Oleh :
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
tertinggi kedua se-Jawa ini, seperti mata air panas, goa hasil leleran lava, perbukitan
kerucut, serta bentukan alam lain. Besarnya bagian badan gunung ini pun
menjadikannya salah satu gunung yang sangat luas, melingkupi lima kabupaten,
menjadikan tekanan terhadap ekosistem Gunung Slamet semakin besar, seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk. Oleh sebab itu, makalah ini dibuat untuk memaparkan
faktor-faktor yang membentuk ekosistem Gunung Slamet serta dinamika sosialnya yang
berpeluang menjadi ancaman keberlangsungan fungsi ekologinya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ekologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu oikos
yang artinya rumah atau tempat hidup, dan logos yang berarti ilmu. Menurut
Ernest Haeckle ekologi adalah “ilmu yang mempelajari seluk beluk ekonomi
alam, suatu kajian hubungan anorganik serta lingkungan organik di sekitarnya”.
Sedangkan menurut Resosoedarmo dkk, ekologi adalah “ilmu yang mempelajari
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya”. Ekologi
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antar makhluk hidup maupun
interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita
mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ekologi adalah ilmu dasar yang mempelajari
tentang hubungan timbal balik antar makhluk hidup dengan lingkungannya.
Sinekologi adalah mempelajari mahluk hidup dalam komunitasnya, artinya
ekologi yang ditujukan pada lebih satu jenis mahluk hidup, misalnya ekologi
hutan, di mana terdapat tumbuhan dari berbagai jenis, dipterocarpacea, jati, rotan,
karet dan segala jenis komunitas lain yang ada di dalamnya, termasuk kijang,
harimau, gajah, burung, serangga dan sebagainya. Autokogi adalah ekologi
tentang satu jenis mahluk hidup misalnya ekologi nyamuk, ekologi manusia dan
seterusnya.
3
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan
berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor biotik
antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik
adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba.
Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk
hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan
merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
2. Komunitas
Komunitas adalah kelompok populasi yang berada bersama-sama
dalam tempat dan waktu tertentu. Tingkatannya tergantung pada skala yang
kita tetapkan. Kita dapat menggunakan komunitas untuk menunjukkan
semua benda yang hidup di dalam suatu ekosistem, atau kita dapat
membatasi perhatian kita hanya pada komunitas burung, atau komunitas
tanaman dan sebagainya.
3. Ekosistem
4
suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam.
Secara garis besar ekosistem dibedakan menjadi ekosistem darat dan
ekosistem perairan. Ekosistem perairan dibedakan atas ekosistem air tawar
dan ekosistem air Laut.
5
A.2. Lingkungan Hidup
Pengertian tentang lingkungan hidup manusia seringkali disebut lingkungan
hidup atau lebih singkat lingkungan saja, sebenarnya berakar dan berarti
penerapan (aplikasi) dari ekologi dan kosmologi. Lingkungan hidup merupakan
penelaahan terhadap sikap dan perilaku manusia, dengan segenap tanggung jawab
dan kewajiban maupun haknya untuk mencermati tatanan lingkunan dengan
sebaik-baiknya. Sikap dan perilaku ini sangat diperlukan untuk memungkinkan
kelangsungan peri kehidupan secara keseluruhan, termasuk kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lainnya.
Lingkungan hidup manusia adalah sistem kehidupan yang merupakan
kesatuan ruang dengan segenap pengada (entitas), baik pengada ragawi abiotik
atau benda (materi), maupun pengada insani, biotik atau makhluk hidup termasuk
manusia dengan perilakunya, keadaan (tatanan alam baca kosmologi), daya
(peluang, tantangan dan harapan) yang mempengaruhi kelangsungan peri
kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
6
kehutanan, kesehatan, masyarakat, dan lain-lain. Ilmu lingkungan juga
berkembang dari penelitian yang bersifat :
- Deskriptif (what), apa keadaan atau kejadian yang dipersoalkan
- Eksplanatif (why), mengapa hal itu ada atau terjadi
- Preskriptif (how), bagaimana mengatasinya atau mengelolanya
Jadi sedapat mungkin apapun lingkup persoalannya, perlu dipahami
mengapa hal itu terjadi dan bagaimana penyelesaiannya, pengelolaannya, apa
saran atau resepnya.
Ilmu lingkungan mengajarkan pada manusia sebagai pengelola lingkungan
hidup dengan sebaik dan searif mungkin agar mendasarkannya pada berbagai ciri
pokok ilmu lingkungan yang perlu mendasari penelitian guna mengungkapkan
penelususran yang linear dari maslah yang dihadapi sampai kebijakan yang perlu
dirumuskan dan dipatuhi.
- Masalah lingkungan harus dirumuskan secara jelas apa yang dipersoalkan,
mengapa sesuatu yang dipersoalkan terjadi dan bagiaman mengatasinya.
- Dalam mengatasi suatu masalah lingkungan perlu perlu dicermati sebab
akibatnya, sehingga pengelolaan lingkungan perlu didasarkan dengan
tindakan preventif sebelum menggapai tindakan kuratif. Walaupun
kegagalan tindakan preventif akhirnya memerlukan tindakan kuratif.
- Pengelolaan lingkungan ditujukan kepada perilaku dan perbuatan yang
ramah lingkungan dalam setiap sektor tindakan.
- Lingkungan tempat manusia melangsungkan kehidupan sudah diciptakan
amat baik, indah dan bermakna. Jadi yang perlu diatur adalah paham, sikap
dan perilaku hidup kita sesuai dengan amanah tuhan yang menciptakan
semuanya di alam semesta ini.
7
Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal dan Kabupaten
Pemalang.
B.2. Faktor Abiotik
2.a. Geologi dan Tanah
8
bagian yang telah membeku dalam bentuk lorong. Goa yang terbentuk oleh
leleran lava adalah sangat jarang terdapat di Indonesia. Selain itu dijumpai
35 buah kerucut sinder dengan diameter dasar kerucut berkisar antara 130 –
750 m dan tingginya mencapai 250 m. Kerucut-kerucut sinder ini
merupakan kelompok gunungapi monogenesis, dan ditafsirkan sebagai
parasit dari Gunung Slamet (menengah – muda) (Pratomo, 2012).
Di lereng selatan gunung Slamet, dalam Kawasan Wisata Baturaden,
terdapat 7 mata air panas berjajar sehingga disebut dengan pancuran Tujuh.
Mata air panas adalah suatu gejala kenampakan panasbumi (geothermal) di
permukaan bumi. Kemunculan mata air panas dikontrol oleh struktur sesar
atau sistem rekahan yang memencar (radial fractures) dari gunung Slamet.
Persentuhan dari sirkulasi air bawah tanah dengan batuan panas yang
diakibatkan oleh kebocoran sistem panas bumi di kawasan ini,
mengakibatkan terbentuknya aliran air panas ke permukaan bumi. Pada
tahun 1920-an, di Dukuh Satir sekitar Kali Glagah di bagian barat Gunung
Slamet ditemukan berbagai fosil vertebrata, antara lain kura-kura raksasa
(Geochelone atlas) dan gajah purba (Sinomastodon bumiajuensis). Selain
itu juga ditemukan fosil Bovid secara in-situ pada lapisan konglomerat yang
terdapat di Kali Weruh. Fosil gading gajah purba (Stegodon) ditemukan di
dalam endapan teras (undak sungai) di tepi Kali Larang, Dukuh
Karangasem, Desa Galuh Timur, Bumiayu. Kawasan tempat ditemukannya
fosil-fosil tersebut kemudian dikenal sebagai kawasan Fauna Koningswald
(Pratomo, 2012).
Kegiatan magmatis baik berupa terobosan Diorit maupun kegiatan
gunungapi telah berlangsung sejak jaman Miosen Tengah (formasi
Kumbang) sehingga gunung Slamet dapat dianggap sebagai sumber
panasbumi. Pembangkit listrik panas bumi memerlukan ketersediaan air
yang berkelanjutan. Keberlanjutan ini sangat tergantung pada keutuhan
hutan yang dapat berlangsung jika hutan di Gunung Slamet terutama pada
bulan Juli – September, pada saat neraca air di kawasan ini negatif
(Pratomo, 2012).
Secara umum, jenis tanah di kawasan Hutan Lindung Gunung Slamet
tergolong jenis tanah regosol kelabu, litosol, dan litosol dengan kondisi
tanah berpasir.
9
2.b. Klimatologi dan Iklim
Ketinggian dari atas permukaan laut serta posisi gunung Slamet
terhadap arah datangnya angin monsoon menyebabkan kawasan ini
memiliki curah hujan serta hari hujan yang sangat tinggi; bahkan Krangan
yang terletak di lereng barat merupakan kawasan yang memiliki curah hujan
paling tinggi di Indonesia. Kondisi neraca air serta surplus-defisit air di
kawasan Gunung Slamet mencerminkan variabilitas curah hujan sebagai
unsur masukan dalam sistem hidro-klimatologi dan keseimbangan (neraca)
air. Kawasan Hutan Lindung Gunung Slamet tergolong ke dalam hutan
beriklim basah, dengan curah hujan sekitar 5.000 mm/tahun. Suhu rata-rata
sekitar 8-18 C dengan kelembaban udara sekitar 60-95% (Dodo, 2012).
2.c. Hidrologi
Di kawasan Hutan Lindung Gunung Slamet terdapat banyak sungai
yang mengalir sepanjang tahun sehingga menjamin persediaan air secara
kontinyu. Selain itu terdapat pancuran dengan air panas yang mengandung
belerang, dan juga sebuah telaga yaitu telaga sunyi. Sepanjang tahun
Gunung Slamet tetap mampu memberi air kepada kawasan bawahnya yang
telah mengalami defisit pada bulan April. Dengan posisi di puncak wilayah
kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga dan Banyumas Gunung
Slamet berfungsi sebagai pengisi air pada saat kelima kabupaten tersebut
sedang mengalami neraca air negatif sehingga Gunung Slamet juga berperan
penting dalam hal ketahanan pangan. Kondisi defisit secara umum
mengikuti pola distribusi hujan monsoon. Di kawasan Jawa Tengah defisit
dimulai pada bulan April, diawali dari sebagian pantai utura (pantura); pada
bulan Mei diikuti oleh kawasan di bagian timur provinsi dan bulan Juni di
kawasan bagian barat. Sedangkan di kawasan Gunung Slamet, defisit hanya
terjadi pada spot-spot kecil yang tersebar (Dodo, 2012).
B.3. Faktor Biotik
3.a. Tumbuhan
Komponen vegetasi kawasan Hutan Lindung Gunung Slamet terdiri
dari dua tipe hutan, yaitu tipe hutan pegunungan bawah (900-1.500 mdpl)
dan tipe hutan pegunungan atas (> 1.500 m dpl). Jenis tumbuhan yang
mendominasi di hutan pegunungan ini adalah pasang (Quercus sp.).
Lithocarpus elegans, Macrophanax sp., Pithecelobium montanum, gaharu
10
dan edelweiss. Dengan ketinggian sekitar 3.432 m Gunung Slamet memiliki
berbagai zona sebaran vertikal spesies-spesies tumbuhan, mulai dari tipe
ekosistem dataran tingi sampai sub-alpen. Pada ketinggian 1.000-2.000
mdpl tercatat 39 genera terdiri atas 51 spesies, ketinggian 2.000-3.000 mdpl
tercatat 31 genera terdiri atas 35 spesies, dan ketinggian >3.000 mdpl
tercatat 3 genera terdiri atas 3 spesies. Kawasan ini dianggap merupakan
tempat tinggal terakhir spesies tumbuhan pegunungan sejati di pulau Jawa.
Di kawasan ini dijumpai dua spesies tumbuhan langka pada ketinggian
>1.000 m dpl. yaitu Pimpinella pruatjan dan Scutellaria javanica
(Suprayogo, 2012).
Hasil penjelajahan di lereng selatan Gunung Slamet ditemukan 12
spesies anggota Araceae liar yang meliputi 9 genus. Kesembilan genus
tersebut meliputi: Alocasia, Amorphophallus, Apoballis, Arisaema,
Colocasia, Pothos, Rhaphidophora, Schismatoglottis dan Xanthosoma.
Pothos dan Rhaphidophora merupakan tumbuhan pemanjat pada berbagai
spesies pepohonan (Pudji, 2012). Di hutan produksi damar tercatat 12
spesies paku-pakuan; 5 spesies dari suku Dennstaedtiaceae; 4 spesies dari
Polypodiaceae; 2 spesies dari Lycopodiaceae; dan 1 spesies dari
Aspleniaceae (Agus, 2012).
Selain itu diperoleh ada 22 spesies tumbuhan paku dari familia
Dennstaedtiaceae meliputi 13 spesies paku terestrial dan 9 spesies paku
epifit. Spesies tersebut dapat dikelompokkan dalam 10 subfamili yaitu
Asplenioideae terdiri atas 4 spesies; Lindsayoideae dan Oleandroideae
masing-masing 3 spesies; Athyrioideae, Blechnoideae, Dryopteridoideae,
Pteridioideae dan Lomariopsidoideae masing-masing 2 spesies; sedangkan
Dennstaedtioideae dan Tectarioideae masing-masing hanya ditemukan satu
spesies (Joko, 2012).
3.b. Satwa
Di dalam kawasan Gunung Slamet telah ditemukan 31 spesies
mamalia kecil. Tercatat 7 spesies kelelawar pemakan buah dan nektar
(Aethalops alecto, Chironax melanocephalus, Cynopterus brachyotis, C.
horsfieldi, C. sphinx, C. tittahecheilus dan Macroglossus sobrinus). Sistem
pencernaannya yang unik dan berlangsung cepat menyebabkan biji yang
keluar bersama kotorannya menjadi lebih cepat berkecambah. Di samping
11
itu kemampuan terbangnya yang cukup jauh menjadikan kelelawar sebagai
satwa yang efektif dalam menyebarkan biji. Tidak berbeda dari kelelawar
pemakan buah, berbagai jenis tikus (Leopoldamys sabanus, Maxomys
bartelsii, Niviventer cremoriventer, Niviventer fulvescens, Niviventer
lepturus, Rattus exulans dan Rattus tanezumi), bajing (Callosciurus
nigrovittatus dan Callosciurus notatus), jelarang (Ratufa bicolor) dan
musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) yang hidup di Gunung
Slamet berperan sebagai pemencar biji. Selain itu mamalia pemakan
serangga, antara lain kelelawar pemakan serangga/Microchiroptera
(Arielulus circumdatus, Hipposideros ater, Miniopterus pusillus, M.
schreibersi dan Myotis muricola), tupai (Tupaia javanica) dan cecurut
(Crocidura brunnea, C. monticola dan C. orientalis). Semuanya mempunyai
fungsi alamiah sebagai pengendali populasi serangga di alam, termasuk
serangga hama. Mamalia kecil pemakan serangga ini memiliki berbagai
peranan penting bagi kehidupan manusia yang secara ekologis berperan
penting dalam rantai makanan. Dengan memakan serangga, mereka dapat
membantu mengatur keseimbangan ekosistem dalam pengendalian populasi
serangga termasuk serangga hama yang sangat merugikan
(Maharadatunkamsi, 2012).
Berbagai spesies karnivora kecil yang hidup di Gunung Slamet
berperan sebagai predator dalam suatu ekosistem untuk pengendali mamalia
kecil lainnya. Dengan demikian karnivora kecil memainkan peranan yang
penting dalam menjaga keseimbangan ekologi hutan. Karnivora yang
tercatat keberadaannya di Gunung Slamet yang berperan sebagai predator
yaitu garangan Jawa (Herpestes javanicus), biul (Melogale orientalis),
teledu sigung (Mydaus javanensis), musang luwak (Paradoxurus
hermaphroditus) dan kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis). Kelima
spesies karnivora ini memiliki peran sebagai penyeimbang ekosistem
terutama sebagai predator satwa yang berukuran kecil seperti tikus, bajing
dan cecurut. Karnivora kecil ini dapat diandalkan sebagai spesies kunci
yang mampu mencegah meledaknya populasi tikus dan berbagai satwa
vertebrata kecil lainnya. Selain itu, berbagai spesies tikus, kelelawar dan
cecurut merupakan pakan bagi ular dan burung pemangsa. Untuk mamalia
besar terdata ada 15 jenis (Maharadatunkamsi, 2012). Di kawasan ini masih
12
cukup banyak dijumpai mamalia pemegang kendali lingkungan yaitu
Panthera pardus (Eko, 2012).
Di kawasan Gunung Slamet ditemukan 21 spesies reptilia dan 14
spesies amfibia. Dua di antaranya adalah kadal jawa Sphenomorphus
puncticentralis dan katak pohon jawa Rhacophorus margaritifer yang
merupakan spesies endemik pulau Jawa (Awal, 2012). Di DAS Serayu
ditemukan 28 spesies ikan. Sungai Soso memiliki tingkat keanekaragaman
ikan paling tinggi yang diikuti oleh Sungai Klawing. Secara keseluruhan di
kawasan ini terdapat dua spesies ikan indikator lingkungan yang positif,
yaitu ikan brek (Barbonymus balleroides) dan tambra (Tor spp.); dua
spesies ikan introduksi, yaitu Poeciliia reticulata dan Xiphophorus helleri.
Oleh karena tergali potensinya maka upaya pembudidayaan dan
penangkaran ikan-ikan lokal antara lain dilakukan pada ikan brek (Puntius
orphoides) dan dan ikan lukas (Puntius bramoides) (Haryono, 2012).
Secara statistik keragaman jenis burung di habitat hutan alam dan
hutan produksi terbatas G. Slamet tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan, namun burung-burung tampak cenderung lebih memilih habitat
hutan alam sebagai tempat mencari pakan dan berkembang biak. Burung-
burung sebagian besar menyebar pada ketinggian 700-800 mdpl di lereng
selatan dan di lereng timur pada ketinggian 2000-2100 mdpl dengan
menempati strata bawah (0-5 m) dan bagian tajuk pepohonan (30,1-35 m).
Tidak seluruh jenis burung sebaran terbatas ditemukan dalam penelitian,
yaitu hanya 17 dari 26 jenis. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya G.
Slamet untuk dikonservasi secara bijak sebagai salah satu daerah penting
terbesar bagi burung sebaran terbatas di Jawa Tengah (Widodo, 2012).
Keutuhan ekosistem Gunung Slamet tergambarkan oleh dari tingginya
keanekaragaman keong daratnya. Di dalam hutan (baik primer maupun
sekunder) tercatat 55 spesies (88,71%); di daerah non hutan (hutan industri
dan semak-semak) tercatat 34 spesies (56,45%) sedangkan 27 spesies
(43,55%) terdapat di kedua habitat tersebut. Hal ini terjadi karena keong
darat merupakan satwa yang amat sensitif terhadap perubahan lingkungan;
terkait dengan struktur tubuh keong yang berkulit tipis dan lembut yang
membutuhkan lingkungan yang amat spesifik terutama kelembaban yang
tinggi dan suhu yang relatif rendah. Tempat yang memiliki kelembaban
13
tinggi dengan suhu yang relatif rendah adalah hutan yang memiliki vegetasi
padat bertajuk rapat sehingga mampu menahan penguapan dan menyimpan
air di dalamnya. Hutan demikian memiliki potensi menyimpan air yang
cukup banyak (Heryanto, 2012).
Satwa perombak merupakan satwa yang sangat penting dalam
mendaurulangkan sampah biologi. Di kawasan ini diperoleh Cerambycidae
(37 spesies), Scarabaeidae (3 spesies), Dynastinae (2 spesies), Cetoninae (2
spesies), Lucanidae (6 spesies), Passalidae (3 spesies), dan Tenebrionidae (3
spesies). Berdasarkan keragaman spesies kumbang sungut panjang yang
ditemukan, 37 spesies yang teridentifikasi terdapat spesies yang mampu
beradaptasi hidup di berbagai tipe hutan dan ketinggian. Hutan yang
terdapat di lokasi pada ketinggian di bawah 1000 mdpl. baik di hutan primer
maupun sekunder dihuni oleh spesies-spesies yang tidak ditemukan di
habitat yang lebih tinggi misalnya Batocera spp. dan Acalolepta dispar
(Woro, 2012).
Di kawasan ini juga ditemukan 8 spesies kumbang lembing herbivora
(Henosepilachna dieke, H. vigintioctopunctata, H. enneasticta, Epilachna
orthofasciata, E. decipiens, Epilachna sp. F., E. alternans, dan E.
gedeensis), yang hidup pada 15 jenis tumbuhan inang. Temuan yang
menarik adalah distribusi kumbang lembing Henosepilachna dieke, H.
vigintioctopunctata yang mengikuti distribusi tumbuhan invasif (host plant)
Mikania micranta. Kedua kumbang tersebut dapat ditemukan mulai dari
dataran rendah hingga dataran tinggi. Untuk Kumbang lembing genus
Epilachna di Gunung Slamet memiliki spesialisasi terdistribusi dan
memakan daun inang tumbuhan liar khas dataran tinggi pegunungan,
sebaliknya kumbang genus Henosepilachna berpotensi menjadi hama
tanaman pertanian. Dengan adanya perubahan iklim, nampaknya kumbang-
kumbang lembing tersebut ada kecenderungan lebih berpindah ke daerah
lebih tinggi atau lebih dingin (Woro, 2012).
Jenis satwa lain yang dijumpai adalah primata seperti lutung
(Trachypitecus auratus), surili (Presbytis comata), owa jawa (Hylobates
moloch), dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis); mamalia seperti
musang (Paradoxorus hermaproditus), kukang (Nyicticebus caucang), babi
hutan (Sus scrova), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus timorensis),
14
dan macan tutul/kumbang (Panthera pardus); aves seperti burung cekakak
(Halcyon cyanoventris), kepodang (Coratina larvata), gagak hutan (Oravus
enca), ayam hutan (Gallus gallus), belibis (Dendrocygna javanica), kutilang
(Pycnonotus aurigaster), elang hitam (Ictiaetus malayensis), elang ular
(Spilomis cheela) dan elang jawa (Spizaetus bartelsii); reptilian seperti kadal
(Mabuya sp.), bunglon (Calothes sp.) dan ular; amphibi seperti katak
punggung coklat/merah dan katak bertanduk (Dwi, 2017).
15
Penduduk yang berada di empat kecamatan sekitar kawasan HL. Gunung Slamet
sebagian besar memeluk agama Islam. Sebagian besar adalah berasal dari
masyarakat Jawa dan Sunda. Oleh karena itu, kebudayaan yang berada di
kecamatan tersebut banyak dipengaruhi dan didominasi oleh kebudayaan dari
kedua masyarakat tersebut. Pada umumnya usaha pertanian yang dijalankan
penduduk di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Slamet adalah bertani
sawah, ladang/tegalan, dan perkebunan. Umumnya sawah tersebut sangat
tergantung pada musim hujan. Tanaman pertanian yang dikembangkan meliputi
tanaman pangan seperti padi, jagung, ketela pohon, ubi jalar, kedelai, kacang
tanah, kacang hijau dan sayursayuran seperti cabe, tomat, terong, ketimun, lobak,
kangkung, dan bayam. Tanaman perkebunan yang diusahakan adalah kelapa,
kelapa deras, cengkeh, kopi, jambu mete, kakao, lada, casiavera, kapuk randu,
kenanga, karet, panili, pala, teh, melati gambir, tebu, pinang, jahe gajah dan nilam.
Jenis ternak yang dipelihara di kecamatan sekitar kawasan HL. Gunung Slamet
terdiri dari jenis ternak unggas seperti ayam, itik, angsa, itik manila, dan jenis
ternak besar seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi dan kuda. Budidaya
perikanan yang diusahakan adalah budidaya perikanan air tawar (kolam,
keramba), air sawah (mina padi), dan perairan umum (genangan air, sungai).
Saranan dan prasarana yang tersedia di kecamatan berupa pasar umum.
C.2. Dinamika Sosial – Ekonomi
16
pembukaan akses jalan, landasan pengeboran, jalur pipa, embung dan fasilitas
penunjang lainnya (Pegiat Komunitas Peduli Slamet / Kompleet) Purwokerto
(Muhammad, 2017).
Dari data Dinas Lingkungan Hidup serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Banyumas, sebelum adanya proyek PLTP di Gunung Slamet, dalam
kurun waktu sepuluh tahun, dari 2001 sampai dengan 2011 ada 1.321 mata air
yang hilang. Faktor penyebabnya alih fungsi lahan dan perambahan hutan
(deforestasi). Potensi hilangnya sumber mata air akan lebih besar lagi terjadi jika
Proyek PLTP Gunung Slamet beroperasi. Hutan lindung Gunung Slamet
merupakan hutan hujan tropis dataran tinggi yang terbentuk ribuan tahun secara
alami dan saat ini menjadi jantung hutan alam di Pulau Jawa dan menjadi
penyangga ekosistem di Jawa. Pembabatan hutan dan alih fungsi hutan dalam
jumlah besar akan sangat berpengaruh pada kestabilan ekosistem di Jawa.
Menanggapi berbagai kekhawatiran itu, perwakilan dari Direktorat Panas
Bumi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Bambang
Purbiantoro mengatakan kalau proyek tersebut tidak akan dihentikan, meski ada
penolakan dari berbagai pihak. Proyek pembangunan PLTP Baturraden akan jalan
terus sebab pembangunan PLTP Baturraden merupakan bagian dari proyek
percepatan pembangunan energi 35 ribu megawatt (MW). Memang dalam proyek
tersebut ada pembabatan hutan, tetapi luasannya kecil jika dibandingkan dengan
luasan total hutan di lereng Gunung Slamet. Apalagi, sesuai dengan aturan yang
ada hutan yang ditebang harus dikembalikan lagi atau direboisasi dua kali lipat
luasannya.
Dengan semakin meningkatnya aktifitas sosial dan perekonomian di sekitar
Gunung Slamet, maka kebutuhan akan sumberdaya alam akan semakin
meningkat, sementara sumberdaya alam yang tersedia semakin menipis bahkan
cenderung berkurang. Dengan meningkatnya aktifitas perekonomian di sekitar
kawasan Hutan Lindung Gunung Slamet, hal ini dikhawatirkan akan mengancam
fungsi kawasan sebagai hutan lindung serta penyangga bagi kehidupan ekosistem
dibawahnya.
C.3. Diversifikasi Mata Pencaharian
Dinamika pengembangan wilayah pedesaan sebagai kawasan agrowisata
perlu diselaraskan dengan laju pemberdayaan masyarakat miskin di sekitarnya.
Karakteristik sosial ekonomi yang cenderung tidak jauh berbeda menunjukkan
17
bahwa masyarakat miskin di kawasan agrowisata memiliki potensi, kapabilitas
dan sikap mental yang mampu berintegrasi dalam berbagai bentuk kegiatan
produktif untuk mendukung gerakan agrowisata. Mekanisme diversifikasi mata
pencaharian yang paling dibutuhkan ialah yang berbasis sumberdaya lokal. Dalam
rumusan model pemberdayaan masyarakat miskin melalui diversifikasi mata
pencaharian berbasis sumberdaya lokal dibutuhkan kerjasama yang terpadu antar
berbagai pihak dengan tetap memberi prioritas pada pemanfaatan himpunan
modal yang dimiliki warga secara bersamaan (Imam, 2012).
18
BAB III
PENUTUP
3.A. Kesimpulan
19
dalam penelitian, yaitu hanya 17 dari 26 jenis. Selain itu di kawasan
ini juga terdapat 55 spesies keong darat, dan satwa perombak yaitu 37
spesies kumbang kayu lapuk dan 8 spesies kumbang lembing. Jenis
satwa lain yang dijumpai adalah primata seperti lutung (Trachypitecus
auratus), surili (Presbytis comata), owa jawa (Hylobates moloch), dan
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis); mamalia seperti musang
(Paradoxorus hermaproditus), kukang (Nyicticebus caucang), babi
hutan (Sus scrova), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus
timorensis), dan macan tutul/kumbang (Panthera pardus); aves seperti
burung cekakak (Halcyon cyanoventris), kepodang (Coratina larvata),
gagak hutan (Oravus enca), ayam hutan (Gallus gallus), belibis
(Dendrocygna javanica), kutilang (Pycnonotus aurigaster), elang
hitam (Ictiaetus malayensis), elang ular (Spilomis cheela) dan elang
jawa (Spizaetus bartelsii); reptilian seperti kadal (Mabuya sp.),
bunglon (Calothes sp.) dan ular; amphibi seperti katak punggung
coklat/merah dan katak bertanduk.
3. Dengan semakin meningkatnya aktifitas perekonomian di sekitar Gunung Slamet,
maka kebutuhan akan sumberdaya alam akan semakin meningkat dikhawatirkan
akan mengancam fungsi kawasan sebagai hutan lindung serta penyangga bagi
kehidupan ekosistem dibawahnya.
3.B. Saran
20
dilakukan pendekatan tenurial kepada masyarakat agar tidak terjadi perambahan
kawasan.
4. Diperlukan penetapan status kawasan hutan G. Slamet yang lebih kuat dari status
kawasan lindung, dibarengi penerapan manajemen adaptif yang diandang tepat
untuk pengelolaan kawasan ini.
21
DAFTAR PUSTAKA
Agus B. & Sukarsa. 2012. Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden
Lereng Selatan G. Slamet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor
bekerjasama dengan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press.
Bogor.
Awal R. & W. Trilaksono. 2012. Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet,
Jawa Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor
bekerjasama dengan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press.
Bogor.
Bangun W. 2017. Kenapa PLTP Gunung Slamet Pantas Ditolak?. http://braling.com/2017
/05/kenapa-pltp-gunung-slamet-pantas-ditolak/. Di akses Tanggal 28 September
2017.
Darmawan. 2017. Masih Terjadi Pro dan Kontra Pembangkit PLTP Baturraden, Adakah
Solusi? http://www.mongabay.co.id/2017/07/31/masih-terjadi-pro-dan-kontra-
pembangkitan-pltp-baturraden-adakah-solusi/. Di akses Tanggal 28 September 2017.
Dodo G. 2012. Kajian Hidro Klimatologi Wilayah Gunung Slamet Jawa Tengah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor bekerjasama dengan Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press. Bogor.
Dwi E., E.K. Nasution & Indarmawan. 2017. Tingkah Laku Makan Lutung Jawa
Trachypithecus auratus di Kawasan Pancuran 7 Baturraden Gunung Slamet Jawa
Tengah. Scripta Biologica. (4): 125 – 129.
Eko S. 2012. Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor bekerjasama dengan Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press. Bogor.
Haryono. 2012. Sumber Daya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan Gunung Slamet
Serta Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor
bekerjasama dengan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press.
Bogor.
Heryanto. 2012. Keanekaragaman Keong Darat di Dua Macam Habitat Makro di Gunung
Slamet Jawa Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor
22
bekerjasama dengan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press.
Bogor.
Imam S. 2012. Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan Kawasan Agrowisata
Melalui Diversifikasi Mata Pencaharian Berbasis Sumberdaya Lokal. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor bekerjasama dengan Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press. Bogor.
Joko S., Y. Widiawati & T. Chasanah. 2012. Persebaran Jenis Tumbuhan Paku
Dennstaedtiaceae di Hutan Gunung Slamet Jalur Pendakian Baturraden. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor bekerjasama dengan Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press. Bogor.
Maharadatunkamsi. 2012. Potensi Mamalia Kecil dalam Mendukung Fungsi Lindung
Gunung Slamet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor
bekerjasama dengan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press.
Bogor.
Muhammad R. 2017. Warga Lereng Gunung Slamet Tolak Proyek PLTP Baturraden.
http://regional.liputan6.com/read/3026960/warga-lereng-gunung-slamet-tolak-proyek
-pltp-baturraden. Di akses Tanggal 29 September 2017.
Pratomo I. 2012. Keanekaragaman Geologi Kompleks Vulkanik G. Slamet Jawa Tengah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor bekerjasama dengan
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press. Bogor.
Pratomo I. & M. Hendrasto. 2012. Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor bekerjasama dengan Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press. Bogor.
Pudji W. & D.N. Wibowo. 2012. Araceae di Lereng Selatan Gunung Slamet. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor bekerjasama dengan Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press. Bogor.
Suprayogo S. & D. Girmansyah. 2012. Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa
Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor bekerjasama
dengan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press. Bogor.
Widodo W. 2012. Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet, Jawa Tengah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor bekerjasama dengan Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press. Bogor.
23
Woro A.N. 2012. Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk di Gunung Slamet. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor bekerjasama dengan Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto. LIPI – Press. Bogor.
24