KIMIA LAUT
BAB IV
DISUSUN OLEH
PENDIDIKAN KIMIA
UNIVERSITAS MATARAM
2020
RANGKUMAN
PENGEMBANGAN
Terlebih dahulu, kita harus tahu apa itu salinitas. Salinitas atau keasinan adalah tingat
keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan
garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air
alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan
garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air
dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih
dari 5%, ia disebut brine.
Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5%.
Beberapa danau garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari
air laut umumnya. Sebagai contoh, Laut Mati memiliki kadar garam sekitar 30%.
Salah satu besaran dasar dalam bidang ilmu kelautan adalah salinitas air laut. Salinitas
seringkali diartikan sebagai kadar garam dari air laut, walaupun hal tersebut tidak tepat
karena sebenarnya ada perbedaan antara keduanya. Definisi tentang salinitas pertama kali
dikemukakan oleh C. FORCH; M. KNUDSEN dan S.PX. SORENSEN tahun 1902. Salinitas
didefinisikan sebagai berat dalam gram dari semua zat padat yang terlarut dalam 1 kilo gram
air laut jikalau semua brom dan yodium digantikan dengan khlor dalam jumlah yang setara;
semua karbonat diubah menjadi oksidanya dan semua zat organik dioksidasikan. Nilai
salinitas dinyatakan dalam g/kg yang umumnya dituliskan dalam ‰ atau ppt yaitu singkatan
dari part-per-thousand.
DEFANT pada tahun 1961 (MAMAYEV 1975), menunjukkan bahwa salinitas air
laut kira-kira 0,14 ‰ lebih kecil dibandingkan dengan kadar garam sesungguhnya yang ada
di air laut. Yang dimaksud dengan garam di sini ialah istilah garam dalam pengertian kimia,
yaitu semua senyawaan yang terbentuk akibat reaksi asam dan basa. Jadi bukannya garam
dalam arti garam dapur saja. Berdasarkan hasil penelitian terhadap komposisi garam di air
laut sejak tahun 1859 oleh FORCHHAMMER, sampai saat kini masih berlaku bahwa air laut
mempunyai perbandingan komposisi garam yang sama untuk hampir semua perairan di
dunia. Memanfaatkan hal tersebut, maka penentuan salinitas air laut dapat dilakukan melalui
pengukuran kadar khlor dalam air laut yang disebut khlorinitas air laut. Definisi tentang
khlorinitas diusulkan oleh J.P. JACOBSEN dan M. KNUDSEN tahun 1940 yaitu sebagai
jumlah gram dari atom perak yang diperlukan untuk mengendapkan semua halogen dalam
0,325234 kg air laut. Khlorintitas dinyatakan dalam g/kg yang umumnya dituliskan dengan
lambang ‰ atau ppt. Hubungan antara salinitas dengan khlorinitas air laut diusulkan oleh M.
KNUDSEN pada tahun 1901, dan kemudian diterima secara luas hingga saat ini. Rumus
tersebut selanjutnya dikenal sebagai "rumus Knudsen": Salinitas (‰) = 0,30 + 1,805 x
khlorinitas (‰) Rumus Knudsen ini berlaku untuk salinitas antara 2,69 ‰ hingga 40,18 ‰
Dalam tahun 1962, The UNESCO Joint Panel on Equiation of Sea Water mengusulkan
hubungan baru yang merupakan modifikasi dari rumus Knudsen.
Salinitas adalah kadar garam terlarut dalam air. Salinitas merupakan bagian dari sifat
fisik dan kimia suatu perairan, selain suhu, pH, substrat dan lain-lain. Salinitas
menggambarkan padatan total di dalam air. Salinitas perairan menggambarkan kandungan
garam dalam suatu perairan. Garam yang dimaksud adalah berbagai ion yang terlarut dalam
air termasuk garam dapur (NaCl). Pada umumnya salinitas disebabkan oleh 7 ion utama yaitu
natrium (Na), klorida (Cl), kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), sulfat (SO4) dan
bikarbonat (HCO3).
Kita sering dengar bahwa salinitas air laut rata-rata 35%, kenapa? Kualitas air laut
dipengaruhi oleh tingkat keasinan atau kadar garam. Salinitas air berpengaruh terhadap
tekanan osmotik air. Semakin tinggi salinitas disuatu perairan, maka akan semakin besar pula
tekanan osmotiknya. Salinitas berpengaruh penting terhadap kelangsungan hidup biota air.
Hal ini dikarenakan setiap biota air memiliki toleransi terhadap salinitas terkait dengan
tekanan osmotik.
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam yang terlarut dalam air. Yaitu
jumlah gram garam yang terlarut untuk setiap liter larutan. Biasanya dinyatakan dalam satuan
0/00 (parts per thousand). Oleh karena itu, suatu sampel air laut yang seberat 1000 gram yang
mengandung 35 gram senyawa-senyawa terlarut mempunyai salinitas 350/00
Kekonstanan komposisi air laut merupakan satu konsep yang penting dalam
oseanografi. Oseanografi berasal dari kata Graphos (description=pemerian) atau dapat juga
disebut deskripsi, yakni pemerian tentang teluk, selat, laut dan samudera; mencakup dan
memadukan semua penggambaran tentang laut, termasuk kandungannya yang hidup maupun
mati dan sempandan fisiknya yang terdiri dari litosfer di dasarnya dan atmosfer di atasnya
yang masih berinteraksi dengannya. Logos artinya ilmu. Ilmu yang mencakup seluruh kajian
mengenai laut dan samudera, menyatukan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu-ilmu
kelautan (marine sciences) mengenai dami batas-batas samudera dan topografi dasarnya,
fisika dan kimia air laut, tipe-tipe dinamika gerak arus laut, dan berbagai fase biologi laut,
serta menyintesiskan pengetahuan biologi dengan hidrografi-geologi kelautan. Berdasarkan
kamus oseanografi karangan Heryoso Setiono Oseanografi adalah ilmu yang mempelajari
lautan. Suatu ilmu yang bersifat multidisipliner yang mencakup berbagai macam bidang ilmu
diantaranya biologi, fisika, kimia dan geologi.
1. Oseanografi Fisika, yaitu ilmu yang mempelajari tentang sifat fisika yang terjadi dalam
lautan dan yang terjadi antara lautan dengan atmosfer dan daratan. Contohnya gerakan air
laut, transmisi cahaya, suara.
2. Oseanografi Biologi, yakni cabang ilmu oseanografi yang mempelajari tentang semua
organisme yang ada di lautan, distribusi dan migrasinya, keterkaitan antara makhluk hidup
dan lingkungan hidupnya.
3. Oseanografi Kimia, yakni ilmu yang mempelajari mengenai sifat-sifat dan reaksi kimia air
laut.
4. Oseanografi Geologi, yakni ilmu yang mempelajari mengenai konfigurasi dasar laut,
mineral dalam kandungan sedimen air laut, proses pembentukan dasar lautan (semua
proses geologi yang ada di laut).
Laut sejak dulu berperan dalam penyebaran panas melalui sirkulasi air laut.
Kemampuan laut dalam menyerap dan menyimpan panas pada beberapa daerah di bumi
berbeda-beda. Pada daerah tropis dimana intensitas sinar matahari berlangsung sepanjang
tahun, suhu air laut cenderung lebih hangat. Semakin ke arah kutub, intensitas sinar matahari
semakin berkurang sehingga suhu air laut juga cenderung berkurang. Pada daerah dengan
suhu tinggi, tingkat penguapan air laut juga tinggi sehingga salinitas dan tekanan air
meningkat. Hal ini memicu pergerakan massa air laut dari daerah bertekanan tinggi ke
tekanan rendah. Pada kondisi ini, massa air hangat yang berada di samudera Pasifik akan
bergerak ke samudera Hindia melalui kepulauan Indonesia menuju samudera Atlantik bagian
utara.
Di Atlantik Utara dimana suhu air laut sangat dingin, massa air dari daerah hangat
tadi, setelah mengalami evaporasi dalam perjalanannya di daerah tropis dan subtropis,
memiliki salinitas dan densitas yang lebih tinggi dari air laut di Atlantik Utara. Karena
memiliki densitas yang tinggi maka massa air ini akan mengalami proses sinking, yaitu
proses turunnya massa air ke laut dalam. Massa air laut dalam di perairan Atlantik Utara
(North Atlantic Deep Water – NADW) selanjutnya akan bergerak ke selatan menuju arus
polar Antartika. Sebagian massa air tersebut perlahan bergerak menuju samudera Hindia
perlahan naik ke permukaan karena adanya gradien densitas dan meningkatnya suhu air laut.
Sementara sebagian massa NADW mengalir melalui selatan Australia kemudian perlahan
naik di permukaan samudera pasifik. Pergerakan massa air laut secara global ini membentuk
sebuah siklus yang disebut dengan sirkulasi termohalin (Thermohaline Circulation). Sirkulasi
in terjadi secara dinamis dan seimbang.
Perubahan iklim sudah menjadi isu global yang sangat menyita perhatian seluruh
dunia. Peristiwa kenaikan rata-rata suhu bumi dalam suatu periode tertentu ini mengundang
para peneliti dari seluruh dunia untuk melakukan kajian menyangkut pengaruh perubahan
iklim terhadap kehidupan manusia. Fenomena ini pada dasarnya dipengaruhi oleh kenaikan
konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer, terutama adalah karbondioksida (CO2),
dinitoksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs) dan
hodroflorokarbon (HFCs). Konsentrasi gas-gas tersebut membentuk efek rumah kaca yang
mengakibatkan pantulan gelombang panjang sinar matahari dari bumi tertahan di atmosfir
dan dipantulkan kembali ke bumi. Efek rumah kaca menggambarkan bahwa konsentrasi gas
tersebut menyebabkan radiasi sinar matahari terperangkap di atmosfer sehingga
menyebabkan suhu bumi mengalami peningkatan.
Salah satu analisis dampak pemanasan global akibat perubahan iklim ini diungkapkan
seorang ilmuan Inggris bernama Sir Nicholas Stern dalam Stern Reviev : The Economic of
Climate Change (2006), dimana dengan kenaikan suhu bumi sebesar 5°C saja maka berbagai
bencana bisa terjadi. Bahkan pada tahun 2050 kondisi bumi sangat parah menyusul rusaknya
hutan di Amazon, Kanada dan Rusia akibat panas dan kekeringan. Belum lagi perubahan
iklim ini memicu naiknya muka air laut yang dapat mengakibatkan tenggelamnya pulau-
pulau kecil dan daerah pesisir berdataran rendah. Hasil studi International Panel for Climate
Change (IPCC) tahun 2007 menyatakan bahwa pada periode 1961 sampai 1993, laut telah
mengalami kenaikan dengan laju rata-rata 1,8 mm/tahun, atau akan mencapai 1,8 m pada
tahun 2100. Di lain pihak, National Academy of Science America (NASA) memperkirakan
bahwa pada tahun 2100 kenaikan muka air laut berkisar antara 0,3 – 2 meter.
Toggweiler dan M. Key (tt) mengatakan bahwa pendinginan laut di daerah lintang
tinggi membuat permukaan air di kutub lebih padat dibanding dengan perairan hangat di
lintang yang lebih rendah sehingga dapat mendinginkan sirkulasi termohalin pada daerah
dingin. Salinitas tinggi pada air laut yang melalui samudera Atlantik secara dangkal di
pahami akan memberi kontribusi positif bagi kekuatan dan kestabilan sirkulasi termohalin.
Hal ini tidaklah benar, karena siklus air tawar antara laut dan atmosfer (siklus hidrologi) di
daerah lintang tinggi menyebabkan penambahan konsentrasi air tawar pada daerah tersebut
sehingga dapat mengurangi kepadatan (salinitas) air permukaan kutub. Siklus hidrologi bumi
diprediksikan menjadi lebih kuat pada masa akan datang dengan terus berlangsungnya
pemanasan global. Hal ini diprediksi dapat memperlemah sirkulasi termohalin dengan sangat
mendadak dan tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Manabe dan Stouffer (1993) memproyeksikan bahwa kenaikan kada CO2 sebesar
empat kali lipat dapat menyebabkan sirkulasi termohalin collaps. Secara substansial, ini akan
menyebabkan lapisan termoklin (lapisan air laut yang memisahkan air hangat permukaan
dengan air laut dalam yang dingin-berada pada kisaran 80 – 1000 meter) menjadi lebih dalam
dan terjadi pergeseran dalam pertukaran panas antara belahan bumi bagian utara dan selatan.
Hal ini juga akan menyebabkan berkurangnya laju suplai nutrisi terhadap biota laut di
permukaan dan berkurangnya kandungan oksigen di laut dalam secara drastis. Banyak
konsensus lainnya yang coba memprediksi respon sirkulasi termohalin terhadap pemanasan
global. Lebih dari itu, Wood, R., A. et al (2003) mengatakan bahwa semua proyeksi
konsensus dari beberapa model yang telah dianalisa oleh beberapa peneliti menyatakan
bahwa sirkulasi termohalin akan semakin melemah atau tidak berubah dalam satu abad ke
depan dalam merespon meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Kedua konsep tersebut
harus dibaca dalam konteks model teori “ketidakpastian tingkat tinggi”. Beberapa pendekatan
untuk mengurangi ketidakpastian ini adalah (a) mengidentifikasi proses-utama (key
processes) untuk mengendalikan kestabilan dan kekuatan sirkulasi termohalin dengan
menggunakan beberapa model, dan (b) menguji proses-proses yang dimodelkan tersebut
dengan pengujian lapangan (observationally based test). Untuk saat ini, kita masih berada
pada posisi pertama (a).
Pada dasarnya, alam kita selalu bergerak menuju titik keseimbangannya
(ekuilibrium). Selama manusia masih tetap berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi
gas rumah kaca (anthropogenic contribution), sehingga memicu pemanasan global, maka
suhu global juga akan bergerak menuju titik keseimbangannya. Sirkulasi termohaline sebagai
salah satu komponen sistem alam yang mempengaruhi iklim bumi juga akan mengalami
perubahan, baik kekuatan maupun kestabilannya, sampai pada ambang batasnya. Namun
apakah sirkulasi termohalin akan terus dipaksa oleh pemanasan global ini sampai melewati
ambang batas itu.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Dharma. 1984. “Pengukuran Salinitas Air Laut dan Perannya Dalam Ilmu Kelautan”.
Oseana. IX(1): (3-10). sumber:www.oseanografi.lipi.go.id.
http:///C:/Users/ACER/Downloads/645-2253-2-PB.pdf
http://core.ac.uk/download/pdf/89564091.pdf
http://dx.doi.org/10.24895/MIG.2018.20-2.645
http://en.m.wikipedia.org/wiki/Hydrothermal_circulation
http://faridsen14.blogspot.com/2014/01/penyebab-tingkat-salinitas-berbagai
http://febry23.wordpress.com/2010/11/24/pelapukan-weathering/
http://id.wikipedia.org/wiki/Keasinan
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&id=38222&src=a
http://lib.unnes.ac.id/8115/1/8596.pdf
http://oceanidhor.blogspot.com/2018/07/pengertian-oseanografi.html
https://www.kompasiana.com/darkwright/54ff412aa33311194d50f831/perubahan-iklim-dan-
sirkulasi-laut-global