Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MODEL ETIKA DALAM PERENCANAAN

OLEH :
KELOMPOK 1
AMALIA YANTI D0320314
NOVITASARI D0320001
M. ANSAR AS. D0320302
ALFAYED ILYAS D0322333
JAMAL -

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah Etika Perencanaan yang berjudul “Modal
etika dalam perencanaan”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Etika Perencanaan.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Maka
kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Majene, 05 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................i


KATA PENGANTA ...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH........................................................................................1
1.3 TUJUAN PENULISAN MAKALAH.....................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................2
2.1 MORAL DEVELOPMENT....................................................................................2
2.2 SUBSTANTIVE PHILOSOPHICAL......................................................................3
2.3 SUBSTANTIVE PROFESSIONAL........................................................................4
2.4 PROSES DRIVEN .................................................................................................4
2.5 INTEGRATIF..........................................................................................................5
BAB III PENUTUP ............................................................................................................7
3.1 KESIMPULAN ......................................................................................................7
3.2 SARAN ...................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................8

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Perencanaan merupakan proses yang menerus dan dilakukan secara sadar dan
terorganisir yang menyangkut pengambilan keputusan di masa depan dari
serangkaian alternatir terbaik dan cara untuk mencapainya. Perencanaan
merupakan domain publik, sehingga perencanaan harus merupakan hasil
kesepakatan publik (tindakan kolektif). Kemajemukan tata nilai, pengetahuan dan
norma dalam ranah publik (public domaind) mengakibatkan model, pendekatan
dan cara pandang yang berbeda dalam penyusunan kesepakatan publik
memerlukan tata nilai yang logis, terukur dan dapat diterapkan dalam dimensi
waktu dan ruang tertentu diperlukan etika.
Etika ialah ilmu tentang baik dan buruknya perilaku, hak dan kewajiban moral,
sekumpulan asa atau nila-nilai yang berkaitan dengan akhlak; nilai mengenai
benar atau salahnya perbuatan atau perilaku yang dianut masyarakat (KBBI).
Dalam kehidupan masyarakat, setiap anggota masyarakat harus patuh dan taat
pada norma-norma dan aturan yang berlaku didalam masyarakat tersebut. Sebagai
masyarakat maka harus saling menghormati, dan saling menghargai hak-hak asasi
manusia, menghargai hak milik orang lain dan selalu menjaga hak dan kewajiban
kita sebagai masyarakat.
Etika diperlukan saat keraguan atau kerancuan di antara beberapa nilai yang ada
pada individu atau saat terjadi pertentangan antar nilai individu. Etika sangat
mempengaruhi proses dan hasil perencanaan. Ertika bukan merupakan jerat untuk
membangun sikap kritis, responsif, dan reflektif yang selalu muncul dalam
perencanaan, namun merupakan tanggung jawab professional.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah apa saja model – model etika dalam
perencanaan ?

1.3 TUJUAN PENULISAN MAKALAH

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui model – model dalam etika
perencanaan.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 MORAL DEVELOPMENT

Perkembangan moral adalah proses dimana orang mengembangkan perbedaan


antara benar dan salah (moralitas) dan terlibat dalam penalaran antara keduanya
(penalaran moral). Menurut Kohlberg Teori perkembangan moral adalah teori
yang berfokus pada bagaimana mengembangkan moralitas dan penalaran moral.
Teori Kohlberg menunjukkan bahwa perkembangan moral terjadi dalam rangkaian
tahapan dan logika moral terutama kelembutan pada pencarian dan pemeliharaan
keadilan.
A. Moralitas Prakonvensional
Moralitas prakonvensional adalah periode paling awal dari perkembangan
moral. Itu berlangsung sampai sekitar usia 9 tahun. Pada tahap ini, keputusan
anak-anak terutama dibentuk oleh ekspektasi orang dewasa dan konsekuensi
dari pelanggaran aturan. Ada dua tahap dalam level ini :
1. Ketaatan dan Hukuman
Tahap awal perkembangan moral, kepatuhan dan hukuman sangat umum
terjadi pada anak kecil, tetapi orang dewasa juga mampu mengungkapkan
jenis hukuman ini. Menurut Kohlberg, orang pada tahap ini melihat aturan
sebagai tetap dan mutlak. Mematuhi aturan itu penting karena itu adalah
cara untuk menghindari hukuman.
2. Individualisme dan Pertukaran
Pada tahap perkembangan individualisme dan moral moral, anak
mempertimbangkan sudut pandang individu dan menilai tindakan
berdasarkan bagaimana mereka melayani kebutuhan individu. Dalam
dilema Heinz, anak-anak berpendapat bahwa tindakan terbaik adalah
pilihan yang paling sesuai dengan kebutuhan Heinz. Timbal balik
dimungkinkan pada titik ini dalam perkembangan moral, tetapi hanya jika
itu melayani kepentingannya sendiri.
B. Moralitas Konvensional
Perkembangan periode moral berikutnya ditandai dengan diterimanya aturan-
aturan sosial mengenai apa yang baik dan bermoral. Selama ini, remaja dan
orang dewasa menginternalisasi standar moral yang telah mereka pelajari dari
panutan mereka dan dari masyarakat.
Periode ini juga berfokus pada penerimaan otoritas dan menyesuaikan diri
dengan kelompok norma-norma. Ada dua tahap pada tingkat moralitas ini:
1. Mengembangkan Hubungan Interpersonal yang Baik
Sering disebut sebagai orientasi "anak laki-laki yang baik-anak yang baik",
tahap hubungan antarpribadi perkembangan moral ini ditujukan pada
pemenuhan harapan dan peran sosial . Ada penekanan pada konformitas ,
kecurigaan "baik", dan pertimbangan tentang bagaimana pilihan
memengaruhi hubungan.
2. Memelihara Tatanan Sosial

v
Tahapan ini dibangun untuk memastikan tatanan sosial tetap terjaga. Pada
tahap perkembangan moral ini, orang mulai mempertimbangkan
masyarakat secara keseluruhan saat membuat penilaian. Fokusnya adalah
menjaga hukum dan mendukung dengan mengikuti aturan, melakukan
tugas, dan menghormati otoritas.
C. Moralitas Postkonvensional
Pada tingkat perkembangan moral ini, orang mengembangkan pemahaman
tentang prinsip-prinsip moralitas abstrak. Dua tahapan pada level ini adalah:
1. Kontrak Sosial dan Hak Individu
Gagasan tentang kontrak sosial dan hak individu menyebabkan orang pada
tahap berikutnya mulai mempertimbangkan perbedaan nilai, pendapat, dan
kepercayaan orang lain. Aturan hukum penting untuk menjaga masyarakat,
tetapi anggota masyarakat harus menyetujui standar ini.
2. Prinsip Universal
Tingkat akhir penalaran moral Kohlberg berpedoman pada prinsip etika
universal dan penalaran abstrak. Pada tahap ini, orang mengikuti prinsip-
prinsip keadilan yang terinternalisasi ini, meskipun bertentangan dengan
hukum dan aturan.

2.2 SUBSTANTIVE PHILOSOPHICAL


Sebuah perbincangan menarik tentang landasan filosofi perkembangan moral
Kohlberg muncul dari Walker dan Pitts (1998) dan Hart (1998). Walker dan Pitts
(1998) menyatakan bahwa pilihan Kohlberg terhadap satu tradisi filosofis memiliki
akibat negatif, yaitu:
A. Penekanan yang kaku pada hukum dan keadilan,
B. Konsep moral yang terbatas pada kognisi, tetapi mengabaikan perasaan,
perilaku dan karakter; dan
C. Kesalahan dalam menggunakan perspektif fenomenologis dari pengalaman
moralitas subjektif.
Menurut Walker dan Pitts (1998), penelitian yang dibatasi oleh definisi apriori
tentang moralitas (contohnya penelitian Kohlberg) akan membatasi pemahaman
terhadap berfungsinya moral. Walker dan Pitts menyatakan bahwa para filosof juga
memiliki keterbatasan dalam menjelaskan moral yang ideal. Akibatnya, teori etis
memisahkan diri mereka sendiri dari pengalaman sehari-hari dan kemungkinan
psikologis. Jadi pada dasarnya Walker dan Pitts ingin menunjukkan potensi dari
teori naif untuk memperkuat teori perkembangan moral serta potensi dari prototipe
dalam memahami psikologi moral. Perspektif teoritis dipandang memiliki
kecenderungan membatasi, sehingga perlu dicek dengan intuisi dan data empiris.
Atas pandangan-pandangan Walker dan Pitts tadi, Hart (1998) menyatakan bahwa
Walker dan Pitts mengikuti pendapat Thomas Kuhn, yang menyatakan bahwa
karakteristik yang paling bagus dari ilmu pengetahuan adalah perubahan
paradigma. Karena afiliasi paradigma setiap ilmuwan menentukan persepsi dan
pemahaman terhadap fenomena yag diteliti, maka tidak heran jika peneliti yang
menggunakan paradigma yang berbeda akan memiliki pandangan yang berbeda

vi
terhadap satu hal, misalnya moralitas. Namun nampaknya Hart (1998) meragukan
paradigma yang digunakan oleh Walker dan Pitts, dimana konsep naturalistik
kematangan moral dari Walker dan Hart juga memiliki nilai yang terbatas untuk
memecahkan isu-isu konseptual dalam perkembangan moral.

2.3 SUBSTANTIVE PROFESSIONAL


Lubis (1994) berpendapat etika profesi merupakan sikap hidup berupa kesediaan
untuk memberikan pelayanan profesional terhadap masyarakat dengan keterlibatan
penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas.
Terdapat empat prinsip utama yang melandasi pelaksanaan etika profesi, yaitu:
A. Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan,
baik yang disengaja atau tidak disengaja. Semua tenaga kerja profesional harus
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya.
B. Keadilan
Adil artinya tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar, dan tidak
sewenang-wenang. Seorang profesional harus selalu mengedepankan nilai ini
dalam pekerjaannya. Semua yang dilakukan harus adil dan pelayanan diberikan
pada siapa pun yang berhak menerimanya. Apalagi jika profesinya menyangkut
pelayanan masyarakat seperti polisi, petugas kesehatan, dan lain-lain.
C. Otonomi
Profesional dalam dunia kerja memiliki wewenang dan kebebasan yang
dijalankan sesuai kode etik yang berlaku. Dengan cara ini setiap tugas akan
dapat diselesaikan dengan baik.
D. Integritas Moral
Integritas moral adalah kualitas kejujuran serta prinsip moral dalam diri
seseorang yang harus dilakukan secara konsisten dalam menjalankan
profesinya. Sebagai profesional, seseorang harus senantiasa menjaga
kepentingan profesi, diri sendiri, serta memikirkan kepentingan masyarakat.

2.4 PROSES DRIVEN

3. Sebelum mengambil
suatu keputusan etis,
seseorang perlu

vii
melakukan proses
berikut:
4. Pertama: Problem.
Pertama yang perlu
diperhatikan adalah
melihat secara jernih
apa yang
5. menjadi
permasalahannya.
Berkaitan dengan itu
perlu diajukan
pertanyaan-pertanyaan
mendasar
6. seperti masalah apa
saja yang ada/ terjad

viii
7. Sebelum mengambil
suatu keputusan etis,
seseorang perlu
melakukan proses
berikut:
8. Pertama: Problem.
Pertama yang perlu
diperhatikan adalah
melihat secara jernih
apa yang
9. menjadi
permasalahannya.
Berkaitan dengan itu
perlu diajukan
pertanyaan-pertanyaan
mendasar
ix
10. seperti masalah apa
saja yang ada/ terjad
11. Sebelum mengambil
suatu keputusan etis,
seseorang perlu
melakukan proses
berikut:
12. Pertama: Problem.
Pertama yang perlu
diperhatikan adalah
melihat secara jernih
apa yang
13. menjadi
permasalahannya.
Berkaitan dengan itu
perlu diajukan
x
pertanyaan-pertanyaan
mendasar
14. seperti masalah apa
saja yang ada/ terjad
Sebelum mengambil suatu keputusan etis, seseorang perlu melakukan
proses berikut:
1. Problem
Yang perlu diperhatikan adalah melihat secara jernih apa yang menjadi
permasalahannya. Berkaitan dengan itu perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan
mendasarseperti masalah apa saja yang ada/ terjadi.
2. Emotion
Pengambil keputusan dengan emosi yang tenang. Emosi yang tenang akan
lebih memungkinkan kita untuk untuk membuat penilaian dan pilihan secara
lebih bebas dan objektif. Tidak hanya emosi-emosi negatif seperti
frustrasi, marah, kecewa,sedih, tertekan, tidak berdaya, dan sebagainya.
dapat menghalangi untuk melihat permasalahan secara jernih, emosi-emosi
positif juga seperti terlalu senang, terlalu tertarik, terlalu puas dan
sebagainya, dapat berpengaruh sama. Maka yang perlu dilakukan di sini
adalah peka pada emosi diri sendiri dan membuatnya lebih tenang sebelum
mengambil keputusan. Pesan praktisnya adalah hindari lahmembuat keputusan
dikala emosi sedang tidak stabil.
3. Analisis
Pada tahap ini permasalahan atau situasi perlu dianalisis secara cermat.
Permasalah-permasalahan yang telah dirinci sebelumnya perlu dipertanyakan
satu persatu apa apa saja penyebabnya? Apa penyebab utamanhya, kapan
masalah itu mulai muncul? Terhadapapa/ siapa? Dalam situasi apa saja?
Mengapa masalah itu muncul?
4. Contemplation
Tahap ini menunjuk pada usaha mental melakukan mengidentifikasi
masalah, menganalisisnya, mencari dan memilih kemungkinan cara
mengatasinya, melaksanakan keputusan yang telah dipilih dan
menerima hasilnya termasukdampaknya. Secara konkret pelaksanaannya
adalah sebagai berikut: duduk tenang, rileks ditempat yang tenang
dan secara lembut membayangkan dan mengamati diri kita
sendirimelalukan proses tersebut.
5. Equilibrium
Setelah melalui proses ini (sudah ada satu pilihan keputusan yangdipersiapkan)
ternyata kita mengalami keseimbangan batin, dalam arti menjadi tenang,
damai maka pilihan keputusan tersebut boleh ditindak-lanjuti. Sebaliknya apa

xi
bila sudah dipersiapkan suatu pilihan keputusan tetapi ternyata kita tidak
mengalami keseimbangan batin, dalam arti tetapi gelisah dan tidak tenang
maka pilihan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya perlu ditinjau
ulang dari awal proses.

2.5 INTEGRATIF

Pemahaman pentingnya etika perencanaan dan mengerti bahwa etika perencanaan


harus diterapkan, namun karena beberapa faktor tersebut bisa jadi beberapa orang
ada yang lalai atau lupa menerapkannya. Jika pada saat pelaksanaan pembangunan
ditemukan suatu masalah dan setelah diteropong ulang atau dievaluasi bagaimana
proses perencanaannya barulah terbukti bahwa ada beberapa etika perencanaan
yang tidak dilaksanakan. Faktor penyebab bisa dari dalam (internal) dan dari luar
(ekternal). Etika sangat mempengaruhi proses dan hasil perencanaan.
Etika, yaitu sistem asas moral yang menjadi kaidah perilaku. Menilai sesuatu baik
atau buruk, benar atau salah, tergantung pada nilai-nilai yang orang akui (Hartel,
1994). Etika dalam perencanaan dapat diartikan sebagai batasan-batasan sistem
dan tata nilai minimum dalam ruang, waktu dan kondisi tertentu yang
dipersyaratkan untuk menjamin keberlangsungan proses perencanaan guna
mencapai tujuan. Elemen etika perencanaan meliputi komunikatif, transparansi,
interaksi sosial, kejujuran, kebebasan, psikologi massa, heterogen, integritas, dan
persepsi. Etika perencanaan yang dilaksanakan secara professional pasti
memperhatikan etika hati yang didasarkan pada niat baik, etika pikir yang
didasarkan pada daya pikir dan etika sistem yang mengacu pada sistem/ketentuan
hukum yang berlaku.
Pada hakekatnya, etika perencanaan sangat diperlukan oleh setiap perencana
sebagai pengendali sikap/perilaku pihak yang terlibat dalam perencanaan
(stakeholders) dan mengikatnya agar bertanggung jawab pada publik. Dalam
memahami suatu kebijakan pembangunan dan tepat tidaknya memutuskan suatu
kebijakan dalam proses pembangunan yang akan dilaksanakan dibutuhkan nalar
yang dapat menilai sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah. Untuk
mengembangkan nalar itu diperlukan satu pedoman asas-moral, yaitu Etika.
Dengan demikian keberlanjutan pembangunan pasti akan terwujud.
Namun apabila mendalami betapa kompleksnya masalah yang terjadi dan banyak
pihak yang terkait ataupun berkepentingan dalam proses perencanaan bisa jadi
penerapan etika perencanaan akan menemui beberapa kendala dan dibutuhkan
orang-orang yang tidak hanya kuat dalam memegang prinsip namun juga harus
cerdas dan karakter pribadinya baik. Etika perencanaan tidak hanya menjadi tugas
seorang perencana namun juga harus dilaksanakan oleh pihak-pihak lain yang
terlibat, baik pelaku maupun penerima manfaat.
Perencanaan adalah sebuah proses dan proses tersebut tidak mungkin berdiri
sendiri, dalam arti pasti melibatkan pihak lain. Sebagai aparatur negara yang
melayani masyarakat dan sebagai bagian dari masyarakat mari kita terapkan etika
perencanaan dalam setiap hal yang kita kerjakan, baik perencanaan dalam tugas
keseharian sesuai tugas pokok fungsi kita, perencanaan dalam keluarga kita,

xii
perencanaan lingkungan kita, dan jangan lupa perencanaan diri pribadi kita.
Semua dimulai dari diri sendiri, sehingga bila dalam merencanakan sesuatu untuk
diri pribadi kita memakai etika perencanaan otomatis prinsip-prinsip etika
perencanaan akan terbawa dalam keseharian kita dalam dimensi yang lain
(dimensi kerja, dimensi keluarga, dimensi lingkungan) sehingga apapun yang kita
rencanakan akan bermanfaat dan berbuah baik serta berkelanjutan.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari penulisan makalah adalah sebagai berikut,


1. Etika merupakan suatu aturan atau konsep tentang bagaimana seseorang harus
bersikap, agar tercipta keteraturan dan kesesuaian dalam kehidupan. Etika
terbagi menjadi etika umum dan etika khusus, etika menjadi standar seseorang
dalam berperilaku.
2. Moral adalah bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang
dipengaruhi oleh interaksi sosialnya. Dimensi perkembangan moral dapat
dibedakan menjadi 2 , yakni dimensi intrapersonal adalah nilai dasar atau
penilaian dari individu dan dimensi interpersonal adalah nilai dasar apa yang
seharusnya dilakukan individu.
3. Keterkaitan antara etika, moral dan perencanaan dapat diwujudkan dengan
etika dan moral akan membangun karakter seorang perencana; etika dan
moral menjadi dasar pembentukan community development; identitas suatu
wilayah dapat dilihat melalui karakter masyarakat atau adat istiadat dalam
masyarakat.

3.2 SARAN

xiii
1. Setiap pembangunan atau perencanaan harus memperhatikan adat istiadat pada
daerah tersebut agar terdapat identitas wilayah. Namun, tetap harus
memperhatikan kondisi yang tidak sesuai.
2. Setiap masyarakat dan pemerintah harus mengikuti atau terikat dalam tatanan
etika dan moral. Pelanggaran terhadap etika dan moral seharusnya memiliki
sanksi yang kuat agar nilai-nilai luhur yang telah dibangun dapat tetap kokoh.

DAFTAR PUSTAKA

Fitriani, Ita. 2010. Etika. http://www.slideshare.net/rewayoke/tugas-


makalah etika dan moraltiafitriani15308026. Diakses pada 19 januari 2016.

Nugroho, Edi. 2011. https:// herynugrohoyes .files. wordpress. Com


/2011/01/etika - dr-iriyanto. pdf. Diakses pada 19 januari 2016.

xiv

Anda mungkin juga menyukai