Anda di halaman 1dari 6

ASESMEN KOMPETENSI SEBAGAI BENTUK PERUBAHAN UJIAN NASIONAL

PENDIDIKAN INDONESIA: ANALISIS DAMPAK DAN PROBLEM-SOLVING


MENURUT KEBIJAKAN MERDEKA BELAJAR

Nio Awandha Nehru


Universitas Islam Balitar Blitar
Surat elektronik: nioawandha25@gmail.com

1.PENDAHULUAN
Dinamika perkembangan pendidikan nasional di Republik Indonesia selalu mengalami
pergantian kebijakan. Kebijakan terganti karena setiap pergantian stakeholder selalu
memiliki desain baru untuk model pendidikan nasional. Dilansir dari kompas.com, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (MENDIKBUD RI) Nadiem Makarim
menyatakan bahwa Ujian Nasional (UN) akan terubah formatnya menjadi asesmen
kompetensi.1 Menurut Nadiem Makarim, asesmen kompetensi yang digaungkan melalui
Kebijakan Merdeka Belajar merupakan hasil audiensi dan kesepakatan dari berbagai
seluruh pihak terkait seperti siswa, wali murid, guru dan stakeholder lainya dalam ranah
pendidikan, asesmen kompetensi ini disusun agar guru dapat secara mandiri melaksanakan
penilaian terhadap siswanya (KEMENDIKBUD RI, 2019).2 Kemandirian sifat penyusunan
asesmen kompetensi untuk perubahan UN tetap terorganisir pada gagasan
KEMENDIKBUD RI.
Dilansir dari Tempo.co, MENDIKBUD RI menekankan bahwa penyusunan asesmen
kompetensi berbasis pada penilaian daya nalar menggunakan bahasa (literasi) dan daya
nalar berbasis data angka (numerasi) yang bertolok ukur dari konsep Programme for
International Student Assessment (PISA).3 Konsep penilaian ini merupakan kemampuan
dasar yang harus dikuasai oleh siswa dalam model pendidikan setelah UN terakhir pada
tahun 2020. Literasi dan numerasi dapat digunakan sebagai modal dasar bagi siswa untuk
memahami teknis dan konsep dalam mata pelajaran secara berkelanjutan. Adapun UN yang
selama ini dilaksanakan sebagai penilaian akhir selalu bertolok ukur pada kognitif dan
pemahaman materi, tidak berdasarkan aplikasi yang riil untuk pencapaian kemampuan
siswa dalam kehidupan nyata. Wacana perubahan ini dapat menimbulkan tantangan baru
bagi seluruh pihak terkait, baik siswa, guru, maupun stakeholder lainya. Pelaksanaan UN
yang semula penilaian berbasis sumatif dan kognitif berubah drastis menjadi penilaian yang
berbasis formatif, aplikasi dan analisis. Siapkah Republik Indonesia melaksanakan
perubahan sistem penilaian ini?.

2.PEMBAHASAN
Penulis merumuskan argumentasi analisis dampak sebagai peluang yang dapat terjadi
jika sistem UN tergantikan dengan asesmen kompetensi. Analisis dampak yang
dirumuskan berdasarkan kajian perspektif penulis dalam isu pendidikan nasional Republik
Indonesia. Studi kasus dalam argumentasi ini menilik pada fakta lapangan yang umum
terjadi. Disamping itu, penulis juga merumuskan problem-solving dari analisis dampak
yang berdasarkan pada Kebijakan Merdeka Belajar. Berikut analisis dampak dari kajian
perspektif penulis:
a) kreatifitas guru dalam inovasi pembelajaran;

1
Albertus Adit. “UN Tidak Dihapuskan Tapi Sistem Nya Diganti, Ini Pernyataan Nadiem Terbaru.”, Kompas,
2019.
2
KEMENDIKBUD RI. Empat Pokok Kebijakan #MerdekaBelajar. YouTube, 2019.
3
Dewi Nurita. “Nadiem Makarim Bocorkan Sedikit Konsep Contoh Soal Pengganti UN.”, Tempo.co, 2019.
b) sistem Teacher Centered Learning (TCL) tidak akan berdampak komprehensif untuk
memahami kompetensi siswa;
c) penggunaan buku ajar akan terpangkas dalam Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM).

2.1.Kreatifitas Guru dalam Inovasi Pembelajaran


Wacana pelaksanaan asesmen kompetensi ini membuat guru harus lebih kreatif dalam
menentukan bahan penilaian. Hal ini akan mempengaruhi kebiasaan guru yang mengacu
pada silabus tanpa adanya improvisasi model pembelajaran dan berlaku konservatif pada
model pembelajaran yang konvensional. Sedangkan, gagasan memberlakukan konsep
literasi dan numerasi yang disusun secara mandiri oleh guru merupakan model penilaian
yang bersifat progresif. Sehingga, target Kebijakan Merdeka Belajar tidak dapat terlaksana
secara komprehensif. Hal diatas menujukkan bahwa guru dituntut untuk kreatif
mengembangkan penilaian bagi siswanya.
Upaya pemerataan kualitas guru dalam melaksanakan penilaian berbasis literasi dan
numerasi dapat dimulai sejak dini melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
MGMP merupakan wadah perkumpulan bagi para guru mata pelajaran yang berada di suatu
sanggar, sekolah kabupaten/kota yang berfungsi sebagai sarana berkomunikasi, belajar,
bertukar pikiran dan pengalaman dalam rangka meningkatkan kinerja guru sebagai
praktisi/pelaku perubahan reorientasi pembelajaran di kelas (Anwar: 2011: 1).4 Melalui
pengertian diatas, MGMP dapat membantu guru dalam mengembangkan inovasi
pembelajaran didaerahnya. Selain itu, KEMENDIKBUD dapat melaksanakan Bimbingan
Teknis Kebijakan Merdeka Belajar kepada jajaran stakeholder dibawah-bawahnya dengan
menggaet MGMP untuk melaksanakan skema Bimbingan Teknis Kebijakan Merdeka
Belajar sebagai berikut:
a) mengintegrasikan konsep asesmen kompetensi;
b) diskusi dan brainstorming pembelajaran inovatif yang berbasis literasi dan numerasi;
c) evaluasi dampak pembelajaran konservatif;
d) aktualisasi bentuk pembelajaran inovatif sebagai bentuk asesmen kompetensi dan;
e) refleksi pada studi model literasi dan numerasi yang dihasilkan terhadap siswa.
Bimbingan teknis yang berjangka panjang dapat mempengaruhi kualitas inovasi
pembelajaran guru. Pelaksanaan bimbingan teknis tidak hanya diselenggarakan sekali saja,
melainkan lebih dari sekali dalam jangka panjang untuk melaksanakan skema bimbingan
teknis diatas secara maksimal. Alhasil guru mendapatkan umpan balik inovasi
pembelajaran dari bimbingan teknis yang akan diimplementasikan dalam satuan
pendidikanya. Pelaksanaan asesmen kompetensi awal bagi guru dapat dilaksanakan dalam
skala kecil pada satuan pendidikanya semisal di dalam kelas. Dalam pelaksanaanya guru
dapat menengarai hambatan awal dan tantangan, lalu melaporkan hasil kajianya dalam
bimbingan teknis selanjutnya bersama MGMP. Sehingga, guru dapat melaksanakan
asesmen kompetensi secara massal bersama-sama dalam satuan pendidikanya.

2.2.Pendekatan Teacher Centered Learning (TCL) Tidak Akan Berdampak


Komprehensif untuk Memahami Kompetensi Siswa
Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM) di Indonesia masih umum dilaksanakan dengan
metode pembelajaran konvensional (Teacher Centered Learning). Metode pembelajaran
konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode
ceramah, karena sejak dulu metode ini telah digunakan sebagai alat komunikasi lisan antara
guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran

4
Rosihan Anwar, Pengaruh Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Terhadap Peningkatan Profesionalisme
dan Kinerja Mengajar Guru Sma Negeri Kota Tasikmalaya, Jurnal Administrasi Pendidikan UPI, 2011.
sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan,
serta pembagian tugas dan latihan (Djamarah dalam Kholik: 2011).5
Menurut Helmiati (2016: 24) proses belajar mengajar konvensional umumnya
berlangsung satu arah yang merupakan transfer atau pengalihan pengetahuan, informasi,
norma, nilai, dan lain-lainnya dari seorang pengajar kepada siswa. Proses semacam ini
dibangun dengan asumsi bahwa peserta didik ibarat botol kosong atau kertas putih. Guru
atau pengajarlah yang harus mengisi botol tersebut atau menulis apapun di atas kertas putih
tersebut.6
Kurikulum 2013 menghendaki pembelajaran yang terpusat pada siswa, tetapi pada
implementasinya guru mendominasi untuk sekadar transfer ilmu pengetahuan dan akhlak.
Karena guru mendominasi KBM, peran siswa sebagai subjek utama pendidikan dan
pembelajaran hanya mendapat ruang yang sempit untuk menujukkan kemampuanya atas
pencapaian pembelajaran. Menurut kajian perspektif penulis, asesmen kompetensi
memiliki pendekatan Student Centered Learning (SCL). SCL merupakan pendekatan
pembelajaran terpusat pada siswa, guru berperan sebagai supervisor (motivator, fasilitator,
dan inovator) yang melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar secara inklusif dalam
membantu pemecahan masalah siswa (Antika: 2014: 3).7 SCL merupakan gambaran untuk
implementasi asesmen kompetensi bagi siswa, karena seluruh aspek literasi dan numerasi
kembali kepada pencapaian masing-masing siswa. Sehinga, metode pembelajaran
konservatif yang sekadar transfer ilmu pengetahuan dan akhlak saja tidak dapat menjadi
tolok ukur bagi pelaksanaan asesmen kompetensi. Problem-solving untuk memecahkan
problema tersebut ialah dengan cara memperbesar peran siswa dalam KBM. Guru dapat
mengajak siswa untuk:
a) brainstorming isu dalam pembelajaran;
b) saling bertukar pendapat atas hasil analisinya;
c) mengajak setiap siswa untuk belajar untuk menjadi guru atas teman-temanya dengan
cara presentasi kelas;
d) merefleksikan pembelajaran terhadap siswa.
Peran guru dalam contoh diatas ialah sebagai supervisor bagi siswanya. Pembiasaan
diatas dapat membuat siswa untuk tidak takut berbuat salah atas pemikiranya, karena salah
pada saat pembelajaran lebih baik daripada ditutup-tutupi oleh siswa. Atas tindakan
tersebut siswa dapat belajar mengekspresikan dirinya, pemikiranya bersama dengan
masyarakat kelas yang ada didalamnya. Karena siswa mampu berekspresi dan
menunjukkan kemampuanya dalam KBM, dapat mempermudah guru dalam melaksanakan
asesmen kompetensi. Sehingga, Kebijakan Merdeka Belajar yang digaungkan oleh
MENDIKBUD RI dapat menjadi kebijakan riil merdeka.

2.3.Penggunaan Buku Ajar Akan Terpangkas dalam Kegiatan Belajar dan Mengajar
(KBM)
Pelaksanaaan instrumen asesmen kompetensi akan memangkas media buku ajar dalam
Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM). Buku ajar cenderung membuat siswa hanya
sekadar hafalan materi dan terpaku pada isi buku yang menjadi acuan pembelajaran.
Hafalan inilah yang menjadi ujung penilaian dalam UN saat ini, yang mana siswa dituntut
untuk menghafalkan bacaan dan pemecahan rumus yang menyita waktu. Model tersebut

5
Djamarah dalam Kholik Muhammad. Metode Pembelajaran Konvensional.
hmuhammadkholik.wordpress.com. 2011.
6
Helmiati. Model Pembelajaran. Aswaja Pressindo, 2012.
7
Reza Rindy Antika, Proses Pembelajaran Berbasis Student Centered Learning (Studi Deskriptif Di Sekolah
Menengah Pertama Islam Baitul ‘Izzah, Nganjuk), Jurnal BioKultur, 2014.
membuat siswa, wali murid, dan guru terbebani waktu, tenaga dan pikiran. Alhasil setelah
UN dilalui, ilmu yang dihafalkan oleh siswa tidak digunakan pada jenjang selanjutnya.
Aspek hafalan tidak cukup untuk membuat siswa tumbuh dan berkembang dalam
instrumen asesmen kompetensi. Sehingga media buku ajar perlu dikombinasikan dengan
metode pembelajaran yang lain.
Instrumen asesmen kompetensi cenderung mengajak siswa untuk mengobservasi dan
menganalisis suatu objek pembelajaran. MENDIKBUD RI mengharapkan bila KBM tidak
hanya dilaksanakan didalam kelas, melainkan observasi diluar ruangan. Sedangkan metode
pembelajaran yang sekadar menggunakan buku ajar tidak relevan untuk melaksanakan
rangkaian asesmen kompetensi yang berpotensi membuat tujuan penilaian ini cidera
ditengah jalan. Menurut kajian perspektif penulis, penggunaan media buku ajar dapat
dikombinasikan dengan metode learning by doing sebagai bentuk implementasi langsung.
Metode pembelajaran learning by doing atau dalam bahasa Indonesia disebut belajar
sambil melakukan merupakan salah satu metode dengan hasil belajar paling optimal.
Metode pembelajaran learning by doing merupakan metode pembelajaran langsung tanpa
proses ceramah, tanpa penggunaan prototipe, dan tanpa simulasi terlebih dahulu atau secara
sederhana dilakukan sebagai suatu proses natural tanpa mengada-ada akan mencapai hasil
akhir pendidikan paling tinggi. Pembelajaran dengan melakukan juga menyisakan
pengalaman yang akan diingat karena benar-benar dilakukan secara langsung. Contohnya
ialah ketika seseorang dihadapkan pada persoalan yang sama dan pernah dilakukan
sebelumnya melalui proses belajar metode ini maka orang akan semakin mudah untuk
mengingat apa yang telah dipelajari (Suyatno dalam Permono: 2020: 5).8 Implementasi
metode pembelajaran learning by doing dapat dilaksanakan dimana saja. Metode ini
mengajak siswa untuk melakukan suatu pembelajaran dengan implementasi secara
langung. Lingkungan sekitar sekolah maupun lingkungan diluar sekolah dapat menjadi
objek pembelajaran. Sebagai contoh seorang Guru Mata Pelajaran Sejarah dapat mengajak
siswa kelas 10 sekolah menengah untuk mengujungi situs prasejarah atau situs sejarah.
Guru tersebut dapat mengajak siswa untuk mengobservasi dan menganalisis artefak,
kerajinan, bangunan dan peninggalan yang lainya.
Metode pembelajaran learning by doing dapat dikombinasikan dengan penggunaan
media buku ajar. Pengalaman konservatif siswa akan model yang lama tidak akan berubah
secara drastis dengan implementasi asesmen kompetensi yang baru bagi seluruh aspek
pendidikan. Sehingga implementasi asesmen kompetensi tidak membuat siswa terbebani
dengan metode yang baru, melainkan dapat membantu proses penyerapan materi
pembelajaran secara komprehensif bagi siswa. Berikut implikasi atas kombinasi buku ajar
dengan learning by doing:
a) menerima teori materi pembelajaran dari pemaparan guru dan buku ajar;
b) melakukan observasi terhadap objek yang tersusun dalam teori materi pembelajaran;
c) menganalisis korelasi objek dengan teori materi pembelajaran yang diterima;
d) mendiskusikan hasil observasi dan analisis bersama siswa lain dan guru sebagai
supervisor;
e) merefleksikan hasil KBM untuk persiapan asesmen kompetensi.

8
Suyatno dalam Prakoso Permono, Pendidikan Kepramukaan Dalam Menjawab Akar Terorisme Di Indonesia
Studi Pada Pendekatan Reedukasi, Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Strategi dan
Implementasi Pendidikan Karakter pada Era Revolusi Industri 4.0” , 2018.
3.KESIMPULAN
Implementasi asesmen kompetensi sebagai model pengganti UN menuntut guru untuk
kreatif dalam melaksanakan penilaian. Metode ini mengajak guru untuk membuat penilaian
yang berbasis pada kemampuan literasi dan numerasi. Keseharian guru yang semula selalu
mengacu kepada silabus tanpa adanya improvisasi model pembelajaran akan menghambat
jalanya implementasi asesmen kompetensi. Untuk memperbaiki analisis dampak tersebut,
KEMENDIKBUD RI dapat mengadakan Bimbingan Teknis Kebijakan Merdeka Belajar
berjangka panjang kepada stakeholder dibawahnya, termasuk MGMP. Dalam MGMP,
guru dapat bertukar pikiran atas refleksi inovasi pembelajaran yang dihasilkan dalam
bimbingan teknis sebagai acuan dasar implementasi asesmen kompetensi. Pelaksanaan
asesmen kompetensi diawali dengan uji coba skala kecil dalam kelas, setelah itu guru
melaporkan data uji coba terhadap bimbingan teknis selanjutnya. Sehingga, implementasi
asesmen kompetensi dapat berjalan secara massal pada satuan pendidikan.
KBM yang dilaksanakan oleh guru di Indonesia cenderung kepada metode
pembelajaran konservatif. Dalam metode ini, guru berperan sebagai orang yang serba tahu
dan siswa bagaikan botol kosong yang selalu mendapatkan isi dari guru. Atas hal tersebut,
peran guru terlalu mendominasi dalam KBM. Implementasi asesmen kompetensi tidak
akan berjalan secara maksimal bila metode pembelajaran konservatif secara dominan terus
dilakukan. Asesmen kompetensi berbasis kemampuan literasi dan numerasi yang mana
siswa dituntut untuk progresif dalam observasi dan analisis pada materi pembelajaran.
Maka dari itu, pendekatan yang tepat untuk asesmen kompetensi adalah Student Centered
learning (SCL). SCL menghendaki peran siswa lebih besar dalam KBM, sedangkan guru
berperan sebagai supervisor. Pelaksaan KBM melalui pendekatan SCL juga mengandung
observasi dan analisis dari siswa. Sehingga penilaian asesmen kompetensi yang berbasis
literasi dan numerasi dapat terlaksana secara komprehensif.
Pelaksaan UN di Indonesia cenderung mengapliaksikan materi pembelajaran dari buku
ajar siswa. Siswa hanya dituntut untuk menghafalkan materi pembelajaran yang bersifat
teori dan rumus. Pelaksaan ini menyebabkan siswa, guru dan wali murid terbebani secara
waktu, tenaga, dan pikiran. Instrumen asesmen kompetensi sebagai pengganti UN
menghendaki adanya pembelajaran yang progresif, tidak serta merta sekadar hafalan
melainkan observasi dan analisis. Sehingga, siswa dituntut untuk berhadap-hadapan
langsung dengan objek materi pembelajaran sesuai dengan harapan MENDIKBUD RI
untuk melakukan KBM diluar kelas. Maka dari itu, penggunaan buku ajar dapat
dikombinasikan dengan metode learning by doing. Metode ini merupakan metode
implementasi langsung dalam pembelajaran. Guru dapat mengajak siswa keluar kelas
untuk mengobservasi objek pembelajaran lalu menganalisisnya. Dengan
mengkombinasikan media buku ajar bersama metode learning by doing dapat membuat
siswa tidak terkejut dengan model baru UN. Melainkan saling berkorelasi membantu siswa
dalam penyerapan materi secara komprehensif untuk mencapai tujuan implementasi
asesmen kompetensi pada Kebijakan Merdeka Belajar.
DAFTAR PUSTAKA

Adit, Albertus. “UN Tidak Dihapuskan Tapi Sistem Nya Diganti, Ini Pernyataan Nadiem
Terbaru.” Kompas, 2019, pp. 1–2,
https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/13/17485331/un-tidak-dihapus-tapi-
sistemnya-diganti-ini-pernyataan-nadiem-terbaru.

Antika, Reza Rindy. “Proses Pembelajaran Berbasis Student Centered Learning (Studi
Deskriptif Di Sekolah Menengah Pertama Islam Baitul ‘Izzah, Nganjuk).” BioKultur,
vol. III, no. 1, 2014, p. 251.

Anwar, Rosihan. “Pengaruh Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Terhadap


Peningkatan Profesionalisme Dan Kinerja Mengajar Guru Sma Negeri Kota
Tasikmalaya.” Jurnal Administrasi Pendidikan UPI, vol. 13, no. 1, 2011, p. 12.

Djamarah dalam Muhammad, Kholik. Metode Pembelajaran Konvensional. 2011,


https://muhammadkholik.wordpress.com/.

Helmiati. Model Pembelajaran. Aswaja Pressindo, 2012.

KEMENDIKBUD RI. Empat Pokok Kebijakan #MerdekaBelajar. YouTube, 2019,


https://youtu.be/vh-rdXvt0Dw.

Nurita, Dewi. “Nadiem Makarim Bocorkan Sedikit Konsep Contoh Soal Pengganti UN.”
Tempo.Co, 2019, https://nasional.tempo.co/read/1283100/nadiem-makarim-bocorkan-
sedikit-konsep-contoh-soal-pengganti-un/full&view=ok.

Suyatno dalam Permono, Prakoso. Pendidikan Kepramukaan Dalam Menjawab Akar


Terorisme Di Indonesia Studi Pada Pendekatan Reedukasi. Prosiding Konferensi
Pendidikan Nasional “Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter pada Era Revolusi
Industri 4.0”, 2018.

Anda mungkin juga menyukai