Anda di halaman 1dari 30

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah perairan yang lebih

luas dibanding luas daratan. Dengan sumber daya perairan yang melimpah maka

tentunya terjadi suatu modal dasar untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

lewat pemanfaatan hasil perairan salah satunya adalah udang vanname

(Litopenaeus vannamei). Berdasarkan data statistik (Direktorat jenderal perikanan,

2011) bahwa tingkat ekspor hasil perikanan komoditas utama menempatkan

udang paling tinggi dibandingkan kepiting, ikan tuna, cakalang dan tongkol.

Udang terdiri dari beberapa spesies yaitu udang galah, udang windu, udang rebon,

udang karang, udang vanname dan sebagainya (KKP, 2014).

Hasil ekspor udang terus meningkat dikarenakan kondisi geografis

perairan yang cocok dengan perkembangbiakan udang atau sumber penghasil

udang. Pemanfaatan hasil perikanan memiliki peluang besar untuk

pengembangan industri pangan, dan obat-obatan yang bermanfaat bagi tubuh

yang berasal dari limbah perikanan yang berlimpah (Larsen, 2011).

Limbah udang vanname (Litopenaeus vannamei) sering kali menimbulkan

masalah lingkungan karena mudah busuk dan sangat berbau. Hal ini terutama

karena limbah udang vanname banyak mengandung senyawa organik dan udang

merupakan salah satu hasil laut terbesar di Indonesia yang memiliki nilai

ekonomis dan menjadi komoditas perikanan yang umumnya di ekspor dalam

bentuk beku (70%), bentuk olahan (27,9%) dan bentuk udang segar (1,5%).

Sepanjang Januari hingga Agustus 2016, ekspor udang Indonesia mencapai 136,3
2

ribu ton dengan nilai USD 1,13 miliyar. Secara volume ekspor udang naik 6,84%

dan secara nilai ekspor udang naik 3,75% (KKP, 2016). Salah satu jenis udang

unggulan ekspor Indonesia adalah udang vanname (Litopenaeus vannamei), pada

tahun 2010 hingga 2014 udang vanname mengalami peningkatan nilai ekspor

sebesar 20,49 % (DJPB, 2014).

Dalam udang senyawa aktif yang dapat ditemukan adalah protein,

mineral, lipid, dan kitosan. Senyawa aktif tertingginya untuk golongan asam

amino diantaranya senyawa aktif seperti omega-3, omega- 6 serta kitosan, pada

udang vanname terkandung senyawa yang berperan dalam metabolisme lobster

adalah astaxanthin, senyawa ini berikatan dengan protein karotenoid (Zhao et al.,

2011). Astaxanthin adalah jenis karotenoid yang banyak terkandung dalam

salmon dan crustacea (lobster, kepiting, dan udang) dengan memberikan

karakteristik warna merah muda pada spesies itu (Ciapara et al., 2006).

Astaxanthin memiliki fungsi penting dalam mendukung kesehatan

manusia. Karotenoid bermanfaat sebagai antioksidan yang kuat, pencegah

penyakit kardiovaskular, osteoporosis, diabetes serta pewarna alami. Kemampuan

antioksidan karotenoid digunakan untuk mengembangkan berbagai ibat-obatan,

industri kosmetik dan farmasi (Wayama et al., 2013).

Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau

lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat

diredam (Kuncahyo & Sunardi, 2007). Antioksidan sangat dibutuhkan, karena

saat ini kondisi hidup manusia sangat mudah terpapar radikal bebas. Radikal

bebas merupakan salah satu bentuk senyawa reaktif, yang secara umum diketahui

sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan di kulit


3

terluarnya (Karnila, 2012). Adanya radikal bebas di dalam tubuh manusia dapat

menimbulkan berbagai penyakit yaitu serangan jantung, kanker, stroke, gagal

ginjal, penuaan dini dan penyakit kronik lainnya (Prasad et al., 2009 dalam

Azwin, 2011). Limbah udang vanname mampu memenuhi kebutuhan zat

antioksidan yang sangat dibutuhkan oleh manusia yang mampu melawan radikal

bebas seperti astaxanthin.

Beberapa metode telah dilakukan untuk mendapatkan astaxanthin, salah

satunya dengan maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel

menggunakan pelarut organik. Pelarut organik yang digunakan adalah etanol yang

bersifat polar. Penggunaan metode ekstraksi dengan pelarut etanol sangat

ditentukan oleh sifar pelarut, konsentrasi pelarut yang digunakan dan waktu

maserasi, karena sifat pelarut dan konsentrasi pelarut akan berpengaruh terhadap

jumlah astaxanthin yang dihasilkan sedangkan waktu maserasi menentukan hasil

rendemen dan kapasitas antioksidan yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Dalei J et

al., 2015), menunjukan ekstraksi astaxanthin dari limbah kulit udang dengan

menggunakan pelarut organik salah satunya pelarut etanol. Hal ini menunjukkan

bahwa pelarut etanol mampu mengestraksi astaxanthin. dan menurut penelitian

yang dilakukan (Sachindra, et al., 2006) menunjukkan proses ekstraksi dengan

menggunakan pelarut polar dengan konsentrasi etanol berbeda dengan waktu

ekstraksi 48 jam belum diketahui maka dari itu penulis tertarik melakukan

penelitian mengenai ekstraksi astaxanthin dari udang vanname yang berpotensi

sebagai antioksidan dengan menggunakan pelarut etanol dengan konsentrasi

berbeda.
4

1.2. Rumusan Masalah

Udang vanname merupakan salah satu jenis udang unggulan ekspor

Indonesia yang memiliki gizi tinggi terutama protein yaitu 18,1%. Produksi udang

vanname yang terus meningkat, menyebabkan limbah berupa kepala dan kulit

udang yang dihasilkan juga tinggi. Pemanfaatan limbah kulit udang dapat lebih

bernilai ekonomis tinggi karena pada limbah kulit udang mengandung komponen

senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan yaitu astaxanthin.

Astaxanthin adalah karotenoid alami pemberi warna merah pada crustaceae.

Astaxanthin merupakan senyawa non polar, dimana untuk mendapatkan senyawa

tersebut dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi yang menggunakan pelarut

bersifat polar yaitu etanol. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh sifat pelarut dan

konsetrasi pelarut yang digunakan, karena perbedaan konsentrasi pelarut etanol

akan mempengaruhi rendemen dan kapasitas antioksidan yang dihasilkan.

sehingga hal tersebut perlu dikaji dan informasi yang perlu dirumuskan adalah

Bagaimana pengaruh perbedaan konsentrasi pelarut terhadap jumlah astaxanthin

yang dihasilkan yang berpotensi sebagai antioksidan dari limbah udang vanname.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk

mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi pelarut etanol terhadap jumlah

astaxanthin dan kapasitas antioksidan astaxanthin dari udang vanname

(Litopenaeus vannamei). Sedangkan tujuan penelitian ini secara khusus adalah:

1. Mendapatkan tepung karapas udang vanname (Litopenaeus vannamei)

serta kandungan proksimat


5

2. Mengetahui rendemen dari limbah karapas udang vanname (Litopenaeus

vannamei)

3. Mengetahui konsetrasi pelarut etanol berbeda terhadap jumlah astaxanthin

yang dihasilkan dari limbah udang vanname (Litopenaeus vannamei).

4. Mendapatkan ekstrak kasar astaxanthin dari limbah udang vanname

(Litopenaeus vannamei) Mendapatkan kapasitas antioksidan astaxanthin

terbaik

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah

kepada peneliti dan pembaca bahwa limbah karapas udang vanname mengandung

astaxanthin yang bersifat sebagai antioksidan dan hasil penelitian ini diharapkan

dapat meningkatkan pemanfaatan limbah udang vanname sebagai upaya menggali

potensi yang belum termanfaatkan yang bernilai ekonomis tinggi.

1.5. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah limbah udang vanname yang

mengandung senyawa astaxanthin dan memiliki aktivitas sebagai antioksidan.

Sedangkan hipotesis statistik pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : Tidak ada pengaruh konsentrasi pelarut etanol berbeda terhadap jumlah

astaxanthin dari limbah udang vanname (Litopenaeus vannamei) yang

berpotensi sebagai antioksidan.

H1 : Adanya pengaruh terhadap konsentrasi pelarut etanol berbeda terhadap

jumlah astaxanthin dari limbah udang vanname (Litopenaeus vannamei)

yang berpotensi sebagai antioksidan.


6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Deskripsi Lobster Air Tawar

Klasifikasi udang vanname (Litopenaeus vannamei) sebagai berikut:

kingdom Animalia, Phylum Arthropoda, Subphylum Crustacea, Class

Malacostraca, Ordo Decapodas, Subordo Dendrobrachiata, Familly Litopenaeus,

Genus Litopenaeus, Spesies Litopenaeus vannamei (Haliman dan Dian 2006).

Gambar 1. Udang vanname (Litopenaeus vannamei)


Sumber: Google.com

Bagian tubuh udang vanname terdiri dari kepala yang bergabung dengan

dada (chepalothorax) dan perut (abdomen). Kepala udang vanname terdiri dari

antenula, antena, mandibula dan sepasang maxillae. Kepala udang vanname juga

dilengkapi dengan 5 pasang kaki jalan (periopod) yang terdiri dari 2 pasang

maxillae dan 3 pasang maxiliped. Perut udang vanname terdiri dari 6 ruas dan

juga terdapat 5 pasang kaki renang (pleopod) serta sepasang uropod (mirip ekor)

yang membentuk kipas bersama-sama telson.

Sifat udang vanname aktif pada kondisi gelap dan dapat hidup pada

kisaran salinitas lebar dan suka memangsa sesama jenis (kanibal), tipe pemakan

lambat tapi terus menerus (continous feeder) serta mencari makan lewat organ

sensor. Spesies ini memiliki 6 stadia naupli, 3 stadia protozoa, 3 stadia mysis dan
7

stadia pasca larva dalam siklus hidupnya. Stadia pasca larva berkembang menjadi

juvenil dan akhirnya menjadi dewasa (Wikipedia, 2010).

Pada udang betina, gonad pada awal perkembangannya berwarna keputih-

putihan yang kemudian berubah menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan

pada saat pemijahan. Pada masa pemijahan, telur akan dibuahi oleh sperma.

Telur-telur yang telah dibuahi akan terdapat pada bagian dasar atau melayang-

layang di air. Telur jenis udang ini tergantung dari ukuran individu, udang dengan

berat 30 g sampai 45 g menghasilkan telur sebanyak 100.000 sampai 250.000

butir. Telur yang memiliki diameter 0,22 mm, proses claeveage pada tingkat

nauplius terjadi kira-kira 14 jam setelah proses bertelur (Dinas Kelautan dan

Perikanan Daerah, 2009).

II.2. Morfologi Lobster Air Tawar

Tubuh udang vanname terbungkus oleh karapas yang berfungsi untuk

menjaga organ-organ yang ada di dalam tubuhnya dari serangan hewan pemangsa

maupun kelompoknya. Udang vanname (Litopenaeus vannamei) merupakan jenis

udang laut yang habitat aslinya di daerah dasar dengan kedalaman 72 meter.

Udang vanname merupakan organisme akuatik asli pantai Pasifik Meksiko,

Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Udang vanname memiliki nama umum

Pasifik white shrimp, camaron blanco dan longostino. Udang vanname dapat

tumbuh sampai 230 mm, menyukai dasar yang berpasir dengan kedalaman sekitar

72 m dari permukaan laut (Wikipedia, 2010).


8

Hafiz (2009) menyatakan, udang vanname memiliki berat kepala sebesar

29%, daging sebesar 58%, dan pada kulit sebesar 13%. Ukuran rata-rata tiap

bagian-bagian udang didapatkan berat total rata-rata sebesar 15 g, tanpa kepala

sebesar 10,67 g, tanpa kepala dan kulit sebesar 8,67 g, bobot kepala sebesar 4,33 g

dan bobot rata-rata kulit sebesar 2 g. Komposisi kimia pada udang vanname

(Litopenaeus vannamei) dapat dilihat pada Tabel 1. dan komposisi kimia kulit dan

kepala udang putih dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi Kimia Udang vanname (Litopenaeus vannamei)


Parameter Jumlah (%)
Protein 18,1
Lemak 0,8
Air 78,2
Abu 1,5
Kabohidrat 1,4
Sumber : Hafiz (2009)
Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Kulit dan Kepala Udang vanname
Parameter Jumlah (%)
Protein 30,41 (bk)
Lemak 0,97 (bk)
Air 5,61 (bb)
Abu 25,32 (bk)
Sumber : Istifa (2010)

II.3. Astaxanthin

Astaxanthin dapat ditemukan pada mikroalga yang hidup di perairan

seluruh dunia, mulai dari danau tropis sampai padang salju Antartika atau pada

hewan laut seperti salmon segar, udang dan lobster. Astaxanthin memberikan

warna merah muda dan orange pada hewan-hewan laut tersebut.

Astaxanthin dengan rumus molekul (3,3 - dihidroksi, karoten -4, 4 – dion)

mampu berperan sebagai antioksidan serta memiliki sifat dapat dipisahkan dalam

pelarut non-polar (Copin et al., 2007 dalam James dkk, 2013). Astaxanthin
9

merupakan jenis karotenoid yang kuat dan aman tanpa sifat pro-oksidan seperti β -

karoten, likopen, zeaxanthin dan lutein. Astaxanthin memiliki 550 kali kuat dari

vitamin E dan 40 kali dari β - karoten sebagai pemadam oksigen singlet, dan 1000

kali kuat dari pada vitamin E terhadap peroksidasi lipid. Senyawa ini memiliki

posisi unggul dalam membran sel dan menunjukkan 3 efek penting yaitu :

antioksidan, antiinflamasi dan sifat immuno (Tjokroprawiro, 2008).

Menurut Yang et al., (2011) dalam James dkk (2013) astaxanthin adalah

pigmen karotenoid dengan rantai molekul (3,3- dihidroksi -b, b-karoten -4, 4-

dion) yang ditemukan di seluruh hewan, terutama di spesies laut seperti di lobster,

kepiting, udang, ikan trout serta salmon.

Kekuatan astaxanthin terletak pada potensinya dalam mencegah berbagai

penyakit dan gangguan kesehatan lain. Astaxanthin sebagai antioksidan memiliki

aktivitas menetralkan singlet oksigen dan peroksida lipid. Astaxanthin memiliki

efek antiinflamasi dengan menghambat sitokin dan chemokin. Dari sisi kesehatan

mata, astaxanthin dapat mencegah kelelahan mata, katarak diabetic dan

mempertajam penglihatan. Astaxanthin juga berperan besar terhadap berbagai

penyakit seperti hipertensi, diabetes, sindrom metabolik atau infeksi lambung oleh

Helicobacter pulori. Di kedokteran olahraga, astaxanthin dapat meningkatkan

daya tahan otot dan untuk kesehatan kulit, astaxanthin dapat mencegah kerutan

(Kurashige et al., 1990 dalam James dkk 2006).

Hasil penelitian (Babu et al., (2008) dalam Diah (2011), menunjukkan

bahwa astaxanthin merupakan komposisi pigmen karotenoid terbesar dalam

crustacea (lobster, kepiting dan udang). Gugus hidroksil dan keton pada cincin

dalam molekul astaxanthin mengindikasikan bahwa senyawa tersebut lebih polar


10

dibandingkan karotenoid lainnya dan memiliki aktivitas antioksidan yang sangat

tinggi. Gugus hidroksi dapat bereaksi dengan satu atau dua asam lemak

membentuk monoester dan diester. Bentuk teresterifikasi ini mengakibatkan

astaxanthin bersifat hidrofobik (tidak larut dalam air), diester bersifat lebih

hidrofobik dibandingkan dengan bentuk monoester. Astaxanthin dalam keadaan

bebas bersifat tidak stabil dan mudah teroksidasi. Astaxanthin stabil dalam bentuk

terkonjugasi dengan protein atau membentuk ester dengan asam lemak seperti

palmitat, oleat atau linoleat (Hussein et al., 2006).

Molekul astaxanthin memiliki bentuk yang panjang dengan struktur kutub

di kedua ujung molekul dan zona nonpolar di tengah (Gambar 2). Struktur kutub

dengan cincin ion memiliki kapasitas kuat sebagai pendinginan radikal bebas,

antioksidan (Kidd, 2011). Terlepas dari peranan penting astaxanthin bagi

kesehatan, astaxanthin juga memiliki kelemahan yaitu struktur rantai yang sangat

tidak jenuh dari astaxanthin menjadikan senyawa ini sangat sensitif terhadap

panas, cahaya dan kondisi oksidatif (Roopyai et al., 2012 dalam James dkk,

2013). Seiring dengan itu Anarjan et al., (2013) dalam James dkk (2013)

menjelaskan baik α-tokoferol dan asam askorbat dapat menghambat degradasi

astaxanthin. Dengan α-tokoferol dan asam askorbat, kedua senyawa ini efisien

dalam menjaga stabilitas kimia astaxanthin. Kestabilan Astaxanthin juga

dipengaruhi oleh lingkungan (Franco et al., 2010). Ditambahkan menurut Kouchi

et al., (2012) astaxanthin merupakan pigmen yang bersifat non-polar.


11

Gambar 2. Struktur Kimia Astaxanthin


Sumber: www.google.co.id

II.4. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DDPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil)

Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui

melalui uji aktivitas antioksidan. Terdapat berbagai metode pengukuran aktivitas

antioksidan. Pada prinsipnya metode-metode tersebut digunakan untuk

mengevaluasi adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh senyawa

antioksidan yang terdapat dalam bahan pangan atau contoh ekstrak bahan alam

(Setyaningsih, 2003).

Pengujian aktivitas antioksidan dapat menggunakan metode DPPH (2,2-

difenil-1-pikrilhidrazil) yang merupakan metode serapan radikal. Metode ini

sangat efektif karena metodenya sederhana, mudah dan menggunakan sampel

dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat (Hanani, 2005).

Pengukuran aktivitas antioksidan sampel dilakukan pada panjang gelombang 517

nm yang merupakan panjang gelombang maksimum DPPH. Adanya aktivitas

antioksidan dari sampel mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH

dalam metanol yang semula berwarna violet pekat menjadi kuning pucat

(Permana, 2003 dalam Rosida, 2005). Aktivitas antioksidan dari ekstrak

dinyatakan dalam persentase inhibisinya terhadap radikal DPPH.

Persentase inhibisi ini didapatkan dari perbedaan serapan antara absorban

DPPH dengan absorban sampel yang diukur dengan mikroplate reader. Besarnya
12

aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai IC50 (Inhibitor Concentration 50), yaitu

konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal

bebas DPPH. Semakin besar aktivitas antioksidan maka nilai IC 50 akan semakin

kecil. Molyneux (2004) dalam Eka (2009) menyatakan bahwa suatu senyawa

antioksidan dinyatakan baik jika nilai IC50 -nya semakin kecil.

Mekanisme penangkapan radikal DPPH oleh antioksidan cukup sederhana,

yaitu berupa donasi proton kepada radikal. Senyawa-senyawa yang

memungkinkan mendonasikan protonnya memiliki aktivitas penangkapan radikal

cukup kuat. Senyawa tersebut adalah golongan fenol, flavonoid, tanin, senyawa

yang memiliki banyak gugus sulfide dan alkaloid. Donasi proton menyebabkan

radikal DPPH (berwarna ungu) menjadi senyawa non-radikal. Senyawa non-

radikal DPPH tersebut tidak berwarna. Aktivitas penangkapan radikal dapat

dihitung dari peluruhan radikal DPPH. Kadar radikal DPPH tersisa diukur secara

spektrofotometri pada panjang gelombang 517 nm (Munim et al., 2008).

II.5. Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,

membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen

dan nitrogen reaktif (Kuncahyo & Sunardi, 2007). Antioksidan mempunyai peran

berupa penghambatan proses aterosklerosis, yaitu merupakan komplikasi dari

penyakit diabetes mellitus yang sangat berperan untuk terjadinya penyakit jantung

koroner (Musthafa et al., 2000 dalam Azwin, 2011). Rohman dan Riyanto (2005)

menyatakan, bahwa antioksidan adalah sebagai senyawa yang dapat menghambat

reaksi radikal bebas dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit karsinogenis,

kardiovaskuler dan penuaan. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak


13

memiliki sistem pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi

paparan radikal berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan eksogen

(berasal dari luar) (Wiji dan Sugrani, 2009).

Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal

bebas atau Reactive Oxygen Species (ROS) yang terbentuk sebagai hasil dari

metabolisme oksidatif yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik

yang terjadi di dalam tubuh (Sauriasari, 2006). Senyawa antioksidan dapat

berfungsi sebagai penangkap radikal bebas, pembentuk kompleks dengan logam-

logam prooksidan dan berfungsi sebagai senyawa pereduksi. Antioksidan dapat

menangkap radikal bebas sehingga menghambat mekanisme oksidatif yang

merupakan penyebab penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung,

kanker, katarak, disfungsi otak, dan artritis (Sofia, 2008).

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau

reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginteraksi

berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal.

Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi,

dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya,

kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2007).

Berdasarkan sumbernya, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan

alami dan antioksidan buatan (sintetik). Antioksidan yang sering digunakan pada

bahan pangan umumnya berasal dari alam (natural antioxidant), misalnya asam

sitrat, askorbat, tartarat, karoten, lesitin, dan asam maleat. Pemakaian antioksidan

buatan dalam bahan pangan harus lebih hati-hati karena banyak diantaranya yang

menyebabkan keracunan pada dosis tertentu. Contoh antioksidan sintetik yang


14

diijinkan untuk makanan adalah Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi

Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidroksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol.

Biasanya penggunaan antioksidan buatan untuk tujuan pangan diatur oleh

pemerintah (Ketaren, 1986 dalam Azwin, 2011).

Fungsi utama antioksidan yaitu dapat digunakan sebagai upaya untuk

memperkecil tejadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil

terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian

dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam

makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo &

Sunardi, 2007). Antioksidan juga dapat menetralkan radikal bebas, seperti enzim

SOD (Superosida Dismutase), gluthatione dan katalase. Antioksidan dapat

diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E

dan berkaroten serta senyawa fenolik (Andayani et al., 2008). Musthafa et al.,

(2000) dalam Azwin (2011) menambahkan bahwa, antioksidan juga pada

akhirnya berfungsi untuk menetralisir atau meredam dampak negatif dari radikal

bebas.

II.6. Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan struktur kimia yang mempunyai satu elektron

yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Energi yang dihasilkan oleh

konfigurasi yang tidak stabil dan sangat reaktif tersebut dilepaskan melalui reaksi

dengan molekul didekatnya sehingga terjadi perpindahan elektron dari molekul

donor ke molekul radikal untuk menjadikan radikal tersebut stabil. Radikal bebas

kemudian memulai reaksi autotokatalitik dimana molekul yang bereaksi dengan

radikal bebas dengan sendirinya berubah menjadi radikal bebas untuk menambah
15

rantai kerusakan. Radikal bebas sangat berbahaya bagi makhluk hidup karena

apabila reaksi ini terjadi di dalam tubuh, maka akan menimbulkan berbagai

kerusakan yang menjadi penyebab penyakit (BlueFame Forums, 2008).

Senyawa radikal yang terdapat dalam tubuh (prooksidan) dapat berasal

dari luar tubuh (eksogen) atau terbentuk di dalam tubuh (endogen) dari hasil

metabolisme zat gizi secara normal (Muchtadi, 2000). Secara eksogen, senyawa

radikal antara lain berasal dari polutan, makanan atau minuman, radiasi, ozon dan

pestisida (Supari, 1996). Penjelasan mengenai sumber radikal bebas endogen

sangat bervariasi. Sumber radikal endogen dapat melewati autoksidasi, oksidasi

enzimatik, fagositosis dalam respirasi, transpor elektron di mitokondria, oksidasi

ion-ion logam transisi atau melalui ischemic.

Autoksidasi adalah senyawa yang mengandung ikatan rangkap, hidrogen

alilik, benzilik atau tersier yang rentan terhadap oksidasi oleh udara. Oksidasi

enzimatik menghasilkan oksidan asam hipoklorit, di mana sekitar 70-90 %

konsumsi O2 oleh sel fagosit diubah menjadi superoksida. Sumber eksogenus

radikal bebas, berasal dari luar sistem tubuh, diantaranya sinar UV. Sinar UV B

merangsang melanosit memproduksi melanin berlebihan dalam kulit, yang tidak

hanya membuat kulit lebih gelap, melainkan juga berbintik hitam. Pemaparan

berlebihan dari sinar ultra violet ini bahkan dapat menyebabkan kulit terbakar

sampai kanker kulit. Sinar UVA dapat merusak kulit dengan menembus lapisan

basal yang menimbulkan kerutan sehingga kulit menjadi kasar (BlueFame

Forums, 2008).

Radikal bebas juga dapat menyebabkan oksidasi DNA sehingga DNA

termutasi dan menimbulkan kanker. Oksigen reaktif dapat meningkatkan kadar


16

LDL (Low Density Lipoprotein) yang kemudian menjadi penyebab penimbunan

kolesterol pada dinding pembuluh darah. Akibatnya timbulah aterosklerosis atau

lebih dikenal dengan penyakit jantung koroner. Penurunan suplai darah atau

ischemic karena penyumbatan pembuluh darah menurut patologi juga dikarenakan

radikal bebas. Senyawa radikal juga memicu terjadinya penuaan dini akibat

rusaknya sel-sel jaringan tubuh serta dapat menimbulkan penyakit autoimun.

Lipid yang seharusnya menjaga kulit agar tetap segar berubah menjadi lipid

peroksida karena bereaksi dengan radikal bebas sehingga mempercepat penuaan

(Muchtadi, 2000).

II.7. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan yang didasarkan pada

distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak

saling bercampur. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi

adalah lama ekstraksi, suhu dan jenis pelarut yang digunakan. Dalam pemilihan

jenis pelarut yang digunakan harus memperhatikan daya larut, titik didih, sifat

toksik, mudah tidaknya terbakar dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi

(Khopkar, 2003).

Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat larut dalam

pelarut yang digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Proses

perpindahan komponen bioakif dari dalam bahan ke pelarut terjadi secara difusi.

Proses difusi merupakan perubahan secara spontan dari fase yang memiliki

konsentrasi lebih tinggi menuju konsentrasi lebih rendah (Danesi, 1992).

Metode ekstraksi berdasarkan jenis pelarutnya dapat dilakukan dengan dua

cara yaitu aqueous phase dan organic phase. Cara aqueous phase dilakukan
17

dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan dengan pelarut

organik. Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan

diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu, kemudian diikuti

dengan pemisahan bahan yang diekstrak. Hal-hal yang harus dipertimbangkan

saat memilih pelarut antara lain (Achmadi, 1992) :

1. Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan

melarutkan senyawa non polar.

2. Pelarut organik cenderung melarutkan senyawa organik.

3. Air cenderung melarutkan senyawa organik dan garam dari asam maupun basa

organik.

4. Asam-asam organik yang larut dalam pelarut organik dapat diekstraksi dengan

menggunakan basa (NaOH, Na2CO3 dan NaHCO3).

Metode ekstraksi juga dikelompokkan berdasarkan tingkat kesulitannya, yaitu

ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus (Harborne, 1987). Ekstraksi sederhana

terdiri atas:

1. Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut

dengan atau tanpa pengadukan.

2. Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan.

3. Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk

melarutkan sampel di dalam perkolator sampai senyawa kimianya terlarutkan.

4. Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas:

1. Soxhletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan

sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi.


18

2. Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel

dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan.

3. Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan alat yang menghasilkan frekuensi

bunyi atau getaran antara 25 – 100 KHz.

Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid

kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino dan glikosida

(Harborne, 1987). Metanol, sebagai senyawa polar dapat disebut sebagai pelarut

universal karena selain mampu mengekstrak komponen polar dan dapat juga

mengekstrak komponen nonpolar seperti lilin dan lemak (Houghton dan Raman,

1998 dalam Eka 2009).

Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap yaitu penghancuran bahan,

penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan dan pemisahan.

Penghancuran bertujuan untuk mempermudah pengadukan dan kontak bahan

dengan pelarutnya pada saat proses pelarutnya. Bahan ditimbang untuk

mengetahui berat awal bahan sehingga dapat ditentukan rendemen yang

dihasilkan. Bahan yang telah ditimbang kemudian direndam dalam pelarut yang

sesuai. Proses perendaman yang dilakukan disebut maserasi. Tahap selanjutnya

adalah tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan

dilakukan untuk memisahkan residu bahan dan pelarut yang telah mengandung

senyawa bioaktif. Pemisahkan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat

dilakukan evaporasi sehingga pelarut akan menguap dan diperoleh senyawa hasil

ekstraksi. Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor

antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan,
19

ukuran partikel sample, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi

dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al., 1995).

II.8. Pelarut Etanol

Etanol Etil alkohol adalah salah satu turunan dari senyawa hidroksil atau

gugus OH, dengan rumus kimia C2H5OH. Istilah umum yang sering dipakai

untuk senyawa tersebut adalah alkohol. Etanol mempunyai sifat tidak berwarna,

mudah menguap, mudah larut dalam air, berat molekul 46,1, titik didihnya

78,3°C, membeku pada suhu –117,3 °C, kerapatannya 0,789 pada suhu 20 °C,

nilai kalor 7077 kal/gram, panas laten penguapan 204 kal/gram dan angka oktan

91–105 (Hambali et al., 2008).

Etanol dapat digunakan sebagai pelarut, germisida, minuman, bahan anti

beku, bahan bakar, bahan depressant dan kemampuan khususnya sebagai bahan

kimia intermediet untuk menghasilkan bahan kimia lain (Gaur, 2006). Etanol yang

dibuat dari sumberdaya hayati disebut sebagai bioetanol. Etanol dapat

diklasifikasikan berdasarkan bahan baku yang digunakan, proses dan

pemanfaatannya (Rosillo Calle, 2007).

1. Klasifikasi menurut bahan baku yang digunakan serta proses produksinya

adalah sebagai berikut :

a. Secara mikrobiologis (fermentasi) menggunakan bahan baku berpati antara lain

jagung, ubi kayu, dan kentang, bahan mengandung gula antara lain molase,

tebu, dan sorgum manis, serta bahan berserat

b. Secara sintetis menggunakan bahan baku antara lain minyak mentah dan gas.

Saat ini produksi etanol sintetis kurang dari 5% dari total produksi 52.

2. Klasifikasi menurut komposisi kandungan air adalah sebagai berikut :


20

a. Etanol 95-96%, yaitu komposisi etanol - air pada kondisi azeotropb.

Etanol 99,5% (anhydrous ethanol) dengan kandungan air 0,05%

3. Klasifikasi menurut pemanfaatannya yaitu :

a. Untuk industri (industrial grade)

b. Untuk bahan bakar (fuel grade ethanol)

c. Untuk minuman (portable grade)

Pada umumnya etanol hasil fermentasi memiliki kemurnian sekitar 30-40%

sehingga perlu dilakukan distilasi agar kemurniannya menjadi lebih dari 95% dan

dapat digunakan sebagai bahan bakar (Nurdyastuti, 2005). Pemurnian lebih lanjut

dengan azeotropic distilasi harus dilakukan untuk menghasilkan fuel grade ethanol

dengan kemurnian lebih dari 99,5% karena destilasi biasa tidak mampu

melepaskan hidrogen yang terikat pada struktur kimia alkohol.


21

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan

Agustus 2020. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil

Perikanan, Laboratorium Kimia Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan

Kelautan dan Laboratorium Kimia Organik Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Riau.

3.2. Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kulit udang

vanname (Litopenaeus vannamei) berupa kulit dan kepala yang diperoleh dari

Pasar arengka berada di Kota Pekanbaru.

Bahan kimia yang digunakan adalah bahan kimia untuk mengekstrak

astaxanthin antara lain: Etanol (C2H5OH), Petroleum eter 12,5 ml, NaCl 9,4 ml .

Bahan kimia untuk identifikasi astaxanthin antara lain: asthin force (astaxanthin

200 mg) dan methanol air. Bahan kimia untuk pengujian aktivitas antioksidan

astaxanthin antara lain: radikal bebas DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) dan

metanol p.a. Bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat antara lain: H 2SO4, Cu

kompleks, kloroform, NaOH, aquades, indikator PP, H 2BO3, indikator campuran

(metilen merah biru) dan HCl.

3.2.2. Alat
22

Peralatan yang digunakan dalam proses ekstraksi antara lain: blender,

botol maserasi, labu erlenmeyer, Rotary evaporator, Vacuum, freezer, kertas

saring, timbangan dan jam tangan. Peralatan yang digunakan untuk

mengidentifikasi astaxanthin antara lain: HPLC (High Performance Liquid

Chromatography), dan mikropipet, Peralatan yang digunakan untuk mengukur

kapasitas antioksidan astaxanthin antara lain: spektrofotometer UV-mini

(shimadzu) dan Microplate Reader Berthold Tristar LB 941. Peralatan yang

digunakan untuk analisis proksimat antara lain: oven, desikator, tanur pengabuan,

buret, timbangan digital, pipet tetes, labu kjedahl, labu lemak, tabung reaksi, gelas

vial, gelas piala, beker gelas, gelas ukur, labu Erlenmeyer, corong gelas, cawan

porselin, spatula, penjepit, hot plate, kertas label, kapas, sarung tangan dan

masker mulut.

3.3. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode eksperimen yaitu dengan

melakukan percobaan secara langsung terhadap penentuan senyawa astaxanthin

dan aktivitas antioksidan yang berasal dari limbah udang vanname. Perlakuan

yang digunakan adalah etanol konsentrasi berbeda, yang terdiri dari 3 konsentrasi

70%, 80% dan 96% di ekstraksi selama 48 jam dengan 3 kali ulangan. Sehingga

jumlah unit percobaan sebanyak 9 unit.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan model :

Yij = μ + αi + εij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j


23

μ = Rerataan (mean) sesungguhnya

αi = Pengaruh perlakuan ke-i

εij = Kekeliruan percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Parameter yang diuji meliputi analisis proksimat, identifikasi

astaxanthin, kapasitas antioksidan, dan perhitungan rendemen.

3.4. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: tahap pertama preparasi

limbah udang vanname (Litopenaeus vannamei) dan tahap kedua mengekstraksi

astaxanthin dari tepung udang vanname (Litopenaeus vannamei), sebagaimana

terlihat pada Gambar 3 sampai 4.


 Limbah udang vanname
Limbah udang vanname dilakukan pencucian (air
(Litopenaeus vannamei) mengalir sebanyak 3 kali)
 Pemisahan kulit dengan kepala
limbah udang vanname.
Pengeringan dibawah sinar matahari
dari jam 08.00-16.00 WIB

Pengecilan ukuran
(diblender)

Disaring dengan menggunakan


saringan ukuran 80 mesh

Analisis Proksimat:
Tepung limbah udang  Kadar Air (AOAC)
vanname  Kadar Abu (AOAC)
Tahap 1  Kadar Lemak (Soxhlet)
(Litopenaeus
vannamei)  Kadar Protein (Kjedhal)

Gambar 3. Preparasi tepung limbah udang vanname (Litopenaeus vannamei)

Tepung limbah udang vanname


(Litopenaeus vannamei)
24

Penimbangan sampel 50 gr Untuk 1 perlakuan

Ekstraksi (sampel : pelarut 1:2 (b/v))

Pengadukan
Metode maserasi (setiap 6 jam)

Etanol

Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi


70 % 80 % 96 %

48 jam
Disaring dengan
dengan kertas
saring (halus)

Filtra Filtra Filtra


tt t t

Ditambahkan Petroleum eter 12,5


ml

Larutan NaCl 9,4 ml

Diuapkan dengan Rotary evaporator hingga pekat/kental (suhu 35o C)

 Identifikasiastaxanthin
Ekstrak astaxanthin dengan HPLC
 Uji antioksidan dengan
metode DPPH
Tahap 2  Rendemen

Gambar 4. Proses ekstraksi astaxanthin


25

3.5.1. Preparasi Limbah Udang vanname (Litopenaeus vannamei)

a. Bahan utama yaitu limbah udang vanname diperoleh dari pasar yang

berada di kota pekanbaru. Udang vanname didapat kemudian dicuci

dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan kotoran secara

berulang sebanyak tiga kali pencucian.

b. Limbah udang vanname yang sudah bersih kemudian dikeringkan dibawah

sinar matahari selama kurang lebih 3 hari (08.00-16.00) hingga kering.

c. Setelah proses pengeringan selesai, kemudian dilakukan proses pengecilan

ukuran menggunakan blender kering.

Pengamatan terhadap tepung limbah udang vanname yang dihasilkan

meliputi: Kadar Proksimat (Kadar air, abu, lemak dan protein).

3.5.2. Ekstraksi Astaxanthin (Sachindra, et al., 2006 yang telah


dimodifikasi)

Proses ekstraksi astaxanthin meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Sampel ekstraksi astaxanthin ditimbang sebanyak 50 gr untuk satu jenis

pelarut dan dimasukkan dalam botol maserasi.

b. Dilakukan proses ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan jenis

pelarut etanol dengan perbandingan sampel : pelarut 1:2 (b/v), lalu diberi

perlakuan perbedaan konsentrasi pelarut etanol yaitu 70%, 80% dan 96%

selama 48 jam. Pada proses maserasi dilakukan pengadukan setiap 6 jam

pada setiap perlakuan.

c. Selanjutnya disaring dengan kertas saring, masing-masing filtrat yang

dihasilkan dipartisi dengan labu pemisah guna memperoleh ekstrak

astaxanthin terbaik.
26

d. Filtrat yang di peroleh dari hasil penyaringan ditambahkan petroleum eter

sebanyak 12,5 ml dan NaCl 9,4 ml pada setiap perlakuan.

e. Diuapkan dengan rotary evaporator hingga pekat/kental pada suhu (35oC).

Sehingga diperoleh ekstrak astaxanthin dari etanol konsentrasi berbeda

(70%, 80% dan 96%).

Pengamatan identifikasi astaxanthin dengan HPLC, Uji antioksidan

dengan metode DPPH, dan Rendemen.

3.6. Pengamatan

3.6.1. Analisis Proksimat

A. Analisis Kadar Air (AOAC, 2005)

a. Cawan porselin yang sudah bersih, kemudian dikeringkan dalam oven

pada suhu 102-105 selama 1 jam, kemudian didinginkan menggunakan

desikator (kurang lebih 15 menit) dan ditimbang (A gram).

b. Timbang sampel seberat 3-4 g, lalu masukan dalam cawan porselin (B

gram) dan keringkan dalam oven dengan suhu 102-105 selama 5-6 jam.

c. Kemudian didinginkan dengan desikator selama 30 menit, lalu dilakukan

penimbangan beberapa kali sampai beratnya tetap (C gram).

Perhitungan kadar air dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

% kadar air =

Keterangan :

A = Berat botol timbang kosong (g)

B = Berat botol yang diisi dengan sampel (g)

C = Berat botol timbang dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)


27

B. Analisis Kadar Abu (AOAC, 2005)

a. Cawan porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105

selama ± 30 menit, lalu cawan porselen kemudian dimasukkan dalam

desikator (30 menit) dan timbang (A gram).

b. Timbang sampel sebanyak 4-5 g ditimbang kemudian dimasukkan

kedalam cawan porselen (B gram), kemudian cawan porselen selanjutnya

dibakar dalam tanur pengabuan dengan suhu 550 hingga mencapai

pengabuan sempurna.

c. Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam desikator selama 30

menit dan suhu tanuh diturunkan sampai 200°C. lalu sampel dipanaskan

lagi dalam oven dengan suhu 105°C selama 1 jam. Dinginkan sampel dan

timbang beratnya sampai konstan (C gram).

Perhitungan kadar abu dapat dilakukan menggunankan rumus:

% kadar Abu =

Keterangan :

A = Berat cawan kosong (g)

B = Berat cawan dengan sampel (g)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah diabukan (g)

C. Analisis Kadar Protein (AOAC, 2005)

a. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukan ke dalam labu kjedahl.

Tambahkan 25 ml asam sulfat (H2SO4) dan 1 gram katalis (Cu kompleks).


28

b. Campuran ini di dekstruksi dalam lemari asam sampai berwarna hijau atau

bening, kemudian dinginkan selama 30 menit. Tuangkan pelarut kloroform

sebanyak 1 ml ke dalam labu dengan ukuran soxhlet.

c. Larutan diencerkan dengan aquades 100 ml dalam labu ukur, kemudian

larutan tersebut diambil 25 ml dan dimasukan ke dalam labu kjedahl.

Tambahkan 5-7 tetes indikator pp dan NaOH 50% sampai alkalis sehingga

terbentuk larutan yang berwarna merah muda.

d. Kemudian Erlenmeyer diisi dengan asam boraks (H 2BO3) 2% sebanyak 25

ml dan ditambahkan indikator campuran (metilen merah biru) sehingga

larutan berwarna biru ditampung dan diikat dengan boraks (H 2BO3)

sampai terbentuk larutan hijau. Destilasi berlangsung lebih kurang 15

menit.

e. Hasil destilasi dititrasi dengan larutan asam standar (HCl 0,1 N) yang telah

diketahui konsentrasinya sampai berwarna biru. Dengan cara yang sama

dilakukan untuk blangko tanpa sampel.

Perhitungan kadar protein dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

% Protein =

Keterangan:

W = Bobot Sampel

V1= Volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran blanko

V2= Volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran sampel

N = Normalitas HCl

fp= Faktor pengenceran


29

f k = Faktor konversi untuk protein secara umum : 6,25

D. Analisis Kadar Lemak (AOAC, 2005)

a. Sebanyak 1-2 g (W1) sampel ditimbang dalam kertas saring dan

dimasukkan kedalam tabung soxhlet.

b. Labu penyaring/lemak dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu

105°-110°C dan ditimbang beratnya (W2), disambungkan dengan tabung

soxhlet.

c. Tabung soxhlet dimasukan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan

disiram dengan 250 ml n-heksan, kemudian tabung dipasang pada alat

destilasi soxhlet lalu didestilasi selama 6 jam.

d. Labu lemak dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C, setelah itu labu

didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3)

Perhitungan kadar lemak dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

% Lemak =

Keterangan :

W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)

3.6.2. Identifikasi Astaxanthin dengan HPLC

Kadar astaxanthin ditentukan dengan menggunakan metode HPLC.

a. Sampel sebanyak 0,1 g direaksikan dalam 5 ml metanol kemudian di

ultrasonik agar sampel dan larutan homogen.


30

b. Ambil sampel 20 µl menggunakan syring lalu diinjeksikan dalam HPLC

melalui kolom ODS (25 cm X 4,6 mm dengan ukuran partikel 5μm).

c. Sampel dielusi menggunakan campuran metanol air (gradien elusi 50-90

metanol).

d. Proses elusi dimonitor dengan detektor visible dengan panjang gelombang

471 dan 479 nm. Hasil didapat dengan bentuk dua kromatogram.

3.6.3. Rendemen

Karnila et al., (2011) menyebutkan, analisis rendemen dapat menggunakan

rumus sebagai berikut :

Rendemen = x 100%

3.7. Analisis Data

Data yang didapat kemudian dianalisis dengan menggunakan uji ANAVA

dan disajikan ke dalam bentuk tabel dan grafik, selanjutnya dibahas secara

deskriptif. Jika Fhitung > Ftabel pada tingkat kepercayaan 95% berarti hipotesis

ditolak, kemudian dilakukan dengan uji lanjut. Apabila Fhitung < Ftabel maka

hipotesis diterima.

3.8. Asumsi

1. Keterampilan peneliti pada saat penelitian dianggap sama.

Anda mungkin juga menyukai