Anda di halaman 1dari 15

NAMA : S.

NIDAA’AN KHAFIYA, LM
KELAS : 2A
MATKUL : KDKK
DOSEN PENGAMPU : NI PUTU KARUNIA EKAYANI SST, M. KES
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai
perawatan atau pengobatan bahkan pencegahan terhadap berbagai gangguan yang terjadi di dalam
tubuh. Beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi pengobatan diantaranya absorpsi obat, distribusi
obat dalam tubuh, metabolism obat, dan ekskresi.
Obat memiliki dua efek yakni efek terapeutik dan efek samping. Efek terapeutik obat memiliki
kesesuaian terhadap efek yang diharapkan sesuai dengan kandungan obatnya seperti paliatif
(berefek untuk mengurangi gejala), kuratif (memiliki efek pengobatan), suportif (menaikkan fungsi
atau respon tubuh), subtitutif (sebagai pengganti), efek kemoterapi (berefek untuk mematikan atau
menghambat), restorative ( berefek pada memulihkan fungsi tubuh yang sehat). Efek samping
merupakan dampak yang tidak diharapkan, tidak bisa diramal, dan bahkan kemungkinan dapat
membahayakan seperti adanya alergi, penyakit iatrogenic, kegagalan dalam pengobatan, dan lain-
lain.
Pemberian obat kepada pasien dapat dilakukan melalui beberapa cara diantaranya : oral, parenteral,
rectal, vaginal, kulit, mata, telinga, dan hidung. Dengan menggunakan prinsip enam tepat dalam
pengobatan yakni tepat pasien, obat, dosis, rute, waktu, dan dokumentasi.

1.2 Tujuan
untuk mengetahui teknik dan cara pemberian obat melalui rektum
BAB II
KONSEP TEORI

2.1 Pengertian Pemberian Obat Melalui Rektal


Pemberian Obat via Anus/Rektum Merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan
obat melalui anus atau rektum, dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik. Tindakan
pengobatan ini disebut pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk mendapatkan efek terapi
obat, menjadikan lunak pada daerah feses dan merangsang buang air besar. Contoh pemberian obat
yang memiliki efek lokal seperti obat dulcolac supositoria yang berfungsi secara lokal untuk
meningkatkan defekasi dan contoh efek sistemik pada obat aminofilin suppositoria dengan
berfungsi mendilatasi bronkus. Pemberian obat supositoria ini diberikan tepat pada dinding rektal
yang melewati sfingter ani interna. Kontra indikasi pada pasien yang mengalami pembedahan
rektal.
Obat dapat diberikan melalui rektal. Obat dalam bentuk cairan yang banyak diberikan
melalui rektal yang disebut enema. Obat tertentu dalam bentuk kapsul yang besar dan panjang
(supositoria) juga dikemas untuk diberikan melalui anus/ rektum.
1. Supositoria merupakan bentuk obat yang paling sering dignakan secara rektal pada anak.
Obat ini biasanya dikombinasikan dengan basa gliserin atau lanolin yang mencair pada suhu
tubuh.
Ada beberapa keuntungan penggunaan obat supositoria antara lain:
a. supositoria tidak menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan bagian atas
b. beberapa obat teretentu dapat di absorpsi dengan baik melalui dinding permukaan
rektum.
c. Supositoria rektal diperkirakan mempunyai tingkatan (titrasi) aliran pembuluh darah
yang besar, karena pembuluh darah vena pada rektum tidak ditransportasikan melalui
liver.
2. Pemberian obat elalui enema
a. Umumnya, obat diberikan di dalam enema. Ikuti prosedur lembaga untuk pemberian
enema pada anak.
b. Anak, khususnya selama masih bayi, sangat rentan mengalami kelebihan cairan dan
ketidakseimbangan elektrolit karenanya, alat bantu serta jumlah larutan untuk enema
harus dievaluasi secara cermat.

Ada beberapa prinsip yang harus dipegang dalam memberikan obat dalam bentuk enema dan
sipositoria, antara lain:
a. Untuk mencegah peristaltik, lakukan enema retensi secara pelan dengan cairan sedikit (tidak
lebih dari 120ml) dan gunakan rektal tube kecil.
b. Selama enama berlangsung, anjurkan pasien berbaring miring ke kiri dan bernapas melalui
mulut untuk merilekskan spingter.
c. Retensi enema dilakukan setelah pasien buang air besar
d. Anjurkan pasien untuk berbaring telentang 30 menit setelah pemberian enema
e. Obat supositoria harus disimpan di lemari es karena obat akan meleleh pada suhu kamar.
f. Gunakan pelindung jari atau sarung tangan. Gunakan jari telunjuk untuk pasien dewasa dan
jari ke empat pada pasien bayi.
g. Anjurkan pasien tetap miring ke kiri selama 20 menit setelah obat masuk.
h. Bila diperlukan, beritahu pasien cara mengerjakan sendiri enema atau memasukkan
supositoria.

2.2 Tujuan/manfaat
Memberikan efek lokal dan sistemik. Contoh: efek local untuk melunakkan faeces dan
merangsang/melancarkan defekasi, efek sistemik untuk dilatasi bronkus.
Manfaat memberikan obat melalui rektuk yaitu tidak menimbulkan iritasi pada saluran
bagian atas, mempunyai tingkatan aliran pembuluh darah yang besar (pembuluh darah di rectum
tidak ditransportasikan melalui liver), dan pada obat tertentu diabsorpsi dengan baik melalui
dinding rectum.

2.3 Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Obat Melalui Rektum


A. INDIKASI
1. Konstipasi

Konstipasi berhubungan dengan jalur pembuangan yang kecil, kering, kotoran yang keras,
atau tidak lewatnya kotoran di usus untuk beberapa waktu. Ini terjadi karena pergerakan feses
melalui usus besar lambat dimana reabsorbsi cairan terjadi di usus besar. Konstipasi berhubungan
dengan pengosongan kotoran yang sulit dan meningkatnya usaha atau tegangan dari otot-otot
volunter pada proses defekasi.

Ada banyak penyebab konstipasi :


a. Kebiasaan buang air besar (b.a.b) yang tidak teratur
Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan konstipasi adalah kebiasaan
b.a.b yang tidak teratur. Refleks defekasi yagn normal dihambat atau diabaikan, refleks-
refleks ini terkondisi menjadi semakin melemah. Ketika kebiasaan diabaikan, keinginan
untuk defekasi hilang.
Anak pada masa bermain biasa mengabaikan refleks-refleks ini; orang dewasa
mengabaikannya karena tekanan waktu dan pekerjaan.
Klien yang dirawat inap bisa menekan keinginan buang air besar karena malu
menggunakan bedpan atau karena proses defekasi yang sangat tidak nyaman. Perubahan
rutinitas dan diet juga dapat berperan dalam konstipasi. Jalan terbaik untuk menghindari
konstipasi adalah membiasakan b.a.b teratur dalam kehidupan.
b. Penggunaan laxative yang berlebihan
Laxative sering digunakan untuk menghilangkan ketidakteraturan buang air besar.
Penggunaan laxative yang berlebihan mempunyai efek yang sama dengan mengabaikan
keinginan b.a.b – refleks pada proses defekasi yang alami dihambat. Kebiasaan pengguna
laxative bahkan memerlukan dosis yang lebih besar dan kuat, sejak mereka mengalami efek
yang semakin berkurang dengan penggunaan yang terus-menerus (toleransi obat).
c. Peningkatan stres psikologis
Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak
peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat
menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon ). Yang
berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal, meningkatnya jumlah
mukus dan adanya periode pertukaran antara diare dan konstipasi.
d. Ketidaksesuaian diet
Makanan lunak dan rendah serat yang berkurang pada feses menghasilkan produks
ampas sisa yang tidak cukup untuk merangsang refleks pada proses defekasi. Makan rendah
serat seperti; beras, telur dan daging segar bergerak lebih lambat di saluran cerna.
Meningkatnya asupan cairan dengan makanan seperti itu meningkatkan pergerakan
makanan tersebut.
e. Obat-obatan
Banyak obat-obatan dengan efek samping berupa konstipasi. Beberapa di antaranya
seperti ; morfiin, codein, sama halnya dengan obat-obatan adrenergik dan antikolinergik,
melambatkan pergerakan kolon melalui kerja mereka pada sistem syaraf pusat. Penyebab
lainnya seperti: zat besi, mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada
mukosa usus menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat
menyebabkan diare pada sebagian orang.
f. Latihan yang tidak cukup
Pada klien dengan masa rawat inap yang lama, otot secara umum akan melemah,
termasuk otot abdomen, diafragma, dasar pelvik, yang digunakan pada proses defekasi.
Kurangnya latihan secara tidak langsung dihubungkan dengan berkurangnya nafsu makan
dan kemungkinan kurangnya jumlah serat yang penting untuk merangsang refleks pada
proses defekasi.
g. Umur
Pada manula, otot-otot dan tonus spinkter semakin melemah turut berperan sebagai
penyebab punurunan kemampuan defekasi.
h. Proses penyakit
Beberapa penyakit pada usus dapat menyebabkan konstipasi, beberapa di antaranya
obstruksi usus, nyeri ketika defekasi berhubungan dengan hemorhoid, yang membuat orang
menghindari defekasi; paralisis, yang menghambat kemampuan klien untuk buang air besar;
terjadinya peradangan pelvik yang menghasilkan paralisis atau atoni pada usus.
Konstipasi bisa jadi beresiko pada klien, regangan ketika b.a.b dapat menyebabkan
stres pada abdomen atau luka pada perineum (post operasi); Ruptur dapat terjadi jika
tekanan saat defekasi cukup besar. Ditambah lagi peregangan sering bersamaan dengan
tertahannya napas. Gerakan ini dapat menyebabkan masalah serius pada orang dengan sakit
jantung, trauma otak, atau penyakit pada pernapasan. Tertahannya napas meningkatkan
tekanan intra torakal dan intrakranial. Pada kondisi tertentu, tekanan ini dapat dikurangi jika
seseorang mengeluarkan napas melalui mulut ketika mengejan/regangan terjadi.
Bagaimanapun, menghindari regangan merupakan pencegahan yang terbaik.

2. Impaksi Feses (tertahannya feses)

Impaksi feses dapat didefenisikan sebagai suatu massa atau kumpulan yang mengeras, feses
seperti dempul pada lipatan rektum. Impaksi terjadi pada retensi yang lama dan akumulasi dari
bahan-bahan feses. Pada impaksi yang gawat feses terkumpul dan ada di dalam colon sigmoid.
Impaksi feses ditandai dengan adanya diare dan kotoran yang tidak normal. Cairan merembes
keluar feses sekeliling dari massa yang tertahan. Impaksi dapat juga dinilai dengan pemeriksaan
digital pada rektum, selama impaksi massa yang mengeras sering juga dapat dipalpasi.

Diare yang bersama dengan konstipasi, termasuk gejala yang sering tetapi tidak ada keinginan
untuk defekasi dan nyeri pada rektum. Hadirnya tanda-tanda umum dari terjadinya penyakit ; klien
menjadi anoreksia, abdomen menjadi tegang dan bisa juga terjadi muntah.

Penyebab dari impaksi feses biasanya kebiasaan buang air besar yang jarang dan konstipasi.
Obat-obat tertentu juga berperan serta pada impaksi. Barium digunakan pada pemeriksaan radiologi
pada saluran gastrointestinal bagian atas dan bawah dapat menjadi faktor penyebab, sehingga
setelah pemeriksaan ini hasil pengukuran diperoleh untuk memastikan pergerakan barium.

Pada orang yang lebih tua, faktor-faktor yang beragam dapat menyebabkan impaksi; asupan
cairan yang kurang, diet yang kurang serat, rendahnya aktivitas, melemahnya tonus otot.
Pemeriksaan digital harus dilakukan dengan lembut dan hati-hati karena rangsangan pada nervus
vagus di dinding rektum dapat memperlambat kerja jantung pasien.

3. Persiapan pre operasi

Biasanya pada semua tindakan operasi sebelumnya di lakukan enema. Anastesia umum
(GA) dalam pembedahan bisa diberikan melalui enema dengan tujuan untuk mengurangi efek
muntah selama dan setelah operasi, juga mencegah terjadinya aspirasi.

4. Untuk tindakan diagnostik misalnya pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi seperti colonoscopy, endoscopy, dll.

5. Pasien dengan melena

B.  Kontra Indikasi
Irigasi kolon tidak boleh diberikan pada pasien dengan diverticulitis, ulcerative colitis,
Crohn’s disease, post operasi, pasien dengan gangguan fungsi jantung atau gagal ginjal, keadaan
patologi klinis pada rektum dan kolon seperti hemoroid bagian dalam atau hemoroid besar, tumor
rektum dan kolon.
2.4 Dosis dan cara penggunaan.

Merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan obat melalui anus atau rektum,
dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik. Tindakan pengobatan ini disebut pemberian
obat suppositoria yang bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat, menjadikan lunak pada
daerah feses dan merangsang buang air besar.

Contoh pemberian obat yang memiliki efej lokal seperti obat dulcolac supositoria yang
berfungsi secara lokal untuk meningkatkan defekasi dan contoh efek sistemik pada obat aminofilin
suppositoria dengan berfungsi mendilatasi bronkus. Pemberian obat supositoria ini diberikan tepat
pada dnding rektal yang melewati sfingter ani interna.

2.5 Efek samping


Secara umum Dumin rectal tube (paracetamol) bisa ditoleransi dengan baik oleh sebagian
besar orang, selama diberikan pada dosis yang dianjurkan. Berikut adalah beberapa efek samping
Dumin rectal tube (paracetamol) yang mungkin terjadi :

 Obat ini bisa menyebabkan kerusakan hati terutama jika penggunaanya melebihi dosis yang
dianjurkan. Potensi efek samping ini meningkat pada orang-orang yang mengkonsumsi
alkohol.
 Efek samping pada ginjal relatif jarang. Namun pada penggunaan jangka panjang, dapat
meningkatkan resiko kerusakan ginjal termasuk gagal ginjal akut.
 Efek samping pada kulit kejadiannya jarang. Pada tahun 2013, FDA (US Food and Drug
Administration) memperingatkan kemungkinan terjadinya efek pada kulit
seperti sindrom stevens-johnson dan nekrolisis epidermal toksik akibat pemakaian
paracetamol, meski hal ini sangat jarang namun bisa fatal jika terjadi.
 Beberapa ahli menyarankan untuk menghindari penggunaan obat ini pada penderita asma
terutama anak-anak, karena ada kemungkinan menyebabkan peningkatan resiko asma
ataupun memperburuk penyakit asma yang telah diderita sebelumnya.
 Reaksi hipersensitivitas akibat pemakaian obat ini sangat jarang, namun jika terjadi
pertolongan medis harus segera diberikan karena bisa menyebabkan syok anafilaksis yang
berakibat fatal
 Beberapa ahli mengaitkan penggunaan paracetamol oleh ibu hamil, dengan resiko
terjadinya asma pada anak-anak dan peningkatan ADHD. Namun paracetamol tetap
dianjurkan sebagai obat pilihan pertama untuk nyeri dan demam selama kehamilan, meski
tetap harus memperhatikan resikonya.

2.6 Teknik/cara pemberian


1. Cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Gunakan sarung tangan.
4. Buka pembungkus obat dan pegang dengan kain kasa.
5. Oleskan ujung pada obat suppositoria dengan pelicin.
6. Regangkan glutea dengan tangan kiri, kemudian masukkan suppositoria dengan perlahan
melalui anus, sfingter anal interna dan mengenai dinding rektal kurang lebih 10 cm pada orang
dewasa, 5 cm pada bayi atau anak.
7. Setelah selesai tarik jari tangan dan bersihkan daerah sekitar anal dengan tisu.
8. Anjurkan pasien untuk tetap berbaring telentang atau miring selama kurang lebih 5 menit.
9. Setelah selesai lepaskan sarung tangan ke dalam bengkok.
10. Cuci tangan.
11. Catat obat, jumlah dosis, dan cara pemberian.

BAB III
PROSEDUR TINDAKAN

No LANGKAH RASIONAL Gambar Prosedur


.
Pengkajian
1. Review order yang Menjamin keamanan dan
mencakup nama klien, ketepatan administrasi
nama obat, dosis, bentuk obat peda klien
obat, rute, dan waktu
pemberian
2. Review informasi yang Mengizinkan perawat
brehubungan dengan untuk memberikan
pengibatan, meliputi efek pengobatan dan
saat diberikan kepada memonitor
tubuh, tujuan, efek
samping, dan implikasi
keperwatannya
3. Reviw medikal Record Kondisi yang menjadi
untuk tindakan oprasi kontra indikasi supositoria
pada rektum
4. Reviw berbagai tanda Kondisi tersebut mungkin
dan gejala dari masalah menjadi indikasi
perut (konstipasi atau penggunaan supositoria
diare)
5. Kaji kemampuan klien Keterbatasan gerak
untuk melakukan posisi mengindikasikan
saat pemberian ketidakmampuan
supositoria dan memberikan obat sendiri
memertahankan obat
6. Review pengetahuan Indikasi pemberian
klien pada tujuan terapi pendidikan kesehatan.
supositoria dan Level motivasi berefek
ketertarikannya untuk pada pendekantan
melakukan administrasi pembelajaran
sendiri
Perencanaan
1. Hasil yang diinginkan:
          Klien melaporkan Obat efektif
tanda dan gejala hilang
setelah obat diberikan Feedback proses belajar
           Klien menjelaskan klien
tujuan pengobatan Mendemonstrasikan
          Klien melakukan pembelajaran
administrasi pupositoria
2. Cek kelengkapan dan Lembar order merupakan
keakuratan MAR dengan sumber terpercaya dan
catatan order obat, cek satu-satunya catatan legal
nama klien, nama obat, obat. Pastiak kebenaran
rute pemberian, dosis, medikasi
dan waktu pemberian.
Bandingkan MAR
dengan label obat 3 klai
selama persiapan
3. Cek gelang identitas Memastikan benar pasien
klien dan tanyakan
namanya
4. Terangkan prosedur pada Memberikan kepahaman
klien, lakuakn secara pada klien dan
spesifik jika klien meningkatkan keja sama.
mengininkan Klien mungkin untuk
melakukannya sendiri melakukan sendiri
medikasi supositoria
Implementasi
1. Tutup pintu atau batasi Memberikan privasi dan
dengan pembatas meminimalisasi rasa malu

2. Lakukan cuci tangan, Mengirasi transfer


rapika alat sesuai urutan, mikroorganisme.
dan gunakan sarung Membantu perawat dalam
tangan tindakan yang cekatan

3. Bantu klien mencapai Posisi tersebut


posisi Sim’s dengan kaki mengekspose anus dan
bagian atas fleksi memebnatu klien
mengarah ke kepala merelaksasikan spingter
eksternal. Posisi miring
kiri meminimalisasi
kemungkinan supositoeia
dan feses keluar
4. Pastikan hanya area anal Memberikan privasi dan
yang terbuka rasa relax
5. Periksa kondisi anus Meastikan tidak terjadi
eksternal, dan palapasi perdarahan pada rektum,
dinding rektum jika palapasi memastikan
perlu. Buka sarung rektum tidak berisi feses
tangan dengan aman dan yang mengkin menggangu
buang ke tenpat sampah penempatan supositoria.
infeksius Mengirang transmisi
mikroorganisme
6. Gunakan sarung tangan Minimalisasi kontak
baru dengan material feses dan
mengurangi transmisi
mikroorganisme
7. Keluarkan supositoria Lubrikan mengurang
dari kemasan, berkan gesekan saat supositoria
lubrikan pada ujungnya. memasuki rektum
Lubrikasi juga jari tengah
dari tangan dominan, jika
klien punya hemoragi,
berikan lubrikan yang
lebih banyak dan lakukan
secara lembut
8. Minta klien untuk tarik Mengurang nyeri dan
napas dala lewat mulut memuluskan pemasukan
dan merilekskan spingter
eksterna
9. Pisahkan bokong klien Supositoria harus
dengan tangan menempel di mukosa anus
nondominan. Dengan jari untuk absorbsi  dan aksi
tengah tangan obat yang lebih efektif
nondominan masukan
supositoria secara halus
ke dalam anus, melewati
spingter internal,
menempel di dinding
anus sedalam 10 cm (4
inchi)
10. Tarik jari, dan bersihkan Meberikan rasa nyaman
area anal
11. Lepaskan sarung tangan Mengurangi transmisi
dengan aman dan mikroorganisme
masukan ke tempat
sampah tertentu
12. Minta klien untuk tidur Menghindari keluarnya
terlentang atau tetap pada supositoria
satu sisi selama 5 menit
13. Bila supositoria Kontrol eliminsi berlebih
mengandung laksatif atau
detergen fekal, sipakan
bedpen yang mudah
dijangkau klien
14. Bila supositoria dierikan Memberikan kesempatan
untuk konstipasi, kepada staff untuk
ingatkan klien untuk mengevaluasi hasil dari
tidak mengguyur toilt supositoria
setelah defekasi
15. Lakukan cuci tangan, dan Menurunkan resiko
buang sarung tangan, transmisi mikroorganisme
bersihkan alat
Evaluasi
1. Kembali 5 menit Memastikan jika obat
kemudian untuk terdistribusi dengan baik,
memestikan supositoria pemasukan kembali
tidak keluar mengkin perlu
2. Tanyakan apakah klien Memastikan apakah
mengalami pemasukan supositoria
ketidaknyamanan selama mengiritasi
pemasukan
3. Evaluasi apakah sanda Memastikan efektifitas
dan gejala hilang pada obat
masalah eliminasi
4. Minta klien untuk Mencerminkan kepahaman
menjelaskan kembali klien tentang tujuan
tujuan dari medikasi pengibatan
5. Izinkan klien untuk Demonstrasi adalah alat
melakukan redemonstrasi ukur pembelajaran
untuk pengobatan
berikutnya
BAB IV
KESIMPULAN
Pemberian obat melalui rektum merupakan pemberian obat dengan memasukan obat melalui
anus dan kemudian rectum dalam bentuk suppositoria, salep (cream), cairan (larutan).
Tujuan :    memberikan efek lokal dan sistemik. Contoh: efek local untuk melunakkan faeces dan
merangsang/melancarkan defekasi, efek sistemik untuk dilatasi bronkus. Kontraindikasi : klien
dengan pembedahan rectal
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/11748024/Pemberian_Obat_via_Anus_Rektum_Pemberian_Obat_via_
Anus_Rektum?auto=download

https://www.honestdocs.id/dumin-rectal-tube

https://www.academia.edu/11712676/Pemberian_Obat_Melalui_Vagina_dan_Rektum

https://id.scribd.com/document/348602264/Teknik-Pemberian-Obat-Melalui-Rektum

Anda mungkin juga menyukai