Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH PLENO KEPERAWATAN GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN PPOK DAN HIPERTENSI PADA LANSIA

Dosen Pembimbing :
Ns. Arneliwati, M.Kep
Disusun Oleh :
A 2017 3
Kelompok I

1711122683 Anggi Wahyudi 1711113660 Rezky Rizalti


1711114569 Yos Bayu Apriliano 1711113669 Nanik Saryati Hutabarat
1711113576 Ayu Anita 1711113673 Dwi Amalia Ramadhan
1711113595 Riska Apriani 1711113677 Salsabila Putri Aulia
1711113597 Anisa Arrasy Shiddieqy 1711113679 Anita Fitriyanti S.
1711113612 Ayu Lestari 1711113681 Reztika Cahyani
1711113633 Dwi Reskhi Novithasari 1711113684 Rima Eka Setiawati
1711113637 Aulia Sadeva 1711113701 Retno Ayu Widiyastuti
1711113656 Putri Dwi Ayuningrum 1711113705 Cintya Elsa Regina
1711113658 Siti Febryza Indra
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan kemampuan
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan PPOK dan Hipertensi pada Lansia”. Penulis menyadari bahwa penyelesaian
makalah ini tidak terlepas dari motivasi dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu, terima kasih
penulis ucapkan kepada:

1. Ibu Veny Elita, SKp., MN(MH) selaku dosen pembimbing Mandiri Tutorial dalam mata
kuliah Keperawatan Gerontik.
2. Ibu Ns. Arneliwati, M.Kep selaku dosen pembimbing Pleno dalam mata kuliah
Keperawatan Gerontik.
3. Kepada teman-teman seangkatan yang bersedia membantu dan memberikan masukan
yang bersifat membangun demi penyelesaian dan kesempurnaan makalah ini.

Semoga kebaikan yang telah mereka berikan dibalas oleh Allah Swt. Penulis telah
berusaha menyelesaikan makalah ini sesuai dengan ilmu dan pengetahuan yang penulis
peroleh. Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama dalam
kemajuan dunia pendidikan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi
sistematika penulisan maupun dari segi penyajian. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan dari pembaca. Atas perhatian, saran, dan kritikan dari
pembaca penulis ucapkan terima kasih.

Pekanbaru, 30 september 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG............................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................................ 3
C. TUJUAN.................................................................................................................. 4
BAB II ISI........................................................................................................................... 5
A. STEP 1..................................................................................................................... 5
B. STEP 2..................................................................................................................... 6
C. STEP 3..................................................................................................................... 7
D. STEP 4..................................................................................................................... 9
E. STEP 5..................................................................................................................... 10
.................................................................................................................................
F. STEP 6..................................................................................................................... 10
G. STEP 7..................................................................................................................... 10
BAB III PENUTUP............................................................................................................. 51
A. KESIMPULAN....................................................................................................... 51
B. SARAN.................................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 52

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang usia 65 tahun keatas (Potter
&Perry, 2010). Sedangkan organisasi kesehatan dunia WHO 2012 dalam Nugroho
(2012) menyatakan yang disebut lansia adalah usia 60 tahun. Lanjut usia atau yang
sering disebut dengan lansia, merupakan bagian dari proses tumbuh kembang
(Azizah, 2011). Lanjut usia adalah keadaan atau kondisi yang ditandai oleh kegagalan
seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologi
(Efendi, 2009).
Bertambahnya usia manusia, terjadi proses penuaan secara degeneratif yang
akan berdampak pada perubahan-perubahan pada tubuh manusia tersebut, tidak hanya
mengalami perubahan fisik, kognitif, perasaan, sosial tetapi seksual juga akan
mengalami perubahan (Azizah, 2011). Perubahan fisik yang terjadi pada lansia akan
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh terhadap beberapa penyakit. Penambahan usia
pada manusia sampai menjadi tua terjadi resiko peningkatan penyakit antara lain
kelainan jantung, dan pembuluh darah (Muniroh, dkk, 2007). Meningkatnya usia
seseorang akan diikuti dengan meningkatnya kejadian hipertensi, hal ini disebabkan
karena adanya perubahan alami jantung, pembuluh darah dan kadar hormon (Junaedi,
dkk, 2013). Akibatnya, masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia adalah
hipertensi atau tekanan dengan darah tinggi (Kowalski, 2010).
Hipertensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan tekanan darah
manusia. Gejala dari hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik≥120mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥80mmHg (Muttaqin, 2009). Diagnosis dari hipertensi
dapat di tegakkan jika rata-rata hasil pemeriksaan darah pada diastolik ≥90mmHg dan
sistolik ≥120mmHg (Potter &Perry, 2010).
Secara alami tekanan darah pada orang dewasa akan mengalami peningkatan
sesuai dengan bertambahnya usia. Lansia biasanya mengalami peningkatan tekanan
darah sistolik berhubungan dengan elastisitas pembuluh darah yang menurun (Potter
&Perry, 2010). Penurunan elastisitas pembuluh darah serta penyempitan pembuluh
darah arteri pada lansia merupakan salah satu faktor resiko terjadinya hipertensi.
Prevalensi hipertensi menurut WHO (2013) di seluruh dunia berkisar satu
miliar. Depkes RI (2014) pada tahun 2014 menyatakan terjadi peningkatan lansia
yang menderita hipertensi sekitar 50%. Angka kejadian hipertensi di Jawa Timur pada
1
tahun 2013 sebesar 26,2% berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013).
Dinas Kesehatan Kota Surabaya pada tahun 2014 mencatat hipertensi sebanyak 19,56
%.Penyebab hipertensi pada umumnya belum diketahui, namun ditemukan beberapa
faktor resiko penyebab terjadinya hipertensi yaitu adanya riwayat tekanan darah tinggi
dalam keluarga dan usia lanjut, kelebihan berat badan yangdiikuti dengan kurangnya
berolahraga, serta mengkonsumsi makanan yang berlemak dan berkadar garam tinggi
(Palmer, 2007).
Banyaknya faktor resiko penyebab hipertensi mengakibatkan hipertensi
merupakan penyakit dengan jumlah penderita yang banyak. Seiring dengan
bertambahnya usia menjadi salah satu faktor resiko dari hipertensi. Faktor yang terkait
proses menua beresiko hipertensi di karenakan terjadi kekakuan pada aorta,
peningkatan afterload (membutuhkan daya yang lebih banyak untuk memompa darah
dari ventrikel) dan peningkatan tahanan vaskuler (Sofia, 2014).
Hipertensi sering disebut silent killer (pembunuh siluman), karena sering kali
penderita hipertensi tidak merasakan gangguan atau gejala saat menderita hipertensi.
Hipertensi baru disadari oleh penderita saat mengalami komplikasi pada organ vital
(Triyanto, 2014). Komplikasi yang terjadi pada penderita hipertensi adalah penyakit
pada kardiovaskuler, aterosklerotik, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal ( Brunner
& Suddarth, 2013).
Selain itu, penyakit degenerative yang dialami oleh lansia adalah Penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK). Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan
penyakit yang masih dapat dicegah yang disebabkan oleh adanya inflamasi kronis
pada saluran nafas yang bersifat progresif. Penyakit ini ditandai dengan terbatasnya
aliran udara yang masuk ke saluran pernafasan (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2015). PPOK merupakan salah satu penyakit yang tidak
menular yang disebabkan oleh paparan yang lama terhadap rokok, dan polusi. Salah
satu gejala yang sering ditemukan pada penderita PPOK yaitu adanya sesak nafas
pada saat melakukan aktivitas dan terganggunya aliran udara masuk dan keluar dari
paru-paru (Smeltzer et al, 2013).
Berdasarkan data dari World Health Organisation (WHO) tahun 2015 terdapat
600 juta orang penderita PPOK di dunia, 65 juta diantaranya dengan diagnosis berat.
Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta jiwa meninggal akibat PPOK atau sama dengan 5%
dari jumlah kematian di dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat pada
tahun 2030 dan menjadi penyumbang angka kematian terbanyak dari penyakit tidak
2
menular. Sementara itu, di Indonesia angka penderita PPOK dari penduduk usia diatas
30 tahun sebanyak 3,7%, kejadian tertinggi di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti
Sulawesi Tengah (8,0%). Sejalan dengan itu, prevalensi PPOK di Sumatera Barat
mencapai 3,0% , angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan penderita PPOK di
provinsi lainnya, seperti Bengkulu 2,3 %, dan Jambi 2,1%.

Beberapa gejala yang muncul pada penderita PPOK bervariasi, umumnya akan
tampak sesak nafas yang muncul tiba-tiba, frekuensi nafas cepat, retraksi dinding
dada dan ekspirasi lebih panjang dari pada inspirasi (GOLD, 2010). Keterbatasan
aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi
kegiatansehari-hari. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang dapat
menghambat aktivitas penderita PPOK. Selain itu, manifestasi sistemik yang muncul
adalah inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit
kardiovaskuler, osteoporosis, dan depresi (Oemawati, 2013).
Rata-rata kematian akibat PPOK meningkat cepat, terutama pada penderita
laki-laki lanjut usia. Bronkhitis kronis ditandai oleh adanya sekresi mukus bronkus
yang berlebihan dan tampak dengan adanya batuk produktif selama 3 bulan atau
lebih, dan setidaknya berlangsung selama 2 tahun berturut-turut, serta tidak
disebabkan oleh penyakit lain yang mungkin menyebabkan gejala tersebut. (lawrence
M. Tierney, 2002)
Berdasarkan fenomena-fenomena yang penulis paparkan diatas, baik dari
gejala yang sering muncul, akibat dari masalah itu sendiri yang akhirnya mengurangi
produktifitas pasien. Untuk itu penulis dalam karya tulis ini mengambil judul Asuhan
Keperawatan PPOK dan Hipertensi pada Lansia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi PPOK?
2. Apa etiologi PPOK?
3. Apa patofisiologi PPOK?
4. Apa manifestasi Klinis PPOK?
5. Apa faktor Resiko PPOK?
6. Apa klasifikasi PPOK?
7. Apa penatalaksanaan PPOK?
8. Apa pemeriksaan Penunjang PPOK?

3
9. Apa komplikasi PPOK?
10. Apa asuhan Keperawata PPOK ?
11. Apa definisi Hipertensi?
12. Apa etiologi Hipertensi?
13. Apa patofisiologi Hipertensi?
14. Apa manifestasi klinis Hipertensi?
15. Apa faktor Resiko Hipertensi?
16. Apa klasifikasi Hipertensi?
17. Apa penatalaksanaan Hipertensi?
18. Apa pemeriksaan Penunjang Hipertensi?
19. Apa komplikasi Hipertensi?
20. Apa asuhan Keperawatan Hipertensi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi PPOK
2. Untuk mengetahui etiologi PPOK
3. Untuk mengetahui patofisiologi PPOK
4. Untuk mengetahui manifestasi Klinis PPOK
5. Untuk mengetahui faktor Resiko PPOK
6. Untuk mengetahui klasifikasi PPOK
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan PPOK
8. Untuk mengetahui pemeriksaan Penunjang PPOK
9. Untuk mengetahui komplikasi PPOK
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan PPOK
11. Untuk mengetahui definisi Hipertensi
12. Untuk mengetahui etiologi Hipertensi
13. Untuk mengetahui patofisiologi Hipertensi
14. Untuk mengetahui manifestasi Klinis Hipertensi
15. Untuk mengetahui faktor Resiko Hipertensi
16. Untuk mengetahui klasifikasi Hipertensi
17. Untuk mengetahui penatalaksanaan Hipertensi
18. Untuk mengetahui pemeriksaan Penunjang Hipertensi
19. Untuk mengetahui komplikasi Hipertensi
20. Untuk mengetahui asuhan Keperawatan Hipertensi
4
BAB II
PEMBAHASAN

A. STEP I
Terminologi
1. Sterm Fremitus
2. Kolesterol
3. Komposmentis
4. Sela iga
5. Ronkhi basah
6. Vesikuler positif
7. Perkusi hipersonor
8. Kaku kuduk

Jawaban:

1. Sterm Fremitus
Untuk mengetahui perubahan pergerakan nafas. Diketahui dengan dilakukan
taktil/sterm.
Getaran yang berasal dari laring ke bronkus yang mengakibatkan dinding dada
bergetar.
2. Kolesterol
Merupakan lemak yang berguna bagi tubuh. Namun jika berlebihan akan
menumpuk dan mengganggu aliran darah, biasanya disebut ateroklerosis.
Kolesterol juga merupakan lemak yang mirip zat lili. Dan diproduksi oleh organ
hati.
Nilai normal dari kolesterol adalah <200.
3. Komposmentis
Tingkat kesadaran sepenuhnya (normal). Respon kelingkungan sangat baik dan
dapat mejawab pertanyaan . Nilai dari GCS nya adalah 14-15.
4. Sela iga
Terlihat denyut pada vena jugularis, bila terjadi gagal jantung.
Terjadi karena hipertrofi otot bantu pernafasan. Dapat dilihat ketika melakukan
pemeriksaan rontgen dadad.
5. Ronkhi basah

5
Merupakan suara nafas tambahan, yaitu bunyi gelembung udara melewati cairan
(bunyi guggling).
Suara napas vibrasi terputus saat inspirasi dalam
6. Vesikuler positif
Suara nafas lemah. Suara nafas inspirasi lebih panjang dari ekspirasi.
7. Perkusi hipersonor
Bunyi resnonansi dengan tinggi nada rendah, bergaung-gaung dan terus menerus
mendekati bunyi timpani.
Suara nafas menurun di paru kiri, karena terdapat efusi pleura dan pneumothorax.
8. Kaku kuduk
Kekakuan pada leher, adanya rangsangan pada otak. Biasanya pada pasien
meningitis.
Nyeri yang dirasakan baik saat digerakkan atau tidak, baik digerakkan ke kanan
maupun ke kiri.
Bermula dari rasa ketidaknyamanan.

B. STEP II
Identifikasi Masalah
1. Apakah gaya hidup lansia ketika muda terutama pada pola makan mempengaruhi
kesehatannya di masa depan? Terutama pada peningkatan kolestrol?
2. Apakah keluhan yang dirasakan (sesak napas dll) karena merokok atau karena
gaya hidup beliau?
3. Apa penanganan pertama yang dapat dilakukan perawat berdasarkan keluhan yang
dirasakan nenek?
4. Apakah setiap orang yg merokok pada masa muda akan menglami gejala seperti
yang dialami nenek T?
5. Penyebab nenek mengalami batuk berdahak secara berulang?
6. Apakah ada obat tradisional lainnya yg dapat digunakan nenek?
7. Selain obat tradisional, apa yg dapat kita lakukan/berikan kepada nenek T untuk
mengatasi keluhannya?
8. Kenapa nenek T mengkonsumsi perasan daun seledri dan jus mentimun? Apa
manfaat dari kedua ramuan tsb?
9. Apakah yang perlu diketahui lansia dan keluarga agar tidak terjadi interaksi yg
merugikan akibat ramuan tradisional dan obat-obatan?
6
10. Apakah jika terus meneurus meminum ramuan akan berefek samping pada
tubuh?
11. Apakah ada efek samping jika meminum lebih dari 1 minuman?
12. Terkait penggunaan jus seledri dan nentimun apakah sudah ada EVB nya? Dan
sebenarnya dari seledri dan mentimun tersebut bagian apa yang digunakan?
Apakah batang nya daun nya dll
13. Apa yang menyebabkan dada nenek berbentuk seperti tong dan apakah adanya
pernafasan cuping hidung?
14. Dari pemeriksaan yang kita peroleh diagnose keperawatan apa yang dapat kita
angkat?
15. Apa yang menyebabkan pelebaran sela iga pada nenek T?
16. Bagaimana penalataksanaan awal untuk kasus nenek T?
17. Apa diagnose medis dari kasus yang dialami oleh nenek T?

C. STEP III (Pembahasan Masalah)


1. Usia muda sangat mempengaruhi saat kita nanti berumur lansia, karena makanan
junkfood berpengaruh dan bisa menyebabkan kolestrol tinggi dan pola makan
yang berlemak. Kadar kolestrol tingggi akan berpengaruh terhadap plak-plak.
Disaat usia muda lebih baik menjaga pola makan
2. Bukan hanya dari merokok tetapi juga karena gaya hidup lainnya.
Gaya hidup lainnya seperti makan, olahraga, dan lainnya. Merokok terdapat
ribuan bahakan kimia yang berbahaya bagi tubuh. Bahan silia. Saat seseorang
merokok akan menghasilkan asap yang berdampak pada rokok yang mengandung
berbagai zat kimia yang akan merusak fungsi jaringan. Sel paru tidak dapat
beregenerasi ketika mengalami kerusakan.
3. - Mengajarkan purse lip breathing utk sesak napas
- Posisi semiflower
- Terapi nebulizer dan batuk efektif
4. Tergantung dan belum tentu sama. Memiliki gejala berbeda tergantung gaya hidup
5. Peningkatan cairan di paru-paru. Peningkatan reaksi sehingga mengeluarkan
cairan. Sistem imun berkurang karena infeksi
6. - Seperti jahe untuk melebarkan pembuluh darah, Daun basil, kapulaga dan
bawang putih dan konsumsi kentang.
- Buah ara dengan dikeringkan dan direbus
7
- Berkumur dengan larutan garam (Berbhaay bagi hipertensi)
- Habbatusauda untuk batuk dan menguatkan fungsi paru
- Daun sirsak
7. - Posisi yang nyaman untuk sesaknya dan Menghirup uap dengan aroma ppermint
- Mengajarkan purse lip breathing utk sesak napas
- posisi semiflower
- Terapi nebulizer dan batuk efektif
- suction
8. Mempengaruhi kadar hipertensi, mencegah penumpukan kolestrol
9. Interaksi obat, ketepatan dosis, waktu, kualitas ramuan dan lainnya. Meceritakan
ke dokter mengenai minuman tradisional yg dikonsumsi agar tidak timbul efek.
Memperhatikan EVB
10. Pasti berefek pada tubuh. Jika terlalu berlebihan, akan berdampak buruk bagi
kesehatan.
11. Tidak ada jika seledri dan mentimun digabungkan krn dapat menghidrasi tubuh
dan mencegah kanker dll. Harus diperhatikan dari indikasi dan kontraindikasi.
Tergantung dari dosis yang orang tersebut minum
12. Bagian daging mentimun dan daun dari seledri
13. Terjadi retraksi dinding dada dan cuping hidung karena suplai 02 tidak terpenuhi
dan sesak sehingga tubuh menyuplai dg pernapasan melalui hidung
14. Kebersihan jalan napas tidak efektif dan pola napas tidak efektif
15. Karena hipertrofi kesulitan bernapas
16. Sesuai dx kebersihan jalan napas, maka dapat kita ajarkn cara batuk efektif krn
mengalami batuk berdahak. Jika sesak napas, maka bisa kita berikan o2 dan posisi
semifowler
17. Berdasarkan gejala yang dialami nenek T diagnosa medis yang dialami nenek T
adalah penyakit PPOK dan Hipertensi

8
4. STEP IV (SKEMA dan Penentuan Tema)

Nenek T (62 Th)

DS: - Nyeri Dada, kepala pusing, sering


junkfood, riwayat merokok Ds: Sesak Nafas, Nyeri dada, Batuk Berdahak
DO: TD: 180/110 Mmhg, Nadi: 112 x/m, DO: Warna kulit kemerahan, bertubuh kurus, dada
Rr: 30x/m, S: 37,20C, Status: Generalis berbentuk tong, pernafasan cuping hidung, perkusi
hipersonor, stem fremitus, pelebaran sel iga
,
,

Obat Tradisional daun seledri dan mentimun

Bantuk efektif

Suction

Istirahat yang cukup

Hipertensi PPOK

TEMA : ASUHAN KEPERAWATAN PPOK DAN HIPERTENSI PADA


LANSIA

9
5. STEP V (LEARNING OBJECTIVE)
1. Definisi PPOK
2. Etiologi PPOK
3. Patofisiologi PPOK
4. Manifestasi Klinis PPOK
5. Faktor Resiko PPOK
6. Klasifikasi PPOK
7. Penatalaksanaan PPOK
8. Pemeriksaan Penunjang PPOK
9. Komplikasi PPOK
10. Asuhan Keperawata PPOK
11. Definisi Hipertensi
12. Etiologi Hipertensi
13. Patofisiologi Hipertensi
14. Manifestasi Klinis Hipertensi
15. Faktor Resiko Hipertensi
16. Klasifikasi Hipertensi
17. Penatalaksanaan Hipertensi
18. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi
19. Komplikasi Hipertensi
20. Asuhan Keperawatan Hipertensi

6. STEP VI (MANDIRI)

7. STEP VII
A. Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) pada Lansia
1. Definisi PPOK
PPOK adalah penyakit paru-paru yang ditandai dengan penyumbatan pada
aliran udara dari penyakit paru-paru. Penyakit ini merupakan penyakit yang
mengancam kehidupan dan menganggu pernafasan normal (WHO, 2016)
PPOK adalah penyakit yang umum, dapat dicegah, dan dapat ditangani, yang
memiliki karakteristik gejala pernapasan yang menetap dan keterbatasan aliran

10
udara, dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus yang biasanya
disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya (GOLD, 2017).
Penyakit paru obstruktif kronik adalah suatu kelainan dengan ciri-ciri adanya
keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible di mana paru-paru
tidak dapat mengembang sepenuhnya yang diakibatkan oleh sekret di paru-paru
(Lyndon Saputra, 2010).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit tidak menular dan
menjadi masalah kesehatan dunia. Definisi PPOK adalah penyakit yang ditandai
dengan keterbatasan aliran udara bersifat progresif berhubungan dengan inflamasi
kronik saluran napas dan parenkim parua kibat pajanan gas atau partikel
berbahaya. Hambatan aliran udara pada PPOK terjadi karena perubahan struktur
saluran napas yang disebabkan destruksi parenkim dan fibrosis paru.

2. Etiologi PPOK
a. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara , industri gelas dan keramik
yang terpapar debu, debu gandum, asbes mempunyai resiko yang lebih besar
dari pada lainnya
b. Kurangnya alfa anti tripsin.
Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang normalnya melindungi paru-
paru dari kerusakan peradangan orang yang kekurangan enzim ini dapat
terkena empisema pada usia yang relatif muda, walau pun tidak merokok.
c. Kebiasaan merokok
Merupakan penyebab utama pada bronkhitis dan emfisema.
d. Adanya infeksi
Haemophilus influenza dan streptococcus pneumonia.
e. Infeksi sistem pernafasan akut
Seperti phenumonia, bronkitis, dan asma dengan kondisi seperti ini
beresiko mendapatkan PPOK
f. Pajanan dari partikel
Antara lain yang pertama adalah merokok merupakan penyebab PPOK
terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. Perokok aktif dapat
mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan
ada hubungan antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama
11
(VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. Perokok pasif juga
menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas
berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap
janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-paru-nya (Oemiyati, 2013).
g. Polusi indoor
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek
misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak
diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Manusia banyak
menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor) seperti rumah,
tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan. Polutan indoor
yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak
dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat,
karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan
peliharaan serta perokok pasip. (Oemiyati, 2013).
h. Polusi outdoor
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling
kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap
pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relative kendaraan
sepeda motor di jalan raya pada dekade terakhir ini saat ini telah
mengkhawatirkan sebagai masalah polusi udara pada banyak kota
metropolitan seluruh dunia. Pada negara dengan income rendah dimana
sebagian besar rumah tangga di masyarakat menggunakan cara masak
tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi indoor dari bahan
sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan penyakit kardio
respiratory, khususnya pada perempuan yang tidak merokok PPOK adalah
hasil interaksi antara faktor genetic individu dengan pajanan lingkungan dari
bahan beracun, seperti asap rokok, polusi indoor dan out door.
i. Faktor Usia dan jenis kelamin
Sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-paru bahkan pada saat
gejala penyakit tidak dirasakan.

3. Patofisiologi PPOK

12
Karakteristik utama PPOK adalah keterbatasan aliran udara sehingga
membutuhkan waktu lebih lama untuk pengosongan paru. Peningkatan tahanan
jalan napas pada saluran napas kecil dan peningkatan compliance paru akibat
kerusakan emfisematus menyebabkan perpanjangan waktu pengosongan paru. Hal
tersebut dapat dinilai dari pengukuran Volume Ekspirasi Paksa detik pertama
(FEV1) dan rasio FEV1 dengan Kapasitas Vital Paksa (FEV1/FVC) (Masna dan
Fachri, 2014).
Patofisiologi pada pasien PPOK menurut The Global Initiative for Chronic
Obstructive Pulmonary Disease 2017 sebagai berikut :
a. Keterbatasan aliran udara dan air trapping
b. Ketidaknormalan pertukaran udara
c. Hipersekresi mucus
d. Hipertensi pulmoner
e. Eksaserbasi
f. Gangguan sistemik

Perubahan patologi pada pasien PPOK menurut The Global Initiative for
Chronic Obstructive Pulmonary Disease 2017 antara lain:
a. Inflamasi kronis, dengan peningkatan jumlah sel radang di paru
b. Perubahan stuktur saluran napas, akibat luka dan perbaikan yang berulang
kali.

13
Pathway PPOK

Sumber : NANDA, 2013

4. Manifestasi Klinis PPOK


Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas. Sesak
napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena
terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi

14
komplain ketika FEV <60% prediksi. Pasien biasanya mendefinisikan sesak napas
sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas, gasping, dan
air hunger. Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis
adalah gejala awal perkembangan PPOK. Gejala ini juga biasanya merupakan
gejala klinis yang pertama kali disadari oleh pasien. Batuk kronis pada PPOK bisa
juga muncul tanpa adanya dahak (Alfred, 2008).
Tanda dan gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah sebagai
berikut (Douglas, 2004 dalam Muttaqin Arif, 2014):
a. Kelemahan Badan.
b. Batuk.
c. Sesak nafas.
d. Sesak nafas saat aktivitas dan nafas berbunyi.
e. Mengi atau wheeze.
f. Ekspirasi yang memanjang.
g. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
h. Penggunaan otot bantu pernapasan.
i. Suara nafas melemah.
j. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal.
k. Edema kaki, asites dan jari tabuh.

5. Faktor Resiko PPOK


Menurut GOLD, 2017
a. Faktor genetik: Jika memiliki anggota keluarga yang mengidap PPOK, Anda
juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit yang sama
b. Usia & jenis kelamin
PPOK akan berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun. Gejala
penyakit umumnya muncul pada pengidap yang berusia 35 hingga 40 tahun.
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru
d. Pajanan terhadap partikel, gas berbahaya: Misalnya asap kendaraan bermotor,
debu jalanan,gas buangan industri, briket batu bara, debu vulkanik gunung
meletus, asap kebakaran hutan, asap obat nyamuk bakar, asap kayu bakar, asap
kompor, polusi di tempat kerja (bahan kimia, debu/zat iritasi, dan gas
beracun).
e. Faktor sosial ekonomi
15
f. Asma dan hipereaktivitas saluran napas
g. Bronkitis kronis
h. Infeksi berulang di saluran napas
i. Merokok: Pajanan asap rokok pada perokok aktif maupun pasif merupakan
faktor utama penyebab PPOK serta sejumlah penyakit pernapasan lainnya.
Diperkirakan, sekitar satu dari empat orang perokok aktif mengidap PPOK.
j. Lainnya seperti defesiensi alfa1 antrypsin, asma/ hiperreaktivitas bronkus,
status sosio ekonomi, dan infeksi (Alfred, 2008)

6. Klasifikasi PPOK
Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic Obstructif
Lung Disease (GOLD) (2011) dalam Rahmadi (2015).
a. Derajat 0 (Beresiko )
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum
dan dyspnea. Ada paparan terhadap factor risiko.
Spirometri : Normal
b. Derajat 1 (PPOK Ringan )
Gejala klinis : dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak naaps derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1.
Spirometri : FEV1/FVC < 70 %, FEV1 ≥ 80%
c. Derajat 2 (PPOK Sedang )
Gejala Klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak napas derajat sesak 2 (Sesak timbul pada saat beraktivitas).
Spirometri : FEV1/FVC < 70 %; 50%, < FEV1 < 80%
d. Derajat 3 (PPOK Berat )
Gejala Klinis : sesak napas derajat sesak 3 dan 4. Eksaserbasi lebih sering
terjadi
Spirometri : FEV1/FVC < 70 %; 30%, < FEV1 < 50%
e. Derajat 4 (PPOK Sangat Berat)
Gejala Klinis : Pasien dengan derajat 3 gagal napas kronik. Disertai
Komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri : FEV1/FVC < 70 %; FEV1 < 30% atau < 50%

7. Penatalaksanaan PPOK
16
Non Farmakologi
1. Edukasi dan self managemen
Tujuannya adalah untuk memotivasi dan membuat pasien tetap berpikir positif
dalam mengahadapi penyakitnya. Selain itu, juga membantu pasien
memodifikasi faktor risiko yang dapat sebagai pencetus eksaserbasi. Pasien
juga diharapkan dapat melakukan penanganan apabila gejala muncul.
Penyuluhan seperti mendorong perokok untuk berhenti merokok juga dapat
dilakukan.
Penatalaksanaan edukasi sangat penting pada PPOK keadaan stabil yang
dapat dilakukan dalam jangka panjang karena PPOK merupakan penyakit
kronis yang progresif dan irreversible. Intervensi edukasi untuk menyesuaikan
keterbatasan aktifitas fisik dan pencegahan kecepatan penurunan fungsi paru.
Edukasi dilakukan menggunakan bahasa yang singkat, mudah dimengerti dan
langsung pada inti permasalahan yang dialami pasien. Pelaksanaan edukasi
seharusnya dilakukan berulang dengan materi edukasi yang sederhana dan
singkat dalam satu kali pertemuan.
Materi edukasi yang dapat diberikan yaitu:
a) Dasar- dasar penyakit PPOK
b) Manfaat dan efek samping obat-obatan
c) Mencegah penyakit tidak semakin memburuk
d) Menjauhi faktor penyebab (seperti merokok)
e) Menyesuaikan aktifitas fisik

2. Aktivitas fisik dan program rehabilitasi paru


Pada pasien dengan PPOK, terjadi penurunan aktivitas. Oleh karena itu perlu
memilih aktivitas agar tidak terjadi eksaserbasi melalui beberapa program.
Aktivitas olahraga rutin 10-45 menit. Program rehabilitasi paru, dapat
mencegah proses teradinya eksaserbasi. Program rehabilitasi termasuk
pelatihan aktivitas fisik, konseling nutrisi, berhenti merokok, dan edukasi.
Program latihan fisik dapat mengurangi gejala yang muncul saat melakukan
aktivitas berat serta dapat meningkatkan efek kerja obat. Selain itu, aktivitas
fisik aerobik dapat meningkatkan kekuatan dan apabila difokuskan pada
ekstremitas atas, dapat memperkuat otot pernapasan inspirasi. Hal tersebut
tentunya harus disesuaikan dengan terapi nutrisi.
17
3. Nutrisi
Konseling nutrisi. Pada pasien PPOK, kebutuhan asupan protein (15%-20%
dari kalori) dengan lemak (30%-45% dari kalori) dan karbohidrat (40% -55%
dari kalori) penting untuk menjaga Respiratory Quotient (RQ) yang cukup dari
utilisasi substrat. Replesi, bukan overfeeding, adalah prinsip penting dari
rumatan nutrisi. Penyakit lain dapat terjadi bersamaan, seperti penyakit ginjal
atau kardiovaskular, kanker, atau diabetes mellitus. Kondisi tersebut
mempengaruhi jumlah total, rasio, dan jenis protein, lemak, dan karbohidrat
yang diberikan (Fasitasari, 2013).
Pasien PPOK sering mengalami malnutrisi yang disebabkan meningkatnya
kebutuhan energi sebagai dampak dari peningkatan otot pernafasan karena
mengalami hipoksemia kronis dan hiperkapni sehingga terjadi
hipermetabolisme. Malnutrisi akan meningkatkan angka kematian pada pasien
PPOK karena berkaitan dengan penurunan fungsi paru dan perubahan analisa
gas darah.

ASUPAN ENERGI
Asupan energi dari makanan harus seimbang dengan kebutuhan energi
individu karena asupan energi yang tidak adekuat dapat menimbulkan masalah
kesehatan. Asupan energy yang kurang dari kebutuhan tubuh akan
menyebabkan tubuh menggunakan cadangan energi tubuh, bila kondisi
berlangsung lama maka akan terjadi penurunan berat badan dan berpengaruh
terhadap status gizi (Anggraeni, 2017). Memelihara keseimbangan energy
optimal pada pasien PPOK penting untuk mempertahankan berat badan, FFM
(Free Fat Mass), dan kesehatan tubuh secara umum. Fungsi otot pernafasan
sangat dipengaruhi oleh penurunan status gizi dan sangat terkait dengan berat
badan dan massa tubuh bebas lemak (Fasitasari, 2013). Berdasarkan penelitian
Khan, et al (2016) menunjukkan bahwa suplementasi gizi dengan protein
tinggi dan diet energi selama 12 minggu intervensi dapat meningkatkan
komposisi tubuh dan berat badan, kapasitas olahraga serta kualitas hidup pada
pasien PPOK yang stabil.

18
ASUPAN PROTEIN
Protein adalah salah satu zat gizi makro yang penting. Fungsi utama
protein ialah membangun serta memelihara jaringan tubuh. Fungsi lain ialah
sebagai pembentu ikatan ikatan esensial tubuh, seperti hormon, enzim dan
antibodi, mengatur keseimbangan air dan mengangkut zat-zat gizi. Protein
juga merupakan sumber energy yang ekivalen dengan karbohidrat. Jika asupan
karbohidrat makanan tidak mencukupi, maka protein akan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi dengan mengalahkan fungsi utama protein
sebagai zat pembangun. Sebaiknya apabila asupan karbohidrat makanan
mencukupi, maka protein akan digunakan sebagai zat pembangun
( Anggraeni, 2017). Protein memiliki peranan penting dalam melindungi
tubuh. Protein menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi. Antibodi adalah
protein yang mengikat partikel-partikel asing berbahaya yang memasuki tubuh
manusia. Pada pasien PPOK, kehilangan asupan protein dapat menurunkan
status gizi pasien karena berkurangnya kemampuan paru-paru dalam melawan
infeksi. Kebiasaan mengkonsumi makanan sumber protein yang sehat seperti
ayam, ikan, dan kacang-kacangan, dibandingkan daging merah termasuk
daging merah olahan, dapat menurunkan risiko terkena beberapa penyakit
tidak menular dan risiko kematian dini (Hardinsyah dan Supriasa, 2016).
Penelitian Debellis, et al (2012) menunjukkan bahwa dukungan nutrisi
merupakan bagian penting dari rencana pengobatan untuk pasien dengan
PPOK. Perawatan yang tepat untuk mencegah malnutrisi akan memiliki
dampak signifikan terhadap kualitas hidup dan hasil keseluruhan pasien.
Secara umum, pasien PPOK bisa mendapat manfaat dari diet tinggi protein
karena memilih diet yang tepat bisa memiliki efek positif yang substansial
pada umur panjang dan kualitas hidup pasien.

4. Ventilasi mekanis
Ventilasi mekanis pada PPOK diberikan pada eksaserbasi dengan adanya
gagal nafas yang akut, gagal nafas akut pada gagal nafas kronis atau PPOK
derajat berat dengan gagal nafas kronis. Ventilasi mekanis dapat dilakukan di
rumah sakit (ICU) dan di rumah.
19
Farmakologi

1) Golongan Beta 2 Agonis


Bronkhodilator bekerja dengan melebarkan jalan nafas sehingga dapat
menurunkan resistensi jalan nafas. Bronkhodilator dapat diberikan tunggal
atau kombinasi tergantung derajat serangan PPOK. Golongan beta 2 agonis
bekerja dengan menstimulasi reseptor beta2-adrenergik yang mengakibatkan
relaksasi ott polos jalan nafas.
Jenis Obat :
a) Short Acting B2 Agonis (SABA)
- Salbutamol
- Feneterol
- Levelbuterol
- Terbutaline
b) Long Acting B2 Agonis (LABA)
- Arformotevol fermoterol
- Indacateril
- Olodaterol
- Salmeterol
2) Bronkodilator
Pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV / mengubah
variable spirometri dgn cara mempengaruhi otot polos pada jalan nafas.
• antokolinergik : obat yang termasuk pada golongan ini adalah :
Ipratropilin, oxitropin, dan tiopropium bionode
• methyxanthine. Contoh obat yang tergolong adalah : tefilin, obatin.
3) bronkoskopi dan operasi
Indikasi dilakukan tindakan ini adalah:
• Pasien dengan enfisema heterogen atau homogen dan signifikan refrakter
hiperfentilasi, dimana tindakan dilakukan untuk menurunkan volumen
paru.
• Pasien dengan bulla yang besar, dapat disarakan operasi bullektomi

20
• Pasien PPOK sangat berat tanpa kontraindikasi, disarankan melakukan
transplantasi paru

Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :

a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini


umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.

b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman


penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi
beta laktamase.

c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada


pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10
hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.

d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena


hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.

e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.

f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik.

Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250
mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25- 0,5 g iv
secara perlahan.

Tata Laksana Terapi (Menurut PDPI, 2011)


a. Non Farmakologis.
1) Berhenti Merokok
Berhenti merokok tidak hanya mencegah PPOK terjadi, tetapi juga dapat
meningkatkan fungsi paru ketika penyakit didiagnosis. (Francis, 2008).
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif
dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat

21
progresivitas penyakit. Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok
adalah 5A (PDPI, 2011):
a. Ask (Tanyakan).
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise (Nasihati).
Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
c. Assess (Nilai).
Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke depan).
d. Assist (Bimbing).
Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling
praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur).
Buat jadwal kontak lebih lanjut.

Selain menahan diri dari merokok, pajanan ke iritan atau alergen jalan nafas
lainnya harus dihindari. Pasien harus tetap di dalam ruangan selama periode
polutan udara yang banyak untuk mencegah eksaserbasi penyakit. Sistem
penyaring udara atau proses pengaturan suhu dapat berguna (Francis, 2008).

Tindakan higiene paru, termasuk hidrasi, betuk efektif, perkusi, dan drainase
postural, digunakan untuk memperbaiki bersihan sekresi jalan nafas.
Mempertahankan hidrasi sistemik adekuat diperlukan untuk menjaga sekresi
tetap tipis.

2) Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi keletihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan
optimal yang disertai: simptom pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang
gawat darurat, kualitas hidup yang menurun. Program rehabilitasi terdiri dari 3
komponen yaitu: latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan (PDPI,
2011).
3) Terapi Oksigen.

22
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ-organ lainnya.
4) Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena
berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas
darah (PDPI, 2011)

b. Farmakologis.
Berikut adalah obat-obatan yang sering digunakan untuk penatalaksanaan PPOK
sebagaimana tercantum dalam PDPI (2011):
1) Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk
obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator :
a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir.
b) Golongan agonis β-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c) Kombinasi antikolinergik dan agonis β-2

23
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
d) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega nafas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut.

c. Pembedahan
Ketika terapi medis tidak lagi efektif, transplantasi paru dapat menjadi pilihan. Baik
transplantasi tunggal maupun bilateral telah dilakukan dengan berhasil, dengan
angka kesintasan 2 tahun sebesar 75%. Pembedahan redukasi paru merupakan
intervensi pembedahan eksperimental untuk emfisema difus lanjut dan hiperinflasi
paru, membentuknya kembali, dan memperbaiki elastic recoil. Sebagai hasilnya,
fungsi paru dan toleransi latihan membaik dan dispnea berkurang.

8. Pemeriksaan Penunjang PPOK


a. Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)
Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan
penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk
memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam
berbagai tingkat.Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal
udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital
capacity (FVC). Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan
pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver tersebut, atau disebut
dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua
pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai fungsi
paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1
dan FVC serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilator
dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan
15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan nilai
FEV1 <20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di
24
luar eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian
bronkodilator dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK
berdasarkan derajat obstruksinya. Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria
adalah:
a) Stage I : Ringan
Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio
FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.

b) II : Sedang
Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80%
dari nilai prediksi.
c) Stage III : Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50%
dari nilai prediksi.
d) Stage IV : Sangat Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30%
ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.

b. Foto Torak PA dan Lateral


Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran
hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal
melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler
(memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis
dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun
dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian
bagian yang hiperlusen.

c. Analisa Gas Darah (AGD)


Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting
dilakukan dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita
menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tanda-
tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral,
pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure. Analisa
25
gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan
emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada
bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi yang sedang
sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga menunjukkan
hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis
respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan
karena pada bronkitis kronis terjadiadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q
ratio) yang nyata. Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu
oleh karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan
berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada
emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia
atau hipoksia ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk
menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau
keseimbangan asam basa.

d. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui
pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia

e. Pemeriksaan Darah rutin


Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus
seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada
hipoksemia kronik.

f. Pemeriksaan penunjang lainnya


Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui
komplikasi pada jantung yang ditandai oleh koor pulmonale atau hipertensi
pulmonale.

9. Komplikasi PPOK
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah:
a. Gagal nafas
26
 Gagal nafas kronis
Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2,
bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu
aktivitas atau waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan pursed
lips breathing.
 Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas
dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam,
kesadaran menurun.
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi
kronis ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah.
c. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal
jantung kanan.
d. Infeksi respirator
Disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan rangsangan otot polos
bronkial serta edema mukosa.
e. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55mmHg, dengan
nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnyaklien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi,dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan
timbul sianosis.
f. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea).Tanda yang
muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi,dizzines, dan takipnea.
g. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonall (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering
kali berhubungan dengan bronkitiskronis, tetapi klien dengan emfisema berat
juga dapatmengalami masalah ini.
h. Kardiak Ditrisma

27
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atauasidosis
respiratori.
i. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma brokial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancamkehidupan, dan sering kali
tidak berespons terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernapasan dan distensivena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma.

10. Asuhan Keperawatan PPOK pada Lansia

Pengkajian

a. Anamnesis
1) Idenditas
Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi
karena peningkatan penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara maju
dan risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya
bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara
miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan perempuan hampir
sama (Ismail et al., 2017). Kebanyakan penderita PPOK terjadi pada individu di
atas usia 40 tahun (PDPI, 2011). Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan
fungsi respirasi pada umur 30-40 tahun(Oemiati, 2013).
2) Keluhan utama
Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah berat bila aktivitas, kadang-
kadang disertai mengi, batuk kering atau dengan dahak yang produktif, rasa berat
di dada(PDPI, 2011).
3) Riwayat kesehatan sekarang
Menurut Oemiati (2013) Bahwa Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi
mucus dan obstruksi jalan napas kronik.Perokok pasif jugamenyumbang terhadap
symptom saluran napas dan dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat
menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Kebiasaan memasak dengan bahan
biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar
kayu dan asapbahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%
dapat memicu terjadinya PPOK. Produsi mukus berlebihan sehingga cukup

28
menimbulkanbatuk dengan ekspetorasi selama beberapa hari ± 3 bulan dalam
setahun dan paling sedikit dalam dua tahun berturut-turut dapat memicu terjadinya
PPOK (Somantri, 2012).
4) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan,
riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja (PDPI, 2011). Dan
memiliki riwayat penyakit sebelumnya termasuk asama bronchial, alergi, sinusitis,
polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa kanak-kanak dan penyakit respirasi
lainya. Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi(Soeroto & Suryadinata, 2014).
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga(PDPI, 2011). Riwayat keluarga PPOK
atau penyakit respirasi lainya. (Soeroto & Suryadinata, 2014). Riwayat alergi pada
keluarga (Mutaqqin, 2008).
6) Pola Fungsi Kesehatan
Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan PPOK menurut
Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
a) Pola Nutrisi dan Metabolik.Gejala: Mual dan muntah, nafsu makan
buruk/anoreksia, ketidakmampuan untuk makan, penurunan atau peningkatan
berat badan.Tanda: Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.
b) Aktivitas/Istirahat.Gejala:Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan
sehari-hari, ketidakmampuan untuk tidur, dispnea pada saat aktivitas atau
istirahat.Tanda: Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan
massa otot.
c) Sirkulasi.Gejala: pembengkakan pada ekstremitas bawah.Tanda: Peningkatan
tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardi berat, distensi vena
leher, edema dependent, bunyi jantung redup, warna kulit/membran mukosa
normal/cyanosis, pucat, dapat menunjukkan anemia.
d) Integritas Ego.Gejala: peningkatan faktor resiko, dan perubahan pola
hidup.Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsangan
e) Hygiene.
Gejala: Penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hygiene.Tanda:
Kebersihan buruk, bau badan.

29
f) Pernapasan.Gejala: Batuk menetap dengan atau tanpa produksi sputum selama
minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun, episode batuk
hilang timbul.Tanda: pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu
pernapasan, bentuk dada barel chest atau normo chest, gerakan diafragma
minimal, bunyi nafas ronchi, perkusi hypersonan pada area paru, warna pucat
dengan sianosis bibirdan kuku, abu-abu keseluruhan.
g) Keamanan
Gejala:Riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan,
adanya/berulangnya infeksi.
h) Seksualitas
Gejala: Penurunan libido
i) Interaksi Sosial.
Gejala: hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan terhadap
pasangan/orang terdekat, ketidakmampuan membaik karena penyakit
lama.Tanda: ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena disstres
pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan dengan anggota
keluarga lain.
b. Pemeriksaan fisik
Pada penderita dini, pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan. Pda inspeksi
akan dijumpai kelainan :
a) Mulut mencucut
b) Barrel chest
c) Penggunaan otot bantu napas
d) Hipertropi otot bantu napas
e) Pelebaran sela iga
f) Bila telah terjadi gagal jantung knan terlihat denyut jugularis di leher dan
edema pada tungkai (Gold 2017).

Diagnosis Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan


Tujuan dan KH Intervensi
1 Ketidakefektifan Bersihan jalan NOC: NIC
nafas - Respiratory Status: a. Manajemen Jalan Napas:
Definisi: Ventilation Memfasilitasi kepatenan
Ketidakmampuan untuk - Respiratory Status: jalan udara.

30
membersihkan sekret atau Airway Patency b. Pengisapan Jalan Napas:
obstruksi saluran nafas guna - Aspiratory Control Mengeluarkan sekret dari
mempertahankan jalan nafas yang Setelah dialakukan jalan napas dengan
bersih (Wilkinson, 2017). tindakan 1 x 24 jam memasukkan sebuah
Batasan Karakteristik : klien menunjukkan kateter pengisap ke dalam
Batasan karakteristik yang dapat keefektifan jalan nafas jalan napas oral dan/atau
ditemukan pada ketidakefektifan dengan KH: trakea.
bersihan jalan napas menurut - Mendemonstrasikan c. Kewaspadaan Aspirasi:
Wilkinson (2017), adalah sebagai batuk efektif dan Mencegah atau
berikut: suara nafas bersih meminimalkan faktor
- Subjektif: Dispnea. - Menunjukkan jalan resiko pada pasien yang
- Objektif: nafas yang paten beresiko mengalami
1. Suara nafas tambahan - Mampu aspirasi.
(misalnya, crackle, ronki, dan mengidentifikasi d. Manajemen Asma:
mengi) dan mencegah Mengidentifikasi,
2. Perubahan pada irama dan factor yang menangani, dan mencegah
frekuensi pernapasan penyebab reaksi inflamasi/konstriksi
3. Sianosis di dalam jalan napas.
4. Kesulitan untuk bicara e. Peningkatan Batuk:
5. Penurunan suara napas Meningkatkan inhalasi
dalam pada pasien yang
memiliki riwayat keturunan
mengalami tekanan
intratoraksik dan kompresi
parenkim paru yang
mendasari untuk
pengerahan tenaga dalam
menghembuskan udara.
f. Pengaturan Posisi:
Mengubah posisi pasien
atau bagian tubuh pasien
secara sengaja untuk
memfasilitasi kesejahteraan
fisiologis dan psikologis.
g. Pemantauan Pernapasan:
Mengumpulkan dan
menganalisis data pasien
untuk memastikan
kepatenan jalan napas dan
pertukaran gas yang
adekuat.
h. Bantuan Ventilasi:
Meningkatkan pola napas
spontan yang optimal, yang
memaksimalkan pertukaran
oksigen dan
karbondioksida dalam
paru.

2 Intoleransi aktivitas berhubungan NOC: NIC

31
dengan ketidakseimbangan - Respiratory Status: Terapi Aktivitas
kebutuhan dan suplai oksigen. Ventilation Observasi
Batasan Karakteristik - Respiratory Status: a) Identifikasi defisit tingkat
Ditandai dengan data mayor Airway Patency aktivitas
subyektif :mengeluh lelah, data - Aspiratory Control b) Identifikasi kemampuan
mayor objektif : frekuensi jantung Setelah dialakukan berpartisipasi dalam
meningkat >20% dari kondisi tindakan 1 x 24 jam aktivitas tertentu
istirahat, data minor objektif : klien menunjukkan c) Monitor respons
dispnea saat atau setelah aktivitas, keefektifan jalan nafas emosional, fisik, sosial,
merasa tidak nyaman setelah dengan KH: dan spiritual terhadap
beraktivitas, merasa lemah, dan - Klien mampu aktivitas.
data minor subyektif : sianosis aktivitas minimal
- Kemampuan Terapeutik
aktivitas meningkat a) Fasilitasi fokus pada
secara bertahap kemampuan, bukan defisit
- Tidak ada keluhan yang dialami b)Fasilitasi
sesak nafas dan memilih aktivitas dan
lelah selama dan tetapkan tujuan akivitas
setelah aktivitas yang konsisten sesuai
minimal kemampuan fisik,
psikologis, dan social
b) Koordinasikan pemilihan
aktivitas sesuai usia
c) Fasilitasi aktivitas motorik
untuk merelaksasi otot
d) Berikan penguatan positif
atas partisipasi dalam
aktivitas

Edukasi
a) Jelaskan metode aktivitas
fisik sehari-hari, jika perlu
b) Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
c) Anjurkan keluarga untuk
memberi penguatan positif
atas partisipasi dalam
aktivitas.
d) Kolaborasi Kolaborasi
dengan terapis okupasi
dalam merencanakan dan
memonitor program
aktivitas, jika sesuai

B. Konsep Hipertensi pada Lansia


1. Definisi Hipertensi

32
Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis,
gagal jantung , stroke, dan gagal ginjal ditandai dengan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHG dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg,
berdasarkan pada dua kali pengukuran atau lebih.
Hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada 2 kali
pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat / tenang
(Kemenkes RI, 2017)
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg
atau tekanan diastolic sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya beresiko
tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti
penyakit syaraf, ginjal, dan pembuluh darah (Sylvia A. Price, 2015).
Hipertensi merupakan peningkatan abnormal tekanan darah didalam pembuluh
darah arteri dalam satu periode. Mengakibatkan arteriola berkonstriksi sehingga
membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding arteri
( Udjianti, 2011)

2. Etiologi Hipertensi
a. Hipertensi esensial atau primerPenyebab pasti dari hipertensi esensial belum
dapat diketahui, sementara penyebab sekunder dari hipertensi esensial juga
tidak ditemukan. Pada hipertensi esensial tidak ditemukan penyakit
renivaskuler, gagal ginjal maupun penyakit lainnya, genetik serta ras menjadi
bagian dari penyebab timbulnya hipertensi esensial termasuk stress, intake
alkohol moderat, merokok, lingkungan dan gaya hidup (Triyanto, 2014)
b. Hipertensi sekunderHipertensi sekunder penyebabnya dapat diketahui seperti
kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid),
hiperaldosteronisme, penyakit parenkimal dan hipertensi ini berhubungan
dengan kehamilan (Buss & Labus, 2013).
c. Penyebab hipertensi lainnya pada lansia di karenakan terjadi nya perubahan-
perubahan pada :
Elastisitas dinding aorta yang menurun, katup jantung menebal dan menjadi
kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
umur 20 tahun. Sehingga kontraksi dan volumenya pun ikut menurun,

33
kehilangan elastisitasnya. Pembuluh darah karena kurang efektifitas pembuluh
darah Perifer untuk oksigen, meningkatnya resistensi pembuluh darah Perifer.

3. Patofisiologi Hipertensi

Sumber: NANDA, 2013

4. Manifestasi Klinis Hipertensi


Manisfestasi klinik menurut Ardiansyah (2012) muncul setelah penderita
mengalami hipertensi selama bertahun-tahun,gejalanya antara lain:
a. Terjadi kerusakan susunan saraf pusat yang menyebabkan ayunan langkah
tidak mantap.
b. Nyeri kepala oksipital yang terjadi saat bangun dipagi hari karena
peningkatan tekanan intrakranial yang disertai mual dan muntah
c. Epistaksis karena kelainan vaskuler akibat hipertensi yang diderita.

34
d. Sakit kepala, pusing dan keletihan disebabkan oleh penurunanperfusi darah
akibat vasokonstriksi pembuluh darah.
e. Penglihatan kabur akibat kerusakan pada retina sebagai dampak hipertensi.
f. Nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) akibat dari peningkatan
aliran darah ke ginjal dan peningkatan filtrasi olehglomerulus.

Hipertensi sering ditemukan tanpa gejala (asimptomatik), namun tanda-tanda


klinis seperti tekanan darah yang menunjukkan kenaikan pada dua kali
pengukuran tekanan darah secara berturutan dan bruits (bising pembuluh darah
yang terdengar di daerah aorta abdominalis atau arteri karotis, arteri renalis dan
femoralis disebabkan oleh stenosis atau aneurisma) dapat terjadi. Jika terjadi
hipertensi sekunder, tanda maupun gejalanya dapat berhubungan dengan keadaan
yang menyebabkannya. Salah satu contoh penyebab adalah sindrom cushingyang
menyebabkan obesitas batang tubuh dan striae berwarna kebiruan, sedangkan
pasien feokromositoma mengalami sakit kepala,mual, muntah,palpitasi, pucat dan
perspirasi yang sangat banyak (Kowalak, Weish, &Mayer, 2011)

5. Faktor Resiko Hipertensi


1) Faktor resiko yang bisa dirubah
a. Usia
Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang berpengaruh
terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya usia maka semakin
tinggi pula resiko mendapatkan hipertensi. Insiden hipertensi meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, hal ini disebabkan oleh perubahan
alamiah dalam tubuh yang mempengaruhi pembuluh darah, hormon serta
jantung(Triyanto, 2014).
b. Lingkungan (stres)
Faktor lingkungan seperti stress juga memiliki pengaruh terhadap
hipertensi. Hubungan antara stress dengan hipertensi melalui saraf
simpatis, dengan adanya peningkatan aktivitas saraf simpatis akan
meningkatkan tekanan darah secara intermitten (Triyanto, 2014).
c. Obesitas
Faktor lain yang dapat menyebabkan hipertensi adalah kegemukan atau
obesitas. Perenderita obesitas dengan hipertensi memiliki daya pompa
35
jantung dan sirkulasi volume darah yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan penderita yang memiliki berat badan normal (Triyanto,2014)
d. Rokok
Kandungan rokok yaitu nikotin dapat menstimulus pelepasan
katekolamin. Katekolamin yang mengalami peningkatan dapat
menyebabkan peningkatan denyut jantung, iritabilitas miokardial serta
terjadi vasokontriksi yang dapat meningkatkan tekanan darah
(Ardiansyah,2012).
e. Kopi
Substansi yang terkandung dalam kopi adalah kafein. Kafein sebagai
anti-adenosine (adenosine berperan untuk mengurangi kontraksi otot
jantung dan relaksasi pembuluh darah sehingga menyebabkan tekanan
darah turun dan memberikan efek rileks) menghambat reseptor untuk
berikatan dengan adenosine sehingga menstimulus sistem saraf simpatis
dan menyebabkan pembuluh darah mengalami konstriksi disusul dengan
terjadinya peningkatan tekanan darah(Blush, 2014).

2) Faktor resiko yang tidak bisa dirubah


a. Genetik
Faktor genetik ternyata juga memiliki peran terhadap angka kejadian
hipertensi. Penderita hipertensi esensial sekitar 70-80 % lebih banyak
pada kembar monozigot (satu telur) dari pada heterozigot (beda telur).
Riwayat keluarga yang menderita hipertensi juga menjadi pemicu
seseorang menderita hipertensi, oleh sebab itu hipertensi disebut
penyakit turunan (Triyanto, 2014).
b. Ras
Orang berkulit hitam memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita
hipertensi primer ketika predisposisi kadar renin plasma yang rendah
mengurangi kemampuan ginjal untuk mengekskresikan kadar natrium
yang berlebih (Kowalak, Weish, & Mayer, 2011).

36
1. Klasifikasi Hipertensi

Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik


Kategori
(mmHg) (mmHg)
Normal < 130 mmHg < 85 mmHg
Normal tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg
Stadium 1 (ringan) 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium 2 (sedang) 160-179 mmHg 100-109 mmHg
Stadium 3 (berat) 180-209 mmHg 110-119 mmHg
Stadium 4(maligna) ≥ 210 mmHg ≥ 120 mmHg
Sumber : (Triyanto, 2014)

Tekanan Darah berdasarkan usia

Usia Minimal Normal Maksimal


14-19 105/73 117/77 120/81
20-24 108/75 120/79 132/83
25-29 109/76 121/80 133/84
30-34 110/77 122/81 134/85
35-39 111/78 123/82 135/86
40-44 112/79 125/83 137/87
45-49 115/80 127/84 139/88
50-54 116/81 129/85 142/89
55-59 118/82 131/86 144/90
60-64 121/83 134/87 147/91
Sumber: American Heart Association, 2014

2. Penatalaksanaan Hipertensi
a. Penatalaksanaan Nonfarmakologi
Modifikasi gaya hidup dalam penatalaksanaan nonfarmakologi sangat penting
untuk mencegah tekanan darah tinggi. Penatalaksanaan nonfarmakologis pada
penderita hipertensi bertujuan untuk menurunkan tekanan darah tinggi dengan
cara memodifikasi faktor resiko yaitu:

1) Mempertahankan berat badan ideal

37
Mempertahankan berat badan yang ideal sesuai Body Mass Index dengan
rentang 18,5 – 24,9 kg/m2. BMI dapat diketahui dengan rumus membagi
berat badan dengan tinggi badan yang telah dikuadratkan dalam satuan
meter. Obesitas yang terjadi dapat diatasi dengan melakukan diet rendah
kolesterol kaya protein dan serat. Penurunan berat badan sebesar 2,5 – 5
kg dapat menurunkan tekanan darah diastolik sebesar 5
mmHg(Dalimartha, 2008).
2) Mengurangi asupan natrium (sodium)
Mengurangi asupan sodium dilakukan dengan melakukan diet rendah
garam yaitu tidak lebih dari 100 mmol/hari (kira-kira 6 gr NaCl atau 2,4
gr garam/hari), atau dengan mengurangi konsumsi garam sampai dengan
2300 mg setara dengan satu sendok teh setiap harinya. Penurunan tekanan
darah sistolik sebesar 5 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 2,5
mmHg dapat dilakukan dengan cara mengurangi asupan garam menjadi ½
sendok teh/hari(Dalimartha, 2008).
3) Batasi konsumsi alkohol
Mengonsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau lebih dari
1 gelas per hari pada wanita dapat meningkatkan tekanan darah, sehingga
membatasi atau menghentikan konsumsi alkohol dapat membantu dalam
penurunan tekanan darah (PERKI, 2015).
4) Makan K dan Ca yang cukup dari diet
Kalium menurunkan tekanan darah dengan cara meningkatkan jumlah
natrium yang terbuang bersamaan dengan urin. Konsumsi buah-buahan
setidaknya sebanyak 3-5 kali dalam sehari dapat membuat asupan
potassium menjadi cukup. Cara mempertahankan asupan diet potasium
(>90 mmol setara 3500 mg/hari) adalah dengan konsumsi diet tinggi buah
dan sayur.

5) Menghindari merokok

Merokok meningkatkan resiko komplikasi pada penderita hipertensi


seperti penyakit jantung dan stroke. Kandungan utama rokok adalah
tembakau, didalam tembakau terdapat nikotin yang membuat jantung
bekerja lebih keras karena mempersempit pembuluh darah dan
meningkatkan frekuensi denyut jantung serta tekanan darah(Dalimartha,

38
2008).
6) Penurunan stress
Stress yang terlalu lama dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah
sementara. Menghindari stress pada penderita hipertensi dapat dilakukan
dengan cara relaksasi seperti relaksasi otot, yoga atau meditasi yang dapat
mengontrol sistem saraf sehingga menurunkan tekanan darah yang tinggi
(Hartono, 2007).
7) Aromaterapi (relaksasi)
Aromaterapi adalah salah satu teknik penyembuhan alternatif yang
menggunakan minyak esensial untuk memberikan kesehatan dan
kenyamanan emosional, setelah aromaterapi digunakan akan membantu
kita untuk rileks sehingga menurunkan aktifitas vasokonstriksi pembuluh
darah, aliran darah menjadi lancar dan menurunkan tekanan
darah(Sharma, 2009).
8) Terapi masase (pijat)
Masase atau pijat dilakukan untuk memperlancar aliran energi dalam
tubuh sehingga meminimalisir gangguan hipertensi beserta
komplikasinya, saat semua jalur energi terbuka dan aliran energi tidak
terhalang oleh tegangnya otot maka resiko hipertensi dapat
diminimalisir(Dalimartha, 2008).

b. Penatalaksanaan Farmakologi

1) Penatalaksanaan farmakologi menurut Saferi & Mariza (2013) merupakan


penanganan menggunakan obat-obatan, antara lain Diuretik
(Hidroklorotiazid)

Diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan cairan berlebih dalam tubuh


sehingga daya pompa jantung menjadi lebih ringan.
2) Penghambat simpatetik (Metildopa, Klonidin dan Reserpin) Obat-obatan
jenis penghambat simpatetik berfungsi untuk menghambat aktifitas saraf
simpatis.
3) Betabloker (Metoprolol, Propanolol dan Atenolol)
Fungsi dari obat jenis betabloker adalah untuk menurunkan daya pompa
jantung, dengan kontraindikasi pada penderita yang mengalami gangguan

39
pernafasan seperti asma bronkial.
4) Vasodilator (Prasosin, Hidralasin)
Vasodilator bekerja secara langsung pada pembuluh darah dengan
relaksasi otot polos pembuluh darah.
5) Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor (Captopril) Fungsi utama
adalah untuk menghambat pembentukan zat angiotensin II dengan efek
samping penderita hipertensi akan mengalami batuk kering, pusing, sakit
kepala dan lemas.
6) Penghambat Reseptor Angiotensin II (Valsartan)
Daya pompa jantung akan lebih ringan ketika obat-obatan jenis
penghambat reseptor angiotensin II diberikan karena akan menghalangi
penempelan zat angiotensin II pada reseptor.
7) Antagonis Kalsium (Diltiasem dan Verapamil) Kontraksi jantung
(kontraktilitas) akan terhambat.

c. Terapi Komplementer
1) Terapi Massase Kaki
Terapi massase kaki dengan minyak esensial lavender memberikan
efektifitas yang besar terhadap penurunan tekanan darah. Minyak esensial
lavender bersifat hipotensif yang dapat menimbulkan efek vasodilatasi
(pelebaran vesikel pembuluh darah), vasorelaksasi (mengistirahatkan otot-
otot halus pada dinding pembuluha darah) dan meningkatkan aktivitas
saraf parasimpatis, menurunkan aktivitas saraf simpatis sehingga dapat
menurunkan tekanan darah.
Saat dilakukan massase pada otot-otot kaki maka akan terjadi
peningkatan tekanan secara bertahap pada otot-otot kaki (tibialis anterior,
tibialis posterior, peroneal tibialis, ekstensor dan fleksor) yang dapat
mengendurkan ketegangan sehingga membantu memperlancar aliran
darah ke jantung.
2) Terapi herbal menggunakan tomat dan mentimun
Tomat dan mentimun terdapat kandungan kalium sebagai antidiuretic
sehingga dapat mengurangi kadar natrium ke dalam urine oleh ginjal.
Pengurangan cairan dalam sirkulasi akan menurunkan tahanan perifer,
sehingga dengan sendirinya tekanan darah akan menurun. Jadi campuran
40
dari jus tomat dan mentimun dapat digunakan untuk menurunkan tekanan
darah pada pasien hipertensi.
3) Terapi herbal menggunakan buah pisang
Terapi non farmakologis lainnya adalah dengan mengonsumsi buah
pisang. Makanan kaya kalium seperti pisang dapat menurunkan tekanan
darah. Pisang ambon adalah salah satu tumbuhan yang paling banyak
tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia. Selain mudah didapat, pisang
juga banyak manfaatnya. Daging buah, kulit buah, pelepah, jantung,
bahkan air pada batang pohon pisang dapat dimanfaatkan.
Buah pisang dapat langsung dimakan, direbus, atau di kukus. Buah
pisang dapat menurunkan tekanan darah karena memiliki aktivitas
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) di dalam tubuh.
Dengan adanya ACE-I, produksi angiotensin II yang menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah akan dihambat sehingga jumlahnya
menurun dan menyebabkan penurunan tekanan darah.

3. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi


Sebelum dilakukannya pemeriksaan lebih lanjut, pemeriksa akan menanyakan
gejala yang dialami, riwayat penyakit yang sama dalam keluarga, riwayat medis
penderita, dan obat-obatan yang dikonsumsi oleh penderita terlebih dahulu.
Pemeriksa juga akan melakukan pemeriksaan fisik untuk menilai kondisi jantung,
paru-paru, serta melihat tanda dan gelaja yang terjadi pada penderita hipertensi.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan diagnostik sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah bertujuan untuk mengetahui kadar kalium, glukosa,
kreatinin, sodium, kolestrol, trigliserida, metamfetamin dan nitrogen urea
dalam darah yang dapat memicu terjadinya hipertensi.
b. Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan urine dilakukan untuk mengetahui adanya kondisi kesehatan lain
yang dapat memicu naiknya tekanan darah.
c. Ultrasonografi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran ginjal dan arterinya
menggunakan gelombang suara dan memperkirakan besarnya tekanan pada
arteri paru-paru serta kerja kedua bagian jantung untuk memompa jantung
41
d. Elektrokardiogram
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas listrik jantung dan
medeteksi gangguan irama jantung. Selain itu, pemeriksaan ini juga untuk
melihat kondisi dan fungsi jantung, apabila terdapat kecurigaan bahwa
gangguan jantung merupakan penyebab hipertensi.
e. Foto Rontgen Dada
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya pembengkakan pada bilik
jantung atau pembuluh dara paru-paru yang merupakan tanda dari hipertensi
yang merupakan tanda dari hipertensi.
f. Tes Fungsi Paru
Tes fungsi paru dilakukan untuk mengetahui aliran udara yang masuk dan
keluar dari paru-paru, menggunakan sebuah alat yang bernama Spirometer.
g. Kateterisasi Jantung
Tindakan ini dilakukan setelah pemeriksaan ekokardiogram untuk memastikan
diagnosa hipertensi sekaligus mengetahui tingkat ke parahan kondisi tersebut.
Dengan kateterisasi jantung kanan, pemeriksa dapat mengukur tekanan arteri
pulmonalis dan ventrikel kanan jantung.
h. CT Scan dan MRI
Pemindaian seperti CT Scan dan MRI digunakan untuk memperoleh gambaran
yang lebih jelas mengenai ukuran dan fungsi jantung, penggumpalan pada
pembuluh darah, dan aliran darah pada pembuluh darah paru-paru
i. V/Q Scan atau Ventilation Perfusion Scan
Pemindaian ini bertujuan mendeteksi adanya gumpalan darah yang
menyebabkan hipertensi. Dalam pemindaian ini zat radioaktif khusus akan
disuntikkan pada pembuluh Vena di lengan yang berfungsi untuk memetakan
aliran darah dan udara pada paru-paru.
j. Polisomnografi
Digunakan untuk mengamati tekanan darah dan oksigen, denyut jantung, dan
aktivitas otak selama pasien tertidur. Alat ini juga digunakan untuk mengenali
gangguan tidur seperti sleep apnea.
k. Biopsi Paru
Dilakukan dengan cara mengambil sampel jaringan paru-paru untuk melihat
kelainan di paru-paru yang dapat menjadi penyebab hipertensi.

42
l. Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume
cairan(viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko seperti:
hipokoagulabilitas, anemia.
m. BUN/ kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/fungsi ginjal.
n. Glukosa: Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi)dapatdiakibatkan oleh
pengeluaran kadar ketokolamin.

4. Komplikasi Hipertensi
Komplikasi hipertensi menurut GOLD, 2017:
1. Jantung
hipertensi kronis menyebabkan infark miokard infark miokard akan
menyebabkan kebutuhan oksigen pada miokardium tidak terpenuhi kemudian
menyebabkan iskemia jantung serta terjadilah infark
2. Ginjal
Tekanan tinggi kapiler glomerulus ginjal akan mengakibatkan kerusakan
progresif sehingga gagal ginjal
3. Otak
Tekanan tinggi di otak oleh embolus yang lepas dari pembuluh darah di otak
akan menyebabkan terjadinya stroke

Komplikasi hipertensi berdasarkan target organ, antara lain sebagai berikut


(Irwan, 2016):

1. Serebrovaskuler: stroke, transient ischemic attacks, demensia vaskuler,


ensefalopati.
2. Mata : retinopati hipertensif.
3. Kardiovaskuler : penyakit jantung hipertensif, disfungsi atau hipertrofi
ventrikel kiri, penyakit jantung koroner, disfungsi baik sistolik maupun
diastolik dan berakhir pada gagal jantung (heart failure).
4. Ginjal : nefropati hipertensif, albuminuria, penyakit ginjal kronis.
5. Arteri perifer : klaudikasio intermiten.

Komplikasi hipertensi ( Menurut buku asuhan keperawatan praktis jilid1 tahun


2016) :
1. gangguan penglihatan

43
2. gangguan saraf
3. gangguan jantung
4. gangguan fungsi ginjal
5. gangguan seberal (otak) yang mengakibatkan kejang dan pendarahan
pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan, gangguan kesadaran
hingga koma

5. Asuhan Keperawatan Hipertensi


A. Pengkajian
1. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
Tanda : Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katup
dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi.
Tanda : Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,radialis,
tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis,kulit pucat,
sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisiankapiler mungkin lambat/
bertunda.
3. Integritas Ego
Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress
multiple(hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.
Tanda : Letupan suasana hat, gelisah, penyempitan continue
perhatian,tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela,
peningkatan pola bicara.
4. Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayatpenyakit
ginjal pada masa yang lalu).
5. Makanan/cairan
Gejala: Maanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam, lemak
serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir
ini(meningkat/turun) Riowayat penggunaan diuretic
Tanda: Berat badan normal atau obesitas,, adanya edema, glikosuria.
6. Neurosensori
44
Genjala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyu, sakit kepala,subojksipital
(terjadi saat bangun dan menghilangkan secara spontansetelah beberapa jam)
Gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan kabur,epistakis).
Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara,efek,
proses piker, penurunan keuatan genggaman tangan.
7. Nyeri/ ketidaknyaman
Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung),sakit kepala.
8. Pernafasan
Gejala: Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja takipnea,ortopnea,dispnea,
batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat merokok.
Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyinafas
tambahan (krakties/mengi), sianosis.
9. Keamanan
Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.

B. Diagnosa Dan Rencana Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang muncul dan Rencana Keperawatan pada Klien
dengan Hipertensi adalah :
1. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan
dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard,
hipertropi ventricular.
2. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
informasi tentang proses penyakit dan perawatan diri
3. Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan
vaskuler serebral
4. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung
berhubungandengan peningkatan afterload,vasokonstriksi,
iskemia miokard, hipertropiventrikular.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
umum,ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.
6. Gangguan rasa nyaman:nyeri (sakit kepala) berhubungan
denganpeningkatan tekanan vaskuler serebral.
7. Potensial perubahan perfusi jaringan:serebral, ginjal, jantung
berhubungandengan gangguan sirkulasi (Doengoes,2000).
45
Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Resiko tinggi Afterload tidak Klien berpartisipasi - Pantau TD, ukur
terhadap penurunan meningkat, tidak dalam aktivitas yang pada kedua
curah jantung terjadi menurunkan tekanan tangan, gunakan
berhubungan dengan vasokonstriksi, tidak darah / beban kerja manset dan
peningkatan terjadi iskemia jantung , tehnik yang
afterload, miokard. mempertahankan TD tepat.
vasokonstriksi, dalam rentang - Catat
iskemia miokard, individu yang dapat keberadaan,
hipertropi diterima, kualitas
ventrikular. memperlihatkan denyutan sentral
norma dan frekuensi dan perifer.
jantung stabil dalam - Auskultasi tonus
rentang normal jantung dan
pasien. bunyi napas.
- Amati warna
kulit,
kelembaban,
suhu dan masa
pengisian
kapiler.
- Catat edema
umum.
- Berikan
lingkungan
tenang, nyaman,
kurangi
aktivitas.
- Pertahankan
pembatasan
aktivitas seperti
istirahat
ditempat
tidur/kursi.
- Bantu
melakukan
aktivitas
perawatan diri
sesuai
kebutuhan.
- Lakukan
tindakan yang
nyaman spt
pijatan
punggung dan
leher.
- Anjurkan tehnik
relaksasi,

46
panduan
imajinasi,
aktivitas
pengalihan.
- Pantau respon
terhadap obat
untuk
mengontrol
tekanan darah.
- Berikan
pembatasan
cairan dan diet
natrium sesuai
indikasi.
- Kolaborasi
untuk pemberian
obat-obatan
sesuai indikasi.
Intoleransi aktivitas Aktivitas pasien Klien dapat - Kaji toleransi
berhubungan dengan terpenuhi. berpartisipasi dalam pasien terhadap
kelemahan umum, aktivitas yang di aktivitas dengan
ketidakseimbangan inginkan / menggunkan
antara suplai dan diperlukan,melaporka parameter:
kebutuhan O2. n peningkatan dalam frekuensi nadi
toleransi aktivitas 20 per menit
yang dapat diukur. diatas frekwensi
istirahat, catat
peningkatanTD,
dipsnea, atau
nyeridada,
kelelahan berat
dan kelemahan,
berkeringat,pusi
g atau pingsan.
(Parameter
menunjukan
respon fisiologis
pasienterhadap
stress, aktivitas
dan indicator
derajat pengaruh
kelebihan kerja/
jantung).
- Kaji kesiapan
untuk
meningkatkan
aktivitas contoh :
penurunan
kelemahan /
kelelahan, TD

47
stabil, frekwensi
nadi,
peningkatan
perhatian
padaaktivitas
dan perawatan
diri. (Stabilitas
fisiologis pada
istirahatpenting
untuk
memajukan
tingkat aktivitas
individual).
- Dorong
memajukan
aktivitas /
toleransi
perawatan diri.
(Konsumsioksig
en miokardia
selama berbagai
aktivitas dapat
meningkatkan
jumlah oksigen
yang ada.
Kemajuan
aktivitas
bertahap
mencegah
peningkatantiba-
tiba pada kerja
jantung).
- Berikan bantuan
sesuai kebutuhan
dan anjurkan
penggunaan
kursi mandi,
menyikat gigi /
rambut dengan
duduk dan
sebagainya.
(teknik
penghematan
energi
menurunkan
penggunaan
energi dan
sehingga
membantu
keseimbangan

48
suplai dan
kebutuhan
oksigen).
- Dorong pasien
untuk partisifasi
dalam memilih
periode aktivitas.
(Seperti jadwal
meningkatkan
toleransi
terhadap
kemajuan
aktivitas dan
mencegah
kelemahan).
Gangguan rasa Tekanan vaskuler Pasien - Pertahankan
nyaman: nyeri (sakit serebral tidak mengungkapkan tidak tirah baring,
kepala) berhubungan meningkat. adanya sakit kepala lingkungan yang
dengan peningkatan dan tampak nyaman. tenang, sedikit
tekanan vaskuler penerangan
serebral. - Minimalkan
gangguan
lingkungan dan
rangsangan.
- Batasi aktivitas.
- Hindari merokok
atau
menggunkan
penggunaan
nikotin.
- Beri obat
analgesia dan
sedasi sesuai
pesanan.
- Beri tindakan
yang
menyenangkan
sesuai indikasi
seperti kompres
es, posisi
nyaman, tehnik
relaksasi,
bimbingan
imajinasi,
hindari
konstipasi
Potensial perubahan Sirkulasi tubuh TD dalam batas yang - Pertahankan
perfusi jaringan: tidak terganggu. dapat diterima, tidak tirah baring;
serebral, ginjal, ada keluhan sakit tinggikan kepala

49
jantung berhubungan kepala, pusing, nilai- tempat tidur.
dengan gangguan nilai laboratorium - Kaji tekanan
sirkulasi. dalam batas normal. darah saat masuk
pada kedua
lengan; tidur,
duduk dengan
pemantau
tekanan arteri
jika tersedia.
- Pertahankan
cairan dan obat-
obatan sesuai
pesanan.
- Amati adanya
hipotensi
mendadak.
- Ukur masukan
dan pengeluaran.
- Pantau elektrolit,
BUN, kreatinin
sesuai pesanan.
- Ambulasi sesuai
kemampuan;
hindari
kelelahan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit tidak menular dan
menjadi masalah kesehatan dunia. Definisi PPOK adalah penyakit yang ditandai

50
dengan keterbatasan aliran udara bersifat progresif berhubungan dengan inflamasi
kronik saluran napas dan parenkim parua kibat pajanan gas atau partikel
berbahaya. Hambatan aliran udara pada PPOK terjadi karena perubahan struktur
saluran napas yang disebabkan destruksi parenkim dan fibrosis paru.
Hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada 2 kali
pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat / tenang
(Kemenkes RI, 2017)

B. Saran
Diharapkan kepada mahasiswa agar bisa memahami pembahasan tentang
Asuhan keperawatan PPOK dan Hipertensi pada Lansia dari makalah ini dan bisa
menambah wawasan pembaca. Diharapkan juga kepada seluruh tenaga medis
terutama perawat agar dapat memahami Asuhan keperawatan PPOK dan
Hipertensi pada Lansia agar dapat memberikan pelayanan kesehatan dan
mengatasi masalah kesehatan terhadap lansia dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

A, Sylvia., M, Lorraine. (2015). Patofisiologi Edisi 6 Vol 2 Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta : EGC.

51
Alfred P F, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI, editors. Fishman’s
Pulmonary Diseases and Disorders. 4th ed. New York: Mc Graw Hill; 2008.

American, Heart Association, 2014. Heart Disease and Stroke Statistic. AHA Statistical
Update.

Anthariksa, Budhi. 2009. Penyakit paru obstruksi kronik. Departemen pulmonologi dan ilmu
kedokteran respirasi FKUI. RS Persahabatan Jakarta. Upload 29 april 2009.

Brunner & suddarh. 2002. Bulu Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta :
penertbit Buku kedokteran EGC

Doengoes, Marilynn E. (2000). RencanaAsuhan Keperawatan: Pedoman untukPerencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Edward Ringel. 2012. Buku saku hitam kedokteran paru. Jakarta : Permata Puri Media.

Fasitasari M. 2013. Terapi Gizi Pada Usia Lanjut Dengan Penyakit Paru Obstruktif. Kronis .
Semarang.Sains Medika.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2017. GlobaL Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for the diagnosis,
manage- ment, and prevention of chronic obstructive pul- monary disease.
Capetown: Global Initiative forChronic Obstructive Lung Disease Inc; 2017. p. 1-
123.

GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for
Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease

Irwan. 2016. Epidemiologi penyakit tidak menular. Yogyakarta : deepublish

Lindayani. 2017. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Denpasar : FK Universitas Udayana

Muttaqin Arif. 2014. Askep Klien dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta : Salemba
Medika

52
NANDA, NIC NOC. 2013. Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan. Profesional : Edisi
Revisi Jilid 1 dan Jilid 2. Mediaction publishing.

PDPI. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). 2011. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Rahmadi, Y. 2015. Askep pada pasian dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: Salemba
Medika

Saferi, A &.Mariza, Y. (2013) KMB 2 :Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa


Teori dan Contoh Askep). Yogyakarta : Nuha Medika.

Saputra, L. (2010). Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher..

Siska, Kristian A. 2019. Asuhan Keperawatan Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok)
Pada Tn. M Dan Tn. J Dengan Masalah Keperawatan Ketidakefektifan Bersihan
Jalan Napas Di Ruang Melati Rsuddr. Haryoto Lumajang Tahun 2019.
Smeltzer, S. C., Bare, B. C., Hinkle, J., & Cheever, K. (2012). Brunner & Suddarth S
textbook of medical-surgical nursing twelfth edition. Wolters Kluwer Health.

Smeltzer, Susan C. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : PenerbitBuku Kedokteran


EGC.

Somantri, Irman. 2011. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika

Triyanto, E. (2014). Pelayanan keperawatan bagi penderita Hipertensi secara terpadu.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Who. 2016. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy
for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease. American Journal of COPD.

53

Anda mungkin juga menyukai