Anda di halaman 1dari 6

Studi Case 7 Eleven

Latar Belakang

7-Eleven adalah jaringan toko kelontong (convenience store) 24 jam asal Amerika Serikat yang sejak
tahun 2005 kepemilikannya dipegang Seven & I Holdings Co., sebuah perusahaan Jepang. Pada
tahun 2004, lebih dari 26.000 gerai 7-Eleven tersebar di 18 negara antara pasar terbesarnya
adalah Amerika Serikat dan Jepang.

Didirikan pada tahun 1927 di Oak Cliff, Texas (kini masuk wilayah Dallas), nama "7-Eleven" mulai
digunakan pada tahun 1946. Sebelum toko 24 jam pertama dibuka di Austin, Texas, pada tahun 1962, 7-
Eleven buka dari jam 7 pagi hingga 11 malam, dan karenanya bernama "7-Eleven" (7-Sebelas).

Tahun 1991, Southland Corporation, yang merupakan pemilik 7-Eleven, sebagian besar sahamnya dijual
kepada sebuah perusahaan jaringan supermarket asal Jepang, Ito-Yokado. Southland Corporation lalu
diubah namanya menjadi 7-Eleven, Inc pada tahun 1999. Tahun 2005, seluruh saham 7-Eleven, Inc diambil
alih Seven & I Holdings Co. sehingga perusahaan ini dimiliki sepenuhnya oleh pihak Jepang.

Setiap gerai 7-Eleven menjual berbagai jenis produk, umumnya makanan, minuman, dan majalah. Di
berbagai negara, tersedia pula layanan seperti pembayaran tagihan serta penjualan makanan khas daerah.
Produk khas 7-Eleven adalah Slurpee, sejenis minuman es dan Big Gulp, minuman soft drink berukuran
besar.

Studi Masalah

7 Eleven hadir di Indonesia pada tahun 2009, dimana 7-Eleven dikelola oleh PT Modern Putraindonesia,
anak perusahaan PT Modern International yang merupakan distributor Fujifilm di Indonesia. 7-Eleven
telah membuka cabang-cabangnya sebanyak 50 gerai di Jakarta saja.

Pemerintah Indonesia terus mengawasi toko kelontong ini agar tidak berubah menjadi minimarket,
karena menurut undang-undang, kepemilikan waralaba minimarket harus dari pihak local.

pada Tanggal 30 Juni 2017, 7-Eleven resmi menutup karena beberapa alasan, salah satunya adalah
keterbatasan sumber daya yang memiliki Perseroan dalam menunjang kegiatan operasional toko.

Melalui laporan keterbukaan informasi yang disampaikan melalui website perseroan, pada tanggal 19 April
2017 telah ditanda-tangani perjanjian akuisisi bisnis 7-Eleven dari PT Modern Sevel Indonesia (MSI), yang
adalah anak perusahaan dari PT Modern Internasional Tbk, pemilik master franchise 7-Eleven di Indonesia
ke PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) yang merupakan entitas anak dari PT Charoen Pokphand
Indonesia Tbk (CPI).
sumber: www.moderninternasional.co.id

Dalam laporan yang sama disebutkan bahwa nilai transaksi sebesar Rp 1 triliun, di mana penyelesaian
transaksi akan dilaksanakan sebelum atau pada tanggal 30 juni 2017. Bila prasyarat transaksi sudah
diperoleh, seperti persetujuan-persetujuan korporasi dan MSI, termasuk persetujuan RUPS dan dewan
komisaris, persetujuan dari instansi pemerintah, seperti kementrian perdagangan terkait peralihan hak
waralaba dari MSI ke CPRI, dan persetujuan OJK, serta persetujuan para kreditor mengenai rencana
transaksi, dan persetujuan 7-Eleven Inc. sebagai pemberi waralaba agar hak waralaba beralih ke CPRI.
Disebutkan oleh perseroan bahwa segmen usaha 7-Eleven dijual karena mengalami kerugian di tahun-
tahun terakhir sebagai akibat kompetisi pasar yang tinggi serta pengembangan bisnis ini diperlukan modal
yang besar di masa yang akan datang. apa saja penyebab tutupnya bisnis 7-Eleven?

• Kinerja Bisnis 7-Eleven 5 Tahun Terakhir

7-Eleven Indonesia dipegang hak waralabanya oleh PT Modern Internasional Tbk (MDRN) sejak tahun
2008. Dan, dibuka gerai pertamanya di Bulungan, Jakarta akhir tahun 2009. Sejak 2014 MDRN
mempunyai 5 lini bisnis, yakni 7-Eleven, produk industrial imaging, telekomunikasi, produk fotografi,
dan solusi manajemen dokumen berbasis IT. Namun, sejak tahun 2015 penjualan hanya berasal dari
4 lini bisnis, karena produk telekomunikasi ditutup. Selanjutnya hingga kuartal III-2016, penjualan
hanya berasal dari 3 lini bisnis karena produk fotografi (Fuji Film) menyusul ditutup dan dikembalikan
hak distribusinya ke Fuji Film pusat. Sehingga kontributor penjualan perseroan hanya tersisa dari 7-
Eleven, produk industrial imaging, dan solusi manajemen dokumen berbasis IT.
Di tahun 2015, 7-Eleven merupakan kontributor terbesar penjualan perseroan mencapai 72,18% dari
total pendapatan MDRN, dan selama 9 bulan pertama di tahun 2016, 7-Eleven merupakan kontributor
79.6% dari total pendapatan. Sampai akhir tahun 2015, telah dibuka 188 gerai 7-Eleven dan telah
ditutup 20 gerai yang berkinerja buruk. Namun. sampai September 2016, gerai 7-Eleven kembali
berkurang menjadi 175 gerai karena ditutupnya sejumlah gerai yang tidak berkinerja baik.

Sumber : Laporan Paparan Publik MDRN, Desember 2016

Sumber: Laporan Tahunan MRDN 2015.


Sumber: Annual Report MDRN 2015.
• PENJUALAN
Melihat data penjualan perseroan khususnya lini bisnis 7-Eleven terlihat cenderung menurun dalam
tahun 2 tahun terakhir, yaitu dari tahun 2015 yang menurun 8,8% dari tahun 2014, dan di sembilan
bulan pertama 2016 yang menurun signifikan 23,4% dibandingkan tahun 2015. Pembahasan dan
analisa dalam artikel ini lebih dikhususkan untuk membahas lini bisnis 7-Eleven. Jelas penutupan gerai
sepanjang tahun 2015 dan tahun 2016 berpengaruh terhadap total penjualan perseroan. Ditutupnya
20 gerai perseroan di tahun 2015 masih diimbangi pembukaan 18 gerai baru yang menyumbang
penjualan tambahan bagi perseroan di tahun 2015 sehingga penurunan penjualan perseroan tidak
berkurang jauh.
Namun penutupan gerai yang tidak berkinerja baik berlanjut hingga tahun 2016. Sepanjang tahun
2016, 25 gerai telah ditutup dan sampai September 2016, jumlah gerai terkonsolidasi hanya sejumlah
175 gerai, berkurang 13 gerai dari jumlah gerai akhir tahun 2015. Dan tentunya akan berpengaruh
terhadap total penjualan perseroan.
Masa ekspansi cepat pembukaan gerai di 5 tahun pertama sejak pembukaan gerai pertama di tahun
2009 mengalami perlambatan sejak tahun 2015 lalu, bahkan cenderung menurun hingga tahun 2016
ini. Sedangkan bisnis seperti 7-Eleven membutuhkan setidaknya 400-500 gerai untuk mencapai
skalabilitas yang diharapkan.
Pembukaan satu gerai yang membutuhkan modal besar menjadi salah satu faktor perlambatan
pembukaan gerai baru oleh perseroan. Seperti yang kita ketahui bersama, perseroan mengenalkan
konsep baru Convenience Store dengan menyediakan tempat makan bagi para pelanggan, atau tempat
kongkow bagi para pelanggan. Investasi satu gerai diperkirakan sekitar Rp 3 - 4 miliar. Hal ini berbeda
dengan konsep asli 7-Eleven dari negara asalnya di Amerika. Nampaknya konsep ini sepertinya tidak
benar-benar berhasil karena pelanggan hanya membeli cemilan sedikit namun bisa kongkow berjam-jam.
Sedangkan perseroan telah berinvestasi sangat besar untuk membangun gerai besar (luas lebih dari
100m2) untuk memfasilitasi perpaduan konsep convenience store dan fine dining.
• LABA
Penurunan laba perseroan mulai terjadi di tahun 2015 dimana laba komprehensif perseroan di tahun 2014
yang masih positif sebesar Rp 38 Miliar menurun 240,47% menjadi rugi di tahun 2015 sebesar Rp 54 Milyar.
Di Sembilan pertama tahun 2016, laba perseroan kembali mengalami penurunan sangat besar yaitu rugi
mencapai Rp 155 miliar. Hal ini membuat perseroan semakin tertekan. Rugi yang dialami perseroan
disebabkan beberapa faktor, di antaranya penurunan pendapatan (perseroan juga menyebutkan
kehilangan pendapatan dari penjualan alkohol juga berpengaruh besar terhadap penurunan penjualan
perseroan), penurunan margin gross profit karena untuk menjaga daya saing pasar, kenaikan biaya
operasi extraordinary termasuk diantaranya penghapusan persediaan FUJIFILM yang dikembalikan hak
distribusinya di akhir 2015, biaya penutupan gerai, serta biaya-biaya perampingan operasi bisnis, seperti
biaya pesangon bekas karyawan.
Sumber : Laporan Tahunan MDRN.

Anda mungkin juga menyukai