Anda di halaman 1dari 24

STUDI BIOFARMASETIK

BAB
11 OBAT YANG DIBERIKAN
MELALUI PARU

Aerosol digunakan untuk memasukkan obat ke dalam alveolus pulmonari melalui saluran napas bagian atas tanpa
disertai hambatan yang berarti melalui saluaran napas. Bentuk sediaan aerosol telah digunakan dan dikenal sejak beberapa
abad yang telah lalu. Dahulu, baik farmasis maupun dokter menggunakan istilah pengasapan (fumigasi), penghirupan
(inhalasi) dan rokok obat untuk sediaan aerosol. Selama bertahun-tahun penggunaan aerosol hanya didasarkan atas data
empirik dan hal itulah yang menimbulkan berbagai keraguan dokter.
Seiring dengan meningkatnya pencemaran udara, para ahli kesehatan menyadari perlunya bentuk terapi spesifik
melalui saluran napas. Hal tersebut melahirkan suatu generasi baru dalam pengobatan yang disebut dengan “aerosol” (aer
= udara dan sol = larutan, jadi aerosol merupakan larutan dalam udara).
Kini istilah aerosol lebih dikenal dengan pengertian kabut yang dibentuk oleh partikel-partikel padat atau cairan
terdispersi dalam udara atau gas, dan partikel tersebut cukup halus hingga tetap tersuspensi dalam waktu singkat.Definisi
sederhana tersebut menimbulkan beberapa kesulitan dalam evaluasi biofamasetika dari sediaan aerosol.
Seperti diketahui, saluran napas merupakan satu-satunya organ tubuh yang berhubungan langsung dengan
lingkungan luar dan lingkungan dalam tubuh. Oleh sebab itulah saluran napas dapat dan harus mempunyai sistem
pertahanan terhadap semua pengaruh luar, termasuk obat. Jika senyawa yang terhirup tidak atau kurang bersih, maka
senyawa akan tertahan dan selanjutnya bila senyawa tersebut toksik maka akan timbul efek patogenik atau senyawa
tersebut merupakan bahan obat, akan timbul efek setempat dan jika senyawa memasuki daerah peredaran darah maka
selanjutnya akan memberikan efek sistemik.
Keuntungan pemberian obat melalui saluran napas adalah terhindarnya obat dari pengaruh cairan lambung yang
kadang dapat menyebabkan peruraian bahan aktif yang peka dan untuk yang khusus bekerja pada saluran napas maka obat
dapat bekerja langsung.
Bahkan senyawa-senyawa tertentu yang diberikan lewat saluran napas dapat memasuki sistem peredaraan darah
dengan sangat cepat, sehingga kadang-kadang aerosol memberikan kesetaraan yang sama dengan bila bahan tersebut
diberikan secara injeksi intravena.

11.1.ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN NAPAS


11.1.1.ANATOMI
Sebagai pintu masuk saluran napas adalah hidung dan mulut. Saluran napas dapat dibagi dalam dua daerah yang
berbeda yaitu daerah konduksi dan daerah pertukaran (WEIBEL) (Gambar 11.1).

daerah konduksi

BT
BT = Bronchiolus terminalis
daerah peralihan BR1, BR2, BR3 = Bronchiolus respiratorius tingkat 1,2, dan 3
CA = kanal alveoli (ductuli alveolaris)
BR1
SA = saccus alveolaris
BR2
CA daerah pertukaran
BR3
SA
Gambar 11.1.Anatomi fungsional paru

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 168


11.1.1.1 Daerah konduksi
Daerah konduksi merupakan seluruh saluran udara dari trakea sampai brochiolus terminalis, yang berperan pada
transfer gas ke daerah pertukaran. Diameter bronkus akan menciut ke arah distal dan selanjutnya secara berturutan terbagi
atas :
- bronkus besar yang bercabang dua yaitu segmentum extrapulmonari dan berdiameter lebih dari 1,5 cm.
- bronkus distribusi, berdiameter antara 1,5 – 0,5 cm
- bronkus interlobuler, berdiameter antara 5 dan 1,5 cm, yang berakhir pada bronchus sub-lobulair di pusat lobuler.

11.1.1.2. Daerah pertukaran


Daerah pertukaran secara anatomis berhubungan dengan struktur acinus pulmonalis yang sebagian atau seluruh
strukturnya beralveoli. Daerah pertukaran tersebut berupa kanal-kanal (bronchiolus respiratorius BR1, BR2, BR3 dan
kantong alveoler SA). Sesuai dengan namanya, struktur tersebut bertugas melaksanakan pertukaran udara antara aveolus
dan pembuluh darah.

11.1.2. FISIOLOGI
11.1.2.1. Derah konduksi
11.1.2.1.1. Hidung
Hidung menjamin peroses pelembaban, penyaringan dan penghirupan udara. Lubang hidung berhubungan dengan
nasopharynx dan dibatasi oleh mukosa. Pada jalan masuk epitelnya tebal, berlapis-lapis dan mengandung kelenjar sebaseus
dan bulu-bulu yamg keras. Pada pusat lubang terdapat epitel yang menyerupai kanal bertumpuk, rambut getar (silia) dan
sel-sel goblet.
Struktur yang berbeda ini sangat penting untuk pertahanan saluran napas: bulu dan epitel rambut getar berfungsi
menyaring partikel-partikel yang masuk ke dalam hidung sedangkan mukosa akan menahan partikel-partikel tersebut
melalui tumbukan atau pengendapan sehingga alveolus selalu berada dalam keadaan steril. Penolakan cemaran yang
dilakukan oleh gerakan hidung terjadi secara spontan dengan kecepatan 7 mm/detik atau dengan cara bersin, pembuangan
ingus dan penelanan; dan tersebut dapat diperburuk oleh adanya kongesti mukosa, misalnya akibat alergi.
Udara yang dihirup dipengaruhi oleh perpindahan panas dan uap air pada hidung bagian superior yang menyempit
dan peranannya didukung oleh pengaliran darah yang cukup. Sementara itu, pada keadaan yang menguntungkan, misalnya
cuaca dingin atau kering terjadi dehidrasi pada saluran pernapasan

11.1.2.1.2 Mulut
Mulut merupakan tempat persimpangan pharyngolaryx dan merupakan jalur kedua yang digunakan untuk peroses
penghirupan. Penghirupan melalui mulut mempunyai efek samping terutama bila udara mengandung partikel, sebab di
mulut tidak ada penyaringan partikel-partikel baik secara tumbukan atau pengendapan.

11.1.2.1.3 Trakea
Trakea terdiri dari 16 atau 20 cartilago hyalin, yang pada permukaanya terdapat banyak sel kelenjar dan
selanjutnya trakea bercabang dua menjadi bronkus kanan dan kiri.

11.1.2.1.4 Bronkus
Bronkus tertutup oleh lapisan epitel yang terdiri dari:
- lapisan mukosa
- silia (bulu getar)
- cairan berair yang membasahi silia
- sel silia yang dipisahkan oleh sel-sel goblet pada mukosa
- sel basal
- membran.
Keselurahan bagian-bagian tersebut sangat berperan pada peroses pengeluaran (Gambar 11.2).

Gambar 11.2.Epitel bronkus

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 169


Ketebalan tiap bagian tersebut beragam tergantung pada letak, usia dankeadaan individu.
Jadi perlu ditekankan peranan fisiologi saluran napas pada gerakan silia dan pengeluaran getah.

11.1.2.1.5 Silia
Silia epitel berperan penting dalam pertahanan saluran nafas dan silia tersebut bertugas mengeluarkan getah
bronkus dan cairan alveoler secara, secara keseluruhan sel epitel menyerupai tangga berjalan atau permadani mukosilier
yang berombak.
Gerakan silia terdiri atas gerakan aplastis yang diikuti dengan gerakan tiba-tiba kembali ke posisi tegak lurus sel
dan silia membelok di permukaan sel. Selanjutnya terjadi gerakan yang tiba-tiba kembali ke posisi tegak lurus, hal tersebut
merupakan denyutan silier yang efekif sehingga memungkinkan terjadinya penggeseran lapisan superfisial mukosa yang
kental. Gerakan awal hanya merupakan gerakan relaksasi silia yaitu kembali kekeadaan semula.
Sifat getah yang elastik diperlukan untuk aktivitas silier. Perubahan sifat visko-elastik akan mengubah sifat aliran,
sehingga pengeringan atau pelembaban yang tidak cukup akan menyebabkan kerja bulu getar tidak menjadi efektif.
Adanya iritasi akibat mengisap tembakau, gas beracun dan karena virus dapat menggangu fungsi bulu getar. Pada
penderita bronkitis kronis terjadi degenerasi sistem silia.
Dalam lubang hidung, aksi bulu getar akan menghasilkan gerakan dari depan mundur ke belakang menuju
pharynix pada tracheo-bronchus, perpindahan dari bronkus menuju pharynx terjadi secara spiral dan searah jarum jam.
Diperkirakan terjadi 600 denyutan per menitnya.
Proses perpindahan berlangsung dengan cepat, misalnya debu memerlukan waktu 10-30 menit untuk pindah dari
alveolus ke larynx. Sementara itu pembersihan dalam trakea dan saluran besar bronkus memerlukan waktu 3-4 jam dan
pada saluran nafas yang lebih dalam memerlukan waktu 30 jam. Gerakan silia tersebut sangat peka terhadap suhu dan pH.
Gerakan lapisan silia juga menyebabkan pengeluaran sekret normal. Aliran udara pernapasan juga merupakan
gerakan untuk pengeluaran. Mekanisme ini terjadi tanpa disadari dan hal ini terlihat dari adanya gerakan pada
kerongkongan, pengeluaran udara napas yang akan mendorong tumpukan mukus untuk dibawa serta ke persimpangan
aeropharynx atau tertelan.
Ekspektoran yang baik dapat merupakan penyegar dan ini merupakan dasar latihan pengeluaran dahak pada
program pelatihan napas.
Bila mekanisme tersebut tidak cukup, batuk merupakan salah satu mekanisme pengeluaran benda asing.

11.1.2.1.6 Getah bronkus


Pada subyek sehat, studi tentang getah bronkus relatif tidak memungkinkan. Pada keadaan normal, setiap lapisan
mukosa mengeluarkan 100 ml getah. Terdapat banyak faktor (termasuk iritasi karena pengambilan cuplikan pada
endoskopi) yang dapat menyebabkan timbulnya hipersekresi bronkus.
Setiap 100 g getah bronkus “normal” dari laryngectomi, terdiri atas 94,79% air dan 1,13% sisa abu. Kadar asam
desoksiribonuleat (DNA) 0,028%, glusida 0,951%, protein 1,00% dan lipida 0,840%. Bagian bukan air sekitar 5%, akan
meningkat jika terjadi peradangan.
Getah bronkus bersifat hiperosmotik, terdiri dari elektrolit yang larut dalam air dengan konsentrasi yang
dinyatakan dalam mm/g yaitu: Na: 211, Cl: 157, K: 16,4, Ca: 2,45.
Jika ditambahkan 2 bagian air suling ke dalam 1 bagian dahak segar lalu dipusingkan maka akan terjadi pemisahan
cairan dalam tiga fase, seperti yang terlihat pada Gambar 11.3:
- Fase paling atas berupa busa, banyak mengandung surfaktan lipida dan lesitin-dipalmitat. Senyawa tersebut merupakan
penurun tegangan permukaan alveoli atau yang disebut juga surfaktan yang berada dalam keadaan bebas dan hampir
murni
- Fase air, hasil penelitian dengan elektroforesis membuktikan bahwa fase tersebut mengandung banyak protein,
komponen darah, hasil urai musin, senyawa dari saliva (misalnya amilase), hasil urai musin, enzim-enzim (lisosom,
protease, enzim-enzim bakteri).
- Fase berbentuk gel yang tidak larut dalam air dan merupakan struktur berbentuk serabut (fibril) yang dapat diwarnai
dengan toluidin biru.
Dengan mikroskop elektron, White & Elmes membuktikan adanya 3 (tiga) sistem serabut di dalam dahak
penderita asmatik yaitu mukroprotein, mukopolisakarida (MPS) dan asam desoksiribonukleat (DNA).
Susunan kimia dari fase fibril tersebut telah diteliti secara degradasi progresif dan mukolisis. Hasil penelitian
membuktikan bahwa fase fibril terutama terdiri atas musin bronkus yang mengandung 60-70% komponen mukus fibriler,
bobot molekulnya sekitar 500.000 dan mengandung 80% glusida. Molekul musin merupakan kerangka peptidik dengan
sejumlah glukosamino-glukan.

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 170


Protein Glusida Lipida
Busa 30%
+ +
P.L
Fasa +
Air 60-60% 20-30% A.G.L
P.L
Mukosa
+
Fibriler 30-40% 50-60%
P.L

Gambar11.3. Tiga lapisan cairan dahak

Aktivitas fungsional musin ditentukan oleh gugus glukandi perifer.Terdapat 3 (tiga) tipe glukan yaitu sulfat,
sialoglukopeptida (mengandung banyak asamN-asetil-neuraminat) dan glukoprotida netral.
Perbandingan susunan ketiga gugus utama musin, sulfomusin, sialomusin dan furomusin tergantung pada sifat
jaringan fibril khususnya kapasitas pembasahan, sifat reologi dan kesetimbangan ion setempat.
Pada molekul mukoprotein terikat pula berbagai protein lain dan glukoprotein yang memberikan aktivitas biologik
spesifik yaitu laktoferin, gammaglobulin, kaliorin, lisosom dan surfaktan. Ikatan antara protein dan musin terjadi secara
kohesi dalam sistem fibril yang sempurna dari lapisan silia.
Secara anatomik sumber getah bronkus adalah kelenjar bronkus yang terdapat pada trakea dan bronkus besar.Di
sini terdapat sel-sel mukus yang tegang dan menggelembung serta sel serosa yang lebih kecil mengandung bentukan Golgi
yang berisi banyak granul getah (sel serosa).
Pengeluaran getah oleh kelenjar bronkus terjadi bila ada rangsangan vagus akibat akson (antara epitel dan kelenjar
sub-junction), dan sel-sel goblet akan mengeluarkan getah bila iritasi langsung.

11.1.2.2. Daerah Pertukaran


Daerah pertukaran dimulai dari daerah transisi bronchiolus terminalis, dilanjutkan dengan bronchiolus
respiratorius dan kanal alveoli (ductuli alveolarispediculi) dan kantong alveoli (saccus alveolaris), yang bersama-sama
membentuk satu unit fungsional acinus (jamak acini), kemudian membentuk suatu lobules.
- Ductulli alveolaris, panjangnya 2–3mm memiliki suatu celah yang dibatasi oleh lubang alveoli.
- Alveoli pulmonalis yang berjumlah 300.106, merupakan kantong kecil poliedrik berdiameter 0,1–0,3 mm, yang
bermuara pada kanal alveoli melalui suatu daerah insersi yang tebal atau bourrelet alveoler, Volumenya sekitar 1,05.105
ml (60% dari volume udara bronchopulmonairetotal : 3150–4880 ml), dengan ruang batas udara-jaringan 27.10-4 cm2
(permukaan total 70–95 m2).
- Dinding alveoli yang memisahkan alveoli dari kapiler pembuluh darah sering dipertimbangkan sebagai konsep
membran alveoli, dengan kata lain, keseluruhan struktur mendukung morfologi untuk transfer udara dalam saluran
napas dan hemoglobin dalam peredaran darah kapiler yang berdekatan dengan alveoli.

Penyerapan zat aktif pada saluran napas secara nyata bertumpu pada perlintasannya melalui sawar yang tebalnya
0,2–10µ, yang terdiri dari:
1. Sel Penutup (4–7alveoli ) yang terdiri atas 2 tipe yaitu :
- Sel-sel kecil atau pneumosit membranus (sel tipe A atau sel I) yang merupakan kelanjutan sitoplasma atau lapisan
penutup permukaan alveoli;
- Sel-sel besar atau pneumosit granuler (sel B atau sel II) yang jumlahnya sedikit, terletak diantara sel-sel kecil
sitoplasma yang bersifat fosfolipida alam dan merupakan pusat aktivitas enzimatik.
Diantara pneumosit yang berada bebas di dalam liang alveoli terdapat makrofag alveoler yang mengandung banyak
lisosom dan merupakan fagosit terhadap bahan asing.
2. Anyaman kapiler sebagai kelanjutan dari liang alveoli dipenuhi oleh sel-sel endothelial jointives.
3. Kerangka, terdiri dari bahan dasar dan berupa serabut kolagen atau membran basal.
4. Penyelubung alveoler, merupakan lapisan film yang menyelubungi alveoli dan sukar diamati, mempunyai ketebalan
10–50 nm, mengandung surfaktan yang dihasilkan oleh sel B.Lapisan tersebut berupa film yang bagian atasnya
mengandung fosfolipida dan bagian dalamnya yang terdiri dari mukopolisakarida dan protein dan keseluruhan sistem
merupakan struktur cair atau gel dan selalu diremajakan oleh basis.
Surfaktan tersebut terutama terdiri dari lesitin dipalmitat, kolesterol, trigliserida dan asam lemak bebas serta
memiliki waktu paruh 14 jam.

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 171


Sifat utama dari surfaktan adalah menurunkan tegangan permukaan, sehingga paru dapat bergabung dengan sistem
gelembung (alveoli) yang ukurannya tidak sama, dan berhubungan dengan cabang-cabang bronkus. Pada batas permukaan,
surfaktan akan menurunkan tegangan permukaan antara bola udara dan cairan, dan selanjutnya cenderung terjadi penurunan
luas permukaan dan volume gelembung. Tegangan permukaan ini akan bertambah besar jika jari-jari gelembung bola
bertambah kecil, dan hal ini akan memudahkan pengosongan udara dalam gelembung yang lebih besar (Gambar 11.4).
Pada keadaan seimbang ,tekanan udara dalam gelembung mengikuti hukum LAPLACE.

2𝑇
P=
𝑅

T = tegangan permukaan
R = jari-jari gelembung Gambar 11.5
P = tekanan gelembung

Surfaktan secara nyata menurunkan tegangan permukaan (40 mg senyawa murni menurunkan tegangan 8
dynes/cm).Hal ini juga dimaksudkan untuk mencegah pengosongaan udara dari alveoli yang lebih kecil ke dalam alveoli
yang besar.Selain itu juga untuk mencegah perbedaan tegangan permukaan intraalveoler antara inspirasi dan ekspirasi.
Tanpa faktor ini,akan terjadi kolaps dan atelektasis.
Surfaktan juga berpungsi mengecilkan usaha muskular yang diperlukan untuk memberikan udara segar ke paru
dan menjaga pengisian udara.
Pada keadaan patologi, banyak ditemukan sejumlah gangguan pada surfaktan alveoler, tapi jarang dijumpai
adanya perubahan kemampuan surfaktan dikarenakan oleh ketidakmampuan pungsi atau karena tidak terbentuknya
surfaktan tersebut.
` Keadaan patologi tersebut terutama adalah:
- penyakit membran hyalin pada bayi
- emboli paru
- asidosis paru
- udema paru
- inhalasi cairan lambung (sindroma Mandelson ) atau gas toksik
- influensa
- penyumbatan arteri paru dari bronkus
- inhalasi detergen.
Epitel alveoli secara terus menerus menjaga integritas alveoli.Batas interstitiumnya berupa membran basales
endotel dan enpitel yang di antaranya terdapat senyawa untuk pertumbuhan. Meskipun terjadi kerusakan struktur regular,
interstitium tetap memelihara kantong alveoler dan kapiler pada bagian permukaan merlalui pembentukan kerangka fibril
tiga demensi tempat melekat alveoli dan kapiler. Proses pengantian gas dan penyerapan senyawa terjadi pada permukaan
yang inetrstitiumnya sangat halus (80 nm) dengan lapisan surfaktan terdapat interstitium yang sangat tipis 15 nm.

11.1.3.VASKULARISASI DAN INERVASI PARU


11.1.3.1.Vaskularisasi
Pada jalan masuk lobule, arteriol paru terbagi menjadi 2 (dua) sesuai dengan percabangan tersebut semakin lama
semakin menyatu dengan jaringan kapiler pada permukaan dinding alveoli.Jaringan tersebut terdiri dari 200–300 unit
(dengan luas permukaan 60–80 m2, mengandung 100–200 ml darah), berperan pada transpor senyawa untuk menerobos
sawar sangat besar karena pelarutannya yang sempurna.Waktu-lewat darah dalam jaringan ini hanya beberapa detik dan
peredaran balik terjadi di lobule perifer.
Vaskularisasi getah bening sering dengan arteriole intralobulairis, tetapi tidak sampai ke dinding
alveoli.Vaskularisasi terdiri dari 2 jaringan sub-pleural dan intra parenkimatik, satelit arteri pulmonalis dan bronkhus
sampai ke kanal alveoli.

11.1.3.2.Persarafan
Persarafan dalam paru meliputi :
- serabut-serabut saraf simpatik dan parasimpatik menuju otot polos dari pembuluh darah dan bronkus seperti kelenjar
bronkus;
- serabut-serabut saraf aferent, terutama peka pada permukaan selaput dada dan bronkus.

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 172


11.1.4. KELAINAN DAN KERUSAKAN SALURAN NAPAS
Banyak senyawa sintetis atau senyawa metabolit normal yang mempunyai aksi tertentu pada paru (terutama
senyawa amina).
Telah dibuktikan bahwa beberapa hal yang mempengaruhi pernapasan dapat menggangu anatomi dan fisiologi
paru, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan aktivitas obat dalam sediaan aerosol. Obat-obat tersebut misalnya yang
digunakan dalam pengobatan mikroba, tuberkulosa,kanker, tumor, penyakit obstruktif, alergi,dan lain-lain.

11.2.DEFINISI DAN SIFAT SEDIAAN AEROSOL


Aerosol merupakan dispersi butiran cairan yang sangat halus di dalam udara dan berdiameter rata-rata 5 µm.
Terdapat pula aerosol alami,misalnya awan atmosfer yang diameter partikelnya 0,2–15 µm.
Aerosol larutan obat diperoleh dengan dispersi mekanik menggunakan alat generator yang terdiri dari elemen-
elemen:
- sumber gas (kompresor atau gas mampat);
- generator pendispersi larutan dalam gas dan alat pencegah pembentukan partikel yang sangat voluminous;
- pemanas untuk memberikan keadaan isoterm pada partikel-partikel, karena pelepasan gas dapat menyebabkan
pendinginan sebagian.
Terdapat 2 (dua)jenis alat pendispersi sediaan yaitu: alat aerosol klinis (dalam farmakope disebut aerosal obat),
dan alat yang berisi gas pendorong atau pseudoaerosol atau disebut juga bentuk sediaan farmasetik bertekanan.
Walaupun kedua jenis alat tersebut mempunyai elemen-elemen yang sejenis, namun dispersi yang dihasilkan
mempunyai sifat fisiko-kimia dan efektivitas klinis yang berbeda.
Ditinjau dari sudut sistemnya, aerosol merupakan suatu sistem dispersi yang terdiri dari 2 fase, yaitu :
- fase pendispersi (fase penyebar), berupa campuran udara dan gas.
- fase terdispersi (fase yang tersebar), umumnya berupa larutan dalam air dan kadang-kadang berupa serbuk, walaupun
tidak tercantum dalam farmakope.
Seperti pada semua sistem dispersi, sediaan aerosol harus stabil, partikel-partikelnya tidak boleh membasahi
dinding dan tidak boleh melarut secara tak beraturan dalam cairan pendukungnya.
Stabilitas sediaan aerosol dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu:
- muatan partikel: tiap partikel aerosol memiliki muatan listrik bertanda sama, dengan demikian partikel-partikel tersebut
akan saling tolak menolak.
- kehalusan partikel: aerosol harus berbentuk kabut halus yang kering dan memiliki gerak Brown,
- penyebaran ukuran partikel,
- perbandingan bobot jenis gas/cairan.
Terdapat dua tipe aerosolyaitu:
 Aerosol sejati atau aerosol monodispersi, terdiri dari partikel-partikel yang sangat halus, berdiameter 1 (satu) µm,
dengan penyebaran ukuran partikel yang merata. Karena adanya gerak Brown maka aerosol jenis monodispesi sangat
homogen. Jumlah zat aktif yang terkandung dalam aerosol tersebut sangat kecil untuk dapata memberikan efek sistemik
setelah penyerapan melalui paru, tetapi karena penyebaran dan penembusan partikel segera terjadi maka efek pada
organ yang bersangkutan segera terjadi.
 Aerosol polidipersi, terdiri dari partikel-partikel dengan ukuran yang lebih besar dan beragam. Aerosol tipe ini lebih
kurang stabil karena partikelnya berat dan karena fenomena koalesen antara partikel-partikel kecil dengan yang besar.
Penembusan dan penahanan partikel ini hanya terjadi pada saluran napas bagian atas, dan dalam hal ini jumlah
pembawa zat aktif sangat berpengaruh, dan setelah terjadi penyerapan setempat maka obat dapat memberikan efek
sistemik.
Aerosol sejati dilengkapi dengan alat penyemprotan klinis, sedangkan aerosol polidispersi dikemas dalam wadah
gelas dengan bahan pendorong gas.

11.3. EVALUASI BIOFARMASETIK SEDIAAN AEROSOL


11.3.1. PERJALANAN AEROSOL DALAM TUBUH
Dengan alat penyemprot, partikel-partikel aerosol akan menempuh jalur tertentu yang berbeda dengan jalur
perjalanan zat aktif yang diberikan dengan cara lainnya dan jalur tersebut tergantung pada cara pemberian aerosol (partikel
yang dihirup). Zat aktif akan bergerak menuju tempat aksi (bersama dengan aliran udara yang dihirup), dan beraksi selama
ada kontak (kadang sangat terbatas) dan dengan dosis yang umumnya sangat kecil.
Oleh sebab itulah penelitian sediaan aerosol terdiri atas 2 jenis yaitu: penelitian pertama berkaitan dengan
perjalanan partikel-partikel dari alat generator sampai tempat fiksasi didalam saluran napas (dengan kemungkinan kembali

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 173


kelingkungan luar), dan penelitian kedua meneliti transfer zat aktif yang terkandung dalam partikel aerosol sejak dari
tempat depo sampai dikeluarkan dari tubuh.
Keseluruhan proses tersebut dirangkum dalam diagram berikut ini:.
Kolom pertama menunjukkan jalur utama yang dilewati partikel setelah penghirupan.Tetapi K 1 sampai K5
menyatakan kecepatan dan jumlah partikel yang melewati permukaan atau kompartemen paru.Tetapan K 7 sampai K9 lebih
mencerminkan jalur perpindahan zat aktif yang terlarut daripada perpindahan partikel itu sendiri.Tetapan K 6 menyatakan
jumlah partikel tersuspensi yang tidak tinggal dalam alveoli dan dikeluarkan melalui hembusan udara ekspirasi.Amplitudo
nilai ini tercermin pada tetapan bolak-balik K5, K4, K3.Sedangkan jumlah partikel yang tertahan disaluran napas dinyatakan
dalam tetapan depo K5p, K4p dan K3p.

JALUR PERJALANAN PERJALANAN PARTIKEL AEROSOL KEADAAN ZAT AKTIF

Aerosol obat
K1
K2p Hancur diudara
Pembentukan partikel
atmosfer&didalam alat
K2
K3p K3D
Penghirupan partikel Depo didalam mulut & A. Aktivitas setempat
dalam hidung
K3
Partikel tersuspensi dalam K4p K4D B. Aktivitas setempat setelah
Depo setelah terjadi
aliran gas di saluran napas penyerapan setempat
tumbukandan pengendapan
bagian atas
K4

K5p K5D
Partikel tersuspensi dalam Depo setelah terjadi C Perlintasan disaluran cerna
aliran gas disaluran napas tumbukan&pengendapan
bagian bawah
K5
K6p K6D
Partikel tersuspensi dalam Depo didalam alveoli Pembersihan mukosilia atau
daerah alveoli getah bening
K6 K7

Partikel terlarut atau K8D Aktivitas setempat didaerah


terdisfusi dalam cairan alveoli
alveoli

K8
K9D
Perlintasan melalui Aktivitas didinding kapiler
membrane kapiler alveoli

K9
Zat aktif dalam kapiler K10D
Aktivitas sistemik
pembuluh darah

Kolom kedua menggambarkan berbagai kemungkinan jalur perjalanan yang ditempuh oleh partikel aerosol.
Tetapan K2p sampai K6p menyatakan jumlah zat aktif yang mengendap di permukaan kompartemen tertentu.
Kolom ketiga menyatakan keadaan zat aktif yang terkandungdalam partikel dan ini dinyatakan oleh tetapan K D.
Perjalanan sediaan aerosol yang panjang tersebut dapat diringkas menjadi 4 tahap yaitu:
 transit atau penghirupan
 penangkapan atau depo
 penahanan dan pembersihan
 penyerapan

11.3.1.1. Penghirupan dan Perpindahan


Aerosol memulai perjalanan dari alat generator sampai titik fiksasinya di epitel pernapasan.Tetesan aerosol mula-
mula mencapai cavum bucallis, kemudian menuju trakea, bronkus, bronkiolus, kanal alveoli dan akhirnya ke alveoli
paru.Faktor- faktor yang mempengaruhi perpindahan partikel adalah ukuran partikel, pernapasan dan laju pengaliran udara,
jenis aliran, kelembaban, suhu, dan tekanan.

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 174


11.3.1.1.1Ukuran Partikel
Skemapada Gambar 11.5 menunjukkan jalur penembusan partikel pada berbagai tahap yang berbeda di
percabangan saluran napas berdasarkan ukuran partikel.
Diameter
Permukaan penetrasi partikel
maksimum aerosol

> 30 µm

20 – 30 µm

10 – 20 µm

3 – 5 µm

< 3 µm

Gambar 11.5. Penyebaran partikel di saluran napas

Partikel partikel yang ukurannya lebih kecil dari 1,2 µm tidak mengalami hambatan di dalam saluran bronkus, dan
yang berdiameter kurang dari 0,2 µm dapat mencapai daerah alveoli.
Partikel-partikel yang memiliki koefisien difusi rendah dan yang keterendapan gravitasinya rendah akan mengikuti
perjalanan udara pensuspensinya. Partikel semacam ini dapat menembus bagian paru yang lebih dalam dan penembusan ini
tergantung pada volume udara yang beredar.Tetapi tidak pada setiap inspirasi partikel tersebut dapat mencapai alveoli yang
lebih jauh dan hal itu di jelaskan dengan mekanisme difusi yang mengaturpertukaran antara udara inspirasi dan udara residu
di dalam paru. Partikel yang mempunyai koefisien difusi rendah mampu menembus paru sampai daerah volume edar
(volume udara yang dihembuskan pada pernapasan normal) yang mengalir dan volume kumulasi aliran udaranya sama.
Dalam satu inspirasi tunggal, alveoli yang terletak setelah daerah tersebut (dimana volume udara yang mengalir
dan volume kumulasi aliran udaranya sama) tidak menerima satu partikel pun, selain itu volume udara yang dihirup dan
dihembuskan selama 1 daur pernapasan tidaklah sama. Altshuler dkk.membuktikan bahwa sekitar 25% volume udara yang
dihirup dipindahkan ke udara intrapulmoner dalam jumlah yang sama dipindahkan ke volume edar untuk mencapai tempat
tujuan. Pada akhir satu daur pernapasan sederhana, udara intrapulmoner akan terisi lagi oleh sejumlah partikel-partikel
yang sudah masuk selama inspirasi sebelumnya. Pada inspirasi berikutnya, partikel memasuki bagian paru yang lebih dalam
dan selama respirasi stabil, partikel-partikel tersebut akan menembus sampai alveoli yang paling jauh dan ditimbun secara
difusi. Di dalam paru, partikel-partikel tersebut tidak sepenuhnya mengikuti aliran gas dan sejumlah senyawa berkurang
karena terjadinya penimbunan di permukaan paru dan jarang ada konsentrasi yang sama di setiap permukaan unit paru
terminal.

11.3.1.1.2 Cara pernapasan dan laju pengaliran udara


Pernapasan normal terjadi antara 12–15 daur permenit dan volume udara inspirasi dan ekspirasi adalah sekitar 500
ml dengan laju pengaliran 22–25 liter/menit. Peningkatan laju inspirasi dapat membawa serta partikel-partikel berukuran
besar kedalam alveoli pulmoner yang secara normal telah dihentikan dalam saluran napas bagian atas, dan hal itu terjadi
akibat perubahan turbulensi arus dan gerak paertikel. Sebaliknya pelambatan ritme napas akan memperbesar waktu tinggal
partikel dan akibatnya terjadi peningkatan retensi aerosol.

11.3.1.1.3Aliran gas : Laminer atau turbulen


Aliran gas yang melalui saluran napas mungkin berbentuk laminer atau turbulen. Aliran laminer dari suatu cairan
dalam tabung berdiameter kecil dapat dinyatakan dengan persamaan hokum POISEUILLE yaitu:

𝑣 𝑟4 𝑃 𝜋
=
𝑡 8𝜂1

Pada persamaan ini, t merupakan waktu (detik) yang diperlukan sejumlah volume V (ml) dengan kekentalan cairan
η (pada Po) untuk mengalir melalui tabung yang panjangnya 1 (cm), jari jari r (cm) dan dengan tekanan P (dyne.cm-2).
Jika ukuran tabung dianggap tetap maka laju pengaliran cairan akan berbanding lurus dengan kekentalan. Pada
keadaan aliran laminer, semua cairan bergerak seperti gerakan piston dalam silinder.Dengan laju pengaliran yang sedang,

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 175


partikel-partikel aerosol dalam aliran laminer dikendalikan dengan mengatur laju pengaliran dan mengurangi pengendapan
partikel.
Jika cairan diberi gaya yang cukup untuk melewati saluran yang penuh dengan kelokan dan rintangan, maka aliran
laminer akan berubah menjadi aliran turbulen, cairan akan berputar, dan arah gerakan molekuler akan selalu berubah.
Dalam silinder terpisah, aliran cairan merupakan fungsi dari bilangan Reynolds seperti pada persamaan berikut ini:

𝑑.𝑣.𝜌
Re=
𝜂
d adalah diameter tabung (cm), v lajupengaliran (cm/detik)
𝜌adalah bobot jenis (g/cm-3) dan 𝜂 kekentalan (cm2/detik)

Jika harga bilangan Reynold lebih dari 2000, maka aliran bersifat turbulen. Mead menyatakan bahwa bilangan
Reynold selama respirasi tenang (v = 0,33 1/detik) ternyatalebih rendah dari 2000 pada sebagian besar permukaan saluran.
Selama pernapasan sedang atau dengan kekuatan (v = 3,3 1/detik), bilangan Reynolds lebih dari 2000 dalam lubang hidung,
pharynx, glottis, trakea dan sebagian besar bronkus, tapi tidak dalam bronkiolus. Untuk melewati daerah ini, aliran udara
harus bersifat turbulen, dan pada kondisi ini bobot jenis sediaan lebih berpengaruh dibandingkan kekentalannya. Suatu
turbulensi yang kuat akan memperlambat pengaliran gas baik di bagian dalam maupun luar paru, dengan demikian terjadi
penimbunan partikel yang lebih dini di dalam saluran napas bagian atas. Turbulensi pada percabangan bronkus tidak sama
dengan turbulensi dalam saluran napas (dapat berisi mukus, eksudat, tumor bahan asing), pada bagian penutup glottis dapat
terjadi suatu kombinasi aliran laminar dan turbulen. Sebaliknya dimungkinkan meningkatkan penebusan aerosol untuk
mengurangi keadaan turbulensi yaitu dengan melakukan irama pernapasan yang perlahan.

11.3.1.1.4 Kelembaban
Udara di bagian paru yang lebih dalam umumnya mengandung air sejumlah 44 g/m3.Udara atau aerosol dalam paru
memiliki derajat kelembaban yang setara kejenuhan pada suhu tubuh. Udara ekspirasi normal pada 32C mempunyai
kejenuhan air (34 g/m3). Aerosol mengandung kurang dari 44 g/m3 air dan jumlah ini akan bertambah saat penghirupan dan
akan menguap sesampainya di mukosa hingga tercapai keseimbangan. Dengan alat aerosol pada umumnya, kecuali
nebulizer ultrason, akan membawa partikel-partikel yang kadar airnya kurang dari 30 g/m3, partikel selanjutnya akan
menyerap air dalam jumlah yang dipengaruhi oleh suhu, kelembaban reltif dan sifat senyawa. Sejumlah persamaan dibuat
untuk menerangkan pertumbuhan partikel sebagai fungsi dari kelembaban (34) dan dari persamaan tersebut terlihat bahwa
peningkatan partikel secara maksimal terjadi pada senyawa dengan bobot molekul dan bobot jenis yang kecil.
Partikel-partikel yang berdiameter lebih kecil dari 0,2 𝜇m dapat melintasi trakea lebih cepat disbanding partikel-
partikel berdiameter 0,5–0,8 𝜇m. Porstendorfer mengamati pengaruh perubahan ukuran partikel aerosol pada 20–22C
dan dengan suatu kelembaban relatif antara 40–100%. Hasil penelitian membuktikan bahwa aerosol dengan partikel yang
tidak larut (SiO2 misalnya) tidak dipengaruhi oleh kelembaban, sedangkan aerosol dengan partikel yang sedikit larut (lateks
atau asap rokok) diameternya dapat membesar menjadi 1,35–1,55 kali, aerosol yang larut (NaCl) diameternya membesar 3–
7 kali.

11.3.1.1.5 Suhu
Dalam suatu sistem yang dapat mengalami perubahan suhu, maka partikel akan bergerak dari bagian yang lebih
panas ke bagian yang lebih dingin. Gerakan tersebut berbanding lurus dengan perubahan suhu dan diameter partikel; bila
sistem memiliki amplitude yang lemah, maka dalam waktu singkat partikel tidak dapat terhirup karena suhu paru lebih
panas dibandingkan suhu aerosol.
Bahasan yang terakhir ini adalah penting karena aerosol yang dihirup pada suhu lebih rendah dibandingkan suhu
tubuh maka terlebih dulu partikel harus dipanaskan dan dilembabkan oleh tubuh, dengan akibat makin besarnya ukuran
partikel. Sebaliknya, jika suhu aerosol dihirup pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan suhu tubuh, maka partikel akan
didinginkan dulu dan air yang terkandung akan terkondensasi pada permukaan epitel.

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 176


11.3.1.1.6 Tekanan
Aliran turbulen atau laminer dari suatu cairan yang melewati saluran napas tergantung pada tekanan pada setiap
bagian saluran yang dilewati aerosol. Tekanan total pada peermukaan trakea sama besar dengan tekanan atmosfer. Selama
inspirasi tekanan pernapasan maksimal dalam paru turun menjadi 60–100 mm Hg di bawah tekanan atmosfer hingga
menyebabkan masuknya aliran udara atau aerosol.
Penggunaan tekanan buatan, baik positif maupun negatif dapat memperbesar perbedaan tekanan tersebut yang
berakibat pada aliran dan menembus partikel aerosol. Pemakaian tekanan positif pada bagian alat aerosol dapat
memperbesar perbedaan tekanan inspirasi hingga 4–22 mm Hg. Pada pengamatan yang lebih teliti yaitu saat pernapasan
yang dalam akan terlihat dilatasi bronkus dengan penembusan udara atau aerosol ke tempat yang secara normal terhalang
atau berkontraksi.
Dengan tujuan yang sama, dimungkinkan menghindari efek tekanan intrapulmoner dengan memanfaatkan sifat
vibrasi suara. Difusi gas atau partikel-partikel yang sangat halus (lebih kecil daripada 3 𝜇m) dipercepat oleh vibrasi
ultrasonik yang menyusup dalam lintasan, seperti yang ditempatkan pada alat aerosol tertentu (aerosol manosonik).
Sediaan aerosol dibuat sedemikian agar saat dihirup tidak menyebabkan perubahan tekanan pada permukaan paru
(50 𝜇l campuran gas-zat aktif film, jika menguap hanya membentuk 5-10ml uap tambahan dalam 500 ml volume
pernapasan). Sementara itu, terlihat pula adanya efek setempat tertentu jika gas dihirup sebelum penguapan total dosis
yang diberikan.
Seperti yag telah diteliti, banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perjalanan partikel, namun yang lebih
penting adalah ukuran partikel. Ukuran partikel dapat dievaluasi dengan berbagai metoda yang teliti.

11.3.1.2. Penahanan atau Depo


Pada tahap kedua dimana terjadi penahanan atau depo, partikel aerosol ditahan oleh epitel broncho-alveoli.Hanya
sebagian partikel yang diteruskan sedangkan bagian lainnya ditolak.
Sekali partikel tertahan, maka zat aktif yang terlarut akan memberikan efek. Tahap ini merupakan hal yang paling
penting ditinjau dari sudut penggunaan praktis aerosol obat, dan terdapat banyak mekanisme cara penahanan.

11.3.1.2.1. Cara penahanan


Mekanisme yang mengatur penahanan atau depo partikel pada berbagai daerah konduksi dan daerah pertukaran
terdiri dari 3 (tiga) cara yaitu:
a. tumbukan karena kelembaman
b. pengendapan karena gaya tarik bumi
c. difusi (gerakan brown).

a. Tumbukan karena kelembaman


Tumbukan karena kelembaman terjadi pada partikel-partikel yang bergerak, berdiameter 0,5–50 𝜇m dan peka pada
perubahan arah dan kecepatan aliran. Dikotomi (percabangan dua) yang berturutan dari saluran napas menyebabkan
terjadinya perubahan mendadak arah aliran udara yang dihirup.Karena kelembamannya partikel-partikel cenderung
mengikuti arah lintasan semula dan selanjutnya membentur dinding saluran napas.Tumbukan terutama terjadi di permukaan
hidung, pharynx dan segmen trakeo-bronkus yang banyak percabangannya. Kemudian terjadi depo akibat tumbukan
dinyatakan oleh persamaan berikut:

Ut .U.sin θ
I= (persamaan 11.1)
gR
U = laju pengaliran udara
Ut = laju partikel
𝜃 = sudut bengkokan bronkus
R = jari-jari bronkus
g = gaya tarik bumi
Persamaan ini pada hakekatnya menunjukkan kemungkinan terjadinya tumbukan oleh kelembaman yang semakin
meningkat dengan bertambahnya diameter partikel, laju pengaliran udara, sudut lekukan dan penurunan jari-jari bronkus;
tumbukan tidak terjadi di alveoli yang laju pengaliran gas adalah nol.

b. Pengendapan karena gaya tarik bumi


Depo yang terjadi karena pengendapan akibat gaya tarik bumi terjdi pada bagian akhir dari bronkus (dimana laju
pengaliran gas tinggal beberapa milimeter sampai satu atau dua sentimeter tiap detik). Keadaan ini sangat berarti bila debit

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 177


antara inspirasi dan ekspirasi menjadi nol. Hal tersebut juga berpengaruh pada saluran atas dan alveoli untuk partikel
berdiameter antara 0,1 dan 50 𝜇m.
Proses penahananbekerja di bawah rangsangan yang merupakan fungsi dari laju perpindahan partikel, lamanya
melewati saluran dan inklinitas sudut saluran. Laju pengendapan partikel dapat dihitung menurut persamaan berikut ini:

σ.g.d2
Ut = (persamaan11.2)
18
g = gaya tarik bumi
d = diameter partikel
𝜎 = bobot jenis udara
 = kekentalan udara

Jadi pengendapan partikel berbanding terbalik dengan laju pengaliran udara dan berbanding lurus dengan bobot
partikel.

c.Difusi (gerak Brown)


Aerosol dapat dipengaruhi oleh gerak Brown yang ditimbulkan tumbukan molekul gas dengan partikel yang tersuspensi
dalam udara. Gerakan ini akan `mendorong partikel untuk melintas aliran gas dan hal itu akan memperbesar deponya.
Fenomena ini khususnya terjadi di bronchiolus terminalis dan alveoli terhadap partikel yang berukuran submikron
(0,002–0,5𝜇m). Laju penahanan atau depokarena difusiyang disebabkan olehgerak Brown umumnya sebanding dengan
jumlah partikel yang tersuspensi dalam udara, luaspermukaan,muatan ion, perubahan suhu dan waktu istirahat antara
gerakan-gerakan pernapasan.
Efektifitas difusi berbanding terbalik dengan ukuran partikel dan volume ruang penghirupan : Partikel-partikel
dengan ukuran 0,6 𝜇m atau lebih kecil, tidak mengendap dalam saluran yang lebih besar dari kantong alveoli (saccus
alveolares) dan saluran alveoli (ductuli alveolares),tapi saat ia mencapai daerah ini, depo dapat terjadi secara tiba-tiba dan
dipercepat.
Laju penahanan karena difusi mengikuti persamaan:
𝑅𝑇 𝐶
∆=( . )1/2 (persamaan11.3)
𝑁 2𝜋.𝑛.𝑑
∆ = laju perpindahan partikel C = faktor pembetulan Cunnningham
R = tetapan gas murni N = kekentalan udara
T = suhu mutlak D = diameter partikel
N = bilangan avogadro

11.3.1.2.2 Faktor-faktor mempengaruhi proses penahanan partikel.


Berbagai cara penahanan partikel dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:
a. anatomi dan fisiologi saluran nafas
b. sifat fisiko-kimia partikel.

a. Faktor anatomi dan fisiologi saluran napas


Ditinjau dari sudut anatomi, penahanan partikel tersebut berkaitan dengan ukuran saluran napas yang secara
bertahap semakin mengecil; frekuensi pembagian , jumlahdan besarnya sudut percabangan yang dapat mempengaruhi
depo.
Keadaan anatomi sangat penting dalam pemahaman tentang depo partikel. Jadi luas permukaan total dari saluran
udara menigkat secara bermakna mulai dari trakea sampai bronchiolus terminalis sehingga mencapai perbandigan 1:60.
Secara skematik hal tersebut digambarkan seperti corong dengan puncak traka(luas permukaan 2 𝑐𝑚2 ) dan bronchiolus
terminalis sebagai dasarnya (luas permukaan 100–120 𝑐𝑚2 ) (Ganbar 11.6)

Gambar 11.6. Model saluran udara

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 178


Geometrik ini menerangkan bahwahambatan pada aliran udara dan laju pengaliran berkurang sedikit saat
mendekati daerah difusi. Kecepatan aliran udara yang besar dalam saluran konduksi yang besar menyebabkan terjadinya
depo partikel secara tumbukan kelembaman. Pada permukaan hidung,larynx, trakea dan bronkus besar,laju pengaliran akan
sangat berkurang atau nol dalam saluran yang kecil sehingga tidak menyebabkan terjadinya depo kecuali depo yang di
sebabkan oleh gaya tarik bumi atau difusi;depo pada daerah tersebut di permudah oleh ukuran saluran udara yang kecil.
Seperti diketahui saluran napas pada berbagai jenis hewan berbeda tetapi pada individu sejenis terdapat keragaman
dalam ukuran saluran terutama volume paru, usia dan proses patologi. Dalam hal terakhir, perlu dicatat adanya pengaruh
penyempitan saluran, perubahan sistem aliran yang laminer menjadi turbulen, depo maksimum karena kelembaman pada
keadaan penyempitan (stenosis) ,dan selain itu juga menyebabkan penyebaran kembali gas yang dihirup menuju daerah
yang sehat, yang lebih segar. Hal ini dapat berakibat merugikan bila aerosol mengandung bahan toksis seperti cemaran.
Ditinjau dari sudut fisiologik, perubahan irama pernapasan, kapasitas vital, volume aliran, atau adanya halangan
bronkus merupakan prameter yang berpengaruh pada pembentukan depo. Peningkatan volume aliran 450–135 ml pada laju
yang tetap 300 ml perdetik akan memperbesar depo pada berbagai permukaan saluran napas pada partikel yang berdiameter
antara 0,2 dan 20 𝜇m. Jika peningkatan volume ini disertai dengan peningkatan irama pernpasan maka depo akan semakin
kecil karena waktu transit dipersingkat.
Pentingnya waktu israhat pada peningkatan depo dalam saluran napas bagian bawah terlihat nyata secara klinik.
Pemberian beberapa bentuk sediaan farmasetik di saat pernapasan tenang akan menunjukkan efektivitas yang lebih baik.
Selain itu, pernapasan yang perlahan akan meningkatkan secara nyata waktu istirahar pada saluran napas bagian bawah.

b. Faktor fisiko-kimia partikel


- Ukuran partikel.
Ukuran partikel merupakan faktor yang sangat penting. Pada aerosol monodispersi, partikel dengan ukuran 1–5 𝜇m
dapat menembus dan mengendap dalam alveoli (dengan ruang maksimum untuk partikel kurang dari 3𝜇m). Partikel
yang lebih kecil dari 1𝜇m tidak akan mengendap dan keluar saat ekspirasi (Gambar 11.7).

Gambar 11.7: Pengendapan partikel aerosol dalam saluran napas

Depo karena kelembaman terjadi maksimal pada partikel dengan ukuran tertentu (kemungkinannya 38% untuk partikel
dengan ukuran 7𝜇m, 20% untuk yang berukuran 5 𝜇m, 10% untuk yang berukuran 3𝜇m dan 1% untuk yang berukuran
1𝜇m).
Pengendapan berbanding lurus denagn kuadrat diameter partikel dan bobot jenisnya.Pentingnya hubungan ini
mendorong para peneliti untuk menentukan diameter nyata partikel aerosol, diameter aerodinamik efektif, diameter
geometri dari suatu partikel dengan boobot jenis 1 sehingga didapatkan kecepatan jatuh dari partikel sesuai dengan yang
diharapkan.
Diameter aerodinamik, dinyatakan sebagai unit kesetaraan massa jenis yang sama dengan :
dc = ( Ʈp . da2 )1/2
di sini ơp adalah bobot jenis partikel, dan da adalah diameter partikel.
Difusi atau gerak brown relatif tidak bermakna pada partikel yang berdiameter lebih dari 1𝜇m,tapi sangat penting untuk
partikel yang berdiameter antara 0,002 dan 0,1𝜇m, dimana tidak terjadi depo karena pengendapan. Depo karena difusi
akan meningkat seiring dengan pengecilan ukuran saluran napas, karena jarak tempuh partikel ke permukaan menurun
secara nyata pada permukaan bronkus dan alveoli.
Studi kemungkinandepo berdasar ukuran partikel, atau menurut diameter aerodinamika merupakan obyek sejumlah
penelitian yang hasilnya dapat diringkas dalam gerafik pada Gambar 11.8

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 179


Gambar 11.8. Kebolehjadian depo partikel sebagai fungsi dari diameter aerodinamik partikel.

Simpangan kurva, menyatakan kebolehjadian depo karena pengendapan atau karena difusi menurut ukuran, membentuk
suatu daerah kebolehjadian minimal pada partikel berdiameter sekitar 0,5 𝜇m yaitu ukuran saluran bagian dalam di
mana laju partikel yang melintas karena gerak brown adalah sama dengan laju pegendapan.

- Muatan Partikel
Dalam paru tidak terdapat medan listrik, kecuali bila partikel sediaan aerosol bermuatan. Partikel bermuatan dengan
mobilitas yang tinggi menimbulkan muatan yang lemah pada partikel-partikel kecil (0,1𝜇m atau lebih kecil),atau
muatan yang besar pada partikel yang besar (1 𝜇m atau lebih).
Partikel- partikel kecil yang tidak bermuatan jarang mengendap di permukaan hidung dan pharyux, namun bila partikel
tersebut bermuatan (walau lemah), akan menyebabkan terjadinya depo pada lubang hidung dan hidung.
Depo yang disebabkan oleh penolakan muatan llistrik dari partikel berdiameter 0,7 µm akan lebih kuat di alveoli
dibandingkan saluran napas bagian atas,termasuk partikel aerosol yang bermuatan sangat lemah.
Pada keadaan dimana koagulasi partikel aerosol meningkatkan terjadinya depo, maka mungkin partikelnya bersifat
bipolar, dan hal ini dapat menyebabkan aerosol menjadi lebih efektif, walau hal ini belum terbukti.

- Bobot Jenis Partikel.


Dikatakan bahwa kedalaman penembusan dan depo partikel aerosol dalam saluran berbanding terbalik dengan irama
pernapasan, ukuran partikel dan bobot jenis partikel.
Sebagaimana diketahui stabilitas sediaan aerosol berkaitan erat dengan pengaruh bobot jenis terhadap laju pengendapan
(persamaan 11.2). Morrow membuktikan bahwa suatu partikel dengan diameter 0,5 µm dan bobot jenis 10 g cm-3,
memiliki laju pengendapan yang sama dengan laju pengendapan partikel berdiameter 2 um dan bobot jenis 1 g/cm3.
Aerosol untuk pengobatan umumnya memiliki bobot jenis 2–3 g.cm-3. Senyawa dengan bobot jenis antara 1 dan 10
g.cm-3 memiliki kurva depo yang sama jika ukuran partikelnya dinyatakan dalam unit kesetaraan bobot jenis.
Perlu berhati-hati dengan penggunaan senyawa higroskopis yang dapat mengubah ukuran partikel karena hidratasi.

- Bobot Jenis Gas Pendorong


Efek gas pendorong terutama perlu diperhatikan pada bentuk sediaan farmasi bentuk semprot dimana gas pendorongnya
mempunyai bobot jenis tinggi.
Semakin tinggi bobot jenisnya maka semakin nyata pengaruh “ pembawa” gas terhadap partikel yang tersuspensi, dan
hal ini dapat mengakibatkan penetrasi yang jauh ke dalam saluran. Partikel-partikel ini kemudiaan menjadi pusat
kondensasi kelembaban sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya depo.
Untuk menentukan jumlah total partikel yang didepo pada setiap daur pernapasan, penyebarannya dalam percabangan
bronkus termasuk keragaman diameter dan parameter ventilasi, maka diusulkan sejumlah teori perhitungan. Bila
diketahui ukuran geometri percabangan bronkus (diambil dari model Weibel pada percabangan ke-23, maka dengan
mempertimbangkan debit pernapasan dari mulut, konsentrasi awal aerosol, mekanisme dan depo aerosol pada dinding
organ, selanjutnya dapat dihitung dengan cepat konsentrasi aerosol pada percabangan, depo setempat dan akhirnya
dengan persamaan spatio-temporelle dapat dihitung jumlah aerosol yang didepo.

11.3.1.3. Penahanan dan Pembersihan


Setelah penangkapan zat aktif yang dihirup dari aerosol maka partikel akan tertahan di permukaan tempat depo.
Aktivitas partikel aerosol ditentukan oleh laju pelarutan dan difusi melintasi selaput mukosa, oleh perubahan laju
perjalanan dan peniadaannya dari lapisan mukosa tersebut. Penangkapan partikel kedalam mucus diikuti dengan perjalanan
menuju saluran nafas bagian atas kecuali saluran dan kantong alveoli dan alveoli. Hal ini disebabkan dalam kantong alveoli
dan alveoli terdapat terdapat film surfaktan yang berfungsi untuk membawa partikel-partikel menuju daerah dimana ia akan
bercampur dengan mocus.

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 180


Pada mekanisme pembersihan paru (magrofag alveoler), maka peniadaan partikel oleh mukosilia adalah lebih
penting.
Lamanya pembersihan ini adalah sekitar 100 jam untuk partikel yang dibersihkan oleh selaput mukosilia, 30-40%
dikeluarkan pada 24 jam pertama. Perlu dicatat bahwa adanya penumpukan debu pada sudut atas paru yang diperoleh dari
dokumen otopsi tidak menunjukkan adanya depo daerah ini tapi sebaliknya menjelaskan adanya perpindahan partikel
menuju puncak ini.
Mekanisme pembersihan berbeda tergantung pada sistem aerosol yaitu aerosol yang larut dalam air atau cairan
biologis serta aerosol yang tidak larut dalam cairan biologis.
Dalam mekanisme yang pertama, cara pembersihan terjadi dengan penyerapan oleh mukosa saluran napas. Dalam
hal yang kedua, cara pembersihan dinyatakan sebagai fungsi tempat fiksasi: pada saluran napas bagian atas pembersihan
terjadi lebih awal dan cepat (kurang dari 2 hari) dan ditampung pada mukosilier. Untuk aerosol yang tidak larut maka
partikel tersimpan dalam saluran napas bagian bawah, pembersihan terjadi lebih lambat dan diperpanjang oleh pengaruh
penahanan partikel dalam waktu yang sangat berbeda-beda sesuai daerahnya (dapat menyebabkan reaksi terhadap bahan
asing pada jaringan kulmoner).
Telah dijelaskan pula bahwa gerakan silia dipengaruhi oleh penyakit atau keadaan yang tidak menguntungkan
(lingkungan tidak setara dengan konsentrasi 0,9–2% NaCl, pH diluar rentang 6,2–7,2 , suhu di luar rentang 28–350 C dan
akibatnya pembersihan diperlambat. Hal tersebut di atas perlu diperhatikan baik-baik pada formulasi sediaan aerosol.

11.3.1.4. Penyerapan
Pada tahap ke empat yaitu tahap penyerapan, sebagian bahan yang dihirup dalam bentuk aerosol akan terikat
dalam saluran napas dan selanjutnya diserap oleh mukosa saluran.
Jadi untuk bahan dalam jumlah yang sangat besar, kadarnya di dalam darah dan air kemih perlu ditentukan.
Pada anjing yang telah diberi atropin maka pemberian aerosol adrenalin ternyata meningkatkan tekanan arteri,
sebaliknya penurunan tekanan terjadi setelah penghirupan aerosol asetil kolin pada anjing yang telah diberi aselin.
Penyerapan ini dapat terjadi pada berbagai tempat yang berbeda dan kadang-kadang selektif untuk beberapa zat
aktif tertentu.

11.3.1.4.1 Penyerapan Di Hidung


Luas permukaan hidung adalah 80 cm2 yang merupakan bagian yang paling sedikit menyerap dari seluruh
permukaan saluran napas.Aerosol yang diberikan melalui hidung sebagian ditahan oleh bulu-bulu hidung dan mukosa di
permukaan. Pembersihan pada daerah tersebut terjadi dengan pencucian mukosa dan penelanan, semua proses terjadi
dengan sangat cepat. Jika zat aktif dapat diserap maka ia harus terlarut dan terdifusi dengan cepat melintasi selaput mukosa.
Sulfur anhidrida dan amonia sangat cepat diserap dibagian hidung, sedangkan histamin, nikotin, efedrin, efinefrin
diserap sangat perlahan pada bagian mukosa atas dan sangat cepat pada bagian mukosa yang terluka. Bahan-bahan lain
yang diserap di bagian hidung:
- serbuk post-hipofisa (hipofisa posterior)
- tetrakoksatida
- bahan organik pada asap rokok
- antigen difteri murni

11.3.1.4.2 Penyerapan di mulut


Luas permukaan penyerapan pada bagian dalam dari mulut dan pharyux adalah sekitar 75 cm2.Sebagian partikel
aerosol yang tertinggal di dalam mulut dapat tertelan (dan masuk kedalam cerna), atau diserap melaluui bukal setelah
terlarut di dalam saliva. Mulut yang mempunyai mukosa berciri lipoid, penyerapan zat aktif terjadi dengan difusi dalam
bentuk takterionkan: misalnya nitrogliserin, testosteron, desopsi sampai kortikosteron, isoproterenol, alkaloid dapat diserap
dengan baik, sebaliknya barbiturat, protein bermolekul besar (insulin) dan heparin sedikit sekali diserap.

11.3.1.4.3 Penyerapan di Trakea


Baik air maupun larutan garam (saline) tidak diserap pada daerah trakea, demikian pula beberapa bahan larut
lemak seperti barbital, tiotental, striknin, kurare.
Efek pemberian aerosol suksinilkolin ternyata secara bermakna lebih lambat tetapi lebih lama dibandingkan
penyuntikan intravena; pemberian aerosol larutan metoksamin 1-2 dengan kadar 20 mg/ml menghasilkan efek yang sama
dibandingkan dengan pemberian 1 mg melalui intravena. Pemberian penisilin dengan penetesan pada trakea menghasilkan
kadar dalam darah pada daerah terapetik dua kali lebih lama dibandingkan pemberian intramuskuler dan juga tampak efek

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 181


depo. Pembiusan setempat seperti tetrakain diserap dengan cepat di trakea dan sedikit diserap di daerah esofagus dan
lambung.

11.3.1.4.4 Penyerapan di bronkus


Sejumlah penelitian tentang fenomena penyerapan di bronkus belum dapat dikuantifikasi dengan tepat.Hal
tersebut disebabkan oleh sukarnya memisahkan dengan tepat daerah yang diteliti dan sulitnya mencegah dipercabangan
saluran napas lainnya (trakea, saluran napas bagian bawah, dll) atau saluran cerna setelah penelanan.
Apalagi pada permukaan bronkus banyak terdapat otot polos yang sangat peka terhadap beberapa senyawa iritan,
sehingga dapat menyebabkan aktivitas lokal bronkodilator. Saat pemberian senyawa vasodilator bronkus akan mengalami
dilatasi sehingga efek sistemnik dapat dihindari.
Hal ini dapat diterangkan bahwa sistem bronkus-paru memiliki 2 tipe reseptor adrenegik yaitu reseptor α yang
terdapat pada pembiluh darah bronkus dan reseptor β yang terdapat dalam otot bronkus.Kedua reseptor ini dapat diaktifkan
langsung oleh parasimpatomimetik dan secara tidak langsung oleh pelepasan katekolamina. Kedua rangsangan tersebut
terjadi setiap ada “hambatan” saluran udara, dengan rangsangan reseptor αakan terjadi vasokonstriksi bronkus dan
dekongesti mukosa bronkus, sedangkan rangsangan β menyebabkan relaksasi otot polos saluran udara. Obat bronkodilator
terutama bekerja terhadap resptor β, kecuali epinefrin dan efedrin yang merangsang kedua reseptor tersebut, yang hanya
bekerja pada reseptor α.

11.3.1.4.5 Penyerapan Alveoler


Penggunaan aerosol lebih disukai untuk pengobatan setempat didaerah alveoli.Namun perlu dipertimbangkan
keadaan tempat penyerapannya.Efek sistemik yang tidak diinginkan dan hal ini justru digunakan untuk tujuan aktivitas
sistemiknya.
Alveoli merupakan suatu tempat penyerapan yang sangat istimewa karna permukaannya yang luas dan letaknya
sangat dekat dengan jaringan yang penuh kapiler, menentukan permeabilitas zat aktif karena luas permukaan total dari
saluran napas tidak diketahui secara pasti, jumlah total aliran alveoli dan nilai kedua parameter tersebut selalu berubah-
ubah tergantung subyek.
Mekanisme perlintasan dinding alveoli tidak dapat ditentukan dengan pasti.Kini yang telah diketahui dengan baik
adalah sbb.:
1. Garis bius dan pernafasan melintasi sawar alveoli tidak dapat ditentukan
2. Air juga dapat melintasi dinding alveoli dengan sangat cepat dan dalam jumlah besar (dapat menimbulkan kecelakaan),
larutan fisologi NaCl diserap sangat perlahan.
3. Membran alveoli agak permeabel terhadap sebagian besar senyawa yang terlarut. Diserap lebih lambat dibandingkan
dengan air. Urea dan kalium diserap lebih baik dibandingkan dengan natrium.
4. Amida dan alkilamin dengan bobot molekul yang besar lewat lebih cepat dibandingkan senyawa yang bobot
molekulnya kecil.
5. Tipe dan laju penyerapan protein kurang diketahui, walau demikian diketahui bahwa albumin,globulin diserap dengan
baik, sedangkan vaksin para-influenza diberikan dalam bentuk aerosol daripada pemerian sub-kutan
6. Aerosol antibiotika juga digunakan untuk tujuan efek sistemik atau efek setempat. Kanamisin sedikit diserap pada
daerah alveoli, sehingga efeknya sangat terbatas
7. Perlintasan zak aktif yang terkandung dalam partikel aerosol terjadi dengan beerapa cara berbeda tergantung pada
keadaan tetesan bahan yang terlarut, partikel terlarut atau tak terlarut.

Senyawa Terlarut
Terdapat dua kemungkinan untuk senyawa terlarut, yaitu:
1. Komponen-komponennya dapat berupa ion atau molekul dengan ukuran tertentu dan penembusan sekat yang terjadi
relatif.
2. Bahan yang dihirup dapat terikat pada komponen surfaktan alveoli. Dalam hal ini, penembusan interstisiel
mencerminkan perubahan molekul diantara kutub endo-alveoli dan cairan sekitarnya. Mekanisme transpor ini terjadi
dengan dua cara yaitu dengan melalui saluran getah bening di lobulus perifer atau lobulus pusat dan ini didukung
dengan oleh pneumosit I secara mikropinositosis. Hambatan mekanisme ini dipengaruhi oleh proses pencucian alveoli,
aktivitas membran pneumosit I dan aktivitas pneumosit II

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 182


Partikel yang Larut
Partikel yang larut menimbulkan masalah yang sama dalam hal integritas penyelimutan alveoli yang rusak akibat
pelepasan protease makrofag yang berkaitan dengan daya sitiksik. Dipermudah pada tingkat sel oleh fenomena pinositosis.
Fagositas dari pneumosit 1 yang tampaknya hanya berperan penting dalam transfer partikel.
Kenyataannya pelarutan partikel menyebabkan perubahan pelapisan sehingga mempermudah perlintasan saat
fungsi epurasi makrofag telah melemah.

Partikel yang Tidak Terlarut


Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perjalanan melalui sekat cukup misterius.Tahap yang sangat tidak jelas
adalah tahap perlintasan melalui bronkiolus dan alveoli. Dua penjelasan yang dapat dikemukakan, yang pertama adalah
terjadinya migrasi seluler (melalui pertukaran septal makrofag alveoler yang dapat dibuktikan pada spesies tertentu) dan
kedua adalah penembusan partikel”murni”, khususnya melalui lapisan protease. Dari pengamatan ini perlu diperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi pada epurasi interstitiel yang berhubungan dengan sitogenesis pneumositI dan pneumosit
2, serta mungkin perbaikan membran.
Perlu dipahami semua hipotesa tentang transfer partikel interstitiel yang mekanisme dengan 3 hal yang masih
dapat berubah:
1. proses elaborasi, komposisi dan peremajaan surfaktan
2. keadaan peremajaan sel epitel alveoli
3. sitogenesis komponen

11.3.1.4.6. Penyerapan di saluran cerna


Partikel yang berhenti di permukaan hidung atau mulut cenderung menembus kedalam saluran cerna setelah
penelanan pertama atau penelanan kedua.
Penyerapan ini terutama penting untuk aerosol tanpa air.Hal ini memperlihatkan pentingnya penelanan
partikel.Sebaliknya penyerapan isoproterenol melalui trakea lebih bermakna dibandingkan penyerapan melalui saluran
cerna.
Terkadang sulit diterapkan jumlah total yang diserap melalui saluran cerna setelah pemakaian aerosol, sulit
menidiakaan kemungkinan adanya penyerapan melalui saluran cerna. Aerosol sangat berperan pada proses penyerapan
tersebut.
Untuk memberikan aktivitas pengobatan yang sama, dosis zak aktif dalam aerosol kecil dibandingkan dosis dalam
bentuk sediaan lainnya.
Dautrebande membuktikan bahwa aerosol murni dengan partikel yang sangat halus dapat mengangkut bahan
obat 30 – 40 kali lebih banyak daripada aerosol polidispersi, dibandingkan aerosol larutan dengan volume 10 kali lebih
besar.
Aerosol monodispersi yang partikel ukurannya mikrometer, memberikan aksi pada permukaan paru yang lebih
dalam.Hal ini telah dibuktikan pada percobaan dari Dautrebande.
Subyek yang menghirup aerosol murni lalu aerosol polidispersi yang masing-masing mengandung campuran
simpatomimetik secara bergantian dalam jumlah pernafasan yang sama. Sebaliknya volume yang sama dari aerosol
polidispersi memberikan suatu meifestasi, dengan jumlah bahan yang diserap oleh mukosa saluran nafas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan aerosol murni dikemungkinkan unutk mempelajari paru hewan atau
manusia secara in situ seperti pada organ terpisah.
Masalah yang selanjutnya dibahas adalah evaluasi keserdiaanhayati sediaan aerosol.

11.3.2 EVALUASI KETERSEDIAAN HAYATI


Dengan memperhatikan definsi ketersediaan hayati, maka segera disadari bahwa untuk sediaan aerosol definisi
tersebut belum jelas.
Mungkinkah dibahas ketersediaan hayati mutlak, atau penyerapan mutlak suatu sediaan farmasi yang suatu ketika
menunjukkan efek sistemik setelah melewati peredaran darah dan di saat lain berefek setempat pada tempat ia sampai dan
partikelnya didepo.
Pada aerosol dengan efek sistemik, adalah mungkin untuk memprakirakan aktivitas farmakologik atau terapetik,
atau menentukan kadar obat dalam darah dan membandingkannya dengan kadar yang didapati dari cara pemberian
intravena atau jika mungkin cara pemberian lainnya.
Tetapi pada aerosol dengan efek setempat masalah yang kedua di mana ukuran partikel sangat mempengaruhi
kerja obat pada permukaan alveoli atau bronchioles terminalis maka tidak mungkin untuk memberikan suatu keputusan
(sebagaimana jika zat aktif tidak dapat melewati dinding alveoli).

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 183


Mengenai hipotesa kedua ini, sangat diperlukan atau bahkan suatu keharusan, untuk melaksanakan studi
ketersediaan hayati relatif dengan membandingkan berbagai formulasi yang berbeda untuk memilih formula yang lebih
aktif secara setempat, efeknya lebih lama, lebih spesifik, lebih cepat sebagai fungsi dari ukuran partikel yang harus
sehomogen mungkin.
Sebelum melakukan penilaian yang tepat tentang ketersrediaan hayati sediaan aerosol, perlu diketahui dengan
pasti beberapa parameter zat aktif aerosol yaitu:
1. stabilitas fisiko-kimia dan stabilitas terapetik dari partikel aerosol yang halus.
2. daerah depo dan perannya untuk menghasilkan efek terapetik yang sesuai dan terukur.
3. laju penyerapan, metabolisme dan atau pembersih untuk menghindari efek sekunder.
4. pengaruh bahan tambahan dalam sediaan terhadap partikel.
Sebelumnya perlu diketahui beberapa hal yang mempengaruhi penilaian hasil penelitian:
 percobaan pada hewan atau manusia dapat mengganggu fungsi pernafasan normal, dan memberikan resiko perubahan
data.
 metode pembuatan aerosol, waktu-kontak dan teknik deteksi partikel yang diekspirasi merupakan faktor-faktor yang
kritis, yang besar pengaruhnya pada percobaan, selanjutnya, jika hasil tidak sesuai dengan pustaka, maka hal tersebut
juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor tersebut dbandingkan faktor lainnya yang berbeda dan telah ditetapkan.
 ukuran partikel harus sehomogen mungkin, teknik pengukuran harus jelas dan cepat dalam hal ini berkaitan denagn
metodologi penelitian.
 selain ukuran partikel, sifat-sifat fisiko-kimia zat aktif seperti kehigroskopisan, walaupun generator aerosol dapat
membuat partikel yang sangat halus namun akan sia-sia bila terjadi peningkatan ukuran partikel selama perjalanan di
dalam saluran.
 pemahaman irama pernapasan manusia atau hewan dan elemen-elemen yang terkait.

11.3.2.1. Jaringan Organ Terpisah


Efek sediaan aerosol telah dipelajari pada berbagai jaringan dan organ terpisah dari saluran napas:
 sel-sel jaringan paru terpisah, dalam keadaan sehat atau sakit (penelitian terhadap gas atau aerosol pencemar);
 hancuran jaringan;
 cincin trakea, kantong trakea;
 paru terpisah (katak);jaringan silia (paru atau bukan paru, misalnya palatum katak);
 getah bronkus, setelah aspirasi in situ atau setelah pengeluaran lendir. Atau musin lambung dari babi yang digunakan
sebagai subyek;
 surfaktan alveolar.
Penggunaan model apapun dalam penelitian harus dibatasi untuk mengurangi toksisitas dan dilakukan pada
senyawa yang aktivitasnya jelas (misalnya pada mucus) dari sediaan aerosol.

11.3.2.2. Subyek Hewan


Pembuktian aktivitas bahan obat yang terbagi halus dalam sediaan aerosol pada tahun 1863 merupakan hasil
penelitian dengan subyek kelinci dari suatu larutan feri klorida yang terbagi halus yang dapat diidentifikasi dalam bronkus
kecil melalui kalium ferosianat.
Penelitian pertama tersebut dilanjutkan dengan percobaan lainnya yang mempelajari ketahanan saluran udara,
tekanan internal, dan juga pembuktian toksisitas dari bahan obat tertentu (SO2) yang digunakan untuk mengencerkan sekret
bronkus.
Pada penelitian yang menggunakan subyek hewan harus hati-hati dalam menarik kesimpulan dan
menghubungkannya dengan manusia karena perbedaan anatomi fisiologi antar dua spesies, walaupun beberapa pengarang
menunjukkan adanya persamaan kurva depo antara hewan pengerat dan manusia.
Pada akhirnya, bila manusia digunakan sebagai subyek percobaan maka terlebih dahulu harus diuji keadaan
subyek percobaan. Cukup mudah untuk mempelajari kadar obat dalam darah dari subyek sehat, namun penelitian aktivitas
setempat dari sediaan aerosol pada kenyataannya sulit dilaksanakan. Sebagai contoh yang tepat adalah pengukuran sifat
reologi lapisan mukosa normal yang hampir tidak dapat dilaksanakan karena pada kenyataannya tidak mungkin mengambil
sejumlah cuplikan yang cukup untuk pengukuran.Sebaliknya pada penderita penyakit bronkitis kronis, lapisan mukosa
sangat tebal sehingga menghambat gerakan silia dan cuplikan mukosa dapat diambil untuk selanjutnya dapat
diteliti.Aktivitas setempat dari cairan getah (yang dapat mengubah sifat alir) tdak dapat dilihat pada penderita bronkitis, dan
subyek itu sendiri yang tanpa mengalami perlakuan, merupakan pembanding.Hal ini selalu dilakukan pada penelitian
ketersediaan hayati.

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 184


11.3.2.3. Subyek Manusia
Berbagai masalah timbul pada penelitian dengan subyek manusia yang berkaitan dengan penentuan aktivitas
setempat atau sistemik zat aktif dalam sediaan aerosol dan masalah tersebut selanjutnya berpengaruh pada protokol
percobaan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
 jumlah aerosol yang dihirup;
 jumlah zat aktif yang terikat dan atau terserap
Untuk menaksir jumlah aerosol yang dihirup, maka diukur volume larutan pendispersi P dan debit udara V pada
waktu yang sama; jadi konsentrasi C per menit dalam volume udara V menjadi:

P
C=
V
Penentuan konsentrasi tersebut hanya bersifat prakiraan karena sebagian aerosol ada yang tertinggal di dalam alat.
Penentuan kadar secara kimia lebih sahih, tetapi partikel-partikel perlu dijerat terlebih dulu dan penjeratan ini dapat
dilakukan dengan barbotage atau dalam wadah tertutup, tetapi lebih baik bila dilakukan dengan ruang elektrostatik.
Penentuan jumlah aerosol yang terikat dan atau tersesap dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
 pengukuran konsentrasi zat aktif dalam aerosol, juga konsentrasi yang terdapat dalam udara ekspirasi serta yang
tertahan dalam tubuh penderita.
 studi radiologi pencacahan zat aktif yang kedap cahaya atau yang berlabel (tetapi hanya berkaitan dengan percobaan
tentang pernapasan dinamik).
 evaluasi kadar obat dalam darah atau efek farmakologi.
 evaluasi perubahan sifat alir getah bronkus secara in situ, atau lendir. Hal ini merupaka uji yang baik tetapi sulit
dilaksanakan bila dimaksudkan untuk meneliti aktivitas setempat dari aerosol, kekentalan cairan bronkus yang
dikeluarkan, aktivitas enzimatik atau malahan beberapa antibiotik.
Untuk menafsirkan setiap hasil penelitian yang berkaitan dengan farmakokinetik digunakan beberapa model
saluran napas yang dapat menggambarkan depo, pembersihan dan model yang khusus digunakan untuk bahan toksik
(pencemar) atau bahan radioaktif.Yang lebih sederhana adalah model satu kompartemen yang mengabaikan adanya partikel
dalam saluran dan partikel yang tertinggal pada saluran napas, tergantung pada jenis aerosol yang dibersihkan.

Kadar obat dalam darah

Konsentrasi aerosol
depo Penahanan pada saluran pembersihan/epurasi
Lama kontak
napas
Volume pernapasan

Respon farmakologi

Bila diperlukan dapat dibuat model saluran napas dengan mempertimbangkan pengaruh ukuran partikel terhadap
nasib aerosol dalam tubuh.Diantara model-model tersebut yang paling terkenal adalah model dari TASK GROUP dan
LUNG DINAMICS.Partikel aerosol yang tertimbun merupakan fungsi dari diameter aerodinamik dari bobot rerata
(DDM).Satu DDM berarti setengah dari bobot aerososl terdiri dari partikel dengan diameter yang lebih besar dari DDM,
separuh lainnya merupakan partikel yang lebih kecil(Gambar 11.10).

Gambar 11.10. Hubungan antara jumlah aerosol yang tersimpan dan diameter aerodinamik rerata setiap satuan bobot
pada 3 (tiga) daerah anatomi saluran udara yaitu daerah nasopharynx, trakea dan bronkus. Volume aliran
1450 ml dan frekuensi pernapasan 15 daur/menit.Daearh bayang-bayang berarsir menyatakan tipe
pelebaran geometrik.

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 185


Saluran napas dibagi menjadi 3 kompartemen:
 kompartemen nasopharynx (NP)
 kompartemen percabangan trakea-bronkus (TB) yang keduanya mempunyai ruang-rugi
 kompartemen paru (bronkiolus, kanal alveoli, kantong alveoli dan alveoli).
Masing-masing memiliki laju pembersihan tertentu.
Model skematis saluran napas tertera pada Gambar 11.11

Partkel Ekspirasi
D1 D2
Partikel yang dihirup
D3
cepat cepat S
Nasopharynx
(a) (b) a
l
cepat u
D Trakea-bronkus cepat r
a (c) (d) a
r (f) n
cepat
a cepat
Paru bagian dalam n
h
pelan a
(g) p
pelan a
(h) s

Getah bening

Gambar 11.11. Skema penembusan partikel [D1: dihirup, D2: dikeluarkan, D3:disimpan dalam bagian nasopharynx (NP), D4: disimpan dalam bagian
trakea-bronkus (TB), D5:disimpan dalam paru (P)] dan pembersihannya: a). langsung dan cepat dari NP menuju sistem peredaran darah;
b). langsung dari NP dengan transpor mukosilier; c). penyerapan cepat dari TB ke dalam peredaran darah; d). pembersih mukosilier
cepat dari TB menuju saluran cerna; e). transpor langsung dari paru menuju darah; f). pembersiahan cepat oleh makrofag intermidier dan
transpor mucocilliaire; g). pembersihan perlahan dengan fenomena endositosis dan transpor endositosis; h). pembersihan perlahan dari
paru ke saluran getah bening; i). transpor dari saluran getah bening ke darah sistemik; j). penyerapan partikel udara bersih dari saluran
cerna ke darah sistemik baik secara langsung atau tidak langsung
Udara elemen radioaktif dari atmosfer dan partikel padat, model ini tidak selalu sama hasilnya dengan yang
diperoleh oleh peneliti lain, terutama untuk partikel kecil atau yang pengudaraan atau penyebarannya beragam. Penggunaan
simulator dengan mekanisme serupa dengan berbagai ketetapan hanya dapat membantu para peneliti menyederhanakan
model percobaan dan lebih dapat diterapkan untuk mengendalikan kondisi lingkungan.
Baru-baru ini, Laros dkk mengungkapkan dua metode baru untuk menyatakan perjalanan senyawa yang dihirup
dan didasarkan atas anatomi dan fisiologi yaitu:
1. MAMILUM atau model paru makromigrasi yang menghubungkan saluran napas dengan saluran tubuh lainnya.
2. MIMILUM atau model paru mikromigrasi yang merupakan saluran penting bagi lewatnya zat aktif sampai ke dinding
saluran dimana ia akan tersimpan dan menuju reseptor.

MAMILUM tersebut digambarkan pada Gambar 11.12 berikut ini:

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 186


Gambar 11.12. Skema jalur yang berkaitan dengan tumbukan zat aktif dalam saluran organ
tubuh utama. d1 = d2+d3+d4+d5, d2= jumlah yang dihirup kembali; d3, d4, d5: jumlah yang berturutan
terdapat pada daerah nasopharynx, percabangan bronkus ke 0-6 dan 17-23. Cs = peredaran
sistemik; RA = Atrium kanan; RV = Ventrikel kanan; LA = Atrium kiri; LV = Ventrikel kiri; DT =
saluran cerna; RT = jalur pernapasan

Setelah penghirupan suatu obat melalui saluran napas eksternal (RT) maka sejumlah tertentu zat aktif yang dihirup
(d1) akan dihembuskan (d2). Depo dapat terjadi pada daerah NP(d3). Penyerapan dan efek d3, d4 ,d5 berkaitan dengan
mamilum; tetapi zat aktif yang dihirup dapat pula mempengaruhi parenkim paru secara langsung melalui saluran cerna,
pembuluh darah atau getah bening.
Melalui lapisan mukosilier, bagian partikel yang tersimpan akan menuju saluran cerna (DT), selanjutnyamemasuki
hati melalui peredaran darah porta dan obat aktif dapat menjadi tidak aktif. Bahan aktif yang diserap oleh getah bening
tidak melewati hati.
Darah dari atrium mengaliri mulut, NPdan empat percabangan pertama dari bronkus, mencapai vena cava superior
kanan dari atrium zat aktif diserap dan memasuki sistem peredaran darah seperti halnya setelah pemberian injeksi intrvena,
intramuskuler, subkutan atau rektal. Seluruh zat aktif dibawa menuju atrium dan ventrikel kiri, demikian pula oleh arteri
bronkus dan menuju percabangan bronkus.
Pada percabangan bronkus ke-5 sampai 17, peredaran darah diatur oleh fleksus vena bronkus sampai ke atrium
dan ventrikel kiri. Zat aktif yang diserap pada permukaan tersebut yang mula-mula mencapai saluran udara melalui
arteribronkus yang menerina 0,2–2% curahan dari ventrikel kiri. Hal yang sama terjadi pada zat aktif yang diserap pada
percabangan bronkus ke-17 hingga 23.
Penyerapan melalui saluran getah bening dapat juga terjadi dari saluran napas bagian atas dan bronkioli, tetapi
tidak di bagian yang lebih bawah.
MIMILIUM menjelaskan perlintasan melalui dinding saluran napas pada berbagai daerah yang berbeda seperti
halnya mekanisme pada daerah membran (pelarutan, penghancuran partikel), demikian pula misalnya intervensi makrofag
alveolar (Gambar 11.13).
Kerumitan model in vivo mendorong keinginan untuk menyederhanakan model tersebut menjadi model in vitro:
 Model saluran cerna dari bahan plastik,
 Model dengan serangkaian labu berpalung dimana partikel-partikel akan mengendap bertahap sesuai dengan ukuran,
bobot jenis, kelarutannya dan lain-lain
 Trakea dan bronkus tiruan untukmenentukan efektifitas penembusan setelah melalui penyaringan ultra,
 Pompa pernapasan tiruan, melingkar dengan bahan penyerap untuk menahan partikel.

Gambar 11.13. Skema perjaanan dalam dinding alat pernapasan pada permukaan mikrosirkulasi (pada percabangan
bronkus ke-04)

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 187


Namun depo partike yang sangat haus sangat sukar dinyatakan dengan model tersebut, sehingga diperukan model
yang dapat menyatakan penyerapan gas bius.

11.3.2.4. Proses Evaluasi Biofarmasetik


Evaluasi ketersediaanhayati aerosol pada manusia mempunyai beberapa kesulitan yang berkaitan dengan:
- pemilihan subyek percobaan (sakit atau sehat)
- efek partikel aerosol (sistemik atau setempat)
Proses selanjutnya yang lebih penting adalah menyatakan efektivitas pengobatan aerosol.
Tahap pertama adalah pemiihan bagian sauran napas yang akan dicapai oleh zat aktif untuk memberikan aksi
setempat atau untuk diserap dan selanjutnya menghasilkan efek sistemik.
Pemilihan tersebut tergantung pada:
- sifat pengobatan dari zat aktif
- diameter partike aerosol
Tahapa kedua adalah pemilihan alat untuk pembuatan sediaan aerosol sedemikian hingga diperoleh diameter
partikel yang diinginkan. Selain itu perlu dipertimbangkan resiko hidratasi partike yang higroskopis dan depo prematur
(dalam penggunaan model in vivo, sehingga derajat kelembaban perlu dikendalikan). Pemilihan alat harus dilengkapi
dengan cara pemberian (tujuan bukal, nasal, masker wajah) karena harus dihindari terjadinya depo yang tidak dikehendaki
dalam saluran napas.
Tahap ketiga adalah peneitian in vivo pada hewan (anjing misalnya) untuk meramalkan toksisitas dan reaksi
samping terjadi setelah pemberian zat aktif dalam aerosol. Hal tersebut dapat dilakukan setelah pemilihan alat dan konduksi
partikel melalui pipa khusus ke berbagai tempat di saluran napas untuk mengamati adanya reaksi-reaksi tertentu termasuk
reaksi sistemik atau setempat.
Percobaan ini juga dilakukan dengan menggunakan larutan zat aktif dengan berbagai bahan tambahan berbeda
untuk diteliti efeknya yang berkaitan dengan sediaan farmasi bertekanan. Selain itu perlu diteliti toksisitas dan penyerapan
gas pendorong pada permukaan saluran misalnya dengan mengevaluasi kadar dalam darah.
Tahap keempat adalah evauasi pada subyek manusia. Dalam hal ini keadaan pemberian dan penghirupan partikel
harus tepat. Ritme pernapasan juga harus ditentukan sebagai fungsi dari aksi yang diharapkan.
Ketersediaanhayati absolut dari zat aktif harus dievaluasi setelah pemberian intravena baik dengan pemberian
sekaligus atau tetes per tetes, atau jika hal itu sukar dilaksanakan maka evaluasi dapat juga dilakukan setelah pemberian per
oral atau lingual (nitrogliserin) dan evaluasi kadar obat dalam darah atau efek farmakologinya.
Jumlah obat yang diberikan harus selalu dievaluasi dengan seksama terutama bila zat aktif bereaksi sangat kuat
pada dosis kecil.
Akhirnya, pengaruh formulasi dapat diperkirakan dengan membandingkan sediaan terhadap suatu larutan air
dengan catatan zat aktif dapat larut dalam air.
Tahap akhir ini diikuti dengan studi ketercampuran obat dan stabilitas zat aktif dalam bentuk terpilih (arutan,
serbuk, bentuk sediaan farmasi bertekanan dan lain-lain)

11.3.3. PENGARUH FORMULASI TERHADAP KETERSEDIAANHAYATI AEROSOL


11.3.3.1. Larutan
Pelarut yang sering digunakan dalam sediaan aerosol adalah:
- air suling steril, didapar atau tidak, hal ini dapat mengubah sifat reologi mukus, mengubah aksi setempat
- larutan NaCl isotonik atau larutan glukosa isotonik untuk menghindari terjadinya atelektasis (pengerutan) seperti
keadaan yang teramati pada pemberian larutan hipertonik.
Selain itudapat pula digunakan:
- air mineral yang mengandung natrium atau sulfur (terutama air Uriage)
- beberapa minyak atsiri alam (terebentina, gomenol); pelarut tersebut merupakan pelarut yang dapat meningkatkan aksi
bakteriostatik senyawa antibiotik.
- alkohol yang dengan cepat menguap dapat partikel dan mengecilkan ukurannya.
- propilenglikol (seperti pearut untuk penisiin, fenileprin, dan isoproterenol)
Kadang-kadang pada pelarut perlu ditambahkan senyawa antioksidan untuk menstabilkan zat aktif yang banyak
kontak dengan udara dan atau senyawa antiseptik untuk meniadakan pertumbuhan mikroba.
Untuk memperlambat proses penyerapan, penembusan partikel aerosol melintasi alveoli dan untuk
memperpanjang efek setempat dapat digunakan pelarut senyawa:
- minyak tumbuhan untuk mengurangi efek sistemik yang merugikan atau tidak berguna
- polivinipirolidon

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 188


- asam p-aminobenzoat
Sebaliknya untuk meningkatkan atau mempercepat penyerapan dapat dapat ditambah bahan-bahan sebagai berikut:
- hialuronidase
- surfaktan
Untuk memperbaiki homogenitas aeroso polidispersi, ke dalam pelarut dapat ditambahkan bahan higroskopis
seperti propilenglikol atau gliserin. Misel yang terjadi akan meningkatkan volume uap air yang mengembun di permukaan
selama perjalanannya dalam saluran napas dan peningkatan ini harus dipertimbangkan.
Akhirnya untuk mengurangi iritasi bahan obat tertentu dapat ditambahkan novokain, propilenglikol atau
trietilenglikol karena sifat bronkodilatasinya.

11.3.3.2. Aerosol tak larut atau aeroso serbuk


Yang dimaksudkan dengan aeroso tak larut adalah bahan obat padat atau serbuk yang diberikan dalam bentuk
aerosol.
Serbuk harus dilindungi dari kelembaban dengan penambahan bahan pelindung, sekaligus sebagai bahan
pengencer yang diameternya mendekati diameter zat aktif sebagai fungsi dari luas permukaan. Tetapi perlu
dipertimbangkan kemungkinan adanya penyerapan zat aktif oleh bahan pengencer.
Metode pemberian aeroso tak larut agak khusus. Misalnya pada pemberian aeroso sulfamida, maka penggunaan
alat klinis yang klasik dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Dua teknik pembuatan aerosol serbuk adalah:
- yang pertama terdiri dari larutan zat padat aktif dalam klorofluorohidrokarbon dan disebarkan dengan pemercik khusus,
misalnya yang digunakan untuk mikrokristal isoprenalin dalam generator aerosol.
- Teknik kedua yang relatif baru adalah serbuk berada dalam suatu gel, sehingga memungkinkan penderita dapat
menghirup partikel halus tanpa kesulitan.
Alat tersebut terdiri dari:
- satu tabung yang dapat bergerak dari atas ke bawah
- baling-baling yang terdapat dalam tabung tersebut dan dilengkapi dengan kuvet sebagai wadah kapsul yang
mengandung serbuk
- kunci pemantik bukal yang dibuat dari peniti baja yang tidak dapat teroksidasi
Pemakaian alat tersebut dilakukan dengan tahap sebagai berikut: alat dibuka dan kapsul dimasukkan ke dalam
kuvet baling-baling, selanjutnya kapsu dilubangi dengan peniti dan setelah terihat hembusan maka tempatkan kunci
pemantik di antara bibir dan hirup dalam-dalam melalui ‘spin haler’. Baling-baling akan bergerak saat aspirasi dan
mendispersikan serbuk tersebut. Ulang beberapa kali hingga sekitar 50% serbuk terdapat di permukaan mulut dan
kerongkongan.
Terdapat pula alat sejenis yaitu ‘aerohaler’ yang pernah dicoba pda tahun 1949.

11.3.3.3. Bentuk sediaan bertekanan


Meskipun data efektivitas obat yang diberikan lewat jalur napas beum tercantum dalam Farmakope, namun
nyatanya banyak digunakan sediaan bertekanan yang mengandung zat aktif anti-radang, bronkodilator, vaksin antibiotika
dan lain-lain.
Sejumlah faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi aktivitas sediaan bertekanan adalah:
- jenis gas pendorong (gas padat N2, gas cair CHCIF)
- tetapan dielektrik gas pendorong (terutama kloroflour hidrokarbon)
- tekanan dan jumlah gas pendorong
- kekentalan sediaan (terutama penting untuk suspensi)
- tegangan permukaan
- bobot jenis campuran yang disemprotkan (gas dan larutan alkohol zat aktif )
- pelarut yang digunakan untuk larutan atau suspensi zat aktif (alkohol, glikol, hindari minyak)
- keadaan zat aktif dalam campuran (kristal tersuspensi atau terlarut dalam gas atau pelarut)
- ukuran partikel zat aktif (suspensi 25–27 mikrometer) dan kecenderungannya untuk menggumpal selama penyimpanan
- derajat hidratasi kristal zat aktif
- surfaktan dalam campuran
- bahan tambahan dalam sediaan (pelincir, anti penggumpalan dan lain-lain)
- lama pemakaian (perubahan dosis perlu diketahui).
Sediaan aerosol obat umumnya dipancarkan dengan bantuan katup pembagi yang mengeluarkan suatu volume
tertentu setiap penekanan tombol, volume ini dapat dan harus ditentukan dengan tepat (merupakan kelebihan dibandingkan

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 189


dengan bentuk sediaan lainnya), katup ini menyangga kunci pemantik yang relatif panjang dan berperan ganda, yaitu
sebagai jerat untuk partikel-partikel besar dan memanasi kembali sediaan saat kontak dengan mukosa.
Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi pembagian zat aktif yang halus. Pada sediaan yang mengandung bahan
tambahan dalam sediaan akan meningkatkan ukuran partikel secara bertahap dan mengubah depotnya dalam mukosa.
Tergantung pada formula pada pembuatan sediaan maka aktivita sediaan aerosol tersebut tidak selalu seperti yang
diharapkan.
Telah diketahui bahwa bila nitrogen digunakan sebagai gas pendorong (atau gas pelarut yang tidak dicampuri
dengan larutan zat aktif) dan karena busanya sangat halus maka cairan dalam sediaan aerosol dapat terbagi menjadi partikel
yang cukup halus untuk mencapai alveoli paru. Bila memungkinkan energi partikel ini diharapkan dapat menyebabkan
pengendapan dengan cara tumbukan dalam saluran napas. Cairan dalam jumlah sedikit dapat mencapai alveoli, tetapi
menjadi tidak aktif bila konsentrainya sangat rendah. Sebaliknya partikel yang mengendap karena tumbukan dalam saluran
napas akan diserap oleh mukosa bukal, bronkus dan lain-lain, selanjutnya memperlihatkan aksi pada saluran napas setelah
melalui peredaran darah (lihat mamilum). Peranan pemantik sangat penting karena umumnya bentuk sediaan diberikan
melalui lubang hidung atau disemprotkan ke dalam kerongkongan.
Jika nitrogen digunakan sebagai gas pendorong, dan zat aktif dilarutkan atau disuspensikan dalam klorofluoro
hidrokarbon, maka diameter partikel yang diperoleh lebih berpengaruh dibandingkan jumlah gas.Semakin banyak jumlah
gas maka ukuran partikel saat terjadi kontak dengan udara semakin kecil.Bila zat aktif yang dikeluarkan oleh alat pembagi
dosis berjumlah sedikit, maka perlu dilakukan beberapa kali penyemprotan. Partikel-partikel yang besar dapat menyumbat
saluran pemantik, sedangkan partikel yang halus akan dihirup dan mencapai bagian trakeo-bronkus, serta sangat jarang
dapat mencapai bagian paru yang lebih dalam. Pada daerah trakea-bronkus, partikel akan didepo dengan mekanisme
tumbukan dan pengendapan, kemudian dengan cepat diserap, memasuki peredaran sistemik dan segera menunjukkan
aksinya. Aksi yang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan aerosol polidispers (walau diameternya lebih kecil dari 5 μm,
seperti yang disebutkan dalam farmakope).
Peningkatan aksi yang sangat cepat tersebut menjelaskan mengapa dapat terjadi kecelakaan pada pengobatan asma
dengan aerosol yang mengandung bronkodilator (adrenalin dan lain-lain).Subyek merasa bahwa awan partikel tidak
berbahaya dan dengan penjelasan medis yang cukup sederhana. Bila jumlah zat aktif yang mencapai alveoli sangat kecil,
maka hanya akan diperoleh efek setempat.
Mekanisme aksi tersebut mendekati cara pemberian serbuk melalui jalur tersebut.
Perlu dicatat bahwa efektivitas pengobatan aerosol merupakan fungsi dari jumlah zat aktif yang tertahan dan
jumlah tersebut yang berhubungan langsung dengan irama pernapasan subyek.Seorang penderita dalam keadaan kritis sulit
melakukan pernapasan yang dalam dan inspirasi yang bermakna, hal ini merupakan factor yang dipertimbangkan dalam
menentukan lama aktivitas sediaan dengan aerosol. Pada pemberian aerosol obat, seluruh kompartemen saluran paru dapat
menjadi jenuh oleh partikel obat, hal ini di satu sisi disebabkan oleh kontak yang kurang dari sepuluh menit dan disisi lain
karena jumlah yang diberikan jauh lebih berperan, walaupun ritmen pernapasan subyek tidak seuai dengan irama normal.

11.3.3.4. Zat aktif dalam sediaan aerosol


Pemilihan bahan obat didasarkan atas prinsip berikut ini :
- penggunaan bentuk aerosol hanya menguntungkan bila konsentrasi zat aktif saat kontak lebih besar dari konsentrasi
setelah pemberian lewat jalur pemberian lainnya.
- zat aktif harus benar-benar beraksi pada permukaan saluaran nafas.
Oleh sebab itu zat aktif harus memenuhi dua syarat utama yaitu :
- pelarutan zat aktif dalam cairan pembawa harus setinggi mungkin
- aktivitas terapetik harus tampak pada dosis kecil, dengan kata lain dosis per oral juga kecil.
Zat aktif dengan posologi 24 jam dalam jumlah berbilang gram, bila diberikan dalam bentuk aerosol maka
efektivitasnya lebih rendah dibandingkan bila diberikan lewat oral, karena tidak mungkin untuk menyerbuk harus sejumlah
besar bahan obat sehingga mencapai ukuran aktif.
Sebaliknya, obat dengan posologi 24 jam dalam jumlah milligram atau sentigram dapat diberikan dalam bentuk
sediaan aerosol. Dengan cara pemberiaan aerosol memungkinkan dicapainya konsentrasi pada titik tangkap yang lebih
besar dibandingkan konsentrasi yang dicapai bila obat diberikan melalui cara pemberian. Untuk bronkodilator, dosis efektif
dengan aerosol adalah 1/200 kali dibandingkan dosis per oral. (isoprenalin)
Tidak adanya toksisitas zat aktif juga harus dipastikan, karena dalam banyak hal pemakaian berulang dapat
dilakukan tanpa resiko toksisitas.
Jumlah larutan yang diberikan untuk seluruh permukaan saluran pernapasan umumnya 1,5 x 10 8μ1/cm2 (luas
total permukaan saluran pernapasan adalah 80–100 m2.

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 190


Zat aktif dapat diberikan dalam bentuk aerosol dan dapat dibedakan menurut tujuan pemakaiannya terhadap
penyakit paru (Tabel I) atau untuk aksi sistemik (Tabel II).

Tabel 11.1. Bahan aktif yang digunakan dalam sediaan aerosol pada pengobatan penyakit bronkopulmoner
1. Bahan aktif infeksi
a. Antibiotika
- betalaktam - penisilin, penisilin G, ampisilin, metisilin, oksasilin
- sefalosporin, sefalotin, sefaloridin
- gentamisin, kenamisina, framisetina, neomisina
- oksitetrasiklin
- oligosakarida - kloramfenikol, koramfenikol hemisuksinat, tiamfenikol glisinat
- tetrasiklina - linkomisin
- khloramfenikol - kolistin, polimiksin B, rifamisin

- makrolida - natrium sulfamerazin,sulfatiasol


- antibiotika lain - vaksin:CCB,MRV
b. sulfamida
- sulfamida
- vaksin
2. Anti radang
a. pirazolon - fentilbutazon
b. kortikoida - hidrokortison hemisuksinat, triamsinolon, hidrokortison asetat,
beklometason

3. Bronkodilator
a. simpatomimetika - isoprenalin, orsiprenalin, salbutamol, difenilorsiprenalin, terbutalin

b. teofilina dan turunannya - piperasin asefilinat, teofilin, para-amin piperazin

c. anti kolinergik - atropin sulfat dan antropin metilnitrat

4. Bahan pengencer
a. enzim - trispin, alfakimotripsin,
b. bahan pembasah - alevair, elektrolit (NaCl,NaCl2, ammonium sulfat)
c. reduktor - n-asetilsistein, asam askorbat
d. alkaloida - bromheksin

5. Sediaan lainnya
a. air hangat
b. antihistamin

Bahan aktif beraksi sistemik yang digunakan dalam sediaan aerosol:


- vasokonstriktor : epinefrin, benzedrin
- vasodilator : kolin ester
- kardiotonik : digitalin, kuobain
- diuretika : kofein, teobromin
- konvulsan : striknin
- penekan sistem saraf : barbiturat pusat
- hormon : estrogen, insulin
- antibiotik
- salisilat, dl.

Biofarmasi Fakultas MIPA UMN Medan 191

Anda mungkin juga menyukai