Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

BIOFARMASETIKA
Sediaan Per-Inhalasi

Kelompok 3
Kelas D
Disusun Oleh:
1. Daniel Budi Wicaksono (2016210053)
2. A
3. D
4. F
5. F
6. F
7. F
8. F
9. F
10. F

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
1. Pengertian Aerosol
Aerosol berasal dari kata aer yang berarti udara dan sol yang berarti larutan,
jadi aerosol merupakan larutan di dalam udara. Menurut Farmakope Indonesia edisi
IV, aerosol farmasetik adalah sediaan yang dikemas di bawah tekanan, mengandung
zat aktif terapetik yang dilepas pada saat sistem katup yang sesuai ditekan. Sedian ini
digunakan untuk pemakaian topikal pada kulit dan juga pemakaian lokal pada hidung
(aerosol nasal), mulut (aerosol lingual) atau paru-paru (aerosol inhalasi).
Aerosol digunakan untuk memasukkan obat kedalam alveolus pulmonari
melalui saluran napas. Bentuk sediaan aerosol telah dikenal dan digunakan sejak
beberapa abad yang lalu. Dahulu, baik farmasis maupun kedokteran menggunakan
istilah pengasapan (fumigasi), penghirupan (inhalasi) dan rokok obat untuk sediaan
aerosol. Selama bertahun-tahun penggunaan aerosol hanya didasarkan atas data
empirik dan hal itulah yang menimbulkan berbagai keraguan para dokter.
Istilah aerosol digunakan untuk sediaan semprotan kabut tipis dari suatu
sistem bertekanan tinggi. Komponen dasar sistem aerosol adalah wadah, propelan,
konsentrat mengandung zat aktif, katup dan penyemprot. Aerosl biasa dibuat dengan
salah satu dari dua proses yaitu pengisian dengan pendinginan atau pengisian dengan
tekanan.
Propelan adalah pemberi tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan bahan
dari wadah. Secara umum dilasifikasikan sebagai gas yang dicairkan atau gas yang
dimampatkan. Umumnya mempunyai tekanan uap yang lebih besar dari tekanan
atmosfer, meliputi berbagai hidrokarbon, khususnyafluoroklorometana dan etana,
hidrokarbon dengan bobot molekul rendah seperti butana dan pentana dan gas
mampat seperti karbondioksida, nitrogen dan nitrosa.
Kini istilah aerosol lebih dikenal dengan pengertian kabut yang dibentuk oleh
partikel-partikel padat atau cairan yang terdispersi dalam udara atau gas, dan partikel
tersebut cukup halus hingga tetap tersuspensi dalam waktu singkat. Definisi sederhana
tersebut menimbulkan beberapa kesulitan dalam evaluasi biofarmasetika dari sediaan
aerosol.
Seperti diketahui, saluran nafas merupakan satu-satunya organ tubuh yang
berhubungan langsung dengan lingkungan luar dan lingkungan dalam tubuh. Oleh
sebab itu salurah napas dapat dan harus mempunyai sistem pertahanan terhadap
semua pengaruh luar, termasuk obat. Jika senyawa yang terhirup tidak atau kurang
bersih, maka senyawa akan tertahan dan selanjutnya bila senyawa tersebut toksik
maka akan timbul efek patogenik atau bila senyawa tersebut merupakan bahan obat,
akan timbul efek setempat dan jika senyawa memasuki peredaran darah maka
selanjutnya akan memberikan efek sistemik.
Keuntungan dari pemberian obat melalui saluran napas adalah terhindarnya
obat dari pengaruh cairan lambung yang kadang dapat menyebabkan peruraian bahan
aktif yang peka dan untuk obat yang khusus bekerja pada saluran napas maka obat
dapat bekerja langsung.
Bahkan senyawa-senyawa tertentu yang diberikan lewat saluran napas dapat
memasuki sistem peredaran darah dengan sangat cepat, sehingga kadang-kadang
aerosol memberikan kesetaraan yang sama dengan bila bahan tersebut diberikan
secara injeksi intravena.

2. Pengertian Inhalasi
Inhalasi adalah sediaan obat atau larutan atau suspensi terdiri atas satu atau
lebih bahan obat yang diberikan melalui saluran napas hidung atau mulut untuk
memperoleh efek lokal atau sistemik. Larutan bahan obat dalam air sterilatau dalam
larutan natrium klorida untuk inhalasi dapat disemprotkan menggunakan gas inert.
Semprotan larutan dapat diisap langsung dari alat penyemprot atau alat penyemprot
dapat disambungkan pada masker plastik, selubung atau alat pernapasan dengan
tekanan positif yang terputus-putus.
Kelompok sediaan lain yang dikenal dengan inhaler dosis terukur adalah
suspensi atau larutan obat dalam gas propelan cair dengan atau tanpa kosolven dan
dimaksudkan untuk memberikan dosis obat terukur ke dalam saluran pernapasan.
Serbuk juga dapat diberikan secara inhalasi, menggunakan alat mekanik secara
manual untuk meghasilkan tekanan atau inhalasi yang dalam bagi penderita yang
bersangkutan.
Jenis inhalasi khusus yang disebut inhalan terdiri dari satu atau kombinasi
beberapa obat, yang karena bertekanan uap tinggi dapat terbawa oleh aliran udara ke
dalam saluran hidung dan memberikan efek. Wadah obat yang diberikan secara
inhalasi disebut inhaler.
Berikut merupakan penyebaran partikel di saluran nafas :
Diameter Partikel Aerosol Permukaan Penetrasi Maksimum
Lubang hidung
Lebih dari 30 µm Pharynx
Laryx
20-30 µm Trakea
10-20 µm Bronkus dan Bronchiolus
3-5 µm Bronchiolus terminalis
Kurang dari 3 µm Canal alveoli lalu ke alveoli paru
3. Tinjauan Tentang Anatomi dan Fisiologi Saluran Napas
A. Anatomi
Saluran napas dapat dibagi dalam dua daerah yang berbeda yaitu
daerah konduksi dan daerah pertukaran.

Keterangan:
BT = bronchiolus terminalis
BR1, BR2, BR3 = bronchioles respiratorius tingkat 1,2, dan 3
CA = kanal alveoli ( ductuli alveolaris)
SA = saccus alveolaris

a) Daerah Konduksi
Daerah konduksi merupakan saluran udara dari trakea sampai
bronchioles terminalis, yang berperan pada transfer gas ke
daerah pertukaran. Diameter bronkus akan menciut kea rah
distal dan selanjutnya secara berturutan terbagi atas:
 bronkus besar yang bercabang dua yait segnentum
extrapulmonari dan berdiameter lebih dari 1,5
 bronkus distribusi, berdiameter antara 1,5-0,5 cm
 bronkus interlobular, berdiameter antara 5 dan 1,5 mm,
yang berakhir pada bronchus sub-lobulair di pusat
lobuler
b) Daerah Pertukaran
Daerah pertukaran berhubungan dengan struktur acinus
pulmonalis yang sebagian atau seluruh strukturnya beraveoli. Daerah
tersebut berupa kanal-kanal (bronchioles respiratorius BBR1, BR2,
BR#, dan kantong alveolar SA). Struktur tersebut bertugas
melaksanakan pertukaran udara antara alveolus dan pembuluh darah.

B. Fisiologi
a) Daerah Konduksi
Hidung menjamin proses pelembaban, penyaringan, dan
penghirupan udara. Lubang hidung berhubungan dengan
nasopharynx dan dibatasi oleh membrane mukosa. Pada jalan masuk
epitelnya tebal, berlapis-lapis dan mengandung kelenjar sebaceous
dan bulu-bulu yang keras. Pada pusat lubang terdapat epitel yang
menyerupai kanal bertumpuk, rambut getar (silia) dan sel-sel goblet.
Struktur yang berbeda ini sangat penting untuk pertahanan
saluran napas : bulu dan epitel rambut getar berfungsi menyaring
partikel-partikel yang masuk ke dalam hidung sedangkan mukosa
akan menahan partikel-partikel tersebut melalui tumbukan atau
pengendapan sehingga alveolus selalu berada dalam keadaan steril.
Penolakan cemaran yang dilakukan oleh gerakan hidung terjadi secara
spontan dengan kecepatan 7mm/detik atau dengan cara bersin,
pembuangan ingus, atau dengan penelanan; dan hal tersebut dapat
diperburuk oleh adanya kogesti mukosa, misalnya akibat reaksi alergi.
Udara yang dihirup dipengaruhi oleh perpindahan panas dan
uap air pada hidung bagian superior yang menyempit dan peranannya
didukung oleh adanya pengaliran darah yang cukup. Sementara itu,
pada keadaan yang kurang menguntungkan, misalnya cuaca yang
dingin atau kering terjadi dehidrasi pada saluran napas.
Mulut
Mulut merupakan tempat persimpangan pharyngolaryx dan
merupakan jalur kedua yang digunakan untuk proses penghirupan.
Penghirupan melalui mulut mempunyai efek samping terutama bila
udara mengandung partikel, sebab di mulut tidak ada penyaringan
partikel-partikel baik secara tumbukan atau pengendapan.
Trakea
Trakea terdiri dari 16 atau 20 cartilago hyaline, yang pada
permukaannya terdapat banyak sel kelenjar dan selanjutnya trakea
bercabang dua menjadi bronkus kanan dan kiri.
Bronkus
Bronkus tertutup oleh lapisan epitel yang terdiri dari :
 Lapisan mukosa
 Silia (bulu getar)
 Cairan berair yang membasahi silia
 Sel silia yang dipisahkan oleh sel-sel goblet pada mukosa
 Sel basal
 Membrane
Keseluruhan bagian-bagian tersebut sangat berperan pada proses
pengeluaran (gambar 2)
Gambar 2 : Irisan membujur epitel bronchus

Ketebelan tiap bagian tersebut beragam tergantung pada letak, usia


dan keadaan individu.
Jadi perlu ditekankan fisiologi saluran napas pada gerakan silia dan
pengeluaran getah.

Silia
Silia epitel berperan penting dalam pertahanan saluran napas
dan silia tersebut mengeluarkan getah bronkus dan cairan alveolar,
secara keseluruhan sel epitel menyerupai tangga berjalan atau
permadani mukosilier yang berombak (gambar 2).
Gerakan silia terdiri atas gerakan aplastis yang diikuti dengan
gerakan tiba-tiba kembali ke posisi tegak lurus sel dan silia membelok
dipermukaan sel. Selanjutnya terjadi gerakan yang tiba-tiba kembali
ke posisi tegak lurus, hal tersbut merupakan denyutan silier yang
efektif sehingga memungkinkan terjadinya penggeseran lapisan
superficial mukosa yang kental.
Gerakan awal hanya merupakan gerakan relaksasi silia yaitu
kembali ke keadaan semula (gambar 3).

Gambar 3 : Mekanisme gerakan silier


Sifat-sifat yang elastic diperlukan untuk aktivitas silier.
Perubahan sifat visko-elastik akan mengubah sifat aliran, sehingga
pengeringan atau pelembaban yang tidak cukup akan menyebabkan
kerja bulu getar menjadi tidak efektif.
Adanya iritasi akibat menghisap tembakan, gas beracun dan
karena virus dapat mengganggu fungsi bulu getar. Pada penderita
bronchitis kronis terjadi degenerasi system silia.
Dalam lubang hidung, aksi bulu getar akan menghasilkan
gerakan dari depan mundur ke belakang menuju pharynx pada
trachea-bronchus, perpindahan dari bronkus menuju pharynx terjadi
secara spiral dan searah jarum jam. Diperkirakan terjadi 600 denyutan
per menitnya.
Proses perpindahan berlangsung dengan cepat, misalnya debu
memerlukan waktu 10-30 menit untuk pindah dari alveolus ke larynx.
Sementara itu, pembersihan dalam trakea dan saluran besar bronkus
memerlukan waktu 3-4 jam dan pada saluran napas yang lebih dalam
memerlukan waktu 30 jam. Gerakan silia tersebut sangat peka
terhadap suhu dan pH.
Gerakan lapisan silia juga menyebabkan pengeluaran secret
normal. Aliran udara pernapasan juga merupakan gerakan untuk
pengeluaran. Mekanisme ini terjadi tanpa disadari dan hal ini terlihat
dari adanya gerakan pada kerongkongan, pengeluaran udara napas
yang akan mendorong tumpukan mucus untuk dibawa serta ke
persimpangan aeropharynx atau tertelan.
Ekspektoran yang baik dapat merupakan penyegar dan ini
merupakan dasar laithan pengeluaran dahak pada program pelatihan
napas. Bila mekanisme tersebut tidak cukup, batuk merupakan salah
satu mekanisme pengeluaran benda asing.

Getah bronkus
Pada subyek sehat, studi tentang getah bronkus relalif tidak
memungkinkan. Pada keadaan normal, setiap lapisan mukosa
mengeluarkan 100 ml getah. Terdapat banyak factor (termasuk iritasi
karena pengambilan cuplikan pada endoskopi) yang dapat
menyebabkan timbulnya hipersekresi bronkus.
Setiap 100 g getah bronkus “normal” dari laryngectomi, terdiri
atas 94,79% air dan 1,13% sisa abu. Kadar asam desoksiribonukleat
(DNA) 0,028%, glusida 0,951%, protein 1,00% dan lipida 0,840%.
Bagian bukan air sekitar 5% akan meningkat jika terjadi peradangan.
Getah bronkus bersifat hiperosmotik, terdiri dari elektrolit yang
larut dalam air dengan konsentrasi yang dinyatakan dalam mm/g yaitu
: Na:211, Cl:157, K:16,6, Ca:2,45.
Jika ditambahkan 2 bagian air suling kedalam 1 bagian dahak
segar lalu dipusingkan maka akan terjadi pemisahan cairan dalam tiga
fase, seperti yang terlihat pada gambar 4 :
 Fase paling atas berupa busa, banyak mengandung surfaktan lipida
dan lesitin-dipalmitat. Senyawa tersebut merupakan penurun tegangan
permukaan alveoli atau yang disebut juga surfaktan yang berada
dalam keadaan bebas dan hampir murni.
 Fase air, hasil penelitian dengan elektroforesis membuktikan bahwa
fase tersebut mengandung banyak protein, komponen darah, hasil urai
musin, senyawa dari saliva (misalnya amilase), enzim-enzim
(lisosom, protease, enzim-enzim bakteri).
 Fase berbentuk gel yang tidak larut dalam air dan merupakan struktur
berbentuk serabut (fibril) yang dapat diwarnai dengan toluidine biru.

Dengan mikroskop electron, White & Elmes membuktikan


adanya 3 sistem serabut di dalam dahak penderita asmatik yaitu
mukroprotein, mukopolisakarida (MPS), dan asam desoksiribonukleat
(DNA).
Susunan kimia dari fase fibril tersebut telah diteliti secara
degradasi progresif dan mukolisis. Hasil penelitian membuktikan
bahwa fase fibril terutama terdiri atas musin bronkus yang
mengandung 60-70% komponen mucus fibriler, bobot molekulnya
sekitar 500.000 dan mengandung 80% glusida. Molukel musin
merupakan kerangka peptidik dengan sejumlah rantai glukosamino-
glukan.
Gambar 4. Tiga Lapisan Cairan Dahak
Aktivitas fungsional musin ditentukan oleh gugus glukan di
perifer. Terdapat 3 tipe glukan yaitu sulfat, sialoglukopeptida
( mengandung asam N-asetil-neuraminat), dan glukoprotida netral.
Perbandingan susunan ketiga gugus utama musin, sulfomusin,
sialomusin, dan fusomusin tergantung pada sifat jaringan fibril
khususnya kapasitas pembasahan, sifat reologi dan kesetimbangan ion
setempat.
Pada molekul mukoprotein terikat berbagai protein lain dan
glukoprotein yang memberikan aktivitas biologik spesifik yaitu
laktoferin, gammaglobulin, kaliorin, lisosom, dan surfaktan. Ikatan
antara protein dan musin terjasi secara kohesi dalam sistem fibril dan
fungsi yang sempurnadari lapisan silia.
Sumber getah bronkus adalah kelenjar bronkus yang terdapat
pada trakeadan bronkus besar. Disini terdapat sel mukus yang tegang
dan menggelembung serta sel serosa yang lebih kecil dan
mengandung bentukan Golgi yang berisi banyak granul getah (sel
serosa). Pengeluaran getah oleh kelenjar bronkus terjadi bila ada
rangsangan vague akibat reflek akson (antara epitel dan kelenjar sub-
junction), dan sel goblet akan mengeluarkan hetah bila terjadi iritasi
langsung.
b) Daerah Pertukaran

Daerah pertukaran dimulai dari daerah transisi bronchiolus


terminalis, dilanjutkan dengan bronchiolus respiratorius dan kanal
alveoli (ductulu alveolaris pediculi) dan kantong alveolus (saccus
alveolaris), yang bersama-sama membentuk satu unit fungsional
acinus (jamak acini), kemudian membentuk suatu lobulus. Ductuli
alveolaris, panjangnya 2-3 mm memiliki suatu celah yang dibatasi
oleh lubang alveoli.
Alveoli pulmonalis yang berjumlah 300.106, merupakan
kantong kecil poliedrik berdiameter 0.1-0.3 mm, yang bermuara pada
kanal alveoli melalui suatu daerah insersi yang tebal atau bourrelet
alveoler. Volumenya sekitar 1.05 105 ml (60% dari olume udara
bronchopulmonaire total: 3150-4880 ml), dengan ruang batas udara-
jaringan 27.104 cm2 (permukaan total 70-95 m2).
Dinding alveoli yang memisahkan alveoli dari kapiler
pembuluh darah sering dipertimbangkan sebagai konsep membran
alveoli, dengan kata lain keseluruhan struktur mengandung morfologi
untuk transfer udara dalam saluran napas dan hemoglobin dalam
peredaran darah kapiler yang berdekatan dengan alveoli.
Penyerapan zat aktif pada saluran napas secara nyata bertumpu
pada perlintasannya melalui sawar yang tebalnya 0.2-10 mikrometer,
yang terdiri dari 3:
1. Sel penutup, (4-7 alveoli) yang terdiri atas 2 tipe:
- Sel-sel kecil atau pneumosit membranus ( sel tipe A atau sel I) yang
merupakan kelanjutan sitoplasma atau lapisan penutup permukaan
alveoli
- Sel-sel besar atau pneumosit granuler (sel B atau sel II) yang
jumlahnya sedikit, terletak diantara sel-sel kecil sitoplasma yang
bersifat fosfolipida alam dan merupakan pusat aktivitas enzimatik.
Diantara pneumosit yang berada bebas di dalam liang alveoli terdapat
makrofag alveoler yang mengandung banyak lisosom dan merupakan
fagosit terhadap bahan asing.
2. Anyaman kapiler sebagai kelanjutan dari iang alveoli dipenuhi oleh
sel-sel endotelial jointives.
3. Kerangka, terdiri dari bahan dasar dan berupa serabut kolagen atau
membran basal.
4. Penyelubung alveoler, merupakan lapisan film yang menyelubungi
alveoli dan sukar diamati, mempunyai ketebalan 10-50 nm,
mengandung surfaktan yang dihasilkan oleh sel B. Lapisan
tersebut berupa film yang bagian atasnyamengandung fosfolipida
dan bagian dalam terdiri dari mukopolisakarida dan protein dan
keseluruhan sistem merupakan struktur cair atau gel dan selal
diremajakan oleh basis.
Surfaktan tersebut terutama terdiri dari lesitin dipalmitat, kolesterol,
trigliserida, dan asam lemak bebas memiliki waktu paro 14 jam.
Sifat utama dari surfaktan adalah menurunkan tegangan permukaan,
sehingga paru dapat bergabung dengan sistem gelembung (alveoli)
yang ukurannya tidak sama, dan berhubungan dengan cabang-cabang
bronkus. Pada batas permukaan, surfaktan akan menurunkan tegangan
permukaan antara bola udara dan cairan, dan selanjutnya cenderung
terjadi penurunan luas peermukaan dan volume gelembung. Tegangan
permukaan ini akan bertambah besar jika jari-jari gelembung bola
bertambah kecil dan hal ini memudahkan pengosongan udara dalam
gelembung yang paling kecil kedalam gelembung yang lebih besar.
Pada keadaan seimbang, tekanan udara dalam gelembung mengikuti
hukum LAPLACE

Gambar 5. Hukum Laplace


Surfaktan secara nyata menurunkan tagangan permukaan (40 mg
senyawa murni menurunkan tegangan 8 dyne/cm). Hal ini juga
dimaksudkan untuk mencegah pengosongan udara dari alveoli yang
lebih kecil ke dalam alveoli yang lebih besar. Selain itu juga untuk
mencegah perbedaan tegangan permukaan intraalveoler antara
inspirasi dan ekspirasi. Tanpa faktor ini, akan terjadi kolaps dan
atelektasis.
Surfaktan juga berfungsi mengecilkan usaha muskular yang
diperlukan untuk memberikan udara segar ke paru dan menjaga
pengisian udara.
Pada keadaan patologi, banyak ditemukan gangguan pada surfaktan
alveoler, tapi jarang dijumpai adanya perubahan kemampuan
surfaktan dikarenakan oleh ketidakmampuan fungsi atau tidak
terbentuknya surfaktan tersebut.
Keadaan patologi tersebut terutama adalah :
 Penyakit membran hyalin pada bayi
 Emboli paru
 Asidosis paru
 Oedema paru
 Inhalasi cairan lambung (sindroma mandelson) atau gas
toksik
 Influensa
 Penyumbatan arteri paru dari bronkus
 Inhalasi detergent

Epitel alveoli secara terus-menerus menjaga integritas alveoli. Batas


interstitiumnya berupa membran basales endotel dan epitel yang
diantaranya terdapat senyawa untuk pertumbuhan. Meskipun terjadi
kerusakan struktur reguler, interstitium tetap memelihara kantong
alveoler dan kapiler pada bagian permukaan melalui pembentukan
kerangka fibril tiga dimensi melekat alveoli dan kapiler. Proses
penggantian gas dan penyerapan senyawa terjadi pada permukaan
yang interstitiumnya sangat halus (80nm) dengan lapisan surfaktan
terdapat interstitium yangh sangat tipis 15 nm.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Faktor-Faktor dalam Bioavailabilitas Obat
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu
rangkaian proses. Proses tersebut meliputi:
1. disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat
2. pelarutan obat
3. absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.
Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan dan absorpsi, kecepatan obat mencapai
sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat dalam rangkaian tersebut.
Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap
penentu kecepatan (rate limiting step). Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan
kecil dalam air, laju pelarutan serigkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh
karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailablitas
obat. Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju
pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membran merupakan
tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan.

1. Pertimbangan Dalam Rancangan Bentuk Sediaan


Pertimbangan terpenting dalam merancang suatu sediaan adalah keamanan
dan keefektifan. Bahan-bahan aktif dan in aktif harus aman bila digunakan seperti
yang diharapkan. Obat harus dilepas secara efektif ke tempat sasaran sehingga efek
terapetik yang diharapkan dapat dicapai. Bentuk sediaan harus tidak menambah efek
samping atau efek yang tidak dikehendaki terhadap obat. Dalam menyiapkan produk
obat, farmasis mencoba mempertimbangkan kebutuhan dokter, penderita dan biaya
produksi. Pertimbangan ini kemudian disesuaikan dengan batasan sifat fisika, kimia
dan biologik obat.
a. Pertimbangan Penderita
Bentuk sediaan harus sesuai untuk penderita. Bila suatu obat yang terasa pahit
dipakai sebagai tablet atau kapsul hendaknya disalut. Ukuran tablet atau kapsul
hendaknya cukup kecil sehingga mudah ditelan. Frekuensi pemberian dosis dijaga
minimum.
b. Pertimbangan Dosis
Bentuk sediaan harus dirancang dengan pertimbangan dosis. Beberapa obat
mempunyai perbedaan dosis individual yang besar, dan harus tersedia beberapa
macam kekuatan dosis sehingga suatu dosis yang sesuai dapat dipakai dari bentuk
sediaan yang tersedia. Pada obat tertentu, pemberian dosis obat didasarkan atas
luas permukaan tubuh atau berat badan dan dengan pemantauan konsentrasi obat
dalam tubuh, dosis dapat disesuaikan kembali.
c. Pertimbangan Frekuensi Pemberian Dosis
Frekuensi dosis suatu obat dikaitkan dengan waktu-paruh eliminasi obat dan juga
konsentrasi terapetik obat. Untuk suatu obat dengan waktu-paruh pendek,
pertimbangan sering diberikan untuk memperpanjang lama kerja obat. Resiko
kelebihan dosis yang tidak terpakai dan potensi untuk penurunan bioavailabilitas
obat harus dipertimbangkan jika suatu dosis yang lebih besar diformulasi untuk
mencapai suatu lama kerja yang lebih panjang.

b. Pertimbangan Terapetik
Pengetahuan indikasi terapetik obat merupakan hal yang penting untuk
formulator. Suatu obat yang digunakan untuk suatu kondisi segera dan kondisi
akut hendaknya diformulasi sehingga obat tersebut mencapai sasaran dengan
cepat. Suatu obat yang digunakan untuk jangka terapi yang lebih panjang dapat
mencapai sasaran lebih lambat. Sebagai contoh, suatu obat yang menghilangkan
sakit hendaknya diabsorpsi secara cepat sehingga diperoleh hilangnya rasa sakit
yang cepat, sedangkan suatu obat yang dirancang untuk mencegah keadaan
asmatik dapat diabsorpsi secara lambat sehingga efek perlindungan dari obat
berakhir setelah suatu jangka waktu yang panjang.

c. Efek Samping Pada Saluran Cerna


Beberapa obat yang diberikan secara oral mengiritasi lambung. Obat-obat
ini dapat menyebabkan mual dan rasa sakit pada lambung bila diberikan pada
lambung yang kosong. Untuk menurunkan iritasi lambung, dalam beberapa hal
makanan atau antacid dapat diberikan bersama-sama dengan obat. Cara lain,
untuk menurunkan iritasi lambung obat dapat disalut enterik. Untuk memperbaiki
bioavailabilitas obat dan menurunkan efek samping pada saluran cerna, obat-obat
tertentu telah diformulasi dalam kapsul gelatin lunak. Jika obat diformulasi dalam
kapsul gelatin lunak sebagai suatu larutan, maka obat dapat terdispersi dan
melarut lebih cepat dengan meninggalkan sedikit residu obat dalam dinding usus
dan menyebabkan iritasi. Ada beberapa pilihan untuk formulator guna
memperbaiki toleransi obat dan memperkecil iritasi lambung. Sifat bahan
tambahan dan keadaan fisik obat merupakan hal yang penting dan harus
ditetapkan secara hati-hati sebelum suatu produk obat diformulasi. Beberapa
bahan tambahan dapat memperbaiki kelarutan obat dan mempermudah absorpsi.
Sedangkan yang lain secara fisika dapat mengabsorpsi obat untuk menurunkan
iritasi.

II. Pengertian dan Evaluasi Ketrsediaan Hayati Sediaan Inhalasi


1. Pengertian sediaan Inhalasi
Inhalasi adalah proses melalui paru-paru. Inhalasi hanya dapat dilakukan
untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap. Misalnya anestesi
umum dan obat lain yang dapat diberikan dalam bentuk aerosol. Absorbsi terjadi
melalui epitel paru dan mukosa saluran nafas. Absorbsi terjadi secara cepat karena
permukaan absorbsinya luas, tidak mengalami metabolisme lintas pertama di hati.
Metode ini lebih sulit dilakukan, memerlukan alat dan metode khusus, sukar
mengaturya dosis dan sering mengiritasi paru
Pemberian sediaan inhalasi merupakan cara pemberian obat yang paling
penting pada berbagai penyakit saluran pernafasan dan paru. Pada pasien dewasa,
inhalasi sering digunakan untuk pengobatan asma, bronchitis kronik, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) dan emfisema. Sedangkan pada anak, terapi inhalasi
merupakan pengobatan utama asma terutama saat terjadi serangan akut.
Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat secara langsung ke dalam
saluran napas melalui uap yang dihirup. Tujuan utamanya adalah obat dengan
konsentrasi yang efektif dapat tercapai diparu-paru dengan efek samping sistemik
yang minimal.
Seperti yang tercantum dalam farmakope perancis edisi IX, aerosol
merupakan dispersi butiran cairan yang sangat halus didalam udara dan berdiameter
rata-rata 5 mikro meter.Terdapat pula aerosol alami, misalnya awan atmosfer yang
diameter partikelnya 0,2-15 mikro meter.Aerosol larutan obat diperoleh dengan
dispersi mekanik menggunakan alat generator yang terdiri dari elemen-elemen:
a. Sumber gas (kompresor atau gas mampat);
b. Generator pendispersi larutan dalam gas dan alat pencegah pembentukan partikel
yang sangat voluminous;
c. Pemanas untuk memberikan keadaan isoterm pada partikel-partikel, karena
terdapat pelepasan gas yang dapat menyebabkan pendinginan sebagian.
Terdapat 2 (dua) jenis alat pendispersi sediaan yaitu : alat aerosol klinis
(dalam farmakope disebut aerosol obat), dan alat yang berisi gas pendorong atau
pseudoaerosol atau yang disebut juga bentuk sediaan farmasetik bertekanan.
Walaupun kedua jenis alat tersebut mempunyai elemen-elemen yang sejenis, namun
dispersi yang dihasilkan mempunyai sifat fisiko-kimia dan efektivitas klinis berbeda.
Ditinjau dari sudut sistemnya, aerosol merupakan suatu sistem dispersi
yang terdiri dar 2 fase, yaitu:
a. Fase pendispersi (fase penyebar), berupa campuran udara dan gas.
b. Fase terdispersi (fase yang tersebar), umumnya berupa larutan dalam air dan
kadang-kadang berupa serbuk, walau tidak tercantum dalam Farmakope.

Seperti pada semua sistem dispersi, sediaan aerosol harus stabil, partikel-
partikel tidak boleh membasahi dinding dan tidak boleh melarut secara tak beraturan
dalam cairan pendukungnya. Stabilitas sediaan aerosol dipengaruhi oleh 4 faktor
yaitu:
a. Muatan partikel
b. Tiap partikel aerosol memiliki muatan listrik bertanda sama dengan demikian
partikel-partikel tersebut akan saling tolak menolak
c. Kehalusan partikel
d. Aerosol harus berbentuk kabut halus yang kering dan memiliki gerak brown
e. Penyebaran ukuran pertikel
f. Perbandingan bobot jenis gas/cairan.

Terdapat tiga jenis aerosol berdasarkan jumlah fase dispersinya yaitu:


a. Aerosol sejati atau aerosol mono dispersi, terdiri dari partikel-partikel yang
sangat halus, berdiameter sekitar 1 (satu) mikro meter, dengan penyebaran ukuran
partikel yang merata. Karena adanya gerak Brown maka aerosol jenis
monodispersi sangat homogen. Jumlah zat aktif yang terkandung dalam aerosol
tersebut sangat kecil untuk dapat memberikan efek sistemik setelah penyerapan
melalui paru, tetapi karena penyebaran dan penembusan partikel segera terjadi
maka efek pada organ yang bersangkutan segera terjadi.
b. Aerosol polidispersi, terdiri dari partikel-partikel dengan ukuran yang lebih besar
dan beragam. Aerosol tipe ini lebih kurang stabil karena partikelnya berat dan
karena fenomena koalesen antara partikel-partikel kecil dengan yang besar.
Penenmbusan dan penahanan partikel ini hanya terjadi pada saluran napas bagian
atas, dan dalam hal ini jumlah pembawa zat aktif sangat berpengaruh, dan setelah
terjadi penyerapan setempat maka obat dapat memberikan efek sistemik.
c. Aerosol sejati dilengkapi dengan alat penyemprot klinis, sedangkan aeosol
polidispersi dikemas dengan wadah gelas dan dengan bahan pendorong gas.

Sedangkan aerosol dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu :


a. Aerosol tidak larut atau aerosol serbuk
Yang dimaksudkan dengan aerosol tak larut adalah bahan obat padat atau
serbuk yang diberikan dalam bentuk aerosol. Namun bentuk ini tidak tercantum
dalam Farmakope Perancis. Serbuk harus dilindungi dari kelembaban dengan
penambahan bahan pelindung, sekaligus sebagai bahan pengencer yang
diameternya mendekati diameter zat aktif sebagai fungsi dari luas permukaan.
Tetapi perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya penyerapan zat aktif oleh
bahan pengencer. Dua teknik pembuatan aerosol serbuk adalah :
 Yang pertama terdiri dari larutan padat zat aktif dalam klorofluorohidrokarbon
dan disebarkan dengan pemercik khusus, misalnya yang digunakan untuk
mikrokristal isoprenalin dalam generator aerosol.
 Teknik kedua yang relatif baru adalah serbuk berada dalam suatu gel, sehingga
memungkinkan penderita dapat menghirup partikel halus tanpa kesulitan.
Alatnya terdiri dari :
 Satu tabung yang dapat bergerak dari atas ke bawah.
 Baling-baling yang terdapat dalam tabung tersebut dan dilengkapi dengan
kuvet sebagai wadah kapsul yang mengandung serbuk.
 Kunci pemantik bukal yang dibuat dari peniti baja yang tidak dapat
teroksidasi.
Pemakaian alat tersebut dilakukan dengan tahap sebagai berikut :
 Alat dibuka dan kapsul dimasukkan ke dalam kuvet baling-baling.
 Selanjutnya kapsul dilubangi dengan peniti dan setelah terlihat hembusan
maka tempatkan kunci pemantik di antara bibir dan hirup dalam-dalam melalui
“spin haler”.
 Baling-baling akan bergerak saat aspirasi dan mendeskripsikan serbuk
tersebut.
 Ulang beberapa kali hingga sekitar 50% serbuk terdapat dipermukaan mulut
dan kerongkongan.
b. Bentuk Sediaan Bertekanan
Sejumlah faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi aktivitas sediaan
bertekanan adalah : 
 Jenis gas pendorong (gas padat N2, gas cair CHClF)
 Tetapan dielekrik gas pendorong (terutama klorofluoro hidrokarbon)
 Tekanan dan jumlah gas pendorong
 Kekentalan sediaan (terutama penting untuk suspensi)
 Tegangan permukaan 
 Bobot jenis campuran yang disemprotkan (gas dan atau larutan zat aktif)
 Pelarut yang digunakan untuk larutan atau suspensi zat aktif (alkohol, glikol,
hindari minyak)
 Keadaan zat aktif dalam campuran (kristal tersuspensi atau terlarut dalam gas
atau pelarut)
 Ukuran partikel zat aktif (suspensi 25-75mikrometer) dan kecenderungannya
untuk mengumpal selama penyimpanan 
 Derajat hidratasi kristal zat aktif
 Surfaktan dalam campuran 
 Bahan tambahan dalam sediaan (pelincir, anti penggumpalan dan lain-lain)
 Lama pemakaian (perubahan dosis perlu diketahui)
Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi pembagian zat aktif dalam larutan
atau suspensi yang mengandung partikel zat aktif yang halus. Pada sediaan yang
mengandung bahan tambahan dalam sediaan akan meningkatkan ukuran partikel
secara bertahap dan mengubah depotnya dalam mukosa.
Telah diketahui bahwa bila nitrogen digunakan sebagai gas pendorong
(atau gas pelarut yang tidak campur dengan larutan zat aktif) dan karena busanya
sangat halus maka cairan dalam sediaan aerosol dapat terbagi menjadi partikel
yang cukup halus untuk mencapain alveoli paru-paru. Bila memungkinkan enersi
partikel ini diharapkan dapat menyebabkan pengendapan dengan cara tumbukan
dalam saluran napas. Cairan dalam jumlah sedikit dapat mencapai alveoli, tetapi
menjadi tidak aktif bila konsentrasinya sangat rendah. Sebaliknya parikel yang
mengendap karena tumbukan dalam saluran nafas akan diserap oleh mukosa
bukal, bronkus, dll, selanjutnya memperlihatkan aksi pada saluran napas setelah
melalui peredaran darah. Peranan pemantik sangat penting karena umumnya
bentuk sediaan diberikan melalui lubang hidung atau disemprotkan ke dalam
kerongkongan. 
Jika nitrogen digunakan sebagai gas pendorong, dan zat aktif dilarutkan
atau disuspensikan dalam klorofluoro hidrokarbon, maka diameter partikel yang
diperoleh lebih berpengaruh dibandingkan jumlah gas. Semakin banyak jumlah
gas maka ukuran partikel saat terjadi kontak dengan udara semakin kecil. Bila zat
aktif yang dikeluarkan oleh alat pembagi dosis berjumlah sedikit, maka perlu
dilakukan beberapa kali penyemprotan.
Partikel-partikel yang besar dapat menyumbat saluran pemantik,
sedangkan partikel yang halus akan dihirup dan mencapai bagian trakea-bronkus,
serta sangat jarang dapat mencapai bagian paru-paru yang lebih dalam. Pada
daerah trakea-bronkus, partikel akan didepo dengan mekanisme tumbukan dan
pengendapan, kemudian akan cepat diserap,memasuki peredaran sistemik dan
akan segera menunjukkan aksinya. Aksi yang terjadi lebih cepat dibandingkan
dengan aerosol polidispers (walau diameternya lebih kecil dari 5 mikrometer,
seperti yang disebutkan dalam farmakope).
Peningkatan aksi yang sangat cepat tersebut menjelaskan mengapa dapat
tejadi kecelakaan pada pengobatan asma dengan aerosol yang mengandung
bronkodilator (adrenalin dan lain-lain). Subjek merasa bahwa awan partikel tidak
berbahaya dan dengan jelas penjelasan medis yang cukup maka penggunaan serta
penyalahgunaan cara tersebut cukup sederhana. Bila jumlah zat aktif yang
mencapai alveoli sangat kecil, maka hanya akan diperoleh effek setempat.
Efektivitas pengobatan aerosol menrupakan fungsi dari jumlah zat aktif
yang tertahan dan jumlah tersebut yang berhubungan langsung dengan irama
pernapasan subjek. Seorang penderita dalam keadaan kritis sulit melakukan
pernapasan yang dalam dan inspirasi yang bermakna, hal ini merupakan faktor
yang dipertimbangkan dalam menentukan lama aktivitas sediaan dengan aerosol.
Pada pemberian aerosol obat, seluruh kompartemen saluran paru-paru dapat
menjadi jenuh oleh partikel obat, hal ini di satu sisi disebabkan oleh kontak yang
kurang dari 10menit,dan di sisi lain karena jumlah yang diberikan jauh lebih
berperan, walaupun ritme pernapasan subjek tidak sesuai dengan irama normal.

2. Zat Aktif dalam Sediaan Aerosol


Pemilihan bahan obat didasarkan atas prinsip berikut ini :
 Penggunaan bentuk aerosol hanya menguntungkan bila konsentrasi zat aktif saat
kontak lebih besar dari konsentrasi setelah pemberian lewat jalur pemberian
lainnya.
 Zat aktif harus benar-benar beraksi pada permukaan saluran nafas.
Oleh sebab itu zat aktif harus memenuhi 2 syarat utama yaitu :
 Pelarutan zat aktif dalama cairan pembawa harus setinggi mungkin.
 Aktivitas terapetik harus tampak pada dosis kecil, dengan kata lain dosis per oral
juga kecil.
 Zat aktif dengan pososlogi 24jam dalam jumlah berbilang gram, bila diberikan
dalam bentuk aerosol maka efektivitasnya lebih rendah dibandingkan bila
diberikan lewat oral, karena tidak mungkin untuk menyerbuk halus sejumlah
besar bahan obat hingga mencapai ukuran aktif. Sebaliknya, obat dengan posologi
24jam dalam jumlah miligram atau sentigram dapat diberikan dalam bentuk
sediaan aerosol. Dengan cara pemberian aerosol memungkinkan dicapainya
konsentrasi pada titik tangkap yang lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi
yang dicapai bila obat diberikan melalui cara pemberian lainnya. Untuk
bronkodilator, dosis efektif dengan aerosol adalah 1/200 kali dibandingkan
dengan dosis per oral (isoprenalin).
Tidak adanya toksisitas zat aktif juga harus dipastikan, karena dalam
banyak hal pemakaian berulang dapat dilakukan tanpa resiko toksisitas. Jumlah
larutan yang diberikan untuk seluruh permukaan saluran nafas umumnya 1,5 x 108 µ
l/cm2 (luas total pemukaan saluran napas adalah 80-100m2). Zat aktif dapat
diberikan dalam bentuk aerosol dan dapat dibedakan menurut tujuan pemakaiannya
terhadap penyakit paru-paru atau untuk aksi sistemik. Jumlah larutan yang diberikan
untuk seluruh permukaan saluran napas umumnya 1,5 x 108 µl/cm2 (luas total
permukaan saluran nafas adalah 80-100 m2.

3. Proses Evaluasi Biofarmasetik


Pada aerosol dengan efek sistemik, dimungkinkan untuk memprakirakan
aktivitas farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar obat dalam darah dan
membandingkannya dengan kadar yang didapat dari cara pemberian intravena atau
jika mungkin dengan cara pemberian lainnya.
Pada aerosol dengan efek setempat, sangat diperlukan untuk melaksanakan
studi ketersediaan hayati relatif dengan membandingkan berbegai formulasi yang
berbeda untuk memilih formula yang lebih setempat, efeknya lebih lama, lebih
spesifik, lebih cepat sebagai fungsi dari ukuran partikel yang harus sehomogen
mungkin. Terdapat beberapa parameter zat aktif yaitu :
a. Stabilitas fisiko-kimia dan stabilitas terapetik dari partikel aerosol yang halus
b. Daerah deppo dan perannya untuk menghasilkan efek terapetik yang sesuai dan
terukur
c. Laju penyerapan, metabolisme dan atau pembersihan untuk menghindari efek
sekunder
d. Pengaruh bahan tambahan dalam sediaan terhadap partikel.
Evaluasi ketersediaan hayati aerosol pada manusia mempunyai beberapa
kesulitan yang berkaitan dengan :
a. Pemilihan subjek percobaan (sakit atau sehat)
b. Efek partikel aerosol (sistemik atau setempat)
c. Pembuatan partikel yang homogen diameternya.
Proses selanjutnya yang lebih penting adalah menyatakan efektivitas
pengobatan aerosol.
a. Tahap Pertama
 Yaitu pemilihan bagian saluran napas yang akan dicapai oleh zat aktif untuk
memberikan aksi setempat atau untuk diserap dan selanjutnya menghasilkan
efek sistemik.
 Pemilihan ini tergantung pada :
 sifat pengobatan dari zat aktif
 diameter partikel aerosol
b. Tahap Kedua
Yaitu pemilihan alat untuk pembuatan sediaan aerosol sedemikian hingga
diperoleh diameter partikel yang diinginkan. Dalam hal ini, perlu
dipertimbangkan resiko hidratasi partikel yang higroskopis dan depo prematur.
Pemilihan alat harus dilengkapi dengan cara pemberian(tujuan bukal, nasal,
masker wajah) karena harus dihindari terjadinya depo yang tidak dikehendaki
dalam saluran napas.
c. Tahap Ketiga
Yaitu penelitian in vivo pada hewan (anjing misalnya) untuk meramalkan
toksisitas dan reaksi samping yang mungkin terjadi setelah pemberian zat aktif
dalam aerosol. Percobaan ini menggunakan pipa khusus ke berbagai tempat
disaluran napas untuk mengamati adanya reaksi-reaksi tertentu termasuk reaksi
sistemik atau setempat dan meneliti toksisitas dan penyerapan gas pendorong
pada permukaan saluran misalnya dengan mengevaluasi kadar dalam darah.

d. Tahap Keempat
Yaitu evaluasi pada subyek manusia. Dalam hal ini keadaan pemberian dan
penghirupan partikel harus tepat. Ritme pernapasan harus ditentukan sebagai
fungsi dari aksi yang diharapkan. Jumlah obat yang diberikan harus selalu
dievaluasi dengan seksama terutama bila zat aktif beraksi sangat kuat pada dosis
kecil. Akhirnya, pengaruh formulasi dapat diperkirakan dengan membandingkan
sediaan terhada[p suatu larutan air dengan catatan zat aktif dapat larut dalam air.
e. Tahap Kelima (Tahap Akhir)
Diikuti dengan studi ketercampuran-obat dan stabilitas zat aktif dalam bentuk
terpilih (larutan, serbuk, bentuk sediaan farmasi bertekanan dan lain-lain).

4. Pengaruh Formulasi Terhadap Ketersediaan Hayati Aerosol


Pelarut yang sering digunakan dalam sediaan aerosol adalah
 Air suling steril, didapar atau tidak, hal ini dapat mengubah sifat reologi
mucus, mengubah aksi setempat.
 Larutan NaCl isotonic atau larutan glucose isotonic untuk menghindari
terjadinya atelektasis (pengerutan) seperti keadaan yang teramati pada
pemberian larutan hipertonik
Selain itu dapat pula digunakan :
 Air mineral yang mengandung Natrium atau sulfur (terutama air Uriage).
 Beberapa minyak atsiri alam (terpentina, gomenol); pelarut tersebut
merupakan pelarut yang dapat meningkatkan aksi bakteriostatik senyawa
antibiotika.
 Alcohol yang dengan cepat menguap dapat membagi partikel dan mengecilkan
ukurannya.
 Propylene glikol (seperti pelarut untuk penisilina, fenileprina dan isoproteronol
Kadang-kadang pada pelarut ditambahkan senyawa antioksidan untuk
menstabilkan zat aktif yang banyak kontak dengan udara dan atau senyawa
antiseptic untuk meniadakan pertumbuhan mikroba.
Untuk memperlambat proses penyerapan, penembusan partikel aerosol
melintasi alveoli dan untuk memperpanjang efek setempat dapat digunakan
pelarut senyawa:
 Minyak tumbuhan untuk mengurangi efek sistemik yang merugikan atau tidak
berguna
 Polivinilpirolidon
 Asam p-amiobenzoat
Sebaliknya untuk meningkatkan atau mempercepat penyerapan dapat ditambah
bahan-bahan sebagai berikut:
 Hialurozidase
 Surfaktan
Untuk memperbaiki homogenitas aerosol polidispersi, ke dalam pelarut
dapat ditambahkan bahan higroskopis seperti propilen glikol atau gliserin. Misel
yang terjadi akan meningkatkan volume uap air yang mengembun di permukaan
selama perjalanannya dalam saluran nafas dan peningkatan ini harus
dipertimbangkan. Akhirnya untuk mengurangi iritasi bahan obat tertentu dapat
ditambahkan novocaine, propylene glikol atau trietilen-glikol karena sifat
bronkodilatasinya.

5. Evaluasi Ketersediaan Hayati Sediaan Per Inhalasi


Tujuan:
1) Efek sistemik: untuk memperkirakan aktivitas farmakologik atau terapetik, atau
menentukan kadar obat dalam darah dan membandingkannya dengan kadar yang
didapat dari cara pemberian intravena (bioavaiabilitas absolut) atau jika
mungkin cara pemberian lainnya.
2) Efek lokal (setempat): untuk melaksanakan studi ketersediaan hayati relatif
dengan membandingkan berbagai formulasi yang berbeda untuk memilih
formula yang lebih aktif secara lokal, efeknya lebih lama, lebih spesifik, lebih
cepat sebagai fungsi dari ukuran partikel yang harus sehomogen mungkin.
Yang mempengaruhi ketersediaan hayati sediaan aerosol:
1) Stabilitas fisiko-kimia dan stabilitas terapetik partikel aerosol.
2) Daerah depo dan perannya untuk menghasilkan efek terapeutik yang sesuai dan
terukur.
3) Laju penyerapan, metabolisme dan atau pembersihan untuk menghindari efek
sekunder.
4) Bahan tambahan dalam sediaan terhadap partikel.
5) Metode pembuatan.

Subjek:
1) Subjek hewan
Subjek kelinci dari suatu larutan feri klorida yang terbagi halus yang dapat
diidentifikasi dalam bronkus kecil melalui reaksi kalium ferosianat
membuktikan aktivitas bahan obat dalam sediaan aerosol.
Kelemahan: haruss hati-hati dalam menarik kesimpulan dan menghubungkannya
dengan manusia karena perbedaan anatomi fisiologi antara hewwan dan
manusia.
1. Subjek manusia
a. harus diuji keadaan subjek percobaan
b. sering timbul berbagai masalah, misalnya pengukuran sifat reologi lapisan
mukosa normal yang selanjutnya berpengaruh pada protokol percobaan.
c. Hal-hal yang harus diperhaikan adalah:
1) Jumlah aerosol yang dihirup
2) Jumlah zat aktif yang terikat dan atau terserap

d. Jumlah aerosol yang dihirup dapat ditentukan dengan rumus:


C= P
W
C = konsentrasi per menit dalam volume udara
P = volume larutan pendispersi
V = debit udara pada waktu yang sama
e. Penentuan kadar secara kimia lebih akurat, tetapi partikel-partikel dijerat
terlebih dahulu menggunakan barbotage, dalam wadah tertutup, dan dengan
ruang elektrostatik.
f. Penentuan jumlah aerosol yang terikat atau terserap dapat dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain:
- Pengukuran konsentrasi zat aktif dalam aerosol.
- Studi radiologi pencacahan zat aktif yang kedap cahaya.
- Evaluasi kadar obat dalam darah atau efek farmakologi.
- Evaluasi perubahan sifat alir getah bronkus secara in vivo, atau lendir.

Model saluran nafas untuk mempertimbangkan pengaruh ukuran partikel


terhadap nasib aerosol dalm tubuh:

kadar obat dalam darah


Konsentrasi aerosol
Lama kontak depo penahanan pada pembersihan
Volume pernafasan saluran nafas / epurasi

respon farmakologi

III. Macam-macam alat inhalasi/inhaller


A. Inhaler adalah sebuah alat yang digunakan untuk memberikan obat ke
dalam tubuh melalui paru-paru.Sistem penghantaran obat juga
berpengaruh terhadap banyaknya obat yang dapat terdeposisi pada teknik
terapi inhalasi. Ada 3 tipe penghantaran obat yang ada hingga saat ini,
yakni :Metered Dose Inhaler (MDI), Metered Dose Inhaler (MDI)dengan
Spacer,danDry Powder Inhaler (DPI).

1. MDI (Metered Dose Inhaler)atau Inhaler dosis terukurInhaler dosis terukur


merupakan carainhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis
obat mencapai saluran respiratori.Propelan (zat pembawa) yang bertekanan tinggi
menjadi penggerak,menggunakan tabung aluminium (canister).Partikel yang
dihasilkan oleh MDI adalah partikel berukuran <5μm.Penggunaan MDI
membutuhkan latihan, para dokter sebaiknya mengajarkan pasiennya cara
penggunaan dengan tepat, karena sebagianbesar pasien sulit mempelajarinya hanya
dengan membaca brosuratau leaflet. Penggunaan MDI mungkintidak praktis pada
sekelompok pasienseperti pada anak kecil, usia lanjut, cacatfisik, penderita artritis,
kepatuhan pasien buruk dan pasien yang cenderungmemakai MDI secara berlebihan.
Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan MDI adalah kurangnya koordinasi,
terlalu cepat inspirasi, tidak menahan napas selama 10 detik, tidakmengocok
canistersebelum digunakan, tidak berkumur-kumur setelahpenggunaan dan posisi
MDI yang terbalikpada saat akan digunakan.Obat dalam MDI yang dilarutkan dalam
cairan pendorong (propelan), biasanya propelan yang digunakan
adalahchlorofluorocarbons(CFC) dan mungkin freon/asrchon.Propelan mempunyai
tekanan uap tinggisehingga didalam tabung (canister)tetap berbentuk cairan.
Kecepatan aerosol rata-rata 30m/detik atau 100km/jam. Perlunya koordinasi antara
penekanan canisterdan inspirasi napas pada pemakaianinhaler.

2. MDI (Metered Dose Inhaler)dengan ruang antara (spacer)Ruang antara


(spacer)akanmenambah jarak antara aktuator dengan mulut, sehingga kecepatan
aerosol pada saat dihirup menjadi berkurang dan akan menghasilkan partikel
berukuran kecil yang masukke saluran respiratori yang kecil (small airway) .Selain
itu, juga dapat mengurangi pengendapan di orofaring. Ruang antara ini berupa tabung
80mldengan panjang 10-20cm. Pada anak-anak dan orang dewasa
pemberianbronkodilator dengan MDIdengan spacerdapatmemberikan
efekbronkodilatasi yang lebih baik. Kesalahan yang umum terjadi pada
penggunaan MDI dengan spaceradalah posisi inhaler yang salah, tidak menggocok
inhaler, aktuasi yang banyak tanpa menungguatau mengocok alat pada saat
diantara dosis, obat yang berada dalam spacertidak dihirup secara maksimaldan
spaceryang tidak cocok untuk pasien.

3. DPI (Dry Powder Inhaler)Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan,


sehingga mempunyaikelebihan dibandingkan dengan MDI.Menurut NACA (2008),
inhaler tipe ini berisi serbuk kering. Pasien cukup melakukan hirupan yangcepat
dan dalam untuk menarik obat dari dalam alatini. Zat aktifnya dalam
bentukserbuk kering yang akantertarik masuk ke paru-paru saat menarik
napas(inspirasi).Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan turbuhaler adalah
tidakmembuka tutup, tidak memutar searah jarum jamatau berlawanan arah jarum
jam, tidak menahan napas, dan pasien meniupturbuhalerhingga basah.Selain itu,
inspirasi yang kuat pada anak kecil(<5 tahun) sulit dilakukan, sehingga deposisi obat
dalam sistem respiratori berkurang. Anakusia> 5 tahun, penggunaan obat serbuk
ini dapat lebih mudahdilakukan, karena kurang memerlukan koordinasi
dibandingkan dengan MDIsehingga dengan cara ini deposisi obat didalam paru lebih
besar dan lebih konstan dibandingkan dengan MDI tanpa spacer. Penggunaan
inhaler jenis DPI (Dry Powder Inhaler)ini tidak memerlukan spacer sebagai alat
bantu, sehingga lebih praktis untuk pasien.Beberapajenis inhaler bubuk
keringyang umumnya digunakan di Indonesiayaitu diskus, turbuhaler, dan handihaler

B. Nebulizer
Alat nebulizerdapat mengubah obat berbentuk larutan menjadi
aerosolsecara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan
ataugelombang ultrasonik.Aerosolmerupakan suspensi berbentuk padat atau cair
dalam bentuk gas dengan tujuan untuk menghantarkan obat ke target organ
dengan efek samping minimal dan dengan keamanan dan efektifitas yang
tinggi.Partikel aerosol yang dihasilkan nebulizerberukuran antara 2-5 μ, sehingga
dapat langsung dihirup penderita dengan menggunakan mouthpieceatau
masker.Berbeda dengan alat MDI (Metered Dose Inhaler)dan DPI (Dry Powder
Inhaler)dimana alat dan obat merupakan satu kesatuan.Ada dua jenis nebulizeryang
umumnya seringdigunakan:
1) Nebulizerjet: menggunakan jet gas terkompresi (udara atau oksigen) untuk
memecah larutan obat menjadi aerosol.
2) Nebulizerultrasonik :menggunakan vibrasi ultrasonik yang dipicu secara
elektronik untuk memecah larutan obat menjadi aerosol.
Alat terapi inhalasi nebulizer harus terus dijaga kebersihannya untuk menghindari
pertumbuhan mikroba dan kemungkinan adanya infeksi. Sebaiknya alat
nebulizerdicuci setiap setiap selesai digunakanatau sedikitnya sekali sehari.Instruksi
dari pabrik pembuatnya harus diikuti secara benar untuk menghindari kerusakan
plastik pembungkusnya (Ikawati, 2007).Kelebihan terapi inhalasi menggunakan
nebulizeradalah tidak atau sedikitmemerlukan koordinasi pasien, hanya
memerlukan pernapasan tidal, dan didalamnya terdapatcampurandari beberapa
jenis obat (misalnya salbutamol dan ipratropiumbromida).Kekurangannya
adalah alat ini cukup besar sehingga kurang praktis, memerlukan sumber listrik, dan
relatifmahal (Rahajoe, 2008).Berikut carapenggunaan nebulizeryaitu:
1.Selalu cuci tangan sebelum menyiapkan obat untuk penggunaan nebulizer
2.Membuka tutup tabung obat nebulizer, mengukur dosis obat dengan benar
3.Memasukkan obat ke dalam tabung nebulizer
4.Menghubungkan selang dari masker uap atau mouthpiecepada
kompresor nebulizer
5.Mengenakan masker uap atau mouthpiece kemulut, dikatupkan bibir
hingga rapat
6.Menekan tombol on
7.Benapaslah dengan perlahan ketika menghirup uap yang keluar dan
uap dihirup sampai obat habis
8.Menekan tombol off
Nebulizerterdiri dari beberapa bagian yang terpisah yang terdiri dari
generator aerosol, alat bantu inhalasi (masker, mouthpiece) dan obatnya
sendiri.Masker dan mouthpiecepada nebulizermemiliki beberapa ukuran yang
dapat disesuaikan untuk penggunaanya pada anak-anak atau orang dewasa,
sehingga diharapkan jika menggunakan masker atau mouthpiecedengan ukuran yang
tepat, larutan obat yang melalui nebulizerberubah menjadi gas aerosol tersebut
dapat dihirup/dihisap dengan baik dan keberhasilan terapi yang didapatkan
juga dirasakan optimal Mouthpiece Nebulizer lebih disukai untuk beberapa alasan,
antara lain:
1. Anak-anak, orang lanjut usia, dan pasien yang lemah mungkin
kesulitan menggunakan MDI dan DPI secara benar.
2. Beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada yang
dapat dihantarkan oleh MDI dan DPI, misalnya pada pasien asma
kronik, serangan akut PPOK dan sistik fibrosis.
3. Untuk pengobatan sendiri di rumah, dimana pasien membutuhkan dosis
yang lebih besar daripada yang dapat diberikan menggunakan MDI.
4. Serangan pada asma akut
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

1. Aiache, J.M dan Guyot Hermann. Biofarmasetika 2 Biofarmasi Edisi Ke-2. Paris :
Technique et Documentation 11.
2. Anonimus, “aerosol” dalam Google, http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/4._16-1-
2005-RISWAKA.pdf, diunduh 7 Juni 2019 pukul 08.45
3. Anonimus, “aerosol” dalam Google,
http://izetie.wordpress.com/2012/03/23/bagaimanaobat-bekerja/, diunduh 7 Juni 2019
pukul 08.45
4. Anonimus, “aerosol” dalam Google,
http://rgmaisyah.files.wordpress.com/2010/06/tugasmakalah-ptf_aerosol_rgm.pdf,
diunduh 7 Juni 2019 pukul 08.45
5. Anonimus, “biofarmasetika” dalam Google,
http://krissandygatez.blogspot.com/2012/05/farmakokinetik-absorpsi.html, diunduh 7
Juni 2019 pukul 08.45
6. Anonimus, “biofarmasetika sediaan inhalasi” dalam Google,
http://onnalkosakoy.blogspot.com/2011/09/aspek-biofarmasetik-produk-obat.html,
diunduh 7 Juni 2019 pukul 08.45
7. Farmakope Indonesia edisi IV.1995. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
8. Gibaldi, Milo. Biopharmaceutics and Clinical Pharmacokinetics Third Edition.
Washington : University of Washington Seattle
9. Shargel L., dan Yu Andrew B.C., 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan. Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai