Anda di halaman 1dari 21

SKRIPSI

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG TERIGU DAN TEPUNG


TAPIOKA TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN TINGKAT
KESUKAAN PETIS KEPALA UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei)

Oleh :
QHANNA AUSTY APRILIA
NIM : 1606015083

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Pengaruh Penambahan Tepung Terigu dan Tepung


Tapioka Terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Tingkat
Kesukaan Petis Kepala Udang Putih (Litopenaeus
vannamei)
Nama Mahasiswa : Qhanna Austy Aprilia
NIM : 1606015083
Jurusan : Teknologi Hasil Perikanan
Program Studi : Teknologi Hasil Perikanan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

H. Irman Irawan, S.Pi., M.Sc., Ph.D Dr. Bagus Fajar Pamungkas, S.Pi.,
NIP. 197608142009121001 M.Si
Tanggal : NIP. 198001042003121004
Tanggal :

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan


Universitas Mulawarman

Dr. Ir. Komsanah Sukarti, M.P


NIP. 19640510 198903 2 003
Tanggal :
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Litopenaeus vannamei disebut juga dengan udang putih yang merupakan


spesies introduksi yang dibudidayakan di Indonesia. Udang putih (L. vannamei)
merupakan salah satu komoditas perikanan laut Indonesia yang memiliki nilai
ekonomi tinggi baik di pasar domestik maupun global, 77% di antaranya
diproduksi negara-negara Asia termasuk Indonesia (FAO, 2012). Produksi udang
akan menimbulkan limbah yang sebanding dengan hasil produksi, karena
umumnya udang diekspor sebagai produk beku dan dibekukan dalam bentuk
tanpa kepala atau tanpa kulit dan kepala.
Limbah udang banyak mengandung senyawa organik, terutama protein
sebesar 23-27% dan kepala udang merupakan tempat berkumpulnya enzim-
enzim pemecah bahan organik serta bakteri pembusuk (Krissetiana, 2004).
Pemanfaatan kepala udang dalam bentuk flavor alami diharapkan dapat
meningkatkan nilai ekonomis limbah kepala udang. Asam glutamat digunakan
sebagai komponen pembuatan flavor alami dan memiliki aroma yang khas, di
samping itu kaldunya masih mengandung protein (Cahyadi, 2009). Air rebusan
dari limbah udang dapat diolah menjadi produk yang cukup bergizi, salah
satunya ialah mengolahnya menjadi petis.
Petis merupakan produk olahan atau awetan yang termasuk dalam
kelompok saus yang menyerupai bubur kental, liat dan elastis, berwarna hitam
atau cokelat tergantung pada jenis bahan yang digunakan serta merupakan
produk pangan yang mempunyai tekstur setengah padat (Intermediate Moistured
Food). Petis yang beredar dipasar memiliki mutu beragam. Perbedaan mutu
petis dapat disebabkan oleh perbandingan mutu bahan mentah, bahan
pembantu, dan cara pengolahan yang berbeda-beda (Wahyuningtyas, 2013).
Petis umumnya terbuat dari hasil rebusan kepala ikan atau kepala udang, petis
yang terjual dipasaran secara keseluruhan hanya dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu petis yang pembuatannya berasal dari sari udang atau sari ikan
(Adawyah et al., 2011).
Dalam pembuatan petis diperlukan bahan lain yaitu bahan pengisi. Petis
yang tidak menggunakan bahan pengisi akan menimbulkan bau amis yang
menyengat dan waktu pemasakan yang cukup lama yaitu sekitar 10 jam,
sehingga dapat mempengaruhi tingkat kesukaan petis yang dihasilkan (Irma et
al., 2016). Pada umumnya, bahan pengisi menggunakan pati-patian. Tepung
tapioka berkontribusi membentuk kekentalan dalam air panas karena kandungan
pati yang tinggi (Fakhrudin, 2009). Selain itu, tepung terigu juga dapat berperan
memberikan kepadatan dan kekenyalan pada masakan, tanpa mengubah warna,
aroma maupun rasa masakan (Sjoekri, 2017).
Perbedaan mutu petis dapat disebabkan oleh perbandingan mutu bahan
baku, bahan tambahan, cara pengolahan dan bahan pengisi. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian mengenai pembuatan petis kepala udang dengan
penambahan tepung tapioka dan tepung terigu sehingga produk yang dihasilkan
memiliki nilai tambah dari segi kualitas dan menjadi produk yang memiliki mutu
ekonomis.
B. Tujuan penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:


1. Mengetahui pengaruh penambahan tepung terigu dan tepung
tapioka terhadap karakteristik fisikokimia petis udang putih
2. Mengetahui pengaruh penambahan tepung terigu dan tepung tapioka
terhadap tingkat kesukaan petis kepala udang putih

C. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan nilai tambah dari
bahan pangan yaitu kepala udang yang belum termanfaatkan secara optimal,
sehingga menjadi bahan pangan yang lebih bermutu ekonomis. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai formulasi terbaik
dalam pembuatan petis kepala udang putih dengan penambahan tepung tapioka
dan tepung terigu.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Udang putih (Litopenaeus vannamei)

Udang adalah salah satu hasil perikanan yang mengandung gizi yang
tinggi bagi tubuh. Udang putih (L. vannamei) merupakan salah satu jenis udang
yang memiliki pertumbuhan cepat dan nafsu makan tinggi, namun ukuran yang
dicapai pada saat dewasa lebih kecil di bandingkan udang windu (Penaeus
monodon) (Effendi, 2016). Menurut Haliman et al., (2006) klasifikasi udang putih
(L. vannamei) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Metazoea
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapodas
Subordo : Dendrobrachiata
Familia : Litopenaeus
Spesies : Litopanaeus vannamei

Bila dibandingkan dengan jenis udang lainnya, udang vannamei memiliki


karakteristik spesifik seperti adaptasi tinggi terhadap lingkungan suhu rendah,
perubahan salinitas, laju pertumbuhan yang relatif cepat pada bulan I dan II, juga
kelangsungan hidup yang tinggi, kandungan gizi yang cukup baik. Berdasarkan
keunggulan yang dimiliki tersebut, jenis udang vannamei termasuk udang yang
dapat berkembang secara potensial maupun prospektif (Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, 2011). Kandungan daging udang putih dapat dilihat di Tabel
2.1.

Tabel 2.1 Kandungan daging udang putih (L. vannamei)


Kandungan Satuan
Air 76,14%
Protein 17,72%
Lemak 2,45%
Kolestrol 134,05 mg/100 gram
Sumber: Sriket et al. (2007)

Secara morfologi, udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kepala yang
menyatu dengan dada (cephalothorax) dan bagian badan (abdomen) yang
terdapat ekor di belakangnya. Udang memiliki tubuh yang beruas-ruas dan
seluruh bagian tubuhnya tertutup kulit yang tebal dan keras. Bagian kepala
beratnya kurang lebih 36-49% dari total keseluruhan berat badan, daging 24-
41% dan kulit 17-23% (Purwaningsih, 2000). Habitat udang berbeda-beda
tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan dalam daur hidupnya.
Pada umumnya, bersifat bentis dan hidup pada permukaan dasar laut. Adapun
habitat yang disukai oleh udang adalah dasar laut (soft) yang biasanya campuran
lumpur berpasir (Ghufran, 2010).

B. Limbah udang

Salah satu limbah yang sering kali menimbulkan masalah lingkungan


karena mudah busuk dan sangat berbau adalah limbah udang. Limbah udang
banyak mengandung senyawa organik, terutama protein sebesar 23-27% dan
kepala udang merupakan tempat berkumpulnya enzim-enzim pemecah bahan
organik serta bakteri pembusuk (Neely et al., 1969). Limbah udang yang terdiri
dari kulit, kepala, dan ekornya adalah sebesar 35%-50% dari berat awal
(Swastawati, 2008).
Limbah udang yang menjadi masalah perlu dicarikan upaya
penanggulangannya. Pemanfaaan limbah udang menjadi produk udang yang
bernilai ekonomis tinggi merupakan contoh yang baik untuk memperoleh bahan
makanan dengan kandungan protein tinggi. Limbah kepala udang saat ini banyak
dimanfaatkan dalam bidang bioteknologi, industri pangan, farmasi,
kesehatan, dan pengolahan limbah. Pengolahan hasil samping udang yang
terdapat pada bidang perikanan yaitu pengolahan kecap (Suparno et al., 1974).
Didukung pula oleh penelitian yang dilakukan Adawyah et al., (2012) tentang
pemberian ekstrak limbah kepala udang sebagai sumber protein pelengkap
unsur gizi pada pengolahan kerupuk.
Limbah udang mengandung konstituen utama yang terdiri atas protein,
kalsium karbonat, kitin, pigmen dan abu. Kulit udang yang mengandung kitin dan
khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang
banyak yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal (Marganof, 2003).
Kepala udang memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, juga mengandung
unsur glisin yang menyebabkan rasa manis dan gurih pada udang. Kandungan
kimia limbah udang dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kandungan kimia limbah udang


Kandungan (%)
Air 78,51
Protein 12,28-34,9
Lemak 1,27-19,4
Kalsium 26,7
Kitin 18,1
Sumber: Hartanto (2015)

C. Petis

Petis adalah olahan yang biasanya terbuat dari pindang, kupang, atau
udang yang dipanasi dari cair hingga menjadi kental seperti saus yang lebih
padat. Petis merupakan produk olahan atau awetan yang termasuk dalam
kelompok saus yang menyerupai bubur kental, liat dan elastis, berwarna hitam
atau cokelat tergantung pada jenis bahan yang digunakan serta merupakan
produk pangan yang mempunyai tekstur setengah padat berwarna coklat
kehitaman dan memiliki rasa manis (Isnaeni et al., 2014). Petis juga merupakan
bahan pangan perangsang yang memberikan rasa aroma tambahan yang khas
pada makanan (Cahyarani, 2006). Kandungan gizi petis dapat dilihat pada Tabel
2.3.

Tabel 2.3. Kandungan gizi petis per 100 gram


Kandungan Satuan
Energi 220 gram
Air 39 gram
Protein 15 gram
Lemak 0,1 gram
Karbohidrat 40 gram
Kalsium 37 mgram
Gosfor 36 mgram
Besi 2,8 mgram
Sumber: Suprapti (2011)

Menurut Rahmawati (2013) ada dua jenis petis yaitu petis udang dan petis
ikan. Petis udang ini dibuat dari hasil air rebusan udang, bukan dari udang utuh.
Air rebusan yang terkumpul dimasak dalam waktu yang lama hingga mulai pekat
baru kemudian ditambahkan gula merah, garam dan beberapa bumbu lain sesuai
selera. Petis ikan terbuat dari air rabusan ikan yang dimasak hingga pekat,
biasanya air yang digunakan adalah air dari pembuatan pindang ikan, karena
kandungan garam yang tinggi pada proses pemindangan maka petis ikan
rasanya lebih asin dibandingkan dengan petis udang (Prianto, 2008). Syarat
mutu petis udang menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Syarat mutu petis udang


Kandungan Satuan
Kenampakan Coklat kehitaman, agak cemerlang
Bau Khas udang
Rasa Rasa udang dominan manis dan cukup asin
Konsistensi Homogen, sangat ketal dan lembut
Kadar Air (%) 30-50
Kadar Abu (%) Maks. 1
Kadar Garam (%) Maks. 5
Kadar Protein (%) Min. 15
Angka Lempeng Total Maks. 5,0 x 103 (koloni/g)
Sumber: BSN No 1-2718 (2013)

Rasa pada petis berasal dari dua komponen utama yaitu dari peptida dan
asam amino yang terdapat pada ekstrak ikan atau udang serta dari komponen
bumbu yang digunakan. Petis yang beredar dipasar memiliki mutu beragam
tergantung pada bahan baku yang digunakan, biasanya proses pembuatan petis
diberi tambahan bahan pengisi berupa pati-patian seperti tepung terigu, tepung
tapioka, tepung beras maupun air tajin. Penambahan bahan pengisi
dimaksudkan untuk memberi nilai tambah dari segi kuantitas dan nilai jualnya
selain itu penambahan pati juga dapat mempercepat proses pengentalan pada
petis (Isnaeni et al., 2014)

D. Karakteristik fisikokimia petis

1. Kadar protein
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting karena paling erat
hubungannya dengan proses-proses kehidupan. Nama protein berasal dari
bahasa Yunani proteus yang berarti “yang pertama” atau “yang terpenting”.
Seorang ahli kimia Belanda yang bernama Mulder, mengisolasi susunan tubuh
yang mengandung nitrogen dan menamakannya protein, terdiri dari satuan
dasarnya yaitu asam amino (biasa disebut juga unit pembangun protein)
(Suhardjo, 1992).
Proses pencernaan protein akan dipecah menjadi satuan dasar kimia.
Protein terbentuk dari unsur-unsur organik yang hampir sama dengan
karbohidrat dan lemak yaitu terdiri dari unsur karbon (C), hidrogen (H), dan
oksigen (O), akan tetapi ditambah dengan unsur lain yaitu nitrogen (N). Molekul
protein mengandung pula fosfor, belerang, dan ada jenis protein yang
mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga. Molekul protein tersusun
dari satuan-satuan dasar kimia yaitu asam amino, dalam molekul protein, asam-
asam amino ini saling berhubungan dengan suatu ikatan yang disebut ikatan
peptida (CONH). Satu 4 molekul protein dapat terdiri dari 12 sampai 18 macam
asam amino dan dapat mencapai jumlah ratusan asam amino (Budianto, 2009).
Protein juga merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Protein
berperan penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber
energi, namun demikian apabila organisme kekurangan energi, maka protein
dapat dijadikan sebagai sumber energi. Kandungan energi protein rata-rata 4
kkal/gram atau setara dengan kandungan energi karbohidrat (Sudarmadji, 1989).
Fungsi protein adalah sebagai penyusun biomolekul sperti nukleoprotein
(terkandung dalam inti sel, tepatnya kromosom), enzim, hormon, antibodi dan
kontraksi otot. Pembentuk sel-sel baru, pengganti sel-sel pada jaringan yang
rusak serta sebagai sumber energi (Sumantri, 2013).

2. Kadar abu
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral
yang terdapat pada suatu bahan pangan (Astuti, 2012). Abu adalah zat
anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan
komposisinya tergantung pada macam bahan. Kadar abu berhubungan dengan
mineral. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat berupa dua macam
garam yaitu garam organik dan anorganik. Garam organik misalnya garam-
garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat. Sedangkan garam anorganik antara
lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, khlorida, sulfat dan nitrat
(Sudarmadji,1984).
Penentuan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan
komponen yang tidak mudah menguap (komponen anorganik atau garam
mineral) yang tetap tinggal pada pembakaran dan pemijaran senyawa organik
(Nurilmala, 2006). Semakin rendah kadar abu suatu bahan, maka semakin tinggi
kemurniannya. Tinggi rendahnya kadar abu suatu bahan antara lain disebabkan
oleh kandungan mineral yang berbeda pada sumber bahan baku dan juga dapat
dipengaruhi oleh proses demineralisasi pada saat pembuatan (Sudarmaji, 1989).
Menurut Irawati (2008) penentuan kadar abu dapat digunakan untuk berbagai
tujuan yaitu sebagai berikut:
1) Menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan
2) Mengetahui jenis bahan yang digunakan
3) Menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintesis
4) Sebagai parameter nilai bahan pada makanan

3. Kadar air
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat
dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering
(dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar
100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100
persen (Syarif et al., 2012). Kadar air memegang peranan penting, kecuali
temperatur, maka aktivitas air mempunyai tempat tersendiri dalam proses
pembusukan dan ketengikan. Kerusakan bahan makanan pada umumnya
merupakan proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik atau kombinasi antara
ketiganya yang di mana memerlukan air bebas dalam proses tersebut
(Tabrani,1997).
Kadar air suatu bahan biasanya dinyatakan dalam persentase berat bahan
basah, misalnya dalam gram air untuk setiap 100 gr bahan disebut kadar air
berat basah. Berat bahan kering adalah berat bahan setelah mengalami
pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap (konstan). Pada
proses pengeringan air yang terkandung dalam bahan tidak dapat seluruhnya
diuapkan (Andarwulan et al., 2011).
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat
penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan,
tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut
menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang
tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang
biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997).
Air ada yang berbentuk bebas, ada pula yang terikat baik di dalam matriks
bahan maupun di dalam jaringannya. Air yang berbentuk bebas sangat mudah
menguap karena biasanya terdapat pada permukaan bahan pangan. Kadar air
perlu diukur agar dapat menentukan umur simpan suatu bahan pangan, dengan
demikian, produsen dapat langsung mengetahui umur simpan produk tanpa
harus menunggu sampai produk tetsebut busuk. Beberapa cara untuk
menetapkan kadar air suatu bahan makanan misalnya dengan metode
pemanasan langsung dan dengan metode destilasi (Azeotroph). Metode destilasi
menggunakan pelarut yang tidak bercampur dalam air dan mempunyai titik didih
sedikit diatas titik didih air, sehingga ketika dilakukan destilasi, air akan terkumpul
dan jatuh dalam tabung Aufhauser. Hal ini dapat terjadi karena berat jenis air
lebih besar dari pada berat jenis pelarut. Ketika semua air telah terdestilasi,
volume air dapat dibaca pada skala tabung Aufhauser. Penetapan kadar air
bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung dari sifat
bahannya. Pada umumnya, penentuan kadar air dilakukan dengan
mengeringkan sejumlah sampel dalam oven pada suhu 105-110° C selama 3
jam atau hingga didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah
pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan.

4. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan senyawa yang terbentuk dari molekul karbon,
hidrogen dan oksigen. Karbohidrat adalah salah satu jenis zat gizi yang fungsi
utamanya sebagai penghasil energi di dalam tubuh. Tiap 1 gram karbohidrat
yang dikonsumsi akan menghasilkan energi sebesar 4 kkal dan energi hasil
proses oksidasi (pembakaran) karbohidrat ini kemudian akan digunakan oleh
tubuh untuk menjalankan berbagai fungsi-fungsinya seperti bernafas, kontraksi
jantung dan otot serta juga untuk menjalankan berbagai aktivitas fisik seperti
berolahraga atau bekerja (Irawan, 2007).

5. Viskositas
Viskositas fluida (zat cair) adalah gesekan yang ditimbulkan oleh fluida
yang bergerak, atau benda padat yang bergerak didalam fluida. Besarnya
gesekan ini biasanya juga disebut sebagai derajat kekentalan zat cair. Semakin
besar viskositas zat cair, maka semakin susah benda padat bergerak di dalam
zat cair tersebut. Viskositas dalam zat cair, yang berperan adalah gaya tarik
menarik molekul antar partikelnya (Martoharsono, 2006).
Viskositas menentukan kemudahan suatu molekul bergerak karena adanya
gesekan antar lapisan material. Semakin besar viskositas, maka aliran akan
semakin lambat. Besarnya viskositas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
temperatur, gaya tarik antar molekul dan ukuran serta jumlah molekul terlarut.
Viskositas dapat dinyatakan sebagai tahanan aliran fluida yang merupakan
gesekan antar molekul- molekul cairan satu dengan yang lain. Suatu jenis cairan
yang mudah mengalir, dapat dikatakan memiliki viskositas yang rendah, dan
sebaliknya bahan-bahan yang sulit mengalir dikatakan memiliki viskositas yang
tinggi (Sarojo, 2009).

6. Warna
Warna merupakan atribut fisik yang dinilai terlebih dahulu dalam penentuan
mutu makanan dan terkadang bisa dijadikan ukuran untuk menentukan cita rasa,
tekstur, nilai gizi dan sifat mikrobiologis (Nurhadi et al., 2010). Warna
mempengaruhi penerimaan suatu bahan pangan, karena umumnya penerimaan
bahan yang pertama kali dilihat adalah warna. Warna yang menarik akan
meningkatkan penerimaan produk. Warna dapat mengalami perubahan saat
pemasakan. Hal ini dapat disebabkan oleh hilangnya sebagian pigmen akibat
pelepasan cairan sel pada saat pemasakan atau pengolahan, maka intensitas
warna semakin menurun (Elviera, 1988).

7. Tekstur
Tekstur adalah salah satu sifat bahan atau produk yang dapat dilihat dan
dirasakan melalui sentuhan kulit (Szczesniak, 2007). Beberapa sifat tekstur
dapat juga diperkirakan dengan menggunakan mata seperti kehalusan atau
kekerasan dari permukaan bahan atau kekentalan cairan. Tekstur makanan
dapat ditentukan melalui tes mekanik atau dengan analisis penginderaan
(organoleptik) yang menggunakan manusia sebagai tester terhadap produk
pangan yang akan diuji. Selain itu, dapat juga digunakan metode TPA (Tekstur
Profile Analyzer) berbasis tekanan pada sampel menggunakan alat texture
analyzer. Tekstur bersifat kompleks dan terkait dengan struktur bahan yang
terdiri dari tiga elemen yaitu mekanik (kekerasan, kekenyalan), geometrik
(berpasir, beremah) dan mouthfeel (berminyak, berair) (Setyaningsih et al.,
2010). Macam-macam penginderaan tekstur tersebut antara lain meliputi
kebasahan, kering, keras, halus, kasar dan berminyak (Soekarto, 2002).

8. Kenampakan
Salah satu pengujian sensori terhadap produk makanan adalah
pengamatan dengan indera penglihat. Suatu produk harus baik dalam
penampilan karena akan sangat mempengaruhi penilaian konsumen. Penilaian
konsumen terhadap suatu produk biasanya berdasarkan adat, budaya, dan
estetika. Indera penglihat manusia mampu melihat dan membedakan
karakteristik seperti warna, bentuk, ukuran, kejernihan, kekentalan (untuk bahan
yang cair) dan noda (Hayati et al., 2012). Kenampakan suatu produk dapat
menentukan kualitas dan tingkat kematangan. Cacat genetis-fisiologis yang
mempengaruhi bentuk dan warna akan langsung dapat dilihat oleh indera
penglihat sehingga dapat menurunkan nilai jual. Selain itu, kenampakan juga
dapat melihat tekstur yang halus dan kasar akibat adanya pantulan cahaya
(Meilgard et al., 2006).

E. Tepung terigu
Tepung terigu merupakan tepung yang diperoleh dari biji gandum (Triticum
vulgare) yang telah melalui proses penggilingan (Matz, 1972). Kelebihan tepung
terigu dibanding dengan pati lainnya adalah kemampuannya dalam membentuk
gluten di suatu adonan sehingga menjadi elastis atau tidak mudah hancur pada
proses pencetakan dan pemasakan.
Mutu terigu yang paling baik adalah terigu yang mempunyai kandungan air
14%; kadar protein 8-12%; kadar abu 0,25-1,60%; dan gluten basah 24-36%.
Protein yang ada di dalam tepung terigu yang tidak larut dalam air akan
menyerap air dan ketika diaduk atau diulen akan membentuk gluten yang akan
menahan gas CO2 hasil reaksi ragi dengan pati di dalam tepung.

Tabel 2.1 Komposisi kimia tepung terigu (per 100 gram bahan)
Kandungan Jumlah
Kalori (kal) 365
Protein (g) 8,9
Lemak (g) 1,3
Karbohidrat (g) 77,3
Air (g) 12,0
P (mg) 106
Kalsium (mg) 16
Fe (mg) 1,2
Bdd 100
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I (1996)

Tepung terigu terpilih dalam pembuatan petis karena memiliki kandungan


protein yang tinggi dan kadar gluten yang mengandung asam glutamat (Kent,
1983). Salah satu sifat penting yang dimiliki gluten ialah apabila dibasahi dan
diberi perlakuan-perlakuan mekanis maka akan menghasilkan suatu adonan
yang elastis. Hal ini terjadi karena adanya pembentukan ikatan antar molekul
protein (Respati, 2010).
Tabel 2.1 Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan pangan
Jenis Uji Satuan Persyaratan
Keadaan - -
a. Bentuk - Serbuk
b. Bau - Normal (bebas dari bau asing)
c. Warna - Putih khas terigu
Benda asing - Tidak boleh ada
Serangga dan semua
bentuk stadia dan
- Tidak boleh ada
potongan-potongan yang
tampak
Kehalusan lolos ayakan 212
% Min. 95
(mesh No. 700 (b/b))
Kadar air % Maks. 14,5
Kadar Abu % Maks. 0,70
Protein % Min. 7,0
Keasaman Mg. KOH/100g Maks. 50
Falling number (atas dasar
Detik Min. 300
kadar air 14%)
Besi (Fe) Mg/Kg Min. 50
Zeng (Zn) Mg/Kg Min. 30
Vitamin B1 (Thiamin) Mg/Kg Min. 2,5
Vitamin B2 (Riboflavin) Mg/Kg Min. 4
Asam folat Mg/Kg Min. 2
Cemaran logam - -
a. Timbal (Pb) Mg/Kg Maks. 1,0
b. Raksa (Hg) Mg/Kg Maks. 0,05
c. Cadmium (Cd) Mg/Kg Maks. 0,1
Cemaran arsen Mg/Kg Maks. 0,50
Cemaran mikroba - -
a. Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1 x 106
b. Escherichia coli APM/g Maks. 10
c. Kapang Koloni/g Maks. 1 x 104
d. Basillus cereus Koloni/g Maks. 1 x 104
Sumber : BSN No 01-3751 (2009)

Kandungan gluten yang terdapat pada terigu tergantung dengan berapa


banyak jumlah protein dalam tepung itu sendiri, makin tinggi proteinnya maka
makin banyak jumlah gluten yang didapat dan begitu juga sebaliknya. Syarat
mutu tepung terigu sebagai bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 2.

F. Tepung tapioka
Tepung tapioka adalah suatu jenis bahan pangan yang terbuat dari ubi
kayu. Bahan pangan tersebut merupakan pati yang diekstrak dengan air dari
umbi singkong yang telah melalui proses penyaringan, cairan hasil saringan
kemudian diendapkan. Bagian yang mengendap tersebut selanjutnya dikeringkan
dan digiling hingga diperoleh butiran-butiran pati halus berwarna putih yang
disebut tapioka (Luthana, 2004). Tepung tapioka menjadi salah satu bahan
penunjang dalam pembuatan petis kepala udang. Kandungan tepung tapioka per
100g ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 2.1 Syarat mutu tepung tapioka sebagai bahan pangan


Jenis Uji Satuan Persyaratan
-
Keadaan -
Serbuk
a. Bentuk -
Normal (bebas dari bau
b. Bau -
asing)
c. Warna -
Putih khas tapioka
Kadar air % Maks. 14,0
Kadar Abu % Maks. 0,50
Serat % Maks. 0,40
Kadar pati % Min. 75
Derajat putih (MgO=100) - Min. 91
Derajat asam mL. NaOH 1 N/100g Maks. 4
Cemaran logam - -
a. Kadmium (Cd) Mg/Kg Maks. 0,2
b. Timbal (Pb) Mg/Kg Maks. 0,25
c. Timah (Sn) Mg/Kg Maks. 40,0
d. Merkuri (Hg) Mg/Kg Maks. 0,05
Cemaran arsen Mg/Kg Maks. 0,5
Cemaran mikroba - -
a. Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1 x 106
b. Escherichia coli APM/g Maks. 10
c. Kapang Koloni/g Maks. 1 x 104
d. Basillus cereus Koloni/g < 1 x 104
Sumber : BSN No 01-3451 (2011)

Tepung tapioka juga dapat berperan sebagai bahan pengikat sekaligus


bahan pengisi dalam pembuatan petis. Bahan pengikat merupakan bahan yang
mempunyai kemampuan mengikat air dan mengemulsi lemak, sedangkan bahan
pengisi mempunyai kemampuan mengikat air dengan jumlah yang besar namun
emulsifikasinya rendah. Dalam pembuatan petis tepung-tepungan yang
mempunyai kandungan pati yang tinggi, namun kandungan protein rendah paling
sering digunakan (Aberle et all., 2001).
BAB III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober hingga Desember 2022.


Pembuatan petis kepala udang dan pengujian kadar protein, kadar abu, kadar
air, karbohidrat, viskositas dan uji hedonik (kenampakan, warna, aroma dan rasa)
di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Mulawarman.

B. Bahan dan alat

1. Bahan
Bahan yang digunakan untuk pembuatan petis yaitu kepala udang putih
yang diperoleh dari rumah makan Torani Juanda, Samarinda dan bahan
tambahan yang digunakan antara lain tepung tapioka, tepung terigu, gula pasir,
garam, lada, bawang putih, margarin, jahe, dan gula aren. Bahan yang
digunakan untuk pengujian yaitu asam sulfat (H2SO4), natrium hidroksida
(NaOH), asam klorida (HCI 0,002 N), dan Aquades.

2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi toples kaca, batang
pengaduk, sendok, baskom plastik, pengaduk, thermometer, panci, kompor,
oven (Memmert UN 55 53L), desikator, timbangan analitik (Ohaus), cawan
porselen, beaker glass, neraca analitik (merk adventurer AR2140, USA),
alumunium foil, baskom, pinset, pisau, nampan, tisu, wadah, sampel uji hedonik,
kertas label, lembar penilaian uji hedonik, alat tulis dan kamera untuk
dokumentasi.

C. Prosedur penelitian

1. Preparasi bahan baku


Limbah kepala udang diperoleh dari limbah Rumah Makan Torani, Jalan
Juanda 3, Samarinda, kemudian dilakukan tahap pencucian dan penyangraian
sebelum dilakukan tahap perebusan.

2. Perebusan kepala udang


Kepala udang yang telah dicuci kemudian disangrai menggunakan sedikit
jahe dengan tujuan menghilangkan bau amis. Kepala udang ditimbang sebanyak
750gram, kemudian ditambahkan air 3000mL (1:4) dan direbus dengan suhu
100o C ± 20 menit (sampai mendidih dan mengeluarkan bau khas udang),
setelah itu kepala udang ditiriskan dan diblender hingga lembut. Kepala udang
yang telah menjadi bubur kemudian disaring sampai benar-benar tersisa
filtratnya saja.
Gambar. Limbah uang yang telah direbus

3. Pembuatan petis
Proses pembuatan petis mengacu pada prosedur yang digunakan oleh
Maulidya et all., (2021) termodifikasi. Air perebusan yang telah disaring (700mL)
kemudian dimasak dengan suhu 60oC hingga mendidih, lalu ditambahkan gula
pasir 35gram, gula merah 35gram, garam 14gram, merica 7gram, dan bawang
putih 7gram. Kemudian dibagi menjadi 5 perlakuan (140mL) dan ditambahkan
bahan pengisi untuk masing-masing perlakuan, bahan pengisi yang digunakan
adalah tepung terigu 21gram:tepung tapioka 7gram (15%:5%), tepung terigu
14gram:tepung tapioka 14gram (10%:10%), tepung terigu 7gram:tepung tapioka
21gram (5%:15%), tepung tapioka 28gram (20%) dan tepung terigu 28gram
(20%), setelah itu dilanjutkan dengan pemasakan ± 10 menit hingga kental.

Tabel 2.4. Syarat mutu petis udang


Jumlah
Bahan
Q01 Q02 Q03 Q04 Q05
Air rebusan kepala udang 140mL 140mL 140mL 140mL 140mL
Gula pasir 7gram 7gram 7gram 7gram 7gram
Gula merah 7gram 7gram 7gram 7gram 7gram
Garam 2,8gram 2,8gram 2,8gram 2,8gram 2,8gram
Merica 1,4gram 1,4gram 1,4gram 1,4gram 1,4gram
Bawang putih 1,4gram 1,4gram 1,4gram 1,4gram 1,4gram
Tepung terigu 21gram 14gram 7gram - 28gram
Tepung tapioka 7gram 14gram 21gram 28gram -
Mengacu pada Maulidya, et all., (2021)
Perhitungan terhadap konsentrasi air rebusan kepala udang setelah dibagi
menjaadi 5 perlakuan

Keterangan:
Q01 = 15% tepung terigu : 5% tepung tapioca
Q02 = 10% tepung terigu : 10% tepung tapioka
Q03 = 5% tepung terigu : 15% tepung tapioka
Q04 = 20% tepung tapioka
Q05 = 20% tepung terigu

D. Prosedur analisis

Parameter yang diamati pada petis kepala udang meliputi kadar air, kadar
abu, kadar lemak, kadar protein, karbohidrat, viskositas dan uji hedonik.

1. Uji kadar air (BSN, 2006)


Definisi kadar air adalah jumlah molekul air tidak terikat (free water) yang
terkandung dalam suatu produk. Analisis kadar air menggunakan metode
pengeringan oven. Kondisikan oven pada suhu yang akan digunakan hingga
mencapai kondisi stabil, kemudian masukkan cawan kosong ke dalam oven
minimal 2 jam. Pindahkan cawan kosong ke dalam desikator sekitar 30 menit
sampai mencapai suhu ruang dan timbang bobot kosong (Ag). Timbang contoh
yang telah dihaluskan sebanyak ± 2g ke dalam cawan (Bg) lalu masukkan
cawan yang telah diisi dengan contoh ke dalam oven vakum pada suhu 95 oC-
100oC, dengan tekanan udara tidak lebih dari 100 mmHg selama 5 jam atau
masukkan kedalam oven tidak vakum pada suhu 105oC selama 16 jam,
selanjutnya pindahkan cawan dengan alat penjepit ke dalam desikator selama ±
30 menit kemudian ditimbang (Cg). Lakukan pengujian minimal duplo (dua kali).
Perhitungan kadar air ditentukan menggunakan rumus:

B−C
Kadar air (%) = x 100%
B− A

Keterangan :
A = berat cawan kosong dinyatakan dalam gram
B = berat cawan + contoh awal, dinyatakan dalam gram
C = berat cawan + contoh kering, dinyatakan dalam gram

2. Uji kadar abu (BSN, 2006)


Definisi kadar abu adalah jumlah residu anorganik yang dihasilkan dari
pengabuan/pemijaran suatu produk. Analisis kadar abu dilakukan menggunakan
metode tungku pengabuan, yaitu masukkan cawan abu porselin kosong kedalam
tungku pengabuan, dipanaskan pada suhu 550oC selama 1 malam, selanjutnya
cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan
ditimbang (A). Sampel sebanyak 2g dimasukkan ke dalam cawan porselin,
dihomogenkan dengan oven pada suhu 100oC selama 24 jam, kemudian
pindahkan ke tungku pengabuan pada suhu 550oC ± 5oC selama 8 jam hingga
memperoleh abu berwarna putih, cawan didingikan di dalam desikator selama 30
menit dan ditimbang (B). Pengujian dilakukan minimal duplo (dua kali), kemudian
dilakukan perhitungan kadar abu ditentukan dengan rumus:

B−A
Kadar air (%) = x 100%
berat contoh( g)

Keterangan :
A = berat cawan porselin, dinyatakan dalam g
B = berat cawan dengan abu, dinyatakan dalam g

3. Uji kadar lemak (AOAC, 2005)


Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC
selama 30 menit, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang untuk
mendapatkan
berat konstan dari labu lemak. Sampel ditimbang sebanyak 2g dalam cawan petri
berisi kapas yang beralas kertas saring. Kemudian, sampel dioven pada suhu
600C selama 24 jam karena sampel lembap. Setelah sampel dioven, sampel
digulung membentuk thimble, lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet
dengan pelarut hexane sebanyak 150ml. Labu lemak diletakkan di bagian bawah
alat ekstraksi untuk menampung lemak dari hasil ekstraksi. Tahapan selanjutnya
yaitu sampel diekstraksi pada suhu 1800C selama 2 jam dengan pelarut hexane.
Labu lemak yang berisi lemak yang terekstrak dikeringkan dalam oven pada
suhu 105oC selama 1 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Persentase kadar lemak dihitung dengan rumus berikut:
berat lemak terekstrak (g)
Kadar air (%) = x 100%
berat sampel (g)

4. Uji kadar protein (BSN, 2006)


Penetapan nilai protein dilakukan menggunakan analisis kjeldahl,
didasarkan pada penentuan kadar nitrogen yang terdapat dalam bahan pangan
yang selanjutnya dikonversi menjadi kadar protein kasar dalam bahan.
Penentuan nitrogen dalam analisis ini melalui tiga tahapan analisis kimia yaitu
destruksi, destilasi dan titrasi.
Prosedur analisis kadar protein yaitu bahan ditimbang sebanyak 1-2 gram
bahan tersebut dimasukan ke dalam labu kjeldahl, kemudian ditambahkan 10 ml
H2SO4 dan katalisator. Sampel kemudian didestruksi selama ± 1,5 jam sampai
larutan berwarna jernih kehijauan. Sampel cair yang telah dingin dituang ke
dalam alat destilasi dan ditambahkan NaOH. Destilasi yang ditangkap oleh
H3BO3 kemudian dititrasi menggunakan HCL. Volume titrasi yang menghasilkan
perubahan warna dari warna hijau ke ungu-unguan kemudian dianalisis. Kadar
protein dihiung berdasarkan persamaan berikut:

¿
N (%) = ml HCL−ml blanko ¿ x normalitas x 14,007
berat sampel (mg) x 100%

5. Uji kadar karbohidrat by difference (Asrawty, 2018)


Kadar karbohidrat ditentukan dengan cara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar
protein. Perhitungan kadar karbohidrat ditentukan dengan rumus:

Kadar karbohidrat (%) = 100% - kadar (protein + lemak + abu + air)

6. Viskositas
Viskositas adalah suatu kekentalan yang terdapat pada larutan. Viskositas
juga bisa disebut daya aliran molekul suatu larutan. Ketika mengentalkan cairan
sistem koloid dalam larutan bisa meningkat sehingga terjadinya absorbsi dan
pengembangan koloid (Hermanto, 2014). Alat yang digunakan untuk uji
viskositas adalah Rheosys viscometer. Sampel diletakan di atas platei untuk
selanjutnya diuji viskositas sediaan gel. Data viskositas dibaca pada rpm 200
dengan interval time 10 detik.

7. Uji hedonik
Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan sebuah pengujian dalam analisa
sensori yang digunakan untuk mengetahui besarnya perbedaan kualitas di
antara beberapa produk sejenis dengan memberikan penilaian atau skor
terhadap sifat tertentu dari suatu produk dan untuk mengetahui tingkat kesukaan
dari suatu produk. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik misalnya sangat
suka, suka, agak suka, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka, dan lain-
lain (Stone dan Joel, 2004).
Pengujian dilakukan menggunakan uji hedonik (tingkat kesukaan).
Pengujian hedonik pada penelitian ini menggunakan 30 panelis semi terlatih
dengan skala kesukaan yaitu 9 (amat sangat suka), 8 (sangat suka), 7 (suka), 6
(agak suka), 5 (netral), 4 (agak tidak suka), 3 (tidak suka), 2 (sangat tidak suka)
dan 1 (amat sangat tidak suka) dengan score sheet pada Lampiran 1. Parameter
uji hedonik meliputi rasa, aroma, tekstur, warna dan keseluruhan.

E. Rancangan penelitian dan analisis data


Rancangan percobaan yang digunakan penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan 15% tepung terigu : 5% tepung tapioka,
10% tepung terigu : 10% tepung tapioka, 5% tepung terigu : 15% tepung tapioka,
20% tepung tapioka, dan 20% tepung terigu. Setiap perlakuan di ulang sebanyak
2 kali. Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi kadar air, kadar abu,
kadar lemak, kadar protein, karbohidrat, viskositas dan uji hedonik.
Data yang diperoleh dari parameter uji dianalisis keragamannya
menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) untuk mengetahui adanya
pengaruh perlakuan yang diberikan. Jika terdapat pengaruh perlakuan, maka
dilanjutkan dengan uji lanjut dengan metode DMRT (Duncan's Multiple Range
Test) pada taraf kepercayaan 95% (p=0,05). Untuk analisis tersebut
menggunakan program SPSS 22.0.

Anda mungkin juga menyukai