Anda di halaman 1dari 6

Analisa Kebangkrutan 7-Eleven

Bisnis yang dulu digandrungi anak-anak muda dan membentuk kebiasaan baru para pelanggan
untuk kongkow tidak mesti di warung kopi, tapi bisa di gerai Sevel (panggilan akrab untuk 7-
Eleven). Janjian sama teman juga bisa di Sevel. Dahulu tampak ramai, namun kini mulai
meredup. Ada apakah?

Melalui laporan keterbukaan informasi yang disampaikan melalui website perseroan, pada
tanggal 19 April 2017 telah ditanda-tangani perjanjian akuisisi bisnis 7-Eleven dari PT Modern
Sevel Indonesia (MSI), yang adalah anak perusahaan dari PT Modern Internasional Tbk,
pemilik master franchise 7-Eleven di Indonesia ke PT Charoen Pokphand Restu Indonesia
(CPRI) yang merupakan entitas anak dari PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPI).

sumber: www.moderninternasional.co.id

Dalam laporan yang sama disebutkan bahwa nilai transaksi sebesar Rp 1 triliun, di mana
penyelesaian transaksi akan dilaksanakan sebelum atau pada tanggal 30 juni 2017. Bila
prasyarat transaksi sudah diperoleh, seperti persetujuan-persetujuan korporasi dan MSI,
termasuk persetujuan RUPS dan dewan komisaris, persetujuan dari instansi pemerintah, seperti
kementrian perdagangan terkait peralihan hak waralaba dari MSI ke CPRI, dan persetujuan
OJK, serta persetujuan para kreditor mengenai rencana transaksi, dan persetujuan 7-Eleven Inc.
sebagai pemberi waralaba agar hak waralaba beralih ke CPRI.

Disebutkan oleh perseroan bahwa segmen usaha 7-Eleven dijual karena mengalami kerugian
di tahun-tahun terakhir sebagai akibat kompetisi pasar yang tinggi serta pengembangan bisnis
ini diperlukan modal yang besar di masa yang akan datang. Dalam artikel ini akan dibahas
mengenai kiberja bisnis 7 Eleven selama 5 tahun terakhir.

1. Kinerja Bisnis 7-Eleven 5 tahun terakhir

7-Eleven Indonesia dipegang hak waralabanya oleh PT Modern Internasional Tbk (MDRN)
sejak tahun 2008. Dan, dibuka gerai pertamanya di Bulungan, Jakarta akhir tahun 2009. Sejak
2014 MDRN mempunyai 5 lini bisnis, yakni 7-Eleven, produk industrial imaging,
telekomunikasi, produk fotografi, dan solusi manajemen dokumen berbasis IT. Namun, sejak
tahun 2015 penjualan hanya berasal dari 4 lini bisnis, karena produk telekomunikasi ditutup.
Selanjutnya hingga kuartal III-2016, penjualan hanya berasal dari 3 lini bisnis karena produk
fotografi (Fuji Film) menyusul ditutup dan dikembalikan hak distribusinya ke Fuji Film pusat.
Sehingga kontributor penjualan perseroan hanya tersisa dari 7-Eleven, produk industrial
imaging, dan solusi manajemen dokumen berbasis IT.

Di tahun 2015, 7-Eleven merupakan kontributor terbesar penjualan perseroan mencapai


72,18% dari total pendapatan MDRN, dan selama 9 bulan pertama di tahun 2016, 7-Eleven
merupakan kontributor 79.6% dari total pendapatan. Sampai akhir tahun 2015, telah dibuka
188 gerai 7-Eleven dan telah ditutup 20 gerai yang berkinerja buruk. Namun. sampai
September 2016, gerai 7-Eleven kembali berkurang menjadi 175 gerai karena ditutupnya
sejumlah gerai yang tidak berkinerja baik.

sumber: Laporan Paparan Publik MDRN, Desember 2016


Sumber: Laporan Tahunan MDRN 2015

Laporan Neraca & Laba Rugi Perseroan

Sumber: Annual Report MDRN 2015

Mari kita analisa dua hal dari data di atas, PENJUALAN dan LABA perseroan.
PENJUALAN

Melihat data penjualan perseroan khususnya lini bisnis 7-Eleven terlihat cenderung menurun
dalam tahun 2 tahun terakhir, yaitu dari tahun 2015 yang menurun 8,8% dari tahun 2014, dan
di sembilan bulan pertama 2016 yang menurun signifikan 23,4% dibandingkan tahun 2015.
Pembahasan dan analisa dalam artikel ini lebih dikhususkan untuk membahas lini bisnis 7-
Eleven. Jelas penutupan gerai sepanjang tahun 2015 dan tahun 2016 berpengaruh terhadap total
penjualan perseroan. Ditutupnya 20 gerai perseroan di tahun 2015 masih diimbangi pembukaan
18 gerai baru yang menyumbang penjualan tambahan bagi perseroan di tahun 2015 sehingga
penurunan penjualan perseroan tidak berkurang jauh.

Namun penutupan gerai yang tidak berkinerja baik berlanjut hingga tahun 2016. Sepanjang
tahun 2016, 25 gerai telah ditutup dan sampai September 2016, jumlah gerai terkonsolidasi
hanya sejumlah 175 gerai, berkurang 13 gerai dari jumlah gerai akhir tahun 2015. Dan tentunya
akan berpengaruh terhadap total penjualan perseroan.

Masa ekspansi cepat pembukaan gerai di 5 tahun pertama sejak pembukaan gerai pertama di
tahun 2009 mengalami perlambatan sejak tahun 2015 lalu, bahkan cenderung menurun hingga
tahun 2016 ini. Sedangkan bisnis seperti 7-Eleven membutuhkan setidaknya 400-500 gerai
untuk mencapai skalabilitas yang diharapkan.
Pembukaan satu gerai yang membutuhkan modal besar menjadi salah satu faktor perlambatan
pembukaan gerai baru oleh perseroan. Seperti yang kita ketahui bersama, perseroan
mengenalkan konsep baru Convenience Store dengan menyediakan tempat makan bagi para
pelanggan, atau tempat kongkow bagi para pelanggan. Investasi satu gerai diperkirakan sekitar
Rp 3 - 4 miliar. Hal ini berbeda dengan konsep asli 7-Eleven dari negara asalnya di Amerika.
Nampaknya konsep ini sepertinya tidak benar-benar berhasil karena pelanggan hanya membeli
cemilan sedikit namun bisa kongkow berjam-jam. Sedangkan perseroan telah berinvestasi
sangat besar untuk membangun gerai besar (luas lebih dari 100m2) untuk memfasilitasi
perpaduan konsep convenience store dan fine dining.

Pada akhirnya, perseroan juga berbarengan membuka gerai dengan konsep murni convenience
store dengan luasan gerai yang kecil (di bawah 100m2) di lokasi-lokasi keramaian seperti
stasiun, gedung perkantoran, apartemen dan mall. Konsep terakhir inilah yang menjadi fokus
perseroan di masa depan karena produktivitas per m2 untuk gerai kecil lebih tinggi daripada
gerai besar.

LABA

Penurunan laba perseroan mulai terjadi di tahun 2015 dimana laba komprehensif perseroan di
tahun 2014 yang masih positif sebesar Rp 38 Miliar menurun 240,47% menjadi rugi di tahun
2015 sebesar Rp 54 Milyar. Di Sembilan pertama tahun 2016, laba perseroan kembali
mengalami penurunan sangat besar yaitu rugi mencapai Rp 155 miliar. Hal ini membuat
perseroan semakin tertekan. Rugi yang dialami perseroan disebabkan beberapa faktor,
di antaranya penurunan pendapatan (perseroan juga menyebutkan kehilangan pendapatan dari
penjualan alkohol juga berpengaruh besar terhadap penurunan penjualan perseroan),
penurunan margin gross profit karena untuk menjaga daya saing pasar, kenaikan biaya operasi
extraordinary termasuk diantaranya penghapusan persediaan FUJIFILM yang dikembalikan
hak distribusinya di akhir 2015, biaya penutupan gerai, serta biaya-biaya perampingan operasi
bisnis, seperti biaya pesangon bekas karyawan. Namun, ada satu hal yang saya analisa dan ini
menjadi momok besar bagi perseroan yaitu liabilitas jangka pendek. Coba cermati data
liabilitas di bawah ini.
sumber: Laporan Tahunan MDRN 2015

Nampak dengan jelas, liabilitas jangka pendek, yaitu pinjaman yang jatuh tempo dari satu tahun
meningkat sangat signifkan hingga 64.26% mencapai Rp 942 miliar, di mana perseroan wajib
membayar pokok dan bunga pinjaman tersebut. Oleh sebab itu, angka ini juga menjadi beban
sangat berat perseroan, jadi pendapatan menurun & beban juga naik sangat tinggi.

Pinjaman ini oleh perseroan digunakan untuk ekspansi pembukaan gerai. Namun, seperti
diketahui, tidak seluruhnya rencana ini berjalan mulus. Bila ditotal maka ada 45 gerai yang
sudah ditutup oleh perseroan (20 gerai di tahun 2015 dan 25 gerai di tahun 2016), walaupun
perseroan bersamaan membuka gerai baru di lokasi lain. Namun biaya yang sudah dikeluarkan
untuk membuka gerai yang kemudian ditutup jelas menjadi kerugian besar bagi perseroan.
Dan, angka ini tidak sedikit sampai pemegang saham pengendali perlu menginjeksi dana Rp
213 milyar ke dalam perseroan dalam bentuk Surat Sanggup Bayar untuk menutupi kas
perseroan yang semakin berat di tahun 2016 ini.

Sumber :

www.swaonline.com

Anda mungkin juga menyukai