Anda di halaman 1dari 8

IMAM TIRMIDZI

A. BIOGRAFI
Bernama lengkap Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dhahhak a
l-Sulami al-Dharir al-Bughi al-Tirmidzi, sang ulama besar yang lebih populer dengan sebutan
Abu Isa ini dilahirkan pada 209 H di desa Tirmidz, sebuah kota kuno yang terletak di pinggir
an sungai Jihon (Amoderia), di belahan utara Iran. Sebagian ulama sangat membenci sebutan
Abu Isa. Mereka menyandarkan argumennya dari hadis Abu Syaibah yang menerangkan bah
wa seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu Isa, karena Isa tidak mempunyai ay
ah. Sabda Nabi Muhammad: “Sesungguhnya Isa tidak mempunyai ayah”. Al-Qari menjelaska
n lebih detail, bahwa yang dilarang adalah jika nama Abu Isa digunakan sebagai nama asli, b
ukan kunyah atau julukan.  Dalam hal ini, penyebutan Abu Isa adalah hanya untuk membeda
kan al-Tirmizi dengan ulama yang lain. Sebab, ada beberapa ulama besar yang populer denga
n nama al-Tirmidzi, yaitu: (1) Abu Isa al-Tirmidzi, pengarang kitab al-Jami’ al-Shahih (tokoh
yang kitabnya dibahas dalam tulisan ini), (2) Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang popule
r dengan sebutan al-Tirmidzi al-Kabir. (3) Al-Hakim al-Tirmidzi Abu Abdullah Muhammad `
Ali bin al-Hasan bin Basyar. Ia seorang zuhud, hafiz, mu’azin, pengarang kitab dan populer d
engan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi. Imam al-Tirmidzi merupakan figur yang cerdas, tangkas
cepat hafal, zuhud, juga wara′. Sebagai bukti kerendahan pribadi, beliau senantiasa mencucur
kan air mata, sehingga kedua bola matanya memutih, dan kemudian menimbulkan dampak ke
butaan pada masa tuanya. Dengan adanya musibah kebutaan inilah beliau juga disebut al-Dha
rir (yang buta). Tentang sejak kapan terjadinya musibah kebutaan kedua mata Imam al-Tirmi
dzi, banyak terjadi silang pendapat di dalamnya. Ada sebagian yang menyatakan beliau buta s
ejak lahir, sementara ulama yang lain menyatakan ketika usianya mulai senja, setelah perjalan
an panjang perlawatannya menimba ilmu, juga menulis hadis. Tapi mayoritas ulama sepakat,
beliau tidak buta sejak lahir, melainkan musibah itu datang belakangan. Yusuf bin Ahmad al-
Baghdadi menuturkan, “Abu Isa mengalami kebutaan pada masa menjelang akhir usianya.”

Sejarah Perlawatan Menuntut Ilmu Imam At-Tirmidzi


Sebenarnya, tidak ada riwayat yang pasti menunjukkan kapan Imam al-Tirmidzi mem
ulai pengembaraan mencari ilmunya. Akan tetapi, memang beberapa catatan biografi mengen
ainya memberi informasi bahwa ia memulai perjalanannya sejak kira-kira usia duapuluh tahu
n. Sejak usia dini, al-Tirmidzi sudah gemar mempelajari dan mengkaji berbagai disiplin ilmu
keislaman, baik fiqh maupun hadis. Masa kecilnya ia habisnya belajar (sima’) di desanya. Ad
a riwayat yang menyebutkan bahwa pada 234 H ia bertolak ke Mekkah, dalam rangka mempe
lajari dan mengkaji ilmu-ilmu secara lebih mendalam dan luas.  Beliau juga mengembara ke
berbagai wilayah Islam. Al-Tirmidzi tercatat pernah mengembara ke Khurasan, Bashrah, Kuf
fah, Iraq, dan Madinah. Akan tetapi, ia dikabarkan tidak pernah menginjakkan kakinya guna
menuntut ilmu ke Syam dan Mesir.  Ia juga dikabarkan tidak menuntut ilmu ke Baghdad, kar
ena, jika memang benar ia pernah mengunungi Baghdad, niscaya ia juga akan berguru pada I
mam Ahmad bin Hanbal. Tetapi, pada kenyataannya ia tidak pernah menerima riwayat apapu
n dari Imam Ahmad.  Pendapat ini disanggah oleh Al-Hafizh Ibn Nuqtah, bahwa sebenarnya
Abu Isa memang pernah singgah ke Baghdad, akan tetapi kunjungannya itu ia lakukan setela
h wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal, oleh karenanya mereka berdua tidak bertemu. Diakui, b
eliau adalah seorang ulama’ yang multitalented. Hal ini terbukti, dikarenakan kepiawaiannya
dalam berbagai bidang, yakni:
1. Ilmu Hadis; Ia dianugerahi daya ingat yang menakjubkan dalam menghapal ratusan ribu ha
dis lengkap dengan sanadnya. Tak hanya itu, ia pun mampu membedakan yang shahih dari ya
ng “sakit”, ia ahli dalam menetapkan kualitas hadis-hadis tersebut. Kitabnya (Sunan Al-Tirmi
dzi), merupakan bukti terbesar dari itu semua.
2. Ilmu ‘Ilal al-Hadis; Ia termasuk seorang yang pelopor dalam mengetahui keadaan hadis ser
ta illatnya. Ia mampu membedakan hadis-hadis yang “sakit” dari yang shahih, yang pastinya t
ak terlepas dari luasnya pengetahuan yang ia miliki hal ihwal perawi hadis: wafatnya, nama k
unyah serta nasabnya, maupun ketsiqahan dan kedha’ifannya.
3. Ilmu Jarh wa Ta’dil; 
4. Ilmu Fiqh; pengetahuannya mengenai mazhab-mazhab ahli fiqh beserta perbandingannya. I
a memahami fiqhnya Abu Hanifah, begitu pula fiqh Malik, Al-Tsauri serta Al-Syafi’i. Ia juga
menguasai fiqh para ahli hadis, seperti Ahmad ibn Hanbal, Ishak ibn Rahawaih, dan lain-lain.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat
berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.

Nama Guru dan Murid Imam At-Tirmidzi


Guru-gurunya amat banyak jumlahnya, diantaranya ialah: Muhammad ibn Basyar Bu
ndar (167-252 H), Muhammad ibn Al-Mutsanna Abu Musa (167-252 H), Ziyad ibn Yahya A
l-Hassani (w. 254 H), Abbas ibn Abdul ‘Azhim Al-‘Anbari (w. 246 H), Abu Sa’id Al-Asyaj
Abdullah ibn Sa’id Al-Kindi (w. 257 H.), Abu Hafsh ‘Amr ibn ‘Ali Al-Fallas (160-249 H), Y
a’qub ibn Ibrahim Al-Dauraqi (166-252), Muhammad ibn Ma’mar Al-Qaisi Al-Bahrani (w. 2
56 H), dan Nashr ibn ‘Ali Al-Jahdhami (w. 250 H). Mereka yang disebut di atas juga merupa
kan guru dari para penulis kutub al-sittah. Sedang gurunya yang lain ialah: Abdullah ibn Mua
wiyah Al-Jumahi (w. 243 H), Ali ibn Hujr Al-Marwazi (w. 244 H), Suwaid ibn Nasr ibn Suw
aid Al-Marwazi (w. 240 H), Qutaibah ibn Sa’id Al-Tsaqafi Abu Raja’ (150-240 H), Abu Mus
h’ab Ahmad ibn Abi Bakr Al-Zuhri Al-Madini (150-242 H), Muhammad bn Abdul Malik ibn
Abi Syawarib (w. 244 H), Ibrahim ibn Abdullah ibn Hatim Al-Harawi (178-244 H), Ismail ib
n Musa al-Fazari Al-Suddi (w. 245 H), Ishaq ibn Rahawaih, Muhammad ibn Amr al-Sawwaq,
al-Balki, Muhammad ibn Gailan, Yusuf ibn Isa, dan lain-lain. Selain guru-guru di atas, Abu I
sa juga belajar kepada Tirmidzi juga belajar kepada Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Im
am Abu Dawud. Karena kehebatan dalam disiplin ilmu hadis, tak pelak lagi, banyak orang ya
ng ingin menyerap dan mengkaji kedalaman pengetahuannya dengan menjadi muridnya. Mer
eka yang tercatat mengambil hadits dari Imam al-Tirmidzi di antaranya: Makhul bin al Afdha
l, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin muhammad al-Nafsiyyun, a
l-Haisam bin Kulaib al-Syasyi, dan Ahmad bin Yusuf al-Nasafi, Abi al-Abbas al-Mahbubi M
uhammad bin Ahmad bin Mahbub al-Marwazi, dan lain-lain.

Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di
antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir,
‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf
an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-
Jami’ daripadanya, dan lain-lain.

Daftar Karya Imam At-Tirmidzi


1. Kitab al-Jami’ al-Shahih, yang dikenal juga dengan al-Jami’ al-Tirmidzi, atau lebih popule
r lagi dengan Sunan al-Tirmidzi.
2. Kitab ‘Ilal, kitab ini terdapat pada akhir kitab al-Jami’ al-Tirmidzi.
3. Kitab Tarikh.
4. Kitab al-Sama`il al-Nabawiyyah.
5. Kitab al-Zuhud.
6. Kitab al-Asma’ wa al-Kuna.
7. Kitab al-‘Ilal al-Kabir.
8. Kitab al-Asma’ al-Sahabah.
9. Kitab al-Asma’ al-Mauqufat.
Di antara karya al-Tirmidzi yang paling monumental serta tersebar luas adalah kitab al-Jami`
al-Sahih atau Sunan al-Tirmidzi, sementara kitab-kitab yang lain, seperti: al-Zuhud, dan al-As
ma’ wa al-Kuna kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat umum.
Begitu populernya kitab al-Jami’ al-Shahih, maka tak sedikit kitab syarah yang bermunculan
untuk mensyarah kitab tersebut. Di antaranya:
1. Aridat al-Ahwadzi, ditulis oleh Abu Bakar ibn al-`Arabi al-Maliki.
2. Al-Munqihu al-Syazi fi Syarh al-Tirmidzi oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Muhamma
d yang terkenal dengan Ibn Sayyid al-Nas al-Syafi’.
3. Syarh Ibn Sayyid al-Nas disempurnakan oleh al-Hafiz Zainuddin al-‘Iraqi.
4. Syarh al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Abu al-Faraj Zainuddin `Abd al-Rahman ibn Syihabuddin
Ahmad ibn Hasan ibn Rajab al-Bagdadi al-Hanbali.
5. Al-Lubab oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani.
6. Al-‘Urf al-Syazi’ ala Jami’ al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Umar ibn Ruslan al-Bulqini.
7. Qat al-Mugtadi ‘ala Jami’ al-Tirmidzi oleh al-Hafiz al-Suyuti.
8. Ta’liq al-Tirmidzi dan Syarh al-Ahwazi oleh Muhammad Tihir.
9. Syarh Abu Tayyib al-Sindi.
10. Syarh Sirajuddin Ahmad al-Sarkandi.
11. Syarh Abu al-Hasan ibn `Abd al-Hadis al-Sindi.
12. Bahr al-Mazi Mukhtasar Sahih al-Tirmizi oleh Muhammad Idris’ Abd al-Ra’uf al-Marba
wi al-Azhari.
13. Tuhfat al-Ahwadzi oleh Abu ‘Ali Muhammad Abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Rahim al-Mub
arakfuri.
14. Syarh Sunan al-Tirmidzi dengan al-Jami’ al-Shahih oleh Ahmad Muhammad Syakir.
15. Al-‘Urf al-Syazi ala Jami’ al-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri.

Hari Wafat Imam At-Tirmidzi


Ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai kapan tepatnya Imam al-Tirm
idzi meninggal dunia. Al-Sam’ani dalam kitabnya al-Ansab menuturkan bahwa beliau wafat
di desa Bugh pada tahun 275 H. Pendapat ini diikuti oleh Ibn Khallikan. Sementara yang lain
mengatakan beliau wafat pada tahun 277 H. 
Sedangkan pendapat yang benar adalah sebagaimana dinukil oleh al-hafidh al-Mizzi dalam a
l-Tahdzib dari al-Hafidh Abu al-Abbas Ja’far bin Muhammad bin al-Mu’tazal-Mustaghfiri ya
ng mengatakan “Abu Isa al-Tirmidzi wafat di daerah Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab 27
9 H. Beliau wafat pada usia 70 tahun dan dimakamkan di Uzbekistan.“

Penilaian Ulama’ Terhadap Imam AT-Tirmidzi


Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan da
n keilmuannya. Diantaranya ialah Al Hakim, yang mengatakan “Saya pernah mendengar Um
ar bin Alak mengomentari pribadi Al Tirmidzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak
meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu ‘Isa Al-Tirmidzi
dalam hal luas ilmunya dan hafalannya.”
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadis menerangkan; Muhammad bin ‘I
sa al-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para
ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadis-hadisnya diriwayatkan ol
eh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, se
orang ulama dan imam yang menjadi panutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’ Al-S
hahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan p
engetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Al-Dzahabi dalam Tadzkirah Al-Huffazh, Al-Shadafi dalam Nakt Al-Himyat dan Al-
Mizzi dalam Al-Tahdzib telah mengutip pendapat Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibb
an, kritikus hadith, yang menggolongkan Al-Tirmidzi ke dalam kelompok “tsiqah” atau oran
g-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata: “Al-Tirmidzi adalah salah
seorang ulama yang mengumpulkan hadis, menyusun kitab, menghafal hadis dan bermuzakar
ah (berdiskusi) dengan para ulama.”
Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan
oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu
Dawud, yang berkata: “Saya mendengar Abu ‘Isa al-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dala
m perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadis-hadis ya
ng berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tany
a mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian say
a menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa
bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. 
Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar ha
dits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya.
Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang mas
ih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tid
akkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yan
g ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacak
an seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum data
ng kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. 
Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudia
n membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lal
u berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sa
mpai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.” Sement
ara itu, pujian lain disampaikan oleh Imam al-Hakim Abu Ahmad: “Sepeninggal Imam Bukh
ari, tiada ulama’ yang menyamai ilmu, kewara’an, dan kezuhudannya di Khurasan kecuali Ab
u Isa Al-Tirmidzi.”
Semua ini membuktikan bahwa sosok Imam al-Tirmidzi memang pantas mendapat sa
njungan. Namun demikian, ternyata ada sementara ulama yang menganggap bahwa Imam al-
Tirmidzi merupakan sosok yang tidak diketahui asal-muasal dan jatidirinya (majhul al-hal), s
ehingga –secara otomatis– periwayatannya ditolak begitu saja. Pandangan seperti inilah yang
antara lain dilontarkan Imam Ibn Hazm al-Dhahiri.
Statemen Ibn Hazm al-Dhahiri yang cukup kontroversial dan bertolak belakang denga
n pandangan mayoritas ulama ini telah membuat geger, terutama di lingkungan ulama’ hadis.
Bahkan Ibn Hazm banyak mendapat kecaman, antara lain datang dari Imam Ibn Hajar al-Asq
alani dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib. Dalam kitab itu sikap Ibn Hazm al-Dhahiri dianggap s
ebagai satu wujud kesombongan terhadap kedudukan para ulama yang telah masyur.
Imam al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, mengatakan, “Al-
Tirmidzi adalah al-hafizh (ahli hadis) yang kondang, penulis kitab al-Jami’ terpercaya dan dis
epakati periwayatannya.”Sedangkan pandangan Ibn Hazm al-Dhahiri tentang kemajhulan Tir
midzi disebabkan ia tidak mengenal dan mengetahui pribadi Tirmidzi beserta hasil-hasil kary
anya, seperti al-Jami’ dan al- Ilal. Sejarah juga membuktikan, pada saat itu kitab Al-Jami’ Al-
Shahih milik Imam Tirmidzi belum sempat masuk ke wilayah Andalusia, Spanyol, negeri tem
pat Ibn Hazm bermukim.
Ibn Katsir dalam karyanya al-Bidayah wa al-Nihayah menuturkan, “Pandangan Ibn H
azm tentang kemajhulan al-Tirmidzi tidak akan mengurangi keunggulannya. Sikap ini tidak a
kan merendahkan pribadi al-Tirmidzi di kalangan para ulama. Bahkan sebaliknya akan menur
unkan derajat Ibn Hazm sendiri dalam pandangan para ulama.”

B. Peran Imam Tirmidzi Dalam Pengembangan Hadits

 Merumuskan Hadits Hasan


Sebagaimana diketahui bersama bahwa dalam kajian hadits dikenal istilah mardud  d
an maqbul. Sebuah hadits yang dinyatakan  maqbul  dapat dijadikan hujah, yakni dapat dijad
ikan pedoman dan panduan pengalaman syari’at, dapat dijadikan alat istinbath dan bayan ter
hadap al Qur’an, sedangkan hadits mardud merupakan hadits yang ditolak sehingga tidak da
pat dijadikan hujah. Ditinjau dari segi maqbul dan mardud diatas, hadits dapat dibagi menjad
i hadits shahih, hadits dlaif, dan hadits hasan. Hadits Shahih adalah hadits yang musnad, yak
ni muttashil-nya sanad,  yang  dinukil oleh rawi-rawi yang ‘adil,  dlabith, sehingga sampai ke
pada Rasulullah atau orang yang bertemu Rasulullah (sahabat atau bukan sahabat), serta tidak
ber-‘illat dan tidak janggal.
Hadits Dlaif adalah hadits yang tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih atau sif
at-sifat hadits hasan. Pengertian yang lain menyebutkan bahwa hadits dlaif adalah hadits yan
g kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Dengan
perkataan lain dapat dirumuskan, bahwa hadits dlaif adalah hadits yang diketahui perawi yan
g menukil hadits  itu tertuduh kurang amanah, hafalannya lemah dan diriwayatkan oleh orang
yang tidak dikenal.
Dalam hal ditemukan hadits perawinya adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sedangka
n hadits-nya masyhur serta tidak ada cacat atau ditemukan hadits yang sanad-nya banyak, ha
nya saja perawinya tidak dikenal, tetapi perawi itu tidak terdapat dalam daftar perawi lemah d
an berbohong, maka hadits itudi bawah derajat shahih, tetapi di atas derajat dlaif. Terhadap h
aditsseperti inilah kemudian Imam Tirmidzi memberi nama hadits tersebut dengan sebutan h
adits hasan. Dengan demikian yang disebut dengan hadits hasan adalah hadits yang dinukil
oleh rawi yang kurang sempurna ke-dlabith-annya, tetapi selamat dari ‘illat dan kejanggalan.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa istilah hadits hasan muncul dikarenaka
n adanya husn al dzan (prasangka baik) terhadap perawi hadits, sehingga hadits yang diriway
atkan menjadi hasan, hanya saja tidak sampai pada derajat shahih. Dengan kata lain, hadits h
asan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya dalam soal ke-dlabith-an rawi.
Hadits shahih rawi-nya sempurna dlabith-nya (tam dlabith), sedangkan hadits hasan rawi-ny
a kurang sempurna dlabith-nya (qalil dlabith). Dengan demikian Penulis sepakat dengan kete
rangan yang menyatakan bahwa al Tirmidzi adalah orang pertama yang mempopulerkan pem
bagian hadits menjadi tiga macam tingkatan, yakni shahih, hasan , dan dlaif.

 Isnad dalam Kitab Jami’ al Tirmidzi


Para ulama’ hadits sependapat bahwa yang namanya isnad merupakan sesuatu yang s
angat penting dan ilmu yang demikian itu hanya dimiliki oleh umat Islam, agama lain tidak m
emiliki. Isnad ini merupakan suatu cara pemindahan berita dari orang yang terpercaya kepada
orang terpercaya lagi sampai kepada Nabi SAW.
Istilah isnad sendiri baru digunakan secara luas pada abad kedua hijriah, dimana para
penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai keotentikan hadits 
atas dasar isnad-nya. Mereka harus menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan
memilih hadits yang isnad-nya memenuhi standar yang ketat.
Ketika isnad  dijadikan standard untuk menilai keotentikan hadits, secara tidak langsu
ng, berarti memberikan pengertian kepada kita betapa pentingnya sistem periwayatan hadits,
walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbul – mardud-nya hadits. Na
mun begitu, sistem periwayatan ini dapat mempengaruhi dalam thariqah tarjih, yakni bila ad
a dua hadits maqbul yang saling bertentangan.
Melihat manfaat isnad yang sangat penting ini,  Imam Tirmidzi kemudian menerapka
n ilmu isnad dalam kitab Jami’ al Shahih al Tirmidzikarena manfaat dari ilmu isnad ini antar
a lain:
a.       Untuk mengetahui rawi masing-masing hadits;
b.      Untuk mengetahui jumlah rawi yang diperselisihkan dan yang disepakati;
c.       Untuk mengetahui rawi yang diperselisihkan, karena adanya penambahan dan peng
urangan;
d.      Untuk mengetahui periwayatan karena adanya tambahan penjelasan.
Adapun sistematika yang digunakan oleh Imam Tirmidzi adalah sebagai berikut:
1.      Pengumpulan riwayat hadits dengan cara-cara.
a)      Mengumpulkan beberapa isnad dalam satu matan hadits.
b)      Memperbanyak isnad dalam dalam satu matan.
c)      Masing-masing isnad  disebutkan pada masing-masing matan.
d)     Menunjuk kepada isnad hadits, karena sudah terkenal dan tel;ah dimaklumi para ula
ma’.
2.      Meriwayatkan hadits dengan sistem bab per bab secara terperinci.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa cara yang dilaku
kan oleh Imam Tirmidzi ini merupakan pembahasan yang mendalam tentang pemikiran lama
yang terpadu dengan pola pikir modern, sebab dengan usaha itu pembahasan yang pendek dal
am kitab Jami’ al Shahih al Tirmidzi berarti telah membahas ribuan hadits yang terkumpul be
rjilid-jilid, dalam waktu yang relatif pendek dari kitab-kitab hadits lain.

 Ilmu Mukhtalif Hadits dalam Jami’ Shahih al Tirmidzi


Pembahasan mukhtalif hadits merupakan salah satu pembahasan yang cukup penting
dan strategis dalam mempertahankan sunnah dari tanggapan negatif. Oleh karena itu telah dit
ulis oleh para ulama’ untuk menangkis tanggapan negatif tersebut.
Ilmu mukhtalif hadits adalah pengetahuan yang membahas hadits-hadits yang pada la
hirnya tampak adanya pertentangan, baik yang dapat dikompromikan maupun yang yang tida
k dapat.
Imam Tirmidzi juga telah membahas dengan bagus sekali dengan dasar ilmunya yang
mendalam, yang merupakan seni yang menyempurnakan ilmu ulama’ dalam memadukan ilm
u riwayah, dirayah, dan akal. Dalam hal menghadapi hadits  yang muhkatalif, Imam Tirmidz
i telah menggunakan dua pendekatan.
1.      Melakukan penelitian terhadap permasalahan yang menjadi dasar ikhtilafpada kedua hadits,
2.      Mengadakan kompromi terhadap dua hadits yang pada lahirnya terdapat pertentangan.
Langkah yang diambil Imam Tirmidzi, memang belumlah sempurna. Namun begitu, k
alau kita melihatnya dengan membandingkan apa yang dilakukan oleh ulama’ pada masa itu,
tampak bahwa apa yang dilakukan oleh Imam Tirmidzi ini cukup brilian, dimana Imam Tirmi
dzi ini lebih menitik beratkan pada kebenaran material dari hadits yang dibahas. Hal ini berbe
da dengan apa yang dibuat oleh Imam Syafi’i yang lebih menitik beratkan pada suatu tolok u
kur baik al Qur’an, hadits, maupun pendapat ulama’.[22]
Secara umum langkah yang diambil apabila ada dua hadits maqbulnilainya, namun sal
ing berlawanan lahirnya (mukhtalif) maka cara mengatasinya adalah:

a. Men-jama’-kan (mengkompromikan) keduanya sampai hilang perlawanannya, kedua-


duanya diamalkan.
b. Dicari rajih-marjuh-nya (tarjih), hadits yang rajih diamalkan dan yang marjuh diting
galkan. Dari segi ini ada tiga pandangan:

1)      Dari segi sanad (’itibar sanad);


a)      Rawi  yang banyak lebih kuat (rajih) daripada yang sedikit.
b)      Rawi sahabat besar lebih kuat (rajih) daripada rawi sahabat kecil.
c)      Rawi  yang tsiqah lebih kuat (rajih) daripada rawi yang kurang tsiqah.
2)      Dari segi matan (‘itibar matan);
a)      Hadits yang mempunyai arti hakikat me-rajih-kan hadits yang mempunyai arti maj
azi.
b)      Hadits  yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi me-rajih-kan hadits   yang
hanya mempunyai petunjuk maksud arti satu segi.
c)      Matan hadits qauli me-rajih yang fi’li.
3)      Dari segi hasil penunjukan (madlul). Madlul yang mutsbit (positif) me-rajih-kan yang naïf 
(negatif).

c. Dicari nasikh-mansukh-nya, yang nasikh  diamalkan dan yang mansukhditinggalkan.


Adapun cara nasakh adalah sebagai berikut:

1)      Penjelasan Syar’i sendiri (melalui pernyataan Nabi).


2)      Penjelasan dari sahabat, mereka menyaksikan wurud-nya hadits.
3)      Diketahui masa wurud-nya hadits:
a)      Terdapat kata-kata ibtida’ atau awal.
b)      Terdapat kata-kata qabliyah.
c)      Terdapat kata-kata ba’diyah.
d)     Terdapat kata-kata yang menunjukkan waktu ; sebulan sebelum, sebulan
sesudah, setahun sebelum, setahun sesudah dan lain-lain.

d. Di-tawaquf-kan bila tidak bisa di-jama’, di-tarjih, dan di-nasakh. Hadits-nya tidak di


amalkan.

 Ilmu Periwayatan Hadits dalam Jami’ Shahih al Tirmidzi

Sebagaimana diketahui ilmu periwayatan hadits merupakan pengetahuan yang menera


ngkan sifat-sifat perawi hadits, yakni mengenai ketaatan dan ketaqwaan mereka terhadap peri
ntah Allah, yang disebut dengan al ‘adalah, termasuk di dalamnya menghafal dan mengingat
hafalannya, yang disebut dengan al dlabith. Sifat-sifat itu disebut ta’dil, sedangkan perawi ya
ng tidak masuk kategori ‘adil dan dlabith, maka perawi tersebut diangap jarh. Dan ddalam se
jarah ilmu hadits, ilmu periwayatan ini kemudian tumbuh menjadi ilmu al jarh wa al ta’dil.
Imam Tirmidzi mengembangkan ilmu al jarh wa al ta’dil dengan menulis kitab ‘Ilal s
ebagai “saka guru” dari ilmu itu, yang menjadi dasar ikutan tentang kriteria di atas. Imam Tir
midzi ini terkenal dengan pendapatnya yang keras, yang tersebut dalam ‘Ilal-nya itu bahwa m
encela kepada orang itu diperbolehkan. Dan ia juga menolak orang yang tidak setuju. Ia juga
mencela beberapa ulama’ hadits.
Berdasarkan sumber-sumber dari ahli hadits dan hasil penelitiannya, Imam tirmidzi m
enyimpulkan empat hal kaitannya dengan al jarh wa al ta’dil, yaitu:
1.      Beberapa ulama’ salaf yang termasuk ta’dil, seperti Hasan al Bashri, Syu’bah Ibn al Hajaj,
Malik, Waqi’, Abd al Rahma Ibn Mahdi. Mereka ini disebut Imam Tirmidzi sebagai orang-or
ang yang taqwa, yang selalu menghidari perbuatan yang haram, sehingga periwayatannya dap
at dijadikan hujjah.
2.      Mencela dan memuji yang dilakukan ulama’ merupakan nasehat bagi kaum muslimin. Men
urut Imam Tirmidzi, hal ini bukan untuk merongrong kewibawaan, dan menyebar aib manusi
a, namun karena adanya hadits al din al nashihah. Oleh karenanya dibenarkan membicarakan
pelaku isnad hadits.
3.      Kesaksian dalam masalah agama, menurut Imam Tirmidzi lebih berhak untuk dikuatkan dar
ipada kesaksian harta.
4.      Menurut Imam Tirmidzi, ahli bid’ah tidak disebut sebagai perawi, bahkan wajib dicegah da
n tidak diakui sebagai saksi.
Demikianlah beberapa peranan yang dimainkan oleh Imam Tirmidzi dalam pengemba
ngan studi hadits, yang manfaatnya masih tetap bisa kita rasakan sampai saat ini, dan juga pa
da masa-masa yang akan datang.

Hadist yang diriwayatkan Imam Tirmidzi

Kitab ini juga dikenal dengan nama Jami’ At-Tirmizi.  Karya Imam At-Tirmizi ini
mengandung 3.959 hadis, terdiri dari yang sahih, hasan, dan dhaif. Bahkan, menurut Ibnu
Qayyim al-Jaujiyah, di dalam kitab itu tercantum sebanyak 30 hadis palsu. Namun, pendapat
itu dibantah oleh ahli hadis dari Mesir, Abu Syuhbah.

‘’Jika dalam kitab itu terdapat hadis palsu, pasti Imam At-Tirmizi pasti akan
menjelaskannya,’’ tutur Syuhbah. Menurut dia,  At-Tirmizi selalu memberi komentar
terhadap kualitas hadis yang dicantumkannya.

Anda mungkin juga menyukai