Anda di halaman 1dari 10

BAB II

Analisis Ayat
A. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam
Sebelum memulai pada analisis ayat, pada bab ini akan dipaparkan beberapa
pembuka dalam memahami rumusan tujuan pendidikan yang akan dibahas pada makalah
ini. Tujuan pendidikan merupakan hal yang sifatnya sentral dalam pendidikan, sehingga
dengan keberadaannya langkah-langkah atau proses pendidikan dapat berlangsung sesuai
dengan arahan atau pedomannya. Selain itu, hadirnya tujuan pendidikan secara implisit
dan eksplisit terdapat hal-hal yang sangat asasi, pandangan hidup/filsafat daripada
pendidiknya, lembaga pendidikan dan negara. Dalam merumuskan tujuan pendidikan,
mestinya dipahami dimulai dari hakekat manusia itu diciptakan. Hakekat manusia
diciptakan berdasarkan penelusuran yang pernah dilakukan yaitu tidak lain bahwasannya
manusia diciptakan sebagai hamba Allah yang bertugas sebagai khalifahnya di muka
bumi ini (Surahman, 2019).
Bermula daripada hakekat manusia itu sendiri berdasarkan perpektif Al-Qur’an.
Maka ada banyak ayat yang dapat diangkat untuk merumuskan pendidikan itu sendiri.
Ayat yang paling mahsyur untuk membahas hal tersebut adalah QS. Al-Baqarah ayat 30
tentang peran manusia sebagai khalifah di muka bumi; dan QS. Adz-Dzāriyāt ayat 56
tentang tujuan manusia diciptakan sebagai hamba Allah SWT. Adapun, dalam makalah
ini, ayat yang diangkat adalah QS. Al-Baqarah ayat 30 – 31, dimana ayat 30 berbicara
mengenai khalifah itu sendiri, dan ayat 31 mengenai bagaimana Adam dibelajarkan ilmu
tentang nama-nama oleh Allah SWT. Kerja tafsir yang digunakan dalam menjelaskan
ayat tersebut menggunakan metode Taḥlīlī, firman Allah ta’ala:
ٰۤ ْ
‫ ِّد َم ۤا ۚ َء‬O‫ك ال‬
ُ ِ‫ف‬O‫ا َويَ ْس‬Oَ‫ ُد فِ ْيه‬O‫ا َم ْن يُّ ْف ِس‬Oَ‫ ُل فِ ْيه‬O‫الُ ْٓوا اَتَجْ َع‬Oَ‫ض َخلِ ْيفَ ةً ۗ ق‬ِ ْ‫ر‬ َ ‫اْل‬‫ا‬ ‫ى‬ ِ ‫ف‬ ‫ل‬
ٌ O‫ع‬
ِ ‫ا‬ ‫ج‬
َ ‫ي‬
ْ ِّ ‫ن‬ِ ‫ا‬ ‫ة‬
ِ ‫ك‬َ ‫ى‬
ِٕ ‫ك لِل َم‬
‫ل‬ َ ُّ‫ال َرب‬ َ َ‫َواِ ْذ ق‬
‫هُ ْم‬O‫ض‬ َ ‫ا ثُ َّم َع َر‬Oَ‫س َم ۤا َء ُكلَّه‬ْ َ ‫ َو َعلَّ َم ٰا َد َم ااْل‬٣٠ َ‫وْ ن‬O‫ا اَل تَ ْعلَ ُم‬O‫ك ۗ قَا َل اِنِّ ْٓي اَ ْعلَ ُم َم‬ َ َ‫َونَحْ نُ نُ َسبِّ ُح بِ َح ْم ِدكَ َونُقَدِّسُ ل‬
ۤ
)31-30 :2/‫ ( البقرة‬٣١ َ‫ص ِدقِ ْين‬ ٰ ‫َعلَى ْال َم ٰل ِٕى َك ِة فَقَا َل اَ ۢ ْنبِـُٔوْ نِ ْي بِا َ ْس َما ِء ٰهُؤاَل ِء اِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
ۤ ٓ ۤ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan
orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih
memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman,
“Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!”
(Al-Baqarah/2:30-31)
Huruf wāw pada ayat berkenaan dengan khalifah dan ta’līm mengsiyaratkan
kepada penggabungan antara keduanya, karena makna daripada wāw disana merupakan
bukan urutan, sehingga konsep khalifah dan ta’līm merupakan sebuah kesatuan. Isyarat
daripada ً‫ض َخلِ ْيفَة‬
ِ ْ‫اع ٌل فِى ااْل َر‬
ِ ‫ اِنِّ ْي َج‬yaitu menunjukkan bahwa konsep khalifah sudah ada
sebelum keberadaan Adam AS. Sehingga dikatakan, semestinya rumusan tujuan
pendidikan mestilah hadir terlebih dahulu sebelum proses pendidikan berjalan. Berangkat
dari konsep ta’līm yang dipadukan langsung dengan konsep khalifah, maka didapati
rumusan tujuan pendidikan, yaitu secara global: “membina mu’allam agar mampu
memerankan dirinya sebagai khalifah Allah yang baik”, secara rinci dengan menjelaskan
mu’allam maka rumusan tujuan pendidikan secara umum yaitu: “membina manusia yang
mampu memberdayakan potensi diri (jasadiyyah-aqliyyah-rūḥiyyah-nya) secara integratif
dan memberdayakan lingkungan (masyarakat dan alamnya) secara proporsional dalam
rangka mengaktualisasikan dirinya sebagai khalifah Allah”. Dalam rumusan tersebut
terkandung hakikat manusia berupa kesatuan, tujuan manusia untuk beribadah,
sasarannnya berupa aktiualisasi sebagai khalifah/wakil Allah di bumi, dan objeknya
berupa fasilitas alam yang disediakan. Konsep khalifah merujuk kepada kompetensi dan
kualitas yang mencakup tanggung jawab sebagai wakil Allah di muka bumi, kemandirian
yang membebaskan manusia dari pengaruh-pengaruh selain Allah, dan keahlian yang
bertajuk pada pengelolaan, pemberdayaan alam dan kehidupan secara profesional. Oleh
karena itu kompetensi dan kualitas dari konsep khalifah tersebut merupakan korelasinya
dengan konsep ta’līm, karena kompetensi dan kualitas seorang manusia hanya
memungkinkan apabila didapatkan melalui proses pembelajaran (Abdussalam, 2017).
B. Kajian Munasabah Ayat
Dua ayat yang telah diangkat tentunya memiliki korelasi dengan ayat-ayat yang
lain. Dalam memutuskan hukum mestinya ayat tidak dipahami secara parsial, sehingga
terkesan pada tindakan ijtiza‘ (mengambil suatu/beberapa naṣ dan mengabaikan naṣ lain
yang berkorelasi). Mestinya ayat dipahami secara komprehensif supaya bisa berdampak
pada pemahaman yang luas, sehingga tidak terjadi perdebatan yang
berkepangjangan/perpecahan, karena sejatinya Al-Qur’an memiliki misi untuk mengatasi
persengketaan antara sesama manusia. Oleh karena itu, akan dijelaskan beberapa ayat-
ayat yang dikira kuat memiliki korelasi dengan dua ayat yang sedang dikaji.
Adapun ayat-ayat yang saling memiliki hubungan dengan ayat yang dikaji secara
berurutan yaitu: kaitan dengan ayat sebelumnya, kaitan dengan gugusan ayat sebelumnya,
kaitan dengan ayat setelahnya, kaitan dengan gugusan ayat setelahnya, kaitannya sebagai
ayat-ayat surat Al-Baqarah, kaitannya sebagai ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan.
Masing-masing dari pembahasan tersebut dapat diambil inspirasi-inspirasi yang berkaitan
dengan isu-isu tujuan pendidikan secara umum.
1. Munasabah ayat 30 dan 31
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam
Al-Qur’an bisa dideteksi melalui konsep ta’līm yang dihubungkan langsung
dengan khalifah. Secara tidak langsung, perumusan tujuan pendidikan
merupakan hasil kajian daripada korelasi antara ayat 30 dan 31. Pada rumusan
tujuan pendidikan yang telah dibahas sebelumnya, rumusan tersebut tercakup
kepada tiga dimensi yaitu, dimensi personal yang mampu memberdayakan
aspek jasadiyyah, aqliyyah, dan rūhiyyah; dimensi sosial yang mampu
berdaya dan eksis dalam masyarakatnya; dan dimensi vokasional/profesional
yang mampu mengembangkan potensi diri dan/atau lingkungan secara
proporsional. Dengan demikian, manusia sebenarnya diberikan potensi-
potensi yang unggul dibandingkan makhluk yang lainnya. Oleh karena itu,
Allah memberikannya tugas atau peran sebagai khalifah dalam artian
tanggung jawab untuk mengelola bumi karena potensi yang Allah berikan
kepada mereka. (Abdussalam, 2017).
Terkait dengan pembinaan potensi yang ada dalam diri manusia, berupa
kesatuan jasadiyyah, aqliyyah, dan rūhiyyah. Allah SWT berfirman:
‫س َم ۤا َء ُكلَّهَا‬
ْ َ ‫ َو َعلَّ َم ٰا َد َم ااْل‬٣٠ َ‫ قَا َل اِنِّ ْٓي اَ ْعلَ ُم َما اَل تَ ْعلَ ُموْ ن‬... ...
Huruf inna yang berfungsi sebagai tawkīd (penguatan) di sana pada ayat
yang awal berfungsi untuk menjawab kebimbangan yang telah terjadi
dikalangan malaikat, yaitu berupa pertanyaan: “mengapa Allah hendak
menjadikan di bumi khalifah, padahal penghuninya senantiasa berbuat
kerusakan, sedangkan kami (para malaikat) senantiasa bertasbih dan memuji
Allah (berbuat taat pada-Nya). Selain itu, inna pun sebagai isyarat akan
potensi yang ada pada diri manusia, yaitu rahasia yang menyebabkan manusia
itu layak menjadi khalifah yang mana ini dilalaikan malaikat dari pengetahuan
mereka. Rahasia itu bisa diketahui dengan analisa berikut: Allah SWT
menciptakan (1) makhluk yang isinya berupa kebaikan semua secara murni,
yaitu malaikat; (2) makhluk yang semuanya hanyalah kejahatan yaitu: setan;
(3) makhluk yang tidak ada kebaikan dan keburukan sama sekali, seperti
hewan; (4) dan makhluk yang berisikan kebaikan dan kejahatan, yaitu
manusia.
Dari empat pembagian makhluk tersebut, malaikat tidak mengetahui
bagaimana cara memerangi keburukan dalam diri; setan bagaimana mungkin
mereka memerangi keburukan sedangkan diri mereka semua adalah
keburukan; sebangsa hewan bagaimana mungkin memerangi kejahatan,
kebaikan dan keburukan saja tidak mampu dia bedakan. Dengan demikian,
manusia itu cocok menjadi khalifah, dengan sebab mujahadah, mereka
mampu mengungguli para malaikat. Apabila manusia mampu memerangi
kejahatannya, maka sebenarnya rahasia itu merupakan kebaikan yang
melimpah pada diri manusia yang menutupi
keburukan-keburukannya/kekurangan-kekurangannya. (Nursi, 2019)
Keberadaan manusia sebagai khalifah memposisikan ilmu sebagai sumber
kekuatan terbesarnya, dan ta’līm sebagai upaya pengembangannya
(Abdussalam, 2017). Seolah-olah Al-Qur’an dengan cahaya mukjizatnya
mengusap punggung manusia dengan bisikan yang mengejutkan dan motivasi
untuk berani sambil berkata: “pergilah dan bersungguh-sungguhlah, dengan
fasilitas-fasilitas ini yang mampu menghubungkanmu dengan jendela luar
itu”. Maka perhatikanlah bahwa projek besar pertama yang dibuat manusia
yang luar biasa adalah perahu Nabi Nuh. Kemudian potongan pertama ayat 31
jika dikaitkan dengan Nabi Daud yang mampu melunakkan besi, Nabi
Sulaiman yang mampu bepergian dengan cepat karena angin ditundukkan
untuknya, dan tongkat Nabi Musa yang dipukulkan ke batu, lalu terpancarlah
mata air. Apabila itu diserap pada konteks kekinian, maka kisah-kisah tersebut
adalah rumus, bahwa manusia mampu mengkreasi pesawat-pesawat terbang,
mampu merangcang dan membuat fasilitas yang berasal dari besi dan
sejenisnya, dan mampu menggali bumi guna mencari dan menemukan sumber
daya bumi yang terpendam (Nursi, 2019).
Demikianlah, ada hal yang bisa didapati dari korelasi dua ayat yang saling
berkaitan tersebut. Apabila dikaitkan dengan isu-isu pendidikan, seorang
mu’allam/peserta didik diberikan kesempatan untuk mengembangkan proses
kognitifnya hingga titik maksimal, kaitannya dengan taksonomi bloom yaitu
peserta didik dibina supaya potensi diri yang ada pada dirinya bisa mencapai
tahapan mengkreasi (C6). Dengan sampainya seseorang pada tahapan tersebut
tentu dia pantas mengelola bumi ini. Dengan demikian, potensi peserta didik
bisa digali bahkan harus, supaya mereka dapat mengaktualisasikan diri
mereka menjadi khalifah yang baik.
2. Munasabah dengan ayat sebelumnya
Munasabah ini ditandai dengan keberadaan ‘aṭaf pada awal ayat yang
dikaji yaitu wāw (Darwazah, 2000). Munasabah jenis ini tergolong kepada
irtibāṭ ma’ṭūfah yang terkategorikan khāfī irtibāṭ dalam artian hubungan antar
ayat hanya bisa ditemukan setelah dikaji dan didalami dengan baik (Ilyas,
2014). Pendalaman mengenai hubungan ayat ini, terintisarikan ke dalam dua
aspek. Pertama, ketika ayat sebelumnya membahas mengenai penyebutan
nikmat-nikmat Allah SWT berupa segala apa yang ada di dunia ditundukkan
untuk manusia, maka ayat kedua mengisyaratkan bahwa segala hal yang ada
di bumi memerlukan keberadaan manusia sebagai pengelola dan pengaturnya,
yaitu khalifahnya. Kedua, bahwasannya ayat ke-30 merupakan penjelasan,
perincian, pemaparan, bukti, argumentasi, dan penguatan daripada ayat ke-29,
bahwa segala krisis yang terjadi di muka bumi ini ditentukan dan diatasi oleh
tangan manusia itu sendiri (Nursi, 2019).
Inspirasi daripada korelasi antara ayat 30 dan ayat 29 untuk isu-isu tujuan
pendidikan, yaitu: (1) pendidikan mesti mampu menyiapkan generasi yang
siap mengelola lingkungannya (baik alam/sosial) dengan baik, dan (2)
pendidikan mesti mampu mengarahkan peserta didik kepada kemaslahatan
dunia dalam mengelolanya dengan mengatasi krisis yang terjadi dan
memperbaikinya terus kepada arah yang lebih baik. Tentu saja, dua hal
tersebut dibarengi dengan pemberdayaan sumber daya diri yang baik agar bisa
tersalurkan dengan baik dalam bentuk aktualisasi diri sebagai khalifah Allah
di bumi.
3. Munasabah dengan gugus ayat sebelumnya
Gugus ayat sebelumnya berawal dari ayat ke 26. Secara ringkas, ayat 26
menjelaskan klasifikasi manusia ketika menerima pelajaran dari Allah SWT
berupa perumpamaan. Kemudian, ayat 27 menjelaskan indikator orang-orang
fasik yang merugi. Setelahnya, ayat 28 menjelaskan bantahan terhadap
keingkaran orang-orang yang kafir terhadap Allah dengan redaksi pertanyaan
ta’jub (Al-Zamakhsyari, 1986). Lalu, ayat 29 menjelaskan bagaimana Allah
SWT menjadikan semua yang ada di bumi agar manusia dapat
memanfaatkannya, dan mencermatinya (Al-Bagawi, 2000).
Ayat ke 27 turun berkendaan tentang sikap orang kafir terhadap
perumpamaan dari Allah SWT walaupun kecil dengan menyatakan: “apa
maksud Allah?” (Al-Andalusi, 2002). Artinya mereka memandang remeh
perumpamaan daripada Allah ta’ala. Berkaitan dengan konteks masa sekarang
yaitu bagaimana paham-paham yang merujuk pada view (pandangan) yang
memutus hubungan antara Allah dan manusia. Dalam ayat dijelaskan bahwa
itu karena faktor kefasikan seseorang.
Kemudian dijelaskan bahwa indikator kefasikan sesorang terdiri dari tiga,
dan berdampak pada kerugian yang sangat besar. Pertama, sebagai asal
untuk indikator kedua dan ketiga, orang-orang fasik memutus hubungan
mereka dengan Allah SWT, yaitu tercabutnya perjanjian mereka dengan Allah
SWT dalam hati mereka setelah janji itu dikuatkan. Kedua, akibatnya mereka
pun memutuskan hubungan silaturahim dan melanggar banyak perintah-
perintah Allah SWT, bahkan mereka bermaksiat dengan melakukan larangan-
larangan-Nya. Ketiga, dampak dari mereka berbuat kerusakan, maksiat
mereka berdampak pada rusaknya tatanan di muka bumi ini (Al-Sya'rawi,
1974).
Setelah itu, Allah SWT membantah kekafiran mereka dengan redaksi ‫كيف‬,
yaitu apakah bagi mereka ada hujjah/argumentasi untuk membela kekafiran
mereka, padahal sebenarnya apa mereka sandarkan kepada selain Allah tidak
mampu menghidupkan dan mematikan, tapi Dialah SWT yang menghidupkan
dan mematikan. Apa hujjah mereka tidak mengimani hari akhir? Padahal
sebenarnya Allah SWT telah tunjukkan kepada manusia sekalian bagaimana
dia menghidupkan yang mati, menghidupkan manusia yang asalnya berupa
sesuatu yang mati, bagaimana dia bisa ingkar? Padahal Allah akan
mengembalikan mereka dengan balasan terhadap perbuatan mereka, tidak
seperti anggapan mereka yang memposisikan bahwa segala sesuatu tidak
memiliki hikmahnya karena diciptakan hanya untuk dibinasakan atau
dimatikan saja. (Al-Maturidi, 2005).
Menurut Ibrahim Al-Qatan, setelah ayat itu, Allah menjelaskan kepada
mereka tentang nikmat-nikmat Allah SWT bahwasannya manusia
ditundukkan kepadanya segala apa yang ada di bumi, sebagai bukti bahwa
Allah melebihkan mereka di atas makhluk-makhluk yang lain. Kemudian
Allah SWT menciptakan langit yang meliputi bumi, untuk kehidupan mereka
juga, dari itu Allah SWT ciptakan udara dan
mengkondisikannya/menyelaraskan agar sesuai dengan perangkat tubuh
makhluknya, dan fungsi langit di antaranya adalah untuk menjamin udara bagi
kehidupan di muka bumi.
Gugusan ayat sebelumnya memberikan informasi tentang kegagalan
pandangan/view lain dalam mengurusi dunia. Dengan menganggap remeh
pelajaran-pelajaran yang datangnya dari Allah hingga tertanamnya penyakit
fasik membuahkan kerusakan di muka bumi. Hal itu merupakan kerugian atas
kekafiran mereka, kerugian atas tindakan mereka yang tidak menganggap
Allah. Allah ingatkan kembali akan kenikmatan-Nya di dunia kepada seluruh
manusia, bersamaan dengan peringatan dan argumentasi tentang hari
kebangkitan. Setelah penyebutan nikmat-nikmat berupa apa yang ada di bumi
dan hikmah penciptaan langit, Allah SWT mengikutkan penjelasan tentang
nikmat yang lain berkaitan dengan masa lalu, yaitu nikmat kepada nenek
moyang mereka Adam AS yang terwariskan kepada keturunannya,
bahwasannya Allah hendak menjadikan mereka khalifah. Allah SWT
mengingatkan mereka tentang hal ini agar mereka kembali kepada jalan yang
benar (Al-Sabbuni, 1997).
Pelajaran yang bisa diambil dari penjelasan para mufasirin di atas
berkaitan dengan korelasi antara ayat yang dikaji dan gugus ayat sebelumnya
mencoba menjelaskan mengenai orientasi tujuan pendidikan. Apabila orientasi
tujuan pendidikan malah menentang tauhid, dan memberhentikan view/cara
pandang pada benda-benda, atau memisahkan ajaran tauhid dari sistem
kehidupan, atau meremehkan kesempurnaan Allah SWT, maka dampaknya
hanyalah memberikan generasi yang malah menentang ajaran Allah SWT
yang berefek kepada rusaknya tatanan kehidupan. Oleh karena itu, orientasi
pendidikan hendaknya mengarah kepada ketauhidan, menjadikan peserta didik
mampu menyimak dan mengamati makna-makna di balik benda tersebut,
yaitu meneruskan cara pandang mereka hingga sampai pada ma’rifat Allah.
Tertanamnya hal tersebut, berdampak sebaliknya dari sebelumnya, yaitu
mereka menciptakan tatanan dunia yang serasi dengan saling mengingatkan
manusia akan kebaikan dan taat kepada Allah SWT. Selain itu, mengingatkan
peserta didik, pendidik dan stakeholders pendidikan akan pendidikan
merupakan hal yang urgensi guna tertanamnya tujuan tersebut pada diri
mereka masing-masing sehingga tujuan pendidikan itu bisa tercapai dengan
tuntas.
4. Munasabah dengan ayat setelahnya
Ayat ke 31 menceritakan mengenai bagaimana Allah SWT mengajarkan
Adam AS benda-benda, hakekat-hakekatnya, klasifikasinya, sifat-sifatnya dsb.
Kemudian, Allah SWT memerintahkan malaikat supaya menjelaskan benda-
benda yang dipelajari Adam AS, tetapi, namun tidak mampu. Oleh karena itu,
ayat setelahnya, yakni ayat ke 32 menjelaskan mengenai ketidakberdayaan
malaikat dalam menjelaskan nama-nama tersebut, sehingga mereka mengakui
kelemahan mereka dengan mensucikan Allah SWT, dan tasbih (Lajnah min
'Ulama Al-Azhar, 1995). Apa yang dilakukan oleh malaikat tersebut
merupakan tindakan berlepas diri dari apa yang sumbernya dari Iblis, yaitu hal
yang mengotori permintaan mereka terkait penjelasan mengapa Allah SWT
hendak menjadikan di dunia khalifah (Nursi, 2019).
Ayat 31 dan 32 mencoba menjelaskan kelebihan daripada manusia dengan
ilmu yang diberikan oleh Allah SWT sesuai dengan kehendaknya. Seolah-olah
ayat tersebut menjelaskan bahwa peran khalifah di muka bumi memerlukan
ilmu khusus. Malaikat merupakan makhluk yang diajarkan oleh Allah SWT,
tetapi ada hal-hal yang tidak diajarkan kepada mereka. Oleh karena itu, tujuan
pendidikan yang telah dirumuskan memiliki dimensi vokasional ataupun
profesional guna memberdayakan sumber daya diri dan lingkungan.
5. Munasabah dengan gugus ayat setelahnya
Sebenarnya ayat 30 dan 31 merupakan bagian daripada gugusan ayat 30 –
39 yang menceritakan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah. Gugusan
tersebut terbagi ke dalam dua kelompok ayat yang dicirikan dengan lafal idz.
Kedua kelompok ayat tersebut saling berkaitan. Kelompok pertama
menjelaskan hikayat pengangkatan Adam AS sebagai khalifah di muka bumi,
dan kedua menjelaskan tentang sujudnya para malaikat kepada Adam AS.
Kelompok yang kedua ini kerapkali dibahas pada surat Makiyyah yang lain,
dan surat Al-A’raf. Adapun kelompok yang pertama merupakan ruh dari dua
kelompok ini (Darwazah, 2000).
Huruf wāw merupakan ma’ṭūf atas permulaan ayat 30, sehingga huruf
tersebut menghubungkan kisah satu dengan kisah yang lain. Pengulangan idz
pada ayat menandakan pentingnya ayat tersebut untuk diperhatikan. Ayat ini
menjelaskan bahwa keutamaan Adam AS nampak setelah proses ta’līm oleh
Allah SWT kepadanya terjadi (Al-Tunisi, 1984). Adapun perintah sujud
kepada Adam AS merupakan bentuk penghormatan kepadanya dari malaikat,
dan Allah perintahkan itu kepada malaikat, mereka pun melakukannya
semuanya kecuali Iblis dan menjadi kafirlah ia karena keengganannya untuk
sujud atas rasa sombong (Al-Kawari, 2008).
Idz yang pertama berkaitan dengan aktulaisasi diri sebagai khalifah
merupakan tujuan pendidikan umum, Idz yang kedua menegaskan harga dan
nilai daripada keutamaan gelar khalifah dengan proses keilmuan/pendidikan.
Oleh karena itu, pendidikan tinggi membuahkan apresiasi. Dengan demikian,
apresiasi pendidik mestilah dilakukan sesuai dengan kapasitas pendidik yang
telah berusaha keras dalam proses pembelajaran.
6. Sebagai ayat daripada QS. Al-Baqarah
Kedua ayat tersebut merupakan bagian daripada surat Al-Baqarah. Surat
tersebut merupakan golongan surat Madaniyyah, artinya surat tersebut turun
pada saat periode Nabi Muhammad SAW berdakwah di Madinah. Sehingga
dapat ditemui beberapa karakteristik daripada sifat ayat Madaniyyah, yaitu
ayatnya panjang-panjang, membahas tentang kewajiban dan segala yang
sifatnya tatanan dan pengaturan, dan juga kisah (Ahmad, 1999). Adapun ayat
tersebut bisa tergolong pada kisah karena memang menceritakan masa yang
telah lalu. Urgensinya diceritakan masa lalu dalam Al-Qur’an adalah padanya
terdapat pelajaran yang bisa diambil, karenanya sejarah merupakan cermin
daripada masa depan, dengan kisah itu seolah-olah hendaklah kisah/sejarah
dijadikan Asas dan Pemikiran yang menghasilkan kemajuan manusia di masa
depan yang dibina atas asas-asas dari kajian masa lalu (Nursi, 2019).
Dari paragrap di atas bisa diambil inspirasi penting bahwa guna
merumuskan tujuan pendidikan pun kajian historis merupakan hal yang
penting. Dengan kajian tersebut, stakeholders pendidikan bisa mampu untuk
mendeteksi asal-usul daripada manusia, sehingga tujuan daripada
keberadaannya menjadi jelas untuk merumuskan tujuan pendidkan.
Selain itu, kondisi dakwah Nabi SAW di Makkah dan di Madinah
memanglah berbeda secara kontras. Ketika beliau berada di periode Makkah
beliau dan umatnya mendapatkan berbagai ancaman kemanusiaan dan sosial.
Setelah beliau dan umatnya berhijarh ke Madinah, ketenangan kemanusiaan
dan sosial bisa terjamin dengan baik. Oleh sebab itulah dalam menjalankan
tujuan pendidikan yang efektif dan efisien mestinya pendidik mampu
menciptakan suasana yang kondusif untuk itu, sehingga ketercapaian peserta
didik dapat dilalui dengan cepat dan tepat.
Dikatakan pula bahwa Surat Al-Baqarah merupakan surat-surat awal yang
turun pada periode Makkah. Berawal dijelaskan di dalamnya berkenaan tiga
kategori manusia, yaitu beriman, kafir dan munafik. Setelahnya dijelaskan
bahwa Al-Qur’an merupakan kitab yang tidak tertandingi. Kemudian
dijelaskan terkait misi manusia sebagai khalifah. Seolah-olah pembahasan
mengenai khalifah merupakan yang pertama kali, sebagai konsep dan tujuan
untuk melakukan proses-proses berikutnya. Sehingga semakin kuat anggapan
bahwa hendaknya tujuan pendidikan terkonsep sebelum proses pembelajaran
terjadi.
7. Sebagai ayat daripada Al-Qur’an
Berkaitan dengan makna Khalifah, Al-Qur’an menyinggung satu kata
yang sama. Yaitu pada surat Shad ayat 26. Ayat tersebut secara makna
tidaklah sama dengan makna khalifah daripada ayat yang dikaji ini. Ayat pada
surat Shad lebih dekat maknanya pada surat Yunus ayat 14, dan Al-Naml ayat
62 (Al-Tunisi, 1984). Oleh karena itu, makna Khalifah pada surat Shad itu
bersifat khusus, sedangkan pada surat Al-Baqarah itu luas. Dengan demikian,
tujuan pendidikan yang diambil pelajarannya daripada ayat yang dikaji
mestilah terelaisasikan pada setiap orang.

Referensi:

References
Abdussalam, A. (2017). Pembelajaran dalam Islam: Konsep Ta'lim dalam Al-Qur'an. (C.
Surahman, Ed.) Yogyakarta: Magzha Pustaka.

Ahmad, A. a.-R. (1999). Al-Makki wa Al-Madani fi Al-Qur'an Al-Karim. Kairo: Dar Ibn 'Affan.

Al-Andalusi, I. '. (2002). Al-Muharrar Al-Tawjiz fi Tafsir Al-Kitab Al-'Aziz (1st ed.). Beirut: Dar Al-
Kitab Al-'Ilmiyyah.

Al-Bagawi. (2000). Ma'alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur'an (1st ed., Vol. V). Beirut: Dar Ihya al-Turas
al-'Arabiy.

Al-Fayruzabadi, M. A.-D. (n.d.). Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn 'Abbas (Vol. I). Lebanon: Dar Al-
Kitab Al-'Ilmiyyah.

Al-Kawari, K. M. (2008). Tafsir Garib Al-Qur'an. Dar Ibn Hazm.

Al-Maturidi, A. M. (2005). Tafsir Al-Maturidi (Ta'wilat Ahl Al-Sunnah). Beirut: Dar Al-Kitab
Al-'Ilmiyyah.

Al-Qatan, I. (n.d.). Taysir Al-Tafsir.

al-Qattan, M. (n.d.). Mabahis fi 'Ulum al-Qur'an. Saudi Arabia: Al-Dar Al-Su'udiyyah.

Al-Qusyayri, A. A.-K.-M. (n.d.). Lata'if Al-Isyarat (3 ed.). Mesir: Al-Hay'ah Al-Misriyyah Al-'Amah Li
Al-Kitab.

Al-Sabbuni, M. '. (1997). Safwah Al-Tafasir. Kairo: Dar Al-Sabbuni li Al-Tab'ah wa Al-Nasyr wa Al-
Tawzi'.

Al-Sya'rawi, M. (1974). Tafsir Al-Sya'rawi. 'Akhbar Al-Yawm.

Al-Tunisi, M. T. (1984). Al-Tahrir wa Al-Tanwir. Tunis: Dar Al-Tunisiyyah Li Al-Nasyr.

Al-Zamakhsyari. (1986). Al-Kasyaf 'an Haqa'iq Gawamid al-Tanzil (3rd ed., Vol. IV). Beirut: Dar al-
Kitab al-'Arabiy.

Darwazah, M. '. (2000). Al-Tafsir Al-Hadis (Vol. 5). Beirut: Dar al-Garb al-Islami.

Ilyas, Y. (2014). Kuliah Ulumul Qur'an. Yogyakarta: ITQAN Publishing.

Lajnah min 'Ulama Al-Azhar. (1995). Al-Muntakhab fi Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Mesir: Al-Majlis
Al-A'la Li Al-Syu'un Al-Islamiyyah.
Nursi, S. (2019). Isyarat al-I'jaz fi Mazhan al-Ijaz (9th ed.). (I. K. Salihi, Trans.) Kairo: Sozler
Publications.

Surahman, C. (2019). Tafsir Tarbawi di Indonesia: Hakikat, Validitasnya, dan Kontribusinya bagi
Ilmu Pendidikan Islam. (T. Yuniartin, Ed.) Yogyakarta: Maghza Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai