Anda di halaman 1dari 26

STUDI PENGGUNAAN LARUTAN CUKA (ASAM ASETAT) SEBAGAI

PEREDUKSI FORMALIN PADA UDANG VANAME


(Litopenaeus vannamei)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:
NUR IKHSAN MAULIDANI
26030116120026

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Proposal Seminar : Studi Penggunaan Larutan Cuka (Asam


Asetat) sebagai Pereduksi Formalin pada
Udang Vaname (Litopenaeus vanameii)
Nama : Nur Ikhsan Maulidani
NIM : 26030116120026
Departemen : Teknologi Hasil Perikanan
Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan
Proposal Seminar ini telah disidangkan di hadapan Tim Penguji pada:
Tanggal : 14 November 2019
Tempat : Semarang

Mengetahui,

Dosen Pengampu Mata Kuliah Seminar :

1. Romadhon, S.Pi, M. Biotech. ............................

2. Laras Rianingsih, S.Pi, M.Sc. ............................

3. Slamet Suharto, S.Pi, M.Si. ............................


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Formalin banyak disalahgunakan oleh pedagang yang tidak bertanggung

jawab demi kepentingan pribadi. Jelas secara hukum bahwa formalin dilarang

keras penggunaannya dalam pengawetan makanan. Ironisnya, formalin ini sangat

mudah ditemukan dengan harga yang relatif murah, sehingga sering digunakan

oleh produsen dan pedagang tahu untuk mengawetkan produknya. Hal ini yang

menyebabkan keresahan masyarakat sehingga diperlukan pengawasan dari

pemerintah dan cara bagaimana mengurangi kandungan formalin yang ada pada

bahan pangan (Puspasari dan Hadijanto, 2014)

Formalin merupakan senyawa organik formaldehid yang bersifat basa

dengan rumus molekul HC₂O. Karena kecilnya, molekul ini akan mudah

menguap dan mudah diserap oleh jaringan sel poduk makanan maupun oleh sel

tubuh. Gugus aktif karbonil dari formalin dapat berikatan dengan gugus NH₂ dari

protein membentuk ikatan senyawa yang bersifat revesibel (Seftiana, 2015).

Menurut Ngginak et al. (2018), Udang merupakan salah satu hasil laut dan

komponen penting bagi perikanan udang di Indonesia. Tingkat ekspor hasil

perikanan komoditas utama menempatkan udang paling tinggi dibanding tuna,

cakalang, tongkol, dan kepiting. Selain itu pula nilai ekspor udang paling tinggi

menempati posisi pertama dari hasil laut lain seperti ikan. Pada udang terkandung

senyawa aktif yang bermanfaat bagi manusia. Senyawa aktif memiliki peran

penting untuk kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia.

Senyawa aktif seperti asam lemak (omega-3 dan omega-6) pada udang dan ikan
bermanfaat untuk perkembangan otak anak, untuk bayi, untuk ibu hamil.

Kemudian menurut Trung Si et al. (2012), dalam udang terkandung senyawa aktif

yang dapat ditemukan adalah kitosan, mineral, lipid, karotenoid protein memiliki

nilai ekonomis yang tinggi. Dalam kaitan dengan senyawa aktif Zhao et al.

(2011), mengemukakan bahwa bahwa udang merupakan salah satu sumber

senyawa aktif tertinggi untuk golongan asam amino.

Kandungan proksimat udang tertinggi adalah air dan protein. Kandungan

air pada udang vaname yaitu sebesar 76,20% sedangkan kandungan protein pada

udang vaname sebesar 35,69%. Udang juga memiliki kandungan beberapa unsur

seperti tembaga, seng, mangan, besi dan kromium. Mengkonsumsi udang dapat

memberikan manfaat bagi kesehatan manusia misalnya mata (retina), dan

perkembangan fungsi otak (Gunalan et al, 2013). Daya simpan udang yang

pendek dan rentan mengalami penurunan kualitas dapat disebabkan oleh

kontaminasi mikroba dan enzim. Oleh sebab itu muncul upaya pengawetan untuk

menjaga kesegaran dan keawetannya. Umumnya penyimpanan produk perikanan

menggunakan es batu, namun terdapat beberapa oknum yang menggunakan bahan

pengawet berbahaya dan dilarang untuk makanan yaitu formalin (Adisasmita et

al., 2015).

Berdasarkan hasil penelitian Sukesi, (2006) mengenai penurunan kadar

formalin pada ikan segar menggunakan air cuka 5% selama 15 menit mampu

menurunkan kadar formalin hingga mencapai 100%. Kemudian perendaman ikan

asin berformalin dengan air dan air leri selama 60 menit dapat menurunkan kadar

formalin sebesar 61,23% dan 66,03%.


Penurunan kadar formalin dengan perendaman dalam air dilakukan oleh

Wiwiek et al., (2008) yaitu tentang pengaruh perendaman dengan menggunakan

air terhadap konsentrasi formaldehid dalam ikan asin sange belah. Ikan asin

tersebut direndam dalam air pada suhu 50 °C, kemudian ditambahkan larutan

formaldehid dengan konsentrasi 250 ppm, direndam selama 12 jam, setelah

direndam ikan dicuci, kemudian 20 g ikan asin dihomogenkan dengan 100 mL

aquades, larutan ikan asin direaksikan dengan pereaksi Nash. Warna kuning yang

terbentuk diukur pada λ 415 nm. Hasil menunjukkan bahwa terdapat penurunan

konsentrasi formaldehid dalam sampel ikan asin yaitu 63,27 % setelah

perendaman dengan air dan pencucian. Menurut Litha (2008) pengurangan kadar

formalin dengan metode perendaman dalam air, lemon cui dan asam asetat pada

ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L). Ikan cakalang dicuci sampai bersih dan

direndam dengan larutan formalin 2 % dan formalin 4 % selama 1 jam, setelah itu

ikan dipotong melintang dan direndam dalam air, lemon cui, dan asam asetat 5 %

selama 30 menit, kemudian dianalisis kadar formalin pada ikan cakalang dengan

menggunakan spektrofotometer pada λ 589 nm. Hasil dari perlakuan

menunjukkan bahwa banyaknya pengurangan kadar formalin pada ikan cakalang

sesudah perendaman dengan air, lemon cui dan asam asetat 5 % yaitu ikan asin

dengan formalin 2 % kadar formalin yang keluar dari daging ikan dengan

menggunakan air yaitu 65,50 %, lemon cui 68,40 % dan dengan asam asetat 67,75

%.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah :

1. Adakah pengaruh perendaman dalam larutan cuka (asam asetat) terhadap

penurunan konsentrasi formalin pada Udang vaname (Litopenaeus

vanameii) ?

2. Pada konsentrasi berapakah larutan cuka (asam asetat) efektif menurunkan

kadar formalin pada Udang vaname (Litopenaeus vanameii) ?

3. Bagaimana Kualitas Udang Vaname Setelah perlakuan dengan

Menggunakan parameter Organoleptik dan Kandungan Protein pada

Udang Vaname (Litopenaeus vanameii) ?

1.3. Pendekatan Masalah

Tahapan untuk melakukan penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap,

yaitu tahap penelitian. Tahap penelitian yang pertama bertujuan untuk

mengetahui konsentrasi terbaik dari larutan cuka (asam asetat). Konsentrasi

terbaik dinilai berdasarkan seberapa banyak nya konsentrasi formalin yang dapat

direduksi oleh larutan cuka (asam asetat). Konsentrasi terbaik diambil berdasarkan

perbandingan antara kontrol dengan perlakuan 6%, 8% dan 10%. Pada penelitian

pendahuluan larutan cuka (asam asetat) diencerkan menggunakan pelarut aquadest

dengan konsentrasi 6%, 8% dan 10%. Tahap penelitian berikutnya yaitu

menggunakan konsentrasi terbaik dari penelitian pendahuluan. Penelitian utama

bertujuan untuk mengaplikasikan konsentrasi terbaik dari larutan cuka (asam

asetat) dan kontrol (tanpa perlakuan) pada udang vaname. Parameter pengujian

yang digunakan pada penelitian utama untuk mengetahui konsentrasi formalin

pada udang vaname dan mutu udang adalah uji Kandungan Formalin, Proksimat,
pH, dan organoleptik dengan lama perendaman selama 60 menit dalam larutan

formalin 2%

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui :

1. Mengetahui konsentrasi larutan cuka (asam asetat) yang terbaik

berdasarkan nilai organoleptik, pengujian kandungan formalin, Pengujian

Proksimat dan pengujian pH pada udang vaname (L. vanameii)

2. Mengetahui apakah perlakuan perendaman larutan cuka (asam asetat)

mampu mengurangi konsentrasi formalin pada udang vaname (L.

vanameii) dan ;

3. Mengetahui Kualitas Udang Vaname Setelah perlakuan dengan

Menggunakan parameter Organoleptik dan Kandungan Protein

1.4.2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian adalah sebagai berikut :

1. Hasil penelitian ini diharapakan mampu memberikan informasi dan

pengetahuan baru kepada peneliti-peneliti selanjutnya dan masyarakat

serta pengolah hasil perikanan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan

dalam memanfaatkan larutan cuka (asam asetat) sebagai peredusi

kandungan formalin pada udang vanamei (L. vanameii) ; dan

2. Memberikan informasi mengenai konsentrasi larutan cuka (asam asetat)

daun terbaik untuk mereduksi kandungan formalin pada udang vanamei.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Udang Vaname (Litopenaeus monodon)

Menurut Zakaria (2010) klasifikasi udang vaname adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Anthropoda
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei

Tubuh udang vaname dibentuk oleh dua cabang (Biramous), yaitu exopodite

dan endopodite. Seluruh tubuhnya tertutup oleh eksoskeleton yang terbuat dari

bahan kitin. Tubuhnya beruas – ruas dan mempunya aktivitas berganti kulit

(moulting). Menurut Zakaria (2010) tubuh udang yang dilihat dari luar terdiri dari

tiga bagian, yaitu begian depan yang disebut cephalothorax, serta menyatunya

begian kepala dan serta bagian belakang (perut) yang disebut abdomen dan

terdapat ekor atau uropod di ujungnya (Gambar 1).


Gambar 1. Morfologi udang vaname (Zakaria, 2010)

Keterangan :
1. Kelopak Mata 7. Pleopod 13. Hepatic (Hati)
2. Antennulae 8. Rostrum 14. Cardia Cregion
3. Antenna 9. Antennal spine 15. Telson
4. Rahang Atas II 10. Supraorbital Spine 16. Uropod
5. Rahang Atas III 11. Orbital Spine
6. Periopod 12. Hepatic Spirse

Ciri khususnya yang dimiliki udang vaname adalah adanya pigmen

karotenoid yang terdapat pada bagian kulit. Kadar pigmen ini akan semakin

berkurang seiring pertumbuhan udang, karena pada saat molting sebagian pigmen

yang terdapat pada kulit akan terbuang. Keberadaan pigmen ini memberikan

warna putih kemerahan pada tubuh udang (Zakaria, 2010).

2.2. Kemunduran Mutu Udang

Menurut Karnila et al, (2006), mengingat udang merupakan bahan pangan

yang mudah mengalami kerusakan maka diperlukan penanganan yang baik sejak

udang diangkat saat panen. Kemunduran mutu udang dapat disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu proses pembusukan yang disebabkan oleh bakteri, aktivitas

enzim autolitik. Kandungan udang yang sebagian besar berupa protein, lemak dan
air membuat udang rentan mengalami kemunduran mutu. Kerusakan udang dapat

dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Kerusakan biologi

Kerusakan biologi dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba. Secara

mikrobiologis kerusakan udang dipengaruhi oleh jumlah total mikroba dan bakteri

pembusuk (bakteri kontaminan). Menurut Azizah (2015), jumlah total mikroba

dapat dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan. Suhu dan lama penyimpanan

juga akan mempengaruhi kandungan protein yang ada pada udang. Bakteri yang

ada pada udang dapat merusak karapas dan menimbulkan amoniak, bau asam dan

mengakibatkan adanya kerusakan pada daging udang. Setelah itu muncul

senyawa-senyawa biogenik amin. Semakin meningkat jumlah mikroba maka

semakin meningkat nilai TVB.

b. Kerusakan kimia

Kerusakan mutu udang secara kimiawi dapat dilihat melalui nilai derajat

keasaman (pH), nilai total volatile base (TVB), kandungan indol (tingkat

kesegaran udang, dan terjadinya melanosis (blackspot). Jika tubuh udang sudah

mulai mengejang (melengkung) hal tersebut diakibatkan karena adanya

prosesproses biokimia yang kompleks didalam jaringan tubuh yang menghasilkan

kontraksi dan ketegangan. pH udang sekitar 6,6-6,7. Semakin busuk udang maka

semakin tinggi pula nilai derajat keasamannya (pH). Sedangkan indol merupakan

indikator untuk membedakan udang yang berkualitas baik dan tidak baik.

Pembentukan indol diakibatkan karena adanya aksi dari berbagai bakteri, seperti

Proteus dan E. coli sebagai hasil dari degradasi triptofan yang ada pada jaringan

udang
(Mursida, 2015).

c. Kerusakan fisik

Kerusakan fisik pada udang dapat dilihat salah satunya adalah perubahan

tekstur dan kenampakan pada udang. Udang yang tidak segar akan mulai lunak

tubuhnya. Serta adanya perubahan warna pada udang yang menyebabkan kualitas

udang menurun dan secara organoleptik tidak diterima oleh konsumen. Perubahan

warna pada udang diakibatkan karena terputusnya rantai dingin (suhu) sehingga

protein terdenaturasi dan pigmen astaxanthin pada udang terlepas. Blackspot pada

udang juga termasuk kedalam kerusakan fisik karena adanya kerusakan enzim

yang ada pada udang akan menimbulkan munculnya noda hitam pada udang

terutama biasanya muncul pada bagian karapas dan kepala (Goncalves dan Junior,

2009). Kerusakan fisik juga dapat diakibatkan karena proses penanganan udang

dari panen sampai ke produsen kurang tepat (tergencet, karapas terlepas, bagian

kepala udang terlepas)

2.3. Keamanan Pangan

Mutu pangan (food quality) adalah hal-hal yang membuat suatu produk

pangan menjadi lebih baik dan lebih enak dimakan dalam kaitannya dengan

citarasa, warna, tekstur dan kriteria mutu lainnya, seperti pilihan, ukuran, sifat

fungsional, nilai gizi dan sebagainya. Keamanan pangan (food safety) adalah hal-

hal yang membuat produk pangan aman untuk dimakan dan bebas dari faktor-

faktor yang dapat menyebabkan penyakit, misalnya banyak mengandung sumber

penular penyakit (infectious agents), mengandung bahan kimia beracun, atau

mengandung benda asing (foreign objects) (Hariyadi dan Ratih, 2009).


Tanpa keamanan pangan yang menjadi persyaratan dasar produksi suatu

produk pangan, mutu pangan tidak dapat dibahas. Namun, ada beberapa aspek

yang sangat penting yang tidak dapat ditinggalkan antara lain adalah bahwa

makanan tidak akan laku dijual jika penampilan, rasa dan aroma tidak sesuai

keinginan pelanggan dan tidak memenuhi kepuasan pelanggan. Aspek-aspek

seperti ini hanya dapat kita temui dan diatur dalam Sistem Manajemen Mutu. Itu

berarti bahwa selain menghasilkan produk pangan yang aman dikonsumsi yang

tidak kalah pentingnya adalah produk bermutu dan mempunyai nilai jual karena

memenuhi keinginan konsumen mencapai kepuasan pelanggan (Rina, 2008).

2.4. Bahan Pengawet

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan makanan yang

mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat

proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba.

Penggunaan pengawet dalam bahan pangan harus tepat, baik jenis dan dosisnya.

Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi,

kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya baik yang

bersifat langsung, misalnya keracunan maupun yang tidak bersifat langsung

misalnya bahan pengawet yang bersifat karsinogenik. (Cahyadi, 2008)

2.5. Formalin

2.5.1. Pengertian Formalin

Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10-40% dari

formaldehid. Formalin mempunyai banyak nama kimia diantaranya formol,


methylene adehyde, paraforin, morbicid, oxomethane, polyoxymethylene glycols,

methanal, formoform, superlysoform, formic aldehyde, formalith,

tertraoxymethylene, methyl oxide, karsan, trioxane, oxymethylene dan methylene

glycol. Di pasaran, formalin bisa ditemukan dalam bentuk yang sudah diencerkan.

(Yuliarti, 2007). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 Tahun 2012,

formalin merupakan bahan kimia yang penggunaannya dilarang untuk produk

makanan. Formalin sebenarnya adalah suatu desinfektan yang aktif terhadap

bakteri, virus dan cendawan serta berguna untuk mengawetkan spesimen biologi

dan mayat dan dibidang industri digunakan pada tekstil, pupuk dan bahan kimia.

Senyawa ini termasuk golongan aldehid yang paling sederhana karena hanya

mempunyai satu atom karbon. (Widyaningsih, 2006).

2.5.2. Karakteristik Formalin

Rumus Molekul : CH2O

Nama kimia : Formaldehyde

Masa molar : 30,03 g/mol

Titik Leleh : -920C

Titik didih : -210C

pH : 2,8 - 4,0

Kelarutan dalam air (g/100 ml) : Bercampur sempurna

Rumus struktur :
Gambar 2. Struktur Kimia Formaldehida

Formalin mengandung ±37% gas formaldehid, 10-15% metanol, dan air.

Formaldehid gas pada suhu ambient mudah terbakar dan meledak jika dicampur

dengan udara pada konsentrasi 7-73% (reaktif pada suhu ambient), dapat

berpolimerisasi pada suhu di bawah 800C. Ambang bau formaldehid adalah 0,1-1

ppm. Suhu tinggi mempercepat volatilisasi atau penguapan formaldehid dan juga

mempercepat pembentukan senyawa formaldehid. Formalin memiliki bau yang

sangat menyengat, dan mudah larut dalam air maupun alkohol. Konsentrasi

formalin di udara melebihi 1 ppm bisa menyebabkan iritasi ringan pada mata,

hidung dan tenggorokan. Semakin tinggi konsentrasinya, semakin besar bahaya

iritasinya. (Cahyadi, 2008).

2.6. Kegunaan Formalin

2.6.1. Penggunaan Formalin yang Benar

Menurut Saparinto dan Hidayati (2006), biasanya formalin digunakan dalam

dunia kedokteran sebagai bahan pengawet, misalnya sebagai bahan pengawet

mayat dan hewan-hewan untuk keperluan penelitian. Selain sebagai bahan

pengawet, formalin juga memiliki fungsi lain sebagai berikut :

a. Zat antiseptik untuk membunuh mikroorganisme

b. Desinfektan pada kandang ayam dan sebagainya

c. Antihidrolik (penghambat keluarnya keringat) sehingga digunakan sebagai

bahan pembuat deodorant

d. Bahan campuran dalam pembuatan kertas tisu untuk toilet


e. Bahan baku industri pembuatan lem plywood, resin, maupun tekstil.

Dalam dunia Fotografi formalin biasanya digunakan sebagai pengeras

lapisan

gelatin dan kertas. Formalin juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan

pupuk

urea, bahan pembuatan produk parfum, pengawet produk kosmetika, pengeras

kuku

dan bahan untuk insulasi busa. Formalin sudah sangat umum digunakan dalam

kehidupan sehari-hari. Apabila digunakan secara benar, formalin akan banyak kita

rasakan manfaatnya, misalnya sebagai antibakteri atau pembunuh kuman dalam

berbagai jenis keperluan industri, yakni pembersih lantai, kapal, gudang, pakaian,

sebagai pembasmi lalat maupun serangga lainnya. (Yuliarti, 2007).

Dalam Industri, formaldehida kebanyakan dipakai dalam produksi polimer.

Jika digabungkan dengan fenol, urea, atau melamin formaldehida menghasilkan

resin yang keras. Resin ini dipakai untuk lem permanen, misalnya yang dipakai

untuk kayu lapis/tripleks atau karpet. Lebih dari 50% produksi formaldehida

dihabiskan untuk produksi resin formaldehida. (Prijono, 2007).

2.6.2. Penggunaan Formalin yang Salah

Penggunaan formalin yang salah adalah hal yang sangat disesalkan, melalui

sejumlah survei dan pemeriksaan laboratorium yang telah dilakukan, ditemukan

sejumlah produk pangan yang menggunakan formalin sebagai pengawet. Praktik

yang salah seperti ini sering dilakukan oleh produsen atau pengelola pangan yang

tidak bertanggung jawab. Beberapa contoh produk yang sering diketahui

mengandung formalin misalnya :


1. Ikan segar : Ikan basah yang warnanya putih bersih, kenyal, ingsangnya merah

tua (bukan merah segar), awet sampai beberapa hari dan tidak mudah busuk.

2. Ikan Asin : Ikan yang keringnya merata, awet sampai beberapa minggu atau

bulan dan tidak mudah busuk.

3. Ayam potong : Ayam yang sudah dipotong berwarna putih bersih, awet dan

tidak mudah busuk.

4. Mie basah : Mie basah yang awet sampai beberapa hari dan tidak mudah basi

dibandingkan dengan yang tidak mengandung formalin. (Dirjen POM, 2003)

2.6.3. Dampak Formalin Terhadap Kesehatan

Formalin atau formaldehid merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi

kesehatan manusia. Pemakaian formalin pada makanan dapat menyebabkan

keracunan pada tubuh manusia. Gejala yang biasa timbul antara lain sukar

menelan, timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan pada peredaran darah.

Efek pada kesehatan manusia terlihat setelah terkena dalam jangka waktu yang

lama dan berulang dan efek sampingnya terlihat setelah jangka panjang karena

terjadi akumulasi formalin dalam tubuh. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi,

akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat didalam sel sehingga

menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel dan keracunan pada tubuh.

Selain itu, kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh juga menyebabkan iritasi

lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat

mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel jaringan), serta orang yang


mengkonsumsinya akan muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah

dan bahkan menyebabkan kematian. (Norliana et al., 2009).

2.6. Asam Asetat

Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam

organik yang merupakan asam karboksilat yang paling penting di perdagangan,

industri, dan laboratorium dan dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma

dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus kimia CH3-COOH, CH3COOH,

atau

CH3CO2H. Bentuk murni dari asam asetat ialah asam asetat glacial. Asam asetat

glasial mempunyai ciri-ciri tidak berwarna, mudah terbakar (titik beku 17°C dan

titik didih 118°C) dengan bau menyengat, dapat bercampur dengan air dan banyak

pelarut organik. Dalam bentuk cair atau uap, asam asetat glacial sangat korosi

terhadap kulit dan jaringan lain suatu molekul asam asetat mengandung gugus –

OH dan dengan sendirinya dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Karena

adanya ikatan hidrogen ini, maka asam asetat yang mengandung atom karbon satu

sampai empat dan dapat bercampur dengan air (Hewitt, 2003).

Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang

penting untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia. Asam asetat digunakan

dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil

asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Asam asetat digunakan sebagai

pengatur keasaman dalam industri makanan. Asam asetat encer juga sering

digunakan sebagai pelunak air di rumah tangga. Penggunaan asam asetat lainnya,

termasuk penggunaan dalam cuka relatif kecil (Setiawan, 2007).


2.6.1. Larutan Cuka

Asam cuka (CH3COOH) adalah suatu senyawa berbentuk cairan, tak

berwarna, berbau menyengat, memiliki rasa asam yang tajam dan larut di dalam

air, alkohol, gliserol, dan eter. Pada tekanan asmosferik, titik didihnya 118,1°C.

Asam asetat mempunyai aplikasi yang sangat luas di bidang industri dan pangan.

Di Indonesia, kebutuhan asam asetat masih harus di import, sehingga perlu di

usahakan kemandirian dalam penyediaan bahan.

Gambar 3. Struktur Kimia Asam Asetat

Industri asam asetat merupakan salah satu industri kimia yang berprospek di

Indonesia. Kebutuhan asam asetat di dalam negeri terus meningkat seiring dengan

meningkatnya permintaan oleh industri penggunanya. Meningkatnya kebutuhan

asam asetat ini belum dapat dipenuhi seluruhnya oleh satu-satunya produsen

lokal, yaitu PT Indo Acidatama Chemical Industry, sehingga ketergantungan

terhadap impor dari tahun ke tahun semakin naik (Hardoyono, 2007).

Formalin merupakan bahan kimia yang bersifat basa. Apabila udang dalam

kondisi segar direndam dalam larutan formalin maka akan terjadi reaksi antara

formalin dan protein. Pada proses perendaman dalam larutan berformalin,

formalin masuk ke dalam sel-sel ikan dan mengikat protein. Formaldehid mampu

memodifikasi atau mendenaturasi protein dan asam nukleat melalui proses alkilasi

antara gugus –NH2 dan –OH dari protein dan asam nukleat dengan gugus

hidroksimetil dari formaldehid. Hal ini menyebabkan daging ikan menjadi kaku.
Proses penurunan kadar formalin atau deformalinisasi yang terjadi pada udang

segar ini disebabkan karena adanya perbedaan tekanan osmosa antara daging ikan

dengan larutan perendam (asam asetat), sehingga terjadi perpindahan molekul air

dari daging ikan ke larutan perendam. Melalui proses perendaman molekul inilah

maka formalin yang larut dalam darah dan cairan tubuh ikan ikut keluar dan larut

dalam larutan perendaman (Wikanta, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh (Sanger dan Montolalu, 2008) menunjukan

bahwa perendaman udang selama 1 jam dalam formalin telah mampu membuat

formalin berikatan dengan protein pada udang. Perendaman dalam larutan asam

cuka selama 30 menit mampu mengeluarkan residu formalin paling besar

dibandingkan dengan perendaman dengan air lemon maupun jeruk nipis

III. MATERI DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Seluruh Uji dilakukan di

Laboratorium Analisa dan Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Proses Uji Spektrofotometri dilakukan di

Laboratorium Prosesing , Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Diponegoro.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam proses penelitian tabel 1.


Tabel 1. Alat-alat yang Digunakan pada Proses Penelitian
No Nama Alat Ketelitian Fungsi

.
1. Spektrofotometer - Untuk mengukur Absorbansi
2. Petri Disc besar - Tempat Perendaman
3. Wadah - Tempat bahan baku
4. Cool Box / Refrigerator - Tempat penyimpanan Udang
5. Timbangan Digital 0.0001 gr Alat penimbangan
6. pH Meter - Alat pengukur pH

3.2.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam proses penelitian tersaji pada

keterangan tabel 2.

Tabel 2. Bahan yang Digunakan pada Proses Penelitian


No. Nama Bahan Konsentrasi
1. Aquades -
2. Udang Vaname (Litopenaeus vaname) Secukupnya
3. Formalin -
4. Larutan Cuka 6%, 8%, 10%

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah suatu bentuk metode penelitian eksperimental. Ciri

khusus dari penelitian eksperimental adalah adanya percobaan/trial. Percobaan itu


berupa perlakuan atau intervensi terhadap suatu variabel. Dan perlakuan tersebut

diharapkan terjadi perubahan atau pengaruh terhadap variabel yang lain

(Notoatmodjo, 2010).

Desain penelitian ini adalah Quasi Experimental Design atau ekperimental

semu dengan bentuk Nonequivalent Control Group Design pada desain ini

terdapat dua kelompok yang diberi perlakuan (X) dan kelompok yang tidak diberi

perlakuan disebut kelompok kontrol (K). Penentuan sampel pada kedua kelompok

ini berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dan tidak dipilih secara

acak/random (Sugiyono, 2010).

Pada penelitian ini, perlakuan perendaman pada tiap-tiap kelompok dapat

dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Kelompok Perlakuan


KONSENTRASI KONSENTRASI FORMALIN
LARUTAN CUKA
X1 X2 X3 X4 Kontrol
0,5 % 1% 1,5% 2% 0%
6% (X1,1) (X2,1) (X3,1) (X4,1) K1
8% (X1,2) (X2,2) (X3,2) (X4,2) K2
10% (X1,3) (X2,3) (X3,3) (X4,3) K3

Pada penelitian ini, terdapat empat kelompok perlakuan (X) ditambah satu

kelompok kontrol (K) yakni

 Kelompok I = Perendaman dalam formalin konsentrasi 0,5% selama 60 menit

kemudian dilakukan perendaman lagi dalam larutan cuka (asam asetat) dengan

konsentrasi 6%; 8% dan 10% selama 30 menit,

 Kelompok II = Perendaman dalam formalin konsentrasi 1,0% selama 60 menit

kemudian dilakukan perendaman lagi dalam larutan cuka (asam asetat) dengan

konsentrasi 6%; 8%, dan 10% selama 30 menit,


 Kelompok III = Perendaman dalam formalin konsentrasi 1,5% selama 60 menit

kemudian dilakukan perendaman lagi dalam larutan cuka (asam asetat) dengan

konsentrasi 6%; 8%; dan 10% selama 30 menit,

 Kelompok IV = Perendaman dalam formalin konsentrasi 2,0% selama 60 menit

kemudian dilakukan perendaman lagi dalam larutan cuka (asam asetat) dengan

konsentrasi 6%; 8%; dan 10% selama 30 menit.

Perendaman dalam formalin dilakukan dalam cawan petri begitu pula

dengan perendaman dalam larutan cuka (asam asetat). Sampel direndam dalam

formalin dengan durasi waktu 60 menit selanjutnya perendaman dalam larutan

cuka (asam asetat) dengan durasi waktu 30 menit. Setelah dilakukan perendaman

dalam larutan cuka (asam asetat), kemudian dilakukan pemeriksaan fisik pada

sampel meliputi kenampakan udang vaname serta perubahan fisik yang terjadi

pada larutan cuka (asam asetat) setelah dilakukan perendaman. Kemudian

pemeriksaan kualitatif menggunakan spektrofotometer untuk mengetahui seberapa

jauh pengurangan kadar formalin pada sampel setelah dilakukan perendaman

dalam larutan cuka (asam asetat) (Sanger dan Litha, 2008).

3.3.1. Analisis Organoleptik

Uji organoleptik merupakan salah satu uji yang dilakukan untuk menilai

suatu bahan atau produk dengan hasil akhir sampel tersebut masih layak

dikonsumsi atau tidak berdasarkan hasil perhitungan dari selang kepercayaan yang

diperoleh dari data panelis. Menurut Wahyuningtyas (2010), uji organoleptik atau

biasa disebut uji indera atau uji sensori merupakan cara pengujian dengan

menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya


penerimaan terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting

dalam penerapan mutu.

3.3.2. Uji pH

Uji pH Bahan Baku Ikan. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan

pH meter dengan cara dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 10 gram

daging ikan dihancurkan dan dihomogenkan dengan 90 ml air destilata. Kemudian

daging homogen tersebut diukur dengan pH meter yang sebelumnya telah

dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 dan 7 (Botutihe, 2016).

3.3.3. Uji Kuantitatif Formalin

Pada uji kuantitatif formalin terdapat beberapa metode yang umum

digunakan, diantaranya metode kolorimetri, spektrofotometri, kromatografi cair,

dan kromatografi gas. Prinsip pada metode kolorimetri adalah perbandingan

menggunakan perbedaan warna. Metode kolorimetri mengukur warna suatu zat

sebagai perbandingan. Pada umumnya cahaya putih digunakan sebagai sumber

cahaya untuk membandingkan absorpsi cahaya relatif terhadap suatu zat.

(Widjanarko, 2015)

Metode kromatografi gas dan kromatografi cair kinerja tinggi memiliki

sensitivitas dan selektivitas yang sangat baik. Namun metode kromatografi gas

dan

kromatografi cair kinerja tinggi memerlukan instrumentasi yang relatif mahal dan

rumit selain itu dibutuhkan proses derivatisasi menggunakan zat penderivat yang

mahal. Pada metode spektrofotometri dibutuhkan pereaksi dimana pereaksi yang

sering digunakan yaitu pereaksi asam kromatofat dan pereaksi Nash.


Spektrofotometri terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer

menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan

fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang

diabsorpsi. Pada metode spektrofotometri, panjang gelombang yang terseleksi

dapat diperoleh dengan bantuan alat penguraian cahaya seperti prisma. Suatu

spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum tampak yang kontinyu,

monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel dan blangko dan suatu alat

untuk mengukur perbedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun

pembanding. (Khopkar, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, A.P., S. Yuliawati, dan R. Hestiningsih. 2015. Survei Keberadaan


Formalin pada Produk Perikanan Laut Segar yang Dijual di Pasar
Tradisional Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 3(3) : 2356-
3346.

Azizah, L.A. 2015. Analisis Kemunduran Mutu Udang Vaname (Litopenaeus


Vannamei) Secara Kimiawi dan Mikrobiologis. Departemen Teknologi
Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor, 1-53.

Botutihe, F. 2016. Penilaian Mutu Organoleptik dan pH Ikan Roa (Hemirhampus


sp.) sebagai Bahan Baku Ikan Asap (Studi Kasus UKM ikan Roa Asap
Desa Bangga, Kecamatan Paguyaman Pantai). Jurnal Agropolitan. 3(3):
27-31.

Cahyadi, W. 2008. Analisis Dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan


Pangan.Jakarta.:Bumi Aksara
Goncalves A.A, dan G. Junior. 2009. The Effect Of Glaze Uptake On Storage
Quality Of Frozen Shrimp. Journal of Food Engineering, 90: 285-290.

Gunalan., N. Tabitha., Soundarapandian, dan T. Anand. 2013. Nutritive Value of


Cultured White Leg Shrimp Litopenaeus Vannamei. International
Journal of Fisheries and Aquaculture, 5(7) : 166-171.

Hardoyono, A.E.T. 2007. Kondisi Optimum Fermentasi Asam Asetat


Menggunakan Acetobacter Aceti. Jakarta.

Hariyadi, Purwiyatno dan Dewayanti, Ratih. 2009. Memproduksi Pangan yang


Aman. Jakarta: Dian Rakyat.

Karnila, R., Suparmi, dan M. Romaida. 2006. Kajian Sifat Mutu Udang Galah
(Macrobrachium Rosenbergii) Segar pada Penyimpanan Suhu Kamar.
Jurnal Berkala Perikanan Terubuk, 33(2) : 121-125.

Khopkar, S.M., 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.

Lintha, M. 2008. Metode Pengurangan Kadar Formalin pada Ikan Cakalang


(Katsuwonus pelamis). Jurnal Warta Wiptek, 1(1): 1-15.

Mursida. 2015. Analisa Mutu Chitosan dari Limbah Kulit Udang Windu (Penaus
monodon) sebagai Bahan Pengawet. Jurnal Galung Tropika, 4(1) : 7-18.
Ngginak J., Semangun, Mangimbulude, dan Rondonuwu. 2009. Komponen
Senyawa Aktif pada Udang dan Aplikasinya. Jurnal sains Medika,
5(2) :128-145

Norliana, S et al. 2009. The Health Risk of Formaldehyde to Human Beings.


Malaysia:University Putra Malaysia, Journal of Food Science and
Technology, 2(3) : 127-134

Prijono D, Sudiar. 2007. Insecticidal activity of Indonesian plant extracts against


the cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana (F.)
(Lepidoptera pyralidae). J ISSAAS, 12(1):25-34

Puspasari, G. dan Hadijanto. 2014. Uji kualitatif formalin pada tahu kuning di
pasar Kota Bandung. Jurnal Kedokteran, 2(3): 1-7

Saparinto, C dan Hidayati, D. 2006. Bahan tambahan Pangan. Yogyakarta :


Kanisius.

Setiawan, L. dan Irvani, A. 2007. Pembuatan Asam Asetat dengan Cara Murni.
Jakarta.

Trung. Si T., Thai. P., Phuong. 2012. Bioactive Compounds from By-Products of
Shrimp Processing Industry in Vietnam. Faculty of Food Technology,
Nha Trang University, Nha Trang. Vietnam. (194-196)
Wahyuni, D.T dan Widjanarko, S.B. 2015. Pengaruh Jenis Pelarut dan Lama
Ekstraksi Terhadap Ekstrak Karotenoid Labu Kuning dengan Metode
Gelombang Ultrasonik. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. FTP
Universitas
Brawijaya. Malang. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 4(1): 390-401.

Widyaningsih, Murtini. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan.


Trubus Agrisarana. Surabaya.

Wiwiek K., Levita, Musfiroh, dan Mustafrichi. 2009. The effect of soaking,
washing and frying in on the concentration of formaldehyde in sange
belah salty fish. Jurnal of pharmacy, 1(5): 12-24

Yuliarti, Nurheti., 2007. Awas Bahaya di Balik Lezatnya Makanan, Yogyakarta :


Penerbit Andi.

Zakaria, A. S. 2010. Manajemen Pembesaran Udang Vannamei di Tambak Udang


Binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pamekasan. Budidaya
Perairan Universitas Airlangga. Surabaya.

Zhao. J., Huang. R. G., Zhang. N. M., Chen. W. W., Jiang. X. J. 2011. Amino
Acid Composition, Molecular Weight Distribution and Antioxidant
Stability of Shrimp Processing . American Journal of Food Technology.
(643-645)

Anda mungkin juga menyukai