Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATA KULIAH

ILMU PENYAKIT PARASITER VETERINER

ASCARIASIS PADA BABI

Kelompok 1:

Grace Caroline (1809511037)


Nabilah Rizky Amalia (1809511055)
Lona Milena (1809511118)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan paper guna memenuhi
tugas Ilmu Penyakit Parasiter Veteriner yang berjudul Ascariasis pada Babi. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan paper ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
dari segi bentuk maupun isinya, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritikan dari
semua pihak yang sifatnya membangun.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Ilmu Penyakit Parasiter Veteriner yang selalu membantu kami dalam
melakukan kegiatan perkuliahan di kampus. Maka kami mengharapkan agar paper ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca paper ini.

Denpasar, 6 Februari 2020

Penyusun

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. II

DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. IV

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1

BAB II TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN.....................................................2

2.1 Tujuan dan Manfaat Penulisan........................................................................ 2

BAB III PEMBAHASAN............................................................................................. 3

3.1 Pengertian Ascariasis...................................................................................... 3

3.2 Ascaris Suum...................................................................................................3

3.2.1 Klasifikasi Ascaris Suum......................................................................... 3

3.2.2 Morfologi Ascaris Suum.......................................................................... 3

3.2.3 Siklus Hidup Ascaris Suum......................................................................5

3.3 Gejala Klinis pada Babi Terinfeksi................................................................. 6

3.4 Pengobatan pada Babi yang Terinfeksi........................................................... 8

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN..........................................................................10

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................11

III
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Telur A. Suum fertilized and not (yet) fertilized .......................................4

Gambar 3.2 Ascaris Suum Jantan dan Betina............................................................... 4

Gambar 3.3 Ascaris Suum Jantan dan Betina............................................................... 4

Gambar 3.4 Siklus Hidup Ascaris Suum.......................................................................5

Gambar 3.5 Milk Spots on Liver...................................................................................7

Gambar 3.6 Post Mortem Babi yang Terinfeksi............................................................8

Gambar 3.7 Post Mortem Babi yang Terinfeksi............................................................8

IV
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit parasit baik yang disebabkan oleh cacing, protozoa, maupun
serangga parasitik pada manusia banyak terdapat di negara berkembang dan beriklim
tropis, termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang menunjang
untuk hidup dan berkembangnya parasit, antara lain kondisi alam dan lingkungan,
iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung dengan masyarakat
yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan sosial ekonomi seperti
keadaan sanitasi lingkungan yang buruk, kepadatan penduduk, dan perilaku higiene
perorangan yang kurang baik.1 Penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing atau
disebut kecacingan adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing yang masuk ke
dalam tubuh manusia. Infeksi kecacingan yang paling banyak ditemukan di Indonesia
yakni yang disebabkan oleh nematoda usus (1)
Pada konferensi WHO di Geneva tahun 2002 menyebutkan bahwa cacing
Ascaris lumbricoides dapat menyebabkan DALY (Disability-adjusted life years);
yaitu ukuran dari beban penyakit secara keseluruhan dan jumlah tahun yang hilang
karena penyakit atau cacat lebih besar dibandingkan infeksi Helminth lainnya dengan
menyebabkan anemia, defisiensi zat besi, dan kekurangan energi protein dan
merupakan masalah gangguan nutrisi terbesar di dunia. Kerugian akibat cacingan
memengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan, dan metabolisme makanan. (2)

1
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

2.1 TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN


1. Untuk mengetahui pengertian dasar dari Ascariasis.
2. Untuk mengetahui jenis cacing yang menginfeksi babi secara menyeluruh.
3. Untuk mengetahui gejala klinis yang nampak pada babi yang terinfeksi.
4. Untuk mengetahui pengobatan pada babi yang terinfeksi.
5. Untuk mengetahui dampak pada pada perekonomian dan kesehatan
masyarakat.

2
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 PENGERTIAN ASCARIASIS
Ascariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris. Angka
kejadian Ascariasis tertinggi ditemukan pada negara berkembang dengan lingkungan
yang buruk serta di daerah tropis seperti Indonesia (3).
Penyakit kecacingan ini dapat
mengakibatkan menurunnnya kondisi kesehatan gizi, kecerdasan, dan produktivitas
penderita.
Prevalensi penyaki kecacingan ini sangat tinggi terutama di daerah tropis dan
subtropis .Soil Transmitted Helminth (STH) merupakan golongan cacing yang
(4)

bentuk penularannya membutuhkan tanah sebagai media dan didukung oleh kondisi
tertentu. Cacing yang masuk ke dalam golongan STH yakni Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodemale, Trichuris trichiura, dan Strongyloides
stercoralis (5)
. Ascaris lumbricoides tidak dapat dibedakan dengan Ascaris suum
secara morfologi, walaupun terdapat perbedaan pada gambaran biologinya. Pada
dasarnya, Ascaris suum tidak dapat menginfeksi manusia dan sebaliknya telur
Ascaris lumbricoides tidak dapat menginfeksi babi (6)

3.2 ASCARIS SUUM


3.2.1 Klasifikasi Ascaris Suum.
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridia
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascarissuum

3.2.2 Morfologi Ascaris Suum


Ascaris suum memiliki bentuk tubuh silinder, bilateral simetris, dan tidak
bersegmen (7). Bagian luar tubuhnya dilapisi dengan kutikula yang kuat, fleksibel, dan
melintang. Tubuh ascaris suum ditutupi dengan kutikula bewarna seperti krim dan
tebal, terkadang bisa bewarna merah. Ascaris suum memiliki 3 mulut, 1 dorsal, dan 2

3
subventral. Di ketiga mulut tersebut terdapat papillae di bagian lateral. Ascaris suum
betina biasanya lebih panjang dan besar daripada ascaris suum jantan.
Panjang badan ascaris suum jantan berkisar dari 15-25 cm dengan rata-rata 32
cm. Ekor ascaris suum jantan biasanya tidak memiliki alae caudal. Sementara
panjang ascaris suum betina bisa mencapai 40 cm, dengan diameter (5-6 mm) dan
bisa mengeluarkan 200.00 sampai 1.000.000 telur tiap kalinya.

Gambar 3.1: Telur A. Suum fertilized and not (yet) fertilized (8)

Gambar 3.2: A. Suum jantan dan betina. (9)

Gambar 3.3: A. Suum jantan dan betina. (10)

4
3.2.3 SIKLUS HIDUP ASCARIS SUUM
Ascaris suum, parasit yang terdapat pada babi, namun bisa berkembang
menjadi dewasa pada usus manusia terutama di bagian depan usus halus, dan juga
menyebabkan ‘larva migrans’. Seperti halnya pada cacing dewasa Ascaris
lumbricoides, cacing dewasa Ascaris suum terdapat di usus halus dan gampang
dilihat karena panjangnya 12-50 cm. Morfologi tubuh cacing ini memikili tubuh
simetris bilateral, bulat panjang (gilig), mempunyai saluran pencernaan, memiliki
rongga badan palsu atau sering disebut Tripoblastik pseudoselomata. Cacing betina
dewasa tinggal pada saluran pencernaan, dan mampu bertelur sebanyak 200.000 butir
per hari. Di mana telur-telur yang keluar kemudian berkembang pada media tanah di
dalam feses. Telur Ascaris suum yang dibebaskan bersama feses sangat tahan
terhadap udara dingin, panas, dan kekeringan.
Di tanah yang hangat dan lembab telur mengalami embrionase hingga
terbentuk larva stadium satu, dua, dan tiga. Stadium terakhir tersebut dapat dicapai
dalam waktu kurang lebih 3 minggu untuk menjadi bentuk infektif dan dapat
menyebabkan hospes lain tertular. Bentuk infektif ini, apabila tertelan oleh hospes
definitif, lalu menetas di usus halus dan kemudian menembus dinding usus halus,
dapat mencapai sistem porta dan mengikuti aliran darah sampai bronkhus, paru-paru,
tenggorok, kemudian ke faring. Setelah mencapai faring, cacing Ascaris suum ini
dapat ikut tertelan bersama dengan makanan, air minum, atau saliva dan akhirnya
akan sampai ke usus halus lagi untuk tumbuh menjadi dewasa sampai akhirnya
bertelur kembali dalam kurun waktu kurang lebih 5 minggu.

Gambar 3.4: Siklus Hidup Ascaris Suum, Goeze. (11)

5
Keterangan gambar:
1. Telur cacing keluar dari tubuh babi penderita bersama tinja
2. Perkembangan awal telur cacing (terbentuk L1)
3. Telur yang mengandung L2 (bersifat infektif)
4. Telur yang mengandung L2 ditelan oleh babi
5. L2 terlepas dari usus babi, menembus dinding usus, kemudian
bermigrasi ke paru – paru melalui hati
6. L3 menuju alveolus, bronkiolus, bronkus hingga ke faring
kemudian L3 tertelan kembali lagi ke usus halus
7. L3 berkembang menjadi L4 dan L5 kemudian menjadi cacing
dewasa di usus halus

3.3 GEJALA KLINIS PADA BABI TERINFEKSI


Larva maupun cacing dewasa A. suum menyebabkan kerusakan dari jaringan
tubuh inang infektif. Gejala khas dari cacing ini adalah timbulnya milk spot atau
disebut dengan bintik putih pada hati dan terbentuk filament-filament fibrosis oleh
larva cacing A. suum. Hal ini disebabkan oleh migrasinya larva cacing ke hati
melalui vena porta, yang menyebabkan reaksi 13 inflamasi pada hati, nekrosis
interlobular, dan reaksi granulose. Jaringan interlobular akan menebal karena terjadi
pembentukan kolagen yang disertai oleh infiltrasi eosinofil. Kejadian milk spot ini
akan berangsur-angsur menghilang ketika larva A. suum meninggalkan lokasi
tersebut setelah 4 – 6 minggu. Akibat infeksi yang berulang akan menimbulkan
jaringan fibrotik di organ hati babi.
Di dalam paru–paru larva A. suum menyebabkan infeksi primer yang tidak
terlalu parah, yaitu terjadinya kerusakan pada alveoli, hemoragi, dan infiltrasi sel
radang yang bersifat lokal. Pada infeksi yang berat A. suum dapat menyebabkan
pneumonia vermirosa, disertai batuk yang asmatik, sulit bernafas, oedema, pusatpusat
hemoragik dan emfisema. Jaringan paru-paru menjadi tebal dan basah sehingga
menyebabkan infeksi respirasi, yang semakin diperparah dengan adanya debu,
ammonia, dan bakteri. Jika virus influenza babi yang bersifat laten masuk ke tubuh
babi, maka akan mengakibatkan gejala yang lebih parah seperti mycoplasma dan
viral pneumonia. Selain itu masuknya larva A. suum ke dalam paru-paru akan
mengakibatkan penurunan bobot badan, keadaan rambut yang kusam dan
peningkatan temperatur tubuh. Pada organ saluran pencernaan khususnya pada usus

6
halus, cacing A. suum dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus. Jika dalam
kondisi infeksi yang hebat dapat menyebabkan obstruksi usus.(12)
Gejala Klinik Ascariasis merupakan infeksi parasit cacing A. suum. Ternak
babi yang terkena Ascariasis mengalami penurunan nafsu makan, diare dan dalam
kondisi yang ekstrim dapat menyebabkan kekurusan. Akibat infeksi cacing A. suum,
babi dapat 14 mengalami gejala kolik disebabkan karena rusaknya mukosa usus
dengan sangat hebat sehingga gerakan peristaltik usus terganggu. Gejala kolik dapat
terjadi jika babi terkena infeksi dalam kondisi yang ekstrim, yakni jumlah cacing
yang sangat banyak dan disertai pertumbuhan cacing yang pesat. Pada anak babi
berumur kurang dari empat bulan terserang A. suum dapat menyebabkan pneumonia.
A. suum dewasa jika berada pada usus dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa,
dan jika dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan obstruksi (12).
Diagnosa Ascariasis dapat dilihat berdasarkan gejala klinis yang timbul, dan
dapat juga dilakukan pemeriksaan sampel tinja untuk melihat ada atau tidaknya telur
cacing A. suum pada ternak babi. Jika pada pemeriksaan tidak ditemukan telur cacing
maka belum dapat dipastikan bahwa ternak babi benar – benar bebas dari Ascariasis.
Kemungkinan ini dapat terjadi jika infeksi baru terjadi dan belum memasuki fase
dewasa untuk menghasilkan telur. Selama fase pulmonary dapat dilakukan
pemeriksaan usapan kerongkongan. Juga dapat dilakukan pemeriksaan post mortem
dari babi yang mati (12)

Gambar 3.5: Milk spots on liver. (13)

7
Gambar 3.6: Post mortem babi yang terinfeksi. (14)

Gambar 3.7: Post mortem babi yang terinfeksi. (14)

3.4 PENGOBATAN PADA BABI YANG TERINFEKSI


Ascariasis sering terjadi akibat air dan pakan yang terkontaminasi dengan
telur A. suum. Kejadian ini sering ditemukan pada kandang yang kurang bersih dan
sanitasi yang buruk. Parasit sangat menyukai iklim yang hangat dan lembab,
langkah–langkah pencegahan dapat dilakukan dengan merubah sanitasi yang lebih
baik dan manajemen pakan yang baik, serta pemberian obat-obat antelmintik secara
15 bertahap. (12)
Pengecekan darah dan fecal juga disarankan untuk mengecek kesehatan babi.
Untuk mengatasi dan mencegah infeksi yang disebabkan cacing A. suum puluhan
obat telah diproduksi dan dipasarkan. Untuk pengobatan terhadap infeksi cacing A.
suum dapat digunakan obat seperti ; Piperazin dengan dosis untuk sapi dan babi 275-
440 mg/kg bb. Dichlorvos dengan dosis untuk babi 11-12 mg/kgbb. Trichlorphon
dengan dosis untuk babi 50 mg/kg bb. Pirantel tartrat dengan dosis untuk ruminansia,
unta, babi 25 mg/kg bb. Tetramisol dengan dosis untuk babi 15mg/kg bb. Levamisole
dengan dosis untuk babi 360 mg/50 kg bb. Cambendazol dengan dosis untuk babi 20-

8
40 mg/kg bb. Fenbendazol dengan dosis untuk babi 3-6 mg/kg bb. Oxfendazol
dengan dosis untuk babi 3 mg/kg bb. Parbendazol dengan dosis untuk babi 25-50
mg/kg bb. (15)

9
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

Ascariasis merupakan penyakit infeksi oleh cacing ascaris khususnya Ascaris


suum yang sering menginfeksi babi. Ascaris suum memiliki morfologi yang besar
sehingga dapat mengganggu pencernaan, pernafasan, dan keaktifan babi. Gejala yang
timbul pada babi yang telah terinfeksi ialah, kurangnya nafsu makan, menurunnya
keaktifan, rambut di sekitar tubuh yang rontok, dan kematian. Pencegahan dapat
dilakukan dengan pembersihan kandang, pengontrolan pakan dan minum ternak,
serta tidak menggunakan feses sapi sebagai pupuk tanaman. Pengobatan yang dapat
dilakukan untuk babi yang terinfeksi antara lain: memberi obat pembasmi cacing,
antibiotik, dan antipest. Daging babi terinfeksi tidak dapat mewabah ke manusia jika
termakan.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Angesom Hadush, Mahendra Kumal Pal. 2016. Ascariasis: Public Health


Importance and its Status in Ethiopia.
2. Drago Carl Herenda, DVM. 2015 Colour Atlas of Pig Pathology and Meat
Inspection.
3. Dyah Suryani. 2012. Hubungan perilaku mencuci tangan kontaminasi telur
nematode usus pada lalapan kubis pedagang pecel lele di keluruhan warung
boto Yogyakarta.
4. Gheby Indira. 2016. Morphometry Variation of Male and Female Ascaris
suum At Pegiran Slaughterhouse Surabaya.
5. Heinz Mehlhorn. 2008. Encyclopedia of Parasitology.
6. Johnstone C. 2000. Ascaris suum Parasites and Parasitic Disease of Domestic
Animals.
7. Ma’arif, J. 1995. Pengaruh Pemberian Serbuk Biji Pinang Sirih (Areca
catechu) Terhadap Mortalitas Cacing Ascaris suum Secara In Vitro. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
8. Odile Loreille, Francoise Bouchet. 2003. Evolution of Ascariasis in humans
and pigs: A multi disciplinary approach.
9. Parasitologi Kedokteran. 2005. Djaenudin Natadisastra, dr,. sp.ParK, Prof. Dr.
Ridad Agoes, MPH.
10. Rampengan, Laurentz. 2005. Askariasis. Dalam: Penyakit Infeksi Tropik pada
Anak. Edisi 3. Jakarta ; EGC. Halaman: 217-223
11. Satoskar. 2008. Buku Medical Parasitology.
12. Subronto dan Ida Tjahajati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Cetakan pertama.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
13. Suriptiastuti. 2006. Infeksi Soil-Trasnmitted Helminth: ascariasis, trichiuriasis
dan cacing tambang.Jurnal universa medicina.25:02.
14. Sutanto I, dkk. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, edisi ke-4, FKUI,
Jakarta, Hal 6.

11

Anda mungkin juga menyukai