Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

TENTANG TAFSIR IBNU KATSIR YANG


MENJELASKAN SURAT AN NAHL AYAT 43-44
DAN SURAT AL KAHFI AYAT 65-70

DOSEN PEMBIMBING:

HAMIDATUN NIHAYAH M.Th.I

DISUSUN OLEH :
NAMA : Mohammad Yusuf Yuwana Arif
NIM : 2018.5501.01.04520

INSTITUT AGAMA ISLAM SUNAN GIRI BOJONEGORO

FAKULTAS TARBIYAH
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. atas semua rahmat, taufiq dan hidayah
serta inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa adanya
halangan yang melanda. Tak lupa sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Rasulullah
SAW. yang telah menyelamatkan kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Hadist Tarbawi. Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai “TAFSIR IBNU KATSIR YANG MENJELASKAN
SURAT AN NAHL AYAT 43-44 DAN SURAT AL KAHFI AYAT 65-70 ” Makalah ini
diharapkan dapat membantu para mahasiswa pada umumnya sebagai penambah pengetahuan
dan pemahaman tentang tafsir ayat Al –Qur’an.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung
dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan makalah ini.

Bojonegoro,16 Februari 2019

Penulis
PEMBAHASAN
A. Surat An Nahl ayat 43-44

َ ‫الذ ْك ِر إِن ُكن ُت ْم الَ َتعْ َلم‬


‫ُون‬ ِّ ‫ك إِالَّ ر َجاالً ُّنوحِي إِ َلي ِْه ْم َفاسْ أَلُو ْا أَهْ َل‬ َ ِ‫َو َما أَرْ َس ْل َنا مِن َق ْبل‬
ِ
٤٣ َ ‫اس َما ُن ِّز َل إِ َلي ِْه ْم َو َل َعلَّ ُه ْم َي َت َف َّكر‬
‫ُون‬ ِّ ‫ْك‬
ِ ‫الذ ْك َر لِ ُت َبي َِّن لِل َّن‬ َ َ‫الزب ُِر َوأ‬
َ ‫نز ْل َنا إِ َلي‬ ِ ‫ ِب ْال َب ِّي َنا‬٤٤
ُّ ‫ت َو‬

B. Terjemahan
Artinya : 43. Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang
Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, 44. keterangan-keterangan (mu'jizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan,

C. Arti Kosa Kata


Surat An Nahl ayat 43

Dan Tidak ‫َو َما‬ Maka tanyakanlah ‫َفاسْ أَلُو ْا‬


Kami Mengutus ‫أَرْ َس ْل َنا‬ Ahli ‫أَهْ َل‬
Dari ‫مِن‬ Dzikir ِّ
‫الذ ْك ِر‬
Sebelum kamu ‫ك‬َ ِ‫َق ْبل‬ Jika kalian adalah ‫إِن ُكن ُت ْم‬
Tidak (kalian)
Kecuali َّ‫إِال‬ ‫الَ َتعْ َلمُون‬
mengetahui
Orang laki – laki ً‫ِر َجاال‬
Kami Beri Wahyu ‫ُّنوحِي‬
Kepada Mereka ‫إِ َلي ِْه ْم‬

Surat An Nahl ayat 44


Dengan keterangan -
ِ ‫ِب ْال َب ِّي َنا‬
‫ت‬ Kepada manusia ِ ‫لِل َّن‬
‫اس‬
keterangan
Apa yang telah
Dan kitab - kitab ‫الزب ُِر‬ُّ ‫َو‬ ‫َما ُن ِّز َل‬
diturunkan
Dan kami turunkan َ َ‫َوأ‬
‫نز ْل َنا‬ Kepada mereka ‫إِ َلي ِْه ْم‬
Kepadamu ‫ْك‬ َ ‫إِ َلي‬ Dan agar mereka ‫َو َل َعلَّ ُه ْم‬
Peringatan / Al – ِّ
‫الذ ْك َر‬ Mereka berfikir ‫َي َت َف َّكرُون‬
Qur’an
Agar kamu
‫لِ ُت َبي َِّن‬
menerangkan

D. Tafsir Surat An Nahl ayat 43 – 44


Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa setelah Allah mengutus Nabi
Muhammad menjadi seorang rasul, orang-orang Arab mengingkarinya, atau sebagian dari
mereka ingkar akan hal ini. Mereka mengatakan bahwa Mahabesar Allah dari menjadikan
utusan-Nya seorang manusia. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya:

ٍ ‫اس ع ََجبًا أَ ْن أَوْ َح ْينَا إِلَى َرج‬


{‫ُل ِم ْنهُ ْم‬ ِ َّ‫}أَ َكانَ لِلن‬
“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang
laki-laki di antara mereka, "Berilah peringatan kepada manusia.” (Yunus: 2), hingga
akhir ayat.
Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

ِ ‫وحي إِلَ ْي ِه ْم فَاسْأَلُوا أَ ْه َل ال ِّذ ْك‬


{ َ‫ر إِ ْن ُك ْنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُمون‬ ِ ُ‫}و َما أَرْ َس ْلنَا ِم ْن قَ ْبلِكَ إِال ِر َجاال ن‬
َ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui”. (An-Nahl: 43)
Maksudnya, bertanyalah kamu kepada ahli kitab yang terdahulu, apakah rasul yang
diutus kepada mereka itu manusia ataukah malaikat? Jika rasul-rasul yang diutus kepada
mereka adalah malaikat, maka kalian boleh mengingkarinya. Jika ternyata para rasul itu
adalah manusia, maka janganlah kalian mengingkari bila Nabi Muhammad
Shalallahu'alaihi Wasallam adalah seorang rasul.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

{‫وحي إِلَ ْي ِه ْم ِم ْن أَ ْه ِل ْالقُ َرى‬


ِ ُ‫} َو َما أَرْ َس ْلنَا ِم ْن قَ ْبلِكَ إِال ِر َجاال ن‬

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang lelaki yang Kami berikan wahyu
kepadanya di antara penduduk negeri”. (Yusuf: 109)
Mereka bukanlah berasal dari penduduk langit seperti yang kalian duga.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud
dengan ahluz zikr dalam ayat ini ialah ahli kitab. Pendapat yang sama dikatakan pula oleh
Mujahid dan Al-A'masy.
Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid, yang dimaksud dengan az-zikr ialah Al-Qur'an. Ia
mengatakan demikian dengan berdalilkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang
mengatakan:
ْ ‫}إِنَّا نَحْ ُن‬
{ َ‫نزلنَا ال ِّذ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya”. (Al-Hijr: 9)
Pendapat ini memang benar, tetapi bukan makna tersebut yang dimaksud dalam ayat
ini, mengingat orang yang menentang tidak dapat dijadikan sebagai rujukan untuk
membuktikannya sesudah ia sendiri mengingkarinya.
Hal yang sama dikatakan oleh Abu Ja'far Al-Baqir, bahwa kami adalah ahli zikir.
Maksud ucapannya ialah bahwa umat ini adalah ahluz zikir memang benar, mengingat
umat ini lebih berpengetahuan daripada umat-umat terdahulu. Lagi pula ulama yang
terdiri atas kalangan ahli bait Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam adalah sebaik-baik
ulama bila mereka tetap pada sunnah yang lurus, seperti Ali ibnu Abu Talib, Ibnu Abbas,
kedua anak Ali (Hasan dan Husain), Muhammad ibnul Hanafiyah, Ali ibnul Husain
Zainal Abidin, dan Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas, dan Abu Ja'far Al-Baqir yang nama
aslinya ialah Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, sedangkan Ja'far adalah nama putranya.
Begitu pula ulama lainnya yang semisal dan serupa dengan mereka dari kalangan ulama-
ulama yang berpegang kepada tali Allah yang kuat dan jalan-Nya yang lurus. Dia
mengetahui hak tiap orang serta menempatkan kedudukan masing-masing sesuai dengan
apa yang telah diberikan kepadanya oleh Allah dan RasulNya, dan telah disepakati oleh
hati hamba-hamba-Nya yang beriman.
Kesimpulan dari makna ayat ini ialah bahwa para rasul terdahulu sebelum Nabi
Muhammad Shalallahu'alaihi Wasallam adalah manusia, sebagaimana Nabi Muhammad
sendiri juga seorang manusia, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

‫اس أَ ْن ي ُْؤ ِمنُوا إِ ْذ َجا َءهُ ُم ْالهُدَى‬ ُ ‫قُلْ ُسب َْحانَ َربِّي هَلْ ُك ْن‬
َ َّ‫ت إِال بَ َشرًا َرسُوال َو َما َمنَ َع الن‬
َ ‫إِال أَ ْن قَالُوا أَبَ َع‬
‫ث هَّللا ُ بَ َشرًا َرسُوال‬

Katakanlah, "Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang
menjadi rasul?” Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala
datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka, "Adakah Allah mengutus seorang
manusia menjadi rasul?” (Al-Isra: 93-94)
ْ
ِ ‫}و َما أَرْ َس ْلنَا قَ ْبلَكَ ِمنَ ْال ُمرْ َسلِينَ إِال إِنَّهُ ْم لَيَأ ُكلُونَ الطَّ َعا َم َويَ ْم ُشونَ فِي األ ْس َو‬
{‫اق‬ َ
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh
memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. (Al-Furqan: 20)

َ‫َو َما َج َع ْلنَاهُ ْم َج َسدًا اَل يَأْ ُكلُونَ الطَّ َعا َم َو َما َكانُوا خَ الِ ِدين‬
“Dan tidaklah Kami menjadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan
tidak  (pula)  mereka itu orang-orang yang kekal”. (Al-Anbiya: 8)
ُ ‫قُلْ َما ُك ْن‬
‫ت بِ ْدعًا ِمنَ الرُّ س ُِل‬

“Katakanlah, "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (Al-Ahqaf: 9)

َ ‫قُلْ إِنَّ َما أَنَا بَ َش ٌر ِم ْثلُ ُك ْم ي‬


َّ َ‫ُوحى إِل‬
‫ي‬
Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang
diwahyukan kepadaku.” (Al-Kahfi: 110)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada orang-orang
yang meragukan bahwa rasul-rasul itu adalah manusia, agar mereka bertanya kepada ahli
kitab terdahulu tentang para nabi yang terdahulu, apakah mereka dari kalangan manusia
ataukah dari kalangan malaikat?
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan bahwa Dia mengutus mereka
yaitu:

ِ ‫}بِ ْالبَيِّنَا‬
{‫ت‬

“dengan membawa keterangan-keterangan”. (An-Nahl: 44)

Yakni hujah-hujah dan dalil-dalil.


ُّ ‫}و‬
{‫الزب ُِر‬ َ
“dan kitab-kitab”. (An-Nahl: 44)

Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Ad-Dahhak, dan yang


lainnya. Az-zubur adalah bentuk jamak dari zabur. Orang-orang Arab
mengatakan zabartul kitaba, artinya saya telah menulis kitab.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
ُّ ‫}و ُكلُّ َش ْي ٍء فَ َعلُوهُ ِفي‬
{‫الزب ُِر‬ َ
“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan.” (Al-
Qamar. 52)

َ‫ي الصَّالِحُون‬ َ ْ‫ُور ِم ْن بَ ْع ِد ال ِّذ ْك ِر أَ َّن األر‬


َ ‫ض يَ ِرثُهَا ِعبَا ِد‬ ِ ‫َولَقَ ْد َكتَ ْبنَا فِي ال َّزب‬
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah  (Kami tulis dalam)  Lauh
Mahfuz, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” (Al-Anbiya:
105)
Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
ْ َ‫}وأ‬
{‫نزلنَا إِلَ ْيكَ ال ِّذ ْك َر‬ َ
“Dan Kami turunkan kepadamu Az-Zikr.” (An-Nahl: 44)
Maksudnya, kitab Al-Qur'an.

ِ َّ‫}لِتُبَيِّنَ لِلن‬
{‫اس َما نز َل إِلَ ْي ِه ْم‬
“agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka.” (An-Nahl: 44)
Yakni dari Tuhannya, karena kamu telah mengetahui makna apa yang telah
diturunkan oleh Allah kepadamu-, dan karena keinginanmu yang sangat kepada Al-
Qur'an serta kamu selalu mengikuti petunjuknya. Karena Kami mengetahui bahwa kamu
adalah makhluk yang paling utama, penghulu anak Adam, maka sudah sepantasnya kamu
memberikan keterangan kepada mereka segala sesuatu yang global, serta memberi
penjelasan tentang hal-hal yang sulit mereka pahami.

{ َ‫}ولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬


َ
“dan supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl: 44)

Maksudnya, agar mereka merenungkannya buat diri mereka sendiri, lalu mereka akan
mendapat petunjuk dan akhirnya mereka beroleh keberuntungan di dunia dan akhirat
(berkat Al-Qur'an).
E. Kandungan Surat An Nahl ayat 43 – 44
Kandungan dalam surat al-Nahl ayat 43-44 adalah bahwa orang-orang musyrik tidak
membutuhkan para Nabi, karena orang-orang musyrik menganggap, bahwa kebutuhan
kepada Nabi berarti mengharuskan Dalam ayat-ayat ini, Allah SWT menyajikan
kesalahpahaman orang- orang musyrik mengatakan, sekiranya Allah hendak megutus
seorang Rasul, maka Rasul itu bukan manusia, karena Allah Maha Tinggi dan Maha
Agung daripada Rasul-Nya, salah seorang di antara manusia, sekiranya Dia mengutus
seorang Rasul kepada kami, tentu Dia mengutus malaikat. Kemudian Allah menjawab
kesalahpahaman ini bahwa telah menjadi Sunnah Allah untuk mengutus para Rasul-Nya
dari manusia.
Jika kalian ragu-ragu tentang hal itu, tanyakanlah kepada ahli kitab. Selanjutnya
Allah SWT mengancam mereka (orang-orang musyrik) akan menenggelamkan bumi
bersama mereka, sebagaimana Allah telah menenggelamkan Qarun, atau mendatangkan
azab dari langit, lalu membinasakan mereka secara tiba-tiba, sebagaimana Allah telah
melakukannya terhadap kaum Luth, atau membinasakan mereka, ketika mereka
mengadakan perjalanan dan sibuk dengan urusan duniawi. Jadi secara umum ayat 43 dan
44 tersebut menjelaskan tentang bagaimana ketidak percayanya seorang kaum musrik
terhadap nabi Muhammad, yang mana beliau diutus sebagai rasul di bumi ini. Padahal
dalam ayat tersebut, Allah telah menjelaskan bahwa rasul yang diutus untuk manusia
maka jenisnya sama cuma bedanya rasul itu diberi mu‟jizat untuk menjelaskan. Dan
mu‟jizat yang diberikan kepada nabi Muhammad berupa al-Qur‟an. bagi mereka adanya
kehidupan lain, tempat mereka dihisab, sedang mereka tidak membenarkan hal itu, karena
mereka menganggap hal seperti itu tidak masuk akal jika yang demikian itu ada.
Pada akhir ayat di atas dijelaskan tentang fungsi Rasulullah Saw., sebagai penjelas
(mubayyin) kepada manusia tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran. Hal
ini dimaksudkan agar manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan dapat berfikir. Ini
mengisyaratkan bahwa siswa perlu memikirkan, menganalisis dan bahkan mengkritisi
materi pendidikan yang disampaikan guru. Di lain pihak, dengan ini juga menunjukkan
bahwa Alquran selalu mengajak berfikir kepada manusia agar dalam menunaikan
kewaiban-kewajiban agama dilaksanakan dengan hati yang mantap karena didukung ilmu
yang cukup.

Nilai pendidikan yang dapat kita ambil dari surat An-Nahl ayat : 43 dan 44 antara lain:
1. Menganjurkan kita untuk bertanya apabila kita tidak tahu.
2. Apabila kita mempunyai ilmu sebaiknya ajarkan kepada yang belum tahu.
3. Dalam mendidik sebaiknya menyesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan pemahaman
peserta didik.
4. Pendidik sebaiknya menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahani.
5. Pendidikan dilakukan secara bertahab.
6. Pendidik atau guru sebaiknya menguasai bahan ajar.

A. Surat Al Kahfi Ayat 65 - 70

٦٥ ‫َف َو َجدَا َعبْداً مِّنْ عِ َبا ِد َنا آ َت ْي َناهُ َرحْ َم ًة ِمنْ عِ ن ِد َنا َو َعلَّمْ َناهُ مِن لَّ ُد َّنا‬
ً ‫عِ ْلما‬

َ ‫ك َع َلى أَن ُت َعلِّ َم ِن ِممَّا عُلِّم‬


٦٦ ً‫ْت ُر ْشدا‬ َ ‫ُوسى َه ْل أَ َّت ِب ُع‬
َ ‫َقا َل َل ُه م‬

٦٧ ً‫صبْرا‬
َ ‫ِي‬ َ ِ‫ك َلن َتسْ َتط‬
َ ‫يع َمع‬ َ ‫َقا َل إِ َّن‬

٦٨ ً‫ْف َتصْ ِب ُر َع َلى َما َل ْم ُتح ِْط ِب ِه ُخبْرا‬


َ ‫َو َكي‬

ِ ‫صابِراً َواَل أَ ْع‬


٦٩ ‫صي َلك‬ َ ُ ‫قَا َل َست َِج ُدنِي إِن َشاء هَّللا‬
ً‫أَ ْمرا‬

٧٠ ً‫ك ِم ْن ُه ذ ِْكرا‬ َ ‫َقا َل َفإِ ِن ا َّت َبعْ َتنِي َفاَل َتسْ أ َ ْلنِي َعن َشيْ ٍء َح َّتى أُحْ د‬
َ ‫ِث َل‬

B. Terjemahan
Artinya:” 65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami . 66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu
yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersama aku. 68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" 69.
Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku
tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".70. Dia berkata: "Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu"”.

C. Arti Kosa Kata


Surat Al Kahfi Ayat 65
Maka keduanya
‫َف َو َجدَا‬ Sisi kami ‫عِ ن ِد َنا‬
mendapatkan
Dan kami telah
Seorang hamba ً‫َعبْدا‬ ُ‫َو َعلَّمْ َناه‬
mengajarkanya
Dari ْ‫مِّن‬ Dari sisi kami ‫مِن لَّ ُد َّنا‬
Hamba – hamba kami ‫عِ َبا ِد َنا‬ Ilmu ً ‫عِ ْلما‬
Kami telah berikanya ُ‫آ َت ْي َناه‬
Rahmat ‫َرحْ َم ًة‬

Surat Al Kahfi Ayat 66

Berkata ‫َقا َل‬ Supaya ‫أَن‬


Kamu mengajarkan
Kepadanya ‫َل ُه‬ ‫ُت َعلِّ َم ِن‬
aku
Musa ‫ُوسى‬َ ‫م‬ Dari apa ‫ِممَّا‬
Apakah ‫َه ْل‬ Kamu telah diajar َ ‫ُعلِّم‬
‫ْت‬
Aku mengikuti kamu َ ‫أَ َّت ِب ُع‬
‫ك‬ Petunjuk/kebenaran ً‫ُر ْشدا‬
Atas/terhadap ‫َع َلى‬

Surat Al Kahfi Ayat 67

Berkata/menjawab ‫َقا َل‬ Kamu sanggup َ ِ‫َتسْ َتط‬


‫يع‬
Sesungguhnya kamu ‫ك‬ َ ‫إِ َّن‬ Bersama aku ‫ِي‬
َ ‫َمع‬
Tidak akan ‫َلن‬ Sabar ً‫صبْرا‬
َ

Surat Al Kahfi Ayat 68

Dan bagaimana َ ‫َو َكي‬


‫ْف‬ Tidak ‫َل ْم‬
Kamu mempunyai/
Kamu bersabar ‫َتصْ ِب ُر‬ ‫ُتح ِْط‬
meliputi
Dengannya/ tentang
Atas ‫َع َلى‬ ‫ِب ِه‬
itu
Pengalaman/
Apa ‫َما‬ ‫ُخبْرا‬
pengetahuan

Surat Al Kahfi Ayat 69


‫‪(Musa) berkata‬‬ ‫قَا َل‬ ‫‪Bersabar‬‬ ‫صابِراً‬
‫َ‬
‫‪Kamu akan‬‬
‫َستَ ِج ُدنِي‬ ‫‪Dan tidak‬‬ ‫َواَل‬
‫‪mendapati aku‬‬
‫‪Jika‬‬ ‫إِن‬ ‫‪Aku mengdurhakai‬‬ ‫صي‬ ‫أَ ْع ِ‬
‫‪Menghendaki‬‬ ‫َشاء‬ ‫‪Kepadamu‬‬ ‫َلك‬
‫‪Allah‬‬ ‫هَّللا ُ‬ ‫‪Urusan‬‬ ‫أَ ْمراً‬

‫‪Surat Al Kahfi Ayat 70‬‬

‫‪(Khidir) berkata‬‬ ‫َقا َل‬ ‫‪Sesuatu‬‬ ‫َشيْ ٍء‬


‫‪Maka jika‬‬ ‫َفإِ ِن‬ ‫‪Sehingga‬‬ ‫َح َّتى‬
‫‪Kamu mengikuti aku‬‬ ‫ا َّت َبعْ َتنِي‬ ‫‪Aku ceritakan‬‬ ‫أُحْ د َ‬
‫ِث‬
‫‪Maka janganlah‬‬ ‫َفاَل‬ ‫‪Kepadamu‬‬ ‫َل َ‬
‫ك‬
‫‪Kamu menanyakan‬‬
‫َتسْ أ َ ْلنِي‬ ‫‪Dari padanya‬‬ ‫ِم ْن ُه‬
‫‪kepadaku‬‬
‫‪Dari‬‬ ‫َعن‬ ‫‪Pelajaran‬‬ ‫ِذ ْكرا‬

‫‪D. Tafsir Surat Al Kahfi ayat 65 – 70‬‬

‫‪٦٥‬‬ ‫َف َو َجدَا َعبْداً مِّنْ عِ َبا ِد َنا آ َت ْي َناهُ َرحْ َم ًة ِمنْ عِ ن ِد َنا َو َعلَّمْ َناهُ مِن لَّ ُد َّنا‬
‫عِ ْلما ً‬

‫ك َع َلى أَن ُت َعلِّ َم ِن ِممَّا عُلِّم َ‬


‫ْت ُر ْشداً ‪٦٦‬‬ ‫ُوسى َه ْل أَ َّت ِب ُع َ‬
‫َقا َل َل ُه م َ‬

‫صبْراً ‪٦٧‬‬
‫ِي َ‬ ‫ك َلن َتسْ َتطِ َ‬
‫يع َمع َ‬ ‫َقا َل إِ َّن َ‬

‫ْف َتصْ ِب ُر َع َلى َما َل ْم ُتح ِْط ِب ِه ُخبْراً ‪٦٨‬‬


‫َو َكي َ‬

‫صابِراً َواَل أَ ْع ِ‬
‫صي َلك ‪٦٩‬‬ ‫قَا َل َست َِج ُدنِي إِن َشاء هَّللا ُ َ‬
‫أَ ْمراً‬

‫‪٧٠‬‬ ‫ك ِم ْن ُه ذ ِْكراً‬ ‫َقا َل َفإِ ِن ا َّت َبعْ َتنِي َفاَل َتسْ أ َ ْلنِي َعن َشيْ ٍء َح َّتى أُحْ د َ‬
‫ِث َل َ‬
Artinya:” 65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami . 66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu
yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersama aku. 68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" 69. Musa
berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak
akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku,
maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu"”.

‫َف َو َجدَا َع ْب ًدا ِمنْ عِ َبا ِد َنا آ َت ْي َناهُ َرحْ َم ًة ِمنْ عِ ْن ِد َنا َو َعلَّ ْم َناهُ ِمنْ َل ُد َّنا عِ ْلمًا‬
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Dia adalah Khidir 'alaihissalam menurut apa yang ditunjukkan oleh hadis-hadis sahih dari
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam

ٍ £‫ أَ ْخبَ َرنِي َس ِعي ِد ب ِْن ُجبَ ْي‬،‫َار‬


‫ر‬£ ٍ ‫ َح َّدثَنَا َع ْمرُو ب ُْن ِدين‬،‫ان‬ُ َ‫ َح َّدثَنَا ُس ْفي‬، ُّ‫ َح َّدثَنَا ْال ُح َم ْي ِدي‬ : ُّ‫اري‬
ِ َ‫ال ْالبُخ‬َ َ‫ق‬
‫ى‬£‫وس‬ َ ‫ َو ُم‬£ُ‫ْس ه‬ ِ ‫ب ْالخ‬
َ ‫ ِر لَي‬£‫َض‬ َ ‫ا ِح‬£‫ص‬ َ ‫ى‬£‫وس‬ َ ‫ز ُع ُم أَ َّن ُم‬£ْ £َ‫ إِ َّن نَوْ فًا البِ َكالِ ّي ي‬:‫س‬ ٍ ‫ت اِل ب ِْن َعبَّا‬ ُ ‫ قُ ْل‬:‫ال‬
َ َ‫ق‬
،ُ‫ه‬£ ‫ َي هَّللا ُ َع ْن‬£ ‫ض‬ ٍ ‫ َح َّدثَنَا أُبَ ُّي ب ُْن َك ْع‬،ِ ‫ب َع ُد ّو هَّللا‬
ِ ‫ َر‬،‫ب‬ ٍ ‫ قَا َل اب ُْن َعبَّا‬.‫يل‬
َ ‫ َك ِذ‬:‫س‬ َ ِ‫ب بَنِي إِ ْس َرائ‬
َ ‫صا ِح‬
َ
َ ِ‫ َرائ‬£‫ا فِي بَنِي إِ ْس‬££ً‫ا َم خَ ِطيب‬££َ‫ى ق‬£‫وس‬
‫يل‬ َ ‫ "إِ َّن ُم‬:ُ‫ول‬££ُ‫لَّ َم يَق‬£‫ ِه َو َس‬£‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬£‫ص‬ َ ِ ‫أَنَّهُ َس ِم َع َرسُو َل هَّللا‬
‫ إِ َّن لِي‬:‫ ِه‬£‫أَوْ َحى هَّللا ُ إِلَ ْي‬£َ‫ ف‬،‫ ِه‬£‫َب هَّللا ُ َعلَ ْي ِه إِ ْذ لَ ْم يَ ُر ّد ْال ِع ْل َم إِلَ ْي‬
َ ‫ فَ َعت‬.‫ أَنَا‬:‫ال‬
َ َ‫اس أَ ْعلَ ُم؟ ق‬
ِ َّ‫ أَيُّ الن‬:‫فَسُئل‬
َ‫ك‬££‫ ُذ َم َع‬£‫ تَأْ ُخ‬:‫ال‬£
َ £َ‫ ِه؟ ق‬£ِ‫فَ لِي ب‬££‫ َو َك ْي‬، ِّ‫ا َرب‬££َ‫ ي‬:‫ال ُمو َسى‬ َ َ‫ فَق‬. َ‫َع ْبدًا بِ َمجْ َم ِع ْالبَحْ َري ِْن هُ َو أَ ْعلَ ُم ِم ْنك‬
َ £َ‫ ٍل ثُ َّم ا ْنطَل‬£َ‫هُ بِ ِم ْكت‬£َ‫ فَ َج َعل‬،‫ا‬££ً‫ َذ حُوت‬£َ‫ فَأَخ‬.‫ َو ثَ َّم‬£ُ‫وتَ فَه‬££‫دْتَ ْال ُح‬£َ‫ا فَق‬££‫ فَ َح ْيثُ َم‬،‫ل‬£
‫ق‬ ٍ £َ‫ تَجْ َعلُهُ بِ ِم ْكت‬،‫حُوتًا‬
‫هما‬££‫عا رؤوس‬££‫خرة وض‬££‫ا الص‬££‫ َحتَّى إِ َذا أتي‬،‫اَل ُم‬£‫الس‬
َّ ‫ا‬££‫ون َعلَ ْي ِه َم‬£ َ َ‫َوا ْنطَل‬
ٍ £ُ‫ق َم َعهُ بِفَتَاهُ يُوشع ب ِْن ن‬
‫ ِر‬£ ْ‫بِيلَهُ فِي ْالبَح‬£ ‫ َذ َس‬£‫ ِر َواتَّ َخ‬£ ْ‫ فَ َسقَطَ فِي ْالبَح‬،ُ‫خَر َج ِم ْنه‬
َ َ‫ ف‬،‫ُوت فِي ْال ِم ْكت َِل‬
ُ ‫ب ْالح‬ َ ‫ َواضْ طَ َر‬،‫فَنَا َما‬
‫ َي‬£‫تَ ْيقَظَ ن َِس‬£‫اس‬ ِ َّ‫ َل الط‬£‫ ِه ِم ْث‬£‫ار َعلَ ْي‬
ْ ‫ فَلَ َّما‬.‫اق‬ َ £‫ص‬ َ َ‫ ف‬،‫ا ِء‬££‫ةَ ْال َم‬£‫ت ِجري‬ ِ ‫و‬££‫كَ هَّللا ُ ع َِن ْال ُح‬£‫ َوأَ ْم َس‬،‫ َربًا‬£‫َس‬
َ ‫ا َل ُم‬££َ‫ َحتَّى إِ َذا َكانَ ِمنَ ْال َغ ِد ق‬،‫ فَا ْنطَلَقَا بَقِيَّةَ يَوْ ِم ِه َما َولَ ْيلَتِ ِه َما‬،‫ت‬
‫ى‬£ ‫وس‬ ِ ‫صا ِحبُهُ أَ ْن ي ُْخبِ َرهُ بِ ْالحُو‬
َ
‫ا َوزَا‬£‫ب َحتَّى ج‬£‫ص‬
َ َّ‫ى الن‬£‫وس‬
َ ‫ ْد ُم‬£‫بًا} َولَ ْم يَ ِج‬£‫َص‬
َ ‫ َذا ن‬£َ‫فَ ِرنَا ه‬£‫ا ِم ْن َس‬£َ‫ ْد لَقِين‬£َ‫ دَا َءنَا لَق‬£َ‫ {آتِنَا غ‬:ُ‫لِفَتَاه‬
‫يت ْال ُحوتَ َو َم‪££‬ا‬ ‫ْال َم َكانَ الَّ ِذي أَ َم َرهُ هَّللا ُ بِ ِه‪ .‬قَا َل لَهُ فَتَاهُ‪{  ‬أَ َرأَيْتَ إِ ْذ أَ َو ْينَا إِلَى الص َّْخ َر ِة فَإِنِّي ن َِس ُ‬
‫ان أَ ْن أَ ْذ ُك‪َ £‬رهُ َواتَّخَ‪َ £‬ذ َس‪£‬بِيلَهُ فِي ْالبَحْ‪ِ £‬ر ع ََجبً‪££‬ا} قَ‪££‬ا َل‪" :‬فَ َك‪££‬انَ لِ ْل ُح‪££‬و ِ‬
‫ت َس‪َ £‬ربًا‬ ‫أَ ْن َسانِيهُ إِال ال َّش ْيطَ ُ‬
‫ص ‪£‬ا} ‪ .‬قَ‪££‬ا َل‪" :‬فَ َر َج َع‪££‬ا‬‫ص ً‬ ‫ال‪َ { :‬ذلِكَ َما ُكنَّا نَب ِْغ فَارْ تَ َّدا َعلَى آثَ ِ‬
‫ار ِه َما قَ َ‬ ‫َولِ ُمو َسى َوفَتَاهُ َع َجبًا‪ ،‬فَقَ َ‬
‫وس‪£‬ى‪ ،‬فَقَ‪££‬ا َل‬ ‫َّان أَثَ َرهُ َما َحتَّى ا ْنتَهَيَا إِلَى الص َّْخ َر ِة‪ ،‬فَإ ِ َذا َر ُج ٌل ُمسجّى بِثَوْ ٍ‬
‫ب‪ ،‬فَ َسلَّ َم َعلَ ْي‪ِ £‬ه ُم َ‬ ‫يَقُص ِ‬
‫ال‪ :‬نَ َع ْم‪ ،‬أَتَ ْيتُكَ‬
‫يل؟ قَ َ‬ ‫ال‪ :‬أَنَا ُمو َسى‪ .‬قَ َ‬
‫ال‪ُ :‬مو َسى بَنِي إِ ْس َرائِ َ‬ ‫ك ال َّساَل ُم!‪ .‬قَ َ‬
‫ض َ‬ ‫ضر‪َ :‬وأنّى بِأَرْ ِ‬
‫الخَ ِ‬
‫وس‪£‬ى إِنِّي َعلَى ِع ْل ٍم َم ْن‬ ‫ص ْبرًا} ‪ ،‬يَ‪£‬ا ُم َ‬ ‫لِتُ َعلِّ َمنِي ِم َّما ُعلِّمت ُر ْشدًا‪{ .‬قَ َ‬
‫ال إِنَّكَ لَ ْن تَ ْستَ ِطي َع َم ِع َي َ‬
‫وس‪££‬ى‪:‬‬ ‫ِع ْل ِم هَّللا ِ َعلَّ َمنِي ِه‪ ،‬اَل تَ ْعلَ ُمهُ أَ ْنتَ ‪َ ،‬وأَ ْنتَ َعلَى ِع ْل ٍم َم ْن ِع ْل ِم هَّللا ِ َعلَّ َم َكه هَّللا ُ الأَ ْعلَ ُمهُ‪ .‬فَقَ َ‬
‫ال ُم َ‬
‫خَض‪£‬رُ‪{ :‬فَ‪£‬إ ِ ِن اتَّبَ ْعتَنِي فَال‬ ‫ك أَ ْم‪ £‬رًا} قَ‪£‬ا َل لَ‪£‬هُ ْال ِ‬ ‫ص‪£‬ي لَ‪َ £‬‬ ‫ص‪£‬ابِرًا َوال أَ ْع ِ‬ ‫{س‪£‬ت َِج ُدنِي إِ ْن َش‪£‬ا َء هَّللا ُ َ‬
‫َ‬
‫ث لَكَ ِم ْنهُ ِذ ْك‪ £‬رًا} ‪ .‬فَا ْنطَلَقَ‪£‬ا يَ ْم ِش‪£‬يَا ِن َعلَى َس‪£‬ا ِح ِل ْالبَحْ‪ِ £‬ر‪ ،‬فَ َم‪ £‬ر ْ‬
‫َّت‬ ‫تَسْأ َ ْلنِي ع َْن َش ْي ٍء َحتَّى أُحْ ِد َ‬
‫ض َر‪ ،‬فَ َح َملُوهُ ْم بِ َغي ِْر نَ‪££‬وْ ٍل‪ ،‬فَلَ َّما َر ِكبَ‪££‬ا فِي َّ‬
‫الس ‪£‬فِينَ ِة لَ ْم‬ ‫َسفِينَةٌ فَ َكلَّ ُموهُ ْم أَ ْن يَحْ ِملُوهُ ‪ ،‬فَ َع َرفُوا ْال َخ ِ‬
‫وس ‪£‬ى‪ :‬قَ ‪ْ £‬د َح َملُونَ‪££‬ا بِ َغ ْي‪ِ £‬‬
‫‪£‬ر‬ ‫وم‪ ،‬فَقَا َل لَ ‪£‬هُ ُم َ‬ ‫اح ال َّسفِينَ ِة بِ ْالقَ ُد ِ‬ ‫يَ ْف َجأْ إِاَّل َو ْال ِ‬
‫خَض ُر قَ ْد قَلَ َع لَوْ حًا ِم ْن أَ ْل َو ِ‬
‫ك لَ ْن‬ ‫ق أَ ْهلَهَا؟ لَقَ ْد ِج ْئتَ َش ْيئًا إِ ْم‪ £‬رًا‪{ .‬قَ‪££‬ا َل أَلَ ْم أَقُ‪££‬لْ إِنَّ َ‬ ‫خَر ْقتَهَا لِتُ ْغ ِر َ‬
‫نَوْ ٍل‪ ،‬فَ َع َمدْتَ إِلَى َسفِينَتِ ِه ْم فَ َ‬
‫ال‪َ :‬وقَ َ‬
‫‪££‬ال‬ ‫يت َوال تُرْ ِه ْقنِي ِم ْن أَ ْم ِري ُع ْسرًا} قَ َ‬ ‫ص ْبرًا * قَا َل اَل تُ َؤا ِخ ْذنِي بِ َما نَ ِس ُ‬ ‫تَ ْست َِطي َع َم ِع َي َ‬
‫ص ‪£‬فُو ٌر‬ ‫ت اأْل ُولَى ِم ْن ُم َ‬
‫وس ‪£‬ى نِ ْس ‪£‬يَانًا"‪ .‬قَ‪££‬ا َل‪َ :‬و َج‪ £‬ا َء ُع ْ‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‪َ " :‬ك‪££‬انَ ِ‬
‫َرسُو ُل هَّللا ِ َ‬
‫خَض‪£‬رُ‪َ :‬م‪££‬ا ِع ْل ِمي‬
‫‪£‬ال لَ‪£‬هُ ْال ِ‬ ‫الس‪£‬فِينَ ِة فَنَقَ‪َ £‬ر فِي ْالبَحْ‪ِ £‬ر نَ ْق‪££‬رة‪[ ،‬أَوْ نَ ْق‪َ £‬رتَ ْي ِن] فَقَ‪َ £‬‬
‫ف َّ‬ ‫فَنَزَ َل َعلَى َحرْ ِ‬
‫ُص‪£‬فُو ُ‪£‬ر ِم ْن هَ‪َ £‬ذا ْالبَحْ‪ِ £‬ر‪ .‬ثُ َّم خَ َر َج‪ £‬ا ِمنَ َّ‬
‫الس‪£‬فِينَ ِة‪،‬‬ ‫ص هَ‪َ £‬ذا ْالع ْ‬ ‫َو ِع ْل ُمكَ فِي ِع ْل ِم هَّللا ِ إِاَّل ِم ْث ُل َما نَقَ َ‬
‫خَض ُر ُغاَل ًم‪££‬ا يَ ْل َعبُ َم‪َ £‬ع ْال ِغ ْل َم‪££‬ا ِن‪ ،‬فَأ َ َخ‪َ £‬ذ ْال ِ‬
‫خَض‪ُ £‬ر‬ ‫ْص َر ْال ِ‬
‫َّاح ِل إِ ْذ أَب َ‬
‫ان َعلَى الس ِ‬ ‫فَبَ ْينَ َما هُ َما يَ ْم ِشيَ ِ‬
‫َر ْأ َسهُ [بِيَ ِد ِه] فَا ْقتَلَ َعهُ بِيَ ِد ِه فَقَتَلَهُ‪ ،‬فَقَ َ‬
‫ال لَهُ ُمو َسى‪{ :‬أَقَت َْلتَ نَ ْفسًا َز ِكيَّةً بِ َغي ِْر نَ ْف ٍ‬
‫س لَقَ ‪ْ £‬د ِج ْئتَ َش ‪ْ £‬يئًا‬
‫ص ْبرًا} ؟! قَا َل‪َ " :‬وهَ ِذ ِه أَ َش ُّد ِمنَ اأْل ُولَى"‪{ ،‬قَ‪َ £‬‬
‫‪£‬ال‬ ‫ك لَ ْن تَ ْستَ ِطي َع َم ِع َي َ‬‫نُ ْكرًا * قَا َل أَلَ ْم أَقُلْ لَكَ إِنَّ َ‬
‫اح ْبنِي قَ ْد بَلَ ْغتَ ِم ْن لَ ُدنِّي ُع ْذرًا * فَا ْنطَلَقَا َحتَّى إِ َذا أَتَيَا أَ ْه َل‬
‫ص ِ‬‫ك ع َْن َش ْي ٍء بَ ْع َدهَا فَال تُ َ‬ ‫إِ ْن َسأ َ ْلتُ َ‬
‫ضيِّفُوهُ َما فَ َو َجدَا فِيهَا ِجدَارًا ي ُِري ُد أَ ْن يَ ْنقَضَّ } قَا َل‪َ :‬مائِلٌ‪ .‬فَقَا َل‬ ‫قَرْ يَ ٍة ا ْست ْ‬
‫َط َع َما أَ ْهلَهَا فَأَبَوْ ا أَ ْن يُ َ‬
‫ُض‪£‬يِّفُونَا‪{ ،‬لَ‪££‬وْ ِش‪ْ £‬ئتَ‬ ‫وس‪£‬ى‪ :‬قَ‪££‬وْ ٌم أَتَ ْينَ‪££‬اهُ ْم فَلَ ْم ي ْ‬
‫ُط ِع ُمونَ‪£‬ا َولَ ْم ي َ‬ ‫ض ُر بِيَ ِد ِه‪{ :‬فَأَقَا َمهُ} ‪ ،‬فَقَا َل ُم َ‬ ‫ْالخَ ِ‬
‫ص ْبرًا} فَقَا َل‬ ‫ك بِتَأْ ِوي ِل َما لَ ْم تَ ْستَ ِط ْع َعلَ ْي ِه َ‬
‫ق بَ ْينِي َوبَ ْينِكَ َسأُنَبِّئُ َ‬
‫التَّ َخ ْذتَ َعلَ ْي ِه أَجْ رًا قَا َل هَ َذا فِ َرا ُ‬
‫ص‪£‬بَ َر َحتَّى يَقُصَّ هَّللا ُ َعلَ ْينَ‪££‬ا ِم ْن‬ ‫وس‪£‬ى َك‪££‬انَ َ‬ ‫"و ِد ْدنَ‪££‬ا أَ َّن ُم َ‬
‫ص‪£‬لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‪ِ £‬ه َو َس‪£‬لَّ َم‪َ :‬‬
‫َر ُس‪£‬و ُل هَّللا ِ َ‬
‫ك يَأْ ُخ‪ُ £‬ذ ُك‪َّ £‬ل َس‪£‬فِينَ ٍة‬ ‫‪£‬رأُ‪َ :‬‬
‫"و َك‪£‬انَ أَ َم‪£‬ا َمهُ ْم َملِ‪ٌ £‬‬ ‫س يَ ْق‪َ £‬‬
‫ْ‪£‬ر‪َ :‬ك‪£‬انَ اب ُْن َعبَّا ٍ‬ ‫خَ بَ ِر ِه َما"‪.‬قَ َ‬
‫ال َس ِعي ُد ب ُْن ُجبَي ٍ‬
‫ؤ ِمنَي ِْن‬££££ َ :ُ‫ َرأ‬££££‫انَ يَ ْق‬££££‫بًا" َو َك‬££££‫َص‬
ْ ‫ َواهُ ُم‬££££َ‫انَ أَب‬££££‫افِرًا َو َك‬£££‫انَ َك‬£££‫"وأَ َّما ْال ُغاَل ُم فَ َك‬ ْ ‫الِ َح ٍة غ‬££££‫"ص‬
َ
“Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah
menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, telah
menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah berkata
kepada Ibnu Abbas bahwa Nauf Al-Bakkali menduga Musa (teman Khidir) bukan Musa te-
man kaum Bani Israil. Betulkah itu? Ibnu Abbas menjawab bahwa dustalah dia si musuh
Allah itu. Telah menceritakan kepada kami Ubay ibnu Ka'b Radhiyallahu Anhu, bahwa ia
pernah mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya
Musa berdiri berkhotbah di hadapan kaum Bani Israil, lalu ia bertanya kepada mereka,
'Siapakah orang yang paling alim (berilmu)?' (Tiada seorang pun dari mereka yang
menjawab), dan Musa berkata, 'Akulah orang yang paling alim'." Maka Allah menegurnya
karena ia tidak menisbatkan ilmu kepada Allah. Allah menurunkan wahyu kepadanya,
"Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di tempat bertemunya dua
lautan, dia lebih alim daripada kamu." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku bagaimanakah
caranya saya dapat bersua dengannya?" Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Bawalah
besertamu ikan, lalu masukkan ikan itu ke dalam kembu (wadah ikan). Manakala kamu
merasa kehilangan ikan itu, maka dia berada di tempat tersebut." Musa membawa ikan,
lalu memasukkannya ke dalam kembu, dan ia berangkat dengan ditemani oleh Yusya' ibnu
Nun 'alaihissalam (muridnya). Ketika keduanya sampai di sebuah batu besar, maka
keduanya merebahkan diri, beristirahat dan tertidur. Ikan yang berada di dalam kembu itu
bergerak hidup, lalu keluar dari dalam kembu dan melompat ke laut. Ikan mengambil
jalannya di laut dengan membentuk terowongan. Allah menahan aliran air terhadap ikan
itu, sehingga jalan yang dilaluinya seperti liang. Ketika Musa terbangun, muridnya lupa
memberitahukan kepadanya tentang ikan yang mereka bawa itu, bahkan keduanya terus
melanjutkan perjalanan untuk menggenapkan masa dua hari dua malamnya. Pada
keesokan harinya Musa bertanya kepada muridnya: Bawalah kemari makanan kita;
sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini. (Al-Kahfi: 62) Musa
masih belum merasa letih melainkan setelah melewati tempat yang diperintahkan oleh
Allah agar dia berhenti padanya. Muridnya berkata, seperti yang disitir oleh firman-
Nya: Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka
sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan
aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan
cara,yang aneh sekali. (Al-Kahfi: 63) Bekas jalan yang dilalui ikan itu membentuk liang,
sehingga membuat Musa dan muridnya merasa aneh. Musa berkata: Itulah (tempat) yang
kita cari. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Al-Kahfi: 64) Keduanya
kembali menelusuri jalan semula, hingga sampailah di batu besar tempat mereka
berlindung. Tiba-tiba Musa bersua dengan seorang lelaki yang berpakaian lengkap. Musa
mengucapkan salam kepadanya, dan lelaki itu (yakni Khidir) menjawab, "Di manakah ada
salam (kesejahteraan) di bumimu ini?" Musa berkata, "Sayalah Musa." Khidir bertanya,
*'Musa Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya." Musa berkata lagi, "Saya datang kepadamu
untuk menimba ilmu pengetahuan dari apa yang telah di ajarkan (oleh Allah) kepadamu."
Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.”
(Al-Kahfi: 67) Hai Musa, sesungguhnya aku mempunyai ilmu yang telah diajarkan oleh
Allah kepadaku, sedangkan kamu tidak mengetahuinya; dan kamu mempunyai ilmu yang
telah diajarkan oleh Allah kepadamu, sedangkan saya tidak mengetahuinya. Musa berkata:
Insya Allah kamu akan mendapati saya sebagai seorang yang sabar, dan saya tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusan pun. (Al-Kahfi: 69) Al-Khidir berkata kepadanya:
Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu. (Al-Kahfi: 70) Kemudian keduanya
berjalan di tepi pantai, dan keduanya menjumpai perahu. Maka keduanya meminta kepada
para pemilik perahu itu agar mereka berdua diperbolehkan menaiki perahu itu. Para
pemilik perahu telah mengenal Khidir, maka mereka mengangkut keduanya tanpa bayar
Ketika keduanya telah berada di dalam perahu, Musa merasa terkejut karena tiba-tiba
Khidir memecahkan sebuah papan perahu itu dengan kapak. Maka Musa berkata
kepadanya, "Mereka telah mengangkut kita tanpa bayar, lalu kamu dengan sengaja
merusak perahu mereka dengan melubanginya agar para penumpang perahu ini
tenggelam. Sesungguhnya engkau telah melakukan perbuatan yang
diingkari." Dia (Khidir) berkata, "Bukankah aku telah berkata, 'Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku'.” Musa berkata, "Janganlah kamu
menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu
kesulitan dalam urusanku.” (Al-Kahfi: 72-73) Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
melanjutkan sabdanya, bahwa pada yang pertama kali ini Musa lupa. Kemudian ada
seekor burung pipit hinggap di sisi perahu itu, lalu minum air laut itu dengan paruhnya
sekali atau dua kali patukan. Maka Khidir berkata kepada Musa, "Tiadalah ilmuku dan
ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah, melainkan seperti kurangnya air laut ini oleh
apa yang diminum oleh burung pipit ini." Keduanya turun dari perahu itu. Ketika
keduanya sedang berjalan di pantai, tiba-tiba Khidir melihat seorang anak yang sedang
bermain-main dengan sejumlah anak-anak lainnya. Khidir dengan serta merta memegang
kepala anak itu dan mencabut kepalanya dengan tangannya, hingga anak itu mati. Musa
berkata kepadanya: Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh
orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan, sesuatu yang mungkar." Khidir berkata,
"Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar
bersamaku?" (Al-Kahfi: 74-75)  Teguran kali ini lebih keras dari teguran yang pertama,
karena pada firman selanjutnya disebutkan: Musa berkata, "Jika aku bertanya kepadamu
tentang sesuatu sesudah  (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku
menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku." Maka
keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau
menjamu mereka, kemudian keduanya menjumpai dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh. (Al-Kahfi: 76-77) Maksudnya, dinding rumah itu miring. Maka Khidir
mengisyaratkan dengan tangannya: maka Khidir menegakkan dinding rumah itu. (Al-
Kahfi: 77) Musa berkata, "Mereka adalah suatu kaum yang kita kunjungi, tetapi mereka
tidak mau memberi kami makan dan tidak mau pula menjadikan kami sebagai tamu
mereka." Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."
Khidir berkata, "Inilah perpisahan antara aku dan kamu, kelak akan kuberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sabar terhadapnya." (Al-Kahfi:
77-78) Selanjutnya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: Seandainya saja
Musa bersabar, Allah pasti akan menceritakan kisah keduanya kepada kita (dalam bentuk
yang lain). Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Ibnu Abbas membaca ayat berikut dengan
bacaan yang artinya adalah seperti ini: "Karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera yang baik." Lafaz wara'a diganti menjadi amama,  dan
ditambahkan lafaz salihatin sebagai sifat darisafinah. Dan ayat lainnya ialah dibacanya
dengan bacaan berikut yang artinya: "Adapun anak muda itu adalah orang yang kafir, se-
dangkan kedua orang tuanya kedua-duanya adalah orang mukmin." Bacaan Ibnu Abbas
ini merupakan tafsir dari kedua ayat tersebut, yakni ayat 79 dan 80.”
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkan pula melalui Qutaibah, dari Sufyan ibnu
Uyaynah, lalu disebutkan hal yang semisal.Hanya di dalamnya disebutkan bahwa Musa
berangkat dengan ditemani oleh seorang muridnya, yaitu Yusya' ibnu Nun; keduanya
membawa ikan. Ketika keduanya sampai di sebuah batu besar, keduanya beristirahat di
tempat itu. Musa meletakkan kepalanya di batu itu dan tertidurlah ia.
Sufyan mengatakan di dalam hadis Amr, bahwa di bagian bawah batu besar itu terdapat
suatu mata air yang disebut 'mata air Kehidupan'; tiada sesuatu pun yang terkena airnya
melainkan dapat hidup kembali. Maka ikan yang mereka bawa itu terkena percikan air
tersebut, sehingga ikan bergerak hidup kembali, lalu meloncat dari wadahnya dan
menceburkan diri ke dalam laut. Ketika Musa terbangun, berkatalah ia kepada
muridnya: Bawalah kemari makanan kita. (Al-Kahfi: 62)
Kemudian disebutkan pula dalam riwayat ini bahwa hinggaplah seekor burung pipit di
lambung perahu itu, lalu memasukkan paruhnya ke dalam laut, dan Khidir berkata kepada
Musa, "Tiadalah ilmuku, ilmumu, dan ilmu semua makhluk dibanding dengan ilmu Allah,
melainkan hanyalah sekadar air yang diambil oleh burung pipit ini dengan paruhnya dari
laut ini." Selanjutnya disebutkan hadis yang semisal pada kelanjutannya hingga akhir hadis.
Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa,
telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, bahwa Ibnu Juraij telah menceritakan
kepada mereka; telah menceritakan kepadaku Ya'la ibnu Muslim dan Amr ibnu Dinar, dari
Sa'id ibnu Jubair; salah seorang dari keduanya menambahkan atas yang lainnya, sedangkan
selain keduanya mengatakan bahwa ia pernah mendengarnya menceritakan hadis berikut
dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan: Ketika kami sedang berada di rumah Ibnu Abbas,
tiba-tiba Ibnu Abbas berkata kepada kami, "Bertanyalah kalian kepadaku." Maka saya
berkata, "Hai Ibnu Abbas, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu, di Kuffah
terdapat seorang lelaki yang dikenal dengan sebutan Nauf. Dia menduga bahwa Musa itu
bukanlah Musanya Bani Israil, tetapi Musa yang lain. Adapun Amr, ia berkata kepadaku,
'Dustalah si musuh Allah itu (maksudnya Nauf tadi)'."
Lain halnya dengan Ya'la. Ia mengatakan kepadaku, Ibnu Abbas telah bercerita
kepadanya bahwa Ubay ibnu Ka'b pernah bercerita kepadanya bahwa Rasulullah
Shalallahu'alaihi Wasallam telah bersabda, "Musa utusan Allah pada suatu hari memberikan
peringatan kepada kaumnya, hingga air mata mereka mengalir dan hati mereka menjadi
lunak karenanya. Setelah itu Musa pergi, tetapi ia disusul oleh seorang lelaki yang bertanya
kepadanya, 'Hai utusan Allah, apakah di bumi ini ada seseorang yang lebih alim
daripadamu?' Musa menjawab, 'Tidak ada.' Maka Allah menegur Musa karena dia tidak
menisbatkan ilmu kepada Allah. Musa mengakui kekeliruannya ini, dan ia berkata, 'Wahai
Tuhanku, di manakah dia (lelaki yang Engkau maksudkan itu)?' Allah menjawab, 'Di
tempat bertemunya dua lautan.' Musa berkata, 'Wahai Tuhanku, jadikanlah sebuah tanda
untukku agar aku dapat mengetahui tempatnya'." Amr berkata kepadaku bahwa Allah telah
berfirman, "Di saat ikan itu pergi meninggalkanmu." Ya'la berkata kepadaku, menceritakan
firman Allah, "Ambillah seekor ikan mati. Maka manakala ikan itu hidup, di situlah tempat
orang tersebut." Maka Musa mengambil seekor ikan mati, lalu ia letakkan di dalam sebuah
kembu (wadah ikan), dan Musa berkata kepada muridnya, "Saya tidak menugaskan
kepadamu kecuali kamu harus memberitahukan kepadaku di mana kamu merasa kehilangan
ikan ini." Musa berkata lagi, "Saya tidak menugaskan hal yang berat kepadamu." Yang
demikian itulah yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-
Nya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya. (Al-Kahfi: 60) Si murid itu
adalah Yusya' ibnu Nun, tidak disebutkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair.
Ketika mereka sedang beristirahat di bawah naungan batu besar itu di suatu tempat yang
teduh dan nyaman, tiba-tiba ikan itu bergerak-gerak, sedangkan Musa masih lelap dalam
tidurnya. Maka muridnya berkata, "Saya tidak berani membangunkannya." Hanya ketika
Musa telah bangun si murid lupa memberitahukan kejadian itu. Ikan itu bergerak-gerak
hingga masuk ke dalam laut, maka Allah memegang arus air dari ikan itu hingga bekas
yang dilalui ikan seakan-akan seperti liang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa Amr
mengatakan demikian kepadanya, bahwa seakan-akan bekas jalan yang dilalui ikan itu
membentuk seperti liang. Amr mengatakan demikian seraya memperaga-kannya dengan
kedua jari telunjuknya dan kedua jari lainnya membentuk lingkaran. Musa
berkata:sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini. (Al-Kahfi: 62) Lalu
muridnya berkata keheranan, "Bukankah Allah telah menghapuskan rasa letih darimu?"
Kalimat ini tidak terdapat di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair. Si murid menceritakan perihal
kehilangan ikannya, maka keduanya kembali menelusuri jejak semula dan mereka berdua
menjumpai Khidir di tempat itu.
Menurut riwayat Usman ibnu Abu Sulaiman, Khidir berada di atas sajadah hijau di atas
laut. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Khidir memakai pakaian yang menutupi seluruh
tubuhnya; ujung pakaian bagian bawahnya menutupi kedua kakinya, sedangkan ujung
bagian atasnya sampai pada bagian di bawah kepalanya. Musa mengucapkan salam
kepadanya, maka Khidir menyingkap penutup wajahnya dan menjawab, "Apakah di negeri
ini terdapat salam (kesejahteraan)? Siapakah kamu?" Musa menjawab, "Musa." Khidir
bertanya, "Musa dari Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya." Khidir bertanya, "Apakah
keperluanmu?" Musa menjawab, "Saya datang kepadamu untuk belajar tentang ilmu
hakikat yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu." Khidir berkata, "Tidakkah kamu
merasa cukup bahwa kitab Taurat telah berada di tanganmu dan wahyu selalu datang
kepadamu, hai Musa? Sesungguhnya aku mempunyai ilmu yang tidak layak bagimu
mengetahuinya. Dan sesungguhnya engkau memiliki suatu ilmu yang tidak layak bagiku
mengetahuinya." Maka ada seekor burung minum dari air laut dengan paruhnya, lalu Khidir
berkata, "Demi Allah, tiadalah ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah,
melainkan seperti apa yang diambil oleh burung itu dengan paruhnya dari air laut ini."
Maka tatkala keduanya hendak menaiki perahu, keduanya menjumpai perahu-perahu kecil
yang biasa mengangkut penghuni suatu pantai ke pantai seberangnya. Mereka telah
mengenal Khidir, maka mereka berkata, "Hamba Allah yang saleh telah datang." Perawi
mengatakan, "Maka kami mengatakan kepada Sa'id ibnu Jubair, 'Apakah dia Khidir?' Sa'id
menjawab, 'Ya.' Para penduduk pantai itu mengatakan, "Kita bawa beliau tanpa upah."
Maka dia melubangi perahu itu dan menambatkannya di pantai tersebut pada suatu pasak.
Musa berkata: Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akhirnya kamu menenggelamkan
penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. (Al-
Kahfi: 71) Menurut Mujahid, jawaban Musa adalah jawaban yang mengandung nada
protes, yakni mengingkarinya. Dia (Khidir) berkata, "Bukankah aku telah berkata,
'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku'?” (Al-Kahfi: 72)
Protes yang pertama karena lupa, yang kedua pengajuan syarat, dan protes yang ketiga
dilakukan dengan sengaja. Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kelu-
paanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.”
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka
Khidir membunuhnya. (Al-Kahfi: 73-74)
Ya'la mengatakan, "Sa'id telah mengatakan bahwa Khidir menjumpai sekumpulan anak-
anak sedang bermain-main, maka ia menangkap salah seorang dari mereka yang kafir,
tetapi penampilan anak itu tampan. Lalu Khidir membaringkannya dan menyembelihnya
dengan pisau. Musa berkata, 'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih lagi belum
pernah mengerjakan dosa?'."
Ibnu Abbas membaca ayat ini dengan bacaan nafsan zakiyyatan muslimatan (mengikuti
kepada bentuk mu'annats maushuf-nya), sama halnya disebutkan gulaman
zakiyyan (dengan bentuk muzakkar).
Keduanya melanjutkan perjalanan, dan di suatu tempat keduanya menjumpai sebuah
dinding yang hendak runtuh. Maka Khidir menegakkan dinding itu hanya dengan
tangannya. Didorongnya dinding itu hingga tegak kembali. Musa berkata, "Jikalau kamu
mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."
Ya'la mengatakan bahwa ia menduga Sa’id mengatakan bahwa Khidir hanya
mengusapkan tangannya ke tembok (dinding) itu, maka dengan serta merta dinding itu
tegak kembali. Lalu Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah
untuk itu." Menurut Sa’id, upah untuk makan mereka berdua.
Lafaz wara-ahum menurut Ibnu Abbas dibaca amamahum malikun, yang artinya ialah
karena di hadapan mereka ada seorang raja. Mereka (para perawi) mendapat berita selain
dari Sa'id, bahwa nama raja tersebut adalah Hadad ibnu Badad, sedangkan nama anak muda
yang dibunuh itu ialah Haisur. Di hadapan mereka ada seorang raja yang suka merampas
tiap-tiap bahtera. Khidir mengatakan, "Saya sengaja melubanginya agar manakala si raja itu
datang, ia membiarkan perahu ini di tempat penambatannya. Apabila raja beserta para
pembantunya telah pergi, maka para pemilik perahu ini dapat memperbaikinya dan
menggunakannya lagi." Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa lubang itu disumbat
dengan botol, dan sebagian lagi mengatakan bahwa lubang itu ditambal dengan ter (aspal)
atau dempul. Sedangkan anak muda itu kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin,
tetapi si anak muda itu sendiri kafir." Maka saya (Khidir) merasa khawatir bahwa dia akan
mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran karena kecintaan kedua-
nya kepada anaknya itu. Dan saya menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi
mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada anak itu." Zakatan dalam
ayat ini sama dengan yang disebutkan oleh firman-Nya: Mengapa kamu bunuh jiwa yang
bersih (suci dari dosa). (Al-Kahfi: 74) Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: dan
lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). (Al-Kahfi: 81) Begitu pula keduanya,
lebih sayang kepada anak barunya itu daripada anak yang telah dibunuh oleh Khidir. Selain
Sa’id menduga bahwa Allah memberinya ganti anak perempuan. Menurut Daud ibnu Abu
Asim, dari sejumlah orang, penggantinya itu adalah anak perempuan.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abu Ishaq,
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Musa 'alaihissalam
berkhotbah di kalangan kaum Bani Israil. Dalam khotbahnya Musa mengatakan, "Tidak ada
seorang pun yang lebih mengetahui Allah dan urusan-Nya selain dari aku." Kemudian
Allah memerintahkan kepada Musa agar menemui lelaki ini (Khidir). Kisah selanjutnya
sama dengan yang telah disebutkan di atas, hanya ada kelebihan dan kekurangannya; hanya
Allah yang lebih mengetahui kebenarannya.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari Al-Hakam
ibnu Utaibah, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa dia berada di majelis Ibnu
Abbas yang saat itu di majelis tersebut terdapat beberapa orang dari kalangan kaum ahli
kitab. Sebagian dari mereka mengatakan, "Hai Ibnul Abbas, sesungguhnya si Nauf (anak
tiri Ka'b) menduga Ka'b pernah mengatakan bahwa Musa yang menuntut ilmu (dari Khidir)
itu adalah Musa ibnu Misya, bukan Musa Nabi kaum Bani Israil."
Sa'id mengatakan dalam kisah selanjutnya, bahwa kemudian Ibnu Abbas bertanya, "Hai
Sa’id, apakah benar Nauf telah mengatakan demikian?" Sa'id menjawab, "Ya." Saya
mendengar Nauf mengatakan itu." Ibnu Abbas bertanya lagi, "Apakah engkau
mendengarnya langsung dari dia, hai Sa'id?" Saya menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata,
"Nauf dusta".
Kemudian Ibnu Abbas berkata, ia telah mendengar kisah dari Ubay ibnu Ka'b, dari
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, bahwa Musa Bani Israil bertanya kepada
Tuhannya, "Wahai Tuhanku, jika ada di kalangan hamba-hamba-Mu seseorang yang lebih
alim daripada aku, maka tunjukkanlah aku kepadanya." Maka Allah menjawabnya melalui
firman-Nya, "Ya, benar di kalangan hamba-hamba-Ku terdapat seseorang yang lebih alim
daripada kamu." Kemudian Allah menyebutkan kepada Musa tentang fempat tinggalnya
dan memberi izin untuk menjumpainya.
Musa berangkat bersama seorang muridnya dengan membawa ikan yang telah
diasinkan, karena Tuhannya telah berpesan kepadanya, "Apabila ikan yang dibawamu ini
hidup kembali di suatu tempat, maka temanmu itu berada di tempat tersebut, dan kamu
dapat memenuhi apa yang kamu perlukan."
Musa berangkat dengan ditemani seorang muridnya dengan membawa ikan yang telah
diasinkan itu. Keduanya terus-menerus berjalan hingga letih dan sampai di sebuah batu
besar,, yaitu di dekat sebuah mata air yang disebut dengan 'mata air kehidupan'. Barang
siapa yang minum darinya, hidupnya kekal; dan tiada suatu bangkai pun yang terkena
airnya melainkan dapat hidup kembali. Ketika keduanya istirahat, dan ikan itu terkena
percikan air tersebut, ikan menjadi hidup kembali dan mengambil jalannya ke laut
membentuk liang.
Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Dan setelah keduanya berjalan cukup
jauh, Musa berkata kepada muridnya, "Kemarikanlah makanan kita itu, sesungguhnya
perjalanan ini sangat meletihkan kita." Si murid menjawab dan mengingatkan, "Tahukah
kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu besar tadi, sesungguhnya aku lupa
menceritakan tentang ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya
kecuali setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Musa kembali ke tempat batu besar itu.
Ketika keduanya sampai di tempat itu, tiba-tiba mereka bersua dengan seorang lelaki
memakai jubah. Lalu Musa mengucapkan salam kepadanya, dan ia menjawab salam Musa.
Kemudian laki-laki itu bertanya, "Apakah yang mendorongmu datang kemari, padahal
kamu mempunyai kesibukan di kalangan kaummu?" Musa menjawab, "Aku datang
kepadamu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang
telah diajarkan kepadamu."
Laki-laki itu menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku." Laki-laki itu adalah seseorang yang mengetahui perkara yang gaib, seperti
yang telah diceritakan sebelumnya. Musa berkata, "Tidak, saya akan bersabar." Laki-laki
itu berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya: Dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? (Al-Kahfi:
68) Dengan kata lain, sesungguhnya kamu (hai Musa) hanya mengenal perkara lahiriah dari
apa yang kamu lihat menyangkut keadilannya, sedangkan kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentang ilmu gaib yang telah kuketahui. Musa berkata, "Insya Allah kamu
akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
sesuatu apa pun.” (Al-Kahfi: 69) Yakni sekalipun aku melihat hal yang bertentangan
dengan pendapatku. Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu. (Al-Kahfi: 70)
Artinya, janganlah kamu menanyakan sesuatu pun kepadaku, sekalipun hal itu bertentangan
denganmu. Keduanya (Musa dan laki-laki itu) berangkat dengan berjalan kaki menelusuri
pantai dan bertanya-tanya kepada orang-orang yang ada di situ seraya mencari tumpangan
yang dapat membawa mereka berdua. Akhirnya lewatlah sebuah perahu baru yang kokoh,
tiada suatu perahu pun yang dijumpai keduanya lebih baik, lebih indah, dan lebih kokoh
daripada perahu ini. Laki-laki itu meminta kepada pemilik perahu untuk ikut menumpang,
maka pemilik perahu membawa mereka berdua.
Setelah keduanya berada di dalam perahu, dan perahu itu meneruskan perjalanannya
membelah laut dengan membawa para penumpang yang dimuatnya, tiba-tiba lelaki itu
mengeluarkan sebuah pahat dan palu miliknya. Lalu ia menuju ke salah satu bagian dari
perahu itu dan memahatnya hingga melubanginya. Sesudah itu ia mengambil sebuah papan
dan menutupi bagian yang berlubang itu, lalu ia duduk di atasnya untuk menutupinya (agar
jangan kemasukan air). Musa berkata kepadanya setelah melihatnya melakukan suatu
perbuatan yang membahayakan itu: "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya
kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu
kesalahan yang besar.” Dia (Khidir) berkata, "Bukankah aku telah berkata bahwa
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku?” Musa berkata,
"Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku
dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku." (Al-Kahfi: 71-73)
Maksudnya, janganlah kamu menghukum aku karena kealpaanku terhadap apa yang
telah aku janjikan kepadamu. Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan setelah keluar
dari perahu itu, hingga sampailah keduanya di suatu kampung; mereka melihat sejumlah
anak-anak sedang bermain-main di bagian belakang kampung itu. Dia antara anak-anak
terdapat seorang anak yang penampilannya sangat tampan lagi mewah dibandingkan
dengan teman-temannya, dan anak itu kelihatan cerah sekali. Maka laki-laki itu menangkap
anak tersebut dan mengambil sebuah batu, lalu batu itu dipukulkan ke kepala si anak hingga
pecah. Ternyata laki-laki itu membunuh anak tersebut. Melihat pemandangan yang kejam
itu Musa tidak sabar lagi, karena seorang anak yang masih kecil lagi tidak berdosa dibunuh
dengan darah dingin. Musa bertanya: Mengapa kami bunuh jiwa yang bersih. (Al-Kahfi:
74) Yakni anak yang masih kecil. "bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya
kamu telah melakukan suatu yang mungkar.” Khidir berkata, "Bukankah sudah kukatakan
kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” Musa berkata,
"Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
kepadaku.” (Al-Kahfi: 74-76) Yaitu keadaanku kalau bertanya lagi tidak dapat dimaafkan.
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau
menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh. (Al-Kahfi: 77)
Lalu Khidir merobohkan dinding itu dan membangunnya kembali, sedangkan Musa
gelisah melihat apa yang dilakukan oleh temannya ini yang memaksakan diri untuk kerja
bakti. Musa tidak sabar lagi, lalu memprotesnya: Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu. (Al-Kahfi: 77)
Dengan kata lain, Musa mengatakan, "Kita telah meminta mereka supaya memberi
makan, tetapi mereka tidak memberi; dan kita telah meminta kepada mereka supaya
menjamu kita sebagai tamu, tetapi mereka menolak. Kemudian kamu bekerja tanpa imbalan
jasa. Jikalau kamu mau, niscaya mendapat upah dari kerjamu ini dengan memintanya."
Khidir berkata: Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun
bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-
tiap bahtera. (Al-Kahfi: 78-79)
Menurut Qiraat Ubay ibnu Ka'b disebutkan safinatin salihatin (dengan memakai sifat,
yang artinya perahu yang baik). Dan sesungguhnya aku (Khidir) melubanginya agar si raja
itu tidak mau mengambil perahu ini. Dan ternyata perahu itu selamat dari rampasan si raja,
saat si raja melihat bahwa perahu itu telah cacat.
Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami
khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesalan dan
kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan
anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada anaknya itu dan lebih dalam kasih
sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang
anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua,
sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh; maka Tuhanmu menghendaki agar mereka
sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari
Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menuruti kemauanku sendiri. (Al-Kahfi: 80-
82) Artinya, semuanya itu kulakukan bukan atas kehendak diriku sendiri. "Demikian itu
adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi:
82) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang disimpan itu tiada lain dalam bentuk ilmu.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa setelah Musa dan kaumnya
berhasil menguasai negeri Mesir, maka Musa menempatkan kaumnya di negeri Mesir. Dan
setelah mereka menetap di Mesir, Allah menurunkan wahyu (kepada Musa), "Ingatkanlah
mereka pada hari-hari Allah." Maka Musa berkhotbah kepada kaumnya dan menyebutkan
kepada mereka kebaikan dan nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada mereka.
Musa juga mengingatkan mereka akan hari yang pada hari itu Allah menyelamatkan
mereka dari Fir'aun dan para pembantunya. Musa mengingatkan pula akan kebinasaan
musuh mereka dan Allah menjadikan mereka sebagai penguasa di bumi.
Musa berkata, "Allah telah berbicara secara langsung dengan Nabi kalian, dan
memilihku sebagai kekasih-Nya dan dijadikan-Nya diriku me-cintai-Nya, serta Dia
menurunkan kepada kalian dari semua apa yang diminta oleh kalian. Nabi kalian adalah
orang yang paling utama di bumi ini. Dan kalian dapat membaca kitab Taurat, maka tiada
suatu nikmat pun yang telah diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya melainkan
kitab Taurat menyebutkannya kepada kalian."
Seseorang lelaki dari kalangan Bani Israil berkata, "Hai Nabi Allah, memang kami
telah mengetahui apa yang kamu katakan itu, tetapi apakah di muka bumi ini ada seseorang
yang lebih alim daripada engkau?" Musa menjawab, "Tidak ada."
Allah mengutus Malaikat Jibril kepada Musa 'alaihissalam untuk menyampaikan bahwa
sesungguhnya Allah telah berfirman, "Tahukah kamu, di manakah Aku meletakkan ilmu-
Ku? Tidaklah seperti yang kamu duga, sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang
tinggal di pantai laut, dia lebih alim daripada kamu." Ibnu Abbas mengatakan bahwa hamba
yang dimaksud adalah Khidir. Lalu Musa meminta kepada Tuhannya agar sudilah Dia
mengenalkan lelaki itu kepadanya. Allah menurunkan wahyu kepadanya (seraya berfir-
man), "Datanglah ke laut, karena sesungguhnya kamu akan menjumpai di tepi pantai seekor
ikan. Ambillah ikan itu dan serahkanlah kepada muridmu (untuk membawanya), kemudian
tetaplah kamu berjalan di pantai itu. Apabila kamu lupa akan ikan itu dan ikan itu lenyap
darimu, maka hamba saleh yang kamu cari itu ada di tempat tersebut."
Setelah Musa berjalan cukup lama hingga ia merasa letih, maka ia meminta kepada
muridnya bekal makanan yang dibawanya, yakni ikan itu. Maka muridnya berkata
kepadanya: Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka
sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan
aku untuk menceritakannya kecuali setan. (Al-Kahfi: 63) . Yakni untuk menceritakannya
kepadamu. Ia berkata, "Sesungguhnya aku melihat ikan itu pada saat ia mengambil jalannya
di laut membentuk liang. Sungguh sangat menakjubkan."
Musa kembali ke tempat batu besar itu dan menjumpai ikan itu sedang melompat-
lompat di laut. Maka Musa mengikutinya dan menjadikan tongkatnya berada di depannya
untuk menguakkan air laut guna mengikuti ikan. Sedangkan ikan itu tidak sekali-kali
menyentuh air laut melainkan airnya menjadi kering dan keras seperti batu. Musa
'alaihissalam merasa kagum melihat pemandangan itu, hingga ikan itu sampai ke sebuah
pulau di laut, sedangkan Musa mengikutinya.
Di pulau itu Musa bersua dengan Khidir dan mengucapkan salam kepadanya. Khidir
menjawab, "Wa'alaikas salam, dimanakah ada kesejahteraan di bumi ini, dan siapakah
kamu?" Musa menjawab, "Saya Musa." Khidir bertanya, "MusaNabi Bani Israil?" Musa
menjawab, "Ya." Khidir menyambutnya dengan sambutan yang hangat, lalu bertanya,
"Apakah yang mendorongmu datang kemari?" Musa menjawab: "Supaya kamu
mengajarkan kepadaku Umu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu.” Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku." (Al-Kahfi: 66-67)
Khidir menjawab, "Kamu tidak akan kuat menguasai ilmu itu." Insya Allah kamu akan
mendapati aku sefbagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
sesuatu urusan pun. (Al-Kahfi: 69)
Maka Khidir membawa Musa pergi, lalu berkata kepadanya, "Janganlah kamu bertanya
kepadaku tentang sesuatu pun yang aku lakukan sebelum aku jelaskan kepadamu duduk
perkara yang sebenarnya." Yang demikian itu adalah firman Allah Swt.: sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu. (Al-Kahfi: 70)
Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Utbah ibnu Mas'ud,
dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah berdebat dengan Al-Hurr ibnu Qais ibnu Hisn Al-Fazzari
tentang teman Musa ini. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ia adalah Khidir. Saat itu lewatlah
Ubay ibnu Ka'b. Maka Ibnu Abbas memanggilnya dan menceritakan kepadanya, "Sesung-
guhnya aku dan temanku ini berdebat tentang teman Musa yang mendorong Musa meminta
kepada Tuhan agar dipertemukan dengannya. Apakah kamu pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam menceritakan tentangnya?"
Ubay ibnu Ka'b menjawab, sesungguhnya ia pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda bahwa ketika Musa sedang berada di tengah-tengah
para pemuka kaum Bani Israil, tiba-tiba datanglah kepadanya seorang lelaki yang bertanya,
"Tahukah kamu tempat seorang lelaki yang lebih alim daripada kamu?" Musa menjawab,
"Tidak tahu."
Allah mewahyukan kepada Musa, "Memang benar, dia adalah ham-ba-Ku bernama
Khidir." Maka Musa meminta kepada Tuhannya agar menunjukkan jalan untuk bersua
dengannya. Allah menjadikan seekor ikan sebagai pertanda, seraya berfirman kepada Musa,
"Jika kamu merasa kehilangan ikan ini, kembalilah ke tempatnya, maka sesungguhnya
kamu akan menjumpainya di tempat itu."
Musa mengikuti jalan ikan itu di laut. Murid Musa berkata kepada Musa, "Tahukah
kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa ikan
itu di tempat tersebut." Musa berkata seperti yang disitir oleh firman-
Nya: Itulah (tempat) yang kita cari. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka
semula. (Al-Kahfi: 64) Keduanya menjumpai hamba Allah, yaitu Khidir. Mengenai perihal
keduanya adalah seperti apa yang dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam
kitab (Al-Qur'an)-Nya.

َ ‫ك َع َلى أَن ُت َعلِّ َم ِن ِممَّا عُلِّم‬


٦٦ ً‫ْت ُر ْشدا‬ َ ‫ُوسى َه ْل أَ َّت ِب ُع‬
َ ‫َقا َل َل ُه م‬

٦٧ ً‫صبْرا‬
َ ‫ِي‬ َ ِ‫ك َلن َتسْ َتط‬
َ ‫يع َمع‬ َ ‫َقا َل إِ َّن‬

٦٨ ً‫ْف َتصْ ِب ُر َع َلى َما َل ْم ُتح ِْط ِب ِه ُخبْرا‬


َ ‫َو َكي‬
ِ ‫صابِراً َواَل أَ ْع‬
٦٩ ‫صي َلك‬ َ ُ ‫قَا َل َست َِج ُدنِي إِن َشاء هَّللا‬
ً‫أَ ْمرا‬

٧٠ ً‫ك ِم ْن ُه ِذ ْكرا‬ َ ‫َقا َل َفإِ ِن ا َّت َبعْ َتنِي َفاَل َتسْ أ َ ْلنِي َعن َشيْ ٍء َح َّتى أُحْ د‬
َ ‫ِث َل‬
“Musa berkata kepada Khidir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dia
menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku
sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan
pun.” Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan tentang perkataan Musa 'alaihissalam kepada
lelaki yang alim itu —yakni Khidir— yang telah diberikan kekhususan oleh Allah dengan
suatu ilmu yang tidak diketahui oleh Musa. Sebagaimana Allah telah memberi kepada
Musa suatu ilmu yang tidak diberikan-Nya kepada Khidir.

{ َ‫}قَا َل لَهُ ُمو َسى هَلْ أَتَّبِعُك‬

“Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu?" (Al-Kahfi: 66)


Pertanyaan Musa mengandung nada meminta dengan cara halus, bukan membebani
atau memaksa. Memang harus demikianlah etika seorang murid kepada gurunya dalam
berbicara.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

َ ‫}أَتَّبِ ُع‬
{‫ك‬

“Bolehkah aku mengikutimu?” (Al-Kahfi: 66)

Maksudnya, bolehkah aku menemanimu dan mendampingimu.

{‫} َعلَى أَ ْن تُ َعلِّ َم ِن ِم َّما ُعلِّ ْمتَ ُر ْشدًا‬


“supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu”. (Al-Kahfi: 66)

Yakni suatu ilmu yang pernah diajarkan oleh Allah kepadamu,-agar aku dapat
menjadikannya sebagai pelitaku dalam mengerjakan urusanku, yaitu ilmu yang bermanfaat
dan amal yang saleh. Maka pada saat itu juga Khidir berkata kepada Musa:

َ ‫}إِنَّكَ لَ ْن تَ ْستَ ِطي َع َم ِع َي‬


{‫ص ْبرًا‬

“Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” (Al-Kahfi: 67)


Artinya; kamu tidak akan kuat menemaniku karena kamu akan melihat dariku berbagai
macam perbuatan yang bertentangan dengan syariatmu. Sesungguhnya aku mempunyai
suatu ilmu dari ilmu Allah yang tidak di-ajarkan-Nya kepadamu. Sedangkan kamu pun
mempunyai suatu ilmu dari ilmu Allah yang tidak diajarkan-Nya kepadaku. Masing-
masing dari kita mendapat tugas menangani perintah-perintah dari Allah secara tersendiri
yang berbeda satu sama lainnya. Dan kamu tidak akan kuat mengikutiku.

ْ ‫}و َك ْيفَ تَصْ بِ ُر َعلَى َما لَ ْم تُ ِح‬


{‫ط بِ ِه ُخ ْبرًا‬ َ
“Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”(Al-Kahfi: 68)

Aku mengetahui bahwa kamu akan mengingkari hal-hal yang kamu dimaafkan tidak
mengikutinya, tetapi aku tidak akan menceritakan hikmah dan maslahat hakiki yang telah
diperlihatkan kepadaku mengenainya, sedangkan kamu tidak mengetahuinya.

َ ُ ‫} َست َِج ُدنِي إِ ْن َشا َء هَّللا‬


{‫صابِرًا‬

Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar.” (Al-
Kahfi: 69)

terhadap apa yang aku lihat dari urusan-urusanmu itu.

{‫ك أَ ْمرًا‬ ِ ‫}وال أَ ْع‬


َ َ ‫صي ل‬ َ
“dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” (Al-Kahfi: 69)
Maksudnya, aku tidak akan memprotesmu dalam sesuatu urusan pun; dan pada saat itu
Khidir memberikan syarat kepada Musa, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

{‫}قَا َل فَإ ِ ِن اتَّبَ ْعتَنِي فَال تَسْأ َ ْلنِي ع َْن َش ْي ٍء‬

Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apa pun." (Al-Kahfi: 70)

Yakni memulai menanyakannya.

َ ‫}حتَّى أُحْ ِد‬


{‫ث لَكَ ِم ْنهُ ِذ ْكرًا‬ َ

“sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Al-Kahfi: 70)

Yaitu aku sendirilah yang akan menjelaskannya kepadamu, sebelum itu kamu tidak
boleh mengajukan suatu pertanyaan pun kepadaku.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Jubair, telah
menceritakan kepada kami Ya'qub, dari Harun, dari Ubaidah, dari ayahnya, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwa Musa 'alaihissalam bertanya kepada Tuhannya, "Wahai
Tuhanku, hamba-hamba-Mu yang manakah yang paling disukai olehmu?" Allah
Subhanahu wa Ta'ala menjawab, "Orang yang selalu ingat kepada-Ku dan tidak pernah
melupakan Aku." Musa bertanya, "Siapakah di antara hamba-hamba-Mu yang paling
adil?" Allah menjawab, "Orang yang memutuskan (perkara) dengan hak dan tidak pernah
memperturutkan hawa nafsunya." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, siapakah di antara
hamba-hamba-Mu yang paling alim?" Allah berfirman, "Orang yang rajin menimba ilmu
dari orang lain dengan tujuan untuk mencari suatu kalimah yang dapat memberikan
petunjuk ke jalan hidayah untuk dirinya, atau menyelamatkan dirinya dari kebinasaan."
Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, apakah di bumi-Mu ini ada seseorang yang lebih alim
daripada aku?" Allah berfirman, "Ya, ada." Musa bertanya, "Siapakah dia?" Allah
berfirman, "Dialah Khidir." Musa bertanya, "Di manakah saya harus mencarinya?" Allah
berfirman, "Di pantai di dekat sebuah batu besar tempat kamu akan kehilangan ikan
padanya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Musa berangkat mencarinya; dan
kisah selanjutnya adalah seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
di dalam kitab-Nya, hingga akhirnya sampailah Musa di dekat batu besar itu. Ia bersua
dengan Khidir, masing-masing dari keduanya mengucapkan salam kepada yang lainnya.
Musa berkata kepadanya, "Sesungguhnya saya suka menemanimu." Khidir menjawab,
"Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup sabar bersamaku." Musa berkata, "Tidak, saya
sanggup." Khidir berkata, "Jika kamu menemaniku: maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Al-
Kahfi: 70) Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Khidir membawa Musa berangkat
menempuh jalan laut, hingga sampailah ke tempat bertemunya dua buah lautan; tiada suatu
tempat pun yang airnya lebih banyak daripada tempat itu. Kemudian Allah mengirimkan
seekor burung pipit, lalu burung pipit itu menyambar seteguk air dengan paruhnya. Khidir
berkata kepada Musa, Berapa banyakkah air yang disambar oleh burung pipit ini menurut-
mu?" Musa menjawab, "Sangat sedikit." Khidir berkata, "Hai Musa, sesungguhnya ilmuku
dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah, sama dengan apa yang diambil oleh burung
pipit itu dari lautan ini." Sebelum peristiwa ini pernah terdetik di dalam hati Musa bahwa
tiada seorang pun yang lebih alim daripada dia. Atau Musa pernah mengatakan demikian.
Karena itulah maka Allah memerintahkan kepadanya untuk mendatangi Khidir. Ibnu
Abbas melanjutkan kisahnya ini menyangkut pelubangan perahu, pembunuhan terhadap
seorang anak muda, dan pembetulan dinding yang akan runtuh, serta takwil dari semua
perbuatan tersebut.

F. Kandungan Surat Al Kahfi ayat 65 – 66

Asbabun Nuzul Surat Al Kahfi (Gua), Ashabul Kahfi, adalah surat yang sangat pupuler
yang sering menjadi acuan ceramah oleh para da'i dalam momen- momen tertentu. Surat
Al-Kahfi terdiri dari 110 ayat. Dari 110 ayat ini membahas 4 pokokbahasan yang terdiri
dari :

1. Keimanan yang isinya : Kekuasaan Allah swt. untuk memberi daya hidup pada manusia
di luar hukum kebiasaan; dasar-dasar Tauhid serta keadilan Allah swt. tidak berubah
untuk selama-lamanya, kalimat- kalimat Allah (ilmu-Nya), amat luas sekali, meliputi
segala sesuatu.
2. Hukum-Hukum : Dasarhukum akalah (berwakil) ; larangan membangun tempat ibadah
di atas kubur, hukum membaca Insya Allah; perbuatan yang dilakukan karena lupa
adalah dimaafkan; kebolehan merusak suatu barang untuk menghindarkan bahaya yang
lebih besar.
3. Kisah-Kisah : Cerita Ashabul Kahfi, cerita dua orang laki-laki yang seorang kafir dan
yang lainnya mu'min; cerita Nabi Musa a.s. dengan Khidir; cerita Dzulkarnain dengan
Ya'juj dan Ma'juj.

Pada Ayat ke-66 surat Al Kahfi ini menjelaskan bahwa ucapan Nabi Musa as. terhadap
Nabi Khidir as. adalah ucapan yang lemah lembut (tanpa paksaan). Oleh karena itu wajib
bagi seorang muta’allim (pelajar) apabila menanyakan sesuatu hal kepada mua’llim
(guru) dengan ucapan yang lemah lembut. Kata attabi’uka ialah mengikuti dengan
sungguh-sungguh.
Pada ayat ke-67 ini sebagai jawaban Nabi Khidir as. bahwa Nabi Musa as. tidak akan
sanggup mengikuti Nabi Khidir as. dengan alasan sudut pandang keilmuan yang berbeda.
Nabi Khidir as. diberi ilmu yang sifatnya batiniyah (dalam) sedangkan Nabi Musa as.
diberi ilmu yang sifatnya lahiriah.

Ayat 68 ini menegaskan kepada Nabi Musa as. tentang sebab Nabi Musa tidak akan
bersabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Nabi Musa as. akan melihat
kenyataan pekerjaan Nabi Khidir as. yang secara lahiriyah bertentangan dengan syariat
Nabi Musa as. sehingga Nabi Musa as. mengingkarinya karena menganggap hal yang
mustahil. Sedangkan secara batiniyah tidak mengetahui hikmahnya atau
kemaslahatannya. Nabi Musa as. berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan
menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Khidir, dan berjanji pula akan melaksanakan
perintah Nabi Khidir selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah swt.

Selanjutnya dalam ayat 70 : Nabi Khidir as. dapat menerima Nabi Musa as. dengan
syarat: “Jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku, maka janganlah kamu bertanya
tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri
menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu
perbuatan yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai menyebutnya
untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya.

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa , apabila kita tidak tahu mengenai suatu
hal kita bisa tanya kepada orang yang lebih tahu. Tanyanlah dengan bahasa yang sopan
dan baik. Dan ketika kita menuntut Ilmu sesuaikan dengan kemampuannya, maksudnya
yaitu kalau belajar sesuaikan dengan kadarnya , belajar secara bertahap karena belajar itu
membutuhkan suatu proses tidak dengan cara instant. Jadi kita harus menguasai dasarnya
dulu kemudian naik ketingkatan yang lebih tinggi lagi dan seterusnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada surat An Nahl ayat 43 – 44 dan surat Al – Kahfi ayat 65 – 70 mengajarkan kita apabila
kita tidak tahu mengenai suatu hal kita bisa tanya kepada orang yang lebih tahu. Tanyanlah
dengan bahasa yang sopan dan baik. Dan ketika kita menuntut Ilmu sesuaikan dengan
kemampuannya, maksudnya yaitu kalau belajar sesuaikan dengan kadarnya , belajar secara
bertahap karena belajar itu membutuhkan suatu proses tidak dengan cara instant. Jadi kita harus
menguasai dasarnya dulu kemudian naik ketingkatan yang lebih tinggi lagi dan seterusnya.
Nilai – nilai pendidikan yang terkandung diantaranya:
1. Menganjurkan kita untuk bertanya apabila kita tidak tahu.
2. Apabila kita mempunyai ilmu sebaiknya ajarkan kepada yang belum tahu.
3. Dalam mendidik sebaiknya menyesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan pemahaman
peserta didik.
4. Pendidik sebaiknya menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahani.
5. Pendidikan dilakukan secara bertahab.
6. Pendidik atau guru sebaiknya menguasai bahan ajar.

B. Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah tafsir tarbawi, penulis khususnya dan para
pembaca dapat memahami tafsir Ibnu katsir mengenai surat An Nahl ayat 43 – 44 dan surat
Al Kahfi ayat 65 – 70 . penulispun berharap adanya kritik dan saran. Karena semua itu untuk
sempurnanya pembuatan makalah yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai