BIOFARMASETIKA
Sediaan Per-Inhalasi
Kelompok 3
Kelas D
Disusun Oleh:
1. Daniel Budi Wicaksono (2016210053)
2. A
3. D
4. F
5. F
6. F
7. F
8. F
9. F
10. F
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
1. Pengertian Aerosol
Aerosol berasal dari kata aer yang berarti udara dan sol yang berarti larutan,
jadi aerosol merupakan larutan di dalam udara. Menurut Farmakope Indonesia edisi
IV, aerosol farmasetik adalah sediaan yang dikemas di bawah tekanan, mengandung
zat aktif terapetik yang dilepas pada saat sistem katup yang sesuai ditekan. Sedian ini
digunakan untuk pemakaian topikal pada kulit dan juga pemakaian lokal pada hidung
(aerosol nasal), mulut (aerosol lingual) atau paru-paru (aerosol inhalasi).
Aerosol digunakan untuk memasukkan obat kedalam alveolus pulmonari
melalui saluran napas. Bentuk sediaan aerosol telah dikenal dan digunakan sejak
beberapa abad yang lalu. Dahulu, baik farmasis maupun kedokteran menggunakan
istilah pengasapan (fumigasi), penghirupan (inhalasi) dan rokok obat untuk sediaan
aerosol. Selama bertahun-tahun penggunaan aerosol hanya didasarkan atas data
empirik dan hal itulah yang menimbulkan berbagai keraguan para dokter.
Istilah aerosol digunakan untuk sediaan semprotan kabut tipis dari suatu
sistem bertekanan tinggi. Komponen dasar sistem aerosol adalah wadah, propelan,
konsentrat mengandung zat aktif, katup dan penyemprot. Aerosl biasa dibuat dengan
salah satu dari dua proses yaitu pengisian dengan pendinginan atau pengisian dengan
tekanan.
Propelan adalah pemberi tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan bahan
dari wadah. Secara umum dilasifikasikan sebagai gas yang dicairkan atau gas yang
dimampatkan. Umumnya mempunyai tekanan uap yang lebih besar dari tekanan
atmosfer, meliputi berbagai hidrokarbon, khususnyafluoroklorometana dan etana,
hidrokarbon dengan bobot molekul rendah seperti butana dan pentana dan gas
mampat seperti karbondioksida, nitrogen dan nitrosa.
Kini istilah aerosol lebih dikenal dengan pengertian kabut yang dibentuk oleh
partikel-partikel padat atau cairan yang terdispersi dalam udara atau gas, dan partikel
tersebut cukup halus hingga tetap tersuspensi dalam waktu singkat. Definisi sederhana
tersebut menimbulkan beberapa kesulitan dalam evaluasi biofarmasetika dari sediaan
aerosol.
Seperti diketahui, saluran nafas merupakan satu-satunya organ tubuh yang
berhubungan langsung dengan lingkungan luar dan lingkungan dalam tubuh. Oleh
sebab itu salurah napas dapat dan harus mempunyai sistem pertahanan terhadap
semua pengaruh luar, termasuk obat. Jika senyawa yang terhirup tidak atau kurang
bersih, maka senyawa akan tertahan dan selanjutnya bila senyawa tersebut toksik
maka akan timbul efek patogenik atau bila senyawa tersebut merupakan bahan obat,
akan timbul efek setempat dan jika senyawa memasuki peredaran darah maka
selanjutnya akan memberikan efek sistemik.
Keuntungan dari pemberian obat melalui saluran napas adalah terhindarnya
obat dari pengaruh cairan lambung yang kadang dapat menyebabkan peruraian bahan
aktif yang peka dan untuk obat yang khusus bekerja pada saluran napas maka obat
dapat bekerja langsung.
Bahkan senyawa-senyawa tertentu yang diberikan lewat saluran napas dapat
memasuki sistem peredaran darah dengan sangat cepat, sehingga kadang-kadang
aerosol memberikan kesetaraan yang sama dengan bila bahan tersebut diberikan
secara injeksi intravena.
2. Pengertian Inhalasi
Inhalasi adalah sediaan obat atau larutan atau suspensi terdiri atas satu atau
lebih bahan obat yang diberikan melalui saluran napas hidung atau mulut untuk
memperoleh efek lokal atau sistemik. Larutan bahan obat dalam air sterilatau dalam
larutan natrium klorida untuk inhalasi dapat disemprotkan menggunakan gas inert.
Semprotan larutan dapat diisap langsung dari alat penyemprot atau alat penyemprot
dapat disambungkan pada masker plastik, selubung atau alat pernapasan dengan
tekanan positif yang terputus-putus.
Kelompok sediaan lain yang dikenal dengan inhaler dosis terukur adalah
suspensi atau larutan obat dalam gas propelan cair dengan atau tanpa kosolven dan
dimaksudkan untuk memberikan dosis obat terukur ke dalam saluran pernapasan.
Serbuk juga dapat diberikan secara inhalasi, menggunakan alat mekanik secara
manual untuk meghasilkan tekanan atau inhalasi yang dalam bagi penderita yang
bersangkutan.
Jenis inhalasi khusus yang disebut inhalan terdiri dari satu atau kombinasi
beberapa obat, yang karena bertekanan uap tinggi dapat terbawa oleh aliran udara ke
dalam saluran hidung dan memberikan efek. Wadah obat yang diberikan secara
inhalasi disebut inhaler.
Berikut merupakan penyebaran partikel di saluran nafas :
Diameter Partikel Aerosol Permukaan Penetrasi Maksimum
Lubang hidung
Lebih dari 30 µm Pharynx
Laryx
20-30 µm Trakea
10-20 µm Bronkus dan Bronchiolus
3-5 µm Bronchiolus terminalis
Kurang dari 3 µm Canal alveoli lalu ke alveoli paru
3. Tinjauan Tentang Anatomi dan Fisiologi Saluran Napas
A. Anatomi
Saluran napas dapat dibagi dalam dua daerah yang berbeda yaitu
daerah konduksi dan daerah pertukaran.
Keterangan:
BT = bronchiolus terminalis
BR1, BR2, BR3 = bronchioles respiratorius tingkat 1,2, dan 3
CA = kanal alveoli ( ductuli alveolaris)
SA = saccus alveolaris
a) Daerah Konduksi
Daerah konduksi merupakan saluran udara dari trakea sampai
bronchioles terminalis, yang berperan pada transfer gas ke
daerah pertukaran. Diameter bronkus akan menciut kea rah
distal dan selanjutnya secara berturutan terbagi atas:
bronkus besar yang bercabang dua yait segnentum
extrapulmonari dan berdiameter lebih dari 1,5
bronkus distribusi, berdiameter antara 1,5-0,5 cm
bronkus interlobular, berdiameter antara 5 dan 1,5 mm,
yang berakhir pada bronchus sub-lobulair di pusat
lobuler
b) Daerah Pertukaran
Daerah pertukaran berhubungan dengan struktur acinus
pulmonalis yang sebagian atau seluruh strukturnya beraveoli. Daerah
tersebut berupa kanal-kanal (bronchioles respiratorius BBR1, BR2,
BR#, dan kantong alveolar SA). Struktur tersebut bertugas
melaksanakan pertukaran udara antara alveolus dan pembuluh darah.
B. Fisiologi
a) Daerah Konduksi
Hidung menjamin proses pelembaban, penyaringan, dan
penghirupan udara. Lubang hidung berhubungan dengan
nasopharynx dan dibatasi oleh membrane mukosa. Pada jalan masuk
epitelnya tebal, berlapis-lapis dan mengandung kelenjar sebaceous
dan bulu-bulu yang keras. Pada pusat lubang terdapat epitel yang
menyerupai kanal bertumpuk, rambut getar (silia) dan sel-sel goblet.
Struktur yang berbeda ini sangat penting untuk pertahanan
saluran napas : bulu dan epitel rambut getar berfungsi menyaring
partikel-partikel yang masuk ke dalam hidung sedangkan mukosa
akan menahan partikel-partikel tersebut melalui tumbukan atau
pengendapan sehingga alveolus selalu berada dalam keadaan steril.
Penolakan cemaran yang dilakukan oleh gerakan hidung terjadi secara
spontan dengan kecepatan 7mm/detik atau dengan cara bersin,
pembuangan ingus, atau dengan penelanan; dan hal tersebut dapat
diperburuk oleh adanya kogesti mukosa, misalnya akibat reaksi alergi.
Udara yang dihirup dipengaruhi oleh perpindahan panas dan
uap air pada hidung bagian superior yang menyempit dan peranannya
didukung oleh adanya pengaliran darah yang cukup. Sementara itu,
pada keadaan yang kurang menguntungkan, misalnya cuaca yang
dingin atau kering terjadi dehidrasi pada saluran napas.
Mulut
Mulut merupakan tempat persimpangan pharyngolaryx dan
merupakan jalur kedua yang digunakan untuk proses penghirupan.
Penghirupan melalui mulut mempunyai efek samping terutama bila
udara mengandung partikel, sebab di mulut tidak ada penyaringan
partikel-partikel baik secara tumbukan atau pengendapan.
Trakea
Trakea terdiri dari 16 atau 20 cartilago hyaline, yang pada
permukaannya terdapat banyak sel kelenjar dan selanjutnya trakea
bercabang dua menjadi bronkus kanan dan kiri.
Bronkus
Bronkus tertutup oleh lapisan epitel yang terdiri dari :
Lapisan mukosa
Silia (bulu getar)
Cairan berair yang membasahi silia
Sel silia yang dipisahkan oleh sel-sel goblet pada mukosa
Sel basal
Membrane
Keseluruhan bagian-bagian tersebut sangat berperan pada proses
pengeluaran (gambar 2)
Gambar 2 : Irisan membujur epitel bronchus
Silia
Silia epitel berperan penting dalam pertahanan saluran napas
dan silia tersebut mengeluarkan getah bronkus dan cairan alveolar,
secara keseluruhan sel epitel menyerupai tangga berjalan atau
permadani mukosilier yang berombak (gambar 2).
Gerakan silia terdiri atas gerakan aplastis yang diikuti dengan
gerakan tiba-tiba kembali ke posisi tegak lurus sel dan silia membelok
dipermukaan sel. Selanjutnya terjadi gerakan yang tiba-tiba kembali
ke posisi tegak lurus, hal tersbut merupakan denyutan silier yang
efektif sehingga memungkinkan terjadinya penggeseran lapisan
superficial mukosa yang kental.
Gerakan awal hanya merupakan gerakan relaksasi silia yaitu
kembali ke keadaan semula (gambar 3).
Getah bronkus
Pada subyek sehat, studi tentang getah bronkus relalif tidak
memungkinkan. Pada keadaan normal, setiap lapisan mukosa
mengeluarkan 100 ml getah. Terdapat banyak factor (termasuk iritasi
karena pengambilan cuplikan pada endoskopi) yang dapat
menyebabkan timbulnya hipersekresi bronkus.
Setiap 100 g getah bronkus “normal” dari laryngectomi, terdiri
atas 94,79% air dan 1,13% sisa abu. Kadar asam desoksiribonukleat
(DNA) 0,028%, glusida 0,951%, protein 1,00% dan lipida 0,840%.
Bagian bukan air sekitar 5% akan meningkat jika terjadi peradangan.
Getah bronkus bersifat hiperosmotik, terdiri dari elektrolit yang
larut dalam air dengan konsentrasi yang dinyatakan dalam mm/g yaitu
: Na:211, Cl:157, K:16,6, Ca:2,45.
Jika ditambahkan 2 bagian air suling kedalam 1 bagian dahak
segar lalu dipusingkan maka akan terjadi pemisahan cairan dalam tiga
fase, seperti yang terlihat pada gambar 4 :
Fase paling atas berupa busa, banyak mengandung surfaktan lipida
dan lesitin-dipalmitat. Senyawa tersebut merupakan penurun tegangan
permukaan alveoli atau yang disebut juga surfaktan yang berada
dalam keadaan bebas dan hampir murni.
Fase air, hasil penelitian dengan elektroforesis membuktikan bahwa
fase tersebut mengandung banyak protein, komponen darah, hasil urai
musin, senyawa dari saliva (misalnya amilase), enzim-enzim
(lisosom, protease, enzim-enzim bakteri).
Fase berbentuk gel yang tidak larut dalam air dan merupakan struktur
berbentuk serabut (fibril) yang dapat diwarnai dengan toluidine biru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Faktor-Faktor dalam Bioavailabilitas Obat
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu
rangkaian proses. Proses tersebut meliputi:
1. disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat
2. pelarutan obat
3. absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.
Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan dan absorpsi, kecepatan obat mencapai
sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat dalam rangkaian tersebut.
Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap
penentu kecepatan (rate limiting step). Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan
kecil dalam air, laju pelarutan serigkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh
karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailablitas
obat. Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju
pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membran merupakan
tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan.
b. Pertimbangan Terapetik
Pengetahuan indikasi terapetik obat merupakan hal yang penting untuk
formulator. Suatu obat yang digunakan untuk suatu kondisi segera dan kondisi
akut hendaknya diformulasi sehingga obat tersebut mencapai sasaran dengan
cepat. Suatu obat yang digunakan untuk jangka terapi yang lebih panjang dapat
mencapai sasaran lebih lambat. Sebagai contoh, suatu obat yang menghilangkan
sakit hendaknya diabsorpsi secara cepat sehingga diperoleh hilangnya rasa sakit
yang cepat, sedangkan suatu obat yang dirancang untuk mencegah keadaan
asmatik dapat diabsorpsi secara lambat sehingga efek perlindungan dari obat
berakhir setelah suatu jangka waktu yang panjang.
Seperti pada semua sistem dispersi, sediaan aerosol harus stabil, partikel-
partikel tidak boleh membasahi dinding dan tidak boleh melarut secara tak beraturan
dalam cairan pendukungnya. Stabilitas sediaan aerosol dipengaruhi oleh 4 faktor
yaitu:
a. Muatan partikel
b. Tiap partikel aerosol memiliki muatan listrik bertanda sama dengan demikian
partikel-partikel tersebut akan saling tolak menolak
c. Kehalusan partikel
d. Aerosol harus berbentuk kabut halus yang kering dan memiliki gerak brown
e. Penyebaran ukuran pertikel
f. Perbandingan bobot jenis gas/cairan.
d. Tahap Keempat
Yaitu evaluasi pada subyek manusia. Dalam hal ini keadaan pemberian dan
penghirupan partikel harus tepat. Ritme pernapasan harus ditentukan sebagai
fungsi dari aksi yang diharapkan. Jumlah obat yang diberikan harus selalu
dievaluasi dengan seksama terutama bila zat aktif beraksi sangat kuat pada dosis
kecil. Akhirnya, pengaruh formulasi dapat diperkirakan dengan membandingkan
sediaan terhada[p suatu larutan air dengan catatan zat aktif dapat larut dalam air.
e. Tahap Kelima (Tahap Akhir)
Diikuti dengan studi ketercampuran-obat dan stabilitas zat aktif dalam bentuk
terpilih (larutan, serbuk, bentuk sediaan farmasi bertekanan dan lain-lain).
Subjek:
1) Subjek hewan
Subjek kelinci dari suatu larutan feri klorida yang terbagi halus yang dapat
diidentifikasi dalam bronkus kecil melalui reaksi kalium ferosianat
membuktikan aktivitas bahan obat dalam sediaan aerosol.
Kelemahan: haruss hati-hati dalam menarik kesimpulan dan menghubungkannya
dengan manusia karena perbedaan anatomi fisiologi antara hewwan dan
manusia.
1. Subjek manusia
a. harus diuji keadaan subjek percobaan
b. sering timbul berbagai masalah, misalnya pengukuran sifat reologi lapisan
mukosa normal yang selanjutnya berpengaruh pada protokol percobaan.
c. Hal-hal yang harus diperhaikan adalah:
1) Jumlah aerosol yang dihirup
2) Jumlah zat aktif yang terikat dan atau terserap
respon farmakologi
B. Nebulizer
Alat nebulizerdapat mengubah obat berbentuk larutan menjadi
aerosolsecara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan
ataugelombang ultrasonik.Aerosolmerupakan suspensi berbentuk padat atau cair
dalam bentuk gas dengan tujuan untuk menghantarkan obat ke target organ
dengan efek samping minimal dan dengan keamanan dan efektifitas yang
tinggi.Partikel aerosol yang dihasilkan nebulizerberukuran antara 2-5 μ, sehingga
dapat langsung dihirup penderita dengan menggunakan mouthpieceatau
masker.Berbeda dengan alat MDI (Metered Dose Inhaler)dan DPI (Dry Powder
Inhaler)dimana alat dan obat merupakan satu kesatuan.Ada dua jenis nebulizeryang
umumnya seringdigunakan:
1) Nebulizerjet: menggunakan jet gas terkompresi (udara atau oksigen) untuk
memecah larutan obat menjadi aerosol.
2) Nebulizerultrasonik :menggunakan vibrasi ultrasonik yang dipicu secara
elektronik untuk memecah larutan obat menjadi aerosol.
Alat terapi inhalasi nebulizer harus terus dijaga kebersihannya untuk menghindari
pertumbuhan mikroba dan kemungkinan adanya infeksi. Sebaiknya alat
nebulizerdicuci setiap setiap selesai digunakanatau sedikitnya sekali sehari.Instruksi
dari pabrik pembuatnya harus diikuti secara benar untuk menghindari kerusakan
plastik pembungkusnya (Ikawati, 2007).Kelebihan terapi inhalasi menggunakan
nebulizeradalah tidak atau sedikitmemerlukan koordinasi pasien, hanya
memerlukan pernapasan tidal, dan didalamnya terdapatcampurandari beberapa
jenis obat (misalnya salbutamol dan ipratropiumbromida).Kekurangannya
adalah alat ini cukup besar sehingga kurang praktis, memerlukan sumber listrik, dan
relatifmahal (Rahajoe, 2008).Berikut carapenggunaan nebulizeryaitu:
1.Selalu cuci tangan sebelum menyiapkan obat untuk penggunaan nebulizer
2.Membuka tutup tabung obat nebulizer, mengukur dosis obat dengan benar
3.Memasukkan obat ke dalam tabung nebulizer
4.Menghubungkan selang dari masker uap atau mouthpiecepada
kompresor nebulizer
5.Mengenakan masker uap atau mouthpiece kemulut, dikatupkan bibir
hingga rapat
6.Menekan tombol on
7.Benapaslah dengan perlahan ketika menghirup uap yang keluar dan
uap dihirup sampai obat habis
8.Menekan tombol off
Nebulizerterdiri dari beberapa bagian yang terpisah yang terdiri dari
generator aerosol, alat bantu inhalasi (masker, mouthpiece) dan obatnya
sendiri.Masker dan mouthpiecepada nebulizermemiliki beberapa ukuran yang
dapat disesuaikan untuk penggunaanya pada anak-anak atau orang dewasa,
sehingga diharapkan jika menggunakan masker atau mouthpiecedengan ukuran yang
tepat, larutan obat yang melalui nebulizerberubah menjadi gas aerosol tersebut
dapat dihirup/dihisap dengan baik dan keberhasilan terapi yang didapatkan
juga dirasakan optimal Mouthpiece Nebulizer lebih disukai untuk beberapa alasan,
antara lain:
1. Anak-anak, orang lanjut usia, dan pasien yang lemah mungkin
kesulitan menggunakan MDI dan DPI secara benar.
2. Beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada yang
dapat dihantarkan oleh MDI dan DPI, misalnya pada pasien asma
kronik, serangan akut PPOK dan sistik fibrosis.
3. Untuk pengobatan sendiri di rumah, dimana pasien membutuhkan dosis
yang lebih besar daripada yang dapat diberikan menggunakan MDI.
4. Serangan pada asma akut
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. Aiache, J.M dan Guyot Hermann. Biofarmasetika 2 Biofarmasi Edisi Ke-2. Paris :
Technique et Documentation 11.
2. Anonimus, “aerosol” dalam Google, http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/4._16-1-
2005-RISWAKA.pdf, diunduh 7 Juni 2019 pukul 08.45
3. Anonimus, “aerosol” dalam Google,
http://izetie.wordpress.com/2012/03/23/bagaimanaobat-bekerja/, diunduh 7 Juni 2019
pukul 08.45
4. Anonimus, “aerosol” dalam Google,
http://rgmaisyah.files.wordpress.com/2010/06/tugasmakalah-ptf_aerosol_rgm.pdf,
diunduh 7 Juni 2019 pukul 08.45
5. Anonimus, “biofarmasetika” dalam Google,
http://krissandygatez.blogspot.com/2012/05/farmakokinetik-absorpsi.html, diunduh 7
Juni 2019 pukul 08.45
6. Anonimus, “biofarmasetika sediaan inhalasi” dalam Google,
http://onnalkosakoy.blogspot.com/2011/09/aspek-biofarmasetik-produk-obat.html,
diunduh 7 Juni 2019 pukul 08.45
7. Farmakope Indonesia edisi IV.1995. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
8. Gibaldi, Milo. Biopharmaceutics and Clinical Pharmacokinetics Third Edition.
Washington : University of Washington Seattle
9. Shargel L., dan Yu Andrew B.C., 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan. Airlangga University Press.