Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seven Eleven adalah toko kelontong (convenience store) yang berdiri tahun
1927 tepatnya 11 Juli 1927 di Oakliff, Texas, Amerika Serikat. Nama “7-Eleven”
mulai digunakan pada tahun 1946. Sebelum toko 24 jam pertama dibuka di Austin,
Texas pada tahun 1962, 7-Eleven buka dari jam 7 pagi hingga 11 malam, dan
karenanya bernama "7-Eleven" (7-Sebelas).
Tahun 1991, Southland Corporation yang merupakan pemilik 7-Eleven,
sebagian besar sahamnya dijual kepada perusahaan jaringan supermarket Jepang, Ito-
Yokado. Southland Corporation lalu diubah namanya menjadi 7-Eleven, Inc pada
tahun 1999. Tahun 2005, seluruh saham 7-Eleven, Inc diambil alih Seven & I
Holdings Co. sehingga perusahaan ini dimiliki sepenuhnya oleh pihak Jepang.
Pada tahun 2004, lebih dari 26.000 gerai 7-Eleven tersebar di 18 negara; antara
pasar terbesarnya adalah Amerika Serikat dan Jepang. Setiap gerai 7-Eleven menjual
berbagai jenis produk, umumnya makanan, minuman, dan majalah. Di berbagai
negara, tersedia pula layanan seperti pembayaran tagihan serta penjualan makanan
khas daerah. Produk khas 7-Eleven adalah Slurpee, sejenis minuman es dan Big Gulp,
minuman soft drink berukuran besar.
Di Indonesia, 7-Eleven dikelola oleh PT Modern Putra Indonesia, anak
perusahaan PT Modern International, yang merupakan distributor Fujifilm di
Indonesia. Hingga tahun 2017, 7-Eleven pernah membuka cabang-cabangnya
sebanyak 30 gerai di Jakarta saja.

B. Identifikasi Masalah
1. Mengapa 7-Eleven ditutup di Indonesia ?
2. Bagaimana pendapat ahli mengenai Seven Eleven di Indonesia ?
3. Bagaimana manajemen risiko dari Seven Eleven ?
4. Metode apa yang digunakan untuk identifikasi risiko ?
BAB II

ANALISIS

A. Mengapa Seven Eleven ditutup di Indonesia ?


Seven Eleven (7-Eleven atau 7/11) di Indonesia berdasarkan sumber yang saya
dapat, bahwa ada beberapa alasan yang menyebabkan bisnis kelontong yang berada di
bawah manajemen PT. Modern Sevel Indonesia, anak perusahaan PT. Modern
Internasional Tbl, ini ditutup.
Alasan pertama mengapa Sevel Indonesia ditutup adalah karena tidak
pahamnya pemerintah dalam pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan
dengan bisnis model yang diterapkan oleh Sevel. Padahal bisnis ini pernah menjadi
pusat perhatian dan pemberitaan halaman depan media di Amerika Serikat. Bahkan
sampai saat ini pun Sevel di negara-negara lain seperti Malaysia, Jepang dan Amerika
masih ramai pengunjung dan pelanggan.
Selain itu adanya perbedaan konsep antara Sevel dan Indonesia dengan negara
seperti Malaysia. Di Malaysia, Sevel tidak menyediakan bangku dan meja untuk
bersantai, jadi tidak memerlukan waktu yang lama untuk berada di Sevel Malaysia
sehingga tidak ada terjadinya penumpukan kendaraan di sekitar Sevel. Tidak seperti
di Jakarta, dan kota lainnya karena masalah selanjutnya juga banyaknya organisasi
masyarakat (ormas) yang menekan manajemen Sevel untuk memberikan jatah
parkiran. Selain itu dengan adanya tempat santai atau nongkrong Sevel di Indonesia
menyebabkan banyak konsumen (mayoritas adalah anak remaja) yang lebih lama
menghabiskan waktu disana namun tidak banyak produk yang dibeli. Memang dalam
pengendalian manajemen yaitu pengendalian terhadap karakter-karakter manusianya
adalah halangan yang paling berat.
Penyebab selanjutnya adalah banyaknya pesaing seperti Lawson, Indomaret
Point, dsb yang melihat perkembangan Sevel pada saat itu mengalami kemajuan.
Dengan konsep yang ditawarkan oleh Sevel di Indonesia dapat menarik banyak
pangsa pasar atau konsumen. Sehingga dengan lakunya konsep tersebut pesaing mulai
berdatangan dengan konsep yang hampir sama. Efeknya adalah semakin banyak
pesaing, keunikan konsep itu pun berkurang dan akan berpengaruh pada kepuasan
pelanggan.
Masalah yang dimiliki Sevel sehingga memutuskan untuk menutup adalah
dengan pemerintah Indonesia sendiri. Salah satunya terkait izin usaha, apakah sebagai
minimarket atau restoran. Pemerintah Indonesia terus mengawasi toko kelontong ini
agar tidak berubah menjadi minimarket, karena menurut undang-undang, kepemilikan
waralaba minimarket harus dari pihak lokal. Seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia
ditutup pada tanggal 30 Juni 2017 akibat batalnya pembelian perusahaan (akuisisi)
oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia.
B. Pendapat Ahli
Dalam analisis yang biasa saya lakukan, alat sederhana yang selalu saya pakai
adalah "Smart Business Map" dengan 3 komponen utama yaitu Playing field, Market
Landscape dan Operational Profitability. Dari ke 3 komponen itu ada 12 pertanyaan
inti yang saya coba jawab dan melihat kondisi kesehatan sebuah business seperti
Sevel ini.

PLAYING FIELD

Melihat kondisi playing field Sevel Indonesia ini ada beberapa masalah yang saya
lihat:

1. Industri retail yang mereka pilih dengan Category yang "Banci" mungkin menjadi
masalah awal. Termasuk tentunya disini adalah masalah DNA business yang
mereka pilih. Restoran/Cafe atau Convenience store? Jarang saya lihat business
yang "banci" bisa sukses, karena pilihan category business dan DNA kita akan
menentukan juga Persoalan (problem) konsumen yang ingin kita selesaikan,
business model, Target Market, Value yang di ciptakan, Sales starategy sampai ke
Operational model.

"Positioning dari bisnis ini yang diusung sejak awalnya buka gerai pertama di
Bulungan pada akhir tahun 2009, yaitu untuk menjadi “Food Store Destination”,
konsep 7-Eleven di Jakarta memang sengaja difokuskan untuk penyediaan
makanan dan minuman segar dengan kualitas yang baik, aman dan higienis, cepat,
nyaman dan praktis serta dengan harga yang terjangkau. Sekitar 50% area gerai
memang digunakan untuk penyediaan berbagai macam program dan varian
makanan dan minuman segar. "

2. Pemilihan Category yang menurut mereka sesuatu yang baru di tahun 2009
menyebabkan kurang tegasnya Target mereka. Karena business model mereka
yang cukup mahal akan sulit bisa profitable kalau pada kenyataannya lebih
banyak kalangan anak-anak muda yang datang untuk nogkrong atau pinjam
tempat kumpul-kumpul dengan belanja yang sedikit.
3. Dengan potensi pasar retail yang masih cukup besar di Indonesia harusnya bukan
menjadi persoalan untuk bisa berkembang. Namun dengan model business yang
mereka ciptakan membuat Regulator menjadi kesulitan untuk menetapkan izin-
izin mereka. Namun sebagai perusahaan yang profesional masalah "Core
environment" yang bisa mempengaruhi kelangsungan business mereka harusnya
sudah di antisipasi. Pemerintah adalah salah satu stake holder (Core environment)
yang mereka harus kelola. Kalaupun ada kebijakan pemerintah yang negatif
terhadap business mereka seharusnya mereka bergerak menyesuaikan atau kalau
bisa melakukan lobby agar pihak pemerintah bisa memahami inovasi Sevel ini.

MARKET LANDSCAPE

Melihat Market Landscape mereka dari luar maka ada beberapa point yang
menurut saya masih belum jelas:

1. Apa yang membedakan mereka dengan pesaing mereka? istilah simplenya


Unique Selling Proposition (USP) mereka apa? Value apa yang mereka berikan
kepada pelanggan mereka? Saya adalah pelanggan Sevel dari awal mereka buka
gerai pertama di kawasan Blok M Jakarta. Yang saya rasakan perbedaanya
hanyalah sebuah convenience store yang punya tempat duduk dan Wifi gratis
dengan makanan siap saji yang terbatas menunya. Perbedaan yang mudah sekali
di tiru oleh pesaing mereka, terutama Indomaret dan Alfamart yang sudah punya
fondasi dan basis yang lebih kuat dan efisiensi operasional.
2. Basis dari sales dan distribusi mereka adalah gerai retail yang di buka di tempat
yang strategis dan premium dan tentunya ini akan membawa dampak juga
terhadap biaya yang mereka harus keluarkan. Walaupun mungkin banyak sekali
gerai mereka mengambil alih tempat dan lokasi bekas usaha mereka sebelumnya
(Modern Film/fuji) namun tetap akan ada biaya.
3. Sebagai sebuah "Brand" yang sudah terkenal di dunia dan indentik dengan
"Convenience Store" maka agak sulit mereka akan lepas dari image tersebut dan
mencoba menciptakan sebuah Category baru.
OPERATIONAL PROFITABILITY

Masalah Operational Profitability ini menurut saya adalah masalah mereka


yang paling besar. Bukan masalah regulasi.

1. Melihat data keuangan mereka sejak tahun 2012 -2016 Sales Revenue mereka
memang meningkat namun pertumbuhan revenue mereka (revenue generation)
lebih disebabkan oleh pertumbuhan Horizontal gerai mereka sehingga sampai
tahun 2014 mereka punya 190 Gerai dan baru tahun 2015 mereka tutup 20 gerai
yang tidak produktif, namun membuka 18 gerai yang baru. Penurunan penjualan
tahun 2015 dimana aturan baru pemerintah yang tidak memperbolehkan mini
market menjual produk beralkohol rendah tidak terlihat banyak pengaruhnya.

Outlet Sales Revenue          Sales/per outlet     Pertumbuhan

2014    190   971,771 M                   5.1 M

2015       188              886,843 M                   4.7 M                      -8.7% dari thn 2014

2016       161           675,275 M         4.2 M - 23.8% dari thn 2015

Tahun 2015 memang Sales revenue mereka mulai turun baik secara total
maupun per outlet mereka. Kalau kita lakukan dengan perbandingan usaha retail
lainnya seperti Alfamart maka mereka masih mencatat pertumbuhan positif. Begitu
juga data APRINDO yang mengatakan tahun 2015-2016 masih adanya pertumbuhan
retail tersebut.

Dengan sales Revenue yang hanya rata-rata sekitar 4-5 M per tahun dengan
gross margin yang kecil, maka akan sangat sulit mereka akan bisa bertahan. Dalam
laporan mereka ke pemegang saham, mereka memang sudah mulai mencari "revenue
stream" yang lain sperti menjual pulsa, pembayaran listrik dan sebagainya. Namun ini
belum bisa menutup kekurangan dari pemasukan utama mereka makanan dan
minuman.

2. Dari sisi biaya, saya lihat dalam laporan keungan mereka memang menjadi PR
terbesar mereka. Operational cost mereka yang sangat tinggi, beban bunga jangka
pendek dan panjang yang besar serta "Cash Flow" yang sudah mulai negatif sejak
2 tahun yang lalu menyulitkan operasional mereka.
Mengutip penjelasan di Laporan Keuangan mereka tahun 2016:

"Penjualan bersih pada 2016 turun sebesar Rp 337,3 Milliar atau sebesar -27,45%
menjadi Rp 891,4 miliar dibandingkan 2015 sebesar Rp1.228,7  miliar. Penurunan
 pendapatan usaha ini terutama disebabkan oleh melambatnya daya beli dan konsumsi
konsumen , kompetisi pasar yang tinggi serta  hilangnya pendapatan dari penutupan
25 gerai yang tidak memberikan performa yang baik serta ketatnya arus kas Perseroan
sehingga keberadaan persediaan di gerai- gerai terbatas. Untuk pendapatan
komprehensif 2016, terjadi penurunan sebesar Rp 583,9 miliar atau turun sebesar –
1066,2% jika dibanding dengan tahun sebelumnya, sehingga Perseroan mencatatkan
kerugian sebesar Rp 638,7 Milliar. Faktor –faktor penyebab kerugian   adalah karena
penurunan pendapatan, penurunan margin gross profit untuk menjaga daya saing
pasar ,  kenaikan biaya operasi akibat biaya penutupan gerai 7-Eleven yang  serta
biaya-biaya perampingan operasi bisnis seperti biaya pesangon bekas karyawan. "

3. Masalah lain yang mungkin bisa terjadi menurut saya adalah besarnya investasi
mereka untuk Joint Venture dan persiapan business Fresh Food dan Central
Kitchen. Ini adalah masalah "Core Resources" mereka. Namun mengelola core
resources tidak selalu harus mendirikan pabrik dan supply sendiri. Apa lagi
dengan kondisi Cash Flow yang kurang baik.
4. Yang mungkin tidak terlalu kelihatan adalah masalah Organisasi, Tim
Manajemen dan SDM mereka. Dalam business apapun yang baik maupun yang
sedang tidak baik masalah SDM dan tim manajemen pasti besar pengaruhnya.

Secara singkat, masalah Seven-Eleven Indonesia ini multi dimensi dan tidak
ada satu faktor saja yang mempengaruhinya. Namun secara umum, bisa kita lihat
masalah internal pengelolaan yang menurut saya masalah yang paling besar dan
bukan masalah external, apa lagi masalah regulasi yang menyangkut business retail
dan mini market.

Tidak salah menurut saya pihak Charoen menunda pembelian Sevel ini karena
dengan nilai 1 Triliun mungkin terlalu mahal untuk sebuah business dengan Revenue
675 M setahun dan terus menurun dan lisensi Franchise yang tinggal 12 tahun.
sayangnya saya tidak mendapatkan data book value dari business Seven-Eleven yang
terpisah dari induknya.
Budi Isman – CEO Mikroinvestindo

Founder Onein20Movement (OIM) proindonesia

C. Manajemen Risiko PT. Seven Eleven


Setiap perusahaan memiliki manajemen risiko seminim apapun risiko
perusahaannya. Begitu juga dengan perusahaan yang bergerak di bidang retail. Dalam
makalah ini, adalah Seven Eleven yang dibawahi oleh Seven & I Holding Co.
Pada tahun 2010, MoneyGram International (NYSE: MGI) dan 7-Eleven
Australia mengumumkan pengenalan semua kios transfer uang swalayan baru dari
Grup Cullinan yang akan membuatnya lebih cepat, mudah dan nyaman bagi
konsumen di Australia untuk mengirim uang kapan saja. siang atau malam. Layanan
MoneyGram, yang ditawarkan melalui kios pertama ini, sekarang diluncurkan di
sekitar 600 toko Australia 7-Eleven di seluruh negara bagian Victoria, New South
Wales dan Queensland, tiga kali lipat jaringan MoneyGram di Australia.
"Kami sangat antusias untuk bekerja dengan merek global seperti 7-Eleven
untuk menawarkan layanan pengiriman uang kami. Kesepakatan dengan 7-Eleven
merupakan langkah penting dalam pertumbuhan MoneyGram dan pendekatan kios
tidak hanya membantu pelanggan kami namun juga memperkuat komitmen
MoneyGram untuk layanan dan inovasi, "kata Nigel Lee, Executive Vice President of
Europe, Middle East, Africa and Asia Pacific for MoneyGram. "Keandalan, kecepatan
dan kenyamanan bukan hanya inti dari proposisi nilai kita tapi juga pertimbangan
penting bagi konsumen transfer uang. Menyelaraskan diri dengan 7-Eleven akan
memperluas jangkauan kami, membuat layanan MoneyGram dapat diakses pelanggan
24 jam sehari. "
"Memperkenalkan layanan MoneyGram di toko kami membantu memperluas
penawaran kenyamanan bagi pelanggan," kata Warren Wilmot, Chief Executive
Officer 7-Eleven. "Kami yakin pelanggan transfer uang akan senang dengan cara
inovatif 7-Eleven dalam melakukan transfer uang. Sederhana, cepat dan nyaman bagi
konsumen. Ini adalah pertama kalinya MoneyGram tersedia 24/7 di negara bagian
timur Australia. "
7-Eleven dan MoneyGram bekerja dengan Cullinan Group untuk
mengembangkan sistem kios transfer uang inovatif ini. Teknologi ini menggunakan
kios layar sentuh elektronik dan infrastruktur komputasi awan untuk memberikan
pengalaman pelanggan yang lebih baik dalam mengurangi garis dan waktu transaksi
yang lama yang secara tradisional dikaitkan dengan layanan pengiriman uang di
institusi perbankan.
"Kios memfasilitasi pengalaman konsumen yang mulus untuk 7-Eleven dan
pelanggan," kata Philip Course, Chief Executive Officer Cullinan Group. "Kios
tersebut memungkinkan pelanggan menyelesaikan transfer uang mereka di layar yang
mendukung bahasa Inggris atau tujuh bahasa lainnya."
Ada kebutuhan kuat untuk layanan transfer uang yang andal di Australia.
Menurut Bank Dunia, orang-orang di Australia mengirimkan tiga miliar dolar
pengiriman uang ke negara-negara berkembang pada tahun 2009. Ada lebih dari lima
juta imigran di Australia, yang kira-kira 25 persen dari jumlah penduduk. Koridor atas
untuk pengiriman uang keluar adalah India, China, Filipina, Vietnam, Lebanon,
Bangladesh, Sri Lanka, Pakistan dan Thailand.
D. Metode Identifikasi Risiko
Menurut Djohanputro (2008) ada 4 (empat) metode dalam mengidentifikasi
risiko. Keempat metode tersebut adalah analisis data historis, pengamatan dan survey,
benchmarking, dan pendapat ahli.
1. Metode Analisis Data Historis
Metode ini menggunakan informasi masa lalu untuk menetapkan persentase
risiko yang akan dikenakan pada objek risikonya. Informasi di dapat dari data
baik primer maupun sekunder. Misalkan pada masa lalu besarnya risiko
berdasarkan perhitungan adalah 20 % dari nilai transaksi maka harga jual saat ini
tentu saja menambahkan 20 % nilai risiko atas penjualannya. Contoh lain adalah
menjual barang secara kredit kepada PNS, catatan masa lalu menunjukkan bahwa
tidak sampai 5 % PNS mampu melunasi hutangnya, berarti risiko tidak sampai 5
% nilainya ditambahkan pada harga penjualannya.
2. Metode Pengamatan dan Survey
Metode ini menampilkan risiko berdasarkan “penampilan” objek yang akan
dijadikan rekanan bisnis (pelanggan). Besar kecilnya risiko biasanya didasarkan
pada lokasi rumah tinggal, jumlah penghasilan, jumlah tanggungan, lama tinggal,
pekerjaan pasangan hidup resmi, jenis dan tipe pekerjaan, dan lama bekerja.
Model penentuan risiko ini biasanya dilakukan oleh perusahaan pembiayaan.
Yang paling penting dari kesemuanya biasanya adalah lokasi rumah, identitas
diri, dan pekerjaan, serta data keluarga.
3. Metode Benchmarking
Metode ini menggunakan acuan untuk menentukan risiko. Risiko atas bisnis A
sebesar 10% akan dikenakan pada bisnis B yang memiliki ciri yang sama.
4. Metode Pendapat Ahli atau Referensi
Metode ini menetapkan risiko berdasarkan pendapatan dan pandangan serta
teori dari ahli yang dipercaya dan dianggap mumpuni atas bidangnya dan faham
dengan apa yang ditanyakan padanya. Misalkan penentuan nilai risiko atas atas
bisnis jual beli kompor minyak tanah, maka tanyakan pada ahli kompor dan
penjual kompor yang pernah bangkrut, jangan pada penjual yang sukses. Metode
referensi biasanya menentukan risiko berdasarkan informasi dari orang terdekat
dan yang mengenalnya. Misalkan seorang pemberi kredit mencari informasi
tentang calon debiturnya pada tetangganya, musuhnya, dan orang terdekatnya.

Sumber Informasi dalam Identifikasi Risiko

Pada dasarnya sumber informasi yang digunakan dalam identifikasi risiko


berupa dokumen dan pihak perusahaan yang bersangkutan. Ada dua sumber informasi
yang digunakan dalam identifikasi risiko yaitu,

1. Dokumen Internal
Dokumen internal merupakan dokumen yang berasal dari internal perusahaan.
Dokumen ini bersifat rahasia dan terbatas dari akses publik. Untuk itu dokumen
internal hanya dapat diperoleh melalui pihak internal perusahaan. Contoh
dokumen internal adalah dokumen tentang rencana strategis SDM, laporan
keuangan, dan dokumen mengenai SOP.
2. Dokumen Eksternal
Dokumen eksternal merupakan dokumen yang dapat berasal dari eksternal
perusahaan yang sifatnya tidak rahasia dan bebas untuk diakses oleh publik.
Contoh dokumen eksternal adalah berita dan data publikasi seperti jurnal atau
penelitian.
3. Pihak Internal Perusahaan
Pihak internal perusahaan merupakan pihak yang berasal dari dalam
perusahaan. Pihak internal perusahaan dapat memberikan informasi yang bersifat
rahasia dan terbatas dari akses publik. Contoh pihak internal perusahaan seperti
karyawan atau manajer.
4. Pihak Eksternal Perusahaan
Pihak eksternal perusahaan merupakan pihak yang berasal dari luar
perusahaan. Pihak eksternal perusahaan hanya bisa memberikan informasi yang
bersifat umum atau bebas dari akses publik. Contoh pihak eksternal perusahaan
adalah para ahli, konsumen, dan pemasok.

Jenis Informasi dalam Identifikasi Risiko

Menurut Djohanputro (2008) jenis-jenis informasi yang digunakan dalam


identifikasi risiko ada 6 (enam) yaitu :

1. Politik 3. Ekonomi 5. Teknologi


2. Lingkungan 4. Sosial 6. Regulasi

Klasifikasi Risiko Perusahaan

Menurut Djohanputro (2008) ada 4 (empat) klasifikasi risiko perusahaan yaitu,

1. Risiko Keuangan
Risiko keuangan adalah segala macam risiko yang berkaitan dengan keuangan,
biasanya diperbandingkan dengan risiko non keuangan, seperti risiko operasional.
Risiko keuangan meliputi risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko kredit.
a. Risiko pasar adalah risiko yang timbul karena menurunnya nilai investasi
akibat pergerakan faktor-faktor yang memengaruhi pasar. Empat faktor
tersebut adalah tingkat bunga, nilai pasar, komoditas, dan ekuitas.
b. Risiko likuiditas adalah risiko yang muncul jika perusahaan tidak mampu
membayar kewajibannya yang jatuh tempo secara tunai.
c. Risiko kredit adalah risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan debitur
atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunga atau
keduanya.
2. Risiko Operasional
Risiko operasional adalah risiko yang disebabkan karena tidak berjalannya
atau gagalnya proses internal, manusia, sistem, dan peristiwa eksternal.
3. Risiko Strategis
Risiko strategis adalah risiko yang dapat memengerahui eksposur korporat dan
eksposur strategis terutama eksposur keuangan sebagai akibat keputusan strategis
yang tidak sesuai dengan lingkungan internal dan lingkungan eksternal
perusahaan.
4. Risiko Eksternalitas
Risiko eksternalitas adalah risiko yang dipengaruhi factor eksternal yang
menimbulkan potensi penutupan usaha. Faktor eksternal tersebut meliputi
lingkungan, reputasi, dan hukum.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Toko kelontong yang berasal dari Jepang ini, yaitu Seven Eleven yang sering
menjadi tempat tongkrongan anak muda mulai dari jenjang SMP sampai kuliah ini
resmi menutup seluruh tokonya resmi pada tanggal 30 Juni 2017. Banyak faktor yang
menjadi penyebab tutupnya Sevel yang memiliki banyak toko di Indonesia pada saat
itu, baik faktor eksternal maupun internal, salah satunya adalah besarnya beban yang
ditanggung dan manajemen risiko yang kurang mumpuni dinilai sebagai penyebab
utama tutupnya jaringan convenience store 7-Eleven di Indonesia. Perusahaan yang
memunyai fixed cost tinggi biasanya memiliki risiko yang besar. Dalam kasus Sevel,
beberapa hal yang menjadi masalah adalah produk siap saji yang ditawarkan
mempunyai risiko tidak terjual, waktu operasional hingga 24 jam, dan konsumen
lebih banyak nongkrong.
B. Saran
Setiap jenis usaha apa pun pasti akan ada risiko bisnisnya, sekecil apa pun
risikonya. Maka dari itu, tugas manajemen lah yang harus mampu melihat risiko
perusahaan dan memprediksi risiko di masa depan. Selain itu manajemen harus
mampu menyesuaikan risiko dengan kondisi perkembangan lingkungan, zaman,
kebiasaan masyarakat, dan aspek lainnya yang berubah-ubah sesuai prediksi maupun
mempersiapkan perusahaan untuk perubahan yang tiba-tiba.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/7-Eleven diakses pada 6 Februari 2018

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3541177/ini-analisis-pakar-bisnis-soal-
penyebab-sevel-bangkrut diakses pada 6 Februari 2018

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3564572/beda-konsep-dengan-ri-sevel-
di-malaysia-masih-ramai diakses pada 6 Februari 2018

http://industri.bisnis.com/read/20170706/100/668978/sevel-tutup-beban-besar-dan-
manajemen-risiko-jadi-penyebab diakses pada 6 Februari 2018

http://www.budiisman.com/blog/runtuhnya-seven-eleven-indonesia-bukan-masalah-
kebijakan-pemerintah-tanggapan-tulisan-prof-rhenald-kasali diakses pada 7 Februari
2018

http://industri.bisnis.com/read/20170706/100/668978/sevel-tutup-beban-besar-dan-
manajemen-risiko-jadi-penyebab diakses pada 8 Februari 2018

Anda mungkin juga menyukai