Anda di halaman 1dari 2

Market Outlook Industri Farmasi

Perekonomian dunia diperkirakan akan tetap melemah di tahun 2020, di mana negara-negara maju
akan meraih pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan negara-negara berkembang yang akan
tumbuh lebih tinggi.

Melalui catatan Kementerian Perindustrian, di kuartal IV 2019 industri kimia, farmasi, dan obat
tradisional mampu tumbuh 18.57% atau melonjak drastis dibanding pertumbuhan kuartal III-2019
yang menyentuh angka 9.47%. Capaian tersebut juga melampaui pertumbuhan ekonomi sebesar
4.97% pada kuartal IV-2019.

Sementara itu, nilai PDB industri kimia, farmasi, dan obat tradisional pada kuartal IV tahun 2019
mencapai IDR 22.26 triliun, melonjak dibanding kuartal III-2019 sebesar IDR 20.46 triliun.

Sepanjang tahun 2019, nilai ekspor produk industri farmasi dan obat tradisional menembus hingga
USD 597.7 juta, naik dibanding perolehan di tahun sebelumnya sekitar USD 580.1 juta.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa industri kimia, farmasi, dan obat tradisional
mencatatkan kinerja positif pada Q1 2020, atau tumbuh 5.59 persen. Ini karena didukung oleh
peningkatan produksi barang kimia dan obat-obatan untuk memenuhi permintaan luar negeri dan
melonjaknya permintaan domestik akibat mewabahnya virus corona. Namun angka tersebut cukup
melambat dari prediksi sebelumnya pada Q1 2020 yang mencapai 12.73%.

Pada Q2 2020, sector farmasi tumbuh 8.65%. Pertumbuhan tersebut seiring dengan peningkatan
signifikan pada produksi coverall/protective suite, surgical gown dan surgical mask. Berdasarkan
data yang dihimpun Kemenperin dan Kementerian Kesehatan, terjadi surplus produksi sampai
Desember 2020 sebesar 1.96 miliar buah untuk masker bedah, kemudian 377.7 juta buah masker
kain, sebanyak 13.2 juta buah pakaian bedah (gown/surgical gown), dan 356.6 juta buah untuk
pakaian pelindung medis (coverall).

Menurut Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia, pada 2020 ini, pertumbuhan diprediksi tidak
jauh berbeda dengan 2019. Meskipun permintaan obat atau vitamin untuk daya tahan tubuh
meningkat, namun penjualan obat yang bukan untuk Covid-19 menurun. Hal ini karena banyak orang
yang tidak berani datang ke Rumah Sakit dan Puskesmas karena takut tertular Covid-19, sehingga
penjualan obat (non covid) justru menurun.

Perizinan industri farmasi dan alat kesehatan (alkes), termasuk alat rapid test di masa pandemi
covid-19 terbukti efektif meningkatkan suplai dan mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Karena itu,
Kementerian Kesehatan menilai upaya ekspor alat pengaman diri (APD) alkes terkait covid-19 bisa
menjadi peluang baru untuk menopang perekonomian.

Kenaikan jumlah izin edar signifikan juga terlihat dari jumlah antiseptik, disinfektan, dan APD. Hingga
Juni 2020, APD buatan lokal naik sebesar 194.96%, dari tahun. Jumlah izin edar produk dalam negeri
antiseptik meningkat 2,547.37% dan disinfektan naik 548.08.

Tantangan Industri Farmasi


- Dari 220 perusahaan farmasi di Indonesia, sebanyak 90% dari perusahaan tersebut berfokus
pada sector hilir dalam produksi obat-obatan. Ini membuat bahan baku produk obat-obatan
sulit diperoleh di Indonesia. Lebih dari 90% bahan bakunya saat ini diimpor, dimana 60-62%
bahan bakunya dari China, dan 20% dari India (namun di India juga bergantung dari Cina
untuk intermediatnya). Hal itu berpengaruh pada terganggunya rantai suplai yang
terganggu. Karena bahan baku dari China sulit diperoleh, maka beberapa bahan baku
dialihkan ke negara lain. Namun ini membuat harga bahan bakunya meningkat.

- Di tengah keadaan ini, pengusaha farmasi memerlukan dana lebih besar. Namun
pembayaran dari Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atau pihak fasilitas
kesehatan yang lambat menyebabkan arus kas perusahaan farmasi terganggu sehingga sulit
untuk impor.

- Untuk mengurangi pembelian bahan baku impor, industri farmasi memerlukan stimulus dari
pemerintah untuk mendorong pengembangan produksi bahan baku dalam negeri baik di
tingkat hulu maupun hilirnya. Industri farmasi harus mendapat dukungan untuk
pengembangan bahan baku dalam negeri sebagai produk substitusi impor.

- Industri farmasi harus melakukan inovasi dalam menghasilkan produk berkelanjutan yang
memiliki daya saing yang tinggi. Salah satunya dengan meningkatan kegiatan risetnya untuk
mengembangkan produk obat herbal dan alami.

- Dalam pemasarannya, pandemi Covid-19 ini menyebabkan terjadinya pergeseran dalam hal
pemasarannya. Ini karena imbauan physical distancing sehingga penjualan di platform online
menjadi salah satu cara untuk mempersingkat jalur distribusinya.

- Kemenperin juga berupaya menambahkan industri farmasi dan industri alat kesehatan
sebagai sektor pionir baru dalam penerapan industri 4.0. Sebab, dengan kondisi permintaan
yang tinggi terhadap produk kedua sektor tersebut, perlu adanya dukungan teknologi
modern dan ketersediaan SDM yang kompeten untuk mengembangkannya. Di sektor alat
kesehatan, Kemenperin aktif mendorong kolaborasi antara sektor industri dengan
akademisi. Hal ini terwujud dalam produksi ventilator yang digunakan untuk membantu
penanganan pandemi Covid-19.

Anda mungkin juga menyukai