Dosen Pengampu:
Kelompok 1
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subbahannallahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya
tentu kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yaitu Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam.
Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing Afif Amir
Amrullah S.KP, M.KKK, yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan
yang bermanfaat dalam proses penyusunan makalah ini. Rasa terima kasih juga hendak
kami ucapkan kepada teman-teman mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya
baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini bisa selesai pada
tepat waktu.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan dan dapat
memberi banyak manfaat serta inspirasi para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami
memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca demi terciptanya makalah yang lebih baik
lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
2
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................2
DAFTAR ISI ...................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................4
B. Tujuan Penulisan ....................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Teori Moral..............................................................5
B. Prinsip Moral Etika Kesehatan..........................................7
BAB III PENUTUP
A. Simpulan.................................................................................9
B. Saran ....................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................11
3
BAB I
PENDAHULUAN
Etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter,
watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep
yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan
yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin (1993),
etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or
reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam
batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok
sosialnya.
Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia,
etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik
sengaja dibuat berdasarkan prinsipprinsip moral yang ada dan pada saat yang
dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam
tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari
kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self
control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepenringan
kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut asal-usulnya, moral berasal dari Bahasa Latin yang berarti ‘aturan
kesusilaan’ serta istilah yang sering digunakan dalam menentukan batas untuk sebuat
sifat, peran, kehendak, pendapat dan perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik
ataupun buruk. Moral merupakan pengetahuan dan ajaran yang menyangkut budi
pekerti manusia yang beradab baik kelakuan maupun perbuatan. Moral memiliki
perbedaan dengan etika, dimana moral mengukur tingkah laku manusia berdasarkan
tolak ukur adat istiaadat, kebiasaan, budaya, dll yang berlaku di masyarakat.
1. Tingkat Pra-Konvensional
Umumnya, tingkatan pra-konvesional dari penalaran moral ada pada anak-anak.
Tingkat ini terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral serta murni
melihat diri dalam bentuk egosentris
a. Tahap I: orientasi hukuman dan kepatuhan. Pada tahap pertama ini,
individu dalam melakukan suatu tindakan akan memfokuskan diri atas
konsekuensi dari tindakan tersebut, serta kepatuhan dari seseorang yang
dituakan atau terhadap hukum. Misalnya, suatu tindakan dianggap secara
moral apabila orang yang melakukannya dihukum.
b. Tahap II: orientasi relativis-instrumental. Tahap ini membuat individu
menilai sesuatu berdasarkan kemanfaatan, kesenangan atau sesuatu yang
paling diminatinya. Penalaran pada tahap du aini kurang menunjukkan
perhatian terhadap kebutuhan orang lain, namun berpengaruh terhadap
kebutuhan diri sendiri dan individu sudah mampu memperhatikan
harapan dan kepentingan orang lain.
2. Tingkat Konvesional
5
Tingkat konvesional pada umumnya terjadi di fase remaja atau dewasa. Individu
di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya
dengan pandangan serta harapan masyarakat.
c. Tahap III: penyesuaian dengan kelompok atau orientasi memasuki
masyarakat dan memiliki peran sosial. Pada tahap ini terjadi proses
perkembangan kea rah moralitas kelompok dimana individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan orang-orang lain sebab hal
tersebut dapat merefleksikan penilaian masyarakat terhadap peran yang
dimiliknya juga. Individu pada tahap ini mencoba menjadi ‘anak baik’
untuk memenuhi harapan masyarakat.
d. Tahap IV: orientasi dan hukum ketertiban. Pada fase ini, seseorang sudah
mulai berorientasi mematuhi hukum dan peraturan yang berguna untuk
memelihara kondisi yang tertib dan nyaman dalam masyarakat.
Penalaran molar tahap empat ini lebih dari sekadar kebutuhan akan
penerimaan individual saja seperti di tahap tiga. Pada tahap ini individu
mulai memiliki orientasi atas kebutuhan masyarakat yang melebihi
kebutuhan pribadi. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin
orang lain juga akan melakukannya – sehingga ada kewajiban dan tugas
untuk mematuhi aturan dan hukum yang berlaku demi menciptakan
ketertiban.
3. Tingkat Pasca Konvesional
Tingkat paska konvensional juga dikenal sebagai tingkatan berprinisip dari
perkembangan moral. Pada tahap ini fakta bahwa individu-individu adalah
entitas yang terpisah dari masyarakat mulai terlihat jelas.
e. Tahap V: orientasi kontrak-sosial legalistik. Tahap ini adalah kondisi
dimana terjadi penekana terhadap hak dan kewajiban sehingga proses
demokratisasi dapat terjadi. Individu-individu dipandang sebagai jiwa
yang memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang beragam dan
berbeda serta penting untuk dihormati dan dihargai tanpa memihak.
f. Tahap VI: orientasi prinsip etika universal. Pada fase ini penalaran moral
berdasarkan pada penalaran abstrak dengan prinsip universal, dimana
orang melakukan tindakan mencoba dalam menyesuaikan nurani dan
6
prinsip moral universal. Adapun syarat atas prinsip moral universal
menurut Kohlberg sendiri yaitu: konsisten, komprehensif (meluas) dan
universal. Serta prinsipnya yaitu keadilan, prinsip perlakuan timbal balik,
kesamaan serta penghormatan terhadap martabat manusia. Hal ini bisa
dilakukan dengan membayangkan tindakan seseorang apabila berada
pada situasi dan kondisi orang lain dan memikirkan apa yang akan
dilakukan bila terjadi hal yang sama.
7
merahasiakan segala sesatu yang telah dipercayakan pasien kepadanya. Yaitu
berupa informasi mengenai penyakit dan tindakan yang akan dilakukan. Kecuali,
jika pasien mengizinkan atau atas perintah undang-undang untuk kepentingan
pembuktian dalam persidangan.
4. Justice (keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk perlakuan yang sama dan adil
terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal, dan
kemanusiaan. Nilai ini direflesikan dalam praktek professional ketika tenaga
kesehatan bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
Prinsip keadilan berarti bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang
sama dalam upaya pelayanan kesehatan tanpa mempertimbangkan suku, agama,
ras, golongan, dan kedudukan sosial ekonomi. Idealnya terdapat perbedaan yang
mungkin adalah dalam fasilitas, tetapi bukan dalam hal pengobatan atau
perawatan.
5. Prinsip fidelity
Dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap
orang lain. Tenaga kesehatan setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia pasien. Ketaatan dan kesetiaan adalah kewajiban seseorang
untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya.
Kesetiaan menggambarkan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap kode
etik yang menyatakan tanggung jawab dasar dari tenaga kesehatan adalah untuk
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan
meminimalkan penderitaan.
8
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
III.2 Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
PPT Mata Kuliah Etika dan Hukum Kesehatan. Konsep Etika Profesi [PPT]. Jakarta:
UPNVJ.
https://drive.google.com/drive/folders/15IR-yBCYzV9dQK599o23sIkpV4Ahvgt
Sang, GP. (2016). Prinsip-Prinsip Etika Kesehatan. Diakses pada 03 Oktober 2020.
simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/7a38589cfe5546bea0ca7aacc964
42f4.pdf
10