Anda di halaman 1dari 25

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pisang merupakan komoditas buah yang sangat potensial dikembangkan untuk

menunjang ketahanan pangan. Hal ini karena pisang memiliki keunggulan yang

dibutuhkan, nutrisi, pelengkap, produktivitas dan kemampuan untuk mengatasi

tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Menurut FAO produksi pisang

dunia didominasi oleh lima negara, yaitu India, Brazil, China, Filipina, dan Equador.

India menduduki peringkat pertama dengan rata-rata produksi sebesar 15,54 juta ton

per tahun dan memberikan kontribusi sebesar 21,26% terhadap total produksi pisang

dunia, sedangkan Indonesia menduduki peringkat keenam dengan kontribusi sekitar

6,6% dan rata-rata produksi sekitar 4,85 juta ton/tahun (Supriati, 2011). Pisang

merupakan buah yang banyak dikenal oleh masyarakat dan memiliki nilai yang

ekonomis, buahnya mengandung nilai gizi yang lengkap, kandungan vitamin serta

sumber kalori yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Pisang raja kinalun adalah salah

satu jenis pisang unggul dimana buah pisang seperti pisang perancis namun ukuran

buah dan pohon lebih besar. Pisang ini merupakan pisang hasil persilangan terbaru

yang ditemukan pada tahun 2007 dan memiliki sifat yang tahan terhadap layu

fussarium. Ketersediaan bibit pisang yang bermutu tinggi, bebas penyakit, seragam,

dan dalam jumlah besar adalah masalah umum yang dialami petani pisang untuk

meningkatkan produksi pisang guna memenuhi kebutuhan baik dalam negeri maupun

ekspor (Prayoga dan Sugiyono, 2010)..

Pada tahun 1999, ekspor pisang mencapai puncak yang mencapai 77.472,68

ton dengan nilai 14.073.670 dolar AS namun nilai tersebut mengalami penurunan

setiap tahunnya, sehingga saat ini ekspor pisang Indonesia sangat rendah bahkan

kurang untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Ketidakmampuan penyediaan


buah pisang ini disebabkan karena umumnya petani tidak ingin merawat tanamannya

dan hanya dibiarkan menurut kehendak alam. Selain itu, juga disebabkan karena

penyediaan bibit yang cukup lama dan keterbatasan penyediaan bibit yang bermutu

baik dengan harga terjangkau. Kurangnya bibit juga disebabkan oleh patogen

penyebab penyakit layu pada pisang. Jenis patogen penyakit layu pada pisang yang

dapat disebabkan oleh Blood Disease Bacterium (BDB) dan Fusarium oxysporum

f.sp. cubense (FOC) (Priyono, Fitria Ardiyani, Sumaryono, 2013).

Peningkatan produksi pisang Indonesia memerlukan perluasan penanaman.

Salah satu cara adalah dengan perkebunan pisang. Perkebunan pisang membutuhkan

bibit yang bermutu dalam jumlah besar. Ada dua cara untuk menyediakan bibit, yaitu

konvensional dan kultur jaringan. Perbanyakan secara konvensional melalui anakan

(sucker), bonggol dan belahan bonggol membutuhkan waktu yang lama, bibit yang

dihasilkan sedikit, tidak seragam dan kesehatannya tidak terjamin. Sedangkan teknik

kultur jaringan (in vitro) dapat menghasilkan bibit pisang yang sehat dan seragam

dalam jumlah besar dalam kurun waktu yang relatif singkat dan tidak tergantung

iklim, sehingga ketersediaan bibit terjamin (Maslukhah, 2008).

Kultur jaringan merupakan suatu metode mengisolasi bagian dari tanaman,

seperti protoplasma sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya

dalam media yang sesuai dan kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat

memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap (Suliansyah, 2010).

Teknologi yang diterapkan dalam kultur jaringan pisang adalah induksi tunas mikro,

multiplikasi tunas mikro, perakaran tunas mikro dan aklimatisasi plantlet. Pada

umumnya seluruh proses tersebut menggunakan eksplan anakan muda/bonggol dan

subkultur pada media padat (Rainiyati, Dede Martino, Gusniwati dan Jasminarni,

2007).
Medium yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah Murashige dan

Skoog (MS). Dalam meningkatkan pertumbuhan tunas biasanya dipakai golongan

sitokinin, zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk pertumbuhan tunas

adalah BAP (6-Benzil Aminopurin), yang merupakan salah satu zat pengatur tumbuh

yang banyak digunakan dengan daya aktivitas yang kuat mendorong proses

pembelahan sel (George dan Sherrington, 1984). Untuk memacu pertumbuhan akar

digunakan auksin, salah satu auksin sintetik yang lebih efektif digunakan yaitu NAA

karena NAA tidak mudah dirusak oleh IAA oksidase atau enzim lainnya sehingga

dapat bertahan lama (Wattimena, 1987 dalam Guswira, 2005).

Pemberian auksin dan sitokinin dapat dapat menghasilkan pertumbuhan

planlet yang optimal. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Guswira (2005),

mendapatkan hasil terbaik pada pembentukan tunas pada konsentrasi 3 ppm BAP

dan 2 ppm NAA sedangkan untuk menginduksi akar dengan hasil terbaik pada

konsentrasi 2 ppm NAA. Dalam penelitian Utama (2012), konsentrasi BAP paling

baik untuk sub kultur pisang raja bagus adalah konsentrasi BAP 2 ppm. Rodinah

(2012) perlakuan inisiasi pisang talas selama 14 minggu menunjukkan saat

pembentukan akar tercepat pada perlakuan MS tanpa ZPT pada hari keenam.

Kasutjianingati (2013), media multiplikasi untuk mencapai total tunas tertinggi

pisang Mas Kirana dicapai oleh perlakuan BAP 4 ppm. Selain itu, Sitohang (2005)

melakukan penelitian kultur meristem pisang barangan selama 11 minggu dan

didapatkan hasil terbaik dalam pertumbuhan tunas dan akar pada medium MS tanpa

ZPT. Avivi dan Ikrarwati (2004) melakukan penelitian terhadap pisang abaca

dengan eksplan anakan memperoleh 9 tunas pada perlakuan BAP 6 mg/l sedangkan

perlakuan NAA 1 mg/l memberi pengaruh paling baik terhadap jumlah akar. Marlin

(2008), kultur pertumbuhan tunas pisang ambon curup terbanyak diperoleh pada
penambaan BAP 2 ppm sebagai konsentrasi yang tepat untuk merangsang

pembentukan tunas dan pertumbuhan akar pada pisang ambon secara in vitro.

Setiap jenis kultivar pisang memiliki daya kemampuan hidup dalam berbagai

konsentrasi penambahan ZPT. Kombinasi konsentrasi yang lebih efisien dari auksin

dan sitokinin tidak dapat ditentukan dengan pasti, karena sumber ZPT yang sama

pada tanaman yang berbeda dapat memberikan efek yang berbeda. Perbandingan

konsentrasi tersebut dipengaruhi oleh tingkatan taksa dan spesifik kultivar pisang.

Konsentrasi yang efisien dari zat pengatur tumbuh harus diperhatikan, karena akan

mempengaruhi kecepatan inisiasi, sehingga diperlukan studi untuk mengetahui nilai

yang paling efisien dari ZPT (Isnaeni, 2008). Pada beberapa bagian eksplan pisang

menunjukkan gejala pencoklatan (browning). Gejala pencoklatan pada kultur

meristem pisang terjadi pada tahap awal kultur (Al-Amin et al., 2009 cit Marlin,

Yulian, Hermansyah, 2012). Pencoklatan ini terjadi karena adanya sintesis senyawa

fenolik yang dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel tanaman. Senyawa fenol

yang tinggi mengakibatkan eksplan pisang tidak dapat tumbuh dan mengakibatkan

tingkat kematian yang tinggi. Penggunaan ZPT dalam konsentrasi yang tepat juga

sangat menentukan proses pembentukan dan perkembangan in vitro (Marlin, Yulian,

Hermansyah, 2012).

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dirumuskan suatu permasalahan yaitu

1. Bagaimana pengaruh BAP terhadap pertumbuhan tunas pisang raja kinalun

secara in vitro?

2. Bagaimana pengaruh NAA terhadap inisiasi akar pisang raja kinalun secara

in vitro?
3. Bagaimana pengaruh kombinasi BAP dan NAA terhadap pertumbuhan tunas

dan inisiasi akar pisang raja kinalun secara in vitro?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui pengaruh BAP dalam pertumbuhan tunas pisang raja

kinalun secara in vitro.

2. Untuk mengetahui pengaruh NAA dalam inisiasi akar pisang raja kinalun

secara in vitro.

3. Untuk mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi BAP dan NAA dalam

pertumbuhan tunas dan inisiasi akar pisang raja kinalun secara in vitro.

1.4 Hipotesis

Penambahan kombinasi zat pengatur BAP dan NAA diduga berpengaruh dalam

pertumbuhan tunas dan akar pada pisang raja kinalun secara in vitro.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pisang

Klasifikasi:

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiaca (Puslitbanghorti, 2011)

Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia

Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika

(Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Jenis pisang dibagi menjadi tiga pisang

yang dimakan buahnya tanpa dimasak yaitu M. paradisiaca var Sapientum, M. nana

atau disebut juga M. cavendishii, M. sinensis, misalnya pisang ambon, susu, raja,

cavendish, barangan dan mas. Pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak yaitu

M. paradisiaca formatypica atau disebut juga M. paradisiaca normalis, misalnya

pisang nangka, tanduk dan kepok. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di

Indonesia dimanfaatkan daunnya misalnya pisang batu dan klutuk. Pisang yang

diambil seratnya misalnya pisang manila (abaca) (Prihatman, 2000).

Menurut Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2005) pisang raja kinalun

merupakan jenis pisang dengan genom AAB hasil persilangan dari musa acuminate

dan Musa balbisiana. Pisang ini berasal dari daerah Bengkulu yang mempunyai

keunggulan spesifik lebih tahan terhadap penyakit layu bakteri dan fusarium,

memiliki daya simpan cukup lama selama 24 hari dan potensial sebagai bahan baku

industri tepung pisang. Bobot buah pertandan 12-18 kg, jumlah sisir per tandan 8-9,
jumlah buah per sisir 12-14, jumlah buah per tandan 100-105, panjang buah 10-14

cm, diameter buah 3.5-4.5 cm, tekstur buah kenyal, bobot satu buah 95-120 g, cita

rasa daging buah manis (pisang olah dan potensi hasil per ha/tahun 15-20 ton (Balai

Penelitian Tanaman Buah Tropika, 2011).

2.2 Kultur Jaringan

Ketersediaan bibit pisang yang bermutu tinggi, bebas penyakit, seragam, dan

dalam jumlah besar adalah masalah umum yang dialami petani pisang untuk

meningkatkan produksi pisang guna memenuhi kebutuhan baik dalam negeri maupun

ekspor. Perbanyakan tanaman pisang secara konvensional dengan bonggol atau

anakan akan menghasilkan bibit dalam waktu yang lama, jumlahnya terbatas (satu

rumpun hanya menghasilkan 5 – 10 bibit per tahun). Kualitas bibit yang dihasilkan

juga rendah karena hama dan penyakit tanaman akan mudah tersebar (Rahman et al.,

2004).

Penyediaan bibit tanaman pisang raja kinalun yang berkualitas dan

menghasilkan bibit yang unggul dapat dilakukan melalui in vitro. Di dalam teknik in

vitro dikenal beberapa macam media yang telah biasa digunakan untuk

menumbuhkan eksplan. Di antara media tersebut yang banyak digunakan ialah media

MS (Murashige and Skoog) dan Gamborg (B5). Diketahui bahwa media MS

memiliki kandungan unsur hara baik makro maupun mikro lebih lengkap bila

dibandingkan dengan media dasar lain dan dapat digunakan untuk menumbuhkan

hampir semua jenis tanaman (Pierik, 1987). Perbanyakan tanaman dengan kultur

jaringan ini akan diperoleh bibit bebas hama penyakit serta sifatnya sama dengan

induknya dalam jumlah yang berlipat ganda (ribuan kali bahkan jutaan kali) dalam

waktu yang relatif sedikit.

Cara kerja kultur jaringan ini adalah berdasarkan prinsip totipotensi.

Berdasarkan prinsip ini, sebuah sel atau jaringan tumbuhan, yang diambil dari bagian
manapun, akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan yang sempurna jika diletakkan pada

medium yang sesuai dan bebas hama (Widarto, 1996). Tujuan dari teknik kultur

jaringan adalah menciptakan tanaman baru bebas penyakit, memperbanyak tanaman

yang sukar diperbanyak secara seksual dan memproduksi tanaman dalam jumlah

besar dalam waktu singkat (Katuuk, 1989).

Pierik (1987) menyatakan bahwa perbanyakan melalui kultur in vitro dapat

dikatakan berhasil bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut tidak merubah

sifat genetik pohon induk, seleksi kuat pada bahan tanaman yang akan digunakan

sebagai eksplan agar bebas penyakit, teknik perbanyakan yang tidak terlalu rumit,

kemampuan regenerasi yang tetap tinggi, dan ekonomis.

Hasil penelitian diketahui bahwa daya regenerasi berbagai kultivar pisang

(Musa paradisiaca L) dalam kultur jaringan sangat berbeda. Keuntungan

perbanyakan bibit pisang melalui kultur jaringan antara lain penyediaan bibit dapat

diprogram sesuai dengan jadwal kebutuhan dan jumlah yang diperlukan, sifat unggul

tanaman induk tetap dimiliki oleh tanaman hasil kultur jaringan, bibit dalam keadaan

bebas hama dan penyakit karena diperbanyak dalam keadaan aseptik dari tanaman

yang sehat, tanaman hasil kultur jaringan cepat berbuah, dan tingkat keseragaman

bahan tanaman yang tinggi, sehingga mampu meningkatkan efisiensi dalam

pengelolaan kebun. Secara umum tahapan dalam teknik kultur jaringan adalah

seleksi eksplan dan persiapan, inisiasi dan kultur, multiplikasi, pengakaran dan

aklimatisasi (Priyono, et.al, 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan

kultur in vitro antara lain adalah faktor eksplan, komponen medium dan lingkungan

kultur (George dan Sherrington, 1984). Sumber, ukuran, dan umur eksplan ikut

menentukan keberhasilan kultur in vitro. Eksplan yang terlalu kecil daya tahan untuk

hidup kurang bagus dan tingkat kegagalannya tinggi. Sebaliknya, eksplan yang

terlalu besar akan mudah terkontaminasi dan mudah menggulung sehingga bagian
eksplan yang kontak dengan medium sedikit (George dan Sherrington, 1984).

Ukuran eksplan yang paling baik adalah antara 0,5 – 1 cm, tetapi ukuran ini dapat

bervariasi tergantung bagian dan jenis tanaman yang digunakan sebagai eksplan

(Katuuk, 1989).

Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan kultur jaringan secara umum menurut

Santoso dan Nursandi (2003) adalah pemilihan dan persiapan tanaman induk yang

memiliki karakter sesuai dengan yang diinginkan, tanaman sehat, bebas hama dan

penyakit, termasuk virus, penanaman secara aseptic, multiplikasi (perbanyakan

tunas), pembentukan planlet yaitu tanaman kultur yang telah berakar, dan

aklimatisasi.

Dalam kultur jaringan diperlukan media untuk tempat tumbuh dari tanaman

yang akan di kultur jaringan. Media merupakan faktor penentu keberhasilan untuk

perbanyakan tanaman secara in vitro. Bahan pokok media pada kultur jaringan

adalah beberapa garam mineral sumber unsur hara makro dan mikro, gula, protein,

vitamin, dan hormon. Bahan-bahan dalam medium tersebut tergantung pada spesies

yang digunakan (Widarto, 1996).

Media yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman dapat berupa medium

padat atau medium cair. Medium padat digunakan pada kultur kalus dan organ,

seperti kultur meristem akar, batang, dan tunas tanaman (Gunawan, 1988). Medium

padat ini ditambahkan agar, suatu polisakarida dengan berat molekul yang tinggi

sebagai pemadat (George dan Sherrington, 1984). Kelebihan dari agar ini adalah

mampu membeku pada suhu dibawah 45 C dan cair pada suhu 100 C sehingga pda

kisaran kultur agar akan berada dalam keadaan beku stabil, tidak dicerna oleh enzim

tanaman dan tidak bereaksi dengan seyawa penyusun media (Gunawan, 1988).

Beberapa medium padat yang sering digunakan adalah medium Murashige-Skoog


(MS), medium gamborg (B5), dll. Medium MS merupakan medium yang paling

banyak digunakan terutama jenis tanaman herbaceus (Hendaryono, 2000).

Menurut Salisbury dan Ross (1992) sitokinin adalah suatu senyawa kimia

yang terbatas pada turunan 6–substitusi purine (adenin), yang mendorong

pembelahan sel pada sistem jaringan tanaman. Selanjutnya Salisbury dan Ross

(1995) menyatakan sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang fungsi utamanya

adalah memacu pertumbuhan tanaman.

Jenis sitokinin yang saat ini sering digunakan adalah BAP (6-benzyl amino

purine). Peran khusus BAP adalah untuk induksi kalus, pertumbuhan kalus dan

suspensi sel serta induksi morfogenesis. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat

digunakan untuk meningkatkan multiplikasi tunas, pucuk atau meristem. BAP

banyak digunakan dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan karena

sifatnya stabil, tidak mahal dan mudah tersedia. Menurut Sukma (1994), perlakuan

yang terbaik untuk multiplikasi tunas pada pisang Raja bulu dengan eksplan tunas in

vitro dari anakan adalah pada 10.5 ppm BAP 3.0 ppm IAA. Penelitian tersebut juga

melaporkan pengaruh BAP terhadap pertumbuhan daun. BAP sebagai salah satu

jenis sitokinin lebih berfungsi untuk mendorong pembentukan tunas, menghambat

pertambahan tinggi, sehingga menekan jumlah daun. Eksplan pisang berbagai

kultivar yang ditanam pada media dengan konsentrasi BAP yang tinggi (7 dan 10

ppm) cenderung kurang normal, dimana daun sebagian menggulung dan sempit.

Aplikasi penggunaan auksin dan sitokinin pada tanaman pisang telah banyak

dilakukan. Rainiyati (2007), juga melakukan kultur pisang raja nangka BAP 4 mg/l

menghasilkan jumlah tunas dan akar terbanyak. Dalam penelitian yang dilakukan

Semarayani (2012), perlakuan 2 mg/l BAP terjadi peningkatan jumlah kultur yang

bermultiplikasi setiap periode subkultur. Pada subkultur perlakuan media MS dengan

penambahan 2 mg/l BAP mendapatkan hasil terbaik. Supriati (2011) menyatakan


bahwa BAP dengan konsentrasi 2-5 mg/l merupakan konsentrasi terbaik untuk

pertumbuhan tunas dan konsentrasi IAA 0,1-0,2 mg/l merupakan konsentrasi untuk

media perakaran. Dalam penelitian Sitohang (2006), konsentrasi BAP 1.5 mg/l

menghasilkan tunas terbanyak pada multiplikasi tunas pisang barangan.

Banyak penelitian yang melaporkan bahwa tingkat multiplikasi tunas mikro

terbaik berkisar antara 3-6 tunas per sub-kultur, tergantung pada kultivar yang diuji.

Namun dalam praktek industri kultur jaringan pisang tingkat multiplikasi tersebut

umumnya rata-rata hanya 2-3 tunas mikro per 4 minggu. Rendahnya tingkat

multiplikasi tunas mikro juga dilaporkan beberapa peneliti luar negeri, yaitu berkisar

antara 3,3 sampai dengan 6,2 tunas per 4 minggu sub-kultur (Rainiyati, et.al. 2007).

Dari beberapa penelitian mengenai kultur in vitro diketahui bahwa

penambahan 4,0 mg/l BAP (setara dengan 15 μM) dan 1 mg/l kinetin pada media MS

menghasilkan pertumbuhan tunas tunggal paling baik pada pisang meja (Musa

sapientum cv. Chini champa dan sagar) dalam waktu 15 – 21 hari (Habiba et al.,

2002). Untuk merangsang pembentukan tunas pisang raja kinalun dalam kultur in

vitro perlu diteliti besaran konsentrasi BAP yang paling optimal.

Pemberian sitokinin dengan konsentrasi 4 mg/l pada media sudah cukup

untuk pembentukan multiplikasi tunas namun akar tidak terbentuk. Sitokinin

biasanya tidak digunakan pada tahap perakaran karena aktifitasnya dapat

menghambat pembentukan akar dan menghalangi pertumbuhan akar, serta

menghambat pengaruh auksin terhadap inisiasi akar pada kultur jaringan sejumlah

spesies tertentu (George dan Sherrington, 1984).


BAB III. PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April hingga Juli di Laboratorium

Fisiologi Tumbuhan dan Kultur Jaringan, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen yang disusun dalam Rancangan

Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan perlakuan dan masing masing perlakuan

terdiri atas 3 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah perlakuan dengan

penambahan hormon BAP sebagai faktor untuk pertumbuhan tunas dan NAA

sebagai faktor pertumbuhan akar dengan konsentrasi sebagai berikut :

Faktor I BAP: Faktor II NAA :

B0 : pemberian BAP 0 ppm N0 : pemberian NAA 0 ppm

B1 : pemberian BAP 1 ppm N1 : pemberian NAA 1 ppm

B2 : pemberian BAP 2 ppm N2 : pemberian NAA 2 ppm

B3 : pemberian BAP 3 ppm N3 : pemberian NAA 3 ppm

B4 : pemberian BAP 4 ppm

Perlakuan kombinasi :

B0 N0 B1 N0 B2 N0 B3 N0 B4 N0

B0 N2 B1 N1 B2 N0 B3 N1 B4 N1

B0 N3 B1 N2 B2 N0 B3 N2 B4 N2

B0 N4 B1 N3 B2 N0 B3 N3 B4 N3
3.3 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), autoklaf, stoma,

lampu ultra violet (UV), timbangan analitik, pinset, pisau scapel dan ganggangnya,

gunting, botol kultur, petridisch, pipet tetes, pipet volumetrik 1 mL, 5 mL dan 25

mL, bekker glass, gelas piala, gelas ukur 100 mL, pH meter, pinset, lampu spiritus,

hot plate stirrer, magnetic stirrer, tisu gulung, plastik kaca, hand sprayer, kertas

label, kertas penutup botol, karet gelang, alumunium foil, korek api, selotip besar,

selotip kecil, alat tulis. Bahan yang digunakan adalah alkohol, medium MS, agar,

bayclin, NAA dan BAP. Sumber eksplan yang digunakan adalah 8 botol globular

pisang raja kinalun yang berumur 3 minggu yang berasal dari bonggol pisang yang

terdapat di Balai Pertanian Buah-Buahan dan Tropika Solok, setiap botol berisi 20

hingga 30 bakal tunas yang setiap bakal tunas akan dipindahkan ke medium

perlakuan, medium yang digunakan pada globular adalah MS 0 tanpa myoinositol

dengan penambahan air kelapa.

3.4 Cara Kerja

3.4.1. Sterilisasi alat

Sterilisasi dilakukan pada peralatan yang meliputi botol kultur, scalpel, petridish,

dan pinset dicuci dengan menggunakan sabun cuci mamalime, dibilas, kemudian

dikeringkan. Botol kultur yang sudah kering dimasukan kedalam plastik dan

disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada tekanan 15 lbs dan temperatur

1200C selama 20-30 menit (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Peralatan selain botol

kultur, seperti petridish, peralatan diseksi (pinset besar, pinset kecil, dan pisau

scalpel), labu takar, Beaker glass, pipet ukur, erlenmeyer, serbet, kertas dan

aluminium foil disterilisasi dengan menggunakan stoma.


Sebelum memulai penanaman, juga dilakukan sterilisasi ruang tanam atau

LAFC dengan menyemprotkan alkohol 70 %. Alat-alat seperti pinset, scalpel beserta

ganggangnya, petridish, serbet, tissue gulung, selotip besar, selotip kecil, gunting,

aquadest steril dan alkohol 70 % di UV selama satu jam.

3.4.2 Pembuatan larutan stok

Pembuatan larutan stok dilakukan dengan cara menimbang bahan-bahan kimia, hara

makro, hara mikro, serta ZPT sesuai komposisi media MS (Lampiran 1). Bahan-

bahan tersebut dilarutkan dengan aquadest steril lalu diaduk hingga homogen

menggunakan magnetic stirer, kemudian dimasukan ke dalam botol gelap yang

diberi label (sesuai dengan perlakuannya) dan disimpan dalam lemari pendingin.

3.4.3. Pembuatan Media Tanam

Untuk medium perlakuan perbanyakan tanaman, digunakan media tanam Murashige

dan Skoog (MS) dan zat pengatur tumbuh BAP dengan konsentrasi berbeda. Untuk

setiap perlakuan, media MS dibuat 1 L dengan memipet larutan stok yang terdiri dari

stok I hara makro 50 mg/L, stok II hara mikro 5 mg/L, stok III vitamin 5 mg/L, stok

IV Fe-EDTA 5 mg/L dan myoinositol 10 mg/L. Pada tahap awal dimasukkan stok I-

V dan dicukupkan hingga 1 L. Jika perlakuan menggunakan ZPT (BAP dan NAA)

maka dimasukkan larutan ZPT dan dihomogenkan dengan menggunakan stirrer.

Bahan yang sudah tercampur tadi selanjutnya diukur kadar keasamannya dengan

menggunakan pH meter. PH yang ditentukan untuk media kultur jaringan adalah 5,8

- 6 dengan penambahan asam kuat HCl 0,1 N untuk menurunkan PH atau basa

NaOH 0,1 N untuk menaikkan PH. Kemudian dimasukkan gula sebanyak 30 gram

dan agar sebanyak 7 gram untuk masing-masing perlakuan. Dipanaskan medium

hingga mendidih yang ditandai dengan terbentuknya gelembung. Setelah mendidih


medium dituangkan kedalam botol-botol kultur sesuai perlakuan dan di tutup dengan

aluminium foil dan kertas kemudian diikat dengan karet gelang. Medium disterilkan

dalam autoclafe setelah itu disimpan dalam ruangan inkubasi hingga penanaman

dilakukan.

3.4.3 Persiapan eksplan

3.4.4. Penanaman pada media in vitro

Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu dilakukan sterilisasi terhadap

Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), dengan menyemprotkan alkohol 70%.

Selanjutnya semua alat dan bahan , seperti pinset, pisau skapel, petridish yang telah

disterilisasi, tisu steril, aquadest steril di UV selama 1 jam. Penanaman eksplan

dilakukan di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) yang telah disterilkan dan

menyemprot dinding LAFC menggunakan alkohol 70% sebelum digunakan.

Globular yang terdapat di botol kultur dikeluarkan dari botol dan dibersihkan agar

yang menempel dengan serbet steril. Bakal tunas yang menggerombol dipisahkan

dan ditanam satu tunas per botol.

3.4.5. Inkubasi / Pemeliharaan diruang kultur

Eksplan yang telah ditanam pada medium perlakuan, dipelihara di dalam ruang

tumbuh yang suhunya telah diatur pada kisaran 25 oC ± 26oC dengan fotoperiodisme

12 L/ 12 D dan intensitas cahaya 500-1500 Lux. Setiap minggu dilakuan

pemeriksaan dan penyemprotan terhadap semua eksplan dengan menggunakan

alkohol 70% untuk menjaga kesterilan.

3.4.5. Pengamatan

a. Persentase eksplan yang hidup

Persentase eksplan yang hidup untuk setiap perlakuan dihitung pada akhir

perlakuan diamati setelah tanaman berumur 8 minggu pada medium perakaran.


Jumlah eksplan hidup
Persentase eksplan hidup= x 100 %
Jumlah eksplan

b. Persentase eksplan membentuk tunas dan akar

Persentase eksplan membentuk tunas untuk setiap perlakuan dihitung pada akhir

perlakuan diamati setelah tanaman berumur 8 minggu pada medium perakaran.

Jumlah eksplan membentuk tunas


Persentase tunas= x 100 %
Jumlah eksplan

c. Hari pertama munculnya tunas dan akar

Hari pertama munculnya tunas diamati mulai dari eksplan ditanam pada media

perlakuan sampai terbentuknya akar dan tunas dan diamati setiap hari selama 8

minggu.

d. Rata-rata jumlah tunas dan akar.

Pengamatan rata-rata jumlah tunas dan akar untuk setiap perlakuan dilakukan

pada akhir percobaan setelah minggu ke 8 dengan cara plantlet dikeluarkan dari

botol dan dihitung jumlah akar untuk setiap perlakuan.

f. Rata-rata panjang tunas dan akar terpanjang

Pengamatan rata-rata panjang tunas dan akar untuk setiap perlakuan dilakukan

pada akhir percobaan setelah minggu ke 8 dengan cara plantlet dikeluarkan dari

botol, dicuci, kemudian diukur di atas kertas millimeter.

3.5. Analisis data

Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap persentase eksplan yang hidup

untuk setiap perlakuan, persentase eksplan membentuk tunas dan akar untuk

setiap perlakuan, hari pertama munculnya tunas dan akar pada setiap perlakuan.

Analisis data secara statistika terhadap parameter rata-rata jumlah tunas dan akar

untuk setiap perlakuan dan rata-rata panjang tunas dan akar terpanjang untuk

setiap perlakuan. Semua data pengukuran dan perhitungan dilakukan

penganalisaan secara statistika. Bila pengaruh perlakuan berbeda nyata maka


dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan New Multiple Range Test (DNMRT) pada

taraf peluang 5 % .
DAFTAR PUSTAKA

Avivi, S dan Ikrarwati. 2004. Mikropropagasi Pisang Abaca (Musa textillis) melalui
Teknik Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian. 2: 27-34.
Bhojwani, S. S. dan M. K. Razdan. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practice.
Development in Crop Science 5. Elsevier Press. Amsterdam.
Direktorat Bina Produksi Hortikultura. 1985. Vademekum Buah-buahan. Dirjen.
Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta.
George, EF and Sherrington AD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.
Handbook and Directory of Commercial laboratories 55 pp. Eastern Press.
Reading Berks
Gunawan, L. W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. IPB. Bogor
Habiba, U., S. Reza, M.L. Saha, M.R. Khan, dan S. Hadiuzzaman. 2002. Endigenous
bacterial contamination during in vitro culture of table banana:
identification and prevention. Plant Tissue Culture 12(2): 117-124.
Hendaryono, D. 2000. Pembibitan Anggrek Dalam Botol. Kanisius. Yogyakarta
Isnaeni, N. 2008. Pengaruh Tdz Terhadap Inisiasi Dan Multiplikasi Kultur In Vitro
Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. Aab Group). Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kasutjianingati dan Dirvamena Boer. 2013. Mikropropagasi Pisang Mas Kirana
(Musa Acuminata L) Memanfaatkan BAP dan NAA Secara In-Vitro. Jurnal
Agroteknos Vol. 3 No. 1. Hal 60-64 ISSN: 2087-7706
Katuuk, J. R. P. 1989. Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman.
Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi. Jakarta. 189 hal.
Khasanah, Uswatun. 2009. Pengaruh Konsentrasi Naa Dan Kinetin Terhadap
Multiplikasi Tunas Pisang (Musa Paradisiaca L. Cv. Raja Bulu ) Secara In
Vitro. Skripsi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret. Surakarta
Marlin, Mukhtasar, Hartal. 2008. Upaya Penyediaan Bibit Pisang ‘Ambon Curup’
Unggulan Propinsi Bengkulu Dengan Pembentukan Planlet Secara In Vitro.
Laporan Hasil Penelitian Tahun II. Program Studi Agronomi Fakultas
Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu
Maslukhah, Ummi. 2008. Ekstrak Pisang Sebagai Suplemen Media MS Dalam
Media Kultur Tunas Pisang Rajabulu (Musa Paradisiaca L. Aab Group) In
Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pierik, R.L.M., 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhaf Publisher,
Dorroocht. The Netherland.
Prayoga, L dan Sugiyono. 2010. Uji Perbedaan Media Dan Konsentrasi Bap
Terhadap Pertumbuhan Tunas Pisang Raja Secara Kultur In Vitro.
AGRITECH, Vol. XII No. 2 Des. 2010 : 89 – 99
Priyono, Fitria Ardiyani, Sumaryono. 2013. Efisiensi Kultur Jaringan Beberapa
Kultivar Pisang Melalui Metode Shaker Dan Optimasi Media. Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Jakarta
Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2005. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rahman, M.Z., K.M. Nasirudin, M.A. Amin, and M.N. Islam. 2004. In vitro
response and shoot multiplication of banana with BAP and NAA. Asian
Journal of Plant Sciences 3(4):406-409.
Rainiyati, Dede Martino, Gusniwati dan Jasminarni. 2007. Perkembangan Pisang
Raja Nangka (Musa Sp.) Secara Kultur Jaringan Dari Eksplan Anakan Dan
Meristem. Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1
Rodinah, Chatimatun Nisa, Dan Emma Rohmayant. 2012. Inisiasi Pisang Talas
(Musa Paradisiacal Var Sapientum L.) Dengan Pemberian Sitokinin Secara
In Vitro. Agroscientiae vol 19 No 2
Salisbury, F. B. dan Cleon W.Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan (Jilid 3). ITB.
Bandung. 343 hal.
Santoso, U. dan F. Nursandi. 2003. Kultur jaringan tanaman. UMM Pers. Malang
Semarayani, Cokorda Im. 2012. Subkultur Berulang Tunas In Vitro Pisang Kepok
Unti Sayang Pada Beberapa Komposisi Media. Skripsi. Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Simmond, N.W. 1959. Banana’s. John Willey and Sons Inc. New York 466 p.
Sitohang, Nurdin. 2005. Kultur Meristem Pisang Barangan (Musa paradisiaca L)
Pada Media MS Dengan Beberapa Komposisi Zat Pengatur Tumbuh NAA,
IBA, BAP dan Kinetin. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian vol 3 No 2
Sitohang, Nurdin. 2006. Multiplikasi Propagula PIsang Barangan (musa paradisiaca
L.) Dari Berbagai Jumlah Tunas Dalam Media MS Yang Diberi BAP Pada
Berbagai Konsentrasi. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian Vol 4 No 1.
Sukma, D. 1994. Pengaruh IAA dan BAP Terhadap Perbanyakan Tunas Mikro
Pisang Mas (Musa acuminata L. AA Group), Ambon dan Barangan (Musa
acuminata L. AAA Group), dan Raja Bulu (Musa paradisiaca L. AAB
Group) Secara In vitro. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Suliansyah, Irvan. Kultur Jaringan Tanaman. Program Studi Agroekoteknologi.
Universitas Andalas. Padang
Supriati, Yati. 2011. Prospek Teknik Kultur Jaringan untuk Pengadaan Bibit
Pisang. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor
Utama, Geri. 2012. Sub Kultur Pisang Raja Bagus Pada Berbagai Konsentrasi
Sukrosa Dan Benzyl Amino Purine. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Pembangunan Nasional Veteran. Yogyakarta
Wetter, L.R. dan F. Constabel. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman (edisi
bahasa Indonesia). ITB. Bandung.
Widarto, L. 1996. Perbanyakan tanaman dengan biji, Stek, cangkok, Ovulasi, dan
Kultur Jaringan. Kanisius. Yogyakarta
Wijayanti, N. 1995. Pengaruh Kombinasi BAP dan 2-ip Terhadap Multiplikasi
Tunas Pisang Ambon Kuning (Musa acuminata (AAA group)) Melalui
Kultur in vitro. Skripsi. Jurusan BDP. Fak. Pertanian, IPB. Bogor.
PROPOSAL PENELITIAN

PENGGUNAAN BAP DAN NAA PADA PERBANYAKAN BIBIT PISANG RAJA

KINALUN SECARA in vitro

OLEH:

RAHMI RINI DWI PUTRI

1110422002

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG, 2015
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : PENGGUNAAN BAP DAN NAA PADA


PERBANYAKAN BIBIT PISANG RAJA KINALUN
SECARA in vitro
Nama Mahasiswa : Rahmi Rini Dwi Putri
No. BP : 1110422002
Mata Ajaran : Fisiologi Tumbuhan

Padang, 2015
Disetujui oleh

Pembimbing I Pembimbing II

Suwirmen, M.S Dr. Nasril Nasir


NIP. 196304191989011001 NIP. 195408061989031001
Subkultur merupakan pemindahan sel, jaringan atau organ dari media lama ke media

baru, baik media itu sama maupun berlainan dengan media semula, dengan tujuan

memperoleh pertumbuhan baru ataupun perkembangan dari inokulum (Wattimena et

al., 1992; Hendaryono dan Wijayani, 1994). Sub kultur adalah pemindahan sel,

jaringan atau organ dari media lama ke media baru yang sama atau berbeda.

Subkultur berulang perlu dilakukan untuk mendapatkan bibit yang banyak

dalam kurun waktu tertentu. Dengan subkultur juga akan diketahui waktu yang tepat

untuk menginisiasi tunas baru. Pada beberapa tanaman yang telah disubkultur

beberapa kali, ternyata tidak terjadi penurunan daya tumbuh atau perubahan

karakteristik yang diamati (Wetherell, 1982). Daya multiplikasi tunas dan akar

setelah dilakukan subkultur berulang perlu diketahui bila ingin memproduksi bibit

dalam jumlah besar dan kualitas tunasnya terjamin (Wiendi, 1992).

3.6 Parameter

Pengamatan multiplikasi tunas terdiri dari:

1. Persentase eksplan yang hidup diamati setelah tanaman berumur 8 minggu.

2. Persentase eksplan membentuk tunas dihitung setelah minggu ke 8.

3. Hari pertama munculnya tunas dan akar dan tunas diamati setiap hari selama 8

minggu.

4. Rata-rata jumlah tunas setelah minggu ke 8.


5. Rata-rata panjang tunas terpanjang setelah minggu ke 8.

Anda mungkin juga menyukai