaan watak melalui pendidikan belum
berhasil.
Dalam kasus semacam ini boleh dikatakan, sebenarnya pendidikan yang dilaluinya
sudah benar, namun dikarenakan pengaruh luar, dia terlena dan lupa diri, lantas melakukan
tindakan yang negatif, yang seharusnya tidak dilakukannya. Tapi, tentu kelupaan seperti itu
tidak boleh terjadi berulang kali. Manakala kelupaan tersebut terjadi berulang-ulang, maka
kondisi yang demikian tidak dapat disebut kelupaan lagi, melainkan berpura-pura lupa atau
bolehjadi sengaja melupakannya guna melegitimasi kejahatan yang dilakukannya.
D.Penutup
Berdasarakan fakta-fakta yang dikemukakan di atas, ternyata pendidikan yang kita
terapkan selama ini belum berhasil menciptakan tiga kesalehan yang sudah diuraikan itu. Ini
tidak mengherankan sebab selama ini pendidikan yang diterapkan lebih berorientasi pada
kognisi daripada afeksi dan psikomotorik. Sehingga, anak didik menjadi seorang yang
berpengatahuan luas dan mendalam tapi kosong kepribadian dan budi pekerti yang luhur.
Dengan kata lain, selama ini pendidikan lebih mengutamakan pengajaran atau internalisasi
ilmu dan peningkatan kecer dasan daripada pendidikan akhlak dan budi pekerti.96 Akibat dari
system yang berat sebelah itu, maka pertumbuhan sang anak didik pun berat sebelah; yakni
lebih mengutamakan nilai-nilai kognitif ketimbang nilai-nilai apektif dan psikomotoriknya
Kondisi inilah yang membuat mereka labil sehingga silau oleh glamor kehidupan
duniawi yang fana ini, lalu berlomba-lomba mengejar materi duniawi sebanyak-banyaknya
karena yang terbayang di dalam benak mereka ialah semakin banyak harta kekayaan material
yang dimiliki, maka semakin mulia dan semakin eksis serta dihormati. Dari itu mereka tidak
peduli dari mana pun sumber harta kekayaan yang diperolehnya, halal atau haram. Dari sikap
mental serupa inilah bermulanya berbagai tindakan penyimpangan dan penyalahgunaan

96
“Pendidikan Harus Utamakan Budi Pekerti”, Harian Kompas, Selasa, 27 April 2004.

44
wewenang, sehingga membuat kehidupan berantakan. Kondisi ini sebenarnya sudah lama
disadari oleh para pakar dan ilmuwan kita semisal B.J. Habibie, Amien Rais, Wardiman
Djojonegoro, M. Quraish Shihab, dan lain-lain. Mereka mengajukan penyatuan antara IPTEK
dan IMTAQ (iman dan taqwa). Menurut mereka, IPTEK yang tidak diisi dengan IMTAQ
akan tidak bermakna dan bahkan dikhawatirkan akan liar dan tidak terkendali.97
Berdasarkan fakta itu, jika kita ingin menyelamatkan generasi bangsa ini dari
keruntuhan, maka tidak ada jalan lain, kita harus bekerja keras dengan membangun karakter
atau watak anak didik agar menjadi menusia-manusia yang mempunyai kepribadian yang
mantap dan utuh, yang dalam bahasa agama Islam disebut “Insȃn Kȃmil”.
Salah satu bentuk upaya membina karakter itu ialah melalui pendidikan integral, yakni
dengan menghilangkan dikotomi antara pendidikan umum dan agama sebagaimana
direkomendasikan oleh Konfe rensi Pendidikan Islam se-Dunia III di Dacca, Bangladesh, tahun
198198 yang sampai sekarang belum terwujud secara merata di negara-negara Islam meskipun
telah berlalu hampir tiga dasawarsa.
-----0-----

97
Lebih lanjut, lihat Wardiman Djojonegoro, “Relevansi Alqur’an dalam Menyongsong Era
Industrialisasi”, kata sambutan pada acara pembukaan Kongres Nasional Alqur’an , Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Serta Upaya Peningkatan Kesejahteraan Umat, Pekanbaru, Riau, 13 Juni 1994, hlm. 3-4.
98
Sebenarnya, upaya menyatukan sistem pendidikan Islam telah dicanangkan pada Konferensi Pendidikan
Islam se-Dunia I, di Makkah, pada 1977; kemudian pada Konferensi II di Islamabad, Pakistan, 1980. Tapi, pada
Konferensi III di Dacca, Bangladesh, pada 1981 inilah baru disepakati penghapusan dualisme sistem pendidikan
Islam dan ditegaskan pula bahwa sistem pendidikan Islam hanya satu. Kemudian pada Konferensi IV di Jakarta,
Indonesia, pada 1982, dipertegas rumusan sistem tersebut dengan satu ungkapan yang cukup padat, yaitu “Islamisasi
Ilmu Pengetahuan”. (Recommendations of First World Confrence on Muslim Education, Jedah, King Abdul Aziz
University, 1977; Recommendations of Second World Confrence of Muslim Education, Islamabad, Quaid-I Azam
University, 1980; Recommendations of Third World Confrence on Muslim Education, Dacca, The Institute of
Islamic Education & Research, 1981; Recommendations of Fourth World Confrence on Muslim Education, Jakarta,
1982).
Di Indonesia, upaya menyatukan sistem pendidikan ini juga telah dilakukan, seperti dengan mengubah
status beberapa IAIN menjadi UIN yang sampai sekarang ada lima IAIN yang telah berubah manjadi UIN, yaitu
IAIN Jakarta, IAIN Yogyakarta, IAIN Pekanbaru, IAIN Bandung, dan IAIN Ujungpandang (Makasar), dan satu
STAIN, yaitu STAIN Malang. Selain tingkat perguruan tinggi, sekarang banyak pula lembaga pendidikan, terutama
milik swastra mulai tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah berubah status menjadi pendidikan Islam
terpadu, dan telah tersebar di berbagai Provinsi dan Kabupaten/Kota. Meskipun sampai sekarang belum tampak
hasilnya, namun sejalan dengan perjalanan waktu, mudah-mudahan akan membawa perubahan yang signifikan
dalam pembinaan umat di masa-masa mendatang.
Didirikannya International Islamic University of Malaysia (IIUM) di Malaysia atas inisiatif delapan negara
anggota konferensi Islam juga merupakan salah satu upaya untuk menyatukan dualisme sistem pendidikan tersebut
sebagai realisasi dari Rekomendasi Konferensi Pendidikan Islam III di Dacca itu.

45
3

PENDIDIKAN KARAKTER
SUATU SOLUSI

A.PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini kita disuguhi berita-berita yang cukup merisaukan. Berbagai kasus
kejahatan moral kerap menghiasi media cetak dan elektronik. Mulai dari kekerasan terhadap
perempuan, pelecehan seksual terhadap anak, aborsi dan seks bebas, prostistusi online, hingga
maraknya korupsi di kalangan pejabat Negara, dll.
Berdasarkan laporan hasil riset Wahid Institut pada 2010, terdapat 295.836 kasus
kekerasan terhadap perempuan, dan sepertiganya merupakan kekerasan seksual. Apabila data
itu dibagi per hari, maka sekitar 28 perempuan mengalami pelecehan seksual tiap harinya.
Salah satunya adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan Emon di Sukabumi, yang
menurut perkiraan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah memakan korban
hingga lebih dari 100 anak (Republika, Selasa, 6 Mei 2014).
Pada tahun 2008, BKKBN Pusat pernah melakukan survei terhadap siswa SMP dan SMA
di 33 provinsi di Indonesia. Hasilnya sungguh sangat mengagetkan. Sekitar 63% di antara
mereka pernah melakukan hubungan seks; bahkan 21% di antaranya telah melakukan aborsi.
Tidak hanya itu, juga ada berita Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pencabulan,
pornografi, dan perbuatan asusila. Lebih ironis lagi, hal itu dilakukan oleh orang yang
menyebut dirinya “ustaz”.
Tidak cukup di situ, para koruptor pun tidak pernah jera mengorupsi uang dan kekayaaan
negara demi memperkaya diri sendiri dan/atau kelompoknya. Demikian pula kejahatan moral
politik, juga sangat memprihatinkan seperti kasus kecurangan dalam pemilu. Sudah menjadi
pengetahuan umum, pemilihan calon legislatif (caleg) sangat sarat dengan politik uang (money
politic).
Sungguh teramat ironis, negara yang mayoritas penduduknya muslim dan terkenal
dengan moral dan adat-istiadat ketimuran yang luhur, akan tapi kejahatannya cukup menonjol.
Realitas sosial sebagaimana dipaparkan di atas mengusik nurani kita untuk bertanya: mengapa

46
semua itu terjadi pada Negeri Pancasila ini? Inilah persoalan yang teramat penting untuk
dijawab. Di mana terletak kesalahannya? Atau bolehjadi apa yang diistilahkan oleh seorang
pendidik nasional, A.Muis lebih setengah abad yang silam, bahwa memang telah terjadi salah
asuh
B.PENDIDIKAN KARAKTER
Jika diamati dengan saksama sebagai diakui pula oleh para ahli pendidikan, semua itu
terjadi banyak implikasinya dengan pendidikan, khususnya pendidikan karakter (character
education). Atau dengan kata lain, sistem pendidikan kita belum berhasil membangun karakter
bangsa yang tangguh, jujur, amanah, luhur, dan sifat-sifat terpuji lain. Akibatnya, secara psikis
mereka sangat rapuh, tak mampu menghadapi berbagai godaan dan rayuan kehidupan duniawi
yang penuh glamor bagaikan fatamorgana: kelihatannya bagus dan menjanjikan, padahal
sebenarnya tipuan belaka. Itulah dampak buruk arus globalisasi yang meskipun memiliki nilai-
nilai positif seperti peningkatan kompetisi antar warga dalam meraih kehidupan yang lebih
sejahtera, ternyata juga membawa sisi negatif. Salah satunya adalah sikap materialistis dan
hedonis yang amat menonjol ketimbang nilai-nilai humanis yang santun dan persuasif.
Apabila asumsi di atas dapat diterima, maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
bangsa ini ialah melalui pendidikan karakter, yang dalam konsep Islam disebut pendidikan
akhlak. Sebab semua permasalahan itu bersumber dari lemahnya pendidikan akhlak sehingga
tidak mengejawantah dalam berbagai lini kehidupan.
Hal ini terjadi lantaran guru, murid, dan orangtua lebih memprioritaskan kecerdasan
intelektual peserta didik demi mengejar lulus dalam Ujian Nasional (UN) ketimbang
mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, kepribadian, dan akhlak mulia (Pasal 1, UU
Sisdiknas, 2003).
Konsekuensinya, para lulusan (produk pendidikan) kita memang memiliki ilmu yang
cukup dan cemerlang secara kognitif, tapi kosong dari kepribadian dan keluhuran akhlak. Jadi,
tidak aneh apabila berbagai kejahatan tumbuh menjamur bagaikan cendawan di musin hujan.
Saya teringat ketika kecil dulu (± 50 tahun yang lalu) guru-guru saya menggambarkan
kehidupan dan prilaku orang-orang modern bagaikan laron (anai-anai) yang baru terlepas dari
sarangnya lantas terbang membabi buta menuju sinar (cahaya) yang ada di sekitarnya karena
mengira dalam sinar tersebut akan mendapatkan kenikmatan hidup dan kebahagia an abadi.

47
Tapi apa yang terjadi semua yang mendekati sinar itu, hangus terbakar; tidak satu pun yang
kembali selamat.
Setelah menyaksikan berbagai kerusakan yang terjadi di alam ini gara-gara tangan jahil
manusia modern, maka barulah saya paham apa yang dikatakan guru-guru saya itu dan ternyata
apa yang dikatakan beliau-beliau itu sekarang telah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan.
Jika diruntut lebih jauh, terjadinya berbagai penyimpangan dan kejahatan sebagaimana
dinukil di atas, akar persoalan ini berasal dari para pemegang kendali yang lebih bersikap
pragmatis dan kurang peka dalam menerapkan aturan dan idealisme yang terkandung dalam
UU Sisdiknas itu. Dalam konteks ini, Ahmad Syawqi, seorang pakar pendidikan dari Mesir,
pernah berucap dalam syairnya yang cukup populer, “Sungguh jati diri suatu bangsa ialah
akhlaknya. Manakala akhlaknya merosot, maka leburlah bangsa itu.”
Meskipun kurikulum tetap harus dijadikan salah satu sasaran perbaikan, namun pokok
permasalahan sebenarnya tidak terletak pada kurikulum tersebut, melainkan pada
pelaksanaannya sebagaimana telah disebut. Artinya, sebaik apa pun kurikulum yang
dicanangkan, apabila implementasinya tidak bisa berjalan dengan baik sesuai visi dan misi
pendidikan, maka kurikulum tersebut tidak akan banyak bermanfaat, terlebih lagi dalam proses
pembinaan karakter (character building) peserta didik.
Pendidikan akhlak atau karakter dapat diandalkan dalam menyelamatkan kehidupan
umat, baik secara individual, berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan negara. Hal
ini dikarenakan watak atau substansi pendidikan akhlak ini bertumpu pada penyadaran manusia
terhadap jati dirinya sebagai makhluk Allah yang lemah dan tidak berdaya sedikit pun di
hadapan kekuasaan Yang Maha Kuasa dan Maha Agung itu.
Namun, dalam kelemahannya itu mereka dikaruniai kemampuan yang luar biasa untuk
menguasai alam ini sebagai khalifah (wakil) Allah. Kemampuan yang dimaksud ialah akal budi
atau penalaran ilmiah, yakni suatu kemampuan abstrak konseptual yang tidak pernah diberikan
Allah kepada makhluk lain selain manusia; bahkan para malaikat pun tidak diberi-Nya
kemampuan serupa itu. Perhatikanlah pernyataan para malaikat ketika ditantang Allah berdebat
dengan Nabi Adam dalam mengidentifikasi nama benda-benda yang disodorkan kepada
mereka. Mereka serentak menjawab, “Sedikit pun kami tidak tahu selain yang sudah Engkau
ajarkan kepada kami...” (QS.2:32)99. Pernyataan tersebut membukti kan kepada kita bahwa

)32َ:‫َ(البقرة‬...‫علَّ ْمتَنَا‬ ََّ ‫لَع ِْل ََمَلَنَاَ ِإ‬


َ َ‫لَ َما‬ ََ َََ‫قَالواَس ْب َحانَك‬99

48
para malaikat itu memang tidak dikaruniai kemampuan menalar dan berpikir konseptual
sebagaimana dikarunikan dikaruniakan-Nya kepada manusia.
Sebaliknya, ketika Adam diminta Allah untuk menjelaskan nama-nama dari berbagai
benda yang disodorkan itu, tanpa ragu dia langsung menguraikannya dengan lancar. Lantas
Allah pun berfirman kepada para malaikat ‘Bukankah telah Ku katakan kepada kalian bahwa
Aku mengetahui semua yang gaib di langit dan di bumi dan yang kalian nyatakan terang-
terangan serta yang kalian sembunyikan’ (QS.2:33100). Jadi, walaupun secara fisikis dan psikis
manusia memang makhluk yang lemah dan tidak berdaya, namun dengan kemampuan akal
yang dimilikinya, mereka dapat menguasai makhluk-makhluk lain yang lebih besar darinya
dan lebih kuat. Dengan kemampuan akal itu pula manusia juga dapat mengantisipasi dan
menanggulangi berbagai bencana alam yang menimpa diri mereka dan lingkungannya.
Kemampuan akal manusia yang demikian hebat memang suatu anugerah yang tidak
ternilai harganya. Tetapi, hal itu juga dapat menjadi bumerang bagi kehidupan di muka bumi
ini karena berpotensi menyebabkan terjadinya berbagai bencana dan kerusakan yang
mengerikan seperti eksploitasi sumber daya alam yang terus-menrus dan perang antar umat
manusia yang tidak henti-hentinya. Terbukti, semenjak lahir sampai sekarang perseteruan antar
sesama manusia tidak pernah berakhir. Kejahatan kriminal dan perdata bukannya berakhir atau
berkurang, malah sebaliknya: makin meningkat.
Persoalan ini sebenarnya telah diingatkan oleh Alqur′an, bahwa kondisi yang demikian
akan terjadi secara terus-menerus sebagaimana tergambar dalam pernyataan malaikat saat
merespons rencana Allah untuk menciptakan khalifah di muka bumi. Malaikat berujar,
“Apakah Engkau akan menciptakan orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan
darah di muka bumi?” (QS.2:30101).
Allah memang tidak menafikan pernyataan para malaikat itu. Namun, Allah lebih
mengetahui hikmah di balik penciptaan manusia. Allah SWT pun berfirman, “Aku mengetahui
apa yang kalian tidak ketahui.” (QS.2:30102). Penegasan Allah ini memberi kesan bahwa hal
itu memang akan terjadi, namun tidak perlu terlalu dirisaukan. Sebab, bilamana akal budi
mereka telah terdidik dan dihiasi dengan ajaran-ajaran ilahi, niscaya mereka akan terbimbing

َ:‫ضَ َوأ َ ْع َلمََ َماَتبْدونَََ َو َماَك ْنت َْمَت َ ْكتمونَََ(البقرة‬


َ ِ ‫تَ َو ْاأل َ ْر‬
َِ ‫س َم َاوا‬
َّ ‫ْبَال‬ َ ََ‫لَلَك َْمَإِنِيَأ َ ْعلَم‬
ََ ‫غي‬ َْ ‫لَأَلَ َْمَأَق‬
ََ ‫لَيَاَآ َدمََأَ ْنبِئْه َْمَبِأ َ ْس َمائِ ِه َْمَفَلَ َّماَأَ ْنبَأَه َْمَ ِبأ َ ْس َمائِ ِه َْمَقَا‬
ََ ‫قَا‬100
َ )33
َْ ‫َقَالواَأَت َجْ عَلََفِي َهاَ َم‬...101
ِ ََ‫نَي ْفسِدََفَِي َهاَ َويَ ْسفِك‬
َ )30َ:‫(البقرة‬...َ‫الد َما ََء‬
َ )30َ:‫لَت َ ْعلَمونَََ(البقرة‬ ََ َ‫لَإِنِيَأ َ ْعلَمََ َما‬
ََ ‫قَا‬102

49
ke jalan yang benar; sehingga, pikiran positif manusia akan mengalahkan pikiran-pikiran
negatifnya.
Dengan begitu, nafsu hewani yang berperan sebagai generator penggerak dalam diri
mereka akan berubah ke tingkat manusiawi yang humanis, selalu berpikir positif, santun,
persuasif, dan suka menolong. Kondisi spiritual semacam inilah yang akan tercipta dengan
pendidikan karakter (akhlak).

C.URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER


Beberapa pihak mungkin tidak percaya atau diselubungi oleh sikap skeptis terhadap
besarnya peran pendidikan akhlak (karakter) dalam membangun suatu peradaban. Buktinya,
kurikulum yang diterapkan tidak menitikberatkan aspek pendidikan akhlak. Upaya untuk
mentransfer pengetahuan (knowledge) lebih mendominasi daripada unsur afektif dan
psikomotorik peserta didik.
Setelah terjadi berbagai permasalahan krusial, baik di tengah keluarga, sosial, dan negara
sebagaimana telah dijelaskan di atas, barulah kita sadar bahwa ada sesuatu yang kurang dan
tidak mengejawantah dalam sistem pendidikan kita. Itulah pendidikan akhlak (karakter).
Pendidikan akhlak bisa diandalkan untuk menyelamatkan kehidupan umat serta
membangun peradaban yang manusiawi. Ini sangat dimungkinkan karena inti pendidikan
akhlak adalah membangun komunikasi yang intens dengan Allah, Penguasa absolut dan satu-
satunya di jagat raya ini.
Tidak ada seorang penguasa pun di alam ini yang berkutik di hadapan-Nya. Sebesar apa
pun kekuasaan orang itu, di hadapan Allah tetap saja bagaikan satu partikel debu di bawah
sebuah gunung raksasa yang menjulang tinggi. Siapa yang tidak kenal Fir’aun, penguasa Mesir
di zaman Nabi Musa. Saking sombongnya, dia pun berani mengklaim dirinya sebagai tuhan;
lalu berujar dengan nada penuh percaya diri:”Aku tuhan kalian yang paling tinggi”
(QS.79:24103). Namun apa yang terjadi, ketika diterjang ombak di laut Qulzum(laut Merah)
saat mengejar Musa, Fir’aun sama sekali tidak berdaya menghadapinya, lalu tenggelam
bersama pasukannya di laut Merah itu. Sebelum tenggelam dia sempat memberikan

َ )24:‫لَأَنَاَ َربُّكمََ ْاأل َ ْعلَىَ(النازعات‬


ََ ‫فَقَا‬103

50
pengakuan: “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan kecuali yang diimani oleh Bani Israil; dan
aku pasrah”.104
Gherman Titov, seorang Komunis sejati, penganut paham ateis di Rusia, boleh disebut
“Firaun” di abad modern. Betapa tidak, sebagai seorang kosmonot, dia pernah berucap,
“Penembusan lebih jauh ke inti planet menjelaskan bahwa tidak ada Tuhan di bumi maupun di
langit sebagai telah disebut di atas (cat.kaki 65).
Itulah profil orang yang tidak pernah dididik dengan akhlak (karakter) yang luhur.
Sebaliknya, yang diinternalisasikan ke dalam dirinya sejak dini hanyalah nilai-nilai sekuler,
hedonistis, dan ateis. Ajaran itu telah mendarah-daging, menyatu dalam dirinya sehingga sulit
sekali membebaskannya dari keyakinan tersebut.
Tidak dapat dibayangkan, betapa besarnya bencana yang akan menimpa kehidupan di
muka bumi bilamana dunia ini dikuasai oleh orang-orang semacam Titov itu. Bagi orang
seperti dia, untuk meledakkan sebuah bom, menghancurkan suatu umat atau negara lain, tidak
perlu berpikir dua kali. Apalagi hanya sekadar tindakan kriminal kecil seperti kekerasan
terhadap wanita, anak-anak, pelecehan seksual, atau pembunuhan suatu keluarga. Bolehjadi
semua dianggap suatu hal yang lumrah dan remeh. Tidak perlu menjadi beban apalagi merasa
berdosa karena mereka memang tidak mengenal dosa. Sebab, dosa dan pahala itu berkaitan
dengan keimanan kepada Tuhan, sedangkan mereka tidak meyakini keberadaan Tuhan.

)90َ:‫لَ َوأَنَاَمِ نَََ ْالم ْسلِمِ ينَََ(يونس‬ َْ ‫لَالَّذِيَآ َمن‬


ََ ‫َتَ ِب َِهَ َبنوَإِس َْرائِي‬ ََّ ِ‫لَإِلَ َهََإ‬ََ ََ‫لَآ َم ْنتََأَنَّه‬ََ ‫َقَا‬104
Kelompok JIL(Jaringan Islam Liberal) cenderung berkata bahwa dengan pengakuan itu Fir’aun telah bertobat dan
diterima sebagai seorang muslim, maka dia akan masuk surga. Sejauh mana kebenara pendapat JIL ini? Untuk
menjawabnya mari kita lihat lanjutan ayat itu:
)92ْ -91ْ:‫عنْ ْآيَاتِنَا ْ َلغَافِلهونَْ ْْ(يونس‬
َ ْ ‫اس‬ َْ ِ‫ل ْ َو هكنتَْ ْمِ نَْ ْال همف ِسدِينَْ ْ ْفَاليَو َْم ْنهن َِجيكَْ ْبِبَدَنِكَْ ْ ِلت َ هكونَْ ْ ِل َمنْ ْخَلفَكَْ ْآيَةْ ْ َوإ‬
ْ ِ َ‫ن ْ َكثِيرا ْمِ نَْ ْالن‬ ْ‫صيتَْ ْقَب ه‬ َ ‫ع‬ َ ْ ْ‫آْلنَْ ْ َوقَد‬. Dua
ayat ini dengan gamblang menolak pengakuan Fir’aun itu. Ayat pertama menegaskan: “Kenapa baru sekarang kamu
mengakui [bahwa tidak ada tuhan kecuali yang diimani oleh Bani Israil; dan aku pasrah(Q.S.10:90)]; selama ini
kamu mendurhaka terus,[bahkan mengklaim jadi tuhan(QS. 79:24)]; kamu tercatat sebagai pembuat kerusakan”.
Ayat kedua lebih tegas lagi menyatakan:“Hari ini Kami selamatkan badanmu untuk bukti bagi generasi sesudah
mu”. Dengan sangat jelas ayat ini menegaskan bahwa yang diselamatkan Allah hanya ‘badan’ Fir’aun. Itu berarti
“ruhnya” tidak selamat. Seandainya ‘ruh’ dan ‘jasad’ Fir’aun itu keduanya diselamatkan sekaligus, maka Allah tidak
perlu berkata ‘hari ini Kami selamatkan badanmu’; melainkan cukup berkata: ‘hari ini Kami selamatkan kamu’;
tanpa menyebut ‘badanmu’. Jika diamati lebih jauh penyelamatan ‘badan’ Fir’aun itu sendiri oleh Allah
sebagaimana ditegaskan-Nya pada penggalan ayat berikutnya ialah semata-mata untuk ‘bukti atau pelajaran bagi
generasi sesusahnya’; bukan dimaksudkan sebagai respon positif terhadap pengakuannya itu.
Berdasarkan penegasan Allah pada penggalan ayat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendapat JIL
yang dikemukakan di atas tidak didasarkan pada dalil yang kuat; malah terkesan sikap subyektifnya lebih tinggi
ketimbang objektif. Mereka terkesan lebih mengutamakan nilai-nilai HAM (Hak Asasi Manusia) daripada dalil-dalil
syar’i yang transenden.

51
D.PENUTUP
Begitulah urgensi pendidikan karakter (akhlak) dalam kehidupan. Tanpa itu, dunia akan
berantakan dan menjadi bulan-bulanan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh sebab itu,
lembaga-lembaga pendidikan pada semua levelnya; baik negeri maupun swasta, harus menjadi
pioner dalam menanamkan kesadaran terhadap pendidikan karakter (akhlak) tersebut.
Hanya dengan pendidikan karakter (akhlak) kehidupan akan menjadi aman dan nyaman.
Sebab, seorang yang berakhlak luhur selalu merasakan kehadiran Allah dalam semua lini
kehidupannya; baik ketika sendirian, bersama keluarga, maupun bermasyarakat, dan
berbangsa. Orang semacam ini tidak akan mungkin melakukan tindakan amoral sekecil apa
pun; baik menyangkut masalah perdata, criminal; maupun moral spiritual. Bagaimana mungkin
ia akan melakukan tindakan kejahatan sementara hati nuraninya selalu membisikkan, “Ingat,
Allah selalu mengawasimu!”

-----0-----

52
KETIGA

KEHIDUPAN BERBANGSA BERNEGARA

53
1

HAKIKAT MEMPERINGATI
HARI KEBANGKITAN NASIONAL

A.PENDAHULUAN
Bulan Mei menjadi bulan yang istimewa bagi bangsa kita. Betapa tidak, berbagai
peristiwa penting sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia terjadi di bulan ini, baik yang
berskala nasional maupun internasional. Salah satunya ialah peringatan Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Penetapan tanggal 2 Mei sebagai
Hardiknas merujuk pada hari kelahiran tokoh utama pendidikan nasional kita, Ki Hadjar
Dewantara, 2 Mei 1899.105 Masih di bulan yang sama, tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai
Harkitnas atau Hari Kebang kitan Nasional. Pada tanggal 20 Mei ini, tepatnya tahun 1908,
perkumpulan kebangsaan pertama lahir di Jakarta atas prakarsa para mahasiswa School tot
Opleiding van Indische Artsen (Stovia) dengan nama Budi Utomo yang diketuai oleh
Tirtokusumo dan Wahidin Sudirohusodo ditunjuk sebagai wakil ketua.106 Satu lagi peristiwa
yang sangat menggemparkan kehidupan berbangsa dan bernegara juga terjadi di bulan Mei,
tepatnya tanggal 22 Mei 1998. Itulah awal mula masa lahirnya Era Reformasi yang
menggantikan Orde Baru (Orba), yang ditandai dengan penyerahan mandat kepemimpinan
nasional dari Presiden Soeharto kepada B. J. Habibie. Sedangkan peristiwa yang berskala
internasional ialah Hari Buruh Internasional yang jatuh pada tanggal 1 Mei tiap tahun.
Berdasarkan fakta sejarah itu, maka amat logis apabila bangsa kita menaruh perhatian
besar dalam menghadapi bulan Mei, terutama Harkitnas yang menjadi tonggak sejarah awal
mula pergerakan menuju kemerdekaan. Tapi, pertanyaan nya, sejauh mana kesadaran kita
dalam menghayati peringatan Hari Kebangkitan Nasional itu?
B.REFLEKSI HARI KEBANGKITAN NASIONAL
Upaya membangkitkan semangat dan kesadaran nasionalisme bangsa kita telah melalui
jalan panjang, mendaki, dan bahkan berkelok-kelok. Mulai dari lahirnya Budi Utomo pada

105
Hassan Shadly (Pemp.Redaksi), Ensiklopedi Indonesia, II, Ichriar Baru-Van Hoeve, 1980, hlm. 803-804.
106
Ibid, I, 1980, hlm. 534.

54
1908, dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Setelah merdeka, kita diuji
dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1948. Terlepas dari
cengkraman PKI, estafet kemerde kaan ini pun dilanjutkan kembali di masa Orde Baru pada
1968 dengan sebuah tekad bulat “Pengamalan Pancasila secara murni dan konsekuen”.
Selama dua dasawarsa pemerintahan Orba dapat dikatakan sukses dalam menerapkan
konsep ini. Berbagai pembangunan fisik; baik berupa sarana, maupun prasarana rekatif berhasil
dibangun, mulai dari pusat pemerintahan di Jakarta, sampai ke daerah-daerah. Sebagai buah
pembangunan fisik yang menggembirakan itu, pada tahun 1988, bangsa kita mengalami
surplus hasil pertanian, sehingga bisa mengekspor beras ke negara lain. Saat itu, iklim
perdagangan luar negeri juga kondusif. Pendek kata, rakyat cukup merasakan kenikmatan
meskipun belum begitu merata.
Pembangunan fisik selama dua puluh tahun itu lebih difokuskan pada sektor-sektor
ekonomi, seperti industri, perdagangan, dan pertanian. Sementara pemba ngunan non-fisik,
seperti sosial politik, demokrasi, pendidikan, dan agama, tidak menjadi prioritas. Kondisi inilah
yang membuat pamor pemerintahan Orba sejak tahun 1988 mulai menurun. Pembangunan
yang dulunya menggebu-gebu, pada dasawarsa terakhir itu kelihatannya mulai loyo dan
puncaknya pada 22 Mei 1998 pemerintahan Orba digulingkan oleh sebuah gerakan reformasi.
Fakta sejarah itu memberi pelajaran yang amat berharga kepada kita bahwa
pembangunan fisik yang tidak diimbangi dengan pembangunan mental spiritual pada akhirnya
menjadi bumerang bagi bangsa itu sendiri. Kejatuhan bangsa-bangsa di dunia umumnya
bermula dari diabaikannya pembangunan mental spiritual tersebut. Sebaliknya, kemajuan suatu
bangsa akan mampu bertahan relatif lebih lama bilamana mereka memberikan perhatian penuh
pada pembangunan mental spiritual.
Kondisi inilah yang dialami oleh negara Islam selama 600 ratus tahun berdiri di abad-
abad pertengahan dulu. Sehingga, para sejarahwan menjulukinya dengan “zaman keemasan
Islam”. Saat itu, umat Islam mampu menguasai wilayah yang sangat luas, mulai dari Cina di
timur sampai ke Spanyol di barat. Itu artinya hampir sepertiga luas dunia mereka kuasai
sebagai telah dinukil di atas (cat. kaki 2).
Keberhasilan umat Islam menguasai peradaban dunia selama enam abad itu tentu
menjadi kebanggaan tersendiri; khususnya bagi umat Islam. Buah karya mereka masih dapat
dinikmati oleh umat manusia sampai di abad modern ini. Berbagai konsep dan teori ilmu

55
pengetahuan mereka hasilkan, tidak hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam
bidang sains dan teknologi. Ibnu Rusyd, misalnya, selain seorang ulama fiqih kenamaan di
Spanyol, dia juga populer sebagai filosof dan dokter. Salah satu teorinya, ialah seseorang tidak
akan terkena penyakit campak dua kali selama hidupnya. Sampai sekarang teori ini masih
diakui oleh ahli kedokteran moderen. Demikian pula Ibnu Sina, selain seorang ahli filsafat, dia
juga dikenal luas sebagai dokter; bahkan dinyatakan sebagai ahli bedah pertama di dunia.
Dalam bidang matematika muncul tokoh semisal al-Khawârizmî, yang teorinya dikenal
dengan logaritma. Dalam bidang ilmu fisika terkenal pula tokoh ilmuwan seperti Abû al-Kâmil
Sujâ’î, dan Abû al-Wafâ′ al-Buzjânî. Hampir semua cabang ilmu yang dikembangkan di abad
moderen ini telah mereka kaji seperti astronomi, biologi, antropologi, geografi, optik,
linguistik, dan lain-lain.
Adapun dalam bidang ilmu agama boleh dikatakan para ulama di abad klasik itu telah
mewariskan suatu tuntunan agama yang lengkap dalam semua cabang keilmuan Islam, seperti
teologi Islam (ilmu kalam), fiqih, tafsir, hadis, tasawuf, dan lain-lain; sehingga kita yang hidup
di abad moderen ini relatif tidak mengalami kesulitan yang berafti dalam mengamalkan ajaran
Islam. Semua ajaran yang diwariskan Rasulullah telah tersaji dengan baik dan praktis untuk
diamalkan. Sebagai contoh, dengan adanya empat mazhab fiqih yang amat populer di seluruh
dunia Islam, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka kita sekarang tidak perlu
lagi bersusah payah membuat tuntunan ibadah sehari-hari. Kita cukup memilih satu di antara
empat mazhab tersebut sebagai pedoman beribadah.
Dengan mengamati berbagai keberhasilan yang telah dicapai oleh pendahulu kita, maka
kita menjadi tahu, mengapa dan di mana letak kesalahan kita yang sampai saat ini belum
mampu bangkit kembali dari keterpurukan dalam berbagai lapangan kehidupan dan
pengembangan iptek. Sementara, negara-negara lain yang dulu senasib dengan kita sudah jauh
melejit ke depan meninggalkan Indonesia. Jepang, misalnya, pada tahun 1945 jauh lebih
menderita daripada Indonesia karena kalah total dalam Perang Dunia II. Terlebih lagi, dua kota
besarnya, Nagasaki dan Hiroshima, rata dengan tanah karena dihancurkan oleh bom atom.
Tetapi, tidak sampai setengah abad, ekonomi Jepang mampu mengalah kan Amerika.
Begitu pula Malaysia yang dulu pada dasawarsa 1970-an menjadi “murid” Indonesia.
Kondisi itu hanya berlangsung satu dasawarsa. Buktinya sejak 1980-an sampai sekarang situasi
berbalik sudah. Kalau dulu kita jadi “guru” mereka, maka sekarang kita jadi “murid” mereka.

56
Keberhasilan Malaysia itu diakui oleh badan dunia seperti tampak dalam laporan akhir tahun
United Nations Development Program (UNDP) pada Desember 2007. Dalam pencapaian
Human Develeopment Index (HDI), Malaysia menduduki posisi ke-36 dari 170 negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sementara Indonesia jauh melorot ke bawah pada level
107.
Kemerosotan Indonesia ini tidak hanya terlihat dalam laporan UNDP itu, melainkan juga
tercatat di dalam World Competitiveness Year Book. Disebutkan, sebelum krisis multidimensi
(1977) pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia berada pada urutan ke-39.
Sayangnya, pada awal abad ke-21 posisi itu meluncur jatuh ke peringkat 46 dari 47 negara
yang disurvei.
Selain itu, menurut laporan Asiaweek, sebagaimana dikutip Kompas, dari 39 universitas
terkemuka yang berada di Asia, Australia, dan Selandia Baru, hanya satu perguruan tinggi di
Indonesia yang masuk, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB), itu pun hanya menempati
peringkat ke-21.107
Setelah berlalu sepuluh tahun ternyata kondisi HDI sebagaimana digambar kan itu tidak
banyak kemajuan. Buktinya sampai tahun 2015 yang lalu kondisinya masih seperti itu belum
menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Perhatikanlah hasil perangkingan 800 universitas
terkemuka dunia yang dilakukan oleh Media Inggris Times Higher Education(THE); ternyata
Indonesia hanya mencatat satu universitas saja yang mendapatkan rangking yaitu Universitas
Indonesia(UI); dan itu pun pada rangking antara 601-800.108
Buruknya pencapaian HDI ini juga berimbas pada kesejahteraan sosial. Persentase
penduduk miskin pada tahun 2005 sejumlah 17%, dan di tahun 2006 meningkat menjadi
17,8%. Apabila dikonversikan, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah mereka
mencapai 52 juta orang. Selain itu, pengangguran berjumlah 40 juta orang atau 31,2%.109

C.PEMBANGUNAN MENTAL DAN FISIK


Berdasarkan fakta yang dikemukakan itu, dapat dikatakan bahwa usaha yang kita lakukan
dalam membangkitkan kesadaran dan membangun bangsa ini ternyata belum membuahkan

107
Kompas, Selasa, 18 Desember 2007, hlm. 6.
108
Republika, 5 Oktober 2015.
109
Solopos, 29 Desember 2006; Republika, 20 Oktober 2005.

57
hasil. Padahal, kita telah menghabiskan waktu yang cukup lama semenjak kemerdekaan, yakni
hampir tujuh dasawarsa.
Apabila kita amati dengan saksama berbagai kegagalan yang kita alami selama hampir 70
tahun, maka dengan jujur kita harus mengakui bahwa hal itu sebenarnya berhubungan erat
dengan filosofi dan sistem pembangunan yang diterapkan. Pembangunan kita kurang
berorientasi pada pengembangan karakter manusia secara utuh. Pembangunan lebih
mengutamakan bidang fisik material daripada mental spiritual.
Buktinya, meski undang-undang pendidikan telah menetapkan bahwa 20% dari
APBN/APBD harus dialokasikan untuk sektor pendidikan, namun sampai sekarang hal itu
belum pernah terealisasi secara sempurna dan merata. Padahal, untuk bidang-bidang non-
kependidikan pasti selalu ada anggaran. Akibatnya, sampai sekarang HDI bangsa kita masih
konstan tidak menunjukkan perubahan yang berarti; bahkan bolehjadi makin merosot.
Kita tidak punya tokoh-tokoh yang dapat dibanggakan dan disegani di dunia
internasional. Padahal, di awal kemerdekaan dulu tokoh-tokoh semacam itu banyak sekali,
misalnya Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, HOS
Cokroaminoto, M. Natsir, dan lain-lain. Yang agak dekat ke zaman kita, misalnya Adam
Malik, pernah menjabat Ketua Sidang Umum ke-26 PBB.110 Di samping itu, ada nama
Soedjatmoko yang pernah diangkat menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang, pada
tahun 1980.111
Sebagai the founding fathers, para tokoh-tokoh itu sebenarnya telah meletakkan fondasi
yang kokoh untuk dijadikan pedoman dalam membangun bangsa ini. Fondasi itu tidak hanya
sekadar selogan kosong, melainkan harus dihayati dan terus diaplikasikan dalam kebijakan-
kebijakan pemerintahan. Salah satu pedoman dasar tersebut telah dituangkan dalam syair lagu
Indonesia Raya, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.”
Ungkapan itu sangat singkat, padat, dan akurat. Tidak hanya itu, sya’ir itu mengandung
makna dan pesan yang teramat luhur dan mendalam. Apabila kandungan maknanya dihayati
dan diimplementasikan dengan baik dan benar, serta dilaksanakan secara konsekuen dan
berkesinambungan, maka kita yakin HDI bangsa kita tidak akan merosot seperti sekarang ini.

110
Ensiklopedi Indonesia, I, hlm. 74.
111
Ibid., VI, 1980, hlm. 3231.

58
Karena, bila jiwa telah terbangun dengan baik dan diiringi dengan fisik yang sehat, maka
bangsa ini akan bangun kembali mengejar ketertinggalannya.
Salah satu indikasi telah terbangunnya jiwa (mental) dengan baik adalah terkikisnya sifat-
sifat negatif dari dalam diri seseorang, seperti hasad, dengki, angkuh, mau menang sendiri,
tidak peduli terhadap penderitaan orang lain, korupsi, dan lain-lain. Kemudian, sifat-sifat yang
tercela itu segera digantikannya dengan sifat-sifat yang terpuji seperti rendah hati, suka
menolong, prihatin terhadap nasib sesama, membenci perbuatan korupsi atau segala bentuk
perilaku dan tindakan yang akan merugikan pihak lain, dan sebagainya.
Dari gambaran tersebut, kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang tampak segar
bugar dengan kedudukan yang mantap serta kekayaan yang lebih dari cukup, tapi hatinya
menyimpan sifat-sifat yang tercela itu, sesungguhnya dia adalah sosok manusia yang labil dan
tidak utuh. Orang semacam inilah yang berpotensi membuat kehidupan menjadi kacau dan
hancur berantakan. Orang yang bermental serupa ini tidak akan pernah berpikir bagaimana
meningkatkan peringkat HDI bangsa ini, sebab ia hanya berusaha memperkaya diri pribadi dan
kelurganya. Dalam pikirannya tidak ada keinginan untuk membantu nasib orang lain supaya
lebih baik.
D.PENUTUP
Jika kita memang berkomitmen untuk memperbaiki dan menaikkan peringkat HDI
bangsa kita ke depan, maka kita harus bekerja keras membangun bangsa ini; baik jiwa maupun
badannya. Bahkan, pembangunan jiwa (mental) perlu lebih diprioritaskan ketimbang
pembangunan fisik (badan) seperti termaktub di dalam lagu Indonesia Raya yang
mendahulukan kata “bangunlah jiwanya”, baru kemudian “bangunlah badannya.”
Ketika pesan di dalam lagu itu diabaikan, maka ternyata sudah, kehidupan bangsa kita
bukannya semakin membaik, malah sebaliknya, makin merosot dan terpuruk. Apabila kita
tidak ingin terperosok lagi ke lubang yang sama, maka peringatan Hari Kebangkitan Nasional
ini harus dijadikan momentum utama untuk melaksanakan pesan luhur yang tertuang di dalam
lagu kebangsaan itu, yakni membangun SDM secara utuh: jiwa dan badannya sekaligus. Inilah
hakikat memperingati Harkitnas yang sesungguhnya.

-----0-----

59
2

NEGARA ISLAM
PERSPEKTIF ALQUR′AN

A.PENDAHULUAN
Istilah “Negara Islam” sudah cukup lama terkenal di dunia dan dalam khazanah
intelektualitas para ilmuwan, baik muslim maupun non muslim; bahkan, sejak abad pertama
pemerintahan Islam pada masa Nabi, al-Khulafȃ′ al-Rȃsyidȋn, Umayyah, ‘Abbȃsiyyah, hingga
abad modern, istilah tersebut tetap eksis dan dimunculkan oleh para ilmuwan. Namun, amat
jarang para ilmuwan atau pakar tata negara mempertanyakan eksistensi negara Islam tersebut
ditinjau dari perspektif Alqur′an.
Beberapa buku tentang pemerintahan Islam sejak abad klasik sampai dewasa ini juga
tidak membahas secara khusus pandangan Alqur′an tentang Negara Islam. Al-Mȃwardȋ di
dalam karyanya al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, misalnya, lebih banyak berorientasi kepada
konsep-konsep fiqih ketimbang tafsir. Ibnu Khaldûn (w.1406M) dalam Muqaddimah-nya yang
amat populer juga membahasnya secara luas, tapi dari sudut pandang sosiologis dan
antropologis. Demikian pula ‘Alȋ ‘Abd al-Râziq dalam bukunya al-Islam wa Ushûl al-Hukm,
memfokuskan pada ide-ide pembaruan bidang ketatanegaraan Islam dikaitkan dengan kondisi
modern.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, kita perlu membicarakan pandangan Alqur′an tentang
negara Islam. Apalagi bila dikaitkan dengan berbagai isu kontem porer yang kadang-kadang
merugikan umat Islam disebabkan adanya pemikiran-pemikiran yang cukup ekstrim yang
menyatakan bahwa umat Islam harus mendirikan “Negara Islam”. Tetapi, apakah benar
demikian di dalam Alqur′an? Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
B.PERLUKAH NEGARA ISLAM?
Jika kita telusuri kitab suci Alqur′an , mulai dari al-Fatihah sampai dengan surat al-Nâs,
niscaya tidak dijumpai satu pun dari ayat-ayat Alqur′an yang berjum lah 6.251 buah itu112

112
Para ulama tidak sepakat dalam menetapkan jumlah jumlah ayat Alqur’an yang berkisar antara 6.200-an
sampai dengan 6.600-an ayat. Perlu ditegaskan di sini perbedaan jumlah ayat tersebut tidak berkaitan dengan jumlah

60
yang menyatakan secara eksplisit tentang kewajiban mendirikan negara Islam. Dalam Alqur′an
juga tidak dijumpai penjelasan tentang bentuk negara dan sistem pemerintahannya. Yang ada
hanyalah cuplikan-cuplikan tentang sejumlah prinsip dasar kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa, seperti keharusan berlaku adil, menegakkan kebenaran, amar makruf, nahi
mungkar, menggalang persatuan dan kesatuan, musyawarah, dan sebagainya.
Hal yang sama juga ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi. Artinya, Nabi pun tidak
menginformasikan secara rinci tentang konsep negara Islam yang diinginkan oleh syariat
Islam. Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa bentuk dan sistem pemerintahan negara Islam
tidak baku, tetapi sangat fleksibel dan temporer sesuai dengan tuntutan perkembangan dan
kemajuan masyarakat itu sendiri.
Sejarah membuktikan kebenaran tesis ini. Pemerintahan Nabi Muhammad SAW,
misalnya, yang dianggap sebagai Negara Islam pertama, menganut sistem teokrasi, yakni
pemerintahan Tuhan di muka bumi dilaksanakan oleh Nabi. Begitu Nabi wafat, pemerintahan
dilanjutkan oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun dan sistem pemerintahan pun ikut berubah menjadi
teodemokrasi, yakni sistem pemerintahan yang memadukan antara prinsip yang transenden dari
Tuhan dan pemikiran manusia. Oleh karena itu, hal-hal yang tidak baku dan belum ada
rujukannya secara eksplisit (qath’i), maka akan diputuskan secara demokratis bersama-sama
masyarakat.
Setelah pemerintahan al-Khulafȃ′ al-Rȃsyidȋn, kendali pemerintahan dipegang oleh
Bani Umayyah selama hampir satu abad (660-750 M), kemudian Bani Abbas sekitar lima abad
(750-1258 M). Sesudah itu dilanjutkan oleh tiga kerajaan besar, yaitu Usmani di Turki,
Syafawi di Persia, dan Mughal di India. Semenjak pemerintahan beralih ke tangan Bani
Umayyah sampai masa tiga kerajaan besar tersebut semuanya menggunakan sistem monarki
(kerajaan).
Hal ini baru berubah pada permulaan dasawarsa ketiga abad ke-20M dimana Kamal al-
Taturk dari Turki mengubah sistem pemerintahan Usmani di Turki dari kerajaan menjadi
republik. Sejak saat itu hingga sekarang pemerintah an Islam tidak lagi mempertahankan
sistem kerajaan sebagai satu-satunya sistem pemerintahaan yang dilegitimasi di dunia Islam

huruf dan kosakata Alqur’an . Artinya, mereka bersepakat mengenai jumlah huruf dan kosakata Alqur’an , tapi
berbeda pada penempatan nomor-nomor ayat. Sebagian ulama menempatkan dua nomor dalam satu ayat, dan yang
lain hanya satu nomor, begitulah seterusnya sehingga jumlah ayat menjadi berbeda antara satu ulama dengan ulama
yang lain, tapi huruf dan kosakatanya sama. Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Alqur’an , Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cet. ke-1, 2002, hlm. 50.

61
sebelum periode modern, akan tetapi telah memakai berbagai sistem pemerintahan. Ada pula
yang masih bertahan dalam bentuk kerajaan, seperti Arab Saudi, Kuwait, Brunei Darussalam,
dan lain-lain, sedangkan yang menganut sistem republik, antara lain Turki, Mesir, Libya,
Sudan, Yaman, Yordania, Irak, Indonesia, dan lain-lain.
Berdasarkan fakta yang dikemukakan itu, maka makin jelas bagi kita bahwa di dalam
ajaran Islam benar-benar tidak ada aturan yang baku dari Alqur′an ataupun sabda Nabi yang
menegaskan bentuk dan sistem pemerintahaan negara yang diakui oleh Islam. Semuanya sah
dan boleh dipakai selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran yang termaktub
dalam Alqur′an dan Sunnah Rasul. Itu berarti kita sebagai umat atau bangsa diberi kebebasan
untuk menentukan bentuk dan sistem pemerintahan macam apa yang kita mau asalkan dalam
sistem tersebut pelaksanaan syariat Islam terjamin secara baik.
Meski fakta yang dikemukakan di atas cukup jelas dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, namun masih ada pendapat yang menyata kan bahwa Nagara Islam itu harus
ada. Di Indonesia misalnya, kita sering mendengar DI-TII, Darul Hadis, dan sebagainya.
Pemikiran semacam itu menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap pengelolaan sebuah
sistem pemerintahan. Mereka selamanya akan berhadapan dengan pemerintah yang mereka
anggap sebagai kafir karena tidak menjalankan pemerintahan berdasarkan Alqur′an dan
Sunnah menurut versi mereka.
Pola pikir seperti inilah yang dulu diterapkan oleh kaum Khawȃrij untuk melawan
pemerintahan yang sah di abad-abad klasik tempo dulu, mulai dari pemerintahan Umayyah,
‘Abbȃsiyyah, dan terus berlanjut sampai abad modern sekarang ini. Namun, saat ini gerakan
mereka tidak lagi menamakan Khawarij karena nama ini sudah punah, tidak marketable lagi
untuk dunia modern. Karena itu, mereka membawa nama lain, semisal Darul Islam, Darul
Hadis, dan sebagainya. Pola pikir dan prinsip yang mereka terapkan tak jauh berbeda dengan
apa yang diterapkan oleh Khawarij tersebut. Kelompok inilah yang selalu menjadi ganjalan
atau sempalan di seluruh dunia Islam sejak dulu hingga sekarang. Ketika pemerintahan kuat
dan solid, meraka tidak berani tampil ke permukaan. Namun, begitu pemerintahan melemah,
mereka langsung bangkit dan menghadang pada setiap lini yang mereka kuasai.
Kondisi ini pula yang tengah dihadapi oleh pemerintahan Islam di seluruh dunia,
termasuk Indonesia pada dewasa ini. Pemer4nah erintahan kian lemah, beban hutang semakin
berat, pengangguran makin meningkat, perekonomian jalan di tempat, gejolak separatisme

62
terus jalan tanpa henti, setiap saat provinsi-provinsi yang merasa terpinggirkan mengintip
peluang untuk lepas dari pusat, kondisi Aceh, misalnya, masih belum pulih sepenuhnya.
Begitulah kelompok separatis itu tidak pernah kikis dari permukaan bumi ini; malah
kelihatannya semakin menjadi-jadi dan sekarang mereka memakai “jaket ISIS” yang
gerakannya bersifat internasional; bahkan awal tahun 2016 pemerintah Indonesia diberi
“hadiyah istimewa” berupa peledakan bom di “jantung ibukota”. Semua itu membuktikan
bahwa kelompok-kelompok ekstrim itu selalu menyemaikan bibit perpecahan di tengah
masyarakat dan kebencian terhadap pemerintah karena mereka memposisi kannya sebagai
pemerintah kafir yang wajib diperangi.
Kita meyakini, bila pola pikir semacam itu terus dikembangkan, selamanya Indonesia
tidak akan maju. Kita akan selalu menjadi negara tertinggal di belakang negara-negara maju di
dunia. Siapa pun yang akan memimpin negara ini hasilnya akan sama. Dari itu, pola pikir
ekstrim tersebut harus segera ditinggalkan dan segera diganti dengan pemahaman Alqur′an
dan Sunnah Rasul yang benar berdasarkan pemikiran rasional, objektif, dan argumentatif.
Untuk itu, mari kita bahas beberapa ayat Alqur′an yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa
dan bernegara sebagai berikut:
• Pemerintahan:
ْْ‫ضلُّونَْ ْ َعن‬
ِ َ‫ن ْالَذِينَْ ْي‬
َْ ‫ّللاِ ْ ِإ‬
َْ ْ ‫ل‬ َ ْ ْ‫هضلَكَْ ْ َعن‬
ِْ ‫س ِبي‬ ِ ‫ّل ْتَتَ ِب ْعِ ْال َه َوى ْفَي‬
ْ َ ‫ق ْ َو‬ ْ ِ ‫يَا ْدَ هاوو ْد ه ْ ِإنَا ْ َج َعلنَاكَْ ْ َخ ِليفَةْ ْفِي ْاألَر‬
ْ ِ َ‫ض ْفَاح هكمْ ْبَينَْ ْالن‬
ِْ ‫اس ْ ِبال َح‬
ْ )26ْ:‫بْ(ص‬
ِْ ‫سا‬
َ ‫سواْ َيو َْمْال ِح‬ َ ٌْْ‫ّللاِْلَ ههمْْ َعذَاب‬
‫شدِي ْد ٌْ ِب َماْنَ ه‬ َْ ْ‫ل‬ِْ ‫س ِبي‬
َ
(Hai Daud, Kami benar-benar telah mengangkatmu jadi khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka laksanakanlah aturan pemerintahan di antara manusia (warga negara) dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Sungguh orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan azab yang berat
dikarenakan mereka melupakan hari perhitung an) (Shȃd:26)

ْ‫ح ْ ِب َحمدِكَْ ْ َونهقَد ه‬


ْ‫ِس‬ َ ‫الد َما َْء ْ َونَحنهْ ْنه‬
ْ‫س ِب ه‬ ْ‫ض ْ َخ ِليفَةْ ْقَالهوا ْأَتَج َع ه‬
ِ ْ ْ‫ل ْفِي َها ْ َمنْ ْيهف ِس ْد هْفِي َها ْ َو َيس ِفكه‬ ْ ِ ‫ل ْفِي ْاألَر‬
ٌْ ‫ل ْ َربُّكَْ ْ ِلل َم َلئِ َك ِْة ْ ِإنِي ْ َجا ِع‬
َْ ‫َو ِإذْ ْقَا‬
ْ َ ْ‫لْ ِإ ِنيْأَعلَ هْمْ َما‬
ْ )30ْ:‫ّلْتَعلَ همونَْْ(البقرة‬ َْ ‫لَكَْْقَا‬
(Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan mengangkat
seorang khalifah di muka bumi”. Lalu dengan sepontan mereka berkata, “Apakah Engkau
akan mengankat untuk jadi khalifah itu orang yang akan berbuat kerusakan di bumi itu dan
menumpahkan darah?; padahal kami terus bertasbih dengan memuji dan mensucikan-Mu”
Lantas Tuhan berfirman, “Akulah yang mengetahui semua itu tidak kalian”)(al-Baqarah:30)

ٌْ ‫ب ْ َو ِإنَ ْهه ْلَغَفه‬


ْ‫ور‬ ِْ ‫س ِري هْع ْال ِعقَا‬ َْ ‫ت ْ ِل َيبله َو هكمْ ْفِي ْ َما ْآت َا هكمْ ْ ِإ‬
َ ْ َْ‫ن ْ َربَك‬ ْ ٍ ‫ض هكمْ ْفَوقَْ ْ َبع‬
ٍْ ‫ض ْد َ َر َجا‬ ْ ِ ‫َ ْاألَر‬
َ ‫ض ْ َو َرفَ َْع ْ َبع‬ َْ ِ‫َوه َْهو ْالَذِي ْ َج َعلَ هكمْ ْخ ََلئ‬
ْ ْْْ)165ْ:‫َر ِحي ٌْمْ(األنعام‬

63
)Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di muka bumi dan Dia pula yang
meninggikan sebagian kamu atas sebagian [yang lain] beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sungguh Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)(al-An’ȃm:165)

ْ ْْْ)14ْ:‫َْتَع َملهونَْْ(يونس‬ ْ ِ ‫َْ ِفيْاألَر‬


‫ضْ ِمنْْ َبع ِدهِمْْ ِلنَن ه‬
َْ ‫ُ َْرْكَي‬ َْ ‫ث ه َْمْ َج َعلنَا هكمْْخ ََل ِئ‬
(Kemudian Kami angkat kalian jadi penguasa di muka bumi sepeninggal mereka )seperti kaum
‘Ȃd dan Tsamûd), agar Kami dapat melihat bagaimana kalian berbuat amal-ibadah.” (Yûnus:
14)

ْ )73ْ:‫َْكَانَْْ َعاقِ َب ْةهْال همنذَ ِرينَ ْ(يونس‬ ‫َْ َوأَغ َرقنَاْالَذِينَْْ َكذَبهواْبِآيَاتِنَاْفَان ه‬
َْ ‫ُرْْكَي‬ ِْ ‫فَ َكذَبهو ْههْفَنَ َجينَا ْههْ َو َمنْْ َمعَ ْههْفِيْالفهل‬
َْ ِ‫كْ َو َجعَلنَاههمْْخ ََلئ‬
(Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia (Nuh) dan orang-orang yang
bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami
tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu) (Yûnus: 73)

ْْ‫ّلْيَ ِزي ْد هْالكَافِ ِرينَْْ هكف هرههم‬ ْ َ ‫ّلْيَ ِزي ْد هْالكَافِ ِرينَْْ هكف هرههمْْ ِعن ْدَْ َر ِب ِهمْْ ِإ‬
ْ َ ‫ّلْ َمقتاْ َو‬ ْ ِ ‫َْفِيْاألَر‬
ْ َ ‫ضْفَ َمنْْ َكفَ َْرْفَ َعلَي ِْهْ هكف هر ْههْ َو‬ َْ ِ‫ه َْهوْالَذِيْ َج َعلَ هكمْْخ ََلئ‬
ْ َ ‫ِإ‬
َ ‫ّلْ َخ‬
ْ ْْ)39ْ:‫ساراْ(فاطر‬
(Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di muka bumi. Barang siapa yang kafir,
maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir
itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan di sisi Tuhan dan kekafiran orang-orang
yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka) (Fȃthir: 39)
)69ْ:‫ّللاِْلَعَلَ هكمْْتهف ِل هحونَْْ(األعراف‬ َ ‫قْبَس‬
َْ ْ‫طةْْفَاذ هك هرواْ َآّل َْء‬ ْ ‫ْ َواذ هك هرواْإِذْْ َجعَلَ هكمْْ هخلَفَا َْءْ ِمنْْبَع ِْدْقَو ِْمْنه‬...
ِْ ‫وحٍْ َوزَ ادَ هكمْْفِيْالخَل‬
(Dan ingatlah ketika Allah menjadikan kalian sebagai penguasa-penguasa sesudah punahnya
kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum
Nuh itu). Maka, ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kalian mendapat keuntungan)(al-A’rȃf:
69)
َ ‫اْوْت َن ِحتهونَ ْال ِجبَا َل ْبهيهوتاْفَاذ هك هر‬
ْ‫واْآّل َء‬ َ ‫صور‬ ‫س ههو ِل َهاْقه ه‬
‫ْمن ْ ه‬ ِ ‫ْوبَ َوأ َ هكم ْفِيْاألَر‬
ِ َ‫ض ْتَت َ ِخذهون‬ َ ‫ْمن ْبَع ِد ْ َعا ٍد‬ ِ ‫ َواذ هك هرواْ ِإذ ْ َج َعلَ هكم ْ هخلَفَا َء‬
ْْْ)74ْ:‫ضْ همف ِس ِْدينَ (األعراف‬ ِ ‫ْو َّلْتَعثَواْفِيْاألَر‬ َ
َ ِ‫ّللا‬
(Dan ingatlah ketika Tuhan menjadikan kamu penguasa-penguasa sesudah punahnya kaum
‘Ȃd dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di daratan yang
datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah. Maka, ingatlah nikmat-
nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan) (al-A’raf: 74)

َ ‫ضْأ َ ِإلَهٌْ َم َع‬


)62ْ:‫ّْللاِْقَ ِليلْ َماْتَذَ َك هرونَ ْ(النمل‬ ِ ‫ْو َيج َعله هكمْ هخلَفَا َءْاألَر‬
َ ‫َِْالسُّو َء‬ َ ‫أ َ َمنْي ِهجيبه ْال همض‬
َ ‫ط َرْ ِإذَاْدَ َعاهه‬
‫ْو َيكش ه‬
(Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa
kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia)
sebagai penguasa di bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah
di antara kamu yang mau mengambil pelajaran)(al-Naml: 62)
ٌ ‫ْوأَنفَقهواْلَ ههمْأَج ٌرْ َك ِب‬
ْْ)7ْ:‫يرْ(الحديد‬ ِ ‫واْم َماْ َج َعلَ هكمْ همست َخلَفِينَ ْفِي ِهْفَالَذِينَ ْآ َمنه‬
َ ‫واْمن هكم‬ ِ ‫ْوأَن ِفقه‬
َ ‫سو ِل ِه‬
‫ْو َر ه‬ َ ‫ ِآمنهواْ ِب‬
َ ِ‫اّلل‬
(Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu sebagai penguasa. Maka, orang-orang yang beriman di antara
kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar)(al-Hadȋd: 7)

64
ْْْ)133ْ:‫ْمنْذه ِر َي ِةْقَو ٍمْآخ َِرينَ ْ(األنعام‬ِ ‫شأ َ هكم‬
َ ‫ْمنْ َبع ِد هكمْ َماْيَشَا هءْ َك َماْأَن‬ِ َ‫ْويَست َخ ِل‬ َ ‫ْ ِإنْيَشَأْيهذْهِب هكم‬...
(Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantikan posisimu sebagai
penguasa dengan siapa saja yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia
telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain)(al-An’ȃm: 133)
ْْ)129ْ:‫َْت َع َملهونَ ْ(األعراف‬ َ ‫ُ َرْكَي‬ ‫ضْفَيَن ه‬ ِ ‫ْويَست َخ ِلفَ هكمْفِيْاألَر‬ َ ‫ىْربُّ هكمْأَنْيههلِكَ ْ َعد َهو هكم‬
َ ‫س‬ َ ‫قَالَْ َع‬
(Musa berkata: "Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhْ kalian dan menja dikan kalian
penguasa di muka bumi, maka Allah akan melihat bagaimana kalian berbuat [sesuatu yang
lebih bermanfaat])(al-A’rȃf: 129)
)55ْ:‫ْ(النور‬...‫َْالَذِينَْْ ِمنْقَب ِل ِهم‬ َ َ‫ضْ َك َماْاستَخل‬ ِ ‫لَيَست َخ ِلفَنَ ههمْفِيْاألَر‬...
(Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa)(al-Nur: 55)

• Musyawarah:
)38ْ:‫(الشورى‬...ْ‫ورىْبَي َن ههم‬ َ ‫ش‬ ‫وأَم هرههمْ ه‬...
َ
(Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka)(al-Syûrȃ: 38)
)159ْ:‫(آلْعمران‬...ْ‫ْوشَا ِورههمْفِيْاألَم ِر‬
َ ‫ْواست َغ ِفرْلَ ههم‬
َ ‫َْ َعن ههم‬‫ْفَاع ه‬...
(Maka (karena itu) maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu) (Ali ‘Imrȃn: 159)

• Penegakan Hukum:
ْ)57ْ:‫اصلِينَ ْ(األنعام‬ ِ َ‫ْوه َهوْخَي هرْالف‬ َ ‫صْال َح َق‬ َ ِ ‫إِ ِنْالْ هحك همْإِ َّل‬...
ُّ ‫ّْللِْيَقه‬
(Tiada hukum kecuali hukum Allah. Dia menetapkan keputusan hukum yang sebenarnya dan
Dia pemberi keputusan yang paling baik)(QS. Al-An’ȃm: 57)
ِ َْ‫ْولَ ِك َنْأَكث َ َرْالن‬
ْْ)40ْ:َ‫اس َّْلْيَعلَ همونَ (يوس‬ ِ َ‫ّْللِْأ َ َم َرْأ َ َّلْت َعبهد هواْ ِإ َّلْ ِإيَاههْذَلِك‬
َ ‫ْالدينه ْالقَيِ هم‬ َ ِ ‫ ِإ ِنْال هحك همْ ِإ َّل‬...
(Tiada hukum kecuali hukum Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak mengabdi
kedcuali hanya kepada-Nya sendiri. Itulah ajaran Agama yang lurus; tapi [sayang sekali]
mayoritas manusia tidak mau tahu hal itu)(Yusuf: 40)

َ ‫اْو ِإنْ َح َْكمتَْْفَاح هكمْ َبي َن ههمْ ِبال ِقس ِطْ ِإ َن‬
ْ ُّ‫ّْللاَْي ِهحب‬ َ ‫فَإِنْ َجا هءوكَ ْفَاح هكمْ َبينَ ههمْأَوْأَع ِرضْ َعن ههم‬...
َ ‫ْو ِإنْتهع ِرضْ َعن ههمْفَلَنْ َيض ُّهروكَ ْشَيئ‬
ْ )42ْ:‫ِطينَ ْ(المائدة‬
ِ ‫ال همقس‬
(Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu [untuk meminta keputusan hukum], maka
berikanlah keputusan [yang adil] di antara mereka, atau [kalau kamu tidak bisa berlaku adil]
berpalinglah dari mereka. Jika kamu memutuskan utuk berpaling dari mereka tidak akan ada
yang membahayakan dirimu sedikit pun; [akan tetapi] jika kamu mau memberikan keputusan
di antara mereka, maka putuskanlah perkara mereka itu dengan adil. Allah sungguh mencintai
mereka yang berlaku adil)(al-Mȃ′idah: 42)

)43ْ:‫ْو َماْأهولَئِكَْْبِال همؤ ِمنِينَ ْ(المائدة‬ ِ َ‫ّْللاِْث ه َمْيَت ََولَون‬


َ َ‫ْمنْ َبعدِْذَلِك‬ َ ‫ْو ِعندَ هه همْالتَو َراةهْفِي َهاْ هحك هم‬
َ َ‫َْي َهح ِك همونَك‬
َ ‫َوكَي‬
(Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka
mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah
itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman)(al-Mȃ′idah:
43)

65
ْ َ‫ْو َّلْتَتَ ِبعْأَه َوا َءههمْ َع َماْ َجا َءك‬ َْ ‫ْو هم َهي ِمناْ َعلَي ِهْفَاح هكمْ َبينَ ههمْ ِب َماْأَنزَ َل‬
َ ‫ّْللاه‬ َ ‫ب‬ِ ‫ْمنَ ْال ِكت َا‬
ِ ‫صدِقاْ ِل َماْ َبينَ ْ َيدَي ِه‬
َ ‫قْ هم‬ َ ‫َوأَنزَ لنَاْ ِإلَيكَ ْال ِكت‬
ِ ‫َابْ ِبال َح‬
ْ )48ْ:‫(المائدة‬...ْ‫ق‬
ِ ‫ِمنَ ْال َح‬
(Dan kami turunkan kepadamu Alqur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab
yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu)(al-Mȃ′idah: 48)
)49ْ:‫ْو َّلْتَتَبِعْأَه َوا َءههمْ(المائدة‬ َ ‫ َوأ َ ِنْاح هكمْبَينَ ههمْبِ َماْأَنزَ ل‬
َ ‫َّْللاه‬
(Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka)(al-Mȃ′idah: 49)

• Ayat Tentang Hakim:


ْْ)188ْ:‫ْوأَنتهمْت َعلَ همونَ ْ(البقرة‬
َ ‫اِإث ِم‬ ِْ ‫اْمنْأَم َوا‬
ِ َ‫لْالن‬
ِ ِ‫اسْب‬ ِ ‫ْوتهدلهواْبِ َهاْإِلَىْال هح َك ِامْ ِلت َأ هكلهواْفَ ِريق‬ ِ َ‫ َو َّلْت َأ هكلهواْأَم َوالَ هكمْ َبينَ هكمْبِالب‬
َ ‫اط ِل‬
(Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim
(pemerintahan), supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui)(al-Baqarah: 188)

• Ayat tentang keadilan:


َ ‫ْمنَ ْال همؤ ِمنِينَ ْاقتَتَلهواْفَأَص ِل هحواْبَينَ هه َماْفَإِنْبَغَتْ ِإحدَا هه َماْ َعلَىْاألهخ َرىْفَقَْاتِلهواْالَتِيْت َب ِغيْ َحتَىْت َ ِفي َءْ ِإلَىْأَم ِر‬
ْ‫ّْللاِْفَإِن‬ َ ْ‫َو ِإن‬
ِ ‫طائِفَت‬
ِ ‫َان‬
ْ)9ْ:‫ِطينَ ْ(الحجرات‬ ‫ْوأَق ِس ه‬
َ ْ‫طواْ ِإ َن‬
ِ ‫ّللاَْي ِهحبُّ ْال همقس‬ َ ‫فَا َءتْفَأَص ِل هحواْ َبينَ هه َماْ ِبال َعد ِل‬
(Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (curang) terhadap golongan
yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya (curang) itu sehingga golongan itu
kembali kepada ajaran Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada ajaran Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil)(al-Hujurȃt: 9)

ْ‫واّْللاَْإِ َن‬ َ ‫شنَآنه ْقَو ٍمْ َعلَىْْأ َ َّلْت َع ِدلهواْاع ِدلهواْه َهوْأَق َربه ْ ِللتَق َو‬
َ ‫ىْواتَقه‬ َ ْ‫ْو َّلْيَج ِر َمنَ هكم‬ َ ِ َ‫يَاْأَيُّ َهاْالَذِينَ ْآ َمنهواْ هكونهواْقَ َو ِامين‬
‫ّْللِْ ه‬
َ ‫ش َهدَا َءْبِال ِقس ِط‬
ْ )8ْ:‫يرْ ِب َماْتَع َملهونَ ْ(المائدة‬ َ
ٌ ِ‫ّللاَْ َخب‬
(Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah semata, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan)(al-Mȃ′idah: 8)

• Ayat tentang kebangsaan:


َ ‫ّْللاِ ْأَتقَا هكم ْإِ َن‬
ٌ ِ‫ّْللاَ ْ َع ِلي ٌم ْ َخب‬
ْ‫ير‬ َ َ‫ارفهوا ْإِ َن ْأَكْ َر َم هكم ْ ِعند‬
َ َ‫ْوقَبَائِ َل ْ ِلتَع‬ َ ‫ْوأهنثَى‬
‫ْو َجعَلنَا هكم ْ ه‬
َ ‫شعهوبا‬ َ ‫ْمن ْذَك ٍَر‬ ‫يَا ْأَيُّ َها ْالنَ ه‬
ِ ‫اس ْإِنَا ْ َخلَقنَا هكم‬
ْْ)13ْ:‫(الحجرات‬

66
(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal)(al-Hujurȃt:13)

• Ayat tentang amar makruf nahi mungkar:


َ َ‫ْويهؤتهون‬
َْ ‫ْالزكَاة‬ َ َ ‫ص َلة‬
َ ‫ْوْيه ِقي همونَ ْال‬
َ ‫ْويَن َهونَ ْ َع ِن ْال همنك َِر‬
َ ‫وف‬
ِ ‫ض ْيَأ هم هرونَ ْبِال َمع هر‬ٍ ‫ض ههم ْأَو ِليَا هء ْبَع‬‫ْوال همؤ ِمنَاته ْبَع ه‬ َ َ‫ َوال همؤ ِمنهون‬
ْْ)71ْ:‫يزْ َح ِكي ٌمْ(التوبة‬ٌ ‫ّْللاَْ َع ِز‬
َ ‫ّْللاهْ ِإ َن‬
َ ‫س َير َح هم هه هم‬
َ ْ َ‫ِك‬ ‫ئ‬َ ‫ل‬ ‫و‬‫ه‬ ‫هْأ‬ ‫ه‬ َ ‫ل‬ ‫و‬‫س‬‫ه‬ ‫ْو َر‬ َ َ‫َوي ِهطيعهون‬
َ َ‫ّْللا‬
(Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Meraka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah
dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana) (al-Tawbah: 71)

ْ )104ْ:‫ْوأهولَئِكَ ْ هه همْال همف ِلحهونَ ْ(آلْعمران‬


َ ‫ْو َين َهونَ ْ َع ِنْال هْمنك َِر‬
َ ‫وف‬ َ ‫ْمن هكمْأ ه َمةٌْ َيدعهونَ ْ ِإلَىْالخَي ِر‬
ِ ‫ْو َيأ هم هرونَ ْ ِبال َمع هر‬ ِ ‫َولت َ هكن‬
(Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang
yang beruntung) (Ali ‘Imrȃn: 104)

• Ayat tentang pembangunan:


ْ‫ْواستَع َم َر هكم ْفِي َهاْفَاستَغ ِف هروهه ْث ه َم‬
َ ‫ض‬ِ ‫ْمنَ ْاألَر‬
ِ ‫شأ َ هكم‬
َ ‫ْمن ْ ِإلَ ٍه ْغَي هرهه ْه َهو ْأَن‬
ِ ‫هواّْللاَ ْ َماْلَ هكم‬
َ َ ْ ‫ َو ِإلَىْث َ همودَ ْأَخَاههم‬
‫صا ِلحاْقَا َل ْ َياْقَو ِم ْاعبهد‬
ْْْ)61ْ:‫ْربِيْقَ ِريبٌ ْ هم ِجيبٌْْ(هود‬ َ ‫تهوبهواْإِلَي ِهْإِ َن‬
“Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata, ‘Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu
dari bumi (tanah) dan meminta kamu membangun kehidupan di muka bumi, karena itu mohonlah
ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-
Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Hûd: 61)

Apabila diamati dengan saksama, keseluruhan ayat-ayat Alqur’an yang telah dinukil
yang berjumlah 29 ayat di atas, maka tampak dengan gamblang bahwa benar-benar tidak ada
satu kalimat pun yang memerintahkan secara tegas supaya umat Islam mendirikan negara. Yang
ada hanyalah berbagai informasi tentang rencana Allah mengangkat seorang khalifah di muka
bumi (al-Baqarah: 30), penunjukan Nabi Daud sebagai khalifah di bumi dan ia diamanati Allah
supaya memerintah secara benar (Shâd: 26). Demikian pula informasi tentang penggantian para
kepala pemerintahan (khulafâ’) sepeninggal kaum Nuh, kaum ‘Âd, dan lain-lain (al-A’rȃf: 69,
74, 129; al-Naml: 62; al-Nur: 55; al-An’âm: 133; dan Hûd:57). Di samping itu, juga dijelaskan
anjuran untuk bermusyawarah dalam memutuskan suatu persoalan (Ali ‘Imrân:159; al-Syûrȃ:38).
Selanjutnya, Allah pun menegaskan perlunya penegakan keadilan dan kebenaran, amar makruf,

67
nahi mungkar, serta anjuran untuk membangun kehidupan yang lebih layak dan baik di muka
bumi sebagaimana tampak dalam sub-sub topik di atas.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, maka tidak salah ketika al-Taturk mengu bah bentuk
pemerintahan Usmani dari kerajaan menjadi republik yang dikepalai oleh seorang presiden.113
Dengan demikian, sangat masuk akal bila ‘Ali ‘Abdul Râziq mendukung perubahan tersebut
karena tidak ada ketegasan di dalam Alqur′an tentang kasus tersebut, sekalipun risikonya dia
dicopot dari jabatan “Syekh al-Azhar” dengan tuduhan sekuler disebabkan ia menyetujui
perubahan bentuk negara itu (dari kerajaan menjadi republik).114
Setelah mengamati dan memahami berbagai ayat Alqur′an itu, maka dapat disimpulkan
bahwa adanya pemikiran untuk mendirikan negara Islam bukan perintah langsung dari Allah dan
tidak pula dari Rasul Allah, melainkan hasil ijtihad para ulama berdasarkan teks-teks ayat suci
dan sunnah fi’liyah (perbuatan) Nabi.
Adanya pemikiran bahwa mendirikan negara Islam adalah suatu kenisca yaan bagi umat
Islam hal itu merujuk kepada sunnah fi’liyah (perilaku) yang diperankan oleh Rasul selaku
pemimpin tertinggi umat Islam di Madinah waktu itu. Namun, perlu disadari bahwa kedudukan
beliau sebagai kepala negara bukan merupakan tujuan dari misi (risalah) yang beliau emban, tapi
lebih didorong oleh situasi dan kodisi umat pada masa itu.
Artinya, Muhammad SAW sebagai Rasul yang diamanahi untuk menyampaikan risalah
kepada umat, mau tidak mau harus mengatur siasat bagaimana caranya supaya jalan dakwahnya
tidak terkendala oleh orang-orang kafir. Untuk mencapai maksud itu, maka Nabi menghimpun
segala potensi yang ada, lalu dia memimpin pemerintahan dan mengelolanya secara baik dan
profesional.
Pekerjaan menyiasati, memimpin, dan mengorganisasi masyarakat agar dapat diarahkan
untuk mencapai tujuan bersama demi kebaikan serta kemajuan, semua itu merupakan pekerjaan
seorang kepala negara. Dengan demikian, tidak salah apabila Nabi Muhammad disebut “Kepala
Negara” karena beliau memang melakukan pekerjaan seperti yang digambarkan itu. Namun,
beliau tidak pernah menyebut dirinya kepala negara.
Di dalam surat-suratnya kepada para raja-raja dan kepala pemerintahan dunia waktu itu,
beliau menulis “dari Muhammad bin Abdullah”, tidak menyebut “kepala negara”. Hal itu sangat

113
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. II, 1982, hlm. 84.
114
Ibid., hlm. 85

68
logis karena pada waktu itu istilah “negara” saja belum dikenal, apalagi istilah “negara Islam”.
Hal itu terjadi karena Nabi bersama para sahabat tidak mementingkan label “Negara Islam”, tapi
yang diutamakan ialah pengamalan ajaran Islam secara kaffah (utuh); baik secara individual,
berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Mereka juga tidak mengenal term
“demokrasi”, tapi sistem pemerintahan mereka lebih memihak kepada rakyat kecil ketimbang
menguntungkan para pejabat pemerintahan dan atau tokoh-tokoh masyarakat.
Selain itu, penegakan kebenaran dan keadilan sangat diperhatikan dan diperioritaskan.
Demikian pula amar makruf dan nahi mungkar mendapat tempat utama dalam sistem
pemerintahan mereka. Pendek kata, pengamalan Nabi dan para sahabat dalam keseharian
mereka, termasuk pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan cermin dari
ajaran Alqur′an dan Sunnah meskipun mereka tidak menyebut “Negara Islam” dan sistem
pemerintahan yang mereka terapkan juga tidak dinyatakan sebagai “Sistem Islami”. Jadi, bagi
mereka, nama tidak penting karena perhatian mereka tercurah pada pengamalan ajaran. Apapun
nama negara, mereka tidak peduli selama ajaran Islam yang mereka perjuangkan dapat
ditegakkan dan dikembangkan. Yang mereka perjuangkan ialah substansi ajaran, bukan performa
lahiriah.
Berdasarkan fakta tersebut, maka penamaan sebuah negara dengan “Negara Islam”
merupakan hasil ijtihad ulama, bukan didasarkan atas petunjuk (tawqîf) langsung dari Nabi. Jika
demikian halnya, maka tidak ada alasan bagi pihak yang setuju dengan sebutan “Negara Islam”
untuk menyalahkan pendapat pihak lain yang tidak setuju dengan term “Negara Islam” tersebut.
Sebab, hasil ijtihad seorang ulama atau sekelompok ulama tidak dapat membatalkan ijtihad
ulama lain.
Oleh karenanya, kembali kepada masing-masing pihak, mau memakai istilah “Negara
Islam” atau tidak, semuanya sah-sah saja, selama keadilan dan kebenaran bisa ditegakkan,
kejahatan dan tindakan-tindakan kriminal bisa dibasmi habis, amar makruf dan nahi mungkar
dapat digalakkan pada semua lapisan masyarakat, mulai dari tingkat srata yang tertinggi sampai
di level terbawah, “akar rumput”. Bila kondisi semacam itu bisa diwujudkan, maka label nama
tidak perlu dipersoalkan selama substansi ajaran dapat ditegakkan. Sungguh sangat ironis,
bilamana warga negara (umat) menghabiskan energinya demi memperdebatkan hal-hal yang
tidak substantif tersebut; sementara kejahatan menjadi-jadi, amar- makruf nahi-mungkar tidak
terurus, dst.

69
Sebaliknya, apabila kondisi demikian itu tidak bisa diwujudkan, maka berarti kita tidak
akan dapat menyelamatkan kehidupan di muka bumi. Dari sini, marilah kita berpikir dan
beriorentasi pada substansi persoalan. Tidak perlu bertengkar tentang hal-hal marginal yang
hanya akan menguras energi sedang manfaatnya tidak ada. Bahkan, boleh jadi hanya akan
memperburuk situasi dan mempermalukan diri sendiri. Prinsip inilah yang diwasiatkan oleh al-
Syaikh Muhammad ‘Abduh kepada muridnya, Prof Mahmud Yunus ketika beliau pamit kepada
gurunya itu setelah menamatkan studinya di Mesir.115

PENUTUP
Jika ingin menyelamatkan bangsa ini, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali ke
Alqur′an. Amalkanlah Alqur′an secara murni dan konsekuen dalam semua lini kehidupan; tidak
terkecuali kehidupan berbangsa dan bernegara. Ikutilah segala sesuatu yang telah diajarkan oleh
Allah dan Rasul-Nya dan tinggalkan semua larangannya. Ketika berbeda pendapat, carilah
jawabannya berdasarkan spirit dan prinsip yang diajarkan Alqur′an dan Sunnah Rasul SAW,
yaitu semangat persatuan dan kesatuan serta jauh dari sikap egois, subyektif dan emosional.
Itulah antara lain yang dipesankan Allah SWT dalam al-Nisȃ′: 59116.
-----nb-----

PEMILU PERSPEKTIF ALQUR′AN

PENDAHULUAN
Hiruk-pikuk kampanye pemilihan umum (pemilu) bagaikan banjir bandang yang melanda
seantero negeri ini, dari Sabang sampai Merauke. Bahkan, nyaris tidak kenal waktu. Seolah tiada
hari tanpa kampanye. Siang atau malam orang bicara pemilu. Malah, tidak pada jadwal
kampanye pun ada yang memaksakan diri berkampanye, sehingga terjadi berbagai macam

115
Kisah ini diceritakan kembali oleh Prof. Mahmud Yunus dalam forum Kuliah Umum di Fakultas Adab
IAIN Imam Binjol di Payakumbuh, pada tahun 1974.
َ‫الِلَ َو ْاليَ ْو َِم‬
ََِّ ِ‫نَك ْنت َْمَتؤْ مِ نونَََب‬
َْ ِ‫لَإ‬
َِ ‫الرسو‬ ََِّ َ‫ش ْيءََفَردُّوهََإِلَى‬
َّ ‫ّللاَ َو‬ َْ ِ ‫لَ َوأولِيَ ْاأل َ ْم َِرَمِ ْنك َْمَفَإ‬
َ َ‫نَتَنَازَ عْت َْمَفِي‬ ََ ‫الرسو‬ َََّ َ‫يَاَأَيُّ َهاَالَّذِينَََآ َمنواَأَطِ يعوا‬116
َّ َ‫ّللاَ َوأَطِ يعوا‬
َ )59َ:‫يلَ(النساء‬ َ ً ‫سنََت َأ ْ ِو‬
َ ْ‫ْرَ َوأَح‬َ‫ْاْلخِ َِرَذَلِكَََ َخي أ‬

70
pelanggaran, mulai dari tingkat pusat sampai daerah, dan dilakukan oleh para pejabat dari tingkat
teratas sampai yang terbawah.
Namun, tidak banyak yang menyadari tujuan kampanye yang sebenarnya, terutama di
kalangan akar rumput. Mereka lebih mengutamakan hura-huranya ketimbang menghayati konsep
inovatif yang ditawarkan partai politik (parpol) peserta pemilu. Jadi, kehadiran mereka yang
berjubel di tempat pelaksanaan kampanye belum merupakan gambaran yang representatif bagi
kemenangan satu parpol.
Apalagi jika pelaksanaan kampanye itu ada yang diwarnai money politic, seperti bagi-
bagi uang, hadiah, sembako, dan sebagainya. Maka, mereka berdatangan ke sana bukan untuk
memenangkan pemilu, melainkan karena didorong oleh keinginan mendapatkan keuntungan-
keuntungan sesaat yang bersifat material itu. Oleh karenanya, tidak mustahil dalam bilik suara
pilihan mereka jauh dari harapan parpol yang bersangkutan. Bisa jadi pula mereka lebih memilih
golput alias tidak ikut memilih daripada pusing-pusing memikirkannya.
Demikianlah fenomena yang terjadi seputar kampanye pemilu. Semua itu tidak akan
dibahas dalam tulisan ini, tetapi yang menjadi fokusnya ialah makna kualitatif dari pemilu
tersebut. Artinya, sesuatu yang berada di dalam pemilu akan ditinjau dari perspektif Alqur′an .
Mengambil Alqur′an sebagai pijakan dalam kehidupan berpolitik bukan karena ikut-ikutan,
apalagi latah; bukan pula didorong oleh fanatisme terhadap suatu ajaran. Ini semata-mata untuk
menunjukkan bahwa Alqur′an sebagai landasan pertama dan utama ajaran Islam harus menjadi
plateform bagi semua aktivitas seorang muslim, termasuk dalam hal berpolitik. Islam tidak
mengajarkan paham sekularisme yang memisahkan kehidupan dunia dari akhirat atau
memisahkan negara dari agama. Tapi, yang terdapat dalam Alqur′an hanyalah memilah antara
dua jenis kehidupan itu agar kehidupan dunia ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
meraih kebahagiaan di akhirat kelak.

PEMILU DALAM KAJIAN ISLAM


Telah kita ketahui bersama bahwa pemilu bertujuan untuk memberikan kesempatan
seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya kepada semua warga negara untuk memilih wakil-wakil
mereka di lembaga-lembaga negara, seperti MPR, DPR dan sebagainya, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Mereka juga bisa memilih presiden dan wakil presiden yang akan memimpin
negara ini di periode yang akan datang.

71
Terlebih lagi di era reformasi ini pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan secara
langsung oleh rakyat. Itu berarti peranan rakyat menjadi sangat dominan dan signifikan sekali
dalam menentukan haluan negara, paling tidak untuk durasi lima tahunan. Karenanya, bilamana
terjadi salah mencoblos atau bahkan tidak memilih sama sekali alias golput akan berdampak luas
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika demikian halnya, maka tidak aneh bila Alqur′an sejak dini mewanti-wanti dan
sangat peduli terhadap permasalahan politik karena urat nadi kehidupan umat -maju atau
mundur, modern atau terbelakang- amat tergantung pada kebijakan politik yang dicanangkan.
Itulah sebabnya tidak boleh salah dalam memilih atau bersikap apatis terhadap pemilu itu sendiri.
Oleh sebab itu, tidak salah bila dikatakan bahwa melakukan pencoblosan merupakan salah satu
bentuk ibadah sosial yang bernilai tinggi di sisi Allah asalkan dimotivasi oleh niat yang tulus
demi membawa kehidupan berbangsa dan bernegara lebih baik, sesuai tuntunan QS. Al-Dzariyat:
56:”ْ ‫هون‬ ْ َ ‫س ْ ِإ‬
ِْ ‫ّل ْ ِل َيعبهد‬ َْ ‫اِإن‬ َْ ‫(“ َو َما ْ َخلَقتهْ ْال ِج‬Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
ِ ‫ن ْ َو‬
mereka mengabdikan jiwa-raganya kepada-Ku).
Berdasarkan ayat ini semua aspek kehidupan umat manusia, termasuk dalam konstalasi
kehidupan berbangsa dan bernegara seperti pemilu, dsb. dapat dijadikan ajang untuk beribadah
kepada Allah; khususnya dalam bentuk ibadah sosial. Semua itu amat tergantung kepada
motivasi yang mendorongnya sebagaimana telah dijelaskan.
SIKAP RAKYAT MENGHADAPI PEMILU
Kedudukan rakyat dalam pelaksanaan pemilu sangat strategis dalam menentukan
keberhasilan atau kegagalan suatu parpol. Oleh karena itu, mereka menjadi sasaran atau target
yang harus dipengaruhi agar mendukung dan memilih partai serta calon yang diajukannya; baik
untuk anggota legislatif (caleg), maupun kepala pemerintahan pusat dan atau daerah. Itulah
sebabnya semua parpol akan berusaha sekuat tenaga mengerahkan segenap potensinya untuk
memikat hati rakyat, tidak hanya sebatas janji yang muluk-muluk; bahkan mereka tidak berusaha
membagikan-bagikan uang, sembako, dan hadiah-hadiah lainnya.
Bagaimana seharusnya sikap rakyat menghadapi kondisi yang demikian? Seyogyanya
mereka tidak perlu terpengaruh oleh rayuan dan pemberian apapun yang diberikan parpol
kontestan pemilu itu. Biarkanlah mereka memberikan hadiah atau apapun bentuknya, namun
rakyat tetap teguh dalam menentukan pilihan sesuai dengan hati nuraninya, berdasarkan petunjuk
ilahi.

72
Untuk menentukan pilihan terhadap seorang wakil yang akan menduduki suatu jabatan
kenegaraan, ternyata Alqur′an telah mengajarkan caranya kepada umat manusia sejak 14 abad
silam, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak memilih orang-orang kafir sebagai pemimpin (QS.3:28117; 4:144118; 5:51119). Siapa
yang dimaksud dengan kafir di dalam ayat itu? Pertanyaan ini akan terjawab apabila kita
mengamati ayat lain yang menjelaskan ciri-ciri orang-orang kafir, antara lain menyimpang
dari jalan lurus, aturan, dan norma yang berlaku (QS.23:74120). Misleading (salah kaprah)
dalam mengelola keuangan negara sehingga mengakibatkan korupsi besar-besaran,
penyalahgunaan wewenang, dekadensi moral, dan sebagainya berkaitan erat dengan sikap
mental yang digambarkan ayat itu. Oleh karena itu, Alqur′an mengajarkan umat agar memilih
calon yang terpercaya, yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk menyelamatkan
hidup dan kehidupan umat dan mensejahterakan mereka. Jangan pernah menjatuhkan pilihan
pada mereka yang tidak atau kurang kredibel; apalagi yang menyimpang dari jalan dan
norma-norma yang benar.
2. Tidak bersikap pesimis atau putus asa, acuh tak acuh ataupun golput. Sikap semacam ini
tidak hanya merugikan diri sendiri, melainkan juga bangsa dan negara. Misalnya, ada figur-
figur yang relatif bersih dan kredibel, tetapi karena tidak cukup dukungan dikarenakan
banyak yang golput, maka dia tidak mampu menduduki jabatan kenegaraan itu. Sementara
mereka yang sudah tidak layak untuk suatu jabatan negara, tapi karena ada dukungan, maka
mereka berhasil memegang jabatan itu. Hal ini tentunya merugikan semua pihak, termasuk
orang yang golput tersebut. Oleh karena itulah Alqur′an menegaskan, “Jangan campakkan
dirimu ke dalam kebinasaan.” (QS.2:195121)
Pada dasarnya, rakyat manut (taat) pada perkataan sang pemimpin. Tapi, bila seorang
pemimpin tidak lagi mengayomi kebutuhan-kebutuhan rakyat yang dipimpinnya, bersikap
arogan, mau menang sendiri, dan merugikan mereka, jelas ia tidak akan dihormati, apalagi
didukung. Sikap negatif seperti itu terjadi sebagai akibat ketidakjujuran dan sikap kurang peduli

َ ‫ّللاَنَ ْف‬
َ‫سهََ َو ِإلَى‬ َْ َ ‫لَأ‬
ََّ ََ‫نَتَتَّقواَمِ ْنه َْمَتقَاَة ًَ َوي َحذِركم‬ ََّ ِ‫ش ْيءََإ‬َ َ‫ّللاَفِي‬ ََِّ َََ‫ْسَمِ ن‬ََ ‫لَ َذلِكَََفَ َلي‬ َْ ‫ونَ ْالمؤْ مِ نِينَََ َو َم‬
َْ َ‫نَيَ ْفع‬ َِ ‫نَد‬ َْ ِ‫لَيَتَّخِ َِذَ ْالمؤْ مِ نونَََ ْالكَاف ِِرينَََأ َ ْو ِليَا ََءَم‬
ََ 117
َ )28َ:‫صيرََ(آلَعمران‬ ِ ‫ّللاَ ْال َم‬
ََِّ
َ )144َ:‫طانًاَم ِبينًا(النساء‬ ْ
َ ‫علَيْك َْمَسل‬ ََِّ ِ َ‫نَتَجْ عَلوا‬
َ َ‫لِل‬ َ َ
َْ ‫ونَالمؤْ مِ نِينَََأت ِريدَونَََأ‬ ْ َِ ‫نَد‬ َ ْ
َْ ِ‫لَتَتَّخِ ذواَالكَاف ِِرينَََأ ْو ِليَا ََءَم‬ َّ
ََ َ‫يَاَأيُّ َهاَالذِينَََآ َمنوا‬َ 118

ْ َ َْ‫ّللا‬
ْ‫ّلْ َيهدِي‬ َْ ْ‫ن‬َْ ‫ضْ َو َمنْْ َيت ََولَ ههمْْ ِمن هكمْْفَإِنَ ْههْ ِمن ههمْْ ِإ‬
ْ ٍ ‫ض ههمْْأَو ِل َيا هْءْ َبع‬
‫ارىْأَو ِل َيا َْءْ َبع ه‬
َ ‫ص‬ ْ َ ْ‫ َياْأَيُّ َهاْالَذِينَْْآ َمنهوا‬119
َ َ‫ّلْتَت َ ِخذهواْال َي ههو ْدَْ َوالن‬
)51ْ:‫ُا ِل ِمينَْ(المائدة‬ َ ‫القَو َْمْال‬
َ )74َ:‫الص َراطََِلَنَاكِبونَََ(المؤمنون‬
ِ َ‫ن‬َِ ‫ع‬ ََ َََ‫نَالَّذِين‬
َ َ‫لَيؤْ مِ نونَََبِ ْاْلخِ َرَِة‬ ََّ ِ‫ َوإ‬120
َ )195َ:‫َ(البقرة‬...‫لَت ْلقواَبِأ ْيدِيك َْمَ ِإلَىَالت َّ ْهل َك َِة‬
َ ََ ‫ َو‬...121

73
terhadap rakyat. Sikap semacam ini tidak saja merugikan diri dan bangsa, tapi lebih dari itu dia
mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadanya. Padahal, salah satu tugas dan kewajiban
utama pemimpin adalah selalu bersikap dan berbuat amanah (QS.2:283122; 4:58123; 8:27124).
Pemimpin yang bermental demikian tidak layak mewakili rakyat untuk duduk di
lembaga-lembaga negara seperti MA, MK, MPR, DPR, dan DPRD. Mereka juga tidak pantas
menjabat sebagai presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota dan seterusnya.
Mengingat tugas seorang pemimpin yang sangat berat, apalagi pemimpin suatu negara,
sebaiknya mereka yang berambisi untuk jabatan itu berpikir ribuan kali dan betul-betul
menyiapkan fisik dan mental untuk menanggung segala risiko yang akan dihadapi, tidak hanya di
dunia, tetapi juga di akhirat. Dalam konteks ini, Allah menegaskan, “Kami telah menawarkan
amanah itu kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, mereka semua menolak, karena tidak
sanggup mengembannya. Lantas manusia bersedia memikul tanggung jawab yang berat itu,
sungguh manusia teramat zalim dan dungu sekali.” (al-Ahzȃb:72)
Ayat ini seolah-olah memperingatkan semua orang, tidak terkecuali para kandidat
presiden dan wakil presiden agar ekstra hati-hati jika dia nanti berhasil menduduki jabatan publik
itu, sebab tanggung jawabnya tidak hanya kepada rakyat, namun juga kepada Allah. Mungkin
karena tanggung jawab yang demikian besar, maka Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azȋz pun tidak
sempat memperbaiki anak tangga rumahnya yang patah setelah menjadi khalifah (kepala negara).
Ketika istrinya komplain karena rumah tangganya kurang terayomi, Umar menjawab,
“Kamu benar, rumah tangga kita agak terabaikan. Tapi, cobalah kamu bayangkan, nun jauh di
sana di desa terpencil (ketika itu luas negara Islam hampir sepertiga peta dunia, membentang dari
Cina di timur sampai ke Spanyol di barat) jika salah seorang warga kita kehilangan seekor ayam,
maka orang yang akan ditanyai pertama kali oleh Allah ialah Umar ini, karena dia yang menjadi
kepala Negara(khalifah). Hal inilah yang membuat pikiranku tersedot olehnya, sehingga
perhatian keluarga menjadi berkurang sebab saya sudah menjadi milik banyak orang, tidak lagi
milikmu sendiri.”
Itulah gambaran betapa besarnya tangung jawab seorang kepala negara. Seandainya para
kandidat presiden dan wakil presiden kita sekarang mempunyai komitmen yang begitu tinggi
sebagaimana dicontohkan khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azȋz itu, niscaya Indonesia akan bangkit

ََّ ‫نَيَ ْكت ْم َهاَفَإ ِ َّنهََآ ِث أَمَقَ ْلبهََ َو‬


َ َََ‫ّللاَبِ َماَت َ ْع َملون‬
َ )283َ:‫علِي أَمَ(البقرة‬ َّ ‫لَت َ ْكتمواَال‬
َْ ‫ش َها َدَة ََ َو َم‬ ََ ‫ّللاَ َربَّهََ َو‬ َِ َّ‫فَ ْلي َؤ َِدَالَّذِيَاؤْ تمِ نَََأ َ َمانَت َهََ َو ْليَت‬,,,122
َََّ َ‫ق‬
َ )58َ:‫(النساء‬...َ‫ل‬ ْ
َِ ‫نَتَحْ كمواَبِالعَ ْد‬ َ
َْ ‫اسَأ‬ َ
َ ِ ََّ‫تَإِلَىَأ ْه ِل َهاَ َوإِذَاَ َحك َْمت َْمَبَيْنَََالن‬ َِ ‫نَت َؤدُّواَ ْاأل َ َمانَا‬ َْ َ ‫ّللاَيَأْمرك َْمَأ‬
َََّ َ‫ن‬ََّ ِ‫إ‬123
َ
َ )27َ:‫لَ َوت َخونواَأ َمانَاتِك َْمَ َوأ ْنت َْمَت َ ْعلَمونَََ(األنفال‬ َ ََ ‫الرسو‬ َّ ‫ّللاَ َو‬َََّ َ‫لَت َخونوا‬ َّ َ
ََ َ‫يَاَأيُّ َهاَالذِينَََآ َمنوا‬124

74
dan pamornya akan naik kembali di dunia internasional. Tentu semua itu amat tergantung pada
ketepatan pilihan rakyat dan sikap mental para calon yang akan menduduki kursi tertinggi itu.
Wallahu a’lam.

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas tampak dengan jelas bahwa Alqur′an sebagai kitab suci sangat
antusias terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu dapat dijadikan bukti yang kuat
bahwa Islam tidak pernah mengajarkan sekularisme, hedonisme dsb.; bahkan sebaliknya selalu
mengajak umat agar senantiasa mengisi setiap lini kehidupan mereka dengan hal-hal yang dapat
membuat mereka meraih kebahagiaan hidup mulai dari dunia yang fana ini sampai ke akhirat
yang abadi kelak.
Inilah ajaran baku yang diajarkan Islam sejak semula diturunkan Allah lebih empatbelas
abad yang silam dengan harapan umat mau mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka demi
mendapatkan kebahagiaan hidup dunia akhirat tersebut.

-----nb-----

SOLUSI QUR′ANI TERHADAP


BERBAGAI KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA

PENDAHULUAN
Rukun dan damai menjadi dambaan setiap orang, tanpa melihat pangkat dan kedudukan,
bahkan asal usul keturunan dan sebagainya. Pendek kata, seluruh lapisan masyarakat, kaya atau
miskin, tua atau muda, semua menginginkan suatu situasi dan kondisi yang damai.
Namun akhir-akhir ini, intensitas konflik antar umat beragama tampak kian tinggi. Semua
tokoh agama mengatakan bahwa agamanya hanya mengajarkan kebaikan kepada umatnya. Tidak

75
ada agama yang mendoktrinkan keburukan. Tapi, apa yang disampaikan itu bertolak belakang
dengan kenyataan berupa konflik yang masih sering terjadi di masyarakat.
Jika demikian halnya, maka perlu sekali dilakukan kajian yang mendalam mengenai siapa
sebenarnya yang menjadi biang keladi (pemicu) timbulnya konflik antar umat beragama yang
telah menyebabkan banyak korban, seperti yang telah terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, Maluku,
dan berbagai daerah lainnya.
Selain pertikaian antar umat yang berbeda agama, konflik juga terjadi antar pemeluk satu
agama yang sama. Itu berarti, konflik yang terjadi di masyarakat kita telah menjalar ke seluruh
strata sosial dan berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan. Singkat kata, peta konflik di
negeri ini telah mencakup spektrum yang amat luas dan multidimensi, sehingga rasa aman dan
tenteram menjadi suatu hal yang sangat mahal saat ini, terutama di daerah-daerah rawan konflik.
Mengingat luasnya ruang lingkup kajian ini, yakni menyangkut berbagai aspek kehidupan
umat manusia, maka tidak mungkin semua itu dirangkumkan dalam tulisan yang singkat ini.
Karena itu, uraiannya difokuskan pada pembahasan konflik yang terjadi antar umat berlainan
agama ditinjau dari konsep ayat-ayat Alqur′an .

SOLUSI QUR′ANI TERHADAP PERSOALAN KONFLIK


Mengaitkan kajian konflik antar pemeluk agama dengan Alqur′an adalah suatu ide atau
gagasan yang amat brilian. Karena dengan cara ini, imej yang selama ini cenderung memojokkan
Alqur′an akan dapat dijelaskan dan diluruskan bahwa Alqur’an bukan seperti yang mereka
bayangkan.
Alqur’an adalah kitab suci yang mengajarkan toleransi. Allah tidak pernah memanggil
kaum Yahudi dan Nasrani dengan sebutan, “orang-orang kafir”, tetapi dengan julukan yang
terhormat, “ahli kitab”,125 padahal mereka sedikit pun tidak mau memercayai Muhammad
sebagai Rasul Allah, apalagi memeluk Islam.126
Berangkat dari kenyataan itu, dapat dikatakan bahwa percekcokan antar umat berlainan
agama yang berujung konflik, semua itu lebih banyak disebabkan oleh pemeluk masing-masing

125
Periksa ayat-ayat berikut: QS. Ali Imran: 64, 65, 70, 71, 98, 99; QS. Al-Nisa’: 171; QS. Al-Maidah: 15, 19,
59, 68, 77.
126
Selanjutnya amati ayat ke-1 dan 2 dari QS. Al-Bayyinah: “Tidak pernah [pada umumnya] orang-orang
kafir dari ahli kitab dan kaum musyrikin melepaskan keyakinan mereka [lalu memeluk Islam] bahkan sampai
datang kepada mereka bukti yang nyata sekalipun, yakni Rasul dari Allah yang membacakan kitab suci.”

76
agama yang kurang memahami ajaran kitab sucinya secara utuh. Atau bisa jadi, mereka paham,
tapi sengaja mencari interpretasi lain agar sesuai dengan paham yang mereka anut, tanpa peduli
apakah penafsiran itu benar atau salah.
Tidak terkecuali pemeluk agama Islam. Ada yang memahami Alqur′an secara apriori dan
keliru sesuai dengan mazhab atau aliran yang dianut. Kelompok ini biasanya cenderung ekstrim
dan menganggap pendapat atau pemahaman yang dianut orang lain keliru dan tidak islami. Sikap
dan mental tersebut tentu dapat memicu chaos dan perang antar umat beragama.
Memang diakui bahwa ada banyak ayat Alqur′an yang secara tekstual tampak
kontradiktif satu sama lain. Ayat-ayat semacam ini yang dijadikan alasan oleh mereka untuk
melakukan tindakan kekerasan dan mengangkat senjata untuk memerangi penganut agama lain
yang tidak mereka senangi. Padahal, jika diamati secara saksama, tidak ada satu ayat pun di
dalam Alqur′an yang memerintahkan umat Islam untuk memerangi orang lain karena berbeda
paham atau aliran agama yang dianutnya. Agar lebih jelas, mari kita amati ayat berikut:

Perang Damai
َْ ْ ‫ن‬
َْ‫ّللا‬ َْ ‫ّل ْتَعتَد هوا ْ ِإ‬ ْ َ ‫ّللاِ ْالَذِينَْ ْيهقَاتِلهونَ هكمْ ْ َو‬
َْ ْ ‫ل‬ َ ْ ‫ َوقَاتِلهوا ْفِي‬
ِْ ‫س ِبي‬ ْ‫سنهْْفَإِذَاْالَذِيْبَينَكَْْ َوبَينَ ْههْ َعدَ َاو ْة ٌْ َكأَنَ ْهه‬
َ ‫ِيْأَح‬
َْ ‫ْادفَعْْ ِبالَتِيْه‬
‫ه‬
ْْ‫ث ْث ِقفت هموههم‬ َ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬
ْ ‫) َواقتلوههمْ ْ َحي‬190(ْ َْ‫ّل ْي ِهحبُّْ ْال همعتَدِين‬ َْ )34ْ:‫َو ِليْْ َح ِمي ٌْمْ(فصلت‬
ْ َ ‫ل ْ َو‬
ْ‫ّل‬ ِْ ‫ش ْدُّْ ِمنَْ ْالقَت‬ َ ‫ه‬
َ ‫ث ْأخ َر هجو هكمْ ْ َوال ِفتنَ ْة ْأ‬ َ ْ‫َوأخ ِر هجوههمْ ْ ِمنْ ْ َحي ه‬ َ “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
ْْ‫ام ْ َحتَى ْيهقَا ِتلهو هكمْ ْ ِفي ِْه ْفَإِن‬ ِْ ‫تهقَا ِتلهوههمْ ْ ِعن ْدَ ْال َمس ِج ِْد ْال َح َر‬ lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu
ْ‫ن ْانتَ َهوا‬ ِْ ِ ‫)ْفَإ‬191(ْ َْ‫قَاتَلهو هكمْ ْفَاقتهلهوههمْ ْ َكذَ ِلكَْ ْ َجزَ ا هْء ْالكَافِ ِرين‬ dan antara dia ada permusuhan seolah-olah
ٌْ‫ّل ْتَ هكونَْ ْفِتن َْة‬ ْ َ ْ ‫)ْ َوقَا ِتلهوههمْ ْ َحتَى‬192(ْ ‫ور ْ َر ِحي ٌْم‬ ٌْ ‫ّللاَ ْ َغفه‬
َْ ْ ‫ن‬ َْ ِ ‫فَإ‬ telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fus
َ
َْْ‫على ْالُا ِل ِمين‬ َ َ ْ ‫ّل‬َ
ْ ِ‫ل ْعهد َوانَْ ْإ‬ ْ َ َ‫ن ْانتَ َهوا ْف‬ ِْ ِ ‫ّللِ ْفَإ‬ ‫ه‬
َْ ِ ْ ْ‫َويَكونَْ ْالدِينه‬ shilat: 34)
َ ‫) ْلَستَْ ْ َعلَي ِهمْ ْبِ هم‬21(ْ ‫فَذَ ِكرْ ْإِنَ َما ْأَنتَْ ْ همذَ ِك ٌْر‬
ْ‫صي ِط ٍْر‬ ْ )193ْ–ْ190ْ:‫)(البقرة‬193(
“Perangilah di jalan Allah msreka yang meme )239ْ–ْ21ْ:‫)ْ(الغاشية‬22(
rangi kalian, [tetapi] jangan melampaui batas. “Maka berilah peringatan, karena sesungguh
Allah sungguh tidak menyukai mereka yang nya kamu hanyalah orang yang memberi pe
melampaui batas. Bunuhlah mereka di mana ringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa
saja kalian menjumpainya, dan usirlah mereka atas mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah: 21-22)
sebgaimana mereka telah mengusir kalian.
Kezaliman yang mereka lakukan itu lebih ke ْ (256ْ:‫َي ِْ)البقرة‬ ُّ َْْ‫ِينْقَدْْتَبَيَن‬
ْ ‫الرش ْد هْ ِمنَْْالغ‬ ِْ ‫ّلْإِك َرا ْهَْفِيْالد‬ َْ
jam dari pembunuhan, dan janganlah kalian “Tidak ada paksaan untuk (memasu ki) agama
memerangi mereka di komplek Masjid Haram, (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang
kecuali jika mereka memerangi kalian di tem benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al-
pat itu. Jika hal itu mereka lakukan, maka bu Baqarah: 256)
nuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi mere َْْ‫ض ْ هكلُّ ههمْ ْ َج ِميعا ْأَفَأَنت‬
ْ ِ ‫ َولَوْ ْشَا َْء ْ َربُّكَْ ْ َْل َمنَْ ْ َمنْ ْفِي ْاألَر‬
ka yang kafir. Kemudian jika mereka berhenti )99ْ:‫اسْ َحتَىْيَ هكونهواْ همؤ ِمنِينَْْ(يونس‬ َْ َ‫تهك ِر ْههْالن‬
(dari memusuhi kalian), maka sesungguhnya Seandainya Tuhanmu menghendaki, niscaya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. orang-orang di muka bumi keseluruhannya
Perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fit akan beriman. Ma ka, apakah kamu akan
nah lagi dan ketaatan itu hanya semata-mata memaksa manusia agar semua mereka menja

77
untuk Allah. Jika mereka berhenti [memusuhi di mukmin?” (QS. Yunus: 99)
kalian], maka tidak ada permusuhan [lagi],
kecuali terhadap mereka yang zalim.” (al-Baqa ْْ‫ق ْ ِمنْ ْ َر ِب هكمْ ْ َف َمنْ ْشَا َْء ْ َفليهؤ ِمنْ ْ َو َمنْ ْشَا َْء ْفَل َيكفهر‬ ُّْ ‫ل ْال َح‬ِْ ‫َوقه‬
rah: 190-193) )29ْ:َ‫(الكه‬
ْ‫ن‬ َْ ِ ْ ‫ّل ْت َ هْكونَْ ْفِتن َْةٌ ْ َويَ هكونَْ ْالدِينهْ ْ هكلُّ ْه ه‬
ِْ ِ ‫ّللِ ْفَإ‬ ْ َ ْ ‫ َوقَاتِلهوههمْ ْ َحتَى‬ “Katakanlah, ‘Kebenaran itu datang nya dari
)39ْ:‫صي(األنفال‬ ِ ‫ّللاَْ ِب َماْ َيع َملهونَْْ َب‬ َْ ْ‫ن‬ َْ ِ ‫ انت َ َهواْفَإ‬Tuhanmu. Maka, siapa yang ingin [beriman],
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada berimanlah, dan siapa yang mau [kafir] biarkan
fitnah dan supaya aga ma itu semata-mata lah” (al-Kahfi: 29)
untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafir ْ‫ام‬ ِْ ‫نْال َمس ِج ِْدْال َح َر‬ ِْ ‫صد ُّو هكمْْ َع‬ َ ْْ‫ّلْيَج ِر َمنَ هكمْْ َشنَآنهْْقَو ٍْمْأَن‬ْ َ ‫ْ َو‬
an), maka sesungguhnya Allah Ma ha Melihat ْ‫علَى‬ ‫ه‬
َ ْ ‫ّل ْتَعَ َاونوا‬ ْ ‫أَنْ ْت َعتَد هوا ْ َوتَعَ َاونوا ْ َعلى ْالبِ ِْر ْ َوالتق َوى ْ َو‬
َ َ َ ‫ه‬
apa yang mereka kerja kan.” (al-Anfȃl: 39) )2ْ:‫بْ(المائدة‬ ِْ ‫شدِي ْد هْال ِعقَا‬ َْ ْ‫ن‬
َ َْ‫ّللا‬ َْ ْ‫انْ َواتَقهوا‬
َْ ‫ّللاَْ ِإ‬ ِْ ‫اِإث ِْمْ َوالعهد َو‬ ِ
ْ َ ‫ث ْ َو َجدت ه هموههمْ ْ َو‬
ْ‫ّل‬ ْ‫فَإِنْ ْت ََولَوا ْفَ هخذهوههمْ ْ َواقتهلهوههمْ ْ َحي ه‬... “Janganlah kebencian kalian kepada suatu ka
ْ‫صلهونَْ ْ ِإلَى‬ ِ َ‫ّل ْالَذِينَْ ْي‬ْ َ ‫)ْ ِإ‬89(ْ ‫َصيرا‬ ِ ‫ّل ْن‬ ْ َ ‫ تَت َ ِخذهوا ْ ِمن ههمْ ْ َو ِليًّا ْ َو‬um karena mereka mengha langi kalian meng
َ
ْْ‫هورههمْْأن‬ ‫صد ه‬ ‫ص َرتْْ ه‬ ‫ه‬
ِ ‫اقْأوْْ َجا هءوكمْْ َح‬ َ ْ َ ‫ قَو ٍْمْبَينَ هْكمْْ َوبَي َن ههمْْ ِميث‬unjungi Masjidil Haram, mendorong kalian ber
ٌ
ْْ‫ط ههمْ ْ َعلَي هكم‬ َ ‫سل‬َ َْ ْ ‫ يهقَاتِلهو هكمْ ْأَوْ ْيهقَاتِلهوا ْقَو َم ههمْ ْ َولَوْ ْشَا َْء‬buat curang [kepada mereka]. [Sebalik nya]
َ َ‫ّللاه ْل‬
ْ‫سلَ َْم ْفَ َما‬َ ‫ن ْاعتَزَ لهو هكمْ ْفَلَمْ ْيهقَاتِلهو هكمْ ْ َوأَلقَوا ْإِلَي هك هْم ْال‬ ِْ ِ ‫ فَلَقَاتَلهو هكمْ ْفَإ‬jalinlah kerjasama dengan me reka atas dasar
َْْ‫ست َِجد هونَْ ْآخ َِرينَْ ْي ِهريدهون‬ َ ْ)90(ْ ْ‫سبِيل‬ َ ْ ْ‫ّللاهْلَ هكمْ ْ َعلَي ِهم‬ َْ ْ ‫ل‬ َْ َ‫ َجع‬kebajikan dan takwa, dan jangan jalin kerjasa
ْ‫سوا‬ ‫ل ْ َما ْ هردُّوا ْ ِإلَىْال ِفتنَ ِْة ْأهر ِك ه‬ َْ ‫ أَنْ ْ َيأ َمنهو هكمْ ْ َو َيأ َمنهوا ْقَو َم ههمْ ْ هك‬ma atas dasar dosa dan permusuhan. Bertak
ْْ‫سلَ َْم ْ َويَ هكفُّوا ْأَي ِديَْ ههم‬ َ ‫فِي َها ْ َفإِنْ ْلَمْ ْيَعت َِزلهو هكمْ ْ َويهلقهوا ْإِلَي هك هْم ْال‬
walah kalian kepada Allah, Sungguh Allah
amat berat siksa-Nya.”(al-Mȃ′idah: 2)
ْْ‫ثْثَ ِقفت ه هموههمْْ َوأهو َلئِ هكمْْ َج َعلنَاْ َل هكمْْ َع َلي ِهم‬ ْ‫فَ هخذهوههمْْ َواقتهلهوههمْْ َحي ه‬
َ ْ ‫صو هكمْ ْشَيئا‬ ‫ّل ْالَذِينَْ ْ َعاهَدتهمْ ْ ِمنَْ ْال همش ِر ِكينَْ ْث ه َْم ْلَمْ ْيَنقه ه‬
ْ َ ‫ ْ ِإ‬
)91ْ–ْ89ْ:‫)ْ(النساء‬91(ْ‫سلطاناْ هم ِبينا‬
‫ه‬
ْْ‫ُاه هِروا ْ َعلَي هكمْ ْأَ َحدا ْفَأ َ ِت ُّموا ْ ِإلَي ِهمْ ْ َعهدَههمْ ْ ِإلَى ْ همدَ ِت ِهم‬
َ ‫َولَمْ ْيه‬
“…jika mereka berpaling, maka tawan dan bu
nuhlah mereka di mana pun kalian menemui )4ْ:‫ّللاَْي ِهحبُّْْال همت َ ِقينَْْ(التوبة‬ َْ ْ‫ن‬ َْ ِ‫إ‬
nya, dan janganlah kalian ambil seorang pun di “Kecuali orang-orang musyrik yang kalian
antara mereka menjadi pelin dung, dan peno telah mengadakan perjanjian [damai dengan
long, kecuali orang-orang yang meminta perlin mereka] dan mereka tidak mengurangi sesuatu
dungan kepada suatu kaum, yang kalian dan pun [dari isi perjanjian itu] dan tidak [pula]
kaum itu telah ada perjanjian [damai] atau mereka membantu siapa pun yang memusuhi
yang datang kepada kalian itu mereka merasa kalian. Maka terhadap mereka itu penuhilah
keberatan memerangi kalian dan memerangi janjinya sam pai batas waktunya. Sungguh
kaumnya. Seandainya Allah mau, niscaya dibe Allah mencintai mereka yang bertakwa.” (al-
rikanNya kekuasaan kepada mereka terhadap Tawbah:4)
mu, maka mereka pasti akan memerangimu. ْ‫اركَْ ْفَأ َ ِجر ْهه ْ َحتَى ْيَس َم َْع‬ َ ‫ َوإِنْ ْأ َ َح ْد ٌ ْ ِمنَْ ْال همش ِر ِكينَْ ْاستَ َج‬
Tetapi jika mereka membiarkan dan tidak me ْ:‫ّل ْ َيعلَ همونَْ ْ(التوبة‬ ْ َ ْ ‫ّللاِ ْث ه َْم ْأَب ِلغ ْههْ َمأ َمنَ ْههْذَ ِلكَْ ْ ِبأ َ َن ههمْ ْقَو ٌْم‬
َْ ْ ‫ك ََل َْم‬
merangi kalian, malah mengajukan usulan per )6
damaian kepada kalian, maka Allah tidak “Jika ada di antara orang-orang musyrik itu
memberi jalan bagi kalian [untuk menawan meminta perlindungan kepadamu, maka lin
dan membunuh] mereka. Nanti kalian akan dungilah, agar dia berkesempatan mendengar
bertemu dengan golongan lain, yang mengi firman Allah; kemudian antarkan dia ke tempat
nginkan keamanan dari kalian dan dari kaum yang aman baginya. Perlakuan serupa itu diper
nya. Setiap mereka diajak kembali kepada fit lukan karena mereka tidak mengetahui [ha
nah (syirik), mereka pun terjun ke dalamnya. kekat ajaran Islam].” (al-Tawbah: 6)
Dari itu, jika mereka tidak membiarkan kalian ْ‫صى ْ ِب ِْه ْنهوحا ْ َوالَذِي ْأَو َحينَا‬ ِْ ‫ع ْلَ هكمْ ْ ِمنَْ ْالد‬
َ ‫ِين ْ َما ْ َو‬ َْ ‫ ْش ََر‬
dan tidak pula mau mengajukan usul perda َ َ
ْ‫سى ْأنْ ْأقِي هموا‬ َ ‫سى ْ َو ِعي‬ َ ‫ِيم ْ َو همو‬ َ ‫إِلَيكَْ ْ َو َما ْ َو‬
َْ ‫صينَا ْبِ ِْه ْإِب َراه‬
maian kepa damu, serta tidak menahan tangan ْ‫ّلْتَتَفَ َرقهواْفِي ِْهْ َكب َْهرْ َعلَىْال همش ِر ِكينَْْ َماْتَدعهوههمْْ ِإلَي ِْه‬
ْ َ ‫الدِينَْْ َو‬
mereka [dari memerangimu], maka tawan dan َ َ
ْ:‫ّللاه ْيَجتَبِي ْإِلي ِْه ْ َمنْ ْيَشَا هْء ْ َويَهدِي ْ ِإلي ِْه ْ َمنْ ْيه ِنيبهْ ْ(الشورى‬ َْ
bunuhlah mereka di mana saja mereka ditemui. )13
Mereka itulah orang-orang yang Kami berikan “Dia telah mensyariatkan bagi kali an agama
kepada kalian alasan yang nya ta [untuk yang dulu pernah diwasi atkan oleh Nuh dan
menawan dan membunuh mereka].” (al-Nisȃ′:

78
89-90) ajaran yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan juga sama dengan yang telah Kami ajarkan
ْ‫ث‬ْ‫خ ْاألَش هه هْر ْال هح هر هْم ْفَاقتهلهوا ْال همش ِر ِكينَْ ْ َحي ه‬ َْ َ‫سل‬
َ ‫فَإِذَا ْان‬ kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegak
ْ‫ص ٍْد‬
َ ‫ل ْ َمر‬ ‫َو َجدت ه هموههمْ ْ َو هخذهوههمْ ْ َواح ه‬
َْ ‫ص هروههمْ ْ َواقعهد هوا ْلَ ههمْ ْ هك‬ kanlah agama dan janganlah kalian berpecah-
َْ‫ّللا‬
َْ ْ‫ن‬ َ َ
ْ ِ‫سبِيل ههمْْإ‬ ُّ َ َ ‫فَإِنْْت َابهواْ َوأَقَا همواْال‬
َ ْ‫ص َل ْة َْ َوآت هَواْالزكَا ْة َْف َخلوا‬
َ belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
]5ْ:‫ورْ َر ِحي ٌْمْ}ْ[التوبة‬ ٌْ ‫َغفه‬ musyrik agama yang kamu seru mereka kepa
“Apabila sudah berlalu bulan-bulan Haram itu danya. Allah menarik kepada agama itu orang
maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
mana saja kalian jumpai mereka, dan tangkap untuk memeluk [agama] Nya orang yang mau
lah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di kembali [kepada-Nya].” (al-Syûrȃ: 13)
tempat pengintaian. Jika mereka telah bertau
bat dan mendirikan sholat serta menunai kan ْ‫ّل‬ ْ َ ‫ّل ْ ِمنْ ْبَع ِْد ْ َما ْ َجا َء هه هْم ْال ِعل هْم ْبَغيا ْبَي َن ههمْ ْ َولَو‬ ْ َ ِ‫َو َما ْتَفَ َرقهوا ْإ‬
zakat, maka berilah mereka kebebasan. Sung ْْ‫ي ْبَينَ ههمْ ْ َو ِإ َن‬ َْ ‫ض‬ِ ‫س ًّمى ْلَقه‬ َ ‫ل ْ هم‬ ٍْ ‫سبَقَتْ ْ ِمنْ ْ َر ِبكَْ ْ ِإلَى ْأ َ َج‬ َ ْ ٌ‫َك ِل َم ْة‬
guh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penya ْ‫ب‬ َ
ٍْ ‫َاب ْ ِمنْ ْبَع ِدهِمْ ْل ِفي ْشَكٍْ ْ ِمن ْهه ْ هم ِري‬ َْ ‫ورثوا ْال ِكت‬ ‫ه‬ ‫ه‬
ِ ‫الَذِينَْ ْأ‬
yang.” (al-Tawbah:5) )14ْ:‫(الشورى‬
“Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah-be
ْْ‫ط َعنهوا ْفِي ْدِي ِن هكم‬ َ ‫ َو ِإنْ ْنَ َكثهوا ْأَي َما َن ههمْ ْ ِمنْ ْبَع ِْد ْ َعه ِدهِمْ ْ َو‬lah, kecuali setelah mereka mengetahui dengan
ْ)12(ْ َْ‫ّل ْأَي َمانَْ ْلَ ههمْ ْلَعَلَ ههمْ ْيَنتَ ههون‬
ْ َ ْ ْ‫ فَقَاتِلهوا ْأَئِ َم ْةَ ْال هكف ِْر ْإِنَ ههم‬pasti[bahwa Mu hammad bukan dari keturuan
ْ‫ل‬ِْ ‫سو‬ ‫الر ه‬ ْ ‫ّل ْتهقَاتِلهونَْ ْقَوما ْ َن َكثهوا ْأَي َمانَ ههمْ ْ َو َه ُّموا ْبِإِخ َر‬
َ ْ ِ‫اج‬ ْ َ َ ‫ أ‬Bani Israil] karena itu timbullah kedeng kian di
ْْ‫ق ْأَنْ ْتَخشَوْهه ْ ِإن‬
ُّْ ‫اّلله ْأَ َح‬
َْ َ‫ل ْ َم َرٍْة ْأَتَخشَونَ ههمْ ْف‬ َْ ‫ َوههمْ ْ َبدَ هءو هكمْ ْأَ َو‬kalangan mereka[terhadap Muhammad]. Kalau
)13ْ،12ْ:‫)(التوبة‬13(َْْ‫ هكنتهمْْ همؤ ِم ِنين‬bukanlah kare na sudah ada ketetapan yang
“Jika mereka merusak sumpah setelah merati telah ada dari Tuhanmu [untuk menang guhkan
fikasinya, dan mencerca agama kakian, maka azab mereka] sampai waktu yang ditentukan,
perangilah para pemimpin kafir itu, karena maka pastilah me reka sudah dibinasakan.
mereka itu benar-benar orang yang tidak dapat Sungguh orang-orang yang telah diwariskan
dipegang janjinya. [Tindakan keras itu perlu kepada mereka Alkitab (Taurat dan Injil)
dilakukan] agar mereka berhenti [berbuat keru sesudah mereka, benar-benar berada dalam ke
sakan]. Kenapa kalian tidak mau memerangi raguan yang gawat sekali terhadap Alkitab
mereka yang telah merusak sumpah (janjinya); itu.” (al-Syûrȃ:14)
dan berencana mengusir Rasul dan bahkan me
rekalah yang pertama kali memicu api pepe
rangan? Apa kalian takut kepada mereka? pada
hal Allah-lah yang patut kalian takuti, jika
kalian memang mukmin sejati.” (al-Tawbah:
12-13)

ْ َ ‫ّل ْبِاليَوْ ِْم ْاْل ِخ ِْر ْ َو‬


ْ‫ّل‬ ْ َ ‫اّلل ْ َو‬
َِْ ِ‫ّل ْيهؤ ِمنهونَْ ْب‬ ْ َ ْ َْ‫قَاتِلهوا ْالَذِين‬
َْْ‫ق ْ ِمن‬ِْ ‫ّل ْيَدِينهونَْ ْدِينَْ ْال َح‬ ْ َ ‫سوله ْهه ْ َو‬ َْ ْ ‫يه َح ِر همونَْ ْ َما ْ َح َر َْم‬
‫ّللاه ْ َو َر ه‬
ْْ‫عنْ ْيَ ٍْد ْ َوههم‬ َ ‫ه‬
َ ْ ‫َاب ْ َحتى ْيهعطوا ْال ِجزيَ ْة‬ َ َْ ‫الَذِينَْ ْأهوتهوا ْال ِكت‬
)29ْ:‫صا ِغ هرونَْْ(التوبة‬ َ
“Perangilah mereka yang tidak beriman kepada
Allah, hari akhirat, dan tidak mengharamkan
apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya
serta tidak pula beragama dengan agama Allah,
yakni mereka yang telah diberi Alkitab. [Ke
tentuan ini berlaku] sampai dengan mereka
membayar jizyah(pajak diri) secara tunai de
ngan penuh ketundukan.” (al-Tawbah: 29)
ْ‫ َوقَاتِلهوا ْال همش ِر ِكينَْ ْكَافَةْ ْ َك َما ْيهقَاتِلهو َن هكمْ ْكَافَةْ ْ َواعلَ هموا‬..

79
)36ْ:‫ّللاَْ َم َْعْال همت َ ِقينَْْ(التوبة‬
َْ ْ‫ن‬َْ َ ‫أ‬
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka pun memerangi kamu
semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah
selalu bersama mereka yang ber takwa.” (al-
Taubah:36)

Dalam tabel di atas tampak kepada kita dua kelompok ayat yang secara tekstual terlihat
bertentangan. Kelompok pertama (kolom perang, sebelah kiri) memerintahkan umat Islam
memerangi orang-orang kafir, munafik, musyrik, dan sebagainya. Sementara pada kelompok
kedua (kolom damai, sebelah kanan) Allah menganjurkan umat Islam agar menciptakan
perdamaian, dengan memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk memeluk agama
apapun yang mereka yakini. Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Bahkan, umat Islam
diperintah untuk memberikan perlindungan terhadap mereka yang non-muslim tersebut.
Pertentangan antar ayat-ayat Alqur′an ini secara dogmatis transendental tidak mungkin
terjadi karena Allah telah menegaskan bahwa Alqur′an itu tidak ada pertentangan antara ayat
yang satu dengan ayat yang lainnya, sebagaimana ditegaskan Allah SWT di dalam surat Al-Nisȃ′
ayat 82 sebagai berikut:
ْ )82ْ:‫ّللاِْلَ َو َجد هواْفِي ِْهْاختِْ َلفاْ َكثِيراْ(النساء‬ ْ َ َ‫ْأَف‬
َْ ْ‫لْيَتَدَب هَرونَْْالقهرآنَْْ َولَوْْكَانَْْ ِمنْْ ِعن ِْدْغَي ِْر‬
“Kenapa mereka tidak mau merenungkan isi Alqur′an? Seandainya Alqur′an itu tidak berasal
dari Allah, niscaya mereka akan menemukan berbagai pertentangan yang banyak di dalamnya”.

Kalau dicermati lebih jauh lagi, ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam memerangi
kaum kafir itu sebenarnya tidak serta merta. Artinya, perang tersebut baru dapat dilaksanakan
setelah memenuhi persyaratan yang memadai. Misalnya, ayat 190 dari Al-Baqarah yang
merupakan ayat pertama yang turun secara resmi memerintahkan umat Islam untuk memerangi
orang kafir. Ayat ini turun setelah didahului oleh maklumat perang yang dicantumkan Allah
dalam surat Al-Hajj ayat 39.127

127
Lihat Abû Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Ansharȋ al-Qurthubȋ, al-Jami’ li-Ahkȃm al-Qur′ȃn , t.tp.,
1954 M/1373 H, Jilid II, hlm. 347; Sayyid Quthub, Tafsȋr fi Zhilal al-Qur’ȃn , t.tp.: Dar al-Syurûq, cet. ke-24, 1995
M/1415 H, Jilid I, Juz 1-4, hlm. 185; Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alqur’an ,
Jakarta: Lentera Hati, cet. ke-1, 2000 M/1421 H, hlm. 392.

80
ٌْ ‫ّللاَْ َعلَىْنَص ِرهِمْْلَقَد‬
ْ )39ْ:‫ِيرْ(الحج‬ َْ ْ‫ن‬ ‫أهذِنَْْ ِللَذِينَْْيهقَاتَلهونَْْ ِبأَنَ ههمْْ ه‬
َْ ‫ظ ِل همواْ َو ِإ‬
Telah diizinkan (berperang) bagi mereka yang diperangi, karena mereka benar-benar telah
dizalimi. Allah sangat mampu menolong dan memenangkan mereka itu.”
Menurut al-Qurthubi, ayat ini turun setelah didahului oleh beberapa ayat, yakni dimulai
dari perintah agar umat Islam menahan diri dan membalas perbuatan jahat mereka dengan
perbuatan baik, sebagaimana tercantum dalam surat Fushilat ayat 34 yang berbunyi:
ْ ْْ)34ْ:‫سنهْْفَإِذَاْالَذِيْبَينَكَْْ َوبَينَ ْههْ َعدَ َاو ْة ٌْ َكأَنَ ْههْ َو ِليْْ َح ِمي ٌْمْ(فصلت‬
َ ‫ِيْأَح‬
َْ ‫ّلْالس َِيئ َ ْةهْادفَعْْ ِبالَتِيْه‬
ْ َ ‫سنَ ْةهْ َو‬ ْ َ ‫ْ َو‬
َ ‫ّلْت َستَ ِويْال َح‬
“Tidak sama kebaikan dan kejahatan. [Dari itu] tolaklah kejahatan itu dengan yang lebih baik
[darinya]. Maka dengan demikian permusuhan yang terjadi di antara kedua belah pihak [akan
sirna]; seakan-akan antara keduanya telah terjalin persaudaraan yang sangat akrab”.

Kemudian turun ayat yang memerintahkan agar umat Islam memaafkan kaum kafir atas
perbuatan mereka seperti tercantum dalam surat al-Mȃ′idah ayat 13 yang berbunyi:
َْ ْ‫ن‬
ْ )13ْ:‫ّللاَْي ِهحبُّْْال همح ِس ِنينَْْ(المائدة‬ ْ‫فَاع ه‬
َْ ‫َْ َعن ههمْْ َواصفَحْْ ِإ‬
“Maka, maafkanlah mereka dan berjabat tangan dengan mereka. Sungguh Allah mencintai
mereka yang berbuat ihsan.”

Setelah itu, turun ayat yang menjelaskan bahwa Nabi hanyalah pemberi peringatan dan
beliau tidak berhak memaksa mereka, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Ghasyiyah ayat
21-22 yang berbunyi:
َ ‫)ْلَستَْْ َعلَي ِهمْْ ِب هم‬21(ْ‫فَذَ ِكرْْ ِإنَ َماْأَنتَْْ همذَ ِك ٌْر‬
ْ )22ْ-21ْ:‫)(الغاشية‬22(ْ‫صي ِط ٍْر‬
“Maka berilah peringatan, karena sebenarnya kamu hanya ditugasi memberi peringatan.ْKamu
tidak berhak memaksa mereka”.

Karena perbuatan kaum kafir yang semakin melampaui batas sampai menghalangi umat
Islam untuk melakukan umrah, maka turunlah ayat yang mengizinkan perang (QS. Al-Hajj: 39),
diiringi oleh QS. Al-Baqarah: 190.128
Jadi, perintah perang tersebut baru diturunkan Allah setelah orang-orang kafir bertindak
zalim dan kejam sekali kepada umat Islam. Itu berarti, memerangi kaum kafir bukan didasarkan
atas kebencian terhadap mereka. Sebab, jika perang dilakukan karena rasa benci, maka Allah
SWT melarangnya secara tegas, seperti yang tercantum dalam firman-Nya pada al-Mȃ′idah ayat
2:
ْ‫اِإث ِْم‬ ْ َ ‫ام ْأَنْ ْت َعتَد هوا ْ َوتَعَ َاونهوا ْ َعلَى ْالبِ ِْر ْ َوالتَق َوى ْ َو‬
ِ ْ ‫ّل ْتَعَ َاونهوا ْ َعلَى‬ ِْ ‫ج ِْد ْال َح َر‬
ِْ ‫ن ْال َمس‬ َ ْ ْ‫شنَآنهْ ْقَو ٍْم ْأَن‬
ِْ ‫صدُّو هكمْ ْ َع‬ َ ْ ْ‫ّل ْيَج ِر َمنَ هكم‬
ْ َ ‫ َو‬...
ْ ْ)2ْ:‫بْ(المائدة‬ ِْ ‫شدِي ْد هْال ِعقَا‬ َْ ْ‫ن‬
َ َْ‫ّللا‬ َْ ْ‫انْ َواتَقهوا‬
َْ ‫ّللاَْ ِإ‬ ِْ ‫َوالعهد َو‬
“Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-
halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-
128
al-Qurthubȋ, op.cit., hlm. 647.

81
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.”

Tampak dengan jelas bahwa perintah memerangi orang-orang kafir dalam ini dan ayat-
ayat yang lain yang tercatum dalam tabel di atas bukan dikarenakan kekufuran mereka,
melainkan sebagai pembalasan terhadap tindakan biadab dan penganiayaan yang mereka lakukan
pada umat Islam.129 Selain sebagai pembaْ lasan terhadap kekejaman mereka, perang itu
berfungsi untuk mempertaْhankan diri dan menegakkan serta menjunjung tinggi kalimat Allah.
Berdasarkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut, tampak dengan jelas bahْ wa selama
periode Makkah, sekalipun umat Islam terjepit dan disiksa secara kejam, mereka tetap bersabar
dan tidak menyerang sedikit pun. Ini membuktikan bahwa Islam tidak datang sebagai musuh,
tapi sebagai teman sejawat yang penuh dengan kasih sayang.
Kasih sayang itu juga terbukti ketika Nabi dilempari dengan batu oleh anak-anak orang
Thaif ketika Nabi minta suaka kepada familinya di sana. Nabi tidak membalas meskipun dia
terluka oleh lemparan itu. Bahkan, dia menolak tawaran Jibril untuk membalas perbuatan orang-
orang Thȃ′if itu, seraya berucap, “Saya diutus untuk menebarkan kasih sayang, bukan untuk
balas dendam. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku karena mereka belum tahu.”
Tapi, karena kekejaman mereka telah melampaui batas, tak ada jalan lain untuk
menghentikan perbuatan biadab mereka kecuali dengan kekuatan senjata. Maka, setelah hijrah ke
Madinah, mulailah Allah memerintahkan perang untuk menghadapi orang-orang kafir yang
sudah kelewat batas itu. Kondisi seperti yang digambarkan itu sejalan dengan lafal ْ ْ‫الَذِينَْ ْيهقَاتِلهونَ هكم‬
dalam al-Baqarah ayat 190 (lihat tabel sebelah kiri), yakni dengan menggunakan fi’il mudhari’
(kata kerja masa sekarang atau yang akan datang).

129
Kekejaman dan kebiadaban orang-orang kafir itu sungguh di luar perikemanusiaan seperti yang dialami
oleh keluarga Amar bin Yasir. Mereka (orang kafir) menyiksa keluarga tersebut sehingga ibunya menjadi syahid
pertama dalam Islam. Ketika Nabi lewat di tempat penyiksaan itu, beliau berkata, “Sabarlah keluarga Yasir,
balasan kalian adalah surga.” (Lihat Abdur Rahman al-Suhaili, Al-Raudah Al-Unuf, (tahqiq Abdur Rahman al-
Wakil), Tunis: Dar al-Kutub al-Haditsah, Jilid III, t.th., hlm. 201-202). Begitu pula Bilal bin Rabah, mereka
menyiksanya dengan cara meletakkan batu besar di atas dadanya sambil ditidurkan telentang di atas gurun pasir
tanpa busana di bawah terik matahari yang membakar kulit (Ibid., hlm. 199-200). Bahkan, leher Nabi ketika sedang
shalat mereka ikat lalu ditarik ke belakang. Tidak puas dengan tindakan sporadis itu, mereka melakukan isolasi total
terhadap Rasul dan pengikutnya di perkampungan Bani Hasyim selama tiga tahun. Hampir saja mereka mati
kelaparan. Begitulah kekejaman yang dilakukan kafir Quraisy terhadap umat Islam. Karena berbagai tindakan
mereka yang melampui batas ini, maka Nabi dan para pengikutnya terpaksa melakukan beberapa kali hijrah, seperti
ke Habsyi. (ibid., hlm. 203-215)

82
Hal ini mengindikasikan bahwa perintah perang tersebut diturunkan Allah karena orang-
orang kafir itu melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin. Lantas, Allah memberi izin
kepada umat Islam untuk melakukan serangan balasan terhadap kaum kafir demi menegakkan
kebenaran dan keadilan. Itulah sebabnya dalam lanjutan ayat itu Allah melarang umat Islam
melampaui batas (‫ )وّل ْتعتدوا‬dalam memerangi orang-orang kafir, yakni terbatas pada mereka
yang melakukan serangan (para prajurit). Oleh karenanya, kaum wanita dan anak-anak atau para
pendeta tidak boleh dibunuh.
Nabi Muhammad SAW juga menyatakan hal yang sama pada saat beliau melepaskan
pasukan ke medan perang, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadis berikut:
ْ‫ْوّلْتعتدواْوّل‬،‫ْقاتلواْفيْسبيلْهللاْمنْكفرْباهلل‬،‫ْأخرجواْباسمْهللا‬:‫ْإذاْبعثْجيوشهْقال‬.‫ْم‬.‫عنْابنْعباسْكانْرسولْهللاْص‬
‫تغلواْوّلتمثلواْوّلتقتلواْالولدانْوّلْأصحابْالصوامع‬
“Dari Ibnu ‘Abbȃs, saat melepas pasukannya, Rasulullah berkata, ‘Berangkatlah kalian atas
nama Allah, perangilah di jalan Allah orang-orang yang kafir kepada-Nya, dan janganlah kalian
melampui batas, berlebih-lebihan, berlaku kejam, dan janganlah membunuh anak-anak, jangan
pula membunuh para pendeta.”

Hadis ini diriwayatkan oleh imam-imam hadis, seperti Imam Ahmad dan Abu Daud
dengan jalur yang berbeda. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim terdapat hadis yang menjelaskan
bahwa Rasul melarang membunuh wanita dan anak-anak. Hadis itu berbunyi:
.‫ْفأنكرْقتلْالنساءْوالصبيان‬،‫عنْابنْعمرْقالْوجدتْامرأةْفيْبعضْمغازىْالنبىْصْمْمقتولة‬
“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata, “Ada seorang perempuan terbunuh dalam suatu
peperangan bersama Nabi. Lantas beliau, benar-benar menyatakan ketidaksenangannya terhadap
tindakan membunuh wanita dan anak-anak”.

Dari sini tampak bahwa perintah perang tersebut ditujukan khusus bagi orang-orang kafir
yang memerangi kaum muslimin. Oleh karena itu, anak-anak, wanita, dan para pendeta tidak
boleh dibunuh sebab mereka tidak ikut berperang. Pada ayat selanjutnya ditegaskan pula jika
orang kafir itu telah mau berdamai dan berhenti memerangi umat Islam, maka mereka tidak
boleh lagi diperangi karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Al-Anfȃl: 39 (tabel sebelah kiri) juga mengindikasikan hal yang sama. Apabila orang
kafir telah berhenti memerangi umat Islam, maka kita tidak boleh memerangi mereka. Hal yang
sama juga ditegaskan Allah dalam surat Al-Nisȃ′ ayat 89-91 (tabel sebelah kiri). Tetapi
sebaliknya, jika pada suatu waktu umat Islam diperangi lagi, maka perintah memerangi kaum
kafir kembali berlaku.

83
Di dalam ayat 12 dan 13 dari al-Tawbah (tabel sebelah kiri) perintah memerangi orang
kafir (ahli kitab) dikarenakan mereka telah merusak perjanjian yang telah diratifikasi, lalu
mereka kembali memerangi umat Islam dan mencaci agama Islam serta merencanakan siasat
buruk untuk mengusir Nabi dari Madinah. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain kecuali
menghadapi mereka dengan senjata. Maka, maklumat perang pun kembali dikumandangkan.
Dalam konteks ini, Allah menggunakan lafal ،‫ْهموا‬،‫ْطعنوا‬،‫نكثوا‬. Kata ini adalah kata kerja
masa lampau (fi’il madhi). Penggunaan kosakata semacam itu memberikan indikasi bahwa
perintah memerangi kaum kafir baru dilaksanakan setelah mereka menggunakan berbagai
kecurangan. Dengan demikian, perintah perang di sini juga merupakan balasan terhadap
kecurangan yang mereka lakukan serta perbuatan mereka merendahkan agama Allah. Bukan
karena membenci atau ingin memaksa mereka masuk Islam, melainkan disebabkan sikap
ambivalen dan perlawanan yang selalu mereka tujukan terhadap ajaran Islam.
Dengan demikian, amat logis bila di dalam al-Tawbah: 29 (tabel sebelah kiri) secara tegas
Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk memerangi semua orang kafir yang mempunyai
sikap keras kepala, yakni tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan apa
yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta tidak beragama dengan agama yang benar.
Indikasi sikap keras kepala itu tergambar dalam penegasan Allah di ujung ayat tersebut, yaitu
keengganan mereka membayar jizyah. Karenanya, mereka harus diperangi sampai tunduk dan
‫( ) َحتَى ْيهع ه‬sampai mereka membayar jizyah secara
melunasi jizyah secara penuh (‫طوْا ْال ِجز َيةَ ْ َعن ْ َي ٍْد‬
tunai).
Jadi, jelas bahwa perintah untuk memerangi mereka itu bukan dikarenakan kekufuran
yang mereka anut, melainkan lebih disebabkan oleh pembangkangan terhadap pemerintah yang
sah, seperti keengganan membayar jizyah yang telah diwajibkan atas mereka sebagai warga
negara dalam Negara Islam. Kalau mereka sudah membayar jizyah dengan tunai serta tidak
menampakkan sifat angkuh dan sombong, maka tidak ada alasan untuk memerangi mereka.
Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sayyid Quthub. Ia menegaskan
bahwa ketidakberimanan orang kafir bukan alasan untuk memerangi mereka, karena Allah tidak
pernah memaksa manusia untuk memeluk Islam. Tapi, penolakan mereka untuk membayar
jizyah-lah yang memaksa umat Islam untuk memerangi mereka. Pembangkangan ini
mengindentifikasikan bahwa mereka tak mau tunduk di bawah pemerintahan Islam. Ini sekaligus
berarti mereka tidak mau ikut bersama umat Islam dalam menunjang dana sosial untuk

84
mempertahankan negara, melancarkan dakwah, dan bahkan menyelamatkan diri mereka
sendiri.130
Dengan demikian, empat sifat buruk atau negatif yang dimiliki orang kafir itu menurut
Quthub tidak bisa dijadikan alasan untuk memerangi mereka. Karena, penyebutan sifat secara
eksplisit itu hanya sekadar menggambarkan kondisi real yang ada pada diri mereka. Artinya,
dengan adanya sifat tersebut belum tentu mereka itu memusuhi Islam sebab secara langsung
mereka tak pernah membenci Islam hanya karena sifat-sifat itu.131
Itu berarti, ayat ini memerintahkan perang terhadap orang kafir bukan karena akidah
mereka, melainkan lebih disebabkan oleh pembangkangan mereka terhadap pemerintah yang sah
(ulil al-amri) yang menurut Alqur′an wajib ditaati sebagaimana taat kepada Allah dan Rasul.132
Jadi, ayat ini sejalan dengan ayat 9 dari surat Al-Hujarat sebagai berikut:
َْ ْ ‫َان ْ ِمنَْ ْال همؤ ِم ِنينَْ ْاقتَتَلهوا ْفَأَص ِل هحوا ْبَينَ هه َما ْفَإِنْ ْبَغَتْ ْ ِإحدَا هه َما ْ َعلَى ْاألهخ َرى ْفَقَاتِلهوا ْالَتِي ْتَب ِغي ْ َحتَى ْت َ ِفي َْء ْ ِإلَى ْأَم ِْر‬
ْْ‫ّللاِْفَإِن‬ َ ْ ْ‫َو ِإن‬
ِْ ‫طائِفَت‬
)9ْ:‫ِطينَْْ(الحجرات‬ َْ ْ‫ن‬
ِ ‫ّللاَْي ِهحبُّْْال همقس‬ ‫لْ َوأَق ِس ه‬
َْ ‫طواْ ِإ‬ ِْ ‫فَا َءتْْفَأَص ِل هحواْ َبينَ هه َماْ ِبال َعد‬
(Dan jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang, hendaklah kalian damaikan
antara keduanya! Tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangi
yang melanggar perjanjian itu sehingga mereka kembali pada perintah Allah. Kalau mereka telah
kembali, damaikanlah keduanya dengan adil, dan berlaku adillah kalian; sungguh Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil)

Hal yang sama juga dicantumkan Allah di dalam ayat yang memerintahkan umat untuk
memerangi orang musyrik, yakni al-Tawbah: 5 (tabel sebelah kiri). Selama mereka masih
membangkang, maka perintah perang masih tetap berlaku. Tetapi, kalau mereka telah insaf dan
bertaubat, maka tidak ada alasan lagi untuk memerangi mereka karena Islam menjunjung sifat
pemaaf dan rasa tasamuh.
Sayyid Quthub mengemukakan bahwa Islam selalu bersikap tasamuh pada pemeluk
agama lain yang berbeda selama mereka tunduk dan patuh di bawah pemerintahan Islam. Dalam
kondisi yang demikian, Islam tak membenci dan tidak akan memerangi mereka selamanya. Islam
tidak membedakan mereka dengan kaum muslimin. Tetapi kenyataannya, merekalah yang
kurang toleran terhadap umat Islam. Mereka senantiasa berupaya memusuhi umat Islam. 133

130
al-Qurthubȋ, op.cit., Jilid I, hlm. 1633-1634.
131
Ibid., Jilid III, hlm. 1631-1632.
132
Lihat al-Nisȃ’ ayat 59 berikut:
)59ْ:‫َْوأهولِيْاألَم ِرْمِ ن هكمْ(النساء‬
َ ‫س ول‬
‫واْالر ه‬
َ ‫ْوأَطِ يعه‬ َ ‫يَاْأَيُّ َهاْالَذِينَ ْآ َمنهواْأَطِ يعه‬
َ َ‫واّْللا‬
133
Al-Qurthubȋ, op.cit., III, hlm. 732.

85
Jadi, lantaran permusuhan yang selalu mereka tampakkan itulah, maka mereka harus
diperangi. Bahkan, Nabi SAW pun sampai bersumpah akan mengusir kaum ahli kitab (Yahudi
dan Nasrani) dari Jazirah Arab. Sumpah Nabi ini terwujud pada masa pemerintahan Khalifah
Umar dengan membersihkan wilayah Makkah, Madinah, Yamamah, dan sekitarnya dari orang-
orang Yahudi dan Nasrani.134
Adapun cara jihad terhadap orang munafik ialah dengan memperlakukan mereka secara
kasar dan sikap yang tak bersahabat. Tapi, di sini mereka dimusuhi bukan karena kemuna
fikannya, melainkan sebab sikap mereka yang memusuhi umat Islam. Menurut Ridha, perang
yang ditujukan kepada orang munafik ini ialah dalam rangka memberikan pelajaran dengan
harapan bisa membuat mereka jera. Selain itu, orang lain menjadi mengerti akibat dari sikap
permusuhan yang mereka lakukan tersebut.135
Semua ayat yang memerintahkan perang pada orang-orang kafir adalah ayat-ayat
madaniah (ayat yang turun setelah Nabi hijrah ke Madinah).136 Bahkan, lebih jauh lagi,
maklumat perang itu baru muncul setelah kaum kafir menghalangi umat Islam menunaikan
umrah ke Baitullah. Itu berarti, lebih dari tiga belas tahun (selama berada di Makkah) Nabi terus
bersabar dan tidak mengangkat senjata untuk memerangi orang-orang kafir. Padahal, umat Islam
mendapatkan perlakuan yang amat keras dan kejam dari mereka.
Saking sadisnya perbuatan kaum kafir Quraisy, Allah langsung mengan cam mereka
dengan azab yang pedih, yakni dengan menarik ubun-ubunnya kemudian diserahkan kepada
Malaikat Zabaniyah di neraka, seperti yang tertera di dalam al-‘Alaq ayat 15-18 yang berbunyi:
ْ )18ْ–ْ15ْ:‫)ْ(العلق‬18(َْ‫الزبَانِيَ ْة‬
َ ْ‫ع‬ ْ‫)ْفَليَد ه‬16(ْ‫َاطئ َ ٍْة‬
ْ‫)ْ َسنَد ه‬17(ْ‫عْنَا ِديَ ْهه‬ ِ ‫َاصيَ ٍْةْكَا ِذبَ ٍْةْخ‬
ِ ‫)ْن‬15(ْ‫اصيَ ِْة‬ َْ ‫ك‬
ِ َ‫َلْْلَئِنْْلَمْْيَنت َ ِْهْلَنَسفَعاْبِالن‬
(Ketahuilah, sungguh jika dia(Abu Jahal) tidak berhenti [mengrongrong dakwah Nabi] niscaya
akan Kami seret seret dia dari ubun-ubunnya; (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi
durhaka. Maka, biarkan dia memanggil golongannya [untuk menolongnya], kelak Kami akan
memanggil Malaikat Zabani yah [untuk menyiksanya])

Ayat-ayat itu berkenaan dengan perlakuan kejam Abu Jahal (salah seorang paman Nabi);
bahkan ketika Nabi sedang shalat di depan Ka’bah, dia tega menjerat leher Nabi dan
menghelanya ke belakang. Untung Abû Bakar muncul dan langsung membebaskan beliau. Oleh
karena itu, amat masuk akal bila Allah langsung memberikan ancaman keras terhadap Abû Jahal

134
Rasyȋd Ridhȃ, Tafsȋr al-Qur’ȃn al-Hakȋm (al-Manar), t.tp.: Dȃr al-Fikr, cet. ke-2, X, hlm. 59-60.
135
Ibid,. hlm. 551.
136
Al-Suyûthȋ, al-Itqȃn, I, hlm. 35.

86
yang begitu kejam tersebut.137 Ancaman ini sengaja diberikan supaya kafir Quraisy tidakْ berani
berbuat semena-mena; apalagi melampaui batas. Sekalipun khitȃb-nya ditujukan kepada Abû
Jahal sesuai dengan asbȃb nuzul-nya,138 namun ayat tersebut berlaku bagi siapa saja yang
bersikap dann berbuat sebagaimana yang dilakukan Abû Jahal itu Abû Jahal. Ini sesuai dengan
kaidah: ْ‫ب‬
ِ َ‫سب‬
َ ‫ص ْال‬
ِ ‫صو‬ ْ ْ ‫( ال ِعب َرة ه ْبعه همو ِم ْاللَف ِظ‬yang menjadi patokan ialah keumuman lafal, bukan
‫ّلَبخْ ه‬
kekhususan sebab). Hal tersebut didasarkan atas beberapa alasan sebagai berikut:
1. Hujjah yang harus dipegangi adalah lafal ayat, sedangkan sebab-sebab yang terjadi hanya
berfungsi sebagai penjelas;
2. Pada prinsipnya, kandungan lafal memiliki pengertian umum, terkecuali ada qarȋnah
(indikator) yang menghendaki konotasi lain; dan
3. Para sahabat Nabi dan mujtahid di berbagai tempat dan periode berpegang pada teks ayatnya
dan bukan pada sebab yang terjadi.139
Fakta sejarah juga membuktikan penderitaan umat Islam karena ulah dan tingkah laku
kaum kafir Quraisy di Makkah sehingga kaum muslimin pun terpaksa melakukan hijrah ke
Thȃ′if dan Habasyah. Siksaan demi siksaan beliau tanggung bersama sahabat-sahabat setianya
selama periode Makkah. Tapi, kaum muslimin senantiasa bersabar dan menahan diri karena
belum ada izin perang. Malah sebaliknya, umat Islam disuruh membalas perbuatan mereka
dengan sikap sopan santun.
Kesabaran dan sikap umat Islam itu dapat dijadikan bukti yang sangat kuat bahwa dalam
ajaran Islam perang bukan dimaksudkan untuk memaksa manusia agar mereka memeluk Islam,
melainkan lebih disebabkan oleh sikap mental dan perilaku mereka yang selalu membangkang
terhadap pemerintah Islam yang sah. Bahkan, mereka mengangkat senjata untuk memerangi
umat Islam. Berkaitan dengan itu, Quthub mengemukakan bahwa hal ini disebabkan kebesaran

137
al-Rȃzȋ ,Fakhr al-Dȋn Muhammad bin ‘Umar, al-Tafsȋr al-Kabȋr (Mafȃtih al-Ghayb), Beirut: Dȃr al-Kutub
al-‘Ilmiyah, XVI, t.th., hlm. 20. Ancaman Allah itu terbukti pada waktu Perang Badar sejumlah pembesar Quraisy
terbunuh, termasuk Abû Jahal; ketika itulah jasadnya ditarik dari ubun-ubunnya sebagai simbol penghinaan yang
teramat sangat, apalagi bagi seorang tokoh besar selevel Abû Jahal.(Lihat…………………..)
138
Al-Wȃhidȋ mengemukakan suatu riwayat yang berasal dari Ibnu Abbȃs tentang latar belakang turunnya
ayat tersebut. Pada suatu hari, ketika Nabi melakukan shalat, datanglah Abû Jahal seraya berkata, “Bukankah aku
telah melarangmu mengerjakan ini?” Lantas Nabi menoleh kepadanya. Abû Jahal memaki-makinya dengan ucapan
yang amat kasar. Dia bersumpah, “Demi tuhan, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kelompok saya lebih
banyak.” Maka, turunlah ayat ini [yang merupakan ancaman balasan terhadap ancaman yang diberikan Abû Jahal
terhadap Nabi Muhammad SAW]. Lihat al-Wȃhidȋ, Asbȃb al-Nuzûl (ed. Ahmad Shaqar), t.tp.: t.pn., cet. ke-2, 1984
M/1404 H, hlm. 494.
139
Al-Suyûthȋ, al-Itqȃn fi ‘Ulûm al-Qur’ȃn , Beirut: Dȃr al-Fikr, t.th., II, hlm. 30-31; al-Zarqȃnȋ, Manȃhil ȃl-
‘Irfȃn fi ‘Ulûm al-Qur’ȃn , t.tp.: ‘Isa al-Bȃb al-Halabȋ, t.th., Juz I, hlm. 118-122; Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi
‘Ulum Alqur’an , Beirut: Muassasat al-Risalah, 1980 M/1400 H, hlm. 85.

87
hati umat Islam yang mau memaafkan orang kafir. Kalau mereka telah menghentikan perbuatan
jahatnya itu, mereka diayomi dengan kasih sayang karena mereka telah masuk pada barisan umat
Islam.140
Apa yang diungkapkan Sayyid Quthub di atas tidaklah berlebihan, sebab Alqur′an
sendiri mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh
َ ‫ْ َو َما ْأَر‬
ْ َ ‫سلنَاكَْ ْ ِإ‬
alam, sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat Al-Anbiyȃ′ ayat 107:ْ ‫ّل‬
"ْ‫" َرح َمةْْ ِلل َعا َل ِمين‬
(Aku tidak mengutusmu kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta).ْ Dalam kaitan inilah
ayat-ayat yang persuasif dan toleran terhadap kaum kafir itu datang kepada mereka, sehingga
mereka menjadi terayomi. Untuk lebih jelasnya, bandingkan kembali dengan ayat-ayat dalam
tabel sebelah kanan yang telah dicantumkan di atas.
Apabila diamati dengan saksama ayat yang tercantum dalam tabel sebelah kanan itu,
maka jelas bahwa tidak ada pertentangan yang konfrontatif antara kedua kelompok ayat itu
karena masing-masing membawa pesan yang berbeda. Sebagai contoh, ayat 256 dari surat al-
Baqarah (tabel sebelah kanan):
ُّ َْْ‫ِينْقَدْْتَبَيَن‬
ْ ‫الرش ْد هْ ِمنَْْالغ‬
)256ْ:‫َي ِْ(البقرة‬ ْ َ 
ِْ ‫ّلْإِك َرا ْهَْفِيْالد‬
(Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sungguh telah jelas yang benar dari yang
sesat)

Ayat ini turun berkaitan dengan salah satu keluarga dari kalangan kaum Anshar yang
ingin memaksa anak-anak mereka untuk masuk Islam. Maka, mereka bertanya kepada Rasul,
sehingga turunlah ayat itu sebagai jawabannya.141
Dari peristiwa yang melatarbelakangi ayat itu, makin jelas bagi kita bahwa Allah
memang memberikan kebebasan penuh kepada manusia untuk memeluk agama apa saja yang
mereka mau. Bahkan, tidak beragama pun tidak dikecam oleh Allah. Tidak adanya paksaan
tersebut dikarenakan sudah jelas mana yang baik dan buruk seperti apa yang tercantum pada
ujung ayat ini. Sikap lapang dada seperti yang dipahami dari ayat ini juga ada dalam al-Fushilat:
34, QS. al-Ghȃsyiyah: 21 dan 22, serta Yûnus: 99 (lihat tabel sebelah kanan).
Bahkan, Allah menjelaskan secara lebih tegas bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri
tidak mampu memberikan hidayah kepada orang yang dikasihi dan dicintainya sekalipun, seperti
pamannya sendiri (Abû Thȃlib), sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Qashash ayat 56:

140
Al-Qurthubi, op.cit., Jilid I, hlm. 187-190.
141
Al-Wȃhidȋ, op.cit., hlm. 77-78.

88
ْ ْ)56ْ:‫ّللاَْيَهدِيْ َمنْْيَشَا هْءْ َوه َْهوْأَعلَ هْمْ ِبال همهتَدِينَْْ(القصص‬
َْ ْ‫ن‬َْ ‫ّلْت َهدِيْ َمنْْأَح َببتَْْ َولَ ِك‬
ْ َ َْْ‫ِإنَك‬
(Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk)

Jadi, tugas Rasul hanya menyampaikan petunjuk kepada umatnya, seperti tercantum
dalam surat al-Mȃ′idah ayat 92:
‫فَاعلَ همواْأَنَ َماْ َعلَىْ َر ه‬
ْ‫سو ِلنَاْالبَ َل ه‬
)92ْ:‫غْال همبِينهْْ(المائدة‬
(Maka ketahuilah bahwa tugas Rasulullah hanyalah menyampaikan (risalah Allah)

Pesan yang semakna dengan itu juga terdapat dalam surat yang sama pada ayat 99:
ْ‫ّلْال َب َل ه‬
)99ْ:‫غْ(المائدة‬ ْ َ ‫لْ ِإ‬
ِْ ‫سو‬ َ ْ‫ َماْ َعلَى‬
‫الر ه‬
)Tugas Rasulullah hanya sekadar menyampaikan risalah(
Apakah umat manusia mau beriman atau tidak, itu adalah urusan mereka masing-masing
seperti diungkapkan Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 29 (lihat tabel sebelah kanan). Jika
demikian, maka siapapun tidak punya hak untuk memaksa orang lain untuk memeluk agama
Islam. Nabi yang langsung menerima perintah (risalah) dari Allah saja tidak bisa menunjuki
paman yang paling dicintainya untuk memeluk Islam, apalagi manusia biasa.
Dengan penerapan pola pikir (platform) seperti itu, maka tidak akan terjadi perpecahan di
tengah masyarakat. Kehidupan masyarakat akan rukun dan damai, rasa kebersamaan terasa
kental, persaudaran amat akrab, saling menghormati, dan menghargai menjadi pemandangan
dalam kehidupan mereka. Itulah profil masyarakat madani yang kita dambakan.
Masyarakat majemuk dengan ciri-ciri seperti itulah yang dapat disebut masyarakat
qur′ani. Masing-masing anggota masyarakat, baik secara individual, keluarga, maupun
masyarakat dan bangsa, hidup dalam suasana yang tenteram dan tenang, jauh dari hiruk pikuk,
kegaduhan dan fitnah, apalagi dari permusuhan dan peperangan.
Berdasarkan kenyataan itu, jelas konteks ayat perdamaian berbeda dengan ayat-ayat yang
memerintahkan perang karena ayat-ayat perang itu diturunkan berkenaan dengan pemberantasan
kejahatan dan kezaliman yang dilancarkan oleh orang-orang kafir. Sebaliknya, ayat perdamaian
ini turun bukan dalam kasus perang, tapi berkenaan dengan upaya satu pihak untuk
mengislamkan pihak lain.
Dikarenakan konteks kedua ayat itu tak sama, maka dapat dikatakan antara keduanya
terdapat ta’ȃrudh (kontradiksi). Oleh karenanya, kedua ayat itu dipakai dan dijadikan pedoman
dalam kehidupan bersama dengan sesama warga yang hidup di tengah-tengah masyarakat

89
majemuk yang menganut berbagai agama dan kepercayaan. Jadi, tidak ada jalan untuk
melakukan tarjȋh terhadap salah satu dari ayat tersebut. Jika hal itu dilakukan, justru dapat
merusak universalitas ajaran Alqur′an itu sendiri.
Apabila diamati lebih jauh, di dalam ayat-ayat yang memerintahkan perang itu, Allah
secara transparan memberikan batas dan aturan yang tegas agar tidak sembarangan atau
membabi buta dalam berperang. Misalnya, Allah berfirman, “Perangilah mereka sehingga
berhenti berlaku kejam, zalim, dan mungkar” Ayat ini sejalan dengan ayat 4 dan 6 dari al-
Tawbah (lihat tabel sebelah kanan).
Dari petunjuk ayat-ayat itu, terlihat jelas bahwa perang yang disyariatkan Islam dilakukan
untuk mempertahankan diri dari serangan musuh (defensif) dan dalam upaya mencegah makin
menjadi-jadinya kekejaman dan kezaliman yang orang kafir lakukan. Jadi, umat Islam tidak
membuka fron pertempuran secara sengaja guna menghancurkan orang-orang kafir yang menjadi
musuh uamt Islam itu. Hal ini terbukti, bahwa umat Islam tak pernah melakukan serangan,
kecuali setelah mereka diserang.
ْ )194ْ:‫لْ َماْاعتَدَىْ َعلَي هكمْْ…ْ(البقرة‬
ِْ ‫نْاعتَدَىْ َعلَي هكمْْفَاعتَد هواْ َعلَي ِْهْبِ ِمث‬
ِْ ‫ْ…فَ َم‬
(…Siapa pun yang menyerang kalian, maka balas serangan itu, sebanding dengan serangannya
terhadap kalian…)

Demikian pula ketika salah seorang di antara orang musyrik itu meminta perlindungan,
maka Allah memerintahkan supaya mereka diberi perlindungan dan diantarkan ke tempat yang
aman, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya pada ayat 6 dari al-Tawbah. (lihat tabel sebelah
kanan).
Tindakan memberikan perlindungan yang diperintahkan dalam ayat itu merupakan bukti
bahwa agama Islam adalah agama yang penuh toleransi. Orang kafir dibiarkan mengetahui Islam
secara benar terlebih dahulu kemudian mereka dibebaskan untuk memilih apakah masuk Islam
atau tidak. Kalau mereka memilih tetap dalam kekafirannya, maka perlindungan akan tetap
diberikan. Dari sinilah terlihat bahwa Islam tidak didakwahkan dengan pedang atau perang. Jadi,
tidak benar anggapan segelintir kaum orientalis yang mengatakan bahwa Islam senang
menumpahkan darah dan peperangan, sebagaimana diungkapkan Jimmy Carter, mantan Presiden
Amerika dalam bukunya, The Blood of Abraham.142

142
KH. Abdullah Wasi’an, Pendeta Menghujat Kiai Menjawab, Surabaya: Pustaka al-Fatah, Cet. I, 1997,
hlm. 289.

90
Penafsiran serupa terhadap ayat tersebut juga dikemukakan al-Thabarȋ dengan
mengemukakan beberapa riwayat yang intinya meminta Nabi Muhammad untuk memberikan
perlindungan kepada kaum musyrik.143 Demikian pula al-Rȃzȋ yang mengemukakan suatu
riwayat dimana dua orang laki-laki musyrik berkata kepada Ali bin Abȋ Thȃlib, “Kami ingin
menemui Rasulullah SAW karena kami ingin mendengar kalam Allah atau untuk keperluan lain,
apakah kami akan dibunuh?” Ali menjawab, “Tidak, karena Allah telah berfirman seraya
membaca ayat di atas.” Jadi, mereka harus diberi perlindungan agar mereka bisa mendengar
kalam Allah. Selanjutnya, jika mereka tidak ingin masuk Islam, maka mereka harus diantarkan
ke tempat yang aman.144 Al-Razi mengatakan, ayat ini merupakan argumentasi atau hujjah yang
dijunjung tinggi dalam Islam.145

SOLUSI MENGATASI KONFLIK


Setelah memerhatikan konteks ayat-ayat itu, jelas sudah bahwa secara tekstual dan
kontekstual Alqur′an tak pernah menganjurkan permusuhan apalagi berperang dengan kaum
non-muslim. Terjadinya perang tak lain dari ulah mereka sendiri yang selalu mencari celah untuk
memojokkan dan menginjak-injak Islam.
Dengan begitu, bisa dikatakan kedua kelompok ayat yang secara lahiriah tampak
kontradiktif itu pada hakikatnya saling melengkapi karena masing-masing ayat membawa pesan
yang berbeda. Jadi, jika terasa kontradiktif, sebenarnya bukan teks-teks ayat itu yang
berbenturan, tapi pemahaman atau persepsi ulama yang bertentangan dalam menyikapi ayat-ayat
tersebut. Itu berarti, penegasan Allah bahwa di dalam Alqur′an tidak ada pertentangan adalah
suatu fakta yang valid, sesuai dengan firman-Nya di dalam al-Nisȃ′: 82.
Sebagai pengamalan atau implementasi dari ayat-ayat suci Alqur′an ini, umat Islam tidak
boleh melakukan konfrontasi terhadap kaum non-muslim. Malah sebaliknya, orang Islam
seharusnya menganjurkan agar selalu hidup rukun dan damai dengan sesama warga yang
berbeda agama. Mari kita amati dan teladani perilaku Rasul bersama para sahabat beliau dalam
mewujudkan suatu masyarakat madani yang modern dan damai, sehingga diakui oleh dunia
internasional.

143
Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyat, Cet. I, 1992 M/ 1412 H, Jilid VI, hlm.
321-322.
144
Al-Razi, op.cit., Jilid 15, hlm. 181.
145
Ibid.

91
Kalau kita melihat ke belakang pada masa awal Islam, yakni semasa Rasul membentuk
masyarakat Islam di bawah satu pemerintahan yang islami di Kota Madinah, maka kita akan tahu
bahwa umat Islam dan non muslim mampu hidup berdampingan dan bahu-membahu demi
mempertahankan negara, sebagaimana terlihat dalam “Piagam Madinah”.146 Hal ini merupakan
bentuk pengamalan Alqur’an yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sesuai dengan
penegasan Allah dalam al-Nahl: 44 bahwa beliau memang ditugasi untuk menjadi teladan dan
menjelaskan ajaran Islam kepada umat.
ْ (44ْ:‫لْ ِإلَي ِهمْْ َولَ َعلَ ههمْْ َيت َ َف َك هرونَْْ(النحل‬ ْ ِ َ‫َوأَنزَ لنَاْ ِإلَيكَْْالذِك َْرْ ِلت ه َب ِينَْْ ِللن‬
َْ ‫اسْ َماْنه ِز‬
(Dan Kami turunkan kepadamu Alqur’an , agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir)

Masyarakat Madinah adalah prototipe masyarakat modern yang pluralistik yang terdiri
atas berbagai macam suku bangsa dan agama atau keyakinan. Namun, mereka bersatu dalam
membela negara. Begitu pula pada masa pemerintahan Khulafa’ al-Rȃsyidȋn.147
Jika seandainya ayat tersebut memang memerintahkan memerangi orang kafir, munafik,
dan musyrik secara mutlak tanpa dikaitkan dengan tingkah laku dan perbuatan mereka yang
merusak, tentunya Nabi sebagai penjelas Alqur′an akan melaksanakan perintah tersebut. Tetapi
kenyataannya, Nabi Muhammad SAW hidup dengan masyarakat non muslim di Madinah,
sebagaimana digambarkan di atas. Begitu pula para sahabat beliau yang lainnya. ‘Umar bin al-
Khaththȃb pernah memberi nafkah kepada seorang Yahudi yang sudah tua dan tak punya
keluarga lagi sampai Yahudi tersebut meninggal.
Allah tidak membolehkan seorang muslim mengklaim bahwa dialah yang benar dan
pendapat lainnya salah, seperti tersirat dalam Saba′ ayat 24-26:
ْ‫ّل ْنهسأ َ ه‬
ْ‫)ْقهلْ ْ َيج َم هْع ْ َبي َننَا‬25(ْ َْ‫ل ْ َع َما ْت َع َملهون‬ ْ َ ‫ّل ْتهسأَلهونَْ ْ َع َما ْأَج َرمنَا ْ َو‬
ْ َ ْ ْ‫)ْقهل‬24(ْ ‫ين‬ َ ْ ‫ َو ِإنَا ْأَوْ ْ ِإيَا هكمْ ْلَ َعلَى ْههدى ْأَوْ ْفِي‬…
ٍْ ‫ض َل‬
ٍْ ‫ل ْ هْم ِب‬
ْ(26ْ–ْ24ْ:‫حْالعَ ِلي هْمْ)سبأ‬ ْ‫قْ َوه َْهوْالفَتَا ه‬ ْ‫َربُّنَاْث ه َْمْ َيفت َ ه‬
ِْ ‫حْبَينَنَاْبِال َح‬
(…Apakah kami atau kalian [hai orang-orang musyrik] yang berada di atas kebenaran atau
dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah, “Kalian tidak diminta bertanggung jawab atas
kejahatan yang kami lakukan dan kami juga tidak bertanggung jawab atas kejahatan yang kalian
lakukan”. Katakanlah, “Tuhan kami akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia akan
memberi keputusan antara kita dengan benar. Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha
Mengetahui”(

146
Abdur Rahman al-Suhaili, op.cit., Jilid 4, hlm. 240-243.
Selengkapnya, lihat M. Abdel Haleem, “Tolerance in Islam”, di dalam The Islamic Quarterly, A. Review of
147

Islamic Culture, Vol. XLII, No. II, The Islamic Cultural Centre, 1998, hlm. 93; Lihat juga Nurcholish Madjid, Islam
Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, Cet. I, 1995, hlm. 189.

92
Bahkan, Alqur′an tidak melarang seorang muslim untuk berbuat baik dan memberikan
sebagian hartanya atau bantuan nafkah kepada ahli kitab (al-Baqarah: 272).148 Menurut Sa’ȋd bin
Jabir, ayat ini turun ketika Nabi melarang kaum muslimin untuk bersedekah kepada selain kaum
muslimin. Setelah ayat ini turun, maka Nabi memerintahkan agar umat Islam juga memberikan
sedekahnya kepada pemeluk agama lain. Dalam versi lain, Ibnu Hanafiah menjelaskan bahwa
ayat ini turun karena sebagian kaum muslimin tidak mau memberikan sedekah mereka kepada
non muslim.149
Dengan demikian, hak asasi manusia (HAM) yang dideklarasikan oleh PBB pada abad
modern sebenarnya telah diisyaratkan di dalam Alqur′an , seperti hak kebebasan beragama,
kemerdekaan individu, dan lain-lain. Itu berarti, Alqur′an telah terlebih dulu memunculkan
pemikiran modern. Bahkan, ada kemungkinan, pemikiran-pemikiran modern itu diilhami oleh
ajaran Alqur′an yang rasional. Hal ini diperkuat oleh fakta sejarah bahwa bangsa Eropa sebelum
kedatangan Islam – tulis Prof. Ali dari India– mereka masih bergelimang dalam lumpur
kebodohan. Umat Islamlah satu-satunya yang membawa obor peradaban pada waktu itu.150
Kemudian setelah terjadi kontak dengan Islam dan mereka menerapkan ajaran-ajaran
Islam, barulah mereka mulai bergerak maju. Ini sebagaimana dicatat Prof. Hitti bahwa sejak
penghujung abad 12 M sampai akhir abad ke-16 M Eropa didominasi oleh pemikiran-pemikiran
rasional yang dipelopori oleh Averroisme.151 Gerakan Averroisme ini pada abad ke-17 kemudian
membuahkan revolusi industri yang sampai sekarang telah menghasilkan produk-produk
teknologi canggih dalam berbagai bidang, seperti transportasi, komunikasi, informasi, dan
sebagainya.
Itu berarti, pencanangan kerukunan tersebut oleh Alqur′an dimaksudkan agar umat
manusia dapat hidup tenang dan aman. Kondisi ini sangat dibutuhkan demi meraih kebahagiaan
dunia dan akhirat. Sebab, tanpa adanya ketenangan dan ketenteraman, mustahil seseorang bisa
melakukan sesuatu, termasuk beribadah, bekerja, dan aktivitas lainnya, baik untuk dirinya
sendiri, maupun bagi keluarga, masyarakat, dan negara.

ْ‫ْوأَنتهم َّْل‬
َ ‫فْإِ َلي هكم‬
َ ‫ْو َماْتهن ِفقهواْمِ نْخَي ٍرْي َهو‬ ِ َ ‫ْوجه‬
َ ‫ِّْللا‬ َ ‫ْو َماْتهن ِفقهواْمِ نْخَي ٍرْفَ ِِلَنفه ِس هكم‬
َ ‫ْو َماْتهن ِفْقهونَ ْإِ َّلْابتِغَا َء‬ َ ‫ْولَك َِن‬
َ ‫ّْللاَْيَهدِيْ َمنْ َيشَا هء‬ َ ‫علَيكَ ْ ههدَاههم‬ َ ‫ْلَي‬
َ ْ‫س‬ 148

ْْْ)272ْ:‫تهُلَ همونَ ْ(البقرة‬


149
Al-Wahidi, op.cit., hlm. 82-83.
150
K. Ali, A Studi of Islamic History, Delhi: Idarh-I Adabiyat-I, Reprint, 1980, hlm. 181-182.
151
Philip K. Hitti, History of The Arab, London: The Macmillan Press, edisi ke-10, Reprinted, 1947, hlm.
583-584.

93
Jika demikian, maka penerapan kerukunan tersebut harus dilakukan secara simultan.
Berbagai ketegangan di tengah masyarakat yang kadang mengakibatkan bentrokan fisik bisa jadi
berkaitan erat dengan masalah kerukunan antar umat beragama. Hal ini bisa dilihat dari laporan-
laporan dan ulasan-ulasan media masa, baik cetak maupun elektronik.152

PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya, kitab suci Alqur′an tidak pernah mengajarkan permusuhan dan konflik
dengan penganut agama lain, baik agama samawi maupun agama wadh‘i (buatan manusia).
2. Timbulnya konflik banyak disebabkan oleh pemahaman yang sempit (narrow minded)
dalam memahami ayat-ayat suci dan juga ikut dipengaruhi oleh aliran atau pemahaman
mazhab yang dianut oleh seseorang. Lalu dia memahami ayat suci tersebut sesuai dengan
pemahaman mazhab yang dianutnya, bukan sebagaimana adanya menurut ayat suci itu
sendiri.
3. Dari sudut ini, jika ingin mengatasi konflik yang terjadi di tengah masyarakat dan sekaligus
mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi antar umat berbeda agama, maka perlu
ditingkatkan pemahaman mereka terhadap ajaran agama secara benar, yakni yang bebas dari
pengaruh mazhab atau aliran, apalagi yang ekstrim dan mau menang sendiri.

-----0-----

152
Lihat Detak, No. 035, tanggal 23-29 Maret 1999, hlm. 14-17; 036, tanggal 30 Maret-12 April 1999, hlm.
4-5.

94
KEEMPAT

KONSEPSI PEREMPUAN
PERSPEKTIF ALQUR′AN

95
1
KONSEPSI ALQUR′AN
TENTANG PENCIPTAAN PEREMPUAN

A.PENDAHULUAN
Secara kodrati, lelaki dan perempuan merupakan makhluk Allah yang memiliki
perbedaan sekaligus persamaan. Namun, hal itu tidak berarti yang satu lebih unggul atau lebih
mulia dari yang lain, sehingga berpotensi memicu ketidak adilan dan perlakuan diskriminatif
antara keduanya. Adanya persamaan dan perbedaan tersebut lebih bersifat fungsional dan
merupakan sunnatullah yang sengaja diciptakan Allah demi kelangsungan hidup dan
kehidupan umat manusia di muka bumi ini dalam mengemban tugas-tugas kekhalifahan.
Bila kita mengamati ayat-ayat Alqur′an dari awal sampai akhir, maka akan ditemukan
tidak kurang dari 85 kali Allah menyebut lafadz “perempuan”, seperti niswah, nisa′, imra′ah,
dan sebagainya.153 Yang paling banyak ialah lafadz nisȃ′, yakni 59 kali (69,41%). Bahkan, di
dalam Alqur′an terdapat lima surat yang namanya mengindikasikan perempuan, yaitu al-
Nisȃ’, al-Thalȃq, al-Mujȃdilah, al-Mumtahanah, dan Maryam. Semua itu dapat dijadikan

153
Periksa surat-surat berikut: QS. Al-Baqarah (2): ayat 49, 187, 222, 223, 226, 231, 232, 235, 236, 282;
QS. Ali Imran (3): 14, 35, 40, 42, 61 (2 kali); QS. Al-Nisa’ (4): 1, 3, 4, 7, 11, 12, 15, 19, 22, 23 (2 kali), 24, 32, 34,
43, 75, 98, 127 (2 kali), 128, 129, 176; QS. Al-Maidah (5): 6; QS. Al-A’raf (7): 81, 83, 127, 141; QS. Hud (11): 71,
81; QS. Yusuf (12): 21, 30 (2 kali), 50, 51; QS. Ibrahim (14): 6; QS. Al-Hijr (15): 60; QS. Maryam (19): 5, 8; QS.
Al-Nur (24): 21 (2 kali), 60; QS. Al-Naml (27): 23, 55, 57; QS. Al-Qashash (28): 4, 9, 23; QS. Al-Ankabut (29): 32,
33; QS. Al-Sajdah (32): 30, 32 (2 kali), 50, 52, 55, 59; QS. Al-Mukmin (40): 25; QS. Al-Fath (48): 25; QS. Al-
Hujurat (49): 11 (2 kali); QS. Al-Dzariyat (51): 29; QS. Al-Mujadilah (58): 2, 3; QS. Al-Thalaq (65): 1, 4; QS. Al-
Tahrim (66): 10 (2 kali), 11; QS. Al-Lahab (111): 4.

96
bukti bahwa keberadaan perempuan di dunia ini betul-betul diakui secara eksplisit oleh
Alqur′an.
Di samping pengakuan terhadap eksistensi perempuan, Alqur′an juga mengatur
kehidupan mereka agar tidak salah langkah dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dengan
demikian, mereka akan dapat meraih kebahagiaan dari dunia yang fana ini sampai ke akhirat
yang abadi kelak.
Berangkat dari kondisi yang demikian, maka kajian tentang perempuan menjadi amat
penting karena pada saat ini ada kecenderungan perempuan ingin memperoleh kebebasan
yang melebihi kodratnya seperti pegulat, olahraga angkat besi dll. Namun, tulisan ini hanya
akan membahas seputar penciptaan perempuan perspektif Alqur′an. Kajian ini di abad
moderen seperti sekarang terasa semakin penting karena opini dunia telah terlanjur
menganggap, perempuan tercipta dari tulang rusuk Adam (laki-laki). Karenanya, mereka
dianggap subordianat dari kaum laki-laki. Tapi apakah Alqur′an juga menginformasikannya
kepada umat sebagaimana anggapan tersebut sehingga mendukung terbentuklah opini negatif
terhadap posisi perempuan sebagaimana digambarkan itu? Atau bolehjadi sikap tersebut
terbentuk oleh kisah-kisah lama yang tidak ada dasarnya?, dsb. Hal-hal serupa inilah yang
akan dijelaskan dalam tulisan ini.
B.PENCIPTAAN PEREMPUAN
Manusia terdiri atas dua unsur: jasmani dan ruhani. Mengenai penciptaan manusia itu,
Alqur′an menjelaskan kedua aspek tersebut. Dari segi jasmani, Alqur′an menginformasikan
bahwa manusia diciptakan berevolusi sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam surat Nuh
ayat 14:
ْ ْ)14ْ:‫ْ َوقَدْْ َخلَقَ هكمْْأَط َواراْ(نوح‬
(Sungguh Dia(Allah) telah menciptakan kalian berervolusi)(Nûh:14)

Informasi yang masih global ini kemudian dijelaskan Allah secara lebih

rinci pada ayat-ayat berikut:


ْ ْْْ)١١ْ:ْ‫ْ(الصفات‬ْْْْْ...
(...Kami telah menciptakan mereka (manusia)[berasal]dari tanah liat)(al-Shaffȃt: 11)

ٍْ ‫لْ ِمنْْ َح َمْإ ٍْ َمسنه‬


ْ )26ْ:‫ون(الحجر‬ ٍْ ‫صا‬
َ ‫صل‬
َ ْْ‫سانَْْ ِمن‬ ِ ْ‫َولَقَدْْ َخلَقنَا‬
َ ‫اِإن‬
(Sungguh Kami telah menciptakan manusia [berasal] dari tanah liat kering [yang berasal] dari
lumpur hitam yang diberi bentuk) (al- Hijr:26)

97
ِْ ‫لْكَالفَ َخ‬
ْ )14ْ:‫ارْ(الرحمن‬ ٍْ ‫صا‬
َ ‫صل‬
َ ْْ‫سانَْْ ِمن‬ ِ َْْ‫ َخلَق‬
َ ‫اِإن‬
(Dia menciptakan manusia [berasal] dari tanah kering seperti tembikar)(al-Rahmȃn:14)

ْْ‫)ْث ه َْم ْ َخلَقنَا ْالنُّطفَ ْةَ ْ َعلَقَةْ ْفَ َخلَقنَا ْالعَلَقَ ْةَْ همضغَة‬13(ْ ‫ين‬ ٍْ ‫)ْث ه َْم ْ َجعَلنَا ْههْنهطفَةْ ْفِي ْقَ َر‬12(ْ ‫ين‬
ٍْ ‫ار ْ َم ِك‬ ٍْ ‫س َللَ ٍْة ْ ِمنْ ْ ِط‬
‫سانَْ ْ ِمنْ ْ ه‬ ِ ْ ‫َولَقَدْ ْ َخلَقنَا‬
َ ‫اِإن‬
َ ‫ّللاهْأَح‬
ْ ْْ)14ْ–ْ12ْ:‫)(المؤمنون‬14(َْْ‫سنهْْالخَا ِل ِقين‬ َْ ‫امْلَحماْث ه َْمْأَنشَأنَا ْههْخَلقاْآخ‬
َ َ‫َرْفَتَب‬
َْ َْْ‫ارك‬ َ ‫سونَاْال ِع‬
َْ ُ َ ‫فَ َخلَقنَاْال همضغَ ْةَْ ِع‬
َ ‫ُاماْفَ َك‬
(Sungguh Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian
Kami jadikan saripati itu sperma [yang disimpan] di dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian sperma itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal otot, dan segumpal otot itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbeda dari yang
lain. Maka, Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (al-Mu′minûn: 12-14)

ٍْ ‫س َللَ ٍْةْ ِمنْْ َماءٍْْ َم ِه‬


ْ )8ْ:‫ينْ(السجدة‬ َْ ‫ث ه َْمْ َج َع‬
‫لْنَسلَ ْههْ ِمنْْ ه‬
(Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina) (al-Sajdah: 8)
ْ ْ)39ْ-ْ37ْ:‫َرْ َواألهنثَىْ(القيامة‬
َْ ‫نْالذَك‬ َ ْ‫لْ ِمن ْهه‬
ِْ ‫الزو َجي‬ َ َ‫)ْث ه َْمْكَانَْْ َعلَقَةْْفَ َخلَقَْْف‬37(ْ‫ي ٍْيهمنَى‬
َْ ‫)ْفَ َج َع‬38(ْ‫س َوى‬ ْ ‫ألَمْْ َيكهْْنهطفَةْْ ِمنْْ َم ِن‬
(Bukankah dia(manusia) dahulu setetes mani yang ditumpahkan [ke dalam rahim], kemudian
mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah memeroses penciptaannya, terus
menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan daripadanya berpasang-pasang an: laki-laki dan
perempuan)(al-Qiyȃmah: 37-39)

ٍْ ‫سانَْْ ِمنْْنهطفَ ٍْةْأَمش‬


ِ َ‫َاجْنَبتَ ِلي ِْهْفَ َجعَلنَا ْههْ َس ِميعاْب‬
ْ )2ْ:‫صيراْ(اِإنسان‬ ِ ْ‫إِنَاْ َخلَقنَا‬
َ ‫اِإن‬
)Sungguh Kami telah menciptakan manusia dari setetes sperma yang bercampur-baur dengan
ovum lalu Kami lebur keduanya menjadi satu. [Selanjutnya setelah kejadiannya sempurna],
maka Kami jadikan dia mampu mendengar dan melihat)( al-Insȃn: 2)

َْ َ‫احدَةٍْْ َو َخلَقَْْ ِمن َهاْزَ و َج َهاْ َوب‬


ْ ْْ)1ْ:‫ْ(النساء‬...ْ‫ثْ ِمن هه َماْ ِر َجاّلْْ َكثِيراْ َونِ َساء‬ ْ ٍ ‫اسْاتَقهواْ َر َب هك هْمْالَذِيْ َخلَقَ هكمْْ ِمنْْنَف‬
ِ ‫سْ َو‬ ْ‫يَاْأَيُّ َهاْالنَ ه‬
)Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanْyang telah menciptakan kalian berasal dari
satu unsur yang sama(saripati tanah); dari unsur ini pula Dia ciptakan istrinya; dan dari
keduanya(suami-istri itu) Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak
sekali)(al-Nisȃ′:1)

Di dalam urutan ayat-ayat itu tampak jelas bahwa Allah menciptakan manusia terus-
menerus berevolusi, mulai dari tanah, kemudian menjadi nuthfah, ‘alaqah, mudhgah, tulang
belulang, dan otot-otot. Sampai di sini, rampunglah penciptaan manusia secara fisik (jasmani),
baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam ayat-ayat di atas terlihat adanya suatu proses evolusi mulai dari saripati tanah,
kemudian anak cucu dan keturunannya melalui setetes seperma (nuthfah) terus berkembang
menjadi zigot (‘alaqah) yang bergantung di dalam rahim, terus berubah menjadi segumpal
daging (mudghah), lalu terbentuk tulang-belulang, kemudian tulang-belulang dibalut otot-otot.

98
Saat menjelaskan proses itu, Allah memakai kata “ْ‫ ”ث ه َم‬yang berkonotasi suatu proses
dalam jangka waktu yang relatif lama (evolution). Dengan demikian, dari sudut pandang ilmu
tafsir, eksistensi teori evolusi seperti dikemukakan para ilmuwan adalah sesuatu yang lumrah
dan dapat diterima secara rasional karena tidak bertentangan dengan Alqur′an.
Adapun tentang penciptaan ruhani manusia, Allah tidak menjelaskannya di dalam
Alqur′an secara rinci. Begitu juga Nabi Muhammad tidak memberikan penjelasan mengenai
hal ini. Allah hanya menginformasikan bahwa manusia laki-laki dan perempuan sama-sama
diberi ruh. Apa substansinya dan dari apa ruh itu diciptakan, tidak ada informasi. Dalam hal
ini, Allah malah terkesan amat tertutup dan hanya menegaskan, “Kalian tidak diberi ilmu
tentang ruh itu kecuali hanya secuil.”
Jadi, ilmu manusia tentang persoalan ini sangat dangkal sehingga sampai sekarang
tidak ada yang tahu substansi ruh, sepintar apapun mereka. Oleh karena itulah yang dapat
mereka amati hanya sebatas yang dapat dicapai melalui indera belaka, yakni fenomena ruh.
Mereka tak pernah mendapatkan informasi tentang substansinya, karena memang Allah tidak
memberikannya. Akibatnya, sampai saat ini ruh tetap menjadi suatu misteri, sebab ia termasuk
perkara gaib hakiki. Tapi, pernyataan bahwa manusia mempunyai ruh adalah suatu kenyataan
yang tidak terbantah dan diakui oleh semua ilmuwan sejak dulu sampai sekarang. Dalam hal
ini, Allah menyatakan sebagai berikut:
ْ ْ)29ْ:‫اجدِينَْْ(الحجر‬
ِ ‫س‬َ ْ‫وحيْفَقَعهواْلَ ْهه‬
ِ ‫س َويت ه ْههْ َونَفَختهْْ ِفي ِْهْ ِمنْْ هر‬َ ْ‫فَإِذَا‬
(Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan telah pula ditiupkan ke dalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian [hai para malaikat] kepadanya (Adam)dengan bersujud)
(al-Hijr: 29)
ْ )9ْ:‫(السجدة‬...ْ‫وح ِْه‬ ِ ‫خْفِي ِْهْ ِمنْْ هر‬ َ ْ‫ث ه َْم‬
َْ َ‫س َوا ْههْ َونَف‬
(Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya) (al-Sajdah:
9)

Dalam ayat-ayat di atas, informasi pemberian ruh kepada manusia masih bersifat
umum, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya diberi ruh yang sama.
Itu berarti, dari sudut penciptaan, kedua-duanya diciptakan dari unsur yang sama, yaitu
saripati tanah dan dilengkapi dengan ruh ilahi.
Jadi, secara substansial qur’ani, tidak ada alasan untuk membedakan kedua jenis itu
dari aspek kejadiannya. Tetapi, bias gender dapat terjadi di dalam penafsirannya, bukan
eksplisit dari ayat-ayat Alqur′an, karena Alqur′an hanya menginformasikan secara umum dan
global.

99
Mengenai penciptaan perempuan, Alqur′an menjelaskannya bersamaan dengan
penciptaan pria, seperti tampak di dalam ayat pertama dari surat al-Nisȃ′ yang telah dikutip di
awal. Namun, menurut tafsir Departemen Agama, lafadz nafs wahidah di dalam ayat itu
ditafsirkan dengan “diri yang satu”.154 Tafsiran serupa itu juga dijumpai dalam terjemahan
Prof. H. Mahmud Yunus.155 Tafsiran ini tampak sesuai dengan penjelasan al-Zamakhsyarȋ156
dan Ibnu Katsir.157 Mungkin dari sinilah muncul bias gender di dunia Islam, karena tafsir Ibnu
Katsir itu diakui umat Islam sebagai kitab tafsir yang dipercaya dan sangat representatif,
sehingga seakan-akan tafsir Ibnu Katsir itu tanpa kekeliruan.
Apabila ayat pertama dari surat al-Nisȃ′ itu diamati dengan saksama, maka secara
gamblang tampak bahwa ayat tersebut menginformasikan kepada kita bahwa Allah
menciptakan manusia (laki-laki) dari nafs wȃhidah dan istrinya juga diciptakan dari unsur itu.
Jadi, Alqur′an tidak menyebut tulang rusuk sebagaimana dipahami Ibnu Katsir dan
yang sepaham dengannya dari sebuah hadis yang sahih dari Nabi. 158 Demikian pula nafs
wahidah di dalam ayat tersebut dan juga kata nafs (‫ )نفس‬dalam berbagai bentuknya pada ayat-
ayat lain yang terulang sebanyak 295 kali di dalam Alqur′an,159 tidak ada yang berkonotasi
“Adam”. Berdasarkan kenyataan itu, maka menafsirkan nafs wahidah dengan “Adam” terasa
kurang didukung oleh ayat-ayat lain karena pengertian lafadz “nafs” di dalam Alqur′an tidak
menunjuk kepada diri Adam secara khusus, melainkan menunjuk kepada berbagai pengertian
sesuai dengan konteks pembicaraan, seperti “jiwa” sebagaimana terdapat dalam QS.12: 53;
89: 27; 81:14; 82: 7; dan lain-lain. Tidak sedikit di antara kosakata itu yang menunjuk kepada
konotasi jenis atau bangsa seperti terdapat di dalam surat-surat berikut:
ِ ‫لْلَ هكمْْ ِمنْْأَز َو‬
ْ ْْ)72ْ:‫(النحل‬...ْْ‫اج هكمْْبَنِينَْْ َو َح َفدَة‬ َْ َ‫لْلَ هكمْْ ِمنْْأَنفه ِس هكمْْأَز َواجاْ َو َجع‬ َْ ‫َو‬
َْ َ‫ّللاهْ َجع‬

154
Lihat Departemen Agama, Alqur′an dan Tafsirnya, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, Jilid II, t.th., hlm.
116.
155
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Mahmudiyyah, cet. V, 1954,
hlm. 64.
156
Al-Zamakhsyarȋ, Tafsȋr Al-Kasysyȃf, Beirût: Dȃr al-Ma’rifah, t.th., hlm. 492.
157
Ibnu Katsȋr, Tafsȋr al-Qur′ȃn Al-‘Azhȋm, Beirût: Dȃr al-Fikr, 1992 M, Jilid I, hlm. 553-554.
ْ )‫ إنْالمرأةْخلقتْمنْضلعْوإنْاعرضْشئْفىْالضلعْأعلهْفإنْذهبتْتقيمهْكسرتهْوإنْاستمتعتْبهاْوفيهاْعرجْ(حديثْصحيح‬158
“Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk, dan yang paling bengkok dari tulang rusuk itu
ialah yang paling atas. Oleh karenanya, jika kamu paksa meluruskannya dia akan patah, dan (sebaliknya) jika
kamu biarkan, dia akan selalu bengkok.”
159
Muhammad Fu′ȃd ‘Abd al-Bȃqȋ, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfȃzh al-Qur′ȃn , t.tp., Angkasa, t.th., hlm.
710-714.

100
(Allah telah menjadikan bagi kalian pasangan dari bangsamu sendiri[bangsa manusia; bukan
dari bangsa lain seperti hewan, jin,dsb] dan dilahirkan-Nya dari pasangan itu, anak-cucu.” (al-
Nahl: 72)
َْ َ‫ َو ِمنْْآيَاتِ ِْهْأَنْْ َخلَقَْْلَ هكمْْ ِمنْْأَنفه ِس هكمْْأَز َواجاْ ِلت َس هكنهواْإِلَي َهاْ َو َجع‬
ْ ْْْ)21ْ:‫لْبَي َن هكمْْ َم َودَةْْ َو َرح َمةْْ…(الروم‬
(Di antara tanda-tanda eksistensi dan kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan bagi kalian pasangan
dari bangsamu sendiri[bangsa manusia; bukan dari bangsa lain seperti hewan, jin,dsb], supaya
hati kalian tenteram kepadanya, dan ditumbuhkan-Nya di antara kalian rasa kasih saying) (al-
Rûm: 21)
ْ )128ْ:‫لْ ِمنْْأَنفه ِس هكمْْ…(التوبة‬ ٌْ ‫سو‬‫لَقَدْْ َجا َء هكمْْ َر ه‬
(Sungguh telah datang kepada kalian utusan[Allah] dari bagsamu sendiri[bukan dari bangsa
yang lain seperti hewan, jin, dsb.]) (al-Tawbah: 128)

Ketiga ayat yang dikutip di atas memakai lafadz ‫( ْأ َنفهس‬anfus) yakni jamak dari ‫س‬
ٌْ ‫نَف‬
(nafs) dalam konotasi bangsa atau jenis, bukan dalam arti yang lain. Selain itu, ada pula ayat
lain yang juga memberikan pengertian yang sama dengan konotasi kosakata di atas, seperti di
dalam surat al-Syûrȃ ayat 11:
ْ )11ْ:‫لْلَ هكمْْ ِمنْْأَنفه ِس هكمْْأَز َواجا…ْ(الشورى‬
َْ َ‫ َجع‬…
(Dia telah menjadikan pasangan bagi kalian dari bangsamu sendiri[bukan dari bangsa yang
lain seperti hewan, jin, dsb.]) (al-Syûrȃ:11)

Para ahli tafsir umumnya menafsirkan keempat ayat itu dengan “bangsa” atau “jenis”.
Baik mufassir bi al-ma’tsur, seperti Ibnu Katsȋr, maupun mufassir bi al-ra′y seperti al-
Zamakhsyarȋ dan al-Ȃlûsȋ, mereka sepakat bahwa kata ‫ انفس‬dalam ayat-ayat tersebut
berkonotasi bangsa atau jenis, bukan jiwa dan sebagainya.160
Pemaknaan lafadz ‫ اَنفهس‬dengan “bangsa” atau “jenis” seperti terdapat di dalam ayat di
atas terasa lebih tepat bila dipakaikan kepada kata ْ‫س‬
ٌ ‫ نَف‬yang ada pada ayat pertama dari surat
al-Nisȃ′. Pendapat ini juga dianut oleh Abû al-Isfahȃnȋ sebelum Rasyȋd Ridhȃ, sebagaimana
dikutip oleh al-Marȃghȋ.161
Berdasarkan pemahaman seperti yang telah dijelaskan itu, maka dapat disimpulkan
bahwa manusia semuanya berasal dari unsur yang sama, yaitu tanah: baik yang berkulit putih
maupun yang kulitnya berwarna. Tidak ada kelebihan yang satu dari yang lain. Demikian
pula, tak ada kelebihan laki-laki dari perempuan dari aspek asal kejadiannya karena keduanya

160
Lebih lanjut, lihat Tafsȋr Ibn Katsȋr, Jilid II, hlm. 490, 703; III, hlm. 320; IV, hlm. 132; Tafsȋr al-Kasysyȃf,
II, hlm. 223, 419; III, hlm. 218, 462; al-Ȃlûsȋ, Rûh al-Ma’ȃni, Dȃr al-Fikr, Juz 14, VII, t.th., hlm. 189; Tafsȋr al-Baghawȋ,
III, hlm. 438.
161
Ahmad Musthafȃ al-Marȃghȋ, Tafsȋr al-Marȃghȋ, Dȃr al-Fikr, Juz 4, II, t.th., hlm. 177.

101
sama-sama berasal dari tanah. Jadi, Hawa bukan berasal dari Adam seperti dianut oleh
sebagian besar ulama.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa perempuan menurut Alqur’an bukan diciptakan dari
tulang rusuk Adam, melainkan dari unsur yang sama dengan unsur Adam, yaitu saripati
tanah. Jika demikian, maka hadis sahih dari Rasulullah yang menginformasikan bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam, perlu diberi penjelasan yang memadai
agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami kedua nash itu.
Apabila keseluruhan teks hadis itu diamati dengan saksama, maka akan ditemukan
bahwa antara hadis dan ayat itu tidak perlu dipertentangkan karena secara tekstual keduanya
memang tidak kontradiksi. Sebab, ayat tersebut membicarakan tentang penciptaan semua
manusia dari unsur yang sama. Sementara hadis membicarakan sifat dasar perempuan, yakni
bagaikan tulang rusuk yang bengkok, sehingga bila dipaksa meluruskannya, maka dia akan
patah. Tapi, bila dibiarkan begitu saja tanpa upaya untuk meluruskannya, maka dia akan tetap
bengkok. Bila diamati lebih jauh, akan diperoleh pemahaman bahwa hadis tersebut memang
tepat menggambarkan posisi perempuan di tengah masyarakat, bahwa dia harus selalu berada
di samping laki-laki(suaminya) sebagai mitra dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan oleh
ِ ‫شقَائِ هق‬
Nabi SAW dalam hadis beliau: “ْ‫ْالر َجا ِل‬ َ ِ‫(” ِإنَ َما ْالن‬Para isteri itu ialah mitra suaminya
َ ْ ‫سا هء‬
[dalam menjalani kehidupan].
Tidak bisa dibayangkan, jika perempuan dikatakan tercipta dari tulang punggung,
maka ia akan terbelakang (tertinggal) terus, atau diciptakan dari tulang kaki, maka ia akan
terinjak terus. Begitu pula jika dia diciptakan dari tulang kepala, maka dia akan menginjak
terus, atau bila diciptakan dari tulang dada, maka dia akan mendahului laki-laki.
Tapi, dia disebutkan tercipta dari tulang rusuk yang berarti tempat yang sangat
berdekatan dengan tangan pria yang akan menjaga dan mengayominya. Karena itulah Allah
162‫صَاحبة‬
menyebut istri itu dengan sebutan َ ِ yang berkonotasi posisi yang sejajar setara dalam
menjalani kehidupan. Tidak ada posisi atasan ataupun bawahan, tapi satu level.
Jadi, kedua teks itu membicarakan dua hal yang berbeda. Karenanya, kurang tepat jika
hadis itu digunakan untuk menafsirkan ayat pertama dari surat Al-Nisȃ′. Apalagi Nabi sendiri
162
Periksa ayat-ayat Alqur’an ini:
)١٠١ْ:ْ‫ أنىْيكونْلهْولدْولمْتكنْلهْصاحبةْ(األنعام‬
(Bagaimana mungkin Dia mempunyai anak padahal Dia tidak punya istri)
)٣ْ:ْ‫ وأنهْتعالىْجدْربنا ماْاتخذْصاحبةْوّلْولداْ(الجن‬
(Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak [pula] beranak)

102
tidak pernah menegaskan bahwa hadis tersebut merupakan penafsiran dari QS. Al-Nisȃ′:1.
Karena penafsirannya tidak berasal dari Nabi, maka kita tidak wajib mengikutinya. Artinya,
kita tidak dilarang memberikan penafsiran yang berbeda dari penafsiran para ulama di masa
silam itu.
Dalam kaitan ini, Imam Malik menegaskan, “Pendapat siapa saja boleh diterima atau
ditolak kecuali sabda al-ma’shum (Rasulullah SAW).”163 Pemahaman serupa juga kita jumpai
pada penafsiran Yusuf Ali. Kata min nafsin wȃhidah diartikannya “a species, a nature, a
similarity”.164 Jadi, Allah menciptakan Adam dan Hawa dari bahan yang sama yaitu sama-
sama berasal dari tanah, bukan dari diri Adam yakni dari tulang rusuknya.
Mungkin berdasarkan kondisi yang demikian itu pula Riffat Hasan juga membantah
anggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan sama-sama dari
tanah. Menurutnya, ajaran yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
itu bertentangan dengan Alqur′an.165
C.PENUTUP
Berdasarkan kajian yang telah disampaikan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan,
antara lain:
1. Pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam ternyata
bukan berasal dari Alqur′an, melainkan dari pemahaman mufassir masa silam yang
nampaknya banyak dipengaruhi oleh pemikiran ahli kitab.
2. Di dalam Alqur′an, penciptaan perempuan ditempatkan pada level yang sama dengan laki-
laki. Jadi, jelas tidak adil bila perempuan disebut sebagai bawahan laki-laki.
3. Perempuan perlu memahami Alqur′an secara proporsional dan profesional agar mereka
mendapatkan pemahaman yang benar dari Alqur′an secara langsung sehingga tidak
diganggu oleh penafsiran-penafsiran yang tidak sesuai dengan martabat kaum perempuan,
apalagi yang memojokkan diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terbentengi dari
pemikiran-pemikiran negatif terhadap perempuan, seperti halnya pemikiran kaum
feminisme yang terkesan kebablasan dan cenderung lepas kontrol.

163
‘Abd al-Wahhȃb Khallȃf, Khulȃshah Tȃrȋkh al-Tasyrȋ’ al-Islȃmȋ, Jakarta: al-Majlis al-A’lȃ al-Indûnisȋ
li al-Da’wat al-Islamiyyat, Cet. XXXII, 1968, hlm. 102.
164
A. Yusuf Ali, The Holy Qur′an Text, Translation and Comentary, Mary Land, Amana Comp, 1983,
hlm. 78.
165
Riffat Hasan, “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam”, dalam Ulumul Qur’an, Vol. I, Jakarta, LSAF,
1990, hlm. 53.

103
-----nb-----

PANDANGAN ALQUR′AN
TERHADAP REPRODUKSI PEREMPUAN

A.PENDAHULUAN
Sebelum masuk pada inti pembahasan, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan “reproduksi”. Bila dikaitkan dengan “perempuan”, yang dimaksud
adalah hak perempuan dalam melakukan reproduksi atau haknya dalam pemeliharaan sarana
atau alat reproduksi. Tak kurang penting untuk dibahas ialah pemakaian istilah “reproduksi”

104
itu sendiri terhadap seorang anak manusia yang notabene adalah makhluk berakal yang
dimuliakan Allah, bukan benda mati seperti mesin atau alat-alat mekanik lainnya.
Pemakaiaan term “reproduksi” barangkali digunakan karena faktor dharuri
(keterpaksaan). Tidak ada istilah lain yang lebih tepat untuk menggantikannya. Asalkan kaum
perempuan tidak dianggap sama dengan mesin produksi, mereka mudah-mudahan tidak
keberatan menerimanya. Itulah sebabnya dalam tulisan ini penulis tetap memakai istilah
tersebut.
Reproduksi yang dimaksudkan di sini adalah proses melahirkan keturunan sebagai
upaya melestarikan kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Di sini peranan perempuan
(ibu) sangat penting sebab tidak dapat digantikan oleh siapa dan apa pun. Mustahil seorang
pria ingin mendapatkan keturunan dari dirinya sendiri tanpa melibatkan perempuan. Itu tidak
pernah dan tidak bakalan pernah terjadi, dikarenakan banyak faktor, antara lain laki-laki tidak
memiliki rahim. Air ketuban saja, sampai sekarang para ahli kedokteran di seluruh dunia
belum dapat menciptakannya.
Jadi, kaum laki-laki jangan bermimpi akan mendapatkan keturunan tanpa keterlibatan
sang perempuan. Tapi sebaliknya, perempuan dimungkinkan memperoleh keturunan tanpa
pria, seperti dibuktikan dalam kisah Maryam yang melahirkan Nabi Isa AS tanpa ayah
(QS.19:19-22). Lahirnya bayi manusia di awal abad ke-21 ini melalui teknologi kloning166
dapat dijadikan bukti nyata atas firman Allah tersebut.
Berdasarkan kondisi yang demikian, maka tulisan ini akan difokuskan pada hak-hak
reproduksi perempuan serta pemeliharaan sarana dan prasarananya dalam perspektif Alqur
′an.
B.KONSEPSI REPRODUKSI DALAM ALQUR′AN
Sebelum membahas ayat Alqur′an yang berbicara tentang reproduksi perempuan, kita
perlu menetapkan terlebih dahulu batasan yang jelas, apa saja sarana reproduksi perempuan
yang harus diperhatikan agar hak-haknya tidak terabaikan.
Jika diamati dengan saksama, kebutuhan perempuan pada hakikatnya berkaitan dengan
proses reproduksi, baik secara langsung maupun tidak. Kebutuhan terhadap pangan, sandang,

166
Tanggal 27 Desember 2002 Perusahaan Colonaid di Bahama yang dipimpin Briggite Boisselier
mengemukakan anak hasil kloningan perusahaan itu yang disponsori oleh Sekte Raelian. Lihat Harian Kompas,
“Kloningan Upaya untuk Hidup Selamanya”, 31 Desember 2002; dan Harian Sinar Harapan, “Mimpi Besar Sekte
Realian”, 28 Desember 2002.

105
dan papan misalnya, memang tidak berkaitan secara langsung dengan reproduksi, tetapi bila
ketiga hal itu tidak terpenuhi, maka proses reproduksinya akan terganggu. Namun, dalam
tulisan ini ketiga hal itu dan juga komponen lain yang tidak berhubungan langsung dengan
reproduksi, tidak akan dibahas.
Dengan demikian, yang akan dijadikan pokok bahasan ialah unsur-unsur yang
langsung berhubungan dengan proses reproduksi, seperti menstruasi, perkawinan, menyusui,
dan lain-lain. Batasan ini diperlukan agar uraian terfokus pada persoalan yang substantif
sekaligus memudahkan kita melacaknya di dalam ayat-ayat suci Alqur′an. Untuk lebih jelas
mari kita ikuti uraian berikut:
1.Menstruasi
Alqur′an meinginformasikan kepada kita tentang menstruasi sebagai berikut:

ْ‫هنْ ِمنْْ َحي ه‬


ْ‫ث‬ َ َ‫هنْ َحتَىْيَط ههرنَْْفَإِذَاْت‬
َْ ‫ط َهرنَْْفَأتهوه‬ ْ َ ‫يضْ َو‬
َْ ‫ّلْت َق َربهوه‬ َ ِ‫يضْقهلْْه َْهوْأَذىْفَاعت َِزلهواْالن‬
ْ ِ ‫سا َْءْفِيْال َم ِح‬ ِْ ‫َويَسأَلهونَكَْْ َع‬
ْ ِ ‫نْال َم ِح‬
َ َ ‫ّللاَْي ِهحبُّْْالت َ َوا ِبينَْْ َوي ِهحبُّْْال همت‬
ْ ْ)222ْ:‫ط ِه ِرينَْ(البقرة‬ َْ ْ‫ن‬ َْ ْ‫أ َ َم َر هك هْم‬
َْ ‫ّللاهْ ِإ‬
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah! ‘Haid itu menimbulkan rasa perih’.
Oleh sebab itu, hendaklah kalian tidak melakukan hubungan seks dengan mereka pada
waktu haid itu sampai mereka pulih kembali. Apabila mereka telah pulih darinya, maka
gaulilah mereka seperti biasa sesuai aturan dan norma yang diajarkan Allah. Sungguh Allah
menyukai mereka yang bertaubat dan selalu bersih.” (QS. al-Baqarah: 222)
Kosakata “menstruasi” dalam bentuk noun (‫ )المحيض‬terulang sebanyak tiga kali di
dalam Alqur′an: dua kali di dalam al-Baqarah ayat 222 dan satu kali di dalam al-Thalȃq ayat
4. Sementara dalam bentuk kata kerja hanya satu kali termaktub, yakni pada al-Thalȃq ayat
4 (‫)يحضن‬. Meskipun di dalam Alqur′an ada dua ayat yang memuat kosakata perihal
menstruasi ini, namun secara kontekstual yang membicarakan tentang haid itu hanya surat
al-Baqarah ayat 222, sementara haid dalam al-Thalȃq diungkapkan pada konteks
perhitungan ‘iddah (masa tunggu) bagi istri-istri yang dicerai suaminya.
Berangkat dari kondisi itu, maka yang akan dibahas ialah ayat ke-222 dari surat al-
Baqarah, sedangkan ayat ke-4 dari al-Thalȃq tidak dibahas. Menstruasi bagi seorang
perempuan adalah keniscayaan alami yang tidak dapat dipungkiri dan tidak bisa ditolak.
Menstruasi sekaligus menjadi bukti bahwa dia benar-benar perempuan sejati dan normal
serta menunjukkan bahwa sarana reproduksinya berfungsi secara baik.
Bila ada perempuan mengalami menstruasi (datang bulan) tidak teratur (irreguler),
apalagi jika tidak datang sama sekali, maka boleh dikatakan dia tidak termasuk perempuan

106
normal atau bisa jadi disebabkan kondisi fisiknya yang kurang sehat. Perempuan semacam
ini perlu mendapat perhatian serius, terutama bagi mereka yang telah berkeluarga, karena
kemungkinan besar wanita tersebut tidak dapat mengandung. Jadi, meskipun organ
reproduksinya lengkap dan baik, namun jika datang bulannya tidak teratur, maka sulit
baginya untuk mendapatkan keturunan. Di sini perlu perhatian yang serius terhadap kondisi
perempuan yang mengalami masa haid (al-mahȋdh).
Adanya ayat Alqur′an yang secara eksplisit menjelaskan masalah haid bisa dijadikan
bukti bahwa hal itu mempunyai fungsi yang amat urgen dan harus mendapat perhatian
serius dari semua pihak. Tidak cukup hanya dari pihak perempuan itu sendiri secara pribadi,
melainkan juga harus mendapat perhatian dari orangtua atau keluarga dekat bagi yang masih
lajang (gadis) dan dari suami bagi yang sudah menikah. Itu berarti masalah haid seorang
perempuan adalah masalah bersama yang harus ditangani secara serius karena dia
berhubungan dengan kelanjutan dan kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi
ini.
Berdasarkan kenyataan itu, maka amat logis jika Alqur′an memberikan petunjuk
yang tegas dan lugas berkenaan dengan hal-hal yang berhubungan dengan haid, antara lain
seperti yang tercantum dalam ayat 222 dari al-Baqarah itu.
Ada beberapa hal yang diinformasikan oleh Allah dalam ayat itu, antara lain sebagai
berikut:
2.Kondisi Haid
Dalam Alqur′an ditegaskan, haid adalah adzaa /‫(أذى‬perih). Kata ini biasa
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kotor”. Jadi, haid ialah kotor. Boleh jadi,
terjemahan tersebut muncul dikarenakan sesudah kata itu Allah menyebut perempuan yang
telah mandi setelah haid sebagai “telah suci”. Namun, apabila diamati dengan saksama,
pemakaian kataْ adzaa (‫ ْ)أذى‬dalam Alqur′an sebanyak delapan kali167 tidak ada yang
berkonotasi “kotor”, melainkan semuanya mengacu pada makna “suatu keperihan,
kesakitan, dsb” sebagaimana ditulis oleh al-Rȃghib al-Isfahȃnȋ (w. 502 H).168

167
Baca surat-surat berikut: QS. al-Baqarah: 196, 222, 262, 263, 264; QS. Ali ‘Imrȃn: 111, 186, al-Nisȃ’:
102.
Muhammad Sayyid al-Kaylȃnȋ (ed.), al-Mufradȃt fi Gharȋb al Qur′ȃn , Mesir: Musthafa al-Bȃb al-
168

Halabȋ, t.th., hlm. 15.

107
Demikian pula berbagai konjugasi dari kata tersebut yang terulang sebanyak enam
belas kali juga tidak ada yang berkonotasi “kotor”.169 Menurut al-Isfahȃnȋ, karena datangnya
haid bagi perempuan biasanya menimbulkan rasa perih, maka Alqur′an menyebut “haid” itu
dengan adzaa (‫أذى‬/perih). Dengan demikian, memaknai “haid” dengan “kotor” terasa kurang
tepat dan tidak didukung oleh argumen yang kuat. Lagi pula pemaknaan semacam itu
terkesan sangat merendahkan derajat manusia. Jelas, siapa pun tidak akan mau menerima
hal itu. Apabila direnungkan lebih mendalam, itu berarti kita manusia bermula dari sesuatu
yang kotor. Konsekuensinya sekujur tubuh kita ini adalah kotor; apa ada yang rela disebut
dirinya suatu yang kotor atau menjijikkan? Jika demikian akan lebih terhormat term “darah
kotor” itu diganti dengan “darah haid”; apalagi Allah sendiri sebagai penciptanya tidak
pernah menyebutnya “qadzar”(kotor), melainkan “adzaa”(perih). Kenapa kita manusia
sebagai makhluk Allah yang paling terhomat, mau merendahkan martabat kita sendiri
sendiri? Sungguh tidak masuk akal. Jadi terjemahan ayat itu harus diubah dan direvisi sesuai
yang diajarkan Allah itu.
3.Penyusuan
Alqur′an sangat antusias membahas penyusuan anak. Hal ini sangat logis, karena
untuk menyiapkan generasi berkualitas, amat tergantung pada sejauh mana kita dapat
memberikan gizi yang berkualitas dan memadai kepada anak-anak balita (di bawah lima
tahun). Dalam masa inilah fisik dan watak anak terbentuk, sehingga bila gizinya kurang,
maka jangan berharap ia akan tumbuh sebagai anak yang sehat dan cerdas. Itu berarti, upaya
kita membangun generasi masa depan yang kuat dan tangguh akan sia-sia. Dijulukinya
umur balita ini dengan the golden age agaknya suatu yang sangat positif karena memang
durasi 1-5 tahun dari umur seseorang amat menentukan kehidupannya di masa-masa
selanjutnya.
Di sinilah peran penting pembinaan dan pengayoman terhadap ibu-ibu yang sedang
menyusui bayinya. Saking pentingnya masa-masa penyusuan ini, maka Alqur′an dengan
bahasanya yang sangat jelas dan lantang, bersuara keras agar umat manusia menjaga betul
ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya seperti ditegaskan-Nya dalam QS. al-Baqarah ayat
233:
169
Tela’ah surat-surat berikut: QS. Ali ‘Imrȃn: 195; QS. al-Nisȃ′: 16; QS. al-An’ȃm: 34; QS. al-A’rȃf: 129;
QS. Al-Tawbah: 61 (2 kali); QS. Ibrȃhȋm: 12; QS. al-‘Ankabût: 10; QS. al-Ahzȃb: 53 (2 kali), 48, 57, 58, 59, 69;
QS. al-Shaff: 5.

108
ْ َ ْ ‫وف‬
ْ‫ّل‬ ِْ ‫ن ْ ِبال َمع هر‬ َْ ‫ضا َع ْةَ ْ َو َعلَى ْال َمولهو ِْد ْلَ ْه ه ْ ِرزقه هه‬
َْ ‫ن ْ َو ِكس َوت ه هه‬ َ ْ ‫ن ْ ِل َمنْ ْأ َ َرا ْد َ ْأَنْ ْيهتِ َْم‬
َ ‫الر‬ ِْ ‫َاملَي‬
ِ ‫ن ْك‬ َْ ‫ضعنَْ ْأَو َّلدَه‬
ِْ ‫هن ْ َحولَي‬ ِ ‫َوال َوا ِلدَاتهْ ْيهر‬
ْ‫اضْ ِمن هه َما‬ َ ِ‫لْذَ ِلكَْْفَإِنْْأَ َرادَاْف‬
ْ ٍ ‫صاّلْْ َعنْْت ََر‬ ِْ ‫ّلْ َمولهو ْد ٌْلَ ْههْ ِب َولَ ِد ِْهْ َو َعلَىْال َو ِار‬
ْ‫ثْ ِمث ه‬ ْ َ ‫ارْ َوا ِلدَْة ٌْ ِب َولَ ِدهَاْ َو‬ َ ‫ّلْت ه‬
َْ ‫ض‬ ْ َ ‫سْ ِإ‬
ْ َ ْ‫ّلْ هوس َع َها‬ ْ‫ت ه َكلَ ه‬
ٌْ ‫َْنَف‬
ْ‫ّللا‬ ِْ ‫سلَمتهمْ ْ َما ْآتَيتهمْ ْبِال َمع هر‬
ََْ ْ ‫وف ْ َواتَقهوا‬ َ ْ ‫ح ْ َعلَي هكمْ ْإِذَا‬ ْ َ َ‫ضعهوا ْأَو َّلدَ هكمْ ْف‬
َْ ‫ل ْ هجنَا‬ ِ ‫ح ْ َعلَي ِه َما ْ َوإِنْ ْأ َ َردتهمْ ْأَنْ ْت َست َر‬ ْ َ َ‫َاو ٍْر ْف‬
َْ ‫ل ْ هجنَا‬ ‫َوتَش ه‬
ْ ْْ)233ْ:‫يرْ(البقرة‬ ِ َ‫ّللاَْبِ َماْتَع َملهونَْْب‬
ٌْ ‫ص‬ َْ ْ‫ن‬َْ َ ‫َواعلَ همواْأ‬
Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang makruf(sesuai norma dan adat-istiadat yang berlaku di kalangan mereka).
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan dikarenakan anaknya dan begitu pula sang ayah tidak boleh
mengalami hal yang sama karena anaknya, dan ahli waris pun mempunyai kewajiban yang
sama. Apabila keduanya ingin menyapih (menghentikan susuan), maka hal itu harus dengan
persetujuan, kerelaan dan kesepakatan keduanya. Dengan prosedur yang demikian maka
tidak ada dosa atas keduanya. Jika kalian menginginkan bayimu disusui oleh orang lain,
maka hal itu tidak salah, sdelama kalian memberikan pembayaran menurut yang
makruf(sesuai norma dan adat-istiadat yang berlaku di kalangan mereka). Bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian lakukan.” (QS. al-
Baqarah: 233)

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian utama dalam ayat di atas; antara lain
sebagai berikut:
a.Penyusuan anak
b.Pengayoman ibu yang menyusui
c.Penghentian susuan
d.Ibu susu
Berikut ini akan dijelaskan satu per satu:
a.Penyusuan anak
Alqur′an menganjurkan para ibu agar menyusui sendiri anaknya. Tapi, jika karena
suatu hal ia tidak dapat menyusui, maka Alqur′an tidak melarang seorang ibu untuk
mencarikan ibu susu bagi anaknya. Yang menjadi poin penting di sini ialah anak harus
mendapatkan makanan dari ibu, yang di Indonesia disebut ASI (Air Susu Ibu).
Kebenaran firman Allah itu baru di abad moden ini terbukti bahwa belum ditemukan
formula yang dapat menggantikan nutrisi atau kandungan gizi yang terdapat dalam ASI.
Sehingga, tidak mengherankan bila Alqur′an menganjurkan para ibu menyusui anaknya
selama dua tahun, jika ia mengingin kan gizi yang lebih sempurna bagi bayinya.

109
Adanya penegasan “dua tahun” ini mengindikasikan bahwa pembentu kan
kepribadian, watak, dan fisik anak pada umur dua tahun secara substansial (basic) boleh
disebut telah cukup, tinggal mengembangkannya pada tahun-tahun berikut. Mengingat
besarnya pengaruh air susu bagi pembentukan jiwa dan fisik seorang anak dalam usia di
bawah dua tahun itu,170 maka di dalam Islam, kedudukan ibu susu bagi anak yang
disusuinya adalah menjadi muhrimnya. Sama dengan ibu kandungnya. Artinya, jika bayi itu
laki-laki, maka dia haram menikah dengan ibu susunya itu. Bahkan, dengan saudara
sesusuannya pun tidak boleh ada hubungan perkawinan.
Jadi, haramnya mengadakan ikatan perkawinan dengan saudara sesusuan itu karena
sama statusnya dengan saudara kandungnya. Dengan syarat, saat bayi ia telah meneguk lima
kali susuan dari ibu susunya itu.171 Dapat kita bayangkan lima kali susuan saja sudah
berpengaruh pada si anak, apalagi jika disusukan selama dua tahun berturut-turut.
Dari penegasan Alqur′an itu dapat dipahami bahwa penyusuan anak selama dua
tahun juga memberikan efek positif terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Mengapa
tidak, saat ia menyusui, maka ia harus menunda kehamilan berikutnya sampai si bayi
berumur dua tahun. Sebab, bila si ibu hamil lagi selama kurun waktu dua tahun itu, maka
dia harus menghentikan anaknya menyusu (menyapih) demi kesehatan si ibu dan bayi
sekaligus.
Di sinilah terletak hikmah yang besar, mengapa Alqur′an menganjurkan supaya ibu
menyusui anaknya maksimal dua tahun karena Allah menginginkan terbentuknya generasi
yang sehat dan tangguh. Hal itu baru dapat dicapai apabila sang ibu yang akan melahirkan
anak harus lebih dahulu berada pada puncak kesehatan prima. Kurun dua tahun setelah
melahirkan cukup untuk memulihkan kesehatan seorang ibu. Jadi, energi yang terbuang saat
melahirkan dulu, setelah dua tahun, dapat kembali pulih secara penuh dan sarana
reproduksinya telah siap secara sempurna untuk memproduksi kembali seorang bayi yang
sehat lahir batin. Dalam konteks ini, terasa bagi kita bahwa konsep Keluarga Berencana
(KB) sangat cocok dengan Alqur′an.

170
Pada usia dua tahun seorang bayi berkembang dengan pesat, baik fisik maupun non fisik. Bahkan,
menurut para ahli psikologi, bayi mengalami perkembangan pada aspek kognitifnya. Lihat lebih lanjut Rita L.
Atkinon (et all.), Pengantar Psikologi, Jakarta: Erlangga, 1999, hlm. 91-111.
171
Untuk lebih lengkapnya, baca Sayyid Sabiq, op.cit., Juz III, hlm. 27.

110
b.Pengayoman Ibu yang Menyusui
Alqur′an mengajarkan, ibu yang menyusui harus diayomi sedemikian rupa sehingga
dia tidak merasakan beban berat ini sebagai siksaan atau kezaliman terhadap hak-haknya
sebagai manusia. Dalam kaitan inilah, maka kita menjumpai semacam dispensasi untuk
tidak berpuasa Ramadhan bagi ibu yang menyusui, tapi ia wajib meng-qadha puasa setelah
masa menyusui berakhir.
Bahkan, Alqur′an menegaskan, ibu yang menyusui itu harus diberi “upah” dan
pakaian memadai. Artinya, ibu yang menyusui tidak boleh dibeba ni pikirannya apalagi
fisiknya untuk mencarikan sesuap nasi atau sehelai pakaian untuk diri dan anaknya.
Tugasnya hanya satu, yaitu berkonsentrasi mengurus anak agar tumbuh menjadi seorang
yang kuat dan sehat.
Siapa yang ditugasi untuk mengayomi ibu menyusui itu? Alqur′an dengan tegas
menyatakan bahwa tugas tersebut dipikulkan di pundakْ‫( المولود ْله‬yang bertanggung jawab
atas anak) atau ahli warisnya (jika dia meninggal dunia). Siapa yang dimaksud dengan yang
punya tanggung awab terhadap anak? Di sini Alqur′an menggunakan term yang sangat tepat
dan akurat. Tidak bisa dibayangkan seandainya Allah berkata bahwa yang memikul
tanggung jawab ialah ayah (‫ )والد‬bagi anaknya, maka si ibu yang melahirkan anak tanpa ayah
akan menderita, sebab anaknya tak punya ayah.
Begitu pula apabila seseorang mengangkat anak, jelas itu bukan anaknya, maka
secara hukum orang yang mengangkat anak tersebut tidak punya kewajiban membiayai ibu
yang menyusui anak itu. Bahkan, di abad modern ini lebih dahsyat lagi, orang tidak sekadar
mengangkat anak, tapi menyewa rahim orang lain untuk mendapat anak. Tidak hanya
sampai di situ, malah ada yang menyewa rahim binatang semacam simpanse.172
Dengan memakai istilah “yang punya tanggung jawab atas anak”, maka dalam
kondisi apapun seorang ibu yang menyusui anak tersebut tidak akan tersia-siakan, sekalipun
anaknya tidak memiliki ayah ataupun rahimnya disewakan. Jadi, sekali lagi pemilihan
kosakata (diksi) di dalam Alqur′an tidak sembarangan, tetapi mempunyai implikasi yang

172
Tahun 1990-an dulu pernah dipublikasikan di Amerika satu keluarga meminjam rahim simpanse untuk
melahirkan anak mereka, maka lahirlah bayi manusia cantik jelita dari rahim simpanse itu. Selanjutnya lihat
Majalah Kartini…..?

111
amat jauh ke depan. Itulah salah satu yang membuat Alqur′an tidak pernah ketinggalan
zaman(outdated) melainkan selalu updated.
Berdasarkan uraian itu, tampak dengan jelas bahwa Allah selalu menjaga hak-hak
perempuan sehingga dia tidak terabaikan, apalagi merasa menderita, padahal tugas dan
tanggung jawabnya amat berat dan mulia, serta menyangkut masa depan generasi umat
manusia.
c.Penghentian Susuan
Di dalam ayat yang dikutip di atas, dengan tegas Allah menyatakan bahwa
penghentian susuan bagi seorang bayi tidak boleh serta merta, melainkan harus atas dasar
kerelaan dari masing-masing orangtua. Harus dimusyawarahkan lebih dahulu, tidak atas
dasar pemaksaan kehendak dari pihak mana pun. Demikian kira-kira maksud ayat:
ْ )233ْ:‫(البقرة‬...ْ‫حْ َعلَي ِه َما‬ ْ َ َ‫َاو ٍْرْف‬
َْ ‫لْ هجنَا‬ ‫اضْ ِمن هه َماْ َوتَش ه‬ َ ِ‫فَإِنْْأ َ َرادَاْف‬...
ْ ٍ ‫صاّلْْ َعنْْت ََر‬

“Bila keduanya(ayah-ibu) ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerela an keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Q.S.(2):233)

Dalam kasus penghentian susuan ini, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama,
pelaksanaannya harus atas dasar kerelaan antara ayah dan ibu. Kedua, untuk mendapatkan
kerelaan tersebut, tidak boleh dengan jalan paksaan, tetapi harus lewat musyawarah. Jadi,
kedua kriteria itu harus dilakukan, yakni adanya perasaan legowo dari masing-masing pihak
yang berasal dari kesadarannya sendiri bukan dipaksa oleh pihak lain.
Dalam kajian ilmu tafsir, pemaknaan tersebut cukup lazim karena ayat itu memakai
kata “‫( ”و‬waw) sebagai kata penghubung (harf al-‘athf) yang menurut bahasa Arab
berkonotasi mutlak al-jam’i. Ini berarti, kedua kriteria itu membentuk satu kesatuan yang
utuh. Dengan kata lain, dua kriteria itu harus ada, tidak cukup hanya satu saja, sementara
yang lain tidak terpenuhi. Tetapi, jika ayat tersebut memakai kata penghubung “‫ ”او‬maka di
sini boleh memilih salah satu antara dua persyaratan itu.
Jika diamati dengan saksama apa yang disyariatkan Allah dalam tata cara
memisahkan anak dari susuan, maka tampak kepada kita bahwa Allah amat ketat menjaga
mutu suatu generasi. Dengan ungkapan lain, Allah benar-benar menjaga quality control
(pengendalian mutu) terhadap suatu generasi, agar generasi yang dihasilkan itu berkualitas
tinggi. Namun sayang, kita seringkali tak mau mengikuti aturan dan alur yang benar.

112
d.Ibu Susu
Peran ibu susu dalam menciptakan generasi yang berkualitas tidak kalah pentingnya
apabila dibandingkan dengan ibu kandung. Sebab, sebagai mana telah diungkapkan di depan
bahwa dengan adanya susuan itu sang anak bisa langsung bergabung menjadi keluarga ibu
susunya, sehingga tidak boleh terjadi perkawinan antara dia dengan ibu susunya ataupun
saudara sesusunya.
Berdasarkan status hukum yang demikian, maka yang punya tanggung jawab atas
anak (al-maulud lahu) harus pula bertanggung jawab atas living cost ibu susu itu agar dia
betul-betul mengayomi anak susunya sama seperti anak kandungnya sendiri. Demikian
antara lain yang diamanatkan oleh firman Allah berikut:
ِْ ‫سلَمتهمْ ْ َما ْآت َيتهمْ ْبِال َمع هر‬
) 233ْ:‫(البقرة‬...ْ ‫وف‬ َ ْ ‫ح ْ َعلَي هكمْ ْإِذَا‬ ْ َ َ‫ضعهوا ْأَو َّلدَ هكمْ ْف‬
َْ ‫ل ْ هجنَا‬ ِ ‫“ َوإِنْ ْأ َ َردتهمْ ْأَنْ ْت َست َر‬Dan jika kalian
menginginkan anak-anakmu disusukan orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kalian memberikan pembayaran menurut yang patut.”(Q.S.(2):233)

C.PENUTUP
Setelah kita amati dengan saksama kandungan firman Allah sebagaimana diuraikan
itu, maka kita berkesimpulan bahwa hak-hak reproduksi perempuan, jauh sebelum dunia
modern menganjurkannya, ternyata lebih dari empat abad yang silam Alqur′an telah
mensyariatkannya secara gamblang dan mudah sekali dipahami.
Sebenarnya masih banyak aspek-aspek lain hak reproduksi perempuan di dalam
Alqur′an yang belum dibahas oleh tulisan ini. Namun, sebagai bukti bahwa Alqur′an sangat
peduli terhadap isu ini, agaknya tiga fakta itu cukup.
Wa Allah a’lam bi al-shawȃb.

3
113
POLIGAMI
PERSPEKTIF ALQUR′AN

A.PENDAHULUAN
Pada tahun 2006, masalah poligami muncul ke permukaan cukup drastis, terutama
setelah merebak berita perkawinan yang kedua mubalig kondang Aa Gym di Bandung.
Sebenarnya selama ini bangsa kita tidak terlepas dari poligami seperti yang dilakukan oleh
Puspo Wardoyo, pemilik Rumah Makan Wong Solo. Namun, tidak ada yang
mempermasalahkannya.
Tetapi, ketika Aa Gym yang melakukannya, banyak orang kaget bagaikan tersengat
arus listrik. Tidak sedikit yang mengecam, namun banyak pula yang mendukung. Bahkan,
Presiden sampai turun tangan mengantisipasi agar para pejabat pemerintah dan para pegawai
tidak ikut-ikutan berpoligami.
Kenapa poligami menjadi problema, apakah hal ini terlarang? Ataukah melanggar hak
asasi manusia (HAM)? Inilah yang akan kita bahas di sini.

B.KONSEP POLIGAMI
1.Pengertian Poligami
Secara etimologis, istilah “poligami” berasal dari bahasa Yunani polus yang berarti
banyak dan gomus yang artinya perkawinan. “Poligami” berarti banyak kawin. Kata lain
yang mirip dengan itu ialah “poligini”, yang berasal dari bahasa Yunani polus (banyak) dan
gene (perempuan).173 Sehingga, “poligini” dapat diartikan dengan mempunyai banyak
perempuan (istri).
Dari pengertian itu, dapat ditarik sebuah definisi bahwa yang dimaksud dengan
“poligami” dan “poligini” ialah suatu sistem perkawinan dimana seorang pria mengawini
lebih dari seorang wanita dalam waktu yang bersamaan. Definisi ini pula yang dianut oleh
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia.174 Kebalikan dari

173
Hassan Shadily (Pimp. Redaksi), Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, V, 1984, hlm.
2736.
174
Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 Pasal 3 dan 4; dan peraturan
pelaksanaannya PP No. 9 tahun 1975 Pasal 40-44.

114
poligami adalah “poliandri”, yakni wanita mempunyai suami lebih dari satu dalam waktu
bersamaan.175
2.Poligami Dalam Lintasan Sejarah
Jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW membawa Islam, umat terdahulu
telah mempraktikkan sistem poligami. Cukup banyak fakta sejarah yang membuktikan
kebenaran tesis ini, sebagaimana dikemukakan oleh Musthafa al-Siba’i:
“Poligami itu sudah ada di kalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba,
pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Assyiria, Mesir dan lain-lain. (Mereka
melakukan poligami secara) tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang
suami. Bahkan, salah seorang raja Cina ada yang mempunyai istri sebanyak 30.000 (tiga
puluh ribu) orang.”176

Di dalam agama samawi yang lain, seperti Yahudi dan Kristen, juga tak ada larangan
berpoligami. Bahkan, di dalam agama Yahudi, sebagaimana dikutip al-Sibȃ’ȋ, berpoligami
diperbolehkan tanpa batas. Nabi-nabi yang namanya disebut dalam Taurat, tambahnya,
semuanya berpoligami tanpa pengecualian. Bahkan, ada keterangan, Nabi Sulaiman AS
mempunyai 700 (tujuh ratus) orang istri yang merdeka dan 300 (tiga ratus) berasal dari
budak.177
Sedangkan di dalam Kristen tidak ada keterangan yang tegas melarang poligami.
Yang ada hanya anjuran untuk mengambil seorang perempuan menjadi istri. 178 Bahkan, di
dalam surat-surat Paulus, al-Sibȃ’ȋ menjumpai pernyataan yang menegaskan kebolehan
poligami. Dikatakan, “Tidak mesti seorang uskup menjadi suami dari seorang istri saja, dan
penetapan peraturan yang demikian itu kepada uskup adalah menjadi alasan tentang
bolehnya poligami untuk orang lain bukan uskup.”179
Dalam konteks ini, sejarah mencatat, baik umat Kristen maupun bapak-bapak gereja
pada zaman lampau mempunyai banyak istri. Hal ini diakui oleh orang Barat sendiri, salah
satunya Wester Mark, ahli sejarah perkawinan. Dia menyatakan, “Sebenarnya poligami

175
Hassan Shadily, Ensiklopedi, hlm. 2736; Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, Cet. I, hlm. 693.
176
Musthafa al-Sibȃ’ȋ, Wanita di Antara Hukum dan Perundang-undangan, terj. Chadijah Nasution,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977, hlm. 100.
177
Ibid.
178
Lihat “Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Teselonoka”, IV: 4, Kitab Suci Perjanjian Baru,
Jakarta: Ditjen Bimas Katolik Dep. RI, 1982/1983, hlm. 467.
179
al-Sibȃ’ȋ, Wanita, hlm. 101.

115
dengan pengakuan gereja berlaku sampai abad ke-17. Poligami itu berulang kali terjadi
dalam suasana yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh gereja dan negara.”180
Pada kasus ini, Mark menunjukkan sebuah bukti, yakni Daiyar Macedat, Raja Irlandia
yang mempunyai dua istri yang merdeka dan dua istri budak. 181 Murtadha Munthahhari juga
mengakui bahwa di dalam agama Masehi yang asli tidak ada ketentuan yang melarang
poligami. Hal ini sangat masuk akal karena al-Masih menggunakan hukum Nabi Musa, dan
di dalam hukum Nabi Musa (Taurat) poligami diakui secara resmi. Jadi, bisa dikatakan,
dalam agama Kristen yang asli, poligami dihalalkan. Itulah sebabnya orang-orang Kristen
awal memiliki beberapa orang istri.182
George Zaidan, sebagaimana dikutip al-Sibȃ’ȋ, juga mengatakan bahwa agama
Kristen tidak melarang pengikutnya berpoligami, tapi bapak-bapak gereja hanya
mencukupkan seorang istri saja demi menjaga kerukunan rumah tangga. Ide tersebut lalu
diterapkan dalam menafsirkan kitab suci, sehingga poligami pun dipandang sebagai suatu
yang terlarang di kalangan mereka.183
Di kalangan agama animisme juga ditemukan praktik poligami, seperti yang terdapat
di Afrika, sehingga penyiar agama Kristen di sana terpaksa mengakuinya secara resmi
supaya penganut animisme yang telah masuk Kristen tidak murtad kembali.184 Fakta ini
dapat dijadikan bukti yang kuat bahwa Kristen memang tidak melarang poligami. Seandainya
poligami terlarang, tentu hal ini tidak akan mereka toleransi.
3.Poligami Dalam Pandangan Syari’at
Alqur′an dengan tegas berkata:
ْ‫احدَةْ ْأَوْ ْ َما‬ ْ َ َ ‫ع ْفَإِنْ ْ ِخفتهمْ ْأ‬
ِ ‫ّل ْت َع ِدلهوا ْفَ َو‬ َْ ‫اء ْ َمثنَى ْ َوث ه َل‬
َْ ‫ث ْ َو هربَا‬ َ ِ‫اب ْلَ هكمْ ْ ِمنَْ ْالن‬
ِْ ‫س‬ َ ْ ‫طوا ْفِي ْاليَتَا َمى ْفَان ِك هحوا ْ َما‬
َْ ‫ط‬ ْ َ َ ‫َوإِنْ ْ ِخفتهمْ ْأ‬
‫ّل ْتهق ِس ه‬
ْ َ َ ‫َملَكَتْْأَي َمانه هكمْْذَ ِلكَْْأَدنَىْأ‬
)3ْ:‫ّلْتَعهولهواْ(النساء‬
“Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) anak-anak
yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu sukai: dua, tiga atau empat orang.
Tapi, jika kamu (masih) khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah satu orang
saja, atau kamu memperistri budak-budak (wanita) yang kamu miliki. Yang demikian itu
(mengawini seorang istri atau mengambil budak menjadi istri) lebih dekat untuk tidak
berlaku curang atau zalim”)al-Nisȃ′(4):3)

180
Ibid.
181
Ibid.
182
Murthada Muthahhari, The Right of Women in Islam, Teheran: WOFIS, t.th., hlm. 345.
183
al-Sibȃ’ȋ, Wanita, hlm. 103-104.
184
Ibid., hlm. 105.

116
Dalam ayat ke-3 bersamaan dengan ayat 2, 4, 5, dan 6 dari surat Al-Nisȃ′ ini Allah
mengungkapkan satu tema pokok, yaitu pengayoman dan pemeliharaan anak yatim. Jika
demikian, maka kebolehan berpoligami yang disebutkan di dalam ayat 3 itu berkaitan erat
dengan pemeliharaan anak yatim, bukan ditujukan untuk memuaskan nafsu birahi.
Artinya, Tuhan membolehkan kawin sampai empat orang itu merupakan jalan keluar
atau solusi agar tidak mengganggu, apalagi menzalimi hak-hak anak yatim. Namun, untuk
mengawini wanita lebih dari satu orang itu tidak gampang. Harus memenuhi persyaratan
yang cukup ketat, antara lain suami harus sanggup berlaku adil. Jika syarat itu tidak
terpenuhi, maka dia tidak dibolehkan menikahi wanita lebih dari satu.
Dengan ditetapkannya persyaratan tersebut, maka tampak jelas bahwa Islam sangat
memerhatikan hak-hak wanita secara mendasar sehingga kaum pria tidak diperbolehkan
berbuat sesuka hatinya terhadap kaum “Hawa”. Hak semacam itulah yang belum diatur di
masa silam, sehingga terjadilah poligami tanpa batas, yang membuat kaum wanita menderita
di bawah bayangan kaum pria yang tidak bertanggung jawab. Sebagaimana diakui Profesor
Schmidt dari Jerman, kaum pria selalu serba bebas dalam urusan seksual. Bahkan, di abad-
abad pertengahan, 90% pria terbiasa sekali bertukar istri dan 50% lelaki yang telah beristri
mengkhianati istrinya.”185
Seorang ahli riset Amerika, Robert Kinsey, juga melaporkan hal yang sama. Dalam
laporan yang dikenal dengan nama Kinsey Report itu, sebagaimana dikutip Munthahhari,
tertulis: “Kaum pria dan wanita Amerika telah mengalahkan seluruh bangsa di dunia dalam
hal ketidaksetiaan dan pelanggaran kepercaya an.”186
Seorang ilmuwan Perancis, Henri de Montherlan, tambah Muthahhari, juga
mengatakan hal yang serupa. Ia berujar, “Seorang pria diciptakan untuk hidup dan untuk
seluruh wanita.”187
Meskipun Islam membolehkan berpoligami, namun ini tidak berarti Islam
memberikan dispensasi secara bebas kepada setiap pria. Dalam hal ini, terdapat aturan dan
ketentuan yang harus dipatuhi oleh lelaki yang bermaksud melakukan poligami, seperti yang
disebutkan dalam kitab fiqih. Di Indonesia, selain tercantum di dalam kitab-kitab fiqih,
ketentuan tentang poligami ini juga diatur oleh Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

185
Muthahhari, The Right, hlm. 366.
186
Ibid.
187
Ibid., hlm. 367.

117
Perkawinan, khususnya Bab I Pasal 3 sampai 5 dan Peraturan Pemerintah tentang
pelaksanaannya (PP) No. 9 tahun 1975, Bab VIII, Pasal 40 hingga 44.
Semua hasil ijtihad ulama fiqih dan aturan-aturan yang ditetapkan di dalam undang-
undang dan peraturan pemerintah itu mengacu pada satu tujuan, yakni menjaga kehormatan
dan hak-hak wanita agar tidak diinjak-injak oleh kaum pria. Semangat inilah yang tersirat
dalam Alqur′an ayat 3 dari surat al-Nisȃ′. Dengan demikian, baik ketentuan dalam undang-
undang, peraturan pemerintah, maupun kitab-kitab fiqih, pada hakikatnya adalah penjabaran
atau penafisran dari ayat Alqur′an tersebut.
Di dalam pasal 3 dari undang-undang tersebut misalnya, ditegaskan, “Pada asasnya,
dalam perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.” Ungkapan ini tidak
jauh dari pemahaman Alqur′an . Artinya, prinsip dasar dalam sistem perkawinan Islam ialah
beristri satu. Tapi, dalam kondisi tertentu, seorang pria boleh mengawini wanita lebih dari
satu orang, bahkan sampai empat orang, jika terpenuhi semua persyaratan yang ditetaapkan.
Prinsip dasar tersebut tertulis dengan tegas dalam QS. al-Nisȃ′ ayat 3, sebagaimana diakui
dan dikomentari oleh Syekh Muhammad Abduh sebagai berikut:
“Ayat tentang kebolehan beristri lebih dari satu diungkapkan dalam konteks
pemeliharaan anak yatim dan larangan memakan hartanya walau melalui hubungan
perkawinan. Oleh karena itu, jika kamu merasa khawatir tak akan dapat menghindar
dari memakan harta istri yang yatim tersebut, maka kamu harus membatalkan niat
melakukan perkawinan dengannya, karena Allah telah memberikan jalan keluar bagimu
dengan dibolehkan oleh-Nya kamu mengawini wanita-wanita lain sampai empat
orang.”188

Dari uraian itu dapat disimpulkan bahwa Islam pada dasarnya menganut sistem
perkawinan monogami, bukan poligami. Inilah spirit yang terkandung di dalam ayat ke-3 dari
QS. al-Nisȃ′ itu. Dalam konteks ini, Prof. M. Quraish Shihab menulis, “Ayat ini (al-Nisȃ′:3)
tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya
poligami dan itu merupakan pintu darurat kecil yang hanya boleh dilalui saat amat diperlukan
dan dengan syarat yang tidak ringan.”189

188
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Alqur’an Al-Hakim (Tafsir Al-Manar), Beirut: Dar al-Fikr, Cet. II, hlm.
348.
189
M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an , Bandung: Mizan, Cet. III, 1996, hlm. 200. Dalam hal ini, Rifaat
Hassan, intelektual dari Pakistan, sependapat dengan Quraish Shihab. Selanjutnya lihat “Feminisme Alqur’an ” di
dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 9 Volume II, 1991, hlm. 88.

118
Namun, karena Nabi Muhammad beristri lebih dari empat orang, maka ada yang
menganggapnya sebagai seorang yang mempunyai nafsu besar, gemar kawin untuk
melampiaskan keserakahan nafsu biologisnya.190 Sebenarnya, pandangan sinis ini tidak akan
muncul jika mereka mau memerhatikan fakta sejarah bahwa nabi-nabi masa dulu memiliki
banyak istri, bahkan hingga ratusan seperti Nabi Sulaiman. Sementara itu, Nabi Muhammad
mempunyai sembilan atau sebelas istri dan itu pun dilatarbelakangi oleh kondisi sosial yang
memaksa beliau agar mengawini para wanita tersebut, bukan didorong oleh nafsu birahinya.
Salah satu bukti bahwa perkawinan itu tidak didasarkan atas dorongan libido
seksualnya ialah ketika remaja, beliau hanya kawin dengan seorang janda paruh baya yang
berumur 40 tahun, sedangkan Muhammad saat itu berumur 25 tahun. Itulah istri pertamanya,
Khadijah binti Khuwailid. Beliau tidak kawin dengan wanita lain sampai Khadijah wafat.
Beliau menikah lagi dengan seorang gadis mungil Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq,
padahal umur beliau waktu itu lebih dari 50 tahun.
Sungguh suatu hal yang agak aneh, sebab saat nafsu syahwatnya dalam stadium
puncak, ia kawin dengan seorang janda. Sedangkan ketika nafsunya telah turun, barulah
beliau menikah dengan gadis. Dari sini kita dapat berkata bahwa perkawinan tersebut sama
sekali tidak didasarkan atas dorongan nafsu birahi, melainkan ada hikmah tasyri’ di balik itu,
antara lain kebolehan mengawini janda bagi perjaka pada kasus pertama dan dibolehkannya
mengawini gadis kecil oleh pria yang sudah tua dalam kasus yang kedua.
Demikian pula perkawinannya dengan Zainab bt Jahsy itu mengandung hikmah yang
sangat penting, antara lain untuk membatalkan adat (tradisi) zaman Jahiliyah yang
mengharamkan ayah angkat mengawini istri anak angkatnya seperti yang dijelaskan Allah
dalam QS. Al-Ahzab ayat 37.191
Perkawinan Nabi dengan Ummu Habibah, putri Abu Sufyan, tokoh utama Quraisy
dan musuh terbesar Nabi SAW adalah dalam upaya mencari perdamaian dan mengajak
bangsa Quraisy menerima Islam. Motivasi serupa ini juga terlihat dalam perkawinannya
dengan Maimunah, bibi panglima perkasa Khalid bin Walid, dengan harapan akan dapat

190
Syekh Khalil Yasien, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, terj. H. Salim Basyarahil, Jakarta: Gema
Insani, Cet. II, 1990, hlm. 34.
191
“…maka tatkala Zaid (anak angkat Nabi) telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (telah
menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan (Zainab) supaya tidak ada keberatan bagi orang-orang mukmin
untuk mengawini istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan
mereka dari istri-istri mereka. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.”

119
melunakkan hati Khalid untuk masuk Islam. Begitulah semua perkawinan Nabi Muhammad
dengan para janda lainnya, pada umumnya untuk kemaslahatan janda tersebut secara khusus,
dan umat pada umumnya.
Berdasarkan fakta sejarah itu, sungguh teramat sulit untuk menuding Nabi
Muhammad sebagai seorang yang hiperseks karena semua itu beliau lakukan demi
kemaslahatan umat dan agama. Hal ini juga diakui oleh sebagian kaum orientalis, khususnya
mereka yang mau jujur, semisal Prof. Thomas Carill dari Inggris, seperti dikatakannya
sebagaimana dikutip Khalil Yasien:
“Muhammad bukan orang yang serakah nafsu birahinya, meski ia dituding secara kejam
yang diliputi kedengkian. Sungguh kami telah berlaku curang dan menyimpang, kalau
kami menuduhnya sebagai seorang yang bernafsu besar dan serakah, tidak ada yang
digeluti melainkan untuk memuaskan tujuan-tujuan kesenangan biologisnya saja. Tidak!
Alangkah jauh antara dia dengan kesenangan itu, apapun bentuknya.”

Pendapat itu juga didukung oleh Prof. Schopenhauer dari Jerman. 192 Kalau bukan
untuk kemaslahatan umat, beliau tidak akan mengawini para janda, sebab dari sekian banyak
istrinya, hanya seorang saja yang gadis, yaitu Aisyah, dan kawin dengan banyak wanita itu
pun dilakukannya setelah berumur 50-an, yang secara biologis nafsu birahinya untuk kawin
sudah menurun seperti yang dialami oleh pria pada umumnya. Secara biologis, Nabi
Muhammad SAW tidak berbeda sedikit pun dari pria-pria normal lain. Hal ini ditegaskan
sendiri dan dikukuhkan Allah dalam ayat terakhir dari surat Al-Kahfi: “Katakanlah (wahai
Muhammad)bahwa saya(Muhammad)benar-benar sama dengan kalian semua”
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW seolah berpesan, kalau kalian
punya keinginan makan, minum, kawin, dan sebagainya, maka saya juga mempunyai
keinginan-keinginan yang sama. Begitu pula ketika berusia 50-an tahun, nafsu seks kalian
sudah mulai menurun, maka saya juga demikian. Jadi secara lahiriah-jasmaniah dan sifat-
sifat manusiawi lainnya pada umumnya, Rasulullah tidak berbeda dari itu semua.
Maka, sangat tidak masuk akal bila Nabi SAW dianggap punya nafsu besar
(hiperseks). Jika benar demikian, beliau pasti memilih gadis-gadis yang tercantik untuk
dikawininya. Tetapi, nyatanya beliau tidak melakukannya. Padahal, beliau sendiri amat
disenangi oleh seluruh umat. Meski demikan, beliau menganjurkan untuk mengawini anak-
anak gadis sebagaimana dikatakan kepada seseorang yang lebih memilih janda untuk
192
Syekh Khalil Yasien, Muhammad, hlm. 36-37.

120
menjadi istrinya, “Apakah tidak ada yang gadis, sebab dengan yang gadis kamu dapat
mengajaknya kencan dan bergembira ria.”193
Berdasarkan berbagai argumen dan fakta di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan
negatif terhadap Nabi SAW itu tidak didukung oleh fakta dan argumen yang kuat.
Keberhasilan Rasul dalam memimpin rumah tangga dikarenakan beliau
mendasarkannya atas Alqur′an , bukan atas kemauan dan keinginan nafsunya. Di dalam
Alqur′an seperti tercantum dalam QS. al-Nisȃ′: 3, ditetapkan prasyarat utama kebolehan
berpoligami, yaitu adil. Keadilan inilah yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam
memimpin keluarganya.
Keadilan yang dimaksud dalam QS. al-Nisȃ′: 3 itu ialah hal-hal yang bersifat lahiriah,
misalnya nafkah, giliran tempat tidur, perumahan, dan sebagainya, bukan menyangkut hal
yang bersifat batin, seperti perasaan cinta dan kasih sayang. Hal ini tidak mungkin bisa diatur
oleh manusia, termasuk Nabi sendiri, sebab perasaan tersebut di luar kendali manusia. Oleh
karena itu, seseorang tidak dituntut untuk bersifat adil secara batin, seperti yang ditegaskan
oleh Allah pada QS. al-Baqarah: 286, “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai
dengan kemampuannya.”
Dalam kaitan inilah Nabi berdoa:
“Ya Allah, inilah bagian yang dapat kukuasai. Karena itu, jangan engkau
menyiksaku karena hal-hal yang tidak dapat diatur oleh kemampuanku (yakni
kecenderungan hati dan lebih senang kepada salah seorang dari istri-istriku).”194
4.Korban Telah Berjatuhan
Manusia modern mengecam habis-habisan dan menolak mentah-mentah sistem
poligami. Tapi sebaliknya, perselingkuhan dan perzinaan mereka legalkan. Bahkan,
homoseksual pun mereka ratifikasi dan mereka akui sebagai perbuatan yang bermoral.195
Kalau akal sehat sudah tidak digunakan lagi, maka manusia akan kembali ke derajat yang
lebih hina dari hewan (QS. 7:179; 95:5).

193
Ahmad Mushthafa al-Marȃghȋ, Tafsir al-Marȃghȋ, Beirut: Dȃr al-Fikr, II, t.th., hlm. 184.
194
Rasyid Ridha, Tafsir, hlm. 349.
195
Tahun 1961 Inggris mengesahkan undang-undang tentang homoseksual. Artinya, dalam pandangan
pemerintah Inggris, bila seseorang suami menggandeng kekasihnya seorang pemuda ganteng ke rumah istrinya, itu
perbuatan terhormat dan manusiawi. Tapi, jika yang dibawanya itu seorang gadis cantik jelita sebagai istrinya yang
kedua, itu perbuatan bejat dan tidak bermoral, bahkan tidak manusiawi. Ibid., hlm. 364.

121
Sebagaimana dikutip oleh Muthahhari, pada bulan Desember 1959 surat kabar
Ittila’at menurunkan judul artikel “Dari Setiap Sepuluh Anak Inggris, Satu adalah Anak
Haram.”196 Berita itu diakui oleh dr. Z.A.Scoot, pejabat kedokteran Kota London. Dia
menyatakan, “Jumlah kelahiran anak haram (di luar pernikahan) terus meningkat. Pada
tahun 1957, dari 33.838 anak meningkat menjadi 53.433 anak di tahun berikutnya.” 197
Hal ini berarti, selama satu tahun telah lahir anak haram sebanyak 19.595 anak atau
rata-rata 54,43 anak per hari. Padahal, kondisi itu terjadi setengah abad silam, dimana
hubungan kekeluargaan dan moral masih terasa lebih kuat. Tentu kondisi pada abad ke-21 ini
lebih parah.
Penolakan atas sistem poligami justru menjadikan mereka melampiaskan nafsu
seksnya dengan cara yang tidak benar. Mau tak mau mereka harus mencari pasangan di luar
nikah, sehingga terjadi perselingkuhan. Dari sini mulai terjadi gonta-ganti pasangan yang
diakui di seluruh dunia sebagai salah satu pemicu berjangkitnya penyakit AIDS.198
Oleh sebab itu, setelah memerhatikan akibat yang timbul dari hubungan seksual di
luar nikah itu, maka secara objektif patut diakui bahwa sistem poligami yang dibolehkan
Islam jauh lebih aman, lebih terhormat, dan lebih manusiawi, baik dari sudut pandang moral
dan etika pergaulan, maupun dari aspek pengayoman dan penghormatan terhadap hak-hak
dan martabat wanita.
Demikian pula anak yang lahir sari sistem poligami itu, ia memiliki status dan
kedudukan yang sama dengan anak-anak yang lain. Sedikit pun tidak ada perbedaannya.
Dengan demikian, nasibnya tidak akan tersia-sia atau terkatung-katung karena orangtuanya
yang akan bertanggungjawab telah diketahui secara pasti. Bukankah sistem poligami itu lebih
manusiawi daripada sistem pelacuran dengan hubungan seks bebas di luar nikah, apalagi
homoseksual yang lebih biadab daripada hewan?

196
Ibid., hlm. 363.
197
Ibid.
198
Dalam beberapa tahun terakhir, setiap tahun ditemukan sekitar 250 juta penderita baru PHS (penyakit-
penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual di negara-negara maju dan berkembang, termasuk AIDS). Lihat
Kompas, Selasa, 21 Maret 1995. Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) adalah penyakit yang membuat
hilangnya sistem kekebalan tubuh. Lihat John Sinclair (ed.), Collin Cobuild English Language Dictionary, London:
Collins Publisher, Cet. I, 1987, hlm. 31. Menurut informasi, tahun 1996 saja sudah tercatat 1.322.190 orang di
seluruh dunia yang mati karena AIDS dan sekitar 21 juta terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Sampai
tahun 2000 diproyeksi meningkat menjadi 20 hingga 40 juta orang, sebab setiap hari HIV dapat menulari sekitar
8500 orang. Lihat Eddy Yurnaidi, “Secercah Harapan yang Mahal”, Majalah Amanah, No. 10 Tahun XI, September
1996, hlm. 18.

122
5.Dampak Psikologis Poligami
Jika diamati secara saksama, kebolehan poligami dalam Islam merupakan solusi yang
amat tepat dan manusiawi dalam memecahkan problem sosial tentang pernikahan. Poligami
sebenarnya membuat wanita lebih terhormat ketimbang pergaulan bebas di Barat yang
sekarang telah mulai menggerogoti budaya dan adat istiadat kita.
Tapi, jika pelaku poligami itu tidak melaksanakan ajaran Alqur′an secara baik dan
konsekuen, maka kemana pun dia pergi dari sejumlah istrinya itu, ia akan merasa tersiksa.
Bukannya akan meraih kenikmatan hidup, malah sebaliknya, dia akan merasakan kehidupan
rumah tangganya bagaikan neraka dunia, yang selalu siap membakar tiap saat, seperti yang
digambarkan oleh Syekh Abdullah al-Alami:
Aku menikahi dua orang istri karena ketololanku
Dan alangkah celakanya menjadi suami dari dua orang istri
Aku mendambakan kehidupan yang bahagia
Bagaikan domba jantan bersuka ria di antara dua kambing betina
Tapi apa dayaku kenyataan malah berlaku sebaliknya
Siksaan batin yang berkepanjangan senantiasa menimpa diriku dari dua pihak
Kalau yang ini puas, yang sana bangkit amarahnya
Jadi, selamanya aku tak lepas dari kemarahan salah satunya.199

Kondisi permusuhan demikian tidak hanya dapat dirasakan oleh suami-istri (ayah-
ibu), tetapi dapat menular kepada anak-anak yang lahir dari dua ibu yang berlainan. Bila ini
terjadi, kehidupan di dalam keluarga akan menjadi bumerang bagi generasi bangsa di
kemudian hari. Sehingga, terjadilah saling membunuh di antara dua keluarga yang
bermaduan itu.
Karenanya, jika masih dapat menghindar dari poligami, sebaiknya tidak
melakukannya. Tapi, jika tidak ada jalan lain kecuali berpoligami, apa boleh buat, lakukanlah
dengan memenuhi semua persyaratan yang telah ditetapkan di dalam Alqur’an , sebagaimana
tertuang secara rinci dalam kitab-kitab fiqih, dan khusus untuk Indonesia termaktub dalam
UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975.
C.PENUTUP
Berangkat dari kenyataan yang diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
sistem poligami termasuk bagian syariat Islam yang harus dipertahankan. Sebab, sistem ini
tidak merugikan kehidupan di muka bumi sedikit pun. Apalagi sistem ini juga tidak
199
Ibid., hlm. 364; al-Siba’i, Wanita, hlm. 126.

123
bertentangan dengan HAM, malah sebaliknya, memberikan keuntungan bagi kaum wanita,
selama tidak disalahgunakan oleh pria. Dalam hal ini, tepatlah apa yang dikatakan
Munthahhari bahwa poligami sebenarnya adalah bagian dari hak-hak kaum wanita,200 supaya
mereka menjadi terhormat dan tidak dipermainkan seperti boneka oleh tangan-tangan jahil
kaum laki-laki.
Jadi, dalam kondisi darurat sebagaimana digambarkan itu, seorang istri harus bersikap
toleran, tidak boleh menang sendiri. Sadarilah bahwa selain Anda, ada wanita lain yang juga
amat membutuhkan pengayoman dari suami tercinta.201 Sehingga, siapa pun yang melakukan
hubungan seks tanpa nikah dikecam keras oleh setiap akal sehat; bahkan, mengarah saja ke
perbuatan itu sudah dinyatakan secara tegas oleh Alqur′an sebagai suatu perbuatan yang bejat
dan amat keji (QS. Al-Isrȃ′: 32). Itu berarti pranata perkawinan sudah menjadi keniscayaan
yang harus digelar. Sekalipun kaum feminis liberal, seperti di Amerika, menolak pernikahan
dengan alasan akan mengganggu aktivitasnya sebagai wanita karir.202
Di sini tidak akan dibahas substansi pernikahaan, akan tetapi hak seorang perempuan
untuk menentukan kapan ia mau menikah dan dengan siapa. Itulah yang akan dikaji dalam
tulisan ini.
Sesuai dengan fungsinya sebagai ajaran dasar, Alqur′an tidak memuat rincian hak-hak
seseorang, namun dia menekankan hak-hak yang bersifat umum, menyangkut hajat orang
banyak. Bila hal itu tidak dijelaskan bisa merusak tatanan yang telah baik. Dalam hal ini,
Alqur′an menegaskan tidak boleh menikahi wanita musyrikah atau menikahkan wanita
muslimah dengan non-muslim. Demikian pula Allah melarang menikahi keluarga dekat,
seperti ayah, ibu, nenek, ibu tiri, bapak tiri, adik, bibi, paman, dan sebagainya (QS. al-Nisȃ′:
22-24203).
Dari pembacaan terhadap ayat Alqur′an itu, tampak dengan gamblang bahwa
Alqur’an memang tidak membicarakan kebebasan perempuan dalam memilih jodoh. Oleh
200
Muthahhari, The Right, hlm. 338.
201
Tidak kurang dari 23 kali Alqur′an menyebut lafadz “nikah” dalam berbagai konjugasinya. Lihat QS. al-
Baqarah: 221 (2 kali), 230, 232, 235, 237; QS. al-Nisȃ′: 3, 6, 22 (2 kali), 25 (2 kali), 127; QS. al-Nûr: 3, 23, 33 (2
kali), 60; QS. al-Qashash: 27; QS. al-Ahzȃb: 48, 50, 53; QS. al-Mumtahanah: 10.
202
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, Bandung: Mizan, Cet. I, 1999, hlm. 118-128.
ْ‫ْوأَخ ََوات ه هكم‬ َ ‫م‬ ‫ه‬
‫ك‬ ‫ه‬ ‫ت‬‫َا‬ ‫ن‬ ‫ب‬ َ ‫علَي هكم ْأ ه َم َهات ه هكم‬
َ ‫ْو‬ َ ْ ‫) ْ هح ِر َمت‬22(ْ ْ‫سا َء ْ َس ِبيل‬ َ ‫ْو‬َ ‫ْو َمقتا‬ َ ‫َ ْ ِإنَههْ َكانَ ْفَاحِ شَة‬ َ ‫س َل‬ َ ْ ‫ساءِ ْ ِإ َّل ْ َما ْقَد‬ ِ َ‫ َو َّل ْت َن ِك هحوا ْ َما ْنَ َك َح ْآ َبا هؤ هكم ْمِ ن‬203
َ ‫ْالن‬
ْ‫سائِ هك هم‬
َ ‫ن‬
ِ ْ ‫ن‬ ِ‫ْم‬ ‫م‬ ‫ه‬
‫ك‬ ‫ور‬ِ ‫ج‬
‫ه‬ ‫ح‬
‫ه‬ ْ‫ِي‬ ‫ف‬ ْ‫ِي‬ ‫ت‬ َ
‫الل‬ ْ ْ
‫م‬ ‫ه‬
‫ك‬ ‫ه‬
‫َ ََ ه‬‫ب‬‫ئ‬ِ ‫ا‬‫ب‬‫ر‬ ‫ْو‬ ‫م‬‫ك‬‫ه‬ ‫ئ‬
ِ ‫ا‬‫س‬َ ‫ن‬
ِ ْ ‫اته‬‫ه‬ ‫م‬
َ ‫ه‬ ‫أ‬‫ِْو‬
َ َ َ َ ‫ة‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫ض‬ ‫ْالر‬
َ َ‫ن‬ ِ‫م‬ ْ ‫م‬
ْ ‫ه‬
‫ك‬ ‫ه‬ ‫ت‬‫ا‬ ‫َو‬
َ َ ‫خ‬ َ ‫أ‬ ‫ْو‬ ‫م‬‫ك‬ ‫ه‬ ‫ن‬
َ ‫ع‬ ‫ض‬ َ ‫ر‬ َ ‫أ‬ ْ‫ِي‬ ‫ت‬‫ْالل‬َ ‫ْوأ ه َم َ ه‬
‫م‬‫ك‬‫ه‬ ‫ه‬ ‫ت‬‫ا‬ ‫ه‬ َ ‫ت‬ ِ ‫ْو َبنَاته ْاألهخ‬ َ ِ‫ْو َبنَاته ْاألَخ‬ َ ‫َاّلت ه هكم‬
َ ‫ْوخ‬ َ ‫ع َمات ه هكم‬َ ‫َو‬
ْ‫غفهورا‬ َ ْ َ‫ّْللاَْ َكان‬ َ ‫َ ْ ِإ َن‬ َْ َ‫سل‬ َ ْ ‫ْوأَن ْت َج َمعهواْبَينَ ْاألهخت َي ِن ْ ِإ َّل ْ َماْقَد‬ َ ِ ‫م‬‫ك‬‫ه‬ ‫ب‬‫ل‬ َ ‫ص‬ َ ‫أ‬ ْ ‫ن‬ ِ‫ْم‬ َ‫ِين‬ ‫ذ‬ َ ‫ْال‬
ْ ‫م‬
‫ه‬ ‫ه‬
‫ك‬ ‫ئ‬
ِ ‫َا‬ ‫ن‬‫ب‬ َ ‫أ‬ ْ ‫ه‬
‫ل‬ ‫ئ‬
ِ ‫ل‬َ ‫ح‬ َ ‫ْو‬
َ ‫م‬‫ك‬‫ه‬ ‫ي‬َ ‫ل‬‫ع‬َ ْ ‫ح‬
َ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫ج‬
‫ه‬ ْ ‫ل‬َ َ ‫ف‬ْ َ
‫ن‬ ‫ه‬
ِِ‫ب‬ ْ ‫م‬‫ه‬ ‫ت‬‫َل‬
‫خ‬ َ ‫د‬ ْ‫وا‬ ‫ه‬ ‫ن‬‫و‬ ‫ه‬
‫ك‬ َ ‫ت‬ْ ‫م‬َ ‫ل‬ْ ‫ن‬ ‫إ‬َ
ِ ِِ‫ف‬ْ َ
‫ن‬ ‫ه‬ ‫ب‬ْ ‫م‬‫ه‬ ‫ت‬‫َل‬‫خ‬َ ‫د‬ ْ‫ِي‬ ‫ت‬ َ
‫الل‬
ْ‫سافِحِ ينَ ْفَ َماْاست َمت َعْتهم‬ َ ‫صنِينَ ْغَي َرْ هم‬ ِ ‫اْو َرا َءْذَ ِل هكمْأَنْت َبتَغهواْبِأَم َوا ِل هكمْ همح‬ َ ‫ْوأهحِ لَْلَ هكمْ َم‬ َ ‫علَي هكم‬ َ ِْ‫ّْللا‬ َ ‫َاب‬ َ ‫ساءِ ْإِ َّلْ َماْ َملَكَتْأَي َمانه هكمْ ِكت‬ َ ِ‫صنَاته ْمِ نَ ْالن‬ َ ‫)ْوال همح‬ َ 23(ْ‫َرحِ يما‬
ْ )24ْ،22ْ:‫)ْ(النساء‬24(ْ‫علِيماْ َحكِيما‬ َ ‫ض ِْةْإِ َن‬
َ ْ َ‫ّْللاَْ َكان‬ َ ‫ضيتهمْبِهِْمِ نْبَعدِْالف َِري‬ َ ‫علَي هكمْفِي َماْت ََرا‬ َ ْ‫ْو َّلْ هجنَا َح‬ َ ‫ضة‬ َ ‫وره َهنْفَ ِري‬ َ ‫بِهِْمِ ن هه َنْفَآتهوه َهنْأ ه هج‬

124
karena itu, Rasulullah sebagai pemegang amanat khusus dari Allah, memberikan petunjuk
yang jelas.
Pada suatu hari, seorang wanita datang kepada Nabi, mengadukan perihal ayahnya
yang memaksanya untuk menikah dengan seorang pria pilihan ayahnya, sementara ia sendiri
tidak menyukai pria itu. Lantas Rasulullah pun menyerahkan keputusannya pada sang wanita.
Meski akhirnya dia menerima calon dari ayahnya itu, namun dia berucap, “Saya hanya ingin
memberitahu bahwa dalam masalah pernikahan, orangtua seyogyanya tidak memaksakan
keinginannya.” (HR. Ibnu Majah, Nasa’i, Ahmad)
Untuk menjodohkan seorang gadis remaja yang belum pernah menikah sekalipun Nabi
tidak mau memaksanya, apalagi bila seorang janda. Karenanya, Nabi menyerahkan
sepenuhnya keputusan kepada si janda itu. Dalam konteks ini, Nabi berucap, “Perempuan
janda lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya (ayah dan sebagainya), sementara gadis
diminta persetujuannya. Apabila ia diam, berarti dia setuju.” (HR. Muslim)
Namun, di sini terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama fiqih. Jika ditelaah
kitab-kitab Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, maka akan ditemukan bahwa nikah tanpa
wali dan dua orang saksi yang jujur itu tidak sah. Pendapat tersebut merujuk pada riwayat dari
Ibnu Abbas, “Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang jujur.” Ada pula riwayat
dari ‘Aisyah RA, “Perempuan manapun yang menikah tanpa persetujuan walinya, maka
‘akadnya batal, batal, batal (demi hukum).” (HR. Turmudzi)
Kedua hadis ini amat populer di kalangan mayoritas umat Islam di dunia, tidak
terkecuali Indonesia; bahkan, di negara Pancasila ini ketentuan perkawinan semacam itu tidak
hanya sebatas kaidah fiqhiyah, melainkan telah meningkat menjadi hukum positif yang
berlaku di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 1974 dan terkenal dengan Undang-undang
No. 1 Tahun 1974.
Jika diamati dengan saksama, pemberlakuan hadis tersebut di tengah masyarakat lebih
banyak bermuatan adab sopan santun dan menunjukkan bahwa akad nikah itu bukan akad
biasa, tetapi akad yang sakral dan mempunyai implikasi-implikasi besar di kemudian hari,
terutama bagi mereka yang dikaruniai keturunan dan kekayaan harta. Islam memandang akad
nikah bukan sekadar “kontrak sosial” sebagaimana banyak dipahami oleh masyarakat Barat.
Dengan dilibatkannya para wali dari pihak perempuan dalam akad nikah untuk
keabsahaan suatu perkawinan, maka jika di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak

125
diinginkan, para wali atau keluarga tersebut ikut bertanggung jawab, tidak hanya dipikul si
perempuan sendiri. Ini berarti ada pengayoman penuh terhadap hak-hak reproduksi
perempuan tadi.
Bayangkan apabila dalam suatu perkawinan, keluarga tidak dilibatkan, lalu timbul
persoalan rumah tangga seperti perceraian dan kematian, sementara ada sejumlah anak yang
membutuhkan pengasuhan dan biaya, maka si istri yang ditinggalkan suaminya akan sangat
kesusahan memikul beban berat sendirian. Sementara itu, famili dekat merasa tidak
bertanggung jawab karena tidak dilibatkan dalam proses pernikahan sejak dulu.
Sungguh amat ironis sekaligus menyedihkan bila hal itu terjadi. Barangkali
dikarenakan adanya kemungkinan hal itu bisa terjadi, maka kitab-kitab fiqih Sunni dalam tiga
mazhab yang telah disebut di muka mengharamkan nikah mut’ah yang oleh kaum Syi’ah
sampai sekarang masih diperbolehkan.
Berdasarkan gambaran itu kita dapat berkata bahwa, penetapan adanya wali nikah
sebagai syarat sahnya sebuah perkawinan didorong oleh kaidah ushul fiqih,“Menolak mudarat
lebih didahulukan daripada mendatangkan maslahat.” Dalam konteks ini, tak heran jika Abu
Hanifah tidak mensyaratkan izin wali dalam keabsahan pernikahan. Hal itu dapat dipahami
karena sosok Abu Hanifah adalah ahli fiqih yang amat rasional dan tempat tinggalnya jauh
dari pusat peradaban Islam. Maka, beliau tidak gampang percaya pada sebuah hadis. Ketika
beliau menemukan hadis yang sukar dipercaya karena tidak sesuai dengan realitas sosial,
maka beliau tidak mengambil teks hadis itu, tetapi hanya menggunakan spiritnya seperti hadis
tentang persetujuan wali tadi. Spirit dari hadis itu ialah, sebuah perkawinan jangan
mengakibatkan kezaliman atas hak-hak perempuan. Selama hal itu dapat diusahakan, maka
peranan wali untuk keabsahan perkawinan tidak terlalu urgen. Pola pikir Abu Hanifah ini juga
tidak jauh berbeda dari kaidah, “Suatu ketentuan hukum tergantung pada illatnya: ada atau
tidak ada.” Dalam kaidah lainnya, “Semua persoalan tergantung dari tujuannya.” Artinya,
jalan yang ditempuh boleh berbeda, asalkan sama-sama bisa mengantarkan kepada tujuan
yang akan dicapai dengan selamat.
Di abad modern seperti sekarang, pemikiran-pemikiran liberal seperti yang diungkap
kan kaum Ahnaf (pengikut mazhab Hanafi) itu mulai merasuki kaum intelektual kita,
termasuk kaun feminis. Dalam kondisi seperti ini, Rasulullah SAW menganjurkan agar kita

126
menenangkan pikiran dan bertanya ke hati nurani. Di dalam di hadis lain, Nabi menegaskan,
“Yang baik itu adalah yang dapat membuat hatimu tenteram.” (HR. Darimi)
Jadi, kesimpulannya mengenai hak menentukan perkawinan bagi seorang perempuan
perlu dipikirkan secara matang, tidak boleh serampangan, sebab akibatnya yang akan
menderita adalah si perempuan itu. Oleh karenanya, jangan mudah terayu oleh isapan jempol,
janji-janji surgawi dari pria-pria “hidung belang” yang tujuannya hanya menikmati
kesenangan sesaat.

Untuk memudahkan kita memahami pengembangan substansi materi pendidikan


agama Islam dengan sistem terpadu itu, dapat dilihat gambar sebatang pohon yang rindang
dan berbuah lebat sebagai berikut:

Ada empat unsur pokok yang tergambar pada pohon itu, yaitu 1) tanah, 2) akar, 3)
batang, serta 4) buah dan daun.
a) Tanah
Tanah tempat tumbuhnya pohon tersebut ialah simbol dari Alqur′an, Sunnah, dan ijtihad.
Lambang ini memberi makna bahwa aktifitas pendidikan harus tumbuh dan berkembang

127
berdasarkan Alqur′an dan Sunnah serta pemikiran rasional (ijtihad). Ketiga sumber inilah yang
menjadi nutrisi pokok bagi pohon pendidikan itu untuk tumbuh dan berkembang.
b) Akar
Akar yang terletak paling dasar melambangkan materi atau isi pendidikan yang terdiri
atas perpaduan antara ilmu agama dan umum. Kekuatan pohon tersebut sangat tergantung pada
kesolidan dan kesehatan akarnya, dan sejauh mana ia tertancap di dalam tanah. Jika tanah itu
melambangkan Alqur′an, Sunnah, dan Ijtihad, maka akar pohon sebagai lambang dari materi
pendidikan harus tertancap dan mengakar jauh di dalam ajaran Alqur′an, Sunnah, dan Ijtihad
itu agar pohon tidak mudah goyah atau tumbang ataupun kekurangan nutrisi.
Makna akar besar yang berjumlah 6 buah ialah lambang dari rukun iman yang enam, di
mana Allah sebagai akar tunggangnya dan disekitarnya ada lima akar penunjang, yaitu iman
kepada malaikat, kitab suci, rasul, kebangkitan di akhirat, dan takdir.
c) Batang
Batang pohon melambangkan kebijakan dan perencanaan pendidikan. Ini mencakup
semua program dan rencana kependidikan seperti metode, kurikulum, silabus, manajemen, dan
sebagainya. Ini berarti, proses kependidikan sejak awal sampai akhir dibahas di sini. Jika
demikian, maka keberhasilan suatu pendidikan amat bergantung pada kebijakan dan
perencanaan yang merupakan batang dari sebuah pohon pendidikan. Itu artinya, sebagus apa
pun bahan ajar kependi dikan, dia tidak akan berhasil mencapai tujuan yang diharapkan
bilamana perencanaan dan programnya tidak mendukung.
Dalam konteks ini, ada benarnya jargon yang sering dikemuka kan oleh para ahli
pendidikan bahwa metode lebih penting daripada bahan ajar (al-thariqah ahamm min al-
mâddah). Jadi, jika diibaratkan pendidikan itu bagaikan pohon, maka pohon tersebut tidak akan
mrhasilenghasilkan buah yang diharapkan kecuali setelah batangnya kuat dan matang. Jangan
berharap dia akan berbuah bilamana batangnya belum matang; apalagi jika batang tersebut
tidak sehat karena digerogoti oleh berbagai virus subyektifitas kepercayaan dan keyakin an
yang keliru atau menyimpang dari alur dan norma yang benar dan sebagainya sehingga batang
tersebut menjadi keropos. Jika kondisi serupa ini terjadi maka jangan diharapkan pendidikan
kita akan berhasil menyelematkan hidup dan kehidupan di muka bumi ini; apalagi menciptakan
kebahagiaan dunia akhirat.
d) Buah dan Daun

128
Buah dan daun adalah simbol bagi hasil dari suatu proses kependidikan. Buah yang
dihasilkan oleh sebatang pohon akan dapat memenuhi harapan jika semua tahap proses yang
dilaluinya berjalan baik dan benar. Demikian pula asupan nutrisi yang diterimanya dalam
kondisi baik dan cukup memadai. Artinya, semua persyaratan dan kriteria yang diperlukan
dipenuhi, tidak ada yang tertinggal atau diabaikan.
Apabila semua itu berjalan sesuai prosedur yang ditetapkan, maka pendidikan akan
membuahkan hasil sesuai harapan karena pohon itu tumbuh dan berkembang menjadi rindang
dengan asupan nutrisi dari Alqur′an, Sunnah, dan Ijtihad. Dengan demikian, secara teoritis,
buah yang dihasilkannya pasti sesuatu yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan umat; baik
untuk kehidupan mereka di dunia yang fana ini, maupun di akhirat yang abadi kelak. Buah
tersebut berupa kesalehan intelektual, kesalehan struktural, dan kesalehan sosial.

-----nb-----

129
KELIMA
KATA AKHIR

130
KESIMPULAN & REKOMENDASI

Setelah melakukan kajian terhadap berbagai permasalahan sosial dan solusinya dalam
perspektif Alqur′an, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terjadinya berbagai permasalahan sosial sebagaimana digambarkan di dalam tulisan ini pada
umumnya bermula dari ditinggalkannya ajaran-ajaran Qur′ani yang transenden dari Allah.
Hal ini sejalan dengan pesan Nabi saw bahwa beliau telah meninggalkan dua pusaka yaitu
Kitab Allah dan Sunnahnya. Beliau menjamin selama umat berpegang teguh pada keduanya,
selama itu pula mereka tidak akan sesat selama-lamanya204.
2. Jargon kembali kepada Alqur′an sebagainama sering dikumandangkan oleh para tokoh
pembaru dan para ulama harus diiringi dengan tindakan nyata, tidak cukup hanya
disampaikan melalui komunikasi lisan, media sosial dan elektronik belaka seperti surat
kabar, majalah, jurnal, televisi, radio, dsb.; melainkan perlu dilakukan secara terprogram dan
terukur, sehingga dapat dipantau capaiannya dan di akhir program dapat dievaluasi apakah
program yang dicanangkan mencapai target atau tidak.
3. Untuk maksud itu pesan-pesan atau informasi yang tertuang di dalam kitab suci tersebut
harus dipahami dengan baik dan benar; yakni sebuah pemahaman yang tidak keluar atau
bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Dalam konteks ini paling tidak, ada
tiga unsur yang harus diperhatikan dalam proses memahaminya; yaitu rasional, objektif dan
argumentatif. Ketiga unsur ini harus selalu ada dalam setiap langkah memahami dan
menafsiri ayat suci. Artinya dengan menerapkan ketiga prinsip itu kita ingin memahami

204
(1323َ/5(َ‫ََوسنَّةَََ َنبِيِ ِهَ“ )موطأَمالكَتَاألعظمي‬ َّ ‫َضلُّواَ َماَت َ َم‬
َ ‫َ ِكت‬:‫س ْكت ْمََبِ ِه َما‬
َ ِ‫َابََللا‬ ِ ‫”ت ََر ْكتََفِيك ْمََأ َ ْم َري ِْنََلَ ْنََت‬

131
Alqur′an sesuai penjelasan Alqur′an itu; atau dengan ungkapan lain biarkanlah Alqur′an
berbicara tentang dirinya sendiri tanpa diintervensi oleh ide dan pikiran manusia. Penerapan
ketiga unsur itu baru dapat dilaksanakan bilamana seseorang menguasai ilmu tafsir dengan
baik dan memadai serta menguasai bahasa Arab dan kaedahnya di samping memahami dan
menghayati konteks ayat yang sedang dibahas. Hal itu dilakukan karena keseluruhan ayat
Alqur′an merupakan satu kesatuan yang utuh antara suatu ayat dengan ayat yang lain
mempunyai keterkaitan yang kuat sekali; demikian pula dengan konteksnya. Dari itu untuk
memahaminya, keseluruhan yang berkaitan dengannya harus dikuasai dan tidak boleh luput
dari perhatian siapa pun yang ingin memahami kitab suci itu.

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku:
Al-Qur′ȃn al-Karȋm.

A.Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Bandung, Penerbit Pustaka, cet. ke-1, 1983.

Ahmad al-Shouwi, et.al. Mukjizat al-Qur′ȃn dan al-Sunnah tentang IPTEK, Jakarta, Gema
Insani Press, cet. ke-1, 1995,

’Abd al-Bâqî Muhammad al-Fu'âd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur'ân, t.tp., Dâr al-
Fikr, cet. ke-1, 1986.

‘Ajâj al-Khathîb, Muhammad, Ushul al-Hadits, t.tp., Dâr al-Fikr, cet. ke-3, 1975.

Ahmad Syalabî, Mawsû’at al-Târîkh al-Islâmî, Kairo, al-Nahdhat al-Mishriyyah, III, 1974.

‘Abd al-Rahmân al-Suhailî, al-Rawdh al-Unuf fi Syarh al-Sîrat al-Nabawiyyah li Ibni Hisyâm,
(tahqîq ‘Abd al-Rahmân al-Wakîl, Kairo, Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1389 H/1969 M.

Ahmad Amîn, Zu’amâ′ a-Ishlȃh fi al-‘Ashr al-Hadîts, Kairo, Maktabat al-Nahdhat al-
Mishriyyah, cet. ke-4, 1979.

Ali Akbar, Israil dan Isyarat di dalam Kitab Suci Alqur’an , terj. Lukman Laksono, Bandung,
PT. Alma’arif, cet.ke-1, 1986.

Ali, K., A Study of Islamic History, Delhi, Idarah-I Adabiat-I Delhi (reprint), 1980.

Abdullah Wasi’an, K.H.,Pendeta Menghujat Kiai Menjawab, Surabaya, Pustaka al-Fatah, cet.
ke-1, 1997.

132
‘Abdel Haleem, M.,“Tolerance in Islam”, di dalam The Islamic Quarterly, A. Review of
Islamic Culture, Vol. XLII, No. II, The Islamic Cultural Centre, 1998.

‘Abdul Wahhȃb Khallȃf, Khulȃshat Tȃrȋkh al-Tasyrȋ’ al-Islȃmȋ, Jakarta, al-Majlis al-‘Ala al-
Indunisȋ li al-Da’wat al-Islȃmiyyah, 1968.

al-Attas, Syekh Naquib, “Dewesternisasi Pengetahuan” dalam Islam dan Sekulerisme, t.tp.,
Pustaka Salman, 1981.

Al-Ȃlûsȋ, Rûh Al-Ma’ȃnȋ, Dȃr al-Fikr, VII, t.th.

al-Baghawȋ, Tafsȋr al-Baghawȋ, III.

al-Bannânî, Hasyiyat al-‘Allâmah al-Bannânî, Mesir, Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.

Departemen Agama, Alqur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, II, t.th.

Ditjen Bimas Katolik Dep. RI, Kitab Suci Perjanjian Baru, Jakarta,1982/1983.

Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, cet. Ke-2, 1982.

Haidar Baqir dan Zainal Abidin, di dalam Mahdi Ghulsyaini, Filsafat Sains Menurut Alqur’an
Bandung, Penerbit Mizan, cet. ke-3, 1990.

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press, 1979

………., Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta, UI Press, 1982.


Hassan Ibrâhîm Hasan, Târîkh al-Islâm, Kairo: Maktabat al-Nahdhat al-Mishriyyah, I-V,
1976.
Hassan Shadily (Pimp. Redaksi), Ensiklopedi Indonesia, Jakarta, Ichtiar Baru-Van Hoeve,
1984.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, London, the Macmillan Press Ltd., cet. ke-10…?

Hudhari Bek, Târîkh al-Umam al-Islȃmiyah, Kairo, al-Istiqȃmah, 1945.


Ibnu Katsȋr, Tafsȋr Alqur′ȃn Al-‘Azhȋm, Bairût: Dȃr al-Fikr, 1992 M.

Ibnu Khaldûn, Muqaddimah, Mesir, Mushthafa Muhammad, t.th.

Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl fî Mâ Bayn al-Hikmah wa al-Syarî’ah min al-Ittishâl, Mesir, Dâr
al-Ma’ârif, 1972.
al-Kaylȃnȋ, Muhammad Sayyid (ed.), al-Mufradȃt fi Gharȋb al Qur′ȃn , Mesir, Musthafa al-
Bȃb al-Halabȋ, t.th.

133
Khalȋl Yasien, Syekh, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, terj. H. Salim Basyarahil,
Jakarta, Gema Insani, ke-2, 1990.

Mahmûd Syaltût, al-Islȃm, Aqîdah wa Syari’ah, t.tp., Dâr al-Qalam, cet. ke-3, 1966.

Mahmud Yunus, Tafsir Qur′an Karim Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Mahmudiyah, cet.
ke-5, 1954.

Mannȃ’ al-Qaththȃn,Mabȃhits fi ‘Ulûm al-Qur′ȃn, Beirût, Mu′assasat al-Risȃlah,1980M/


1400H.

al-Marȃghȋ, Ahmad Musthafȃ, Tafsȋr Al-Marȃghȋ, Dȃr al-Fikr, t.th.

Michael H. Hart, Seratus Tokoh…..?

Murthada Muthahhari, The Right of Women in Islam, Teheran, WOFIS, t.th.

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Alqur’an , Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. ke-1,
2002.

NoahWebster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, cet. ke-2, Amerika Serikat,
William Collins, 1980

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, cet. ke-1, 1995.
………, “Nabi Menembus Langit Ketujuh”,Harian Pelita,9 Pebruari 1990M/13 Rajab 1410 H.

Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit


Djambatan, cet. ke-4, 1989.

al-Qurthubȋ, Abû ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Ansharȋ, al-Jȃmi’ li-Ahkȃm al-
Qur′ȃn , t.tp., 1954 M/1373 H, Jilid II.

Quraish Shihab, M., Tafsȋr al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur′ȃn , Jakarta:
Lentera Hati, cet. ke-1, 2000 M/1421 H.

………, Wawasan Alqur’an , Bandung, Penerbit Mizan, cet. ke-3, 1996.

Rasyȋd Ridhȃ, Muhammad, Tafsȋr al-Qur′ȃn al-Hakȋm (Tafsȋr al-Manȃr), t.tp., Dȃr al-Fikr,
cet. ke-2, X.

al-Rȃzȋ ,Fakhr al-Dȋn Muhammad bin ‘Umar, al-Tafsȋr al-Kabȋr (Mafȃtih al-Ghayb), Beirût:
Dȃr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, XVI, t.th.
Riffat Hassan, “Teologi Perempuan Dalam Tradisi Islam”, dalam Ulumul Qur’an, Vol. I,
Jakarta: LSAF, 1990.
Rita L. Atkinon (et all.), Pengantar Psikologi, Surabaya, Erlangga, 1999.

134
Sayyid Sabiq, …..?

Sayyid Quthub, Tafsȋr fi Zhilȃl Alqur’an , t.tp., Dȃr al-Syurûq, cet. ke-24, 1995 M/1415 H, I.

Syawqî Abû Khalîl, Athlas Alqur′ȃn , Beirût, Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, cet. ke-2, 2003.

al-Sibȃ’ȋ, Musthafa, Wanita di Antara Hukum dan Perundang-undangan, terj.Chadijah


Nasution, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Sinclair John(ed.), Collin Cobuild English Language Dictionary, London, Collins Publisher,
cet. ke-1, 1987.

al-Suyûthȋ, al-Itqȃn fi ‘Ulûm al-Qur′ȃn , Beirût: Dȃr al-Fikr, t.th., II.

al-Thabarȋ, Tafsȋr al-Thabarȋ, Beirût, Dȃr al-Kutub al-Ilmiyat, cet. ke-1, 1992 M/ 1412 H.

Tim Penulis, Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, Jakarta, Proyek Pembinaan Pendidikan
Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, 1984.

Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cet. ke-1, 1988.

al-Wȃhidȋ, Asbȃb al-Nuzûl (ed. Ahmad Shaqar), t.tp., t.pn., cet. ke-2, 1984M/1404H.

Yusuf Ali, A., The Holy Qur’an Text, Translation and Comentary, Mary Land, Amana Comp,
1983.

Al-Zamakhsyarȋ, Tafsȋr Al-Kasysyȃf, Beirût, Dȃr al-Ma’ȃrif, t.th.

al-Zarqȃnȋ, Manȃhil ȃl-‘Irfȃn fi ‘Ulûm al-Qur′ȃn , t.tp., ‘Isȃ al-Bȃb al-Halabȋ, t.th.

Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, t.tp., Pustaka Salman, 1987,

B.Media Cetak:

1.Majalah/Jurnal/Tabloid.

Majalah Amanah, No. 122, 8-21 Maret, 1991.


Majalah Kartini…..?

Jurnal Ulumul Qur’an, No. 9 Volume II, 1991.


Detak(tabloid), No. 035, tanggal 23-29 Maret 1999.

2.Surat Kabar

Harian Kompas, Selasa 27 Juli 2004.

135
Harian Republika, 17 Juni 1996; 20 Okt. 2005.

Hari

an Sinar Harapan, 28 Desember 2002.

C.Dokumen Negara:
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 Pasal 3 dan 4; dan peraturan
pelaksanaannya PP No. 9 tahun 1975 Pasal 40-44.

SEKILAS
TENTANG PENULIS

A.Prof. Dr. Nashruddin Baidan lahir 5 Mei 1951 di Lintau, Tanah Datar, Sumatera Barat.
Guru Besar Ilmu Tafsir ini pernah menjabat Ketua STAIN Surakarta(2002-2006);dan Direktur
Pascasarjana IAIN Surakarta(2011-2015). Gelar Doktor Ilmu Tafsir diperolehnya dari IAIN
(UIN) Syahid Jakarta 1990 setelah mempertahankan disertasi yang berjudul Metode
Penafsiran Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip di Dalam Alqur’an.
Alumni Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang 1977 ini memulai kariernya sebagai
dosen IAIN (UIN) Susqa Pekanbaru (1979-1994) dan tahun 1990-1993 menjabat Pembantu
Dekan III Fakultas Syari’ah. Sebelumnya menjabat Ketua Jurusan Bahasa Arab, Fakultas
Tarbiyah (1984). Selain di Perguruan Tinggi, dia juga aktif dalam berbagai kegiatan
organisasi keagamaan seperti menjadi Wakil Ketua LPTQ Propinsi Riau (1983-1985), Ketua
Bidang Kajian Klasik ICMI Wilayah Riau (1992-1994). Tahun 1994 dipindahtugaskan oleh
Menteri Agama ke Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Surakarta, dan dua tahun kemudian
diangkat Pembantu Dekan I pada fakultas yang sama (1996); terus Pembantu Ketua I STAIN
Surakarta (1997); di samping itu ia juga aktif sebagai Ketua MUI Propinsi Jawa Tengah dan
MUI Surakarta serta aktif sebagai Dewan Pakar ICMI, dan MES sampai sekarang.
Selain mengajar pada Strata I maupun Pascasarjana IAIN Surakarta, dia juga pernah
mengajar di UIN Yogyakarta terutama pada Program Pascasarjana (PPs), PPs.UMS, PPs.
UNU Surakarta dan sampai sekarang PPs. UNIBA. Selain mengajar, dia juga sering menjadi
narasumber pada pertemuan-pertemuan ilmiah; baik tingkat internasional, nasional, maupun
regional seperti seminar, simposium, kongres dan sebagainya. Di celah-celah kesibukan yang
cukup padat dia tetap menyediakan waktunya berdakwah dan menulis buku serta melakukan
penelitian. Di antara karyanya yang sudah diterbitkan: Metode Penafsiran Ayat-Ayat yang

136
Beredaksi Mirip di Dalam Alqur′an (Fajar Harapan,1992); Metodologi Penafsiran Alqur′an
(Pustaka Pelajar,Yogyakarta,1998); Tafsir bi al-Ra′y (Upaya Penggalian Konsep Wanita
Dalam al-Qur’an)(Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1999); Rekonstruksi Ilmu Tafsir (Dana Bhakti
Primayasa, Yogyakarta,2000); Tafsir Maudhu’i (Solusi Qur’ani Terhadap Masalah-Masalah
Kontemporer)(Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001); Perkembangan Tafsir Al-Qur′an di
Indonesia (Tiga Serangkai, Solo, 2003); Metode Penafsiran Alqur′an (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta,2004); Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2005); Etika
Islam Dalam Berbisnis (bersama Dr.Erwati Aziz, Zada Hanifah, 2008); Tafsir Kontemporer
Surat Yasin,(bersama Dr.Erwati Aziz, Tiga Serangkai, Solo, 2009); Penanggulangan
Osteoporosis Perspektif Islam,(Perwatusi Sukoharjo, 2009); Tafsir Kontemporer Surat al-
Fatihah(Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2012); Konsepsi Taqwa Perspektif Alqur′an(hasil
penelitian)(Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2015); dan Metodologi Khusus Penelitian
Tafsir(bersama Dr.Erwati Aziz, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2016). Selain itu dia juga aktif
menulis di berbagai media cetak seperti jurnal, surat kabar dll., di samping menulis artikel
untuk pengantar buku; antara lain Teologi Islam Terapan, Relasi Jender Dalam Islam dan
lain-lain.
Sampai sekarang dia tercatat sebagai anggota tim penguji luar kandidat doktor (Ph.D)
pada Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).

B. Dr. Hj Erwati Aziz, M.Ag. lahir di kota Payakumbuh Sumatera Barat pada tgl 29 September
1955. Doktor Studi Islam dan menekuni Ilmu Hadis ini adalah dosen IAIN Surakarta. Isteri
Prof Dr. H. Nashruddin Baidan dan ibu dari Nesri Baidani S.Psy dan Ne’imah Baidani ST ini
memperoleh gelar Doktornya dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2008) setelah
mempertahankan disertasinya yang berjudul Musykil Al-Qur′an. Sarjana Muda (BA) Sastra
Arab diperolehnya dari Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang (1978). Sarjana Lengkap
(Dra) dalam Pendidikan Agama Islam diperolehnya dari Fakultas Tarbiyah UMJ di Jakarta
(1989) dan gelar Magister Ilmu Agama (M.Ag) diperolehnya dari IAIN Sunan Kalijaga (UIN)
pada tahun 1998.
Karirnya bermula sebagai Guru SD di Kota Sawahlunto (1978-1980), Guru Bahasa
Arab SMA Seri Rama Pekanbaru (1980-1984) dan Dosen Tidak Tetap IAIN (UIN) Susqa
Pekanbaru (1981–1985). Pada tahun 1983 diangkat sebagai PNS di Kanwil Dep. Agama Prop.
Riau, kemudian pindah ke IAIN (UIN) Syahid Jakarta (1985-1990). Tahun 1990 pindah ke
IAIN (UIN) Susqa Pekanbaru (1990-1994) sebagai KUPT Komputer, jabatan ini berlanjut
ketika ia pindah ke IAIN Walisongo di Surakarta (IAIN Surakarta) (1995). Pada tahun 1996 ia
diangkat menjadi dosen tetap STAIN (IAIN Surakarta) Selain aktif sebagai dosen dia juga
berkiprah dalam kegiatan dakwah, dan aktif dalam kepengurusan berbagai organisasi sosial
keagamaan seperti ICMI, PWSB, membina pengajian PKK dan lain-lain, juga pernah menjadi
Ketua PSW IAIN (UIN) Syahid Jakarta dan STAIN (IAIN) Surakarta.
Selain mengajar yang menjadi tugas pokoknya, nenek dari Naufail Rizqi Majid, Nur
Rumaisa Majid, Muhammad Mikail Budimansyah dan Naz Rufaida Majid ini juga aktif
sebagai narasumber pada berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, symposium dan diskusi.
Dalam mengembangkan karir keilmuannya, dia sering menulis karya ilmiah untuk berbagai
jurnal seperti Dinika, Al-A’raf, Al-Tarbawi, Al-’Adalah dan sebagainya, dia juga menulis

137
artikel untuk buku seperti Relasi Jender Dalam Islam, Teologi Islam Terapan diantara
bukunya yang sudah diterbitkan antara lain Prinsip-Prinsip Pendidikan Dalam Surat al-Alaq
(Penerbit Tiga Serangkai 2003), Musykil al-Qur′an (Penerbit Intan Cendekia 2010), Upaya
Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Islam (pustaka Pelajar) Metodologi
Penelitian Hadis. Bersama Prof Nashruddin Baidan ia juga menulis buku Etika Islam Dalam
Berbisnis (Penerbit Zada Hanifa, 2008) dan Tafsir Kontemporer Surat Yasin (Tiga Serangkai
2009) dan Metodologi Penelitian Tafsir (Pustaka Pelajar).
Selain itu dia juga melakukan beberapa penelitian seperti Konversi Agama (Surakarta,
1998), Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, (2001), Pola Asuh Orangtua Terhadap Anaknya (
Studi Bias Jender di Kab. Sukoharjo) Sukoharjo 2002, Persepsi Masyarakat Surakarta
terhadap Ayat-Ayat Jihad Dalam Alqur′an (Surakarta 2003). Kurikulum Program Master of
Islamic Revealed Knowledge and Heritage (MIRKH) Jurusan Qur′an Dan Sunnah Fakultas
Ilmu Wahyu Dan Ilmu Sosial IIUM (Internasional Islamic University Malaysia) Dan Jurusan
Ilmu Alqur′an Dan Tafsir Pascasarjana IAIN SURAKARTA (Sebuah Studi Komparatif 2013),
Fitrah Perspektif Hadis Rasul Allah saw (studi kritik sanad dan matan serta pemahamnnya
2016)

138

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai