DOSEN PEMBIMBING:
DISUSUN OLEH :
NAMA : Mohammad Yusuf Yuwana Arif
NIM : 2018.5501.01.04520
FAKULTAS TARBIYAH
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. atas semua rahmat, taufiq dan hidayah
serta inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa adanya
halangan yang melanda. Tak lupa sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Rasulullah
SAW. yang telah menyelamatkan kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Hadist Tarbawi. Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai “TAFSIR IBNU KATSIR YANG MENJELASKAN
SURAT AN NAHL AYAT 43-44 DAN SURAT AL KAHFI AYAT 65-70 ” Makalah ini
diharapkan dapat membantu para mahasiswa pada umumnya sebagai penambah pengetahuan
dan pemahaman tentang tafsir ayat Al –Qur’an.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung
dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
PEMBAHASAN
A. Surat An Nahl ayat 43-44
B. Terjemahan
Artinya : 43. Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang
Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, 44. keterangan-keterangan (mu'jizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan,
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang lelaki yang Kami berikan wahyu
kepadanya di antara penduduk negeri”. (Yusuf: 109)
Mereka bukanlah berasal dari penduduk langit seperti yang kalian duga.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud
dengan ahluz zikr dalam ayat ini ialah ahli kitab. Pendapat yang sama dikatakan pula oleh
Mujahid dan Al-A'masy.
Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid, yang dimaksud dengan az-zikr ialah Al-Qur'an. Ia
mengatakan demikian dengan berdalilkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang
mengatakan:
ْ }إِنَّا نَحْ ُن
{ َنزلنَا ال ِّذ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َحافِظُون
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya”. (Al-Hijr: 9)
Pendapat ini memang benar, tetapi bukan makna tersebut yang dimaksud dalam ayat
ini, mengingat orang yang menentang tidak dapat dijadikan sebagai rujukan untuk
membuktikannya sesudah ia sendiri mengingkarinya.
Hal yang sama dikatakan oleh Abu Ja'far Al-Baqir, bahwa kami adalah ahli zikir.
Maksud ucapannya ialah bahwa umat ini adalah ahluz zikir memang benar, mengingat
umat ini lebih berpengetahuan daripada umat-umat terdahulu. Lagi pula ulama yang
terdiri atas kalangan ahli bait Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam adalah sebaik-baik
ulama bila mereka tetap pada sunnah yang lurus, seperti Ali ibnu Abu Talib, Ibnu Abbas,
kedua anak Ali (Hasan dan Husain), Muhammad ibnul Hanafiyah, Ali ibnul Husain
Zainal Abidin, dan Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas, dan Abu Ja'far Al-Baqir yang nama
aslinya ialah Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, sedangkan Ja'far adalah nama putranya.
Begitu pula ulama lainnya yang semisal dan serupa dengan mereka dari kalangan ulama-
ulama yang berpegang kepada tali Allah yang kuat dan jalan-Nya yang lurus. Dia
mengetahui hak tiap orang serta menempatkan kedudukan masing-masing sesuai dengan
apa yang telah diberikan kepadanya oleh Allah dan RasulNya, dan telah disepakati oleh
hati hamba-hamba-Nya yang beriman.
Kesimpulan dari makna ayat ini ialah bahwa para rasul terdahulu sebelum Nabi
Muhammad Shalallahu'alaihi Wasallam adalah manusia, sebagaimana Nabi Muhammad
sendiri juga seorang manusia, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
اس أَ ْن ي ُْؤ ِمنُوا إِ ْذ َجا َءهُ ُم ْالهُدَى ُ قُلْ ُسب َْحانَ َربِّي هَلْ ُك ْن
َ َّت إِال بَ َشرًا َرسُوال َو َما َمنَ َع الن
َ إِال أَ ْن قَالُوا أَبَ َع
ث هَّللا ُ بَ َشرًا َرسُوال
Katakanlah, "Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang
menjadi rasul?” Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala
datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka, "Adakah Allah mengutus seorang
manusia menjadi rasul?” (Al-Isra: 93-94)
ْ
ِ }و َما أَرْ َس ْلنَا قَ ْبلَكَ ِمنَ ْال ُمرْ َسلِينَ إِال إِنَّهُ ْم لَيَأ ُكلُونَ الطَّ َعا َم َويَ ْم ُشونَ فِي األ ْس َو
{اق َ
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh
memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. (Al-Furqan: 20)
ََو َما َج َع ْلنَاهُ ْم َج َسدًا اَل يَأْ ُكلُونَ الطَّ َعا َم َو َما َكانُوا خَ الِ ِدين
“Dan tidaklah Kami menjadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan
tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal”. (Al-Anbiya: 8)
ُ قُلْ َما ُك ْن
ت بِ ْدعًا ِمنَ الرُّ س ُِل
ِ }بِ ْالبَيِّنَا
{ت
ِ َّ}لِتُبَيِّنَ لِلن
{اس َما نز َل إِلَ ْي ِه ْم
“agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka.” (An-Nahl: 44)
Yakni dari Tuhannya, karena kamu telah mengetahui makna apa yang telah
diturunkan oleh Allah kepadamu-, dan karena keinginanmu yang sangat kepada Al-
Qur'an serta kamu selalu mengikuti petunjuknya. Karena Kami mengetahui bahwa kamu
adalah makhluk yang paling utama, penghulu anak Adam, maka sudah sepantasnya kamu
memberikan keterangan kepada mereka segala sesuatu yang global, serta memberi
penjelasan tentang hal-hal yang sulit mereka pahami.
Maksudnya, agar mereka merenungkannya buat diri mereka sendiri, lalu mereka akan
mendapat petunjuk dan akhirnya mereka beroleh keberuntungan di dunia dan akhirat
(berkat Al-Qur'an).
E. Kandungan Surat An Nahl ayat 43 – 44
Kandungan dalam surat al-Nahl ayat 43-44 adalah bahwa orang-orang musyrik tidak
membutuhkan para Nabi, karena orang-orang musyrik menganggap, bahwa kebutuhan
kepada Nabi berarti mengharuskan Dalam ayat-ayat ini, Allah SWT menyajikan
kesalahpahaman orang- orang musyrik mengatakan, sekiranya Allah hendak megutus
seorang Rasul, maka Rasul itu bukan manusia, karena Allah Maha Tinggi dan Maha
Agung daripada Rasul-Nya, salah seorang di antara manusia, sekiranya Dia mengutus
seorang Rasul kepada kami, tentu Dia mengutus malaikat. Kemudian Allah menjawab
kesalahpahaman ini bahwa telah menjadi Sunnah Allah untuk mengutus para Rasul-Nya
dari manusia.
Jika kalian ragu-ragu tentang hal itu, tanyakanlah kepada ahli kitab. Selanjutnya
Allah SWT mengancam mereka (orang-orang musyrik) akan menenggelamkan bumi
bersama mereka, sebagaimana Allah telah menenggelamkan Qarun, atau mendatangkan
azab dari langit, lalu membinasakan mereka secara tiba-tiba, sebagaimana Allah telah
melakukannya terhadap kaum Luth, atau membinasakan mereka, ketika mereka
mengadakan perjalanan dan sibuk dengan urusan duniawi. Jadi secara umum ayat 43 dan
44 tersebut menjelaskan tentang bagaimana ketidak percayanya seorang kaum musrik
terhadap nabi Muhammad, yang mana beliau diutus sebagai rasul di bumi ini. Padahal
dalam ayat tersebut, Allah telah menjelaskan bahwa rasul yang diutus untuk manusia
maka jenisnya sama cuma bedanya rasul itu diberi mu‟jizat untuk menjelaskan. Dan
mu‟jizat yang diberikan kepada nabi Muhammad berupa al-Qur‟an. bagi mereka adanya
kehidupan lain, tempat mereka dihisab, sedang mereka tidak membenarkan hal itu, karena
mereka menganggap hal seperti itu tidak masuk akal jika yang demikian itu ada.
Pada akhir ayat di atas dijelaskan tentang fungsi Rasulullah Saw., sebagai penjelas
(mubayyin) kepada manusia tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran. Hal
ini dimaksudkan agar manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan dapat berfikir. Ini
mengisyaratkan bahwa siswa perlu memikirkan, menganalisis dan bahkan mengkritisi
materi pendidikan yang disampaikan guru. Di lain pihak, dengan ini juga menunjukkan
bahwa Alquran selalu mengajak berfikir kepada manusia agar dalam menunaikan
kewaiban-kewajiban agama dilaksanakan dengan hati yang mantap karena didukung ilmu
yang cukup.
Nilai pendidikan yang dapat kita ambil dari surat An-Nahl ayat : 43 dan 44 antara lain:
1. Menganjurkan kita untuk bertanya apabila kita tidak tahu.
2. Apabila kita mempunyai ilmu sebaiknya ajarkan kepada yang belum tahu.
3. Dalam mendidik sebaiknya menyesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan pemahaman
peserta didik.
4. Pendidik sebaiknya menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahani.
5. Pendidikan dilakukan secara bertahab.
6. Pendidik atau guru sebaiknya menguasai bahan ajar.
٦٥ َف َو َجدَا َعبْداً مِّنْ عِ َبا ِد َنا آ َت ْي َناهُ َرحْ َم ًة ِمنْ عِ ن ِد َنا َو َعلَّمْ َناهُ مِن لَّ ُد َّنا
ً عِ ْلما
٦٧ ًصبْرا
َ ِي َ ِك َلن َتسْ َتط
َ يع َمع َ َقا َل إِ َّن
٧٠ ًك ِم ْن ُه ذ ِْكرا َ َقا َل َفإِ ِن ا َّت َبعْ َتنِي َفاَل َتسْ أ َ ْلنِي َعن َشيْ ٍء َح َّتى أُحْ د
َ ِث َل
B. Terjemahan
Artinya:” 65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami . 66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu
yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersama aku. 68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" 69.
Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku
tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".70. Dia berkata: "Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu"”.
٦٥ َف َو َجدَا َعبْداً مِّنْ عِ َبا ِد َنا آ َت ْي َناهُ َرحْ َم ًة ِمنْ عِ ن ِد َنا َو َعلَّمْ َناهُ مِن لَّ ُد َّنا
عِ ْلما ً
صبْراً ٦٧
ِي َ ك َلن َتسْ َتطِ َ
يع َمع َ َقا َل إِ َّن َ
صابِراً َواَل أَ ْع ِ
صي َلك ٦٩ قَا َل َست َِج ُدنِي إِن َشاء هَّللا ُ َ
أَ ْمراً
٧٠ ك ِم ْن ُه ذ ِْكراً َقا َل َفإِ ِن ا َّت َبعْ َتنِي َفاَل َتسْ أ َ ْلنِي َعن َشيْ ٍء َح َّتى أُحْ د َ
ِث َل َ
Artinya:” 65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami . 66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu
yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersama aku. 68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" 69. Musa
berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak
akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku,
maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu"”.
َف َو َجدَا َع ْب ًدا ِمنْ عِ َبا ِد َنا آ َت ْي َناهُ َرحْ َم ًة ِمنْ عِ ْن ِد َنا َو َعلَّ ْم َناهُ ِمنْ َل ُد َّنا عِ ْلمًا
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Dia adalah Khidir 'alaihissalam menurut apa yang ditunjukkan oleh hadis-hadis sahih dari
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
٦٧ ًصبْرا
َ ِي َ ِك َلن َتسْ َتط
َ يع َمع َ َقا َل إِ َّن
٧٠ ًك ِم ْن ُه ِذ ْكرا َ َقا َل َفإِ ِن ا َّت َبعْ َتنِي َفاَل َتسْ أ َ ْلنِي َعن َشيْ ٍء َح َّتى أُحْ د
َ ِث َل
“Musa berkata kepada Khidir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dia
menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku
sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan
pun.” Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan tentang perkataan Musa 'alaihissalam kepada
lelaki yang alim itu —yakni Khidir— yang telah diberikan kekhususan oleh Allah dengan
suatu ilmu yang tidak diketahui oleh Musa. Sebagaimana Allah telah memberi kepada
Musa suatu ilmu yang tidak diberikan-Nya kepada Khidir.
َ }أَتَّبِ ُع
{ك
Yakni suatu ilmu yang pernah diajarkan oleh Allah kepadamu,-agar aku dapat
menjadikannya sebagai pelitaku dalam mengerjakan urusanku, yaitu ilmu yang bermanfaat
dan amal yang saleh. Maka pada saat itu juga Khidir berkata kepada Musa:
Aku mengetahui bahwa kamu akan mengingkari hal-hal yang kamu dimaafkan tidak
mengikutinya, tetapi aku tidak akan menceritakan hikmah dan maslahat hakiki yang telah
diperlihatkan kepadaku mengenainya, sedangkan kamu tidak mengetahuinya.
Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar.” (Al-
Kahfi: 69)
Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apa pun." (Al-Kahfi: 70)
Yaitu aku sendirilah yang akan menjelaskannya kepadamu, sebelum itu kamu tidak
boleh mengajukan suatu pertanyaan pun kepadaku.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Jubair, telah
menceritakan kepada kami Ya'qub, dari Harun, dari Ubaidah, dari ayahnya, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwa Musa 'alaihissalam bertanya kepada Tuhannya, "Wahai
Tuhanku, hamba-hamba-Mu yang manakah yang paling disukai olehmu?" Allah
Subhanahu wa Ta'ala menjawab, "Orang yang selalu ingat kepada-Ku dan tidak pernah
melupakan Aku." Musa bertanya, "Siapakah di antara hamba-hamba-Mu yang paling
adil?" Allah menjawab, "Orang yang memutuskan (perkara) dengan hak dan tidak pernah
memperturutkan hawa nafsunya." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, siapakah di antara
hamba-hamba-Mu yang paling alim?" Allah berfirman, "Orang yang rajin menimba ilmu
dari orang lain dengan tujuan untuk mencari suatu kalimah yang dapat memberikan
petunjuk ke jalan hidayah untuk dirinya, atau menyelamatkan dirinya dari kebinasaan."
Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, apakah di bumi-Mu ini ada seseorang yang lebih alim
daripada aku?" Allah berfirman, "Ya, ada." Musa bertanya, "Siapakah dia?" Allah
berfirman, "Dialah Khidir." Musa bertanya, "Di manakah saya harus mencarinya?" Allah
berfirman, "Di pantai di dekat sebuah batu besar tempat kamu akan kehilangan ikan
padanya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Musa berangkat mencarinya; dan
kisah selanjutnya adalah seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
di dalam kitab-Nya, hingga akhirnya sampailah Musa di dekat batu besar itu. Ia bersua
dengan Khidir, masing-masing dari keduanya mengucapkan salam kepada yang lainnya.
Musa berkata kepadanya, "Sesungguhnya saya suka menemanimu." Khidir menjawab,
"Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup sabar bersamaku." Musa berkata, "Tidak, saya
sanggup." Khidir berkata, "Jika kamu menemaniku: maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Al-
Kahfi: 70) Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Khidir membawa Musa berangkat
menempuh jalan laut, hingga sampailah ke tempat bertemunya dua buah lautan; tiada suatu
tempat pun yang airnya lebih banyak daripada tempat itu. Kemudian Allah mengirimkan
seekor burung pipit, lalu burung pipit itu menyambar seteguk air dengan paruhnya. Khidir
berkata kepada Musa, Berapa banyakkah air yang disambar oleh burung pipit ini menurut-
mu?" Musa menjawab, "Sangat sedikit." Khidir berkata, "Hai Musa, sesungguhnya ilmuku
dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah, sama dengan apa yang diambil oleh burung
pipit itu dari lautan ini." Sebelum peristiwa ini pernah terdetik di dalam hati Musa bahwa
tiada seorang pun yang lebih alim daripada dia. Atau Musa pernah mengatakan demikian.
Karena itulah maka Allah memerintahkan kepadanya untuk mendatangi Khidir. Ibnu
Abbas melanjutkan kisahnya ini menyangkut pelubangan perahu, pembunuhan terhadap
seorang anak muda, dan pembetulan dinding yang akan runtuh, serta takwil dari semua
perbuatan tersebut.
Asbabun Nuzul Surat Al Kahfi (Gua), Ashabul Kahfi, adalah surat yang sangat pupuler
yang sering menjadi acuan ceramah oleh para da'i dalam momen- momen tertentu. Surat
Al-Kahfi terdiri dari 110 ayat. Dari 110 ayat ini membahas 4 pokokbahasan yang terdiri
dari :
1. Keimanan yang isinya : Kekuasaan Allah swt. untuk memberi daya hidup pada manusia
di luar hukum kebiasaan; dasar-dasar Tauhid serta keadilan Allah swt. tidak berubah
untuk selama-lamanya, kalimat- kalimat Allah (ilmu-Nya), amat luas sekali, meliputi
segala sesuatu.
2. Hukum-Hukum : Dasarhukum akalah (berwakil) ; larangan membangun tempat ibadah
di atas kubur, hukum membaca Insya Allah; perbuatan yang dilakukan karena lupa
adalah dimaafkan; kebolehan merusak suatu barang untuk menghindarkan bahaya yang
lebih besar.
3. Kisah-Kisah : Cerita Ashabul Kahfi, cerita dua orang laki-laki yang seorang kafir dan
yang lainnya mu'min; cerita Nabi Musa a.s. dengan Khidir; cerita Dzulkarnain dengan
Ya'juj dan Ma'juj.
Pada Ayat ke-66 surat Al Kahfi ini menjelaskan bahwa ucapan Nabi Musa as. terhadap
Nabi Khidir as. adalah ucapan yang lemah lembut (tanpa paksaan). Oleh karena itu wajib
bagi seorang muta’allim (pelajar) apabila menanyakan sesuatu hal kepada mua’llim
(guru) dengan ucapan yang lemah lembut. Kata attabi’uka ialah mengikuti dengan
sungguh-sungguh.
Pada ayat ke-67 ini sebagai jawaban Nabi Khidir as. bahwa Nabi Musa as. tidak akan
sanggup mengikuti Nabi Khidir as. dengan alasan sudut pandang keilmuan yang berbeda.
Nabi Khidir as. diberi ilmu yang sifatnya batiniyah (dalam) sedangkan Nabi Musa as.
diberi ilmu yang sifatnya lahiriah.
Ayat 68 ini menegaskan kepada Nabi Musa as. tentang sebab Nabi Musa tidak akan
bersabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Nabi Musa as. akan melihat
kenyataan pekerjaan Nabi Khidir as. yang secara lahiriyah bertentangan dengan syariat
Nabi Musa as. sehingga Nabi Musa as. mengingkarinya karena menganggap hal yang
mustahil. Sedangkan secara batiniyah tidak mengetahui hikmahnya atau
kemaslahatannya. Nabi Musa as. berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan
menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Khidir, dan berjanji pula akan melaksanakan
perintah Nabi Khidir selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah swt.
Selanjutnya dalam ayat 70 : Nabi Khidir as. dapat menerima Nabi Musa as. dengan
syarat: “Jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku, maka janganlah kamu bertanya
tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri
menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu
perbuatan yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai menyebutnya
untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa , apabila kita tidak tahu mengenai suatu
hal kita bisa tanya kepada orang yang lebih tahu. Tanyanlah dengan bahasa yang sopan
dan baik. Dan ketika kita menuntut Ilmu sesuaikan dengan kemampuannya, maksudnya
yaitu kalau belajar sesuaikan dengan kadarnya , belajar secara bertahap karena belajar itu
membutuhkan suatu proses tidak dengan cara instant. Jadi kita harus menguasai dasarnya
dulu kemudian naik ketingkatan yang lebih tinggi lagi dan seterusnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada surat An Nahl ayat 43 – 44 dan surat Al – Kahfi ayat 65 – 70 mengajarkan kita apabila
kita tidak tahu mengenai suatu hal kita bisa tanya kepada orang yang lebih tahu. Tanyanlah
dengan bahasa yang sopan dan baik. Dan ketika kita menuntut Ilmu sesuaikan dengan
kemampuannya, maksudnya yaitu kalau belajar sesuaikan dengan kadarnya , belajar secara
bertahap karena belajar itu membutuhkan suatu proses tidak dengan cara instant. Jadi kita harus
menguasai dasarnya dulu kemudian naik ketingkatan yang lebih tinggi lagi dan seterusnya.
Nilai – nilai pendidikan yang terkandung diantaranya:
1. Menganjurkan kita untuk bertanya apabila kita tidak tahu.
2. Apabila kita mempunyai ilmu sebaiknya ajarkan kepada yang belum tahu.
3. Dalam mendidik sebaiknya menyesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan pemahaman
peserta didik.
4. Pendidik sebaiknya menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahani.
5. Pendidikan dilakukan secara bertahab.
6. Pendidik atau guru sebaiknya menguasai bahan ajar.
B. Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah tafsir tarbawi, penulis khususnya dan para
pembaca dapat memahami tafsir Ibnu katsir mengenai surat An Nahl ayat 43 – 44 dan surat
Al Kahfi ayat 65 – 70 . penulispun berharap adanya kritik dan saran. Karena semua itu untuk
sempurnanya pembuatan makalah yang akan datang.