PENDAHULUAN
menunjang ketahanan pangan. Hal ini karena pisang memiliki keunggulan yang
tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Menurut FAO produksi pisang
dunia didominasi oleh lima negara, yaitu India, Brazil, China, Filipina, dan Equador.
India menduduki peringkat pertama dengan rata-rata produksi sebesar 15,54 juta ton
per tahun dan memberikan kontribusi sebesar 21,26% terhadap total produksi pisang
6,6% dan rata-rata produksi sekitar 4,85 juta ton/tahun (Supriati, 2011). Pisang
merupakan buah yang banyak dikenal oleh masyarakat dan memiliki nilai yang
ekonomis, buahnya mengandung nilai gizi yang lengkap, kandungan vitamin serta
sumber kalori yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Pisang raja kinalun adalah salah
satu jenis pisang unggul dimana buah pisang seperti pisang perancis namun ukuran
buah dan pohon lebih besar. Pisang ini merupakan pisang hasil persilangan terbaru
yang ditemukan pada tahun 2007 dan memiliki sifat yang tahan terhadap layu
fussarium. Ketersediaan bibit pisang yang bermutu tinggi, bebas penyakit, seragam,
dan dalam jumlah besar adalah masalah umum yang dialami petani pisang untuk
meningkatkan produksi pisang guna memenuhi kebutuhan baik dalam negeri maupun
Pada tahun 1999, ekspor pisang mencapai puncak yang mencapai 77.472,68
ton dengan nilai 14.073.670 dolar AS namun nilai tersebut mengalami penurunan
setiap tahunnya, sehingga saat ini ekspor pisang Indonesia sangat rendah bahkan
dan hanya dibiarkan menurut kehendak alam. Selain itu, juga disebabkan karena
penyediaan bibit yang cukup lama dan keterbatasan penyediaan bibit yang bermutu
baik dengan harga terjangkau. Kurangnya bibit juga disebabkan oleh patogen
penyebab penyakit layu pada pisang. Jenis patogen penyakit layu pada pisang yang
dapat disebabkan oleh Blood Disease Bacterium (BDB) dan Fusarium oxysporum
Salah satu cara adalah dengan perkebunan pisang. Perkebunan pisang membutuhkan
bibit yang bermutu dalam jumlah besar. Ada dua cara untuk menyediakan bibit, yaitu
(sucker), bonggol dan belahan bonggol membutuhkan waktu yang lama, bibit yang
dihasilkan sedikit, tidak seragam dan kesehatannya tidak terjamin. Sedangkan teknik
kultur jaringan (in vitro) dapat menghasilkan bibit pisang yang sehat dan seragam
dalam jumlah besar dalam kurun waktu yang relatif singkat dan tidak tergantung
seperti protoplasma sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya
dalam media yang sesuai dan kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
Teknologi yang diterapkan dalam kultur jaringan pisang adalah induksi tunas mikro,
multiplikasi tunas mikro, perakaran tunas mikro dan aklimatisasi plantlet. Pada
subkultur pada media padat (Rainiyati, Dede Martino, Gusniwati dan Jasminarni,
2007).
Medium yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah Murashige dan
sitokinin, zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk pertumbuhan tunas
adalah BAP (6-Benzil Aminopurin), yang merupakan salah satu zat pengatur tumbuh
yang banyak digunakan dengan daya aktivitas yang kuat mendorong proses
pembelahan sel (George dan Sherrington, 1984). Untuk memacu pertumbuhan akar
digunakan auksin, salah satu auksin sintetik yang lebih efektif digunakan yaitu NAA
karena NAA tidak mudah dirusak oleh IAA oksidase atau enzim lainnya sehingga
planlet yang optimal. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Guswira (2005),
mendapatkan hasil terbaik pada pembentukan tunas pada konsentrasi 3 ppm BAP
dan 2 ppm NAA sedangkan untuk menginduksi akar dengan hasil terbaik pada
konsentrasi 2 ppm NAA. Dalam penelitian Utama (2012), konsentrasi BAP paling
baik untuk sub kultur pisang raja bagus adalah konsentrasi BAP 2 ppm. Rodinah
pembentukan akar tercepat pada perlakuan MS tanpa ZPT pada hari keenam.
pisang Mas Kirana dicapai oleh perlakuan BAP 4 ppm. Selain itu, Sitohang (2005)
didapatkan hasil terbaik dalam pertumbuhan tunas dan akar pada medium MS tanpa
ZPT. Avivi dan Ikrarwati (2004) melakukan penelitian terhadap pisang abaca
dengan eksplan anakan memperoleh 9 tunas pada perlakuan BAP 6 mg/l sedangkan
perlakuan NAA 1 mg/l memberi pengaruh paling baik terhadap jumlah akar. Marlin
(2008), kultur pertumbuhan tunas pisang ambon curup terbanyak diperoleh pada
penambaan BAP 2 ppm sebagai konsentrasi yang tepat untuk merangsang
pembentukan tunas dan pertumbuhan akar pada pisang ambon secara in vitro.
Setiap jenis kultivar pisang memiliki daya kemampuan hidup dalam berbagai
konsentrasi penambahan ZPT. Kombinasi konsentrasi yang lebih efisien dari auksin
dan sitokinin tidak dapat ditentukan dengan pasti, karena sumber ZPT yang sama
pada tanaman yang berbeda dapat memberikan efek yang berbeda. Perbandingan
konsentrasi tersebut dipengaruhi oleh tingkatan taksa dan spesifik kultivar pisang.
Konsentrasi yang efisien dari zat pengatur tumbuh harus diperhatikan, karena akan
yang paling efisien dari ZPT (Isnaeni, 2008). Pada beberapa bagian eksplan pisang
meristem pisang terjadi pada tahap awal kultur (Al-Amin et al., 2009 cit Marlin,
Yulian, Hermansyah, 2012). Pencoklatan ini terjadi karena adanya sintesis senyawa
fenolik yang dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel tanaman. Senyawa fenol
yang tinggi mengakibatkan eksplan pisang tidak dapat tumbuh dan mengakibatkan
tingkat kematian yang tinggi. Penggunaan ZPT dalam konsentrasi yang tepat juga
Hermansyah, 2012).
secara in vitro?
2. Bagaimana pengaruh NAA terhadap inisiasi akar pisang raja kinalun secara
in vitro?
3. Bagaimana pengaruh kombinasi BAP dan NAA terhadap pertumbuhan tunas
1.3 Tujuan
2. Untuk mengetahui pengaruh NAA dalam inisiasi akar pisang raja kinalun
secara in vitro.
pertumbuhan tunas dan inisiasi akar pisang raja kinalun secara in vitro.
1.4 Hipotesis
Penambahan kombinasi zat pengatur BAP dan NAA diduga berpengaruh dalam
pertumbuhan tunas dan akar pada pisang raja kinalun secara in vitro.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang
Klasifikasi:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiaca (Puslitbanghorti, 2011)
Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia
(Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Jenis pisang dibagi menjadi tiga pisang
yang dimakan buahnya tanpa dimasak yaitu M. paradisiaca var Sapientum, M. nana
atau disebut juga M. cavendishii, M. sinensis, misalnya pisang ambon, susu, raja,
cavendish, barangan dan mas. Pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak yaitu
pisang nangka, tanduk dan kepok. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di
Indonesia dimanfaatkan daunnya misalnya pisang batu dan klutuk. Pisang yang
merupakan jenis pisang dengan genom AAB hasil persilangan dari musa acuminate
dan Musa balbisiana. Pisang ini berasal dari daerah Bengkulu yang mempunyai
keunggulan spesifik lebih tahan terhadap penyakit layu bakteri dan fusarium,
memiliki daya simpan cukup lama selama 24 hari dan potensial sebagai bahan baku
industri tepung pisang. Bobot buah pertandan 12-18 kg, jumlah sisir per tandan 8-9,
jumlah buah per sisir 12-14, jumlah buah per tandan 100-105, panjang buah 10-14
cm, diameter buah 3.5-4.5 cm, tekstur buah kenyal, bobot satu buah 95-120 g, cita
rasa daging buah manis (pisang olah dan potensi hasil per ha/tahun 15-20 ton (Balai
Ketersediaan bibit pisang yang bermutu tinggi, bebas penyakit, seragam, dan
dalam jumlah besar adalah masalah umum yang dialami petani pisang untuk
meningkatkan produksi pisang guna memenuhi kebutuhan baik dalam negeri maupun
anakan akan menghasilkan bibit dalam waktu yang lama, jumlahnya terbatas (satu
rumpun hanya menghasilkan 5 – 10 bibit per tahun). Kualitas bibit yang dihasilkan
juga rendah karena hama dan penyakit tanaman akan mudah tersebar (Rahman et al.,
2004).
menghasilkan bibit yang unggul dapat dilakukan melalui in vitro. Di dalam teknik in
vitro dikenal beberapa macam media yang telah biasa digunakan untuk
menumbuhkan eksplan. Di antara media tersebut yang banyak digunakan ialah media
memiliki kandungan unsur hara baik makro maupun mikro lebih lengkap bila
dibandingkan dengan media dasar lain dan dapat digunakan untuk menumbuhkan
hampir semua jenis tanaman (Pierik, 1987). Perbanyakan tanaman dengan kultur
jaringan ini akan diperoleh bibit bebas hama penyakit serta sifatnya sama dengan
induknya dalam jumlah yang berlipat ganda (ribuan kali bahkan jutaan kali) dalam
Berdasarkan prinsip ini, sebuah sel atau jaringan tumbuhan, yang diambil dari bagian
manapun, akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan yang sempurna jika diletakkan pada
medium yang sesuai dan bebas hama (Widarto, 1996). Tujuan dari teknik kultur
yang sukar diperbanyak secara seksual dan memproduksi tanaman dalam jumlah
dikatakan berhasil bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut tidak merubah
sifat genetik pohon induk, seleksi kuat pada bahan tanaman yang akan digunakan
sebagai eksplan agar bebas penyakit, teknik perbanyakan yang tidak terlalu rumit,
perbanyakan bibit pisang melalui kultur jaringan antara lain penyediaan bibit dapat
diprogram sesuai dengan jadwal kebutuhan dan jumlah yang diperlukan, sifat unggul
tanaman induk tetap dimiliki oleh tanaman hasil kultur jaringan, bibit dalam keadaan
bebas hama dan penyakit karena diperbanyak dalam keadaan aseptik dari tanaman
yang sehat, tanaman hasil kultur jaringan cepat berbuah, dan tingkat keseragaman
pengelolaan kebun. Secara umum tahapan dalam teknik kultur jaringan adalah
seleksi eksplan dan persiapan, inisiasi dan kultur, multiplikasi, pengakaran dan
kultur in vitro antara lain adalah faktor eksplan, komponen medium dan lingkungan
kultur (George dan Sherrington, 1984). Sumber, ukuran, dan umur eksplan ikut
menentukan keberhasilan kultur in vitro. Eksplan yang terlalu kecil daya tahan untuk
hidup kurang bagus dan tingkat kegagalannya tinggi. Sebaliknya, eksplan yang
terlalu besar akan mudah terkontaminasi dan mudah menggulung sehingga bagian
eksplan yang kontak dengan medium sedikit (George dan Sherrington, 1984).
Ukuran eksplan yang paling baik adalah antara 0,5 – 1 cm, tetapi ukuran ini dapat
bervariasi tergantung bagian dan jenis tanaman yang digunakan sebagai eksplan
(Katuuk, 1989).
Santoso dan Nursandi (2003) adalah pemilihan dan persiapan tanaman induk yang
memiliki karakter sesuai dengan yang diinginkan, tanaman sehat, bebas hama dan
tunas), pembentukan planlet yaitu tanaman kultur yang telah berakar, dan
aklimatisasi.
Dalam kultur jaringan diperlukan media untuk tempat tumbuh dari tanaman
yang akan di kultur jaringan. Media merupakan faktor penentu keberhasilan untuk
perbanyakan tanaman secara in vitro. Bahan pokok media pada kultur jaringan
adalah beberapa garam mineral sumber unsur hara makro dan mikro, gula, protein,
vitamin, dan hormon. Bahan-bahan dalam medium tersebut tergantung pada spesies
Media yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman dapat berupa medium
padat atau medium cair. Medium padat digunakan pada kultur kalus dan organ,
seperti kultur meristem akar, batang, dan tunas tanaman (Gunawan, 1988). Medium
padat ini ditambahkan agar, suatu polisakarida dengan berat molekul yang tinggi
sebagai pemadat (George dan Sherrington, 1984). Kelebihan dari agar ini adalah
mampu membeku pada suhu dibawah 45 C dan cair pada suhu 100 C sehingga pda
kisaran kultur agar akan berada dalam keadaan beku stabil, tidak dicerna oleh enzim
tanaman dan tidak bereaksi dengan seyawa penyusun media (Gunawan, 1988).
Menurut Salisbury dan Ross (1992) sitokinin adalah suatu senyawa kimia
pembelahan sel pada sistem jaringan tanaman. Selanjutnya Salisbury dan Ross
(1995) menyatakan sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang fungsi utamanya
Jenis sitokinin yang saat ini sering digunakan adalah BAP (6-benzyl amino
purine). Peran khusus BAP adalah untuk induksi kalus, pertumbuhan kalus dan
suspensi sel serta induksi morfogenesis. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat
sifatnya stabil, tidak mahal dan mudah tersedia. Menurut Sukma (1994), perlakuan
yang terbaik untuk multiplikasi tunas pada pisang Raja bulu dengan eksplan tunas in
vitro dari anakan adalah pada 10.5 ppm BAP 3.0 ppm IAA. Penelitian tersebut juga
melaporkan pengaruh BAP terhadap pertumbuhan daun. BAP sebagai salah satu
kultivar yang ditanam pada media dengan konsentrasi BAP yang tinggi (7 dan 10
ppm) cenderung kurang normal, dimana daun sebagian menggulung dan sempit.
Aplikasi penggunaan auksin dan sitokinin pada tanaman pisang telah banyak
dilakukan. Rainiyati (2007), juga melakukan kultur pisang raja nangka BAP 4 mg/l
menghasilkan jumlah tunas dan akar terbanyak. Dalam penelitian yang dilakukan
Semarayani (2012), perlakuan 2 mg/l BAP terjadi peningkatan jumlah kultur yang
pertumbuhan tunas dan konsentrasi IAA 0,1-0,2 mg/l merupakan konsentrasi untuk
media perakaran. Dalam penelitian Sitohang (2006), konsentrasi BAP 1.5 mg/l
terbaik berkisar antara 3-6 tunas per sub-kultur, tergantung pada kultivar yang diuji.
Namun dalam praktek industri kultur jaringan pisang tingkat multiplikasi tersebut
umumnya rata-rata hanya 2-3 tunas mikro per 4 minggu. Rendahnya tingkat
multiplikasi tunas mikro juga dilaporkan beberapa peneliti luar negeri, yaitu berkisar
antara 3,3 sampai dengan 6,2 tunas per 4 minggu sub-kultur (Rainiyati, et.al. 2007).
penambahan 4,0 mg/l BAP (setara dengan 15 μM) dan 1 mg/l kinetin pada media MS
menghasilkan pertumbuhan tunas tunggal paling baik pada pisang meja (Musa
sapientum cv. Chini champa dan sagar) dalam waktu 15 – 21 hari (Habiba et al.,
2002). Untuk merangsang pembentukan tunas pisang raja kinalun dalam kultur in
menghambat pengaruh auksin terhadap inisiasi akar pada kultur jaringan sejumlah
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April hingga Juli di Laboratorium
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen yang disusun dalam Rancangan
Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan perlakuan dan masing masing perlakuan
penambahan hormon BAP sebagai faktor untuk pertumbuhan tunas dan NAA
Perlakuan kombinasi :
B0 N0 B1 N0 B2 N0 B3 N0 B4 N0
B0 N2 B1 N1 B2 N0 B3 N1 B4 N1
B0 N3 B1 N2 B2 N0 B3 N2 B4 N2
B0 N4 B1 N3 B2 N0 B3 N3 B4 N3
3.3 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), autoklaf, stoma,
lampu ultra violet (UV), timbangan analitik, pinset, pisau scapel dan ganggangnya,
gunting, botol kultur, petridisch, pipet tetes, pipet volumetrik 1 mL, 5 mL dan 25
mL, bekker glass, gelas piala, gelas ukur 100 mL, pH meter, pinset, lampu spiritus,
hot plate stirrer, magnetic stirrer, tisu gulung, plastik kaca, hand sprayer, kertas
label, kertas penutup botol, karet gelang, alumunium foil, korek api, selotip besar,
selotip kecil, alat tulis. Bahan yang digunakan adalah alkohol, medium MS, agar,
bayclin, NAA dan BAP. Sumber eksplan yang digunakan adalah 8 botol globular
pisang raja kinalun yang berumur 3 minggu yang berasal dari bonggol pisang yang
terdapat di Balai Pertanian Buah-Buahan dan Tropika Solok, setiap botol berisi 20
hingga 30 bakal tunas yang setiap bakal tunas akan dipindahkan ke medium
Sterilisasi dilakukan pada peralatan yang meliputi botol kultur, scalpel, petridish,
dan pinset dicuci dengan menggunakan sabun cuci mamalime, dibilas, kemudian
dikeringkan. Botol kultur yang sudah kering dimasukan kedalam plastik dan
1200C selama 20-30 menit (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Peralatan selain botol
kultur, seperti petridish, peralatan diseksi (pinset besar, pinset kecil, dan pisau
scalpel), labu takar, Beaker glass, pipet ukur, erlenmeyer, serbet, kertas dan
ganggangnya, petridish, serbet, tissue gulung, selotip besar, selotip kecil, gunting,
Pembuatan larutan stok dilakukan dengan cara menimbang bahan-bahan kimia, hara
makro, hara mikro, serta ZPT sesuai komposisi media MS (Lampiran 1). Bahan-
bahan tersebut dilarutkan dengan aquadest steril lalu diaduk hingga homogen
diberi label (sesuai dengan perlakuannya) dan disimpan dalam lemari pendingin.
dan Skoog (MS) dan zat pengatur tumbuh BAP dengan konsentrasi berbeda. Untuk
setiap perlakuan, media MS dibuat 1 L dengan memipet larutan stok yang terdiri dari
stok I hara makro 50 mg/L, stok II hara mikro 5 mg/L, stok III vitamin 5 mg/L, stok
IV Fe-EDTA 5 mg/L dan myoinositol 10 mg/L. Pada tahap awal dimasukkan stok I-
V dan dicukupkan hingga 1 L. Jika perlakuan menggunakan ZPT (BAP dan NAA)
Bahan yang sudah tercampur tadi selanjutnya diukur kadar keasamannya dengan
menggunakan pH meter. PH yang ditentukan untuk media kultur jaringan adalah 5,8
- 6 dengan penambahan asam kuat HCl 0,1 N untuk menurunkan PH atau basa
NaOH 0,1 N untuk menaikkan PH. Kemudian dimasukkan gula sebanyak 30 gram
aluminium foil dan kertas kemudian diikat dengan karet gelang. Medium disterilkan
dalam autoclafe setelah itu disimpan dalam ruangan inkubasi hingga penanaman
dilakukan.
Selanjutnya semua alat dan bahan , seperti pinset, pisau skapel, petridish yang telah
dilakukan di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) yang telah disterilkan dan
Globular yang terdapat di botol kultur dikeluarkan dari botol dan dibersihkan agar
yang menempel dengan serbet steril. Bakal tunas yang menggerombol dipisahkan
Eksplan yang telah ditanam pada medium perlakuan, dipelihara di dalam ruang
tumbuh yang suhunya telah diatur pada kisaran 25 oC ± 26oC dengan fotoperiodisme
3.4.5. Pengamatan
Persentase eksplan yang hidup untuk setiap perlakuan dihitung pada akhir
Persentase eksplan membentuk tunas untuk setiap perlakuan dihitung pada akhir
Hari pertama munculnya tunas diamati mulai dari eksplan ditanam pada media
perlakuan sampai terbentuknya akar dan tunas dan diamati setiap hari selama 8
minggu.
Pengamatan rata-rata jumlah tunas dan akar untuk setiap perlakuan dilakukan
pada akhir percobaan setelah minggu ke 8 dengan cara plantlet dikeluarkan dari
Pengamatan rata-rata panjang tunas dan akar untuk setiap perlakuan dilakukan
pada akhir percobaan setelah minggu ke 8 dengan cara plantlet dikeluarkan dari
Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap persentase eksplan yang hidup
untuk setiap perlakuan, persentase eksplan membentuk tunas dan akar untuk
setiap perlakuan, hari pertama munculnya tunas dan akar pada setiap perlakuan.
Analisis data secara statistika terhadap parameter rata-rata jumlah tunas dan akar
untuk setiap perlakuan dan rata-rata panjang tunas dan akar terpanjang untuk
taraf peluang 5 % .
DAFTAR PUSTAKA
Avivi, S dan Ikrarwati. 2004. Mikropropagasi Pisang Abaca (Musa textillis) melalui
Teknik Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian. 2: 27-34.
Bhojwani, S. S. dan M. K. Razdan. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practice.
Development in Crop Science 5. Elsevier Press. Amsterdam.
Direktorat Bina Produksi Hortikultura. 1985. Vademekum Buah-buahan. Dirjen.
Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta.
George, EF and Sherrington AD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.
Handbook and Directory of Commercial laboratories 55 pp. Eastern Press.
Reading Berks
Gunawan, L. W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. IPB. Bogor
Habiba, U., S. Reza, M.L. Saha, M.R. Khan, dan S. Hadiuzzaman. 2002. Endigenous
bacterial contamination during in vitro culture of table banana:
identification and prevention. Plant Tissue Culture 12(2): 117-124.
Hendaryono, D. 2000. Pembibitan Anggrek Dalam Botol. Kanisius. Yogyakarta
Isnaeni, N. 2008. Pengaruh Tdz Terhadap Inisiasi Dan Multiplikasi Kultur In Vitro
Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. Aab Group). Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kasutjianingati dan Dirvamena Boer. 2013. Mikropropagasi Pisang Mas Kirana
(Musa Acuminata L) Memanfaatkan BAP dan NAA Secara In-Vitro. Jurnal
Agroteknos Vol. 3 No. 1. Hal 60-64 ISSN: 2087-7706
Katuuk, J. R. P. 1989. Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman.
Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi. Jakarta. 189 hal.
Khasanah, Uswatun. 2009. Pengaruh Konsentrasi Naa Dan Kinetin Terhadap
Multiplikasi Tunas Pisang (Musa Paradisiaca L. Cv. Raja Bulu ) Secara In
Vitro. Skripsi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret. Surakarta
Marlin, Mukhtasar, Hartal. 2008. Upaya Penyediaan Bibit Pisang ‘Ambon Curup’
Unggulan Propinsi Bengkulu Dengan Pembentukan Planlet Secara In Vitro.
Laporan Hasil Penelitian Tahun II. Program Studi Agronomi Fakultas
Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu
Maslukhah, Ummi. 2008. Ekstrak Pisang Sebagai Suplemen Media MS Dalam
Media Kultur Tunas Pisang Rajabulu (Musa Paradisiaca L. Aab Group) In
Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pierik, R.L.M., 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhaf Publisher,
Dorroocht. The Netherland.
Prayoga, L dan Sugiyono. 2010. Uji Perbedaan Media Dan Konsentrasi Bap
Terhadap Pertumbuhan Tunas Pisang Raja Secara Kultur In Vitro.
AGRITECH, Vol. XII No. 2 Des. 2010 : 89 – 99
Priyono, Fitria Ardiyani, Sumaryono. 2013. Efisiensi Kultur Jaringan Beberapa
Kultivar Pisang Melalui Metode Shaker Dan Optimasi Media. Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Jakarta
Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2005. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rahman, M.Z., K.M. Nasirudin, M.A. Amin, and M.N. Islam. 2004. In vitro
response and shoot multiplication of banana with BAP and NAA. Asian
Journal of Plant Sciences 3(4):406-409.
Rainiyati, Dede Martino, Gusniwati dan Jasminarni. 2007. Perkembangan Pisang
Raja Nangka (Musa Sp.) Secara Kultur Jaringan Dari Eksplan Anakan Dan
Meristem. Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1
Rodinah, Chatimatun Nisa, Dan Emma Rohmayant. 2012. Inisiasi Pisang Talas
(Musa Paradisiacal Var Sapientum L.) Dengan Pemberian Sitokinin Secara
In Vitro. Agroscientiae vol 19 No 2
Salisbury, F. B. dan Cleon W.Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan (Jilid 3). ITB.
Bandung. 343 hal.
Santoso, U. dan F. Nursandi. 2003. Kultur jaringan tanaman. UMM Pers. Malang
Semarayani, Cokorda Im. 2012. Subkultur Berulang Tunas In Vitro Pisang Kepok
Unti Sayang Pada Beberapa Komposisi Media. Skripsi. Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Simmond, N.W. 1959. Banana’s. John Willey and Sons Inc. New York 466 p.
Sitohang, Nurdin. 2005. Kultur Meristem Pisang Barangan (Musa paradisiaca L)
Pada Media MS Dengan Beberapa Komposisi Zat Pengatur Tumbuh NAA,
IBA, BAP dan Kinetin. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian vol 3 No 2
Sitohang, Nurdin. 2006. Multiplikasi Propagula PIsang Barangan (musa paradisiaca
L.) Dari Berbagai Jumlah Tunas Dalam Media MS Yang Diberi BAP Pada
Berbagai Konsentrasi. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian Vol 4 No 1.
Sukma, D. 1994. Pengaruh IAA dan BAP Terhadap Perbanyakan Tunas Mikro
Pisang Mas (Musa acuminata L. AA Group), Ambon dan Barangan (Musa
acuminata L. AAA Group), dan Raja Bulu (Musa paradisiaca L. AAB
Group) Secara In vitro. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Suliansyah, Irvan. Kultur Jaringan Tanaman. Program Studi Agroekoteknologi.
Universitas Andalas. Padang
Supriati, Yati. 2011. Prospek Teknik Kultur Jaringan untuk Pengadaan Bibit
Pisang. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor
Utama, Geri. 2012. Sub Kultur Pisang Raja Bagus Pada Berbagai Konsentrasi
Sukrosa Dan Benzyl Amino Purine. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Pembangunan Nasional Veteran. Yogyakarta
Wetter, L.R. dan F. Constabel. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman (edisi
bahasa Indonesia). ITB. Bandung.
Widarto, L. 1996. Perbanyakan tanaman dengan biji, Stek, cangkok, Ovulasi, dan
Kultur Jaringan. Kanisius. Yogyakarta
Wijayanti, N. 1995. Pengaruh Kombinasi BAP dan 2-ip Terhadap Multiplikasi
Tunas Pisang Ambon Kuning (Musa acuminata (AAA group)) Melalui
Kultur in vitro. Skripsi. Jurusan BDP. Fak. Pertanian, IPB. Bogor.
PROPOSAL PENELITIAN
OLEH:
1110422002
JURUSAN BIOLOGI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2015
HALAMAN PENGESAHAN
Padang, 2015
Disetujui oleh
Pembimbing I Pembimbing II
baru, baik media itu sama maupun berlainan dengan media semula, dengan tujuan
al., 1992; Hendaryono dan Wijayani, 1994). Sub kultur adalah pemindahan sel,
jaringan atau organ dari media lama ke media baru yang sama atau berbeda.
dalam kurun waktu tertentu. Dengan subkultur juga akan diketahui waktu yang tepat
untuk menginisiasi tunas baru. Pada beberapa tanaman yang telah disubkultur
beberapa kali, ternyata tidak terjadi penurunan daya tumbuh atau perubahan
karakteristik yang diamati (Wetherell, 1982). Daya multiplikasi tunas dan akar
setelah dilakukan subkultur berulang perlu diketahui bila ingin memproduksi bibit
3.6 Parameter
3. Hari pertama munculnya tunas dan akar dan tunas diamati setiap hari selama 8
minggu.