Anda di halaman 1dari 14

RANGKUMAN PENGEMBANGAN

KIMIA LAUT

BAB IV

SALINITAS AIR LAUT

DISUSUN OLEH

ROHANA SOPIATI (E1M017067)

ISA ROSIDA (E1M017030)

NURSYIFA HANA (E1M017053)

PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

2020
RANGKUMAN

PENGEMBANGAN

SALINITAS AIR LAUT

Terlebih dahulu, kita harus tahu apa itu salinitas. Salinitas atau keasinan adalah tingat
keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan
garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air
alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan
garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air
dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih
dari 5%, ia disebut brine.

Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5%.
Beberapa danau garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari
air laut umumnya. Sebagai contoh, Laut Mati memiliki kadar garam sekitar 30%.

Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas, dengan didasarkan


bahwa halida-halida—terutama klorida—adalah anion yang paling banyak dari elemen-
elemen terlarut. Dalam oseanografi, salinitas biasa dinyatakan bukan dalam persen tetapi
dalam “bagian perseribu” (parts per thousand, ppt) atau permil (‰), kira-kira sama dengan
jumlah gram garam untuk setiap liter larutan. Sebelum tahun 1978, salinitas atau halinitas
dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan pada rasio konduktivitas elektrik sampel
terhadap "Copenhagen water", air laut buatan yang digunakan sebagai standar air laut dunia.
[2]
 Pada 1978, oseanografer meredifinisikan salinitas dalam Practical Salinity Units (psu, Unit
Salinitas Praktis): rasio konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL standar. Rasio
tidak memiliki unit, sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa 35 psu sama dengan 35 gram
garam per liter larutan.

Salah satu besaran dasar dalam bidang ilmu kelautan adalah salinitas air laut. Salinitas
seringkali diartikan sebagai kadar garam dari air laut, walaupun hal tersebut tidak tepat
karena sebenarnya ada perbedaan antara keduanya. Definisi tentang salinitas pertama kali
dikemukakan oleh C. FORCH; M. KNUDSEN dan S.PX. SORENSEN tahun 1902. Salinitas
didefinisikan sebagai berat dalam gram dari semua zat padat yang terlarut dalam 1 kilo gram
air laut jikalau semua brom dan yodium digantikan dengan khlor dalam jumlah yang setara;
semua karbonat diubah menjadi oksidanya dan semua zat organik dioksidasikan. Nilai
salinitas dinyatakan dalam g/kg yang umumnya dituliskan dalam ‰ atau ppt yaitu singkatan
dari part-per-thousand.

DEFANT pada tahun 1961 (MAMAYEV 1975), menunjukkan bahwa salinitas air
laut kira-kira 0,14 ‰ lebih kecil dibandingkan dengan kadar garam sesungguhnya yang ada
di air laut. Yang dimaksud dengan garam di sini ialah istilah garam dalam pengertian kimia,
yaitu semua senyawaan yang terbentuk akibat reaksi asam dan basa. Jadi bukannya garam
dalam arti garam dapur saja. Berdasarkan hasil penelitian terhadap komposisi garam di air
laut sejak tahun 1859 oleh FORCHHAMMER, sampai saat kini masih berlaku bahwa air laut
mempunyai perbandingan komposisi garam yang sama untuk hampir semua perairan di
dunia. Memanfaatkan hal tersebut, maka penentuan salinitas air laut dapat dilakukan melalui
pengukuran kadar khlor dalam air laut yang disebut khlorinitas air laut. Definisi tentang
khlorinitas diusulkan oleh J.P. JACOBSEN dan M. KNUDSEN tahun 1940 yaitu sebagai
jumlah gram dari atom perak yang diperlukan untuk mengendapkan semua halogen dalam
0,325234 kg air laut. Khlorintitas dinyatakan dalam g/kg yang umumnya dituliskan dengan
lambang ‰ atau ppt. Hubungan antara salinitas dengan khlorinitas air laut diusulkan oleh M.
KNUDSEN pada tahun 1901, dan kemudian diterima secara luas hingga saat ini. Rumus
tersebut selanjutnya dikenal sebagai "rumus Knudsen": Salinitas (‰) = 0,30 + 1,805 x
khlorinitas (‰) Rumus Knudsen ini berlaku untuk salinitas antara 2,69 ‰ hingga 40,18 ‰
Dalam tahun 1962, The UNESCO Joint Panel on Equiation of Sea Water mengusulkan
hubungan baru yang merupakan modifikasi dari rumus Knudsen.

Salinitas adalah kadar garam terlarut dalam air. Salinitas merupakan bagian dari sifat
fisik dan kimia suatu perairan, selain suhu, pH, substrat dan lain-lain. Salinitas
menggambarkan padatan total di dalam air. Salinitas perairan menggambarkan kandungan
garam dalam suatu perairan. Garam yang dimaksud adalah berbagai ion yang terlarut dalam
air termasuk garam dapur (NaCl). Pada umumnya salinitas disebabkan oleh 7 ion utama yaitu
natrium (Na), klorida (Cl), kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), sulfat (SO4) dan
bikarbonat (HCO3).

Kita sering dengar bahwa salinitas air laut rata-rata 35%, kenapa? Kualitas air laut
dipengaruhi oleh tingkat keasinan atau kadar garam. Salinitas air berpengaruh terhadap
tekanan osmotik air. Semakin tinggi salinitas disuatu perairan, maka akan semakin besar pula
tekanan osmotiknya. Salinitas berpengaruh penting terhadap kelangsungan hidup biota air.
Hal ini dikarenakan setiap biota air memiliki toleransi terhadap salinitas terkait dengan
tekanan osmotik.
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam yang terlarut dalam air. Yaitu
jumlah gram garam yang terlarut untuk setiap liter larutan. Biasanya dinyatakan dalam satuan
0/00 (parts per thousand). Oleh karena itu, suatu sampel air laut yang seberat 1000 gram yang
mengandung 35 gram senyawa-senyawa terlarut mempunyai salinitas 350/00

Zat-zat yang terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik


yang berasal dari organisme hidup dan gas-gas terlarut. Fraksi terbesar dari bahan-bahan
terlarut terdiri garam-garam anorganik yang berwujud ionion (99.99%). Ion-ion yang
terkandung di dalam air laut didominasi oleh ion-ion tertentu seperti klorida, karbonat, sulfat,
natrium, kalium dan magnesium. Di dalam air laut mengandung bermacam-macam senyawa
oksida/garam, berturut-turut: Fe2O3, CaCO3, CaSO4, MgCl2, NaCl, MgSO4, NaBr
mengandung jumlah endapan: 0,003; 0,1172; 1,1172; 0,1532; 27,1074; 0,642; 0,2224
gram/liter. Jumlah Ion No Nama Ion Berat (%) 1. Klorida (Cl- ) 55.04 2. Natrium (Na+ )
30.61 3. Sulfat (SO4 2- ) 7.68 4. Magnesium (Mg2+) 3.69 5. Kalsium (Ca2+) 1.16 6. Kalium
(K+ ) 1.10 7. Sub total 0.71. 12 Pengukuran salinitas berhubungan dengan klorinitas.
Klorinitas ini sudah termasuk klorida, bromida dan iodida. Secara empiris hubungan salinitas
dan klorinitas adalah sebagai berikut: Salinitas 0.03 1.805 x klorinitas. Menurut klasifikasi
tinggi rendahnya salinitas, maka salinitas terbagi menjadi tiga bagian yaitu air tawar, air
payau dan air laut. Klasifikasi air berdasarkan salinitas Sebutan/Istilah Salinitas (ppt) Air
Tawar Fresh Water.

Kenapa disetiap permukaan air laut, salinitas air berbeda-berbeda? Salinitas adalah


banyaknya kadar garam (dalam gram) yang terdapat dalam setiap 1 kg air laut. Salinitas
permukaan air laut di khatulistiwa mencapai 3,5 0/00 (permil atau perseribu). Hal ini
disebabkan adanya penguapan yang tinggi diimbangi dengan curah hujan yang tinggi pula.
Salinitas di daerah garis balik utara-selatan (subtropika) lebih tinggi, yaitu mencapai
370/00 karena penguapan yang terjadi tidak diimbangi dengan curah hujan tinggi. Adapun di
daerah laut yang tertutup dari arus bebas, seperti Laut Tengah dan Laut Merah mencapai
400/00. 

Salinitas air berdasarkan persentase garam terlarut


Air tawar Air payau Air saline Brine
< 0,05 % 0,05—3 % 3—5 % >5 %
Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5%.
Beberapa danau garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari
air laut umumnya. Sebagai contoh, Laut Mati memiliki kadar garam sekitar 30%.
Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas, dengan didasarkan
bahwa halida-halida (terutama klorida) adalah anion yang paling banyak dari elemen-elemen
terlarut. Dalam oseanografi, halinitas biasa dinyatakan bukan dalam persen tetapi dalam
“bagian perseribu” (parts per thousand , ppt) atau permil (‰), kira-kira sama dengan jumlah
gram garam untuk setiap liter larutan.
Sebelum tahun 1978, salinitas atau halinitas dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan
pada rasio konduktivitas elektrik sampel terhadap "Copenhagen water", air laut buatan yang
digunakan sebagai standar air laut dunia. Pada 1978, oseanografer meredifinisikan salinitas
dalam Practical Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio konduktivitas sampel air
laut terhadap larutan KCL standar. Rasio tidak memiliki unit, sehingga tidak bisa dinyatakan
bahwa 35 psu sama dengan 35 gram garam per liter larutan.
Air laut sendiri banyak mengandung zat-zat yang teralut di dalamnya yang merupakan
sumber dari beberapa zat kimia penting dan ini adalah salah satu sumber alam yang pertama
kali dikelola oleh manusia. Sodium klorida (NaCl), adalah ekstrak yang paling besar yang
biasanya dipergunakan pada perusahaan-perusahaan kimia dalam memproduksi klorida dan
sodium hidroksida. Magnesium dan bromin adalah bahan lain yang terdapat dalam air laut
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Kandungan unsur kimia paling besar dalam air laut selain air adalah Natrium Chlorida
(NaCl) atau garam. Setiap 1 kilometer kubik air laut mengandung sekitar 969 juta ton
oksigen, 122 juta ton hydrogen, 21 juta ton khlor, dan 12 juta ton natrium.
Ternyata tidak semua air laut memiliki tingkat keasinan yang sama. Perairan di
Atlantik, misalnya, mengandung kadar garam yang jauh lebih tinggi ketimbang perairan yang
mengelilingi Indonesia. Perbedaan salinitas air laut disebabkan oleh banyak sedikitnya
penguapan yang terjadi. Penguapan dapat menambah besarnya salinitas, makin besar
penguapan makin besar pula salinitasnya. Banyak sedikitnya hujan juga dapat mempengaruhi
tingkat salinitas. Dan terakhir adalah banyak sedikitnya sungai yang bermuara ke laut
tersebut. Masuknya air tawar dari sungai menyebabkan salinitas menjadi rendah. 
Perbedaan itu bisa dilihat dalam peta tingkat salinitas buatan badan antariksa Amerika
(NASA). Inilah peta pertama tentang salinitas laut. Fungsinya untuk membantu manusia
memahami berbagai hal, mulai curah hujan global sampai arus laut. Peta tersebut dihasilkan
oleh Aquarius/SAC-D, sebuah satelit pengorbit bumi yang dilengkapi dengan pengukuran
radio khusus. Seluruh foto yang dikirim Aquarius selama dua pekan pertama bekerja itu
lantas disusun menjadi peta bola dunia yang mudah dipahami.
Peta NASA ini memperlihatkan kadar garam di seluruh samudra yang dibedakan
dengan intensitas warna. Daerah yang berwarna merah dan kuning memiliki tingkat salinitas
yang lebih tinggi, sedangkan yang berwarna biru dan ungu mempunyai kadar garam lebih
rendah. Wilayah gelap menandai kekosongan data.
Dengan data tersebut, peneliti memperoleh gambaran yang lebih terperinci tentang
pola iklim seperti bagaimana pergerakan air tawar mengelilingi dunia. Gerakan air tawar itu
ternyata juga mempengaruhi sirkulasi laut.
Salinitas air tertinggi terdapat di daerah laut subtropis yang terletak di lintang 20 0 Lu dan
200 LS, kemudian menurun kembali pada daerah lintang tinggi. Di daerah katulistiwa
salinitasnya rendah karena curah hujan di daerah ekuator tinggi. Laut Mediterania
mempunyai suhu 11,5 derajat C dan mempunyai nilai salinitasnya > 36,5 per mil, suhu
berkisar 10 derajat C dan salinitasnya < 36 per mil. Sehingga kepadatan Samudera Atlantik
lebih rendah dari laut Laut Mediterania.
Laut Mediterania atau dikenal juga Laut Tengah mempunyai salinitas, kepadatan air
dan suhu yang lebih tinggi dibandingkan Lautan Atlantik. Kenapa demikian karena
adanya lapisan yang memisahkan air di selat gilbaltar yang mempunyai salinitas yang
berbeda ketika air dari Laut Tengah memasuki Lautan Atlantik melalui Selat Jibraltar.
Sehingga hanya air permukaan laut tengah saja yang bercampur dengan air Samudera
Atlantik.
Setelah mencapai Atlantik air ini mengalir sampai di kedalaman sekitar seribu meter
dengan membawa sifatnya sendiri yang suhunya, salinitas dan kepadatannya yang lebih
tinggi. Pada kedalaman ini air dari Laut Tengah tersebut diam tidak bergerak. Salinitas air
tertinggi terdapat di laut yang terletak di lintang 20 0 Lu dan 200 LS, kemudian menurun
kembali pada daerah lintang tinggi. Di daerah katulistiwa salinitasnya rendah karena curah
hujan di daerah ekuator tinggi. Besar kecilnya salinitas sangat dipengaruhi oleh Bentang Laut
dan Iklim.
Bentang laut yang tertutup biasanya memiliki salinitas yang tinggi karena tidak
mudah tercampur dengan air laut atau air tawar lainnya. Contohnya di Laut Hitam, Laut
Tengah, Laut Kaspia, dan Laut Mati. Daerah yang beriklim sub tropis memiliki salinitas yang
tinggi. Hal ini disebabkan di daerah sub tropis curah hujan tidak terlalu tinggi sedangkan
penguapan relatif tinggi karena sedikitnya awan.
Di daerah tropis hujannya lebih lebat daripada daerah yang berada di lintang tinggi.
Hal ini disebabkan di daerah sub tropis curah hujan tidak terlalu tinggi sedangkan penguapan
relatif tinggi karena sedikitnya awan. Sehingga lautan yang secara keseluruhan berada di
daerah khatulistiwa mempunyai salinitas yang terbilang rendah daripada daripada daerah
kutub. Seperti misalnya Samudera Hindia yang memilki salinitas yang terendah ketimbang
Samudera lainnya.
Perbedaan yang amat kontras terlihat di Laut Arab yang kering dan memiliki salinitas
tinggi di sebelah barat subkontinen India dengan Teluk Bengal bersalinitas rendah di sebelah
timurnya yang didominasi oleh Sungai Gangga dan hujan monsoon Asia Selatan.
Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis hingga mendekati
kutub) rendah di permukaan dan bertambah secara tetap (monotonik) terhadap kedalaman. Di
daerah subtropis (atau semi tropis, yaitu daerah antara 23,5o - 40oLU atau 23,5o - 40oLS),
salinitas di permukaan lebih besar daripada di kedalaman akibat besarnya evaporasi
(penguapan). Di kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga salinitasnya rendah dan
kembali bertambah secara monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di daerah tropis
salinitas di permukaan lebih rendah daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi
(curah hujan).
Para ilmuwan oseanografi menjelaskan bahwa di muara, tempat bertemunya air tawar
(segar) dengan air asin, ditemukan situasi yang berbeda dengan yang terdapat pada tempat
bertemunya dua air laut. Penemuan menunjukkan bahwa yang memisahkan air tawar dari air
laut di muara adalah zona  Pycnocline yang ditandai oleh adanya perbedaan salinitas dan
kepadatan yang bertahap dan jelas memisahkan kedua lapisan air
tersebut. Pycnocline adalah layer/lapisan yang memisahkan air yang mempunyai kepadatan
yang berbeda .
Penghalang (zona pemisah) ini memiliki tingkat kepadatan dan keasinan yang berbeda
dari air tawar ke air laut dan sebaliknya. Seperti kita ketahui, bahwa air tawar bertemu air
asin melalui beberapa tahapan perubahan, dari air tawar berubah payau hingga kemudian air
laut yang asin.
Kenapa Air tertutup memiliki salinitas kurang dari 25 sementara air hypersaline
memiliki salinitas lebih besar dari 40 ? Secara umum, salinitas (kadar garam), derajat
keasaman (pH) dan kandungan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) merupakan bagian
dari parameter oseanografi kimia yang memegang peranan penting di suatu perairan. Ketiga
parameter ini, sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup biota di suatu perairan. Gang-ji
(2007) menyatakan bahwa salinitas dan DO merupakan parameter kunci dalam menentukan
kualitas perairan. Salinitas perairan menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan
dan besarannya dinyatakan dalam permil. Fluktuasi salinitas merupakan kondisi yang umum
terjadi di daerah estuary. Supriadi (2001) menyatakan bercampurnya massa air laut dengan
air tawar menjadikan wilayah estuari memiliki keunikan tersendiri, yaitu dengan
terbentuknya air payau dengan salinitas yang berfluktuasi. Salinitas mempengaruhi proses
biologi dan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme antara lain aspek laju
pertumbuhan, jumlah makanan yang dikonsumsi, nilai konversi makanan, dan daya
kelangsungan hidup. Nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau
kebasaan suatu perairan. Effendi (2003) menyatakan bahwa derajat keasaman merupakan
gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Nilai derajat keasaman (pH)
suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan
pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Karena pH mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan akuatik, maka pH suatu perairan seringkali
dipakai sebagai petunjuk baik atau buruknya perairan sebagai lingkungan hidup (Odum,1971)
dan mempengaruhi produktivitas perairan (Pescod, 1973). Perairan dengan nilai pH=7 adalah
netral, kondisi perairan dengan pH7 bersifat basa. Sebagian besar biota akuatik sensitif
terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Sementara kadar oksigen
terlarut (DO), dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk respirasi, dan proses metabolisme
atau pertukaran zat, yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan. DO merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan
(Salmin, 2005). Menurut Baku Mutu Air Laut yang ditetapkan oleh pemerintah tahun 2004,
kandungan oksigen terlarut yang yang sesuai untuk kehidupan biota perairan adalah >5 mg/l.
Sirkulasi hidrotermal di lautan adalah bagian dari air melalui sistem punggungan
samudra tengah . Istilah ini mencakup sirkulasi air ventilasi suhu tinggi yang terkenal di
dekat puncak punggung bukit, dan suhu yang jauh lebih rendah, aliran air menyebar melalui
sedimen dan basal yang terkubur lebih jauh dari puncak punggung bukit. Jenis sirkulasi
pertama kadang-kadang disebut "aktif", dan yang terakhir "pasif". Dalam kedua kasus
tersebut, prinsipnya sama: Air laut yang dingin dan padat tenggelam ke dalam basal dasar
laut dan dipanaskan pada kedalaman yang kemudian naik kembali ke permukaan batu-laut
karena kepadatannya yang lebih rendah. Sumber panas untuk ventilasi aktif adalah basal yang
baru terbentuk, dan untuk ventilasi suhu tertinggi, ruang magma di bawahnya. Sumber panas
untuk ventilasi pasif adalah basal tua yang masih mendingin. Studi aliran panas di dasar laut
menunjukkan bahwa basal di dalam kerak samudera membutuhkan waktu jutaan tahun untuk
benar-benar dingin karena mereka terus mendukung sistem sirkulasi hidrotermal pasif.
Ventilasi hidrotermal adalah lokasi di dasar laut di mana cairan hidrotermal bercampur
dengan lautan di atasnya. Mungkin bentuk ventilasi yang paling terkenal adalah cerobong
asap alami yang disebut sebagai perokok hitam.
Apa itu wethering? Pelapukan atau weathering (weather) merupakan perusakan
batuan pada kulit bumi karena pengaruh cuaca (suhu, curah hujan, kelembaban, atau angin).
Karena itu pelapukan adalah penghancuran batuan dari bentuk gumpalan menjadi butiran
yang lebih kecil bahkan menjadi hancur atau larut dalam air. Pelapukan dibagi dalam tiga
macam, yaitu pelapukan mekanis, pelapukan kimiawi, dan pelapukan biologis.
Selain itu weathering adalah proses peluruhan dan pengubahan batu-batuan dan
mineral dengan proses fisika dan kimia, Weathering fisika disebabkan oleh tekanan dalam
batu atau mineral. Proses ini menyebabkan batuan meluruh menjadi material yang lebih kecil
tanpa mengubah komposisi kimia. Reaksi kimia yang terjadi di sini adalah pelarutan, hidrasi,
hidrolisis, oksidasi, reduksi dan karbonasi. Dalam alam, pelapukan fisika dan kimia dapat
terjadi bersamaan. Kedua proses ini menghasilkan pembentukan tanah dari batuan padat.
pelapukan fisika terjadi pada permukaan tanah dan kadang-kadang juga terjadi di bawah
permukaan tanah. Akar tanaman dapat membantu pelapukan fisika di bawah permukaan
tanah. pelapukan kimia dapat terjadi pada permukaan tanah.
4. 1. Kekonstanan Komposisi

Kekonstanan komposisi air laut merupakan satu konsep yang penting dalam
oseanografi. Oseanografi berasal dari kata Graphos (description=pemerian) atau dapat juga
disebut deskripsi, yakni pemerian tentang teluk, selat, laut dan samudera; mencakup dan
memadukan semua penggambaran tentang laut, termasuk kandungannya yang hidup maupun
mati dan sempandan fisiknya yang terdiri dari litosfer di dasarnya dan atmosfer di atasnya
yang masih berinteraksi dengannya. Logos artinya ilmu.  Ilmu yang mencakup seluruh kajian
mengenai laut dan samudera, menyatukan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu-ilmu
kelautan (marine sciences) mengenai dami batas-batas samudera dan topografi dasarnya,
fisika dan kimia air laut, tipe-tipe dinamika gerak arus laut, dan berbagai fase biologi laut,
serta menyintesiskan pengetahuan biologi dengan hidrografi-geologi kelautan. Berdasarkan
kamus oseanografi karangan Heryoso Setiono Oseanografi adalah ilmu yang mempelajari
lautan. Suatu ilmu yang bersifat multidisipliner yang mencakup berbagai macam bidang ilmu
diantaranya biologi, fisika, kimia dan geologi.

Cabang dalam ilmu oseanografi itu adalah sebagai berikut :

1. Oseanografi Fisika, yaitu ilmu yang mempelajari tentang sifat fisika yang terjadi dalam
lautan dan yang terjadi antara lautan dengan atmosfer dan daratan. Contohnya gerakan air
laut, transmisi cahaya, suara.
2. Oseanografi Biologi, yakni cabang ilmu oseanografi yang mempelajari tentang semua
organisme yang ada di lautan, distribusi dan migrasinya, keterkaitan antara makhluk hidup
dan lingkungan hidupnya.
3. Oseanografi Kimia, yakni ilmu yang mempelajari mengenai sifat-sifat dan reaksi kimia air
laut.
4. Oseanografi Geologi, yakni ilmu yang mempelajari mengenai konfigurasi dasar laut,
mineral dalam kandungan sedimen air laut, proses pembentukan dasar lautan (semua
proses geologi yang ada di laut).

4. 1. 1. Perubahan karena kondisi lokal

Laut sejak dulu berperan dalam penyebaran panas melalui sirkulasi air laut.
Kemampuan laut dalam menyerap dan menyimpan panas pada beberapa daerah di bumi
berbeda-beda. Pada daerah tropis dimana intensitas sinar matahari berlangsung sepanjang
tahun, suhu air laut cenderung lebih hangat. Semakin ke arah kutub, intensitas sinar matahari
semakin berkurang sehingga suhu air laut juga cenderung berkurang. Pada daerah dengan
suhu tinggi, tingkat penguapan air laut juga tinggi sehingga salinitas dan tekanan air
meningkat. Hal ini memicu pergerakan massa air laut dari daerah bertekanan tinggi ke
tekanan rendah. Pada kondisi ini, massa air hangat yang berada di samudera Pasifik akan
bergerak ke samudera Hindia melalui kepulauan Indonesia menuju samudera Atlantik bagian
utara.

Di Atlantik Utara dimana suhu air laut sangat dingin, massa air dari daerah hangat
tadi, setelah mengalami evaporasi dalam perjalanannya di daerah tropis dan subtropis,
memiliki salinitas dan densitas yang lebih tinggi dari air laut di Atlantik Utara. Karena
memiliki densitas yang tinggi maka massa air ini akan mengalami proses sinking, yaitu
proses turunnya massa air ke laut dalam. Massa air laut dalam di perairan Atlantik Utara
(North Atlantic Deep Water – NADW) selanjutnya akan bergerak ke selatan menuju arus
polar Antartika. Sebagian massa air tersebut perlahan bergerak menuju samudera Hindia
perlahan naik ke permukaan karena adanya gradien densitas dan meningkatnya suhu air laut.
Sementara sebagian massa NADW mengalir melalui selatan Australia kemudian perlahan
naik di permukaan samudera pasifik. Pergerakan massa air laut secara global ini membentuk
sebuah siklus yang disebut dengan sirkulasi termohalin (Thermohaline Circulation). Sirkulasi
in terjadi secara dinamis dan seimbang.
Perubahan iklim sudah menjadi isu global yang sangat menyita perhatian seluruh
dunia. Peristiwa kenaikan rata-rata suhu bumi dalam suatu periode tertentu ini mengundang
para peneliti dari seluruh dunia untuk melakukan kajian menyangkut pengaruh perubahan
iklim terhadap kehidupan manusia. Fenomena ini pada dasarnya dipengaruhi oleh kenaikan
konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer, terutama adalah karbondioksida (CO2),
dinitoksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs) dan
hodroflorokarbon (HFCs). Konsentrasi gas-gas tersebut membentuk efek rumah kaca yang
mengakibatkan pantulan gelombang panjang sinar matahari dari bumi tertahan di atmosfir
dan dipantulkan kembali ke bumi. Efek rumah kaca menggambarkan bahwa konsentrasi gas
tersebut menyebabkan radiasi sinar matahari terperangkap di atmosfer sehingga
menyebabkan suhu bumi mengalami peningkatan.

Salah satu analisis dampak pemanasan global akibat perubahan iklim ini diungkapkan
seorang ilmuan Inggris bernama Sir Nicholas Stern dalam Stern Reviev : The Economic of
Climate Change (2006), dimana dengan kenaikan suhu bumi sebesar 5°C saja maka berbagai
bencana bisa terjadi. Bahkan pada tahun 2050 kondisi bumi sangat parah menyusul rusaknya
hutan di Amazon, Kanada dan Rusia akibat panas dan kekeringan. Belum lagi perubahan
iklim ini memicu naiknya muka air laut yang dapat mengakibatkan tenggelamnya pulau-
pulau kecil dan daerah pesisir berdataran rendah. Hasil studi International Panel for Climate
Change (IPCC) tahun 2007 menyatakan bahwa pada periode 1961 sampai 1993, laut telah
mengalami kenaikan dengan laju rata-rata 1,8 mm/tahun, atau akan mencapai 1,8 m pada
tahun 2100. Di lain pihak, National Academy of Science America (NASA) memperkirakan
bahwa pada tahun 2100 kenaikan muka air laut berkisar antara 0,3 – 2 meter.

Bagaimana sirkulasi termohalin dapat mempengaruhi iklim dan menahan laju


perubahan iklim global, inilah yang sedang dikaji banyak peneliti di dunia. Sejak tahun 1960-
an, para ilmuan mulai mengembangkan model iklim untuk membantu memahami peran laut
dalam mengatur iklim. Berdasarkan hasil riset yang dipublikasikan NASA (Juni 1999),
bahwa sepanjang abad ke-20, laut telah mengurangi sekitar separuh dari pemanasan suhu
permukaan. Namun beberapa penelitian beberapa tahun terakhir mulai meragukan kestabilan
sirkulasi termohalin dalam menahan laju pemanasan global dalam jangka panjang. Dengan
suhu bumi yang semakin meningkat, gas rumah kaca yang terus meningkat (akibat aktifitas
manusia) dan es yang terus mencair, dapat menyebabkan kadar garam air laut berkurang yang
pada gilirannya mengakibatkan titik bekunya meningkat. Pada musim dingin permukaan air
di kutub utara akan membeku dan menghambat proses pertukaran panas sehingga dapat
mengakibatkan perubahan sirkulasi air laut yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya
perubahan iklim.

Toggweiler dan M. Key (tt) mengatakan bahwa pendinginan laut di daerah lintang
tinggi membuat permukaan air di kutub lebih padat dibanding dengan perairan hangat di
lintang yang lebih rendah sehingga dapat mendinginkan sirkulasi termohalin pada daerah
dingin. Salinitas tinggi pada air laut yang melalui samudera Atlantik secara dangkal di
pahami akan memberi kontribusi positif bagi kekuatan dan kestabilan sirkulasi termohalin.
Hal ini tidaklah benar, karena siklus air tawar antara laut dan atmosfer (siklus hidrologi) di
daerah lintang tinggi menyebabkan penambahan konsentrasi air tawar pada daerah tersebut
sehingga dapat mengurangi kepadatan (salinitas) air permukaan kutub. Siklus hidrologi bumi
diprediksikan menjadi lebih kuat pada masa akan datang dengan terus berlangsungnya
pemanasan global. Hal ini diprediksi dapat memperlemah sirkulasi termohalin dengan sangat
mendadak dan tidak dapat diprediksi sebelumnya.

Manabe dan Stouffer (1993) memproyeksikan bahwa kenaikan kada CO2 sebesar
empat kali lipat dapat menyebabkan sirkulasi termohalin collaps. Secara substansial, ini akan
menyebabkan lapisan termoklin (lapisan air laut yang memisahkan air hangat permukaan
dengan air laut dalam yang dingin-berada pada kisaran 80 – 1000 meter) menjadi lebih dalam
dan terjadi pergeseran dalam pertukaran panas antara belahan bumi bagian utara dan selatan.
Hal ini juga akan menyebabkan berkurangnya laju suplai nutrisi terhadap biota laut di
permukaan dan berkurangnya kandungan oksigen di laut dalam secara drastis. Banyak
konsensus lainnya yang coba memprediksi respon sirkulasi termohalin terhadap pemanasan
global. Lebih dari itu, Wood, R., A. et al (2003) mengatakan bahwa semua proyeksi
konsensus dari beberapa model yang telah dianalisa oleh beberapa peneliti menyatakan
bahwa sirkulasi termohalin akan semakin melemah atau tidak berubah dalam satu abad ke
depan dalam merespon meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Kedua konsep tersebut
harus dibaca dalam konteks model teori “ketidakpastian tingkat tinggi”. Beberapa pendekatan
untuk mengurangi ketidakpastian ini adalah (a) mengidentifikasi proses-utama (key
processes) untuk mengendalikan kestabilan dan kekuatan sirkulasi termohalin dengan
menggunakan beberapa model, dan (b) menguji proses-proses yang dimodelkan tersebut
dengan pengujian lapangan (observationally based test). Untuk saat ini, kita masih berada
pada posisi pertama (a).
Pada dasarnya, alam kita selalu bergerak menuju titik keseimbangannya
(ekuilibrium). Selama manusia masih tetap berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi
gas rumah kaca (anthropogenic contribution), sehingga memicu pemanasan global, maka
suhu global juga akan bergerak menuju titik keseimbangannya. Sirkulasi termohaline sebagai
salah satu komponen sistem alam yang mempengaruhi iklim bumi juga akan mengalami
perubahan, baik kekuatan maupun kestabilannya, sampai pada ambang batasnya. Namun
apakah sirkulasi termohalin akan terus dipaksa oleh pemanasan global ini sampai melewati
ambang batas itu.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Dharma. 1984. “Pengukuran Salinitas Air Laut dan Perannya Dalam Ilmu Kelautan”.
Oseana. IX(1): (3-10). sumber:www.oseanografi.lipi.go.id.

http:///C:/Users/ACER/Downloads/645-2253-2-PB.pdf
http://core.ac.uk/download/pdf/89564091.pdf

http://dx.doi.org/10.24895/MIG.2018.20-2.645

http://en.m.wikipedia.org/wiki/Hydrothermal_circulation

http://faridsen14.blogspot.com/2014/01/penyebab-tingkat-salinitas-berbagai

http://febry23.wordpress.com/2010/11/24/pelapukan-weathering/

http://id.wikipedia.org/wiki/Keasinan

http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&id=38222&src=a

http://lib.unnes.ac.id/8115/1/8596.pdf

http://oceanidhor.blogspot.com/2018/07/pengertian-oseanografi.html

https://www.kompasiana.com/darkwright/54ff412aa33311194d50f831/perubahan-iklim-dan-
sirkulasi-laut-global

Anda mungkin juga menyukai