Anda di halaman 1dari 21

BIOGRAFI KH.

ALI MAKSUM KRAPYAK

1. MASA KECIL KH ALI MAKSUM

KH Ali Maksum adalah putra pertama dari hasil perkawinan KH Ma’shum bin KH
Ahmad Abdul Karim dengan Ny. Hj. Nuriyah binti KH Muhammad Zein Lasem, yang
lahir pada tanggal 2 Maret 1915 di desa Soditan Lasem kabupaten Rembang, di
tengah gencarnya kaum pembaharu (modernis) melancarkan serangan terhadap
keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang
dipandang menghambat kebebasan berijtihad, mengembang-kan pemikiran irrasional
semacam khurafat, takhayul dan bid’ah, dan sulit diajak untuk maju.

Mbah KH Maksum Lasem

Keluarga KH Ali Maksum, sejak dari jaman kakek-kakeknya dahulu sampai jamannya
adalah keluarga besar yang kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari nilai-nilai
kepesantrenan. KH Ma’shum yang terkenal dengan panggilan mBah Ma’shum ini
merupakan pendiri sekaligus pengasuh pesantren Al-Hidayah di desa Soditan, Lasem,
Rembang.

Sejak kecil, KH Ali Maksum belajar dan dididik secara keras di pesantren ayahnya
sendiri yang saat itu menjadi pusat rujukan para santri dari berbagai daerah, terutama
dalam pengajaran kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya Ibnu ‘Aqil (Nahwu,
Shorof dan Balaghah), dan kitab Jam’ul Jawami’.

Mbah Ma’shum berharap agar putranya nanti menjadi seorang ulama ahli fiqih,
sehingga beliau menggembleng Ali kecil setiap harinya dengan pelajaran kitab-kitab
fiqih. Sementara itu beliau juga mengajarkan kitab-kitab lainnya kepada para santri,
terutama kitab-kitab ilmu nahwu, shorof dan balaghah. Akan tetapi kecenderungan Ali
kecil justru lebih senang mempelajari kitab-kitab nahwu dan shorof. Ali kecil kemudian
belajar beberapa waktu di pondoknya KH Amir di Pekalongan.

2. MENUNTUT ILMU KE PONDOK TREMAS

Setelah Ali memasuki usia remaja (usia 12 tahun), mbah Ma’shum berfikir untuk
menitipkan pendidikan anaknya itu kepada kiai lain yang terbilang masih temannya,
yakni KH Dimyati yang memimpin pesantren Tremas Pacitan (1894 – 1934), karena
tidak terbiasa orang tua mendidik anak kandungnya sendiri sampai dewasa. Pada
saat itu, Pesantren Tremas yang terletak di pelosok Pacitan dan hanya dapat dicapai
dengan jalan kaki beberapa lama ini merupakan pesantren yang cukup popular,
terkenal dan berwibawa, disebabkan oleh tiga alasan :

Pertama, pesantren Tremas secara tegas menolak dan menentang penjajah Belanda,
serta berusaha menghindar dari pengaruh budayanya.

Kedua, sebagian besar ahli bait (keluarga) pesantren Tremas tergolong sangat ‘alim,
sehingga keberadaan Tremas saat itu sebagai gudangnya ilmu agama sangat
diperhitungkan. Bukti kealiman mereka terukir dalam sejarah, dengan munculnya
nama Syaikh Mahfuzh at-Tarmasi (wafat di Makkah, 1918 M) di dunia Islam yang
menjadi ulama besar berkaliber internasional di Tanah Haram, penulis produktif dan
guru besar di bidang hadis Shahih Bukhari serta diberi hak untuk mengajar di Masjidil
Haram.

Ketiga, kegiatan ilmiah di Tremas sangat intensif, karena mendapatkan dorongan


sepenuhnya dari kiai dan keluarganya. Bahkan kebebasan ilmiah yang dikembangkan
pesantren Tremas berakibat pada munculnya “Madrasah” kontroversial didalam
pondok pada tahun 1928 yang didirikan seorang santri senior bernama Sayyid Hasan
Ba’bud, dengan tenaga pengajar yang kesemuanya berasal dari luar pesantren.

Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren Tremas sangat bervariasi seperti Fathul Mu’in,
Tafsir Jalalain, Minhajul Qawim, Al-Asybah wan-Nazhair, Shahih Bukhari dan Muslim,
Alfiyah Ibnu Malik, dll. Mubahatsah (pembahasan) kitab berjalan setiap malam. Di
samping itu didukung oleh kebijakan kiai yang memberi kesempatan kepada para
santri senior yang mampu untuk mengajari santri adik kelasnya. Kondisi seperti itu lalu
menumbuhkan semangat para santri untuk berkompetisi di bidang keilmuan.

Dengan kondisi pesantren Tremas yang sangat mendukung pengembangan keilmuan


tersebut, maka pada tahun 1927 M, Ali Maksum dikirim ke pesantren Tremas Pacitan
untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Oleh KH Dimyati, Ali Maksum secara istimewa
diminta untuk tidak tinggal di kamar-kamar santri pada umumnya, akan tetapi tinggal
di komplek “ndalem”, yakni komplek keluarga KH Dimyati, satu kamar dengan Gus
Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmasi.

Keistimewaan ini barangkali merupakan rasa hormat KH Dimyati kepada KH Maksum,


karena di kalangan para kiai ada semacam tradisi saling menitipkan pendidikan
putranya kepada kiai lain. Dalam hal ini, KH Maksum menitipkan putranya yang
bernama Ali kepada KH Dimyati di pesantren Tremas, sementara KH Dimyati sendiri
menitipkan putranya yang bernama Gus Hamid Dimyati dan Habib Dimyati, kepada
KH Maksum di pesantren Al-Hidayah Lasem.

Ali Maksum, yang dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren lebih
dikenal dengan panggilan Wak Ali ini, nampak paling menonjol diantara para santri
yang lain dan sudah menampakkan bakat-bakat keulamaannya. Hal ini bukan
disebabkan oleh kebesaran nama ayahnya, akan tetapi disebabkan oleh kejeniusan
otaknya, ketekunan belajarnya, kedalaman ilmunya, keluasan wawasannya,
penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, kreatif, inovatif, kekuatan pribadinya,
jiwa kepemimpinannya, dan hal-hal lainnya.

Menurut saksi mata, sebagaimana yang dituturkan oleh KH Habib Dimyati, bahwa
Wak Ali setiap harinya tidak lepas dari kitab-kitab besar. Semangat belajarnya hebat
melampaui usianya yang sangat muda dan melintasi batas-batas yang ditetapkan
pesantren. Wak Ali sering tidak tidur sampai larut malam, sehingga tidak aneh jika
kamarnya terlihat tidak rapi, karena di sana-sini banyak kitab-kitabnya berserakan
dalam keadaan terbuka.

Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmisi, yang tinggal sekamar banyak
berguru kepada Wak Ali dalam hal membaca kitab kuning. Maklum, meskipun lama
bermukim di Makkah, Gus Muhammad lebih mengkhususkan diri pada ulumul Qur’an.
Yang dipelajari Wak Ali bukan hanya terbatas pada kitab-kitab mu’tabarah karya
ulama’ salaf sebagaimana yang diajarkan oleh kiainya, akan tetapi juga mempelajari
kitab-kitab tulisan ulama’ pembaharu seperti kitab Tafsir Al-Manar tulisan Rasyid
Ridha murid Muhamad Abduh, kitab Tafsir Al-Maraghi, kitab Fatawa tulisan Ibnu
Taimiyah, kitab-kitab tulisan Ibnul Qayyim dan kitab-kitab baru lainnya.

Padahal kitab-kitab tersebut menjadi larangan para kiai di beberapa pesantren


tradisional untuk dibaca dan dipelajari para santrinya. KItab-kitab para pembaharu
tersebut diperoleh Wak Ali dari kiriman kawan-kawannya di Tanah Haram, santri
ayahnya dan keluarga Tremas yang pulang dari pergi haji. KH Dimyati selaku
pengasuh pesantren sebenarnya mengetahui hal itu, apalagi Wak Ali tinggal didalam
komplek ndalem, akan tetapi beliau sengaja mendiamkannya, karena Wak Ali
dipadang memiliki dasar-dasar tradisi pesantren yang kuat.

Bahkan memperluas wawasan dengan kitab-kitab tersebut bagi Wak Ali sangat
diperlukan sebagai muqabalah (perbandingan). Barangkali karena latar belakang
referensinya yang luas inilah yang menjadikan Wak Ali sebagai seorang ulama’ yang
berwawasan luas, dalam, dan berpandangan lebih moderat bila dibanding dengan
para kiai alumni pesantren lainnya.

Wak Ali sangat gemar mempelajari Ilmu tafsir Al-Qur’an, yang nantinya mengantarkan
dirinya menjadi seorang ulama’ ahli tafsir yang terkemula di Indonesia. Demikian pula
dalam ilmu bahasa arab, Wak Ali sangat menguasai kitab-kitab nahwu tingkat tinggi
seperti kitab Dahlan, Asymuni, Alfiyah Ibnu Malik dan syawahid-nya, sehingga di
kemudian hari mengantarkannya menjadi seorang pakar ahli bahasa Arab yang
terkenal.
Julukan “Munjid berjalan” untuk KH. Ali Maksum menunjukkan penguasaannya di
bidang bahasa Arab beserta cabang-cabangnya. Atas kegemaran, ketekunan dan
keahlian inilah yang mengantarkan KH Ali Maksum berhasil menciptakan metode baru
dalam pembelajaran ilmu shorof yang dinilai cukup praktis dan efektif, yang kemudian
diberi judul “Ash-Sharful Wadhih”. Metode ini berbeda dengan metode shorof yang
sudah mapan saat itu, misalnya metode tashrif susunan Kiyai Muhammad Ma’shum
bin Ali dari Jombang dalam bukunya yang berjudul “Al-Amtsilah at-Tashrifiyah”.

Kegemaran lain Wak Ali di bidang keilmuan adalah menghafal dan mempelajari
secara intens syiir-syiir dan butir-butir kalam hikmah yang sangat berguna kelak ketika
menjadi seorang ulama’ besar, dimana setiap ada kesempatan dalam berpidato,
berceramah, mengajar, memberikan pembinaan dan lain-lain, sering keluar dari
mulutnya untaian kalam hikmah dan syiir-syiir tersebut.

Wak Ali Maksum yang sejak muda tidak gemar tirakat, puasa ngrowot dan perilaku
nyeleneh lainnya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian santri di pesantren-
pesantren salafiyah pada umumnya ini juga memiliki kegemaran musik. Beliau suka
memukul-mukul daun pintu atau apa saja yang ditemui dengan ujung jarinya untuk
mengiringi alunan nyanyian, dan bahkan menyukai lagu-lagu berbahasa inggris yang
diiringi musik jazz.

Kegemaran ini masih terbawa ketika sudah menjadi seorang kiyai yang
mengasuh pesantren Krapyak, dimana lagu-lagu jazz tersebut sering diputar dan
didengarkan didalam kamar pribadinya sambil beliau dipijiti para santri, bahkan
terkadang suaranya sampai keluar melalui mic speaker sehingga para santri ikut
menikmati lagu-lagu tersebut.

Dalam bidang olahraga, Wak Ali sama sekali tidak memiliki kegemaran, kecuali gemar
membersihkan lingkungan pondok dari daun-daun kering, mengambili kertas-kertas
bekas dan sampah kering lainnya. Berbeda dengan Gus Hamid dari Pasuruan yang
gemar main sepakbola.

Mengingat kejeniusannya, ketekunan belajarnya, kedalaman dan keluasan ilmunya,


penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, dan bakat keulamaannya, Wak Ali
dipercaya oleh KH Dimyati untuk mengajar para santri dalam usia yang sangat muda.
Dalam menjalankan tugas mengajar, Wak Ali sangat menguasai materi kitab yang
dibebankan kepadanya, tegas, disiplin dan simpatik. Oleh karenanya, beliau
memperoleh kedudukan yang terhormat di kalangan keluarga pesantren dan santri.

Dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren, Wak Ali adalah “simbol
keteladanan”. Beliau bersama-sama dengan Gus Hamid Dimyati, Gus Rahmat
Dimyati dan Gus Muhammad bin Syaikh Mahfuzh at-Tirmasi sangat populer dengan
sebutan “Empat Serangkai”, karena dari merekalah muncul ide-ide segar untuk
memajukan dan mengembangkan pesantren Tremas.

Diantaranya adalah ide dari Wak Ali tentang perlunya menerapkan sistem madrasi
dalam sistem pendidikan pesantren Tremas, dengan tenaga pengajar dari dalam
pesantren sendiri. Semula ide ini ditolak oleh KH Dimyati, karena trauma dengan
pendirian madrasah kontroversial oleh Sayyid Hasan Ba’bud. Setelah konsep dari ide
tersebut dipandangnya jelas dan mendukung kemajuan pesantren, maka KH Dimyati
mengijinkan berdirinya madrasah tersebut, dengan Wak Ali Maksum sebagai
direkturnya.

Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Wak Ali, yang ketika itu baru
berusia 19 tahun, untuk melakukan pembaharuan di bidang metode pengajaran dan
kurikulumnya, diantaranya dengan cara memasukkan kitab-kitab baru karya ulama
modern kedalam kurikulumnya, seperti kitab Qiroatur Rosyidah, an-Nahwul Wadhih
dan lain-lain.

Setelah Wak Ali Maksum pulang “boyongan” ke Lasem, kepemimpinan madrasah


diserahkan kepada Gus Hamid Dimyati sebagai direktur dan A. Mukti Ali sebagai
wakilnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali berkomentar,
bahwa Ali Maksum-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas,
dari hanya meng-gunakan sistem pesantren ke sistem madrasi.

3. BERGURU KE TANAH HARAM MAKKAH.

Sepulangnya ke Lasem pada tahun 1935, KH Ali Maksum membantu ayahnya


mengajar di pesantren Al-Hidayah, terutama dalam disiplin ilmu bahasa arab dan
Tafsir Al-Qur’an yang menjadi kegemaran dan spesialisasinya selama belajar di
pesantren Tremas. Selain mengajar, KH Ali Maksum juga membenahi sistem
pendidikan dan pengajaran pesantren.

Semangat pembaharuan mulai beliau tiupkan, dan ternyata mendapatkan dukungan


dari berbagai pihak, karena pembaharuan yang diterapkannya sama sekali tidak
mengancam keberadaan pesantren berikut segala pranatanya, melainkan justru
menguatkan-nya.

Pembaharuan yang beliau lakukan tetap berpedoman pada prinsip: Al-Muhafazhatu


‘alal qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, yaitu mempertahankan tradisi lama
yang masih baik (layak) dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Pada tahun 1938, KH Ali Maksum menikahi Rr. Hasyimah putri KHM Munawwir.
Beberapa hari setelah pernikahannya, seseorang bernama H. Junaid dari Kauman
Yogyakarta melalui KH Maksum menawarkan tiket gratis kepada KH Ali Maksum
untuk beribadah haji.

Sebulan kemudian, KH Ali Maksum bertolak menuju Makkah lewat pelabuhan


Semarang, dan kesempatan tawaran beribadah ini sekaligus digunakan untuk
thalabul ilmi, mengaji kepada beberapa ulama’ besar di Makkah, diantaranya berguru
kepada Sayyid Alwi Abbas Al-Maliki (ayah Sayyid DR. Muhammad Alwi Abbas Al-
Maliki) untuk mengaji kitab Al-Luma’ dan lain-lain, juga berguru kepada Syaikh Umar
Hamdan untuk mengaji kitab Shahih Bukhari dan kitab hadis lainnya, serta
memperluas wawasan dengan mengkaji kitab-kitab kaum modernis seperti karya
Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridha, Jalaluddin Al-Afghani, dan lain-lain.

Selama dua tahun tinggal di Makkah, berarti dua kali pula Ali Maksum menunaikan
ibadah Haji. Selama itu pula, Ali Maksum berhubungan dengan para masyayikh,
sesama para pelajar dan jamaah haji Indonesia. Kepada jamaah haji yang dikenalnya,
ia menitipkan kitab-kitabnya untuk dibawa ke Lasem, terutama kitab-kitab baru tulisan
para ulama’ pembaharu, disamping kitab-kitab yang ia tumpuk untuk dibawa sendiri
pada tahun 1940.

4. MENJADI PENGASUH PONDOK PESANTREN


Sepeninggal K.H.M. Munawwir, sesuai dengan wasiat dan kesepakatan kekuarga,
kepemimpinan pesantren kemudian diambil alih oleh kakak beradik, K.H.R. Abdullah
Afandi Munawwir dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir. K.H.R. Abdullah Afandi
Munawwir bertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan sarana prasarana
pesantren dan hubungan dengan luar pesantren, dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir
bertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan pengajaran Al-Qur’an.

Namun satu persatu santri pulang meninggalkan pesantren, dan belum genap 100
hari wafatnya, jumlah santri tinggal puluhan orang. Bersamaan dengan itu, masuknya
penjajah Jepang ke Indonesia semakin memperparah kondisi pesantren, sehingga
santri tinggal beberapa orang, padahal jumlah santri saat wafatnya K.H.M. Munawwir
mencapai 200-an lebih. Walaupun demikian, aktifitas kepesantrenan (pengajian Al-
Qur’an) tetap berjalan seperti masa-masa sebelumnya dengan jumlah santri apa
adanya.

Dari fenomena ini sementara dapat disimpulkan bahwa kewibawaan dan


kekharismaan K.H.M. Munawwir merupakan faktor penyebab kebesaran pesantren,
dan hal ini ternyata tidak mampu diatasi oleh penggantinya selaku turunan langsung
yang secara tradisional mewarisi kepemimpinan dan kharisma dari ayahnya. Kondisi
ini membuat keluarga besar K.H.M. Munawwir merasa resah dan khawatir terhadap
kelestarian pesantren ke depan.

Maka pada tahun 1943, musyawarah keluarga Bani Munawwir memutus-kan untuk
mengirim delegasi menemui Kiai Ali (menantu K.H.M. Munawwir), yang saat itu telah
berhasil membenahi sistem pendidikan pesantren ayahnya di Lasem dan mampu
mendongkrak jumlah santri, agar bersedia diajak ”hijrah” ke Krapyak untuk mengatasi
krisis tersebut. Namun ajakan ini ditolak tegas oleh Kiai Ali Maksum.

Beberapa bulan kemudian, datang lagi utusan ke Lasem. Kali ini yang datang adalah
Nyai Sukis sendiri (isteri K.H.M. Munawwir, ibu mertua Kiai Ali) dengan didampingi
K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir, yang mengharap dengan sangat agar Kiai Ali
bersedia diboyong ke Krapyak. Akhirnya kekerasan hati Kiai Ali luluh dan menerima
ajakan itu. Sejak kepindahan Kiai Ali ke Krapyak ini (1943), pesantren Al-Munawwir di
bawah kepemimpinan ”tiga serangkai” dengan pembagian tugas sebagai berikut :
1). K.H.R. Abdullah Affandi (putra, wafat 1968), dengan tugas sebagai pimpinan
umum, menangani urusan sarana-prasarana dan hubungan dengan dunia luar
pesantren

2). K.H.R. Abdul Qadir (putra, wafat 1961)), dengan tugas sebagai pengasuh Tahfizh
Al-Qur’an dan urusan intern pesantren

3). K.H. Ali Maksum (menantu), sebagai penanggung jawab urusan pengajaran kitab-
kitab kuning dan pembenahan sistem pendidikannya.

Dari ketiga pemimpin tersebut, Kiai Ali merupakan orang yang memiliki kelebihan.
Disamping keahlian, kedalaman dan keluasan wawasan di bidang keilmuan, juga
dipandang lebih mumpuni, lebih dewasa, lebih berpengalaman dan lebih siap
memimpin pesantren.

Dengan bermodalkan pengalaman dan potensi yang dimiliki selama menjadi santri di
pesantren Tremas dan membenahi pesantren ayahnya di Lasem, serta tugas
berat ”amanah” yang dibebankan kepadanya tersebut, Kiai Ali mulai mencurahkan
segala tenaga dan pikirannya untuk mencari titik-titik lemah yang menjadi sumber
kemunduran beserta jalan keluarnya, kemudian menetapkan beberapa langkah
strategis, diantaranya:

1) Perlunya kaderisasi ulama / tenaga pengajar inti dari dalam pesantren.

2) Perlunya pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum pesantren.

Selama dua tahun pertama (antara tahun 1943 – 1944), aktifitas secara intensif
difokuskan pada usaha kaderisasi ulama, tenaga pengajar dan pengelola dari
lingkungan keluarga pesantren, dengan melibatkan seluruh putra dan menantu K.H.M.
Munawwir, serta tetangga. Sedangkan aktifitas kepesantrenan (pengajaran Al-Qur’an)
dan penerimaan santri dari luar untuk sementara dibekukan.

Peserta yang mengikuti pengkaderan terdiri dari : KHR Abdul Qodir Munawwir
(pengasuh), KH Zaini Munawwir, KH Zainal Abidin Munawwir, KH Ahmad
Munawwir, KH Dalhar Munawwir, KH A. Warson Munawwir, KH Nawawi Abdul
Aziz (menantu), KH Mufid Mas’ud (menantu), KH Habib Dimyati (Tremas), H.
Wardan Junaid (Kauman Yogyakarta), Abdul Hamid (tetangga, Krapyak), dan KH.
Zuhdi Dahlan (tetangga, Jogokaryan).

Murid-murid pertama ini tidak mengecewakan dan tidak satupun diantara mereka
yang “melorot” (kendur) semangatnya, padahal mereka harus mengikuti pengajian
berbagai macam kitab kuning dengan sistem halaqah/weton dan sorogan, sejak
sehabis sholat subuh sampai pukul 21.00 secara nonstop, kecuali sekedar waktu
untuk shalat dan makan, dan disiplin yang diterapkan betul-betul sangat ketat,
terutama yang diterapkan kepada peserta ahlul bait (keluarga pesantren).

Hasilnya, seluruh peserta kaderisasi memiliki kesiapan dalam segala hal untuk
bersama-sama mengelola, memajukan dan mengembangkan pesantren. Mereka
menjalankan tugas, wewenang, dan aktifitas sesuai dengan bidang keahliannya
masing-masing. Maka dalam jangka waktu yang relatif singkat, pesantren Al-
Munawwir selama dalam kepengasuhan Kiai Ali mengalami perkembangan pesat
setahap demi setahap. Hal ini ditandai dengan :

A) Berkembangnya sistem pendidikan yang tidak lagi dipusatkan pada pengajaran Al-
Qur’an, akan tetapi juga pada kajian kitab kuning, yang keduanya dapat berjalan
secara seimbang, sehingga menjadi aktifitas utama sekaligus menjadi ciri khas
pesantren.

B) Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal/klasikal dalam bentuk madrasah,


meliputi :

1) Madrasah Ibtidaiyah putra 4 tahun (1946);


2) Madrasah Tsanawiyah Putra 3 tahun (1947) dan SMP Eksakta Alam (1951-
1954);
3) Madrasah Banat (1951);
4) Madrasah Aliyah Salafiyah putra 3 tahun (1955);
5) Madrasatul Huffazh (1955);
6) TK (1957);
7) Madrasah Diniyah (1960);
8) Tsanawiyah 6 tahun (1962-1986);
9) MTs dan Aliyah 3 tahun (1987);

C) semakin bervariasi (santri takhassus, santri kalong, sekolah didalam dan diluar
pesantren) dan meningkatnya jumlah santri yang tertarik belajar di pesantren Krapyak;

D) semakin terkenalnya nama pesantren di tingkat Nasional dan dunia internasional,


terutama di negara-negara Timur Tengah, apalagi semenjak Kiai Ali menjadi Rois ’Am
(1981-1984) dan menjadi tuan rumah Muktamar NU ke-28 (1989), kepopuleran dan
peran pesantren Al-Munawwir diperhitungkan oleh berbagai pihak.

Disebabkan oleh perannya yang begitu besar sebagai motivator, dinamisator,


katalisator, inspirator (penggagas) kaderisasi ulama dalam kepemimpinan pesantren,
dan sebagai power bagi komunitas yang dipimpinnya, serta sebagai sumber
pengetahuan, maka dari sudut ini, Kiai Ali dapat dipandang sebagai sesepuh Krapyak,
sekaligus sebagai pembangun pesantren yang sebelumnya telah dirintis dan didirikan
oleh K.H.M. Munawwir.

5. PENGABDIANNYA DI JAM’IYYAH NU

Di sela-sela kesibukannya sebagai pengajar dan pengasuh pesantren Al-Munawwir


Krapyak, Kiai Ali sejak masa-masa awal sudah simpatik terhadap jam’iyyah NU.
Terutama sekitar tahun 1950-an ketika suhu politik memanas akibat semakin
nyaringnya suara kaum nahdhiyyin untuk keluar dari Masyumi, dan terealisir ketika
Muktamar di Palembang tahun 1952 yang memutuskan NU keluar dari Masyumi dan
mendirikan partai “NU” sendiri.

Untuk menghadapi Pemilu pertama tahun 1955, Kiai Ali mulai aktif berkampanye
untuk partai NU dengan cara tidak langsung turun ke lapangan sebagai jurkam,
melainkan lewat pendidikan kader kepada para santri Krapyak dan melalui
pembicaraan non formal dengan para tamu yang sowan ke rumahnya. Hasilnya,
Partai NU memperoleh suara terbanyak rangking ketiga setelah PNI dan PKI. Dari
Pemilu tersebut, Kiai Ali akhirnya terpilih menjadi anggota konstituante yang mewakili
NU Yogyakarta.
Pada tahun 1960-an, tatkala PKI tengah gencar memusuhi kaum muslimin dan
mengancam para kiai, Kiai Ali justru diminta menjadi Rois Syuriyah PWNU propinsi
D.I.Yogyakarta secara terus menerus sampai beliau dikukuhkan sebagai Rois ‘Am
PBNU menggantikan posisi KH Bisri Syansuri yang wafat, melalui Munas Alim
Ulama NU di Kaliurang Sleman Yogyakarta, 30 Agustus – 2 September 1981.

Kiai Ali sebenarnya kurang tertarik dengan dunia politik praktis dan menolak keras
ketika dicalonkan sebagai Rois ‘Am. Berulang kali Kiyai Ali mengatakan, “Demi Allah,
jangan dipilih”, mengingat dorongan yang sangat kuat dari banyak kiyai, terutama
pendapat KH Ahmad Shiddiq di forum Munas:

“Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cocok untuk menjadi Rois Am daripada
KH Ali Maksum”, dan ternyata kemudian disetujui oleh farum Munas secara aklamasi,
maka dengan rasa berat Kiai Ali mau menerimanya dengan syarat hanya satu kali
periode kepengurusan sampai diadakannya Muktamar ke-27 tahun 1984.

Sambil menangis, dan juga diikuti tangisan haru para kiai, Kiai Ali memberikan kata
sambutan dengan bahasa arab yang fasih, yang intinya menyatakan bahwa beliau
bukanlah orang yang terbaik, bila selama memimpin terlihat bengkok agar diluruskan
bahkan beliau siap dicampakkan atau dipecat.

Kiai Ali oleh banyak kalangan disebut sebagai “penyelamat NU”, karena :

1) Ketika muncul krisis kepemimpinan di NU dan kesulitan memilih orang yang tepat
untuk jabatan Rois ‘Am pengganti KH Bisri Syansuri yang wafat, Kiai Ali bersedia
dipilih sebagai Rois ‘Am pada 1981 melalui Munas Alim Ulama NU di Kaliurang
Yogyakarta, walaupun dengan sangat berat;

2) Ketika NU dilanda kemelut tahun 1983 dengan pengunduran diri DR Idham


Kholid sebagai Ketua Umum PBNU (yang belakangan lalu dicabutnya kembali),
akibat perseteruan antara kubu politik (kelompok “Cipete”, pimpinan DR Idham Kholid)
dengan kubu ulama/non politik (kelompok “Situbondo”, pimpinan KH As’ad Syamsul
Arifin), Kiai Ali tampil merangkap jabatan sebagai Rois ‘Am sekaligus Ketua Umum
PBNU untuk membenahi persiapan Muktamar Situbondo 1984, yang menghasilkan
keputusan strategis dan monumental, yaitu mengembalikan NU ke khittah 1926;
3) Ketika ada gejolak sebagian aktivis yang ingin, menggoyang Khittah NU 1926 dan
membelokkan NU ke partai politik, serta usaha mendongkel Gus Dur dari posisi Ketua
Umum PBNU di Munas Alim Ulama NU di Cilacap akhir 1987, maka dengan
kewibawaan dan kekarismatikannya Kiai Ali mampu menjadi penjaga gawang-nya
sehingga dapat meredam gejolak tersebut. Atas perannya ini Kia Ali secara berkelakar
berkomentar: “Wah, saya ini anggota Mustasyar bagian meden-medeni (menakut-
nakuti).”

Diantara jasa dan hasil capaian Kiai Ali selama memimpin NU adalah :

1) Mampu mengerem usaha menjerumuskan NU ke politik praktis yang lebih


dalam;
2) Lahirnya keputusan NU kembali ke Khittah 1926;
3) Menjaga jarak yang sama antara NU dengan partai-partai politik;
4) Mengangkat wibawa ulama/syuriyah; 5) mulai terjadinya regenerasi dalam NU
dengan mendorong dan memasukkan generasi muda NU kedalam struktur
kepengurusan;
5) Hilangnya perpecahan di tubuh NU, tidak ada lagi kubu Cipete dan Situbondo,
yang ada adalah kubu NU; Membuatkan bekal bagi pengurus dan warga NU
dalam meraih sukses organisasi.

Setelah Muktamar ke-27 di Situbondo, Kiyai Ali ditempatkan sebagai salah satu
anggota Mustasyar PBNU bersama-sama dengan KHR As’ad Syamsul Arifin, KH
DR. Idham Cholid, KH Mahrus Ali, dll.

6. SIFAT KEPRIBADIAN KH ALI MAKSUM

Banyak sifat-sifat kepribadian Kiai Ali yang dapat dijadikan sebagai suri teladan
terutama bagi para santri, dan sekaligus mempengaruhi tipologi kepemimpinannya di
PP Al-Munawwir, diantaranya adalah istiqomah mengajarkan kitab kuning. Sekalipun
kesibukan beliau bertumpuk-tumpuk, seperti sebagai seorang muballigh, dosen di
IAIN dan pengurus NU (Rois ‘Am) yang sering keluar kota, beliau jarang sekali
meninggalkan pengajian dan sorogan yang menjadi rutinitasnya sehari-hari, kecuali
dalam kondisi yang sangat mendesak, terutama di akhir hayatnya yang sering sakit-
sakitan.
Kiai Ali berpola hidup sederhana, zuhud, tidak terkesan hidup mewah, dan tampil apa
adanya. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi pakaiannya, tempat tinggal, kendaraan dan
makanannya yang sangat sederhana, tidak terkesan mewah, bahkan bisa dikatakan
tidak layak untuk ukuran dan statusnya sebagai seorang Kiai besar.

Keseriusan usahanya dalam pengembangan pesantren seperti pembiayaan


pembelian tanah untuk perluasan lokasi pesantren, pengadaan bangunan, fasilitas
pesantren dan kegiatan-kegiatan keagamaan (konsumsi majlis taklim, dll), baik
dengan dana pribadi maupun dana sumbangan dari berbagai pihak, semua itu
menunjukkan sikap kezuhudannya.

Bahkan, jauh sebelum wafatnya Kiai Ali sudah mempersiapkan untuk membagi-
bagikan seluruh harta kekayaannya tanpa diketahui oleh siapapun dengan cara
membuat catatan beberapa lembar kertas yang kemudian disimpan di lemari diantara
tumpukan pakaiannya. Isinya :

1) jumlah total berbagai jenis harta benda yang dimiliki (tanah, rumah, pakaian,
kendaraan, uang, dll) beserta tempat penyimpanannya, 2/3 harta benda tak bergerak
dihibahkan untuk pesantren dan sisanya dihibahkan untuk anak-anaknya; 2) daftar
nama orang satu persatu dari kalangan masyarakat tetangga pesantren, para sahabat
dan kenalan, sanak kerabat dan putra-putrinya, lengkap dengan angka nominal dan
jenis harta yang akan diterimanya, sehingga pada saat wafat, beliau sedikit pun tidak
meninggalkan harta warisan.

Sungguh, tindakannya ini sesuai sekali dengan isi kandungan syi’iran sholawatan
berbahasa Jawa yang beliau gubah dan sering beliau lantunkan di tengah atau akhir
memberikan ceramah pengajian, antara sebagai berikut :

Kulo sowan nang Pangeran // Kulo miji tanpo rencang // Tanpo sanak tanpo kadang
// Bondho kulo ketilaran //.

Yen manungso sampun pejah // Uwal saking griyo sawah // Najan nangis anak simah
// Nanging kempal boten betah //.
Senajan berbondho-bondho // Morine mung sarung ombo // Anak bojo moro tuwo //
Yen wis nguruk banjur lungo //.

Yen urip tan kebeneran // Bondho kang sa’ pirang-pirang // Ditinggal dienggo rebutan
// Anak podho keleleran //.

Yen sowan kang Moho Agung // Ojo susah ojo bingung // Janji ridhone Pangeran //
Udinen nganggo amalan.[12]

Pembawaan Kiai Ali yang tenang, santun dan mengesankan, wataknya yang arif dan
bijaksana, serta sifatnya yang lemah lembut, grapyak (mudah menyapa, mudah
bergaul) dengan siapa saja yang ditemui, tutur katanya yang manis, serta raut
wajahnya yang selalu ceria dan semringah dengan hiasan senyuman yang
khas, menyebabkan beliau disukai oleh siapa saja. Demikian pula sikap beliau yang
tawadhu’, tidak suka dihormati secara berlebihan apalagi dikultuskan, suka
memaafkan kesalahan orang,, serta jauh dari sifat pendendam dan dengki,
menyebabkan beliau selalu dihormati dan disegani.

Pergaulan KH Ali dengan Para Santri. Kiai Ali sangat dekat hubungannya dengan para
santri, dan begitu pula sebaliknya. Kiai Ali hampir hapal semua nama santri, tempat
tinggalnya di lokasi pesantren, nama orang tuanya dan asal usul daerahnya. Di
hadapan para santri, Kiai Ali bukanlah sosok yang menakutkan. Pada umumnya, para
santri merasa takut dan lari atau bersembunyi ketika bertemu dengan kiai, akan tetapi
tidak demikian terhadap Kiai Ali.

Hubungan Kiai Ali dengan santri seperti layaknya hubungan bapak dengan anak.
Kedekatan hubungan ini ditunjukkan oleh kesukaannya bercanda dan bergurau
dengan para santrinya, baik secara individu maupun secara jamaah di pengajian.
Kalaupun ada santri yang lari atau takut ketika berhadapan Kiai Ali, mereka justru
akan dipanggil, baik secara langsung maupun lewat microphone untuk sekedar diajak
ngobrol sambil mendengarkan lagu-lagu kesayangannya atau menonton TV, diajak
jalan-jalan keliling pondok sambil mengambili sampah-sampah kering (kertas, plastik
dan dedaunan), disuruh memijatnya, disuruh menyapu atau membersihkan kamar
pribadinya atau halaman rumahnya, dan lain-lain, sehingga mereka tidak lagi merasa
takut dan terasa begitu dekat dengan Kiai Ali.
Kiai Ali sangat rajin mendatangi kamar-kamar santri dan membangunkan mereka
untuk diajak shalat subuh berjamaah. Terhadap santri yang dipandang malas dan
bandel berjamaah tarawih setiap datangnya bulan Ramadhan, Kiai Ali mengadakan
“Tarawih Panggilan” di kediamannya dan diimami sendiri. Ini bukan berarti memberi
kesempatan atau peluang untuk bandel, akan tetapi mendidik mereka bahwa dengan
sering dipanggilnya mereka, maka lama kelamaan mereka akan sadar dan malu
dengan sendirinya.

Demikian pula kedekatan Kiai Ali terhadap para alumninya, yang ditunjukkan oleh
seringnya beliau menitipkan salam kepada alumni lewat para tamu, wali santri, atau
santri yang kebetulan kenal dan dekat tempat tinggalnya dengan alumni tersebut.
Bahkan Kiai Ali sering mampir ke rumah alumni di tengah perjalanannya ke luar kota.
Terutama setiap ada event Haul KH Munawwir, para alumni selalu dikirimi undangan
untuk menghadiri haul tersebut. Dari sini dapat dikatakan bahwa kedekatan
hubungan santri dengan Kiai tetap berlanjut sampai menjadi alumni.

Dalam soal ketaatan “mutlak” santri kepada kiyai hingga sampai pada tingkat
pengkultusan, adalah tidak sejalan dengan pandangan kiai Ali. Ketaatan murid
terhadap guru sebatas pada hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at dan dilakukan
secara wajar.

Kiai Ali sangat peduli terhadap kebersihan lingkungan pondok. Beliau sering berjalan-
jalan sambil mengelilingi pondok. Begitu melihat lingkungan yang kotor dengan
berbagai jenis sampah, langsung saja memanggil santri yang ada di situ, terutama
para santri yang tidak ikut sorogan untuk diperintah mengambili sampah-sampah
tersebut dengan tangannya, karena beliau memang sangat “titen” (ingat, dan teliti)
pada santri yang ikut dan yang tidak ikut sorogan. Bahkan terkadang beliau sendiri
yang mengambilinya. Selain itu, beliau juga sangat peduli dengan kondisi suatu
bangunan yang rusak, kumuh, atau yang tidak layak huni, langsung saja beliau
mengerahkan, memimpin dan mengawasi para santri untuk kerja bakti.

Ulama Intelek dan Tokoh Modernis NU. Nama KH Ali Maksum di kalangan masyarakat
tidak asing lagi, karena perannya yang begitu besar di berbagai sektor, sebagai
pengasuh pesantren, sebagai ulama intelek, sebagai ilmuwan, sebagai tokoh
organisasi Islam, modernis NU, dan sebagai pemimpin lainnya.
Kiai Ali merupakan tipe seorang Kiai yang memiliki semangat autodidak yang tinggi.
Bagi Kiai Ali, pameo “Belajar sendiri tanpa guru (misalnya mengkaji sendiri kitab yang
belum pernah dingaji-kan), maka gurunya adalah syetan” dipandangnya salah kaprah
dan tidak berlaku lagi. Pameo itu sebenarnya hanya berlaku khusus pada murid
thariqat yang sangat membutuhkan bimbingan spiritual seorang mursyid dalam
mendalami ilmu-ilmu haqiqat.

Sebab, jika ilmu hakekat didalami sendiri tanpa bimbingan guru terkadang justru dapat
menyesatkannya. Berbeda kondisinya dengan para santri yang mendalami ilmu-ilmu
syari’at, bahwa kitab-kitab yang dikaji tersebut justru dipandang sebagai guru yang
terbaik. tidak pernah berbohong, paling sabar dan tidak pernah marah. Artinya, kitab-
kitab tersebut berbicara dengan bahasa tulis apa adanya, terbuka untuk dikoreksi dan
dikritik. Berbeda dengan guru manusia yang suka menutupi kekurangannya dan
menonjolkan kelebihannya.

Pandangan inilah yang melandasi Kiai Ali memiliki semangat otodidak tinggi,
berwawasan luas dan dalam, serta berpandangan moderat. Bahkan pandangannya
ini sering kali dilontarkan kepada para santri di tengah memberikan pengajian,
sehingga mampu mendorong para santri untuk memiliki semangat otodidak yang
tinggi seperti yang dimiliki oleh Kiai Ali.

Kiai-Kiai yang seangkatan dengan beliau atau yang lebih sepuh lagi, dan juga
kalangan intelektual muda mengakui keluasan ilmunya. Beliau adalah ulama ahli tafsir,
hadis, fiqih, bahasa Arab beserta ilmu alatnya, dan berbagai disiplin ilmu lainnya, serta
menguasai berbagai macam kitab, baik yang menjadi rujukan ulama tradisional
maupun ulama modernis. Bahkan penguasaannya terhadap kitab-kitab rujukan ulama
modernis tersebut (seperti karya Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Sayyid Quthub, Hassan
Al-Bana, Muhammad Abduh dan lain-lain) justru melebihi dari para ulama kelompok
modernis itu sendiri. Julukan “Munjid Berjalan” oleh masyarakat untuk Kiai Ali Maksum
menujukkan keluasan bidang keilmuan yang dikuasainya.

Di kalangan inetelektual muslim dan dunia kampus, Kiai Ali adalah seorang dosen dan
guru besar ilmu tafsir di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang benar-benar ahli di
bidangnya dan berpandangan luas. Karena keahliannya itu pada tahun 1962, Kiai Ali
bersama-sama dengan Prof. KH Anwar Musyaddad, Prof. DR. Muhtar Yahya, Prof.
Hasbi Assiddiqi dan lain-lain ditunjuk oleh Menteri Agama RI sebagai anggota tim
Lembaga Penyelenggara Penterjemahan Kitab Suci Al-Qur’an yang diketuai oleh Prof.
R.H.A. Sunaryo, SH (Rektor IAIN Sunan Kalijaga ketika itu).

Meskipun dekat dengan kalangan akademisi dan intelektual, KH Ali tetap istiqomah
mengajarkan kitab kuning kepada para santri Krapyak, dan hampir tidak ada waktu
jeda untuk memberikan pengajian umum/ceramah agama kepada masyarakat, baik
di pedesaan, didalam kota maupun luar kota Yogyakarta.

Kiai Ali dikenal luas sebagai tokoh modernis NU, yang menjadi motor penggerak
terjadinya perubahan dan pembaharuan di tubuh NU melalui sepak terjang generasi
muda NU pasca Muktamar Situbondo. Kiai Ali memandang perlu agar kaum muda
terutama yang memiliki pemikiran progresif dan semangat pembaharuan diberi
kesempatan untuk memimpin NU ke depan.

Menurut Martin van Bruinessen, sebagaimana yang dikutip oleh Zainal Arifin Thoha
dalam bukunya Runtuhnya Singgasana Kiai, bahwa salah satu alasan yang
mendorong Kiai Ali menerima jabatan Rois ‘Am sesungguhnya juga didorong oleh
rasa ingin melindungi (gagasan-gagasan) angkatan muda NU, seperti KH Ahmad
Shiddiq, KH Sahal Mahfudz, KH Abdurrahman Wachid, KH A. Musthofa Bisri, DR.
Fahmi Saifuddin, dr. Muhammad Tohir, KH Muchid Muzadi, M. Zamroni, Mahbub
Djunaidi, Masdar Farid Mas’udi dan lainnya yang kelak dikenal sebagai para
penggagas Khittah.

Pembelaan terhadap gagasan-gagasan progresif angkatan muda NU tidak hanya


sampai di forum Muktamar ke-27 Situbondo yang mengantarkan KH Ahmad Shiddiq
dan KH Abdurrahman Wachid sebagai Rois ‘Am dan Ketua Umum PBNU, juga pada
Muktamar ke-28 Krapyak Yogyakarta (1989) yang juga mengantarkan keduanya
untuk dikokohkan kembali sebagai Rois ‘Am dan Ketua Umum PBNU.

Sejak tahun 1943 Kiai Ali pindah ke Krapyak. Yang pertama kali dirasakan Kiai Ali
pada awal kepindahannya ini adalah kuatnya getaran gerakan Muhammadiyah,
maklum kota Yogyakarta adalah kota kelahirannya. Kiai Ali yang dikalangan para kiai
NU dikenal sebagai salah satu tokoh reformis atau modernis NU ini tidak menunjukkan
sikap yang konfrontatif, akan tetapi dengan sikap penuh toleransi, kemudian gerak
langkah Muhammadiyah tersebut terus diikuti perkembangannya dengan seksama.

Hal ini yang mempengaruhi kebijakannya dalam memimpin pesantren Al-Munawwir,


yaitu dengan membuat seimbang antara pengajian Al-Qur’an dan pengajian kitab-
kitab kuning agar santri mengetahui ajaran-ajaran Islam ‘ala Ahlussunnah wal Jamaah
beserta dalil-dalinya secara proporsional untuk dijadikan sebagai benteng dari
pengaruh faham wahhabi yang disuarakan oleh gerakan Muhammadiyah tersebut.

Persinggungannya dengan kaum modernis nampak terlihat antara lain dari cara Kiai
Ali mengupas berbagai masalah keagamaan dalam setiap pengajiannya, yang sering
diperbandingkan dengan pandangan ulama pembaharu. Jiwa pembaharuan,
keluasan ilmunya dan pandangannya yang moderat tidak lepas dari pengalaman
masa lalunya di pesantren Tremas yang sangat gemar mengkaji berbagai jenis kitab
karangan para ulama salaf dan ulama’ pembaharu, ide-idenya yang segar demi
kemajuan pesantren mampu mendorong terjadinya pembaharuan sistem pendidikan
di Tremas.

Tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali mengatakan, bahwa Kiai Ali Maksum-
lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas, dari hanya
menggunakan sistem pesantren ke sistem madrasi.

Bahkan dalam banyak hal pandangan Kiai Ali sejalan dengan pandangan kaum
pembaharu, diantaranya seperti masalah mencari ilmu yang harus diperoleh melalui
belajar (Innamal ‘ilmu bit-ta’allum) dan didukung dengan makanan yang bergizi untuk
meningkatkan kecerdasan, bukan dengan mengandalkan semangat pencarian
melalui laku spiritual (laduni), wirid, perilaku ngrowot dan lelakon nyeleneh lainnya.
Oleh karena itu Kiai Ali hampir tidak pernah mengajak santrinya hidup prihatin atau
tirakat dengan menjauhi makanan tidak bergizi, selain ibadah puasa sunnah yang
disyari’atkan.

Latar belakang kehidupan keilmuan Kiai Ali yang dinamis, berwawasan yang sangat
luas, dalam dan moderat, dengan dukungan referensi yang multidisipliner, serta
memiliki semangat otodidak yang tinggi tersebut, sedikit banyak tentu mempengaruhi
pendidikan dan pengajaran yang diberikannya kepada para santri.
Tidak mengherankan jika para alumni yang pernah mendapatkan didikan dari Kiai Ali
tidak sedikit yang menjadi tokoh masyarakat, intelektual, dan kiai-kiai pengasuh atau
pendiri pesantren yang berwawasan luas, mendalam dan moderat disebabkan
referensinya yang sangat luas, serta memiliki semangat otodidak yang tinggi.

Para santri alumni didikan Kiyai Ali antara lain: Prof.DR.KH A Mukti Ali (Guru Besar
Fak Usuluddin IAIN Yogya, mantan Menteri Agama RI), KH A. Mustofa Bisri
(Rembang), KHM Cholil Bisri (Rembang), KH Maksum Ahmad (tanggulangin
Sidoarjo : Pengasuh pesantren dan muballigh), KH A. Masduqi Mahfudh (Malang,
mantan Rois Syuriyah PWNU Jatim) KH Abdul Aziz Masyhuri (Jombang:
Pengasuh pesantren), KH A. Asrori Usman Al-Ishaqi (PP Al-Fithroh Sby, Mursyid
Thoriqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah), KH Abdurrahman Ar-Roisi (Jakarta:
penulis dan muballigh), KH Masdar Farid Mas’udi, Drs. H. Slamet Efendi
Yusuf, Prof.DR. KH Said Agiel Siroj, MA, KH Drs. Muhd. Hasbullah SH, KH Drs.
Masyhuri AU, Prof. DR. Yudian Wahyudi, KH Zainal Abdin Muanwwir (Pengasuh
pesantren), KH Ahmad Warson Munawwir (Pengasuh pesantren, penulis Kamus
Al-Munawwir), KH Drs, Asyhari Abta, M.Pd.I, KH Munawwir AF, KH Drs. Henry
Sutopo, KH Drs, Asyahri Marzuki, Lc., KH DR. Malik Madani, MA., Drs. H. As'ad
Said Ali (mantan Waka BIN, Waketum PBNU), dan lain-lain.

6. WAFATNYA KH ALI MAKSUM

Ketika dilangsungkan Muktamar NU ke-28 di pesantren Al-Munawwir Krapyak,


sebenarnya beliau sudah sakit sejak beberapa saat sebelumnya. Meskipun demikian,
sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab atas sukses dan tidaknya Muktamar,
beliau masih sempat mengkomando panitia pelaksana yang sebagian besar adalah
santrinya lewat mick speaker dari kamarnya.

Ketika Presiden Soeharto dan beberapa menteri serta para kiai peserta muktamar
menjenguknya, Kiai Ali juga masih sempat menerima mereka dengan berbaring di
kamarnya.

Wal hasil, Muktamar dapat berjalan dengan sukses, dengan mengantarkan kembali
KH Ahmad Shiddiq sebagai Rois ‘Am dan KH Abdurahman Wahid sebagai Ketua
Umum PBNU untuk periode yang kedua kalinya. Seminggu setelah Muktamar, KH Ali
Maksum jatuh sakit dan dirawat di RS DR Sardjito selama seminggu, kemudian wafat
ketika adzan Maghrib berkumandang pada pukul 17,55 WIB di hari Kamis malam
Jum’at, tanggal 7 Desember / 15 Jumadil Awwal 1989 dalam usia 74 tahun.

Jenazahnya dilepas dari Masjid Pesantren Krapyak setelah shalat Jum’at dan
dikebumikan berdampingan dengan makam KHM Munawwir di dusun Senggotan
(Dongkelan) Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta.
Makam KH Ali Maksum di Dongkelan Yogya, tanpa batu nisan

Beliau wafat dengan meninggalkan seorang isteri, Nyai Hj. Rr. Hasyimah Munawwir
dan 8 orang putra-putri :

1) Adib (wft masih kecil),


2) KH Atabik Ali,
3) H. Jirjis Ali,
4) Nyai Hj. Siti Hanifah Ali,
5) Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali,
6) Nafi’ah (wafat masih kecil),
7) M. Rifqi Ali (Gus Kelik)

Sumber : https://www.laduni.id/post/read/55682/biografi-kh-ali-maksum

Anda mungkin juga menyukai