Fiction
2. Story
3. 20 Apr 20 | 17:50
pexels.com/AndreaPiacquadio
Verified Writer
Febby Arshani
Ini menyenangkan. Tenggelam dalam lautan rumput liar yang lebih tinggi dari batas lutut orang
dewasa sambil memandangi langit sore yang kelabu. Juga hembusan angin yang membuat
rumput di lapangan bola ini bergoyang, meniup gumpalan awan muram ke sisi lain kota ini, dan
mengaburkan suara di sekitarku. Aku benar-benar menyukainya.
Mungkin juga tidak karena aku harus mendengar Lutfi menghembuskan napasnya dengan
dramatis lalu tertawa pelan.
“Apa yang kau tertawakan, bung?” kataku tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.
“Sungguh?”
Hening. Tapi aku yakin sekali kalau saat ini dia sedang menganggukkan kepalanya dengan
antusias.
“Baiklah.” Aku mendengar suara gemerisik pelan dari tempatnya berbaring. “Aku hanya teringat
kembali ke masa lalu. Kau tahu, saat pertama kali aku mengenal dan sepenuhnya jatuh padamu
tapi kau malah mengira aku menyukai temanmu dan mulai men-ciye-ciye aku dan temanmu.”
Oh ya. Aku ingat itu. Semester terakhir di tahun terakhir kami di sekolah. Enam bulan penuh
dengan tugas, pengorbanan, drama, dan waktu luang yang terlalu banyak untuk dihabiskan di
sekolah demi uang jajan yang tidak seberapa.
Aku menolehkan kepalaku ke samping, membuat mataku bertemu pandang dengan matanya.
“Kemudian kau langsung melemparkan bola basket ke sembarang arah saat aku memergoki
dirimu diam-diam sedang mengamati temanku yang sama sempurnanya denganmu.”
“Aku serius!”
Aku menggeser posisi tubuhku agar bisa berbaring menghadap ke arahnya. Agar aku bisa
melihat wajah dan senyum malu-malunya dengan jelas, lebih tepatnya. “Kenapa? Kau kan bisa
memotretku diam-diam lewat ponselmu. Atau mengambil fotoku di media sosialku.”
“Pertama, tidak ada yang membawa ponsel saat pelajaran olahraga. Kedua”—dia menyelipkan
sejumput rambutku ke belakang telingaku—“kau tidak memasang foto dirimu sendiri di semua
media sosialmu.”
“Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah merekam setiap detail yang ada pada wajahmu
—juga hal lain yang ada dalam dirimu—sebanyak mungkin di dalam kepalaku. Jadi, saat kita
sudah lulus dan tiba-tiba aku merindukanmu, aku bisa mengingatnya dengan mudah,”
gumamnya.
Di tengah cahaya temaram dan bayangan gelap, aku mengulurkan tanganku ke arahnya.
Mencoba untuk menyentuh dan membelai wajahnya. Hanya saja aku tidak berani. Aku malah
membiarkan tanganku mengambang di udara, di antara aku dan dia.
“Ada apa?”
“Kenapa kau tidak mengatakannya saat kau masih hidup?” kataku dengan suara tercekat.
Aku merasakan tangannya yang hangat dan sedikit kasar di wajahku. Wajahnya menunjukkan
penyesalan yang begitu mendalam.
Ibu jarinya menyeka air mata yang keluar dari sudut mataku. “Aku tidak bisa. Aku terlalu takut.”
“Kau tidak bisa datang dan pergi dari kehidupan seseorang sesuka hatimu,” protesku. “Kau
hanya simulasi otak penuh dengan kode rumit yang menjadi bagian dari program komputer.
Kenapa kau terasa begitu nyata bagiku?”