Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

TATA LAKSANA INFEKSI INTRA-ABDOMEN EC PERFORASI GASTER


DENGAN SYOK SEPSIS

PENDAHULUAN
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat disregulasi
dari respon host terhadap adanya infeksi.1 Sepsis dapat menyebabkan terjadinya disfungsi organ
multipel sampai kematian. Sedangkan syok sepsis merupakan sepsis dengan disfungsi sirkulasi
dan seluler/metabolik dengan angka mortalitas yang lebih tinggi (67,8% vs 27,8%). 1,3 Saat ini
sepsis dan syok sepsis menjadi masalah kesehatan utama yang berdampak pada jutaan orang di
seluruh belahan dunia setiap tahunnya. Sama halnya dengan kasus multipel trauma, infark
miokardial, dan stroke, pengenalan dini serta tatalaksana segera serta tepat akan memperbaiki
luaran pasien sepsis dan syok sepsis.1
Infeksi intra-abdomen adalah infeksi yang melibatkan organ intra-abdomen, dengan atau
tanpa keterlibatan peritoneum. Infeksi intra-abdomen diklasifikasikan berdasarkan sumber
infeksi (healthcare-acquired vs community-acquired) dan perluasan proses infeksi
(uncomplicated vs complicated).3 Infeksi intra-abdomen menjadi salah satu penyebab sepsis
tersering selain pneumonia, infeksi aliran darah, urosepsis, infeksi luka operasi dan infeksi
terkait penggunaan kateter invasif. Selain itu infeksi intra-abdomen juga menjadi penyebab
mortalitas kedua di Intensive Care Unit (ICU).2,3 Faktor kunci yang menentukan keberhasilan
terapi pada infeksi intra- abdomen adalah diagnosis yang tepat, resusitasi yang adekuat,
pemberian antibiotik segera, source control yang efektif, dan evaluasi respon klinis terhadap
terapi.4
Pada laporan kasus ini akan dibahas penatalaksanaan infeksi intra-abdomen ec perforasi
gaster dengan syok septik.
KASUS
Tn J/39 tahun, BB 55 kg, TB 160 cm, BMI 21,48

30/06/2019
Pukul 03.12 WIB datang ke IGD RSHS dengan keluhan nyeri seluruh perut.

S:
Nyeri seluruh perut sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri berawal dari uluhati
kemudian menyebar ke seluruh perut. Mual (+). Muntah (+), frekuensi 2 kali sebelum ke RSHS.
Demam (-). Riwayat BAB mencret (-), buang angin (+). Riwayat BAB kehitaman (-). BAB
berdarah (-). Riwayat pengobatan TBC (-). Riwayat turun BB drastis (-). Sejak 1 minggu yang
lalu pasien tidak bisa makan seperti biasa.

RPD :
Riwayat penyakit lain tidak ada.

O:
Kes : CM, TD 90/60 mmHg, HR 120x/mnt, RR 24x/mnt, SpO2 98 % nasal kanul 3 lpm, T 37,50C

PF :

A : Bebas

B : Gerak dinding dada simetris, retraksi dada (-), RR 24 x/menit, suara napas vesikuler kanan =

kiri, ronchi -/-, wheezing -/-, spo2 98% ON NK O2 3 LPM

C : HR 120 x/menit, TD 90/60 mmHg

D : CM, pupil isokor diameter 3 mm, reflek cahaya +/+

E : Non trauma, akral DINGIN, CRT > 2 detik, edema -/-, T 37,4 oC

Abdomen : Datar, keras, nyeri tekan (+), bising usus (+) menurun, nyeri lepas (+), defans
muscular (+)
Lab :

Hb 9,1 Na 134 pH 7,45

Ht 24,7 K 4,4 pCO2 26,5

Leukosit 12.700 Cl 104 pO2 121

Trombosit 333.000 INR 1,18 HCO3 19,1

GDS 133 APTT 24,4 BE -3,0

Ureum 35 SGOT 43 SpO2 97,7

Creatinin 0,79 SGPT 48 PF Ratio 465

Laktat 4,2 Albumin 2,03

EKG : Sinus takikardi, rate 120x/mnt

A:
Peritonitis difus ec suspek perforasi hollow viscus suspek perforasi gaster

P:
- Konsul anestesi pro laparotomi eksplorasi
- Loading kristaloid 30 ml/kgBB, TD post loading 90/60 mmHg on support NE, HR
110x/mnt
- Kultur darah
- Meropenem 1 gr
- Persiapan produk darah
Pukul 09.00 WIB
Laparotomi eksplorasi  Ditemukan pneumoperitoneum dan cairan peritoneum berupa gastric
juice 500 ml. Ditemukan perforasi pada prepyloric 1x1 cm.

30/06/2019
Pukul 17.00 WIB  masuk ICU

S : Pasien on sedasi. Ada periode demam.

O:
KU : TSB, Kes : DPO
TD 90-120/60-70 mmHg on NE, HR 120-130x/mnt, MOV SIMV 10/10/5/70%, SpO2 96-98 %, T
36-370C

PF :
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki dan wheezing -/-

Lab :
HR :8,9/29/13130/493000
Ureum 33, Kreatinin 0,6, GDS 187
Laktat 5,2
Na 134, K 4,3, Cl 107, Ca 9,9, Mg 1,3
AGD 7,32/41/96,3/19,2/-9,1/99,1 %, PF Ratio : 434.62
Diuresis : 1,3 ml/kg/jam

A:
- Post Laparotomi eksplorasi ec perforasi gaster hari ke 1
- Syok sepsis
P:
- Cairan maintenance RL 2000 ml/24 jam
- Norepinephrine 00,5 mcg/kg/mnt
- Meropenem 3x1 gr IV (H+1)
- Paracetamol 4x1 gr IV
- Heparin 2x5000

F  Puasa
A  MO 15 mcg /KG/jam IV
S  Midazolam 3 mg/jam IV
T  Heparin 2x5000
H  Head up 300
U  Omeprazole 2x40 mg IV
G-

01/07/2019 (HARI KE 2 DI ICU)


S:

O:
KU : TSB, Kes : E4M6VT
TD 90-120/60-70 mmHg on NE, HR 120-130x/mnt, RR15-22 MOV PS 10/5/50%, SpO2 96-98
%, T 36-370C

PF :
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki dan wheezing -/-

Lab :
Na 134, K 3,4, Cl 104, Ca 4,54, Mg 1,5
AGD 7,46/31,3/105,4/22,9/-0,1/94 %,

Diuresis : 2,3 ml/kg/jam


BC -602

A:
- Post Laparotomi eksplorasi ec perforasi gaster hari ke 2
- sepsis

P:
- Cairan maintenance RL 2000 ml/24 jam
- Norepinephrine 0,03 mcg/kg/mnt
- Meropenem 3x1 gr IV (H+1)
- Paracetamol 4x1 gr IV
- Heparin 2x5000

F  test feeding
A  MO 15 mcg /KG/jam IV
S-
T  Heparin 2x5000
H  Head up 300
U  Omeprazole 2x40 mg IV
G-
02/07/2019 (HARI KE 3 DI ICU)
S:

O:
KU : TSS, Kes : E4M6VT
TD 90-120/60-70 mmHg on NE, HR 120-130x/mnt, RR15-22 MOV PS 12/5/50%, SpO2 96-98
%, T 36-370C

PF :
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki dan wheezing -/-
Lab :
HR :8,9/26,9/13780/169000
Na 142, K 3,9, Cl 115, Ca 4,73, Mg 2,4
AGD 7,49/48/181,7/38,514,9/99,9 %, P/F 303

Diuresis : 2 ml/kg/jam
BC -612

A:
- Post Laparotomi eksplorasi ec perforasi gaster hari ke 2
- sepsis

P:
- Cairan maintenance RL 2000 ml/24 jam
- Meropenem 3x1 gr IV (H+1)
- Paracetamol 4x1 gr IV
- Heparin 2x5000

F  PEPTAMEN 500 Kkal


A  MO 15 mcg /KG/jam IV
S-
T  Heparin 2x5000
H  Head up 300
U  Omeprazole 2x40 mg IV
G-

03/07/2019 (HARI KE 4 DI ICU)


S:

O:
KU : TSS, Kes : E4M6VT
TD 90-120/60-70 mmHg on NE, HR 120-130x/mnt, RR15-22 MOV PS 10/5/50%, SpO2 96-98
%, T 36-370C

PF :
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki dan wheezing -/-
Abd Distensi
Lab :
HR 11,1/35,3/15.750/406.000
Na 138, K 3,8, Cl 100,

Diuresis : 2 ml/kg/jam
BC -612

A:
- Post Laparotomi eksplorasi ec perforasi gaster hari ke 2
- sepsis

P:
- Cairan maintenance RL 2000 ml/24 jam
- Meropenem 3x1 gr IV (H+1)
- Paracetamol 4x1 gr IV
- Heparin 2x5000

F-
A  MO 15 mcg /KG/jam IV
S-
T  Heparin 2x5000
H  Head up 300
U  Omeprazole 2x40 mg IV
G-
04/07/2019 (HARI KE 5 DI ICU)
S:

O:
KU : TSS, Kes : E4M6VT
TD 90-120/60-70 mmHg on NE, HR 120-130x/mnt, RR15-22 MOV PS 8/5/50%, SpO2 96-98 %,
T 36-370C

PF :
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki dan wheezing -/-
Abd Distensi
Lab :-

Diuresis : 1,5 ml/kg/jam


BC
+ 404

A:
- Post Laparotomi eksplorasi ec perforasi gaster hari ke 5
- sepsis

P:
- Cairan maintenance RL 1000 ml/24 jam
- Meropenem 3x1 gr IV (H+1)
- Paracetamol 4x1 gr IV
- Heparin 2x5000
- Amiparen
- Clinimix

F  TPN
A  MO 15 mcg /KG/jam IV
S-
T  Heparin 2x5000
H  Head up 300
U  Omeprazole 2x40 mg IV
G-

05/07/2019 (HARI KE 6 DI ICU)


S:

O:
KU : TSS, Kes : CM
TD 90-120/60-70 mmHg on NE, HR 120-130x/mnt, RR15-22 NRM 10L/M SpO2 96-98 %, T 36-
370C

PF :
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki dan wheezing -/-
Abd -
Lab :-

Diuresis : 2,6 ml/kg/jam


BC - 602

A:
- Post Laparotomi eksplorasi ec perforasi gaster hari ke 6
- sepsis

P:
- Cairan maintenance RL 1000 ml/24 jam
- Meropenem 3x1 gr IV (H+1)
- Paracetamol 4x1 gr IV
- Heparin 2x5000
- Amiparen
- Clinimix

F  TPN 1400
A  MO 10 mcg /KG/jam IV
S-
T  Heparin 2x5000
H  Head up 300
U  Omeprazole 2x40 mg IV
G-

06/07/2019 (HARI KE 7 DI ICU)


S:

O:
KU : TSS, Kes : CM
TD 90-120/60-70 mmHg on NE, HR 120-130x/mnt, RR15-22 NRM 10L/M SpO2 96-98 %, T 36-
370C

PF :
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki dan wheezing -/-
Abd -
Lab :
HR :8,9/26,9/13780/169000
Na 142, K 3,9, Cl 115, Ca 4,73, Mg 2,4
AGD 7,505/39,6/185/31,5/8,3/98,5 %,

Diuresis : 2,3 ml/kg/jam


BC - 375
A:
- Post Laparotomi eksplorasi ec perforasi gaster hari ke 6
- sepsis

P:
- Cairan maintenance RL 1000 ml/24 jam
- Meropenem 3x1 gr IV (H+1)
- Paracetamol 4x1 gr IV
- Heparin 2x5000
- Amiparen
- Clinimix

F  TPN 1400
A  MO 10 mcg /KG/jam IV
S-
T  Heparin 2x5000
H  Head up 300
U  Omeprazole 2x40 mg IV
G-

PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis dengan syok sepsis ec infeksi intra-abdomen ec perforasi ileum.
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe
Sepsis and Septic Shock tahun 2016, syok sepsis difenisikan dengan sepsis yang disertai dengan
hipotensi yang membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan MAP > 65 mmHg dan nilai
laktat > 2 mmol / L (18 mg/dl) meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat. 1
Diagnosis sepsis ditegakkan dengan SOFA score lebih dari 2 dan adanya sumber infeksi. Pada
awal masuk di IGD RS HS, hemodinamik pasien tidak stabil, hipotensi, takikardi, akral dingin
sehingga memenuh kriteria syok. Dari anamnesis didapatkan intake pasien tidak adekuat dalam 1
minggu terakhir. Sehingga kemungkinan pasien mengalami syok hipovolemik ec low intake.
Namun setelah dilakukan resusitasi, tekanan darah pasien masih rendah, sehingga memerlukan
vasopressor untuk mempertahankan MAP 65 mmHg. Penilaian ulang tekanan darah, denyut
jantung, produksi urin ditambah dengan evaluasi monitoring non invasif lain dan monitoring
invasif dapat menentukan apakah pasien masih respon terhadap terapi cairan atau tidak.
Pemeriksaan echocardiografi juga dapat membantu untuk menilai status hemodinamik pasien.
Pada pasien ini, echocardiografi tidak dikerjakan pada awal resusitasi di IGD. Dari pemeriksaan
fisik dan penunjang pada pasien ditemukan tanda-tanda peritonitis difus, leukositosis dan
hiperlaktatemia yang mendukung diagnosis syok sepsis ec suspek infeksi intra-abdomen. Terapi
pasien dengan syok sepsis meliputi resusitasi cairan yang adekuat, pemeriksaan kadar laktat dan
kultur darah, pemberian antibiotik spektrum luas, pemberian vasopressor jika MAP belum
mencapai target 65 mmHg setelah resusitasi cairan adekuat dan melakukan source control.
Infeksi intra-abdomen adalah infeksi yang melibatkan organ intra-abdomen, dengan
atau tanpa keterlibatan peritoneum. Infeksi intra-abdomen diklasifikasikan berdasarkan sumber
infeksi (healthcare-acquired vs community-acquired) dan perluasan proses infeksi
(uncomplicated vs complicated).3 Pada pemeriksaan awal dicurigai adanya perforasi hollow
viscus pada pasien yang menyebabkan terjadinya peritonitis difus. Faktor kunci yang
menentukan keberhasilan terapi pada infeksi intra-abdomen adalah diagnosis yang tepat,
resusitasi yang adekuat, pemberian antibiotik segera, source control yang efektif, dan evaluasi
respon klinis terhadap terapi.4 Pada pasien ini telah dilakukan resusitasi cairan dengan
menggunakan kristaloid 30 ml/kgBB, pemeriksaan kadar laktat dan kultur darah, serta pemberian
antibiotik spektrum luas. Setelah diresusitasi, MAP 65 mmHg belum tercapai, sehingga
diberikan vasopressor pada pasien ini. Laktat pada awal masuk 4,2 mmol/L, sehingga masih
menunjukkan klinis hipoperfusi. Pasien diberikan antibiotik Meropenem 1 gr IV. Dilakukan
laparotomi eksplorasi sebagai source control pada pasien. Ditemukan pneumoperitoneum dan
cairan peritoneum berupa gastric juice 500 ml. Ditemukan perforasi pada prepyloric 1x1 cm.
Selama perawatan di ICU, hemodinamik pasien stabil dengan support norepinephrine. Klinis
infeksi setelah dilakukan laparotomi mengalami perbaikan. Pada hari ke 7 perawatan pasien
pasien pindah rawat ke HCU Kemuning.
Infeksi intra-abdomen pada pasien termasuk community- acquired dan complicated.
Berdasarkan Surgical Infection Society (SIS) dan the Infectious Disease Society of America
(IDSA), guideline pemberian antibiotik pada pasien dengan infeksi intra-abdomen yang
complicated adalah sebagai berikut :2
Adapted from: Diagnosis and Mangement of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and
Children: Guidelines by the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of America.
Clinical Infectious Diseases, 2010;50:133-64
Terapi antibiotik pada pasien sudah diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis
peritonitis difus ditegakkan saat di IGD. Hal ini sesuai dengan panduan terapi dari SIS dan IDSA
bahwa pemberian antibiotik pada pasien syok sepsis harus diberikan sedini mungkin setelah
diagnosis ditegakkan.2 Pilihan antibiotik pada pasien ini pada saat awal masuk sudah tepat
berdasarkan guideline SIS dan IDSA. Pasien mendapatkan antibiotik meropenem dari awal
karena masuk dalam kondisi high risk atau derajat severitas yang berat. Berdasarkan guideline
ini tidak perlu diberikan kombinasi antibiotik meropenem dengan metronidazole, kecuali
antibiotik yang diberikan adalah cefepime, ceftazidime, levofloxacine atau ciprofloxacine.
Tindakan source control pada pasien juga sudah dikerjakan. Dilakukan pemeriksaan
kultur darah. Hasil dari kultur tidak terdapat pertumbuhan mikroorganisme hal ini kemugkinan
pengambilan kultur darah setelah pemberian antibiotik Meropenem di IGD. Post operatif pasien
kondisi pasien stabil dengan support Norepineprin minimal sampai hari kedua dan support
ventilasi mekanik sampai hari ke 5.
Pada perawatan hari kedua di ICU pasien mendapatkan test feeding dan diet cair
Peptamen 500 kkal pada hari ketiga hal ini sudah sesuai dengan guideline dimana pemberian diet
enteral dapat diberikan 24-48 jam segera setelah resusitasi dan pasien dalam hemodinamik stabil.
Namun selanjutnya ditemukan tanda-tanda intoleransi dimana pasien mengalami distensi
abdomen
penghentian diet enteral harus diberhentikan. ESPEN menganjurkan inisiasi suplemen nutrisi
parenteral pada hari kedua ICU pada intoleransi nutrisi enteral dimana >80% kebutuhan energy
tidak tercapai. Pada pasien ini diberikan diet parenteral Clinimix dan Ameparen.
Hal lain yang harus diperhatikan pada pasien infeksi intrabdomen adalah Intra
Abdominal Hipertensi (IAH) dan Abdominal Compartement Syndrom (ACS), dimana pada
pasien sepsis dengan infeksi intraabdomen rentan terjadi peningkatan IAH yang berisiko
terjadinya ACS sehingga perlu pemantauan secara berkala tekanan intraabdomen. Tekanan
perfusi abdomen/TPA dipertahankan > 50-60 mmHg pada IAH memprediksi keadekuatan aliran
splangnik. TPA lebih tepat dalam memprediksi kegagalan organ dan outcome disbanding IAP
deficit basa dan laktat darah. Target resusitasi ACS, TPA > 50-60 mmHg (TPA=MAP-IAP).
Namun sayangnya pada pasien ini tidak dilakukan pemantauan IAH.

Pada pasien ini keberhasilan terapi terjadi karena source control adekuat, walaupun
pada pasien ini memenuhi kriteria Infeksi intraabdominal dengan risiko tinggi.
Analgetik diberikan selama pasien diintubasi. Hari pertama pasien masuk ke ICU pasien
masih disedasi dengan midazolam drip, obat sedasi distop pada hari rawatan ke 3. Pasien ini
diberikan obat-obatan antikoagulan sebagai tromboprofilaksis karena trombositopenia dan pasien
baru saja menjalani proses operasi. Head up 30 0 dikerjakan setiap hari untuk mencegah aspirasi
dan ventilator associated pneumonia (VAP). Kadar gula darah pasien stabil selama perawatan.
Selain itu pasien juga diberikan obat-obatan untuk mencegah stress ulcer.

KESIMPULAN
Sepsis yang disebabkan infeksi intra-abdomen memiliki angka mortalitas yang cukup
tinggi. Faktor kunci yang menentukan keberhasilan terapi pada infeksi intra-abdomen adalah
diagnosis yang tepat, resusitasi yang adekuat, pemberian antibiotik segera, source control yang
efektif, dan evaluasi respon klinis terhadap terapi. Jika hal diatas bisa dikerjakan secara simultan
maka akan menghasilkan luaran yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, et al. Surviving Sepsis Campaign: International


Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive Care Med ,
2017; 43:304.
2. Solomkin JS, Mazuski JE, Bradley JS, et al. Diagnosis and Mangement of Complicated
Intra-abdominal Infection in Adults and Children: Guidelines by the Surgical Infection
Society and the Infectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Diseases,
2010;50:133-64.
3. Pieracci FM, Barie PS. Management of Severe Sepsis of Abdominal Origin.
Scandinavian Journal of Surgery, 96:184-196, 2007.
4. Sartelli M, Mefire AC, Labricciosa FM, et al.The management of intra-abdominal
infection from global perspective: 2017 WSES guidelines for management of intra-
abdominal infections. World Journal of Emergency Surgery, 2017;12:29.
5. Malbrain MLNG, Regenmortel NV, Saugel B, et al. Principles of fluid management and
stewardship in septic shock : it is time to consider the four D’s and the four phases of
fluid therapy. Ann Intensive Care, 2018; 8:66.

Anda mungkin juga menyukai