Anda di halaman 1dari 7

TUGAS BCCT BLOK D2

COMPREHENSIVE EMERGENCY CASE

Disusun oleh:

Yusticha Maylanda Darmawi

17/409171/KU/19729

Kelompok 11

Kedokteran Reguler 2017

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN 


FAKULTAS KEDOKTERAN, 
KESEHATAN MASYARAKAT, DAN KEPERAWATAN 
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2020

Kasus dalam video:

Seorang scaffolder jatuh dari ketinggian saat memasang scaffolding. Tenaga kerja
lainnya yang berada di lokasi kejadian menghampiri korban untuk memberikan first aid dan
mengaktifkan sistem emergensi. Karena korban masih dalam keadaan bernapas dan
mengerang, maka tindakan utama yang diprioritaskan adalah stabilisasi leher dengan collar
neck serta pemasangan bebat dengan kain pada area cruris kanan anterior dan area kepala
yang terlihat terdapat luka terbuka dan perdarahan.

Kemudian korban mengalami kejang, kemudian first aider mengecek respon koban,
cek nadi di arteri carotis, serta cek napas korban dan dinyatakan pasien mengalami henti
jantung, Maka first aider mulai melakukan RJP dengan bantuan AED.

Bantuan ambulans datang guna mentransfer korban ke klinik perusahan dengan


persiapan peralatan emergensi, defibrillator, serta alat-alat stabilisasi lainnya. Pasien
kemudian dievakuasi dan ditransportasikan ke klinik perusahaan,

Setting klinik perusahaan:

Sebelum pasien tiba di rumah sakit, seharusnya petugas lapangan/transport perlu


berkomunikasi dengan pihak rumah sakit untuk menyiapkan tim dan peralatan yang
dibutuhkan. Namun di video tersebut tidak disebutkan bahwa komunikasi pra rumah sakit
sudah dilakukan atau belum.

Setting rumah sakit dimulai dengan psaien dipindahkan dari bed ambulans ke bed
pasien rumah sakit, dan sorang dokter mewawancarai/melakukan alloanamnesis kepada
seorang petugas first aider tentang identitas dan untuk menceritakan proses kejadian
kecelakaan, yang mana hal ini sebenarnya dapat dilakukan saat komunikasi pra rumah sakit
baik sebelum maupun selama proses transportasi pasien dilakukan.

Selain itu, karena pada video tersebut, tim transport merangkap juga untuk
memperagakan tim ATLS di rumah sakit, maka pada video tersebut tampak tim yang
bertugas di rumah sakit masih belum siap, mulai dari APD dan peralatan yang dibutuhkan,
bahkan terkait pembagian peran mulai dari peran yang bertugas di bagian airway, breathing,
circulation, hingga runner tidak dapat diidentifikasi dengan baik. Leader dapat diidentifikasi
karena dokter tersebut cenderung mendominasi jalannya penanganan.

Primary survey:

a. Pemasangan monitor pada pasien guna menilai tanda-tanda vital, EKG, dan pulse
oximetry. Pemasangan monitor ini dilakukan oleh seorang dokter saja yang
dibantu oleh seorang tenaga di luar tenaga medis yang seharusnya bertugas, yaitu
seorang perawat yaitu bagian mencatat. Karena setting peragaan ini dilakukan
seadanya tidak terlalu mirip dengan setting rumah sakit sesungguhnya, sehingga
tenaga medis lain dapat membantu pemasangan alat-alat tersebut guna
mempercepat jalannya pemeragaan sembari pemeran tenaga medis yang lain
menyiapkan diri memasang APD dan sebagainya.
b. Airway dan Breathing
Karena pasien sudah terpasang dengan venturi mask dan oksigen, maka airway
dan breathing dianggap clear karena sudah dianggap telah ditangani oleh tenaga
medis di ambulans. Pada setting sebenarnya, seharusnya penilaian ABC&DE tetap
perlu dilakukan dan dilaksanakan secara simultan guna memastikan bahwa pasien
benar-benar terjamin aspek ABC&DE nya.
Seharusnya airway dicek mulai dari patensi airway, adakah sumbatan, adakah
suara abnormal dari mulut pasien, apakah ada kemungkinan cedera servikal dan
apakah sudah distabilisasi.
Kemudian dari breathing seharusnya dicek bagaimana pengembangan dada
apakah simetris, adakah jejas yang terlihat, adakah temuan abnormal seperti
krepitasi pada saat palpasi, adakah suara paru abnormal, dan sebagainya.
c. Circulation
Dokter pertama kali menanyakan terkait aspek primay survey adalah saturasi
oksigen yang didapatkan 90% guna memeriksa bagaimana status sirkulasi pasien
setelah menganggap airway dan breathing pasien aman karena sudah dipasang
mask oxygen. Selain saturasi oksigen, seharusnya dokter juga memeriksa WPK,
kekuatan nadi, frekuensi nadi, warna kulit ekstremitas/perifer, pemasangan iv line
dan pengambilan sampel darah, hingga kontrol perdarahan.
Kemudian leader memerintahkan anggotanya untuk mengganti sungkup oksigen dengan
LMA guna memastikan aliran udara yang masuk. Pasien dicurigai cedera servikal, sehingga
menghindari manuver-manuver yang justru dapat membahayakan pasien, maka dari itu,
dibanding ET, LMA dipilih pada kasus ini. Kemudian aliran oksigen diganti dengan rescue
breathing dengan ambubag per 6 detik guna memberikan ventilasi tekanan positif.

d. Disability
Tidak diperiksa.
e. Exposure
Tidak disampaikan, pakaian pasien juga tidak dilepaskan secara keseluruhan.
Namun saat ditanya oleh dokter leader, ditemukan jejas di daerah thorax yang
sebelumnya tidak dilaporkan oleh petugas first aider maupun petugas ambulans.

Hingga menit ke 10:30, pembagian peran pada masing-masing tenaga medis yang
bertugas masih tidak jelas. Serta tindakan-tindakan yang dilakukan kurang dikerjakan secara
sekuensial maupun simultan.

Kemudian dilakukan pemeriksaan auskultasi thorax guna memeriksa ventilasi udara


pasca diberikan rescue breathing dengan ambubag pasca pemasangan LMA. Didapatkan hasil
adanya suara napas yang menurun dan diduga terjadi tension pneumothorax. Leader
memerintahkan untuk pelaksanaan needle decompression di SIC 5 anterior linea midaksilar.
Di sini pemilihan posisi untuk pemasangan needle decompression sudah sesuai dengan
rekomendasi/guideline dari ATLS terbaru yang menyebutkan bahwa needle decompression
dilakukan pada SIC 5 anterior linea midakilar dengan jarum ukuran 14-16 gauge, dari yang
sebelumnya merekomendasikan needle decompression di SIC 2 linea midklavikluar dengan
diikuti pemasangan chest tube di SIC 5 anterior linae midaksilar. Kemudian dokter
menanyakan monitor saturasi O2.

Setelah itu dokter memerintahkan memberikan cairan infus secara cepat sebanyak 1
liter guna memperbaiki sirkulasi pasien, hal ini dapat didasarkan pada perhitungan 20mL/kg
pada 60 menit pertama.

Disampaikan melalui skenario yang dibacakan oleh MC, bahwa kondisi pasien
tampak tidak bernapas spontan dan pada monitor EKG didapatkan pasien memiliki irama
jantung aritmia dan pada layar ditunjukkan adanya ventricular tachycardi. Segera tenaga
medis melakukan RJP dan setelah itu disebutkan bahwa pasien diberikan defibrillator dengan
dosis syok 200 joule. Setelah syok, dilakukan RJP ulang 2 menit dan dicek kembali monitor
EKG dan denyut nadi, masih didapatkan VT tanpa nadi, sehingga perlu dilakukan syok ulang
dengan defibrillator. Setelah diberikan syok, diberikan RJP ulang dan dikomandokan untuk
injeksi epinefrin. Setelah itu, dicek masih perlu syok dan syok diberikan lagi. Kemudian RJP
diulangi kembali setelah syok, dan dikomandokan untuk pemberian amiodaron 300 mg
dengan flush NS 20mL.

Kemudian pasien menjadi ventricular fibrillation, kemudian diberikan syok 200Joule.


Kemudian dicek irama jantung, setelah cek lead sudah terpasang normal didapatkan irama
asystole. Maka RJP diberikan lagi. Kemudian dikomandokan untuk pemberian epinefrin
1mg.

Pada video ini, semua kegiatan yang diberikan dicatat oleh seorang perawat/tenaga
medis yang tidak terlibat langsung pada penanganan pasien. Setiap obat dan tindakan yang
diberikan dicatat lengkap beserta dosis dan waktu pemberian.

Setelah dilakukan segala rangkaian RJP dan pemberian obat, pasien pada akhirnya
ROSC dengan rekomendasi terus diberikan rescue breathing setiap 6 detik.

Kemudian pasien dimonitor saturasi oksigen dan tekanan darahnya. Namun saat
monitor tekanan darah, masih perlu dipasang cuff tensimeter yang seharusnya sudah tidak
perlu dipasang lagi karena seharusnya sudah terpasang sejak awal.

Setelah didapatkan pasien ROSC dengan tanda vital stabil, pasien direkomendasikan
untuk dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih memadai guna mengatasi
kemungkinan adanya perdarahan atau penyebab hipovolemik karena jejas pada daerah
thorax.

Pasien dirujuk ke rumah sakit tanpa dilakukan pemeriksaan riwayat/history


(SAMPLE), secondary survey head to toe, tidak dilakukan reassessment status mental dan
aspek ABC, serta tidak dilakukan cek ulan dari segala intervensi yang diberikan pada pasien.
Sebelum dilakukan transfer, seharusnya pasien dilakukan reassessment tiap 15 menit apabila
pasien stabil dan 5 menit pada pasien tidak stabil.

Kesimpulan:

Terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan terkait hal-hal yang perlu diberi perbaikan untuk
kedepannya, yaitu:
1. Sebelum transfer pasien dari lapangan/tempat kejadian ke klinik atau faskes atau
rumah sakit, hendaknya dilakukan terlebih dahulu komunikasi ke pihak faskes atau
rumah sakit agar pihak di unit kegawatdaruratan dapat menyiapkan baik dari segi
SDM, APD, hingga peralatan yang dibutuhkan.
2. Sebelum menangani pasien atau bahkan sebelum pasien tiba, perlu dibagi peran ke
setiap anggota tenaga medis yang turut serta dalam menangani supaya peran setiap
orangnya jelas. Bisa dibagi pada aspek airway, breathing, circulation, drug, runner,
leader, dan sebagainya. Supaya pada saat pelaksanaan penanganan penanganan
pasien.
3. Hendaknya pelaksanaan primary survey dilakukan secara sekuensial dan simultan.
Primary survey dilakukan oleh setiap tenaga medis sesuai dengan peranannya tanpa
perlu menunggu komando dari dokter leader. Karena pada video masih tampak
pelaksanan primary suvey yang tidak dilakukan secara teratur, masih cenderung
lompat-lompat. Seharusnya satu aspek diperiksa menyeluruh hingga didapatkan
semua keterangan yang mendukung, sambil dilakukan pemeriksaan aspek yang lain
oleh tenaga yang lainnya pula.
4. Tidak disampaikan pemasangan IV line dan pengambilan sampel darah. Karena pada
video langsung disampaikan bahwa infus NS telah terpasang.
5. Tidak dilakukan pemeriksaan history (SAMPLE) dan secondary survey yang
sebenarnya bisa dilakukan secara simultan setelah primary survey terlaksana.

Hal-hal yang sudah baik adalah:

1. Segala tindakan, intervensi, dan obat-obatan yang diberikan pada pasien dicatat
dengan baik dan lengkap oleh seorang tenaga medis khusus.
2. Segala tindakan, intervensi, dan obat-obatan yang diberikan sudah sesuai dengan
guideline terbaru misal dari pelaksanaan needle decompression, dosis-dosis obat
injeksi, dosis defib dan sebagainya sudah sesuai dengan guideline.

Referensi:

Planas JH, Waseem M, Sigmon DF. Trauma Primary Survey. [Updated 2020 Jul 10]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430800/
Raja A, Zane RD. Initial management of trauma in adults. [Updated 2020 Oct 02]. In:
UpToDate [Internet]. UpToDate; 2020 Sept- . Available from:
https://www.uptodate.com/contents/initial-management-of-trauma-in
adults#H1929661

Sherreen YE , Hassan M, Ismail ASB , Ahmed E. Changing Trends in the Decompression of


Tension Pneumothorax. J Surg Res 2019; 2 (4): 261-266. DOI:
10.26502/jsr.10020047

Anda mungkin juga menyukai