Anda di halaman 1dari 2

Jakarta - 7-Eleven atau Sevel menjadi topik hangat pasca keputusan pihak pengelola

menutup seluruh gerai 30 Juni 2017. Berbagai pandangan muncul mengulas kejatuhan
Sevel.

Ada yang mengatakan, Sevel tutup karena tidak punya konsep bisnis yang jelas. Ada
pula yang berpendapat, kombinasi antara konsep bisnis tak jelas, tak ada keunikan
produk, dan kondisi keuangan memburuk, memicu Sevel bangkrut.

Bukan cuma itu, ada juga yang menyebut intervensi pemerintah membuat bisnis Sevel
meredup. Lantas, mengapa bisnis Sevel meredup hingga akhirnya tutup?

Pakar Marketing, Rhenald Kasali, mengatakan persoalan terjadi pasca pemerintah


pada 2012 lalu meminta Sevel menentukan model bisnis minimarket atau
restoran/kafe. Saat itu, Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri menyurati Sevel dan toko ritel lainnya, Lawson.

"2012 ke sini, bisnis modelnya sudah tak sesuai dengan bisnis model yang awal.
Setelah itu menjadi kacau, cost menjadi mahal. Setelah itu ada peraturan pemerintah
mengenai alkohol, Akhirnya makin terpuruk kan," kata ujar Rhenald
kepada detikFinance, Selasa (27/6/2017).

Menurut Rhenald, Sevel awalnya menerapkan model bisnis tempat anak muda
nongkrong. Namun, setelah 2012, konsep itu tak bisa diterapkan.

Kenapa konsep tersebut tak bisa lagi dijalankan?

"Pertama, karena aturannya melarang mereka. Kedua, mereka dilarang menjual bir.
Bir itu kan ada turunannya, makanan yang lain ikut semua, seperti snack. Setelah itu,
mulailah kekacauan muncul," tutur Rhenald.

Rhenald menambahkan, sikap regulator seperti yang dialami Sevel masih dijumpai di
industri lainnya. Oleh sebab itu, ia 'menyentil' regulator mengubah sikap dalam
membuat kebijakan bagi pelaku usaha.

"Fokus saya ingin 'menyentil' regulator agar rezim perizinan itu menjadi lebih soft,
friendly bagi dunia usaha," tutur Rhenald.

Bisnis model

Pandangan berbeda datang dari Budi Satria Isman. Pengusaha dan pelatih eksekutif
ini menilai regulator bukan faktor utama pemicu berakhirnya bisnis Sevel di
Indonesia.

Budi merangkum analisis kejatuhan Sevel melalui Smart Business Map yang terdiri 3
komponen yaitu, playing field, market landscape dan operational profitability.

Pertama, lewat parameter playing field, Budi menilai Sevel tidak tegas menentukan
model bisnis, Restoran/Kafe atau Convenience Store. Sevel, menurut Budi,
menerapkan model bisnis Food Store Destination sejak buka gerai pertama kali di
Jakarta pada 2009. 

"Bisnis model menurut saya kurang clear maunya bagaimana. Sevel di dunia
sebetulnya convenience store, di Indonesia dicoba melakukan inovasi yang
menyebabkan biaya per outlet mahal," tutur Budi kepada detikFinance.

Kedua, market landscape. Sevel tidak memiliki sesuatu yang unik sebagai pembeda
dengan toko ritel serupa. Menurut Budi, Sevel menawarkan konsep convenience store
yang memiliki tempat dan WiFi gratis dengan makanan siap saji yang terbatas
menunya. Konsep seperti ini mudah sekali ditiru kompetitor.

Ketiga, operational profitability. Budi menjelaskan, pertumbuhan bisnis Sevel lebih


banyak mengandalkan ekspansi gerai. Cara ini membutuhkan biaya yang cukup besar
sehingga mereka mencari dana lewat right issue dan menambah modal lewat
pinjaman bank.

Di sisi lain, Sevel juga menambah investasi untuk Central Kitchen dan Fresh Food.
Budi mengatakan, Banyak investasi yang mereka lakukan sehingga cash flow menjadi
tergerus. Sementara, gerai-gerai yang ekspansif dibuka, tak semuanya
menguntungkan. 

Sehingga, penjualan per gerai Sevel mulai turun sejak 2014, dan pendapatan per gerai
juga menurun.

"Banyak sekali masalah, itu adalah masalah internal, bukan cuma faktor eksternal,"
ucap Budi.

Yang jelas, penutupan Sevel pada 30 Juni 2017 nanti tinggal menghitung hari.
Musibah yang menimpa Sevel diharapkan tak menular ke toko ritel lainnya di
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai