Anda di halaman 1dari 17

KONSEP MULTIKULTURALISME DAN

PLURALISME DALAM PENDIDIKAN


AGAMA
(Upaya Menguniversalkan Pendidikan Agama dalam
Ranah Keindonesiaan)

Muhandis Azzuhri∗

Abstract: Multiculturalism and pluralism are characters that


could not be denied in the education system of Indonesia,
especially in religious education. Through that concept, a sense
of unity within the realm of ukhuwah basyariyah in promoting
and improving the quality of education will be established;
therefore the educational system which makes religion as moral
values and not as formal institutional is formed.

Kata Kunci: Multikulturalisme, Pluralisme, Pendidikan Agama

PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau
"plural society", (Nasikun, 1989: 31) bahkan ada yang menyebut
"dual society". Kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh
keadaan intern tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Faktor-faktor
penyebab pluralitas masyarakat Indonesia adalah : (1) keadaan
geografis, yang merupakan faktor utama terciptanya pluralitas suku
bangsa. Wilayah Indonesia terdiri dari kurang lebih 3000 mil dari
Timur ke Barat dan lebih dari 1000 mil dari Utara ke Selatan. (2)
Indonesia terletak antara samudera Indonesia dan Samudera Pasifik,
sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam
masyarakat Indonesia. Pengaruh pertama kali yang menyentuh
masyarakat Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha
dari India sejak 400 tahun sesudah Masehi". Pengaruh agama Hindu,
Budha, Islam dan Kristen mempengaruhi kebudayaan Indonesia yang
pluralistic (Ichtiyanto, 2005: 47-48).

Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan, Jl.
Kusumabangsa No. 9 Pekalongan, e-mail: muhandis
14 FORUM TARBIYAH Vol. 10, No. 1, Juni 2012

Pluralisme merupakan salah satu ciri dari multikulturalisme.


Dua ciri lainnya ialah adanya cita-cita mengembangkan rasa
kebangsaan yang sama dan kebanggaan untuk terus mempertahankan
kebhinekaan itu. Secara konstitusional, Indonesia bercita-cita
mewujudkan masyarakat multikultural. Faktanya, masih banyak
tantangan yang harus dihadapi, baik berkait dengan soal-soal
kebangsaan maupun keagamaan. Memerlukan tiga pilar utama untuk
menuju masyarakat multikultural tersebut.
Pertama, ialah adanya para pengambil kebijakan publik yang
adil yang mampu mengantisipasi dampak negatif yang akan
ditimbulkan oleh kebijakan publik yang akan diambilnya. Kedua,
ialah adanya para pemimpin agama yang berwawasan kebangsaan
yang luas dan lebih mengedepankan agama sebagai nilai daripada
agama institusional. Ketiga, ialah adanya masyarakat yang
berpendidikan dan rasional dalam menyikapi keragaman keagamaan
(religious market) dan perubahan sosial (M. Atho Mudzhar, 2005: 18-
19).
Terjadinya beberapa peristiwa SARA beberapa bulan lalu,
misalnya kasus Sunni–Syiah di Sampang Madura bukan merupakan
faktor agama atau ideologi tertentu melainkan oleh berbagai sebab
yang saling terkait. Agama biasanya dibawa serta sebagai faktor
legitimasi atau untuk menutupi konflik yang sesungguhnya. Pertama,
krisis di berbagai bidang yang terjadi beberapa tahun yang lalu, pada
akhirnya selain menciptakan hilangnya kepercayaan sebagian
masyarakat terhadap aparat pemerintah yang terlanjur bertahun-tahun
menunjukkan sikap kurang simpatik sebagian masyarakat, juga
memunculkan sikap saling curiga yang tinggi antarberbagai
kelompok masyarakat. Kedua, akibat arus globalisasi informasi,
berkembang pula paham keagamaan yang semakin menciptakan
eksklusifitas dan sensitifitas kepentingan kelompok. Ketiga,
kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik.
Padahal Al-Qur'an (dalam perspektif ajaran Islam), pada abad
ketujuh telah menggunakan istilah: "Bagimu agamamu dan bagiku
agamaku" (QS. Al-Kafirun: 6), "Katakanlah: "Hai Ahli Kitab,
marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah
kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama 15

mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang


berserah diri (kepada Allah)" (QS Ali Imran: 64), "Tidak ada
paksaan dalam agama" (QS. al-Baqarah: 256).

MULTIKULTURALISME DAN PLURALISME DALAM


TINJAUAN SEJARAH
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia,
ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan
terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya
(multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut
nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut
(M. Atho Mudzhar, 2005: 174).
Sejarah multikulturalisme adalah sejarah masyarakat
majemuk. Amerika, Kanada, dan Australia adalah dari sekian negara
yang sangat serius mengembangkan konsep dan teori-teori
multikulturalisme dan juga pendidikan multikultur. Ini dikarenakan
mereka adalah masyarakat imigran dan tidak bisa menutup peluang
bagi imigran lain untuk masuk dan bergabung di dalamnya. Akan
tetapi, negara-negara tersebut merupakan contoh negara yang berhasil
mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka dapat
membangun identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa
menghilangkan identitas kultur mereka sebelumnya, atau kultur nenek
moyangnya.
Dalam sejarahnya, multikulturalisme diawali dengan teori
melting pot yang sering diwacanakan oleh J Hector seorang imigran
asal Normandia. Dalam teorinya Hector menekankan penyatuan
budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran
Amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika,
walaupun diakui bahwa monokultur mereka itu lebih diwarnai oleh
kultur White Anglo Saxon Protestant (WASP) sebagai kultur imigran
kulit putih berasal Eropa.
Kemudian, ketika komposisi etnik Amerika semakin beragam
dan budaya mereka semakin majemuk, maka teori melting pot
kemudian dikritik dan muncul teori baru yang populer dengan nama
salad bowl sebagai sebuah teori alternatif dipopulerkan oleh Horace
Kallen. Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal
dalam membangun budaya baru yang dibangun dalam keragaman,
Teori salad bowl atau teori gado-gado tidak menghilangkan budaya
16 FORUM TARBIYAH Vol. 10, No. 1, Juni 2012

asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar White Anglo Saxon


Protestant (WASP) diakomodir dengan baik dan masing-masing
memberikan kontribusi untuk membangun budaya Amerika, sebagai
sebuah budaya nasional.
Pada akhirnya, interaksi kultural antar berbagai etnik tetap
masing-masing memerlukan ruang gerak yang leluasa, sehingga
dikembangkan teori Cultural Pluralism, yang membagi ruang
pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh
etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan
partisipasi sosial politik mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen
dalam sebuah tatanan budaya Amerika. Akan tetapi, mereka juga
memiliki ruang privat, yang di dalamnya mereka mengekspresikan
budaya etnisitasnya secara leluasa.
Bangsa Amerika berupaya memperkuat bangsanya,
membangun kesatuan dan persatuan, mengembangkan kebanggaan
sebagai orang Amerika. Namun pada dekade 1960-an masih ada
sebagian masyarakat yang merasa hak-hak sipilnya belum terpenuhi.
Kelompok Amerika hitam, atau imigran Amerika latin atau etnik
minoritas lainnya merasa belum terlindungi hak-hak sipilnya. Atas
dasar itulah, kemudian mereka mengembangkan multiculturalism,
yang menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak
minoritas, baik dilihat dari segi etnik, agama, ras atau warna kulit (M.
Atho Mudzhar, 2005: 180-183).
Multikulturalisme pada akhirnya sebuah konsep akhir untuk
membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar
belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa, dengan menghargai
dan menghormati hak-hak sipil mereka, termasuk hak-hak kelompok
minoritas. Sikap apresiatif tersebut akan dapat meningkatkan
partisipasi mereka dalam membesarkan sebuah bangsa, karena
mereka akan menjadi besar dengan kebesaran bangsanya, dan mereka
akan bangga dengan kebesaran bangsanya itu.
Sedangkan multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia
merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang
begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia
memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh
sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari
masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai
masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan
kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama 17

Dalam konsep multikulturalisme Indonesia, terdapat kaitan


yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka
tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang
menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam
pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi
terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Dengan demikian multikulturalisme di Indonesia
menyediakan wadah untuk penampakan “yang lain”. Kehadiran
“yang lain” itu harus dipahami tanpa reduksi, atau distorsi. “Yang
lain” itu harus tampil dalam soliditas dan keutuhannya masing-
masing. Identitas adalah fakta yang eksotis dan dengan demikian
mustahil digeneralisasi atau disimplifikasi. Perbedaan diterima
sebagai sarana relasi, bukan ancaman desktruktif atau dijadikan
alasan untuk menjalankan represi (Susi Fitri, 2005: th).
Adapun sejarah pluralisme muncul pada masa yang disebut
masa pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad 18
Masehi. Masa yang disebut sebagai titik permulaan bangkitnya
gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan dengan
wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi
pada superitoritas akal (rasional) (Ahmad Zaki Nuhaiz, 2005: th).
Secara etimologi pluralisme yang bahasa Arab diterjemahkan
ta'addud, dalam bahasa Inggris pluralism. Pluralisme berarti banyak
atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai 3
pengertian. Pertama; pengertian kegerejaan: 1. Sebutan untuk orang
yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan; 2.
Memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat
kegerejaan atau tidak kegerejaan. Kedua; pengertian filosofis; berarti
sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang
mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga; pengertian sosio-
politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman
kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran, partai maupun agama
dengan menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat
karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut (Anis Malik
Toha, 2005: 14).
Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan
dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau
keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaaan dan
karakteristiknya masing-masing.
18 FORUM TARBIYAH Vol. 10, No. 1, Juni 2012

Sedangkan istilah pluralisme agama yang sekarang mewacana


merupakan upaya meningkatkan kerukunan umat beragama agar
dapat hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang
luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap
mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama
(Anis Malik Toha, 2005: 14).
Pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan terhadap
fondasi bersama bagi seluruh varietas pencarian agama dan
konvergensi atas agama-agama dunia. Bagi sebagian lainnya,
pluralisme mengimplikasikan saling penghargaan di kalangan
berbagai pandangan dunia dan mengakui sepenuhnya perbedaan
tersebut. Kedua ragaman itu mendukung toleransi. Yang pertama
menekankan kebebasan beragama individu, sementara kedua
menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban
khas (M. Atho Mudzhar, 2005: 14-15).
Pluralisme agama pada level individu mempunyai beberapa
bentuk. Ia diartikulasi dalam hak-hak individu untuk memilih terikat
atau tidak terikat dengan suatu denominasi. Ia juga berarti hak untuk
memformulasi pandangan hidupnya, dengan memilih atau
mencampuri unsur-unsur sistem kepercayaan agama sesuai dengan
pilihannya. Dalam sosiologi agama meminjam istilah Bibby, proses
ini disebut sebagai "religion a la carte" atau "bricolage" keagamaan
(Zakiyuddin Baidhawy, 2002: 19-20).

MULTIKULTURALISME DAN PLURALISME DALAM


PERSPEKTIF ISLAM
Multikulturalisme dan Pluralisme adalah sebuah keniscayaan
dalam kehidupan ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunnah
multikultural dan pluralitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Isu
multikulturalisme dan pluralisme adalah setua usia manusia dan
selamanya akan ada selama kehidupan belum berakhir, hanya saja
bisa terus menerus berubah, sesuai perkembangan zaman.
Multikultural dan Pluralitas pada hakikatnya merupakan
realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari dan ditolak.
Karena multikultural dan pluralitas merupakan sunnatullah, maka
eksistensi atau keberadaanya harus diakui oleh setiap manusia.
Namun pengakuan ini dalam tataran realitas belum sepenuhnya
seiring dengan pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala masih
sering dijumpai di lapangan. Wacana tersebut sering dijumpai di
Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama 19

dalam Al-Qur'an ketika berbicara tentang kemajemukan masyarakat


seperti dalam QS al-Hujurat:13 berikut ini.
‫ﺱ ِﺇ�ﱠـﺎ ﹶﺧَﻠ ْﻘﻨﹶـﺎ ُﻛ ﹾﻢ ﻣﹺـ ﹾﻦ َﺫﻛَـﺮٍ ﹶﻭُﺃْ�ﺜَـﻰ ﹶﻭ ﹶﺟ ﹶﻌْﻠﻨﹶـﺎ ُﻛ ﹾﻢ ﺷﹸـﻌﹸﻮﺑﹰﺎ ﹶﻭَﻗﹶﺒﺎﺋﹺـ َﻞﻟﹺَﺘﻌﹶـﺎ ﹶﺭﻓُﻮﺍ ِﺇﻥﱠ َﺃﻛْـ ﹶﺮ ﹶﻣ ُﻜ ﹾﻢ‬
‫ﻳﹶﺎ َﺃﱡﻳﻬﹶﺎ ﺍﻟﻨﱠﺎ ﹸ‬

(١٣:‫ﻋﹺﹾﻨ ﹶﺪ ﺍﻟﱠﻠﻪﹺ َﺃْﺗﻘَﺎ ُﻛ ﹾﻢ )ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ‬


Artinya: Wahai umat manusia, sesungguhnya, Kami ciptakan
kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan
kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kalian adalah orang yang bertaqwa.

Karena pluralitas merupakan bagian dari multikultural, maka


pluralisme diartikan sebagai "menerima perbedaan" atau "menerima
perbedaan yang banyak". Dalam konteks penggunaan kata pluralitas
dalam tulisan ini penulis mengartikannya sebagai keberagamaan
termasuk keberagaman agama.
Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan
kepentingan ideologis, ekonomis, sosial-politik, agamis dan lainnya,
manusia menjalani kehidupan yang bersifat pluralitas secara ilmiah,
tanpa begitu banyak mempertimbangkan sampai pada tingkat "benar
tidaknya" realitas pluralitas yang menyatu dalam kehidupan sehari-
hari. Baru ketika manusia dihadapkan dengan berbagai
kepentingannya (organisasi, politik, agama, budaya dan lainnya)
mulai mengangkat isu pluralitas pada puncak kesadaran mereka dan
menjadikannya sebagai pusat perhatian. Maka pluralitas yang semula
bersifat wajar, alamiah berubah menjadi hal yang sangat penting.
Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik
yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, dan disusul
dengan liberalisasi atau globalisasi (penjajahan model baru) ekonomi,
wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membukakan diri
untuk diliberalisasikan. Agama yang semenjak era reformasi gereja
abad ke-15 wilayah juridiksinya telah diredusir, dimarjinalkan dan
didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya boleh beroperasi
disisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih diangap
tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya
tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi
20 FORUM TARBIYAH Vol. 10, No. 1, Juni 2012

nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan,


persamaan, dan pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general
adalah musuh demokrasi, kemanusiaan, dan HAM. Sehingga agama
harus mendekonstruksikan diri (atau didekonstruksikan secara paksa)
agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari
kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta tidak sesuai lagi
semangat zaman (Anis Malik Thoha, 2008: 65).
Padahal kalau dipahami secara arif, terminologi multikultural
dan pluralisme sebenarnya sudah lama dikenal dalam pandangan
Islam terutama dalam Al-Qur'an dan Hadits, tetapi baru popular sejak
kurang lebih dua dekade terakhir abad ke 20 yang lalu, yaitu ketika
terjadi perkembangan penting dalam kebijakan internasional Barat
yang baru yang memasuki sebuah fase yang dijuluki Muhammad
Imarah sebagai "marhalah al-Ijtiyāh" (fase pembinasaan). Yaitu
sebuah perkembangan yang prinsipnya tergurat dan tergambar jelas
dalam upaya Barat yang habis-habisan guna menjajakan ideologi
modernnya yang dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme,
HAM, pasar bebas dan mengekspornya untuk konsumsi luar guna
berbagai kepentingan yang beragam (Anis Malik Thoha, 2005: 180).
Konsep pluralisme bersyarat disebutkan oleh Allah SWT dalam QS :
al-Baqarah: 62.
‫ﲔ ﹶﻣ ﹾﻦ َﺁ ﹶﻣ ﹶﻦ ﺑِﺎﻟﱠﻠﻪﹺ ﹶﻭﺍْﻟﹶﻴ ﹾﻮِﻡ ﺍْﻟ َﺂﺧﹺﺮِ ﹶﻭ ﹶﻋﻤﹺ َﻞ‬
‫ِﺇﻥﱠ ﺍﱠﻟﺬﹺﻳ ﹶﻦ َﺁ ﹶﻣﻨﹸﻮﺍ ﹶﻭﺍﱠﻟﺬﹺﻳ ﹶﻦ ﻫﹶﺎﺩﹸﻭﺍ ﹶﻭﺍﻟﱠﻨﺼﹶﺎﺭﹶﻯ ﹶﻭﺍﻟﺼﱠﺎﺑِﺌﹺ ﹶ‬

(٦٢:‫ﺤ ﹶﺰ�ُﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬


‫ﻑ ﹶﻋَﻠﹾﻴﻬِ ﹾﻢ ﹶﻭﻟَﺎ ﹸﻫ ﹾﻢ ﹶﻳ ﹾ‬
‫ﺻﺎﻟﹺﺤﹰﺎ َﻓَﻠﹸﻬ ﹾﻢ َﺃ ﹾﺟ ﹸﺮ ﹸﻫ ﹾﻢ ﻋﹺﹾﻨ ﹶﺪ ﹶﺭﱢﺑﻬِﻢﹾ ﹶﻭﻟَﺎ ﹶﺧ ﹾﻮ ﹲ‬
‫ﹶ‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin
(penyembah bintang), siapa saja diantara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal
saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.

Secara sepintas ayat ini menunjuk kepada jaminan Allah atas


keselamatan semua golongan yang disebutkan dalam ayat itu. Jika
demikian halnya, dimana letak keistimewaan umat Islam kalau
semuanya akan selamat? Lantas, bagaimana dengan surat Ali Imran:
85 yang berbunyi:
Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama 21

(٨٥ :‫ﺳﻠَﺎﻡِ ﺩﹺﻳﻨﹰﺎ َﻓَﻠ ﹾﻦ ﹸﻳ ْﻘﹶﺒ َﻞ ﻣﹺﹾﻨ ﹸﻪ ﹶﻭ ﹸﻫ ﹶﻮ ﻓﹺﻲ ﺍْﻟ َﺂﺧﹺ ﹶﺮﺓﹺ ﻣﹺ ﹶﻦ ﺍْﻟﺨَﺎﺳﹺ ِﺮﻳ ﹶﻦ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬
‫ﹶﻭ ﹶﻣ ﹾﻦ ﹶﻳﹾﺒَﺘﻎِ َﻏﹾﻴ ﹶﺮ ﺍْﻟﺈِ ﹾ‬
Siapa yang memeluk agama selain Islam, maka tidak akan
diterima dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.
Dan Surat Ali Imran: 19 yang berbunyi:
(١٩ :‫ﺳﻠَﺎﻡ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬
‫ِﺇﻥﱠ ﺍﻟ ﱢﺪﻳ ﹶﻦ ﻋﹺﹾﻨ ﹶﺪ ﺍﻟﱠﻠﻪﹺ ﺍْﻟﺈِ ﹾ‬
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah
Islam

Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok:


aladzīna āmanū (orang yang beriman), alladzīna hādū (umat yahudi),
al-nashārā (umat Kristen), dan al-shābiīn). Para pakar tafsir
menyadari kesulitan menafsirkan ayat ini, mengingat ayat-ayat lain
menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan keselamatan oleh Allah.
Al-Thabari, ahli tafsir kenamaan abad kesepuluh yang banyak
memberikan inspirasi buat ahli-ahli tafsir selanjutnya berpendapat
bahwa jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman, percaya
pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk
beriman kepada Allah dan Muhammad SAW atau dengan kata lain
yang dimaksud dengan ayat ini adalah mereka yang telah memeluk
Islam (At-Thabari, 2000: 143).
Sementara Fakhruddin al-Razhi, pakat tarfsir abad kedua
belas, sambil memperkuat pendapat Thabari menyatakan bahwa
ketiga syarat yang dikemukakan dalam ayat tersebut tak lain adalah
esensi ajaran Islam. Tak berbeda dengan Zamakhsari, pakar tafsir
yang hidup pada abad kedua belas, ia tidak saja membatasi pada
ketiga syarat di atas. Bahkan, lebih jauh lagi, ia menekankan bahwa
dari kelompok pertama umat Islam juga ada yang belum memenuhi
persyaratan tersebut. Sebab, di antara mereka ada yang beriman di
mulut saja (munafik). Ibn Katsir yang hidup dua abad kemudian lain
lagi pendapatnya. Ia seolah setuju dengan sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa ayat tersebut
telah dinasikh (diganti) dengan turunnya ayat ke 85 surat al-Baqarah
itu: Hanya Islam yang diterima Allah sebagai agama yang diridhai
(Alwi Shihab, 1999: 78-90).
Penafsiran modern juga menunjukkan keragaman pandangan.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa syarat pertama, yakni
22 FORUM TARBIYAH Vol. 10, No. 1, Juni 2012

beriman kepada Allah SWT tidak harus dibatasi dengan keimanan


menurut cara Islam. Rasyid Ridha murid Abduh memperkuat
pendapat gurunya. Ia mengakui keimanan sejati kepada Allah dapat
juga ditemukan di luar Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW,
mungkin yang dimaksudkan adalah orang-orang terdahulu yang
beriman kepada Allah sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW.
Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak
memandang pada agama tertentu tapi yang penting adalah substansi
dan esensi yang terkandung dalam agama itu. Selama tiga syarat
dalam ayat tersebut terpenuhi, janji tuhan itu akan terlaksana.
Pendapat Al-Thabathabai ini juga dapat dirasakan pada
tulisan-tulisan Fazlurrahman dan yang sejalan dengannya, khususnya
mereka yang berusaha untuk menunjukkan inklusivisme Islam. Jelas
pakar tafisr terdahulu lebih menekankan pandangan eklusivistik dan
hati-hati. Karena itu, mereka membatasi hanya Islam sebagai satu-
satunya agama yang akan mendapat jaminan keselamatan.
Kendati sebagian pakar tafsir modern memberi peluang
adanya kemungkinan jaminan Allah kepada kelompok lain yang
memenuhi syarat tersebut perlu dicatat sebagaimana ditegaskan oleh
Sayyid Qutub salah seorang eksponen tafsir modern – validitas
keimanan kelompok-kelompok selain Islam hanya terbatas pada masa
pra-Muhammad saw.
Islam adalah agama yang memandang setiap penganutnya
sebagai dai bagi dirinya sendiri dan orang lain. Karena Islam tidak
menganut adanya hierarki religius, setiap Muslim bertanggung jawab
atas perbuatannnya sendiri di hadapan Allah. Namun demikian,
karena ajaran Islam bersifat universal dan ditujukan kepada seluruh
umat manusia, kaum Muslim memiliki kewajiban untuk memastikan
bahwa ajarannya sampai kepada seluruh manusia di sepanjang sejarah
(Alwi Shihab, 1999: 82-83).
Agama Islam sebagai sebuah tatanan nilai, sebenarnya
membutuhkan medium budaya agar keberadaannya membumi dalam
kehidupan umat pemeluknya dan agama diharapkan menjadi institusi
bagi pengalaman iman kepada sang Khaliq. Disini agama
menawarkan agenda penyelamatan manusia secara universal, namun
disisi yang lain agama sebagai sebuah kesadaran makna dan
legitimasi tindakan bagi pemeluknya, dalam interaksi sosialnya
banyak mengalami perbedaan hermeunetik sehingga tidak pelak
memunculkan konflik.
Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama 23

Pluralitas agama di satu sisi, dan heterogenitas realitas sosial


pemeluknya di sisi yang lain, tidak jarang menimbulkan benturan-
benturan dalam tataran tafsir atau dogma agama maupun dalam
tataran aksi. Disadari atau tidak, konflik kemudian menjadi problem
kebangsaan dan keagamaan yang tidak bisa hanya diselesaikan lewat
pendekatan teologi normatif. Akan tetapi diperlukan pendekatan lain
yaitu sikap kearifan sosial di antara kelompok kepentingan dan
kalangan pemeluk paham atau agama.
Ayat-ayat yang menyebutkan tentang pluralitas agama, di
antaranya adalah QS AlBaqarah: 62, 111-113, 131-132, QS Al-
Maidah:69, QS: Al-Hajj: 17, QS Ali Imran: 19 dan 85, QS an-Nisa':
123, QS al-Ankabut: 46, QS al-Ankabut: 61, surat az-Zukhruf: 87,
dan QS Al-Maidah: 48. Saya kutip salah satunya adalah QS al-
Maidah: 48
‫ﺼ ﱢﺪﻗًﺎﻟﹺﻤﹶﺎ ﹶﺑﹾﻴ ﹶﻦ ﹶﻳ ﹶﺪﹾﻳﻪﹺ ﻣﹺ ﹶﻦ ﺍْﻟﻜﹺﺘَﺎﺏِ ﹶﻭ ﹸﻣ ﹶﻬﹾﻴﻤﹺﻨﹰﺎ ﹶﻋَﻠﹾﻴﻪﹺ ﻓَﺎ ﹾﺣ ُﻜ ﹾﻢ ﹶﺑﹾﻴﹶﻨﹸﻬ ﹾﻢ‬
‫ﺤ ﱢﻖ ﹸﻣ ﹶ‬
‫ﺏ ِﺑﺎْﻟ ﹶ‬
‫ﻚ ﺍْﻟﻜﹺﺘَﺎ ﹶ‬
‫ﹶﻭَﺃْ� ﹶﺰْﻟﻨﹶﺎ ِﺇَﻟﹾﻴ ﹶ‬

‫ﺤ ﱢﻖ ﻟﹺ ُﻜ ﱟﻞ ﹶﺟ ﹶﻌْﻠﻨﹶﺎ ﻣﹺﹾﻨ ُﻜ ﹾﻢ ﺷﹺ ﹾﺮ ﹶﻋ ًﺔ ﹶﻭﻣﹺﹾﻨﻬﹶﺎﺟﹰﺎ‬


‫ﺑِﻤﹶﺎ َﺃْ� ﹶﺰ َﻝ ﺍﻟﱠﻠ ﹸﻪ ﹶﻭﻟَﺎ َﺗﱠﺘﺒِ ﹾﻊ َﺃ ﹾﻫﻮﹶﺍ ﹶﺀ ﹸﻫ ﹾﻢ ﹶﻋﻤﱠﺎ ﺟﹶﺎ ﹶﺀ َﻙ ﻣﹺ ﹶﻦ ﺍْﻟ ﹶ‬

‫ﺨﹾﻴﺮﹶﺍﺕﹺ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﱠﻠﻪﹺ‬


َ ‫ﺳَﺘﺒِﻘُﻮﺍ ﺍْﻟ‬
‫ﺠ ﹶﻌَﻠ ُﻜ ﹾﻢ ُﺃﱠﻣ ًﺔ ﻭﹶﺍﺣﹺ ﹶﺪﹰﺓ ﹶﻭَﻟﻜﹺ ﹾﻦ ﻟﹺﹶﻴﹾﺒُﻠ ﹶﻮ ُﻛ ﹾﻢ ﻓﹺﻲ ﻣﹶﺎ َﺁﺗَﺎ ُﻛ ﹾﻢ ﻓَﺎ ﹾ‬
‫ﹶﻭَﻟ ﹾﻮ ﺷﹶﺎ ﹶﺀ ﺍﻟﱠﻠ ﹸﻪ َﻟ ﹶ‬

(٤٨:‫ﺨَﺘﻠﹺﻔُﻮ ﹶﻥ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬
ْ ‫ﹶﻣ ﹾﺮﺟِ ﹸﻌ ُﻜ ﹾﻢ ﹶﺟﻤﹺﻴﻌﹰﺎ َﻓﹸﻴﹶﻨﱢﺒ ُﺌ ُﻜ ﹾﻢ ﺑِﻤﹶﺎ ُﻛﹾﻨُﺘ ﹾﻢ ﻓﹺﻴﻪﹺ َﺗ‬
Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Kandungan QS Al-Maidah ayat: 48 ini dapat disimpulkan:


24 FORUM TARBIYAH Vol. 10, No. 1, Juni 2012

1. Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya dan


pandangan hidupnya. Pluralisme tidak berarti agama itu sama.
Perbedaan merupakan keniscayaan.
2. Tuhan tidak menghendaki kamu mengikuti agama tunggal.
Adanya keragaman agama untuk menguji kita semua ujiannya
adalah seberapa banyak kita memberikan kebaikan pada umat
manusia. Setiap agama bersaing untuk memperebutkan
kebaikan kepada umat manusia
3. Semua agama itu kembali kepada Allah. Adalah tugas dan
wewenang Allah untuk menyelesaikan perbedaan di antara
berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil wewenang Allah
dalam menyelesaikan perbedaan agama termasuk dengan
fatwa (Jalaluddin Rakhmat, 2006: 53).
Rasulullah SAW juga ditanya oleh seorang sahabat, tentang
agama yang paling dicintai oleh Allah SWT, sebagaimana
teks hadits berikut:
‫ ﺃﻱ ﺍﻷﺩﻳﺎﻥ ﺃﺣﺐ ﺇﱃ ﺍﻪﻠﻟ ﻋﺰ‬: ‫ ﺳﺌﻞ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﻪﻠﻟ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬: ‫ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ‬، ‫ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ‬

« ‫ » ﺍﳊﻨﻴﻔﻴﹼﺔ ﺍﻟﺴﻤﺤﺔ‬: ‫ﻭﺟﻞ ؟ ﻗﺎﻝ‬


Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata: Rasul ditanya, agama
apa yang paling dicintai oleh Allah?. Rasul menjawab:
Agama yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang
kebatilan dan agama yang penuh dengan toleransi (HR
Dailami).

INTERNALISASI NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DAN


PLURALISME DALAM PENDIDIKAN AGAMA
Cara-cara yang dilakukan lembaga-lembaga pendidikan untuk
menginternalisasikan nilai-nilai multikultural dan pluralitas dalam
pendidikan agama agar tercipta kerukunan antar umat beragama
dengan melalui berbagai usaha, di antaranya: (1) mengembangkan
rasionalisasi pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan dengan
pendidikan agama, sejak dari soal manajemen, penggalangan dana,
pembuatan kurikulum, silabus hingga pelaksanaan program-program;
(2) membuka kerja sama dengan mereka yang sebelumnya dianggap
sebagai saingan atau musuh; (3) membuat standarisasi ajaran-ajaran
agama sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya; (4)
memberikan peran yang lebih luas kepada mereka yang selama ini
Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama 25

dianggap tergolong awam dalam soal-soal agama (Mujiburrahman,


2008: 70-71).
Ada juga tiga model strategi yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga pendidikan untuk memasukkan konsep multikultural dan
pluralistik ke ranah pendidikan agama agar tercipta kerukunan antar
umat beragama dalam skala mikro dan makro, yaitu: (1) strategi
revolusi, (2) strategi pengasingan diri; (3) strategi dialog.
Strategi pertama; dengan cara memaksakan untuk
menanamkan ideologi multikulturalisme dan pluralisme melalui
kurikulum mata kuliah pendidikan Agama di kampus; strategi kedua
yang dikembangkan lembaga pendidikan untuk menyosialisasikan
pemikiran multikulturalisme dan pluralisme adalah melakukan
pengasingan diri (self isolation) dengan cara membuat benteng-
benteng pertahanan dengan membangun subkultur-subkultur melalui
lembaga-lembaga pendidikan yang secara khusus dikelola oleh
lembaga keagamaan seperti sekolah-sekolah Islam, Katolik dan
Protestan, mereka berharap nilai-nilai multikulturalisme dan
pluralisme dalam ajaran agama dapat dikembangkan. Seperti halnya
dengan kedudukan pesantren, konsep "Islamic Village", "Boarding
School" dan lembaga pendidikan sejenis yang dapat dijadikan sebagai
benteng nilai-nilai keagamaan sebagai sebuah subkultur (John L.
Esposito, 1992: 5).
Strategi terakhir adalah keberanian untuk menghadapi
keragaman dan berdialog dengan orang yang tidak setuju dengan
ideologi multikulturalisme dan pluralisme. Strategi ini memang berat
karena dibutuhkan keberanian, kesiapan mental dan bahkan material
untuk dapat berdialog dengan baik. Inilah strategi yang paling efektif
dibandingkan dengan dua strategi sebelumnya ((Mujiburrahman,
2008: 72).
Di sinilah perlu ditanamkan kepada anak didik akan kesadaran
bahwa perbedaan tidak mesti harus berujung pada pertentangan. Perlu
mencari titik-titik temu di antara yang berbeda itu. Titik temu tersebut
bisa jadi kesadaran akan kepasrahan kepada Tuhan dan kebenaran,
dan juga yang melihatnya pada upaya menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan. Dalam hal ini perlu dipertahankan tentang
identitas yang unik dari satu agama dan di pihak yang lain ada titik
temu yang bisa dijadikan landasan untuk bekerja sama satu sama lain.
Dengan dialog, peserta didik sebagai bagian dari umat
beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan
26 FORUM TARBIYAH Vol. 10, No. 1, Juni 2012

peserta didik umat agama lain yang berbeda pandangan tentang


kenyataan hidup. Dialog dimaksudkan untuk saling mengenal dan
saling menimba ilmu pengetahuan baru tentang agama mitra dialog.
Dialog tersebut dengan sendirinya akan memperkaya wawasan kedua
pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat
dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat.
Ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh pelaku
dialog (peserta didik) yang digarisbawahi oleh para ahli (dosen, guru
dan peneliti). Pertama adalah toleransi, dan kedua adalah pluralisme.
Akan sulit bagi pelaku-pelaku dialog antaragama untuk mencapai
saling pengertian dan respek apabila salah satu pihak tidak bersikap
toleran. Karena toleransi pada dasarnya adalah upaya untuk menahan
diri agar potensi konflik dapat ditekan.
Namun dialog yang disusul oleh toleransi tanpa pluralisme
tidak akan mencapai kerukunan antar umat beragama yang langgeng.
Secara garis besar perlu diberikan pemahaman tentang konsep
pluralisme dalam pendidikan agama kepada anak didik oleh pendidik
atau dosen, sebagai berikut:
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan
tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah
keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Seseorang bisa dianggap sebagai sosok yang pluralis apabila ia dapat
berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan
kata lain, kalau pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap
pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak
agama lain, tapi terlibat aktif dalam usaha memahami perbedaan dan
persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka
ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil
misal, di kota Pekalongan. Kota Pekalongan merupakan kota
kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Kristen, Muslim, Hindu,
Budha, bahkan ada orang yang tanpa agama. Namun interaksi positif
antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal,
kalaupun ada.
Ketiga, konsep pluralisme tidak disamakan dengan
relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang
menyangkut "kebenaran" atau "nilai" ditentukan oleh pandangan
hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya.
Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama 27

Sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama, doktrin


agama apapun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya "semua agama
adalah benar," karena kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-
beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetap harus diterima.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam paham pluralisme
terdapat unsur relativisme, yakni unsur yang tidak mengklaim
kepemilikan tunggal (monopoli) atau suatu kebenaran, apalagi
memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak,
seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang
menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain.
Konsep relativisme ini menerangkan bahwa apa yang
dianggap baik dan buruk, benar atau salah, adalah relatif, tergantung
kepada pendapat tiap individu, keadaan setempat, atau institusi sosial
dan agama. Oleh karena itu, konsep ini tidak mengenal kebenaran
absolut atau kebenaran abadi.
Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni
menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu
atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan
bagian integral dari agama tersebut. Contoh, Mani, pencetus agama
Manichaeisme pada abad ketiga, dengan cermat mempersatukan
unsur-unsur tertentu dari ajaran Zoroaster, Budha, dan Kristen.
Bahkan apa yang dikenal sebagai New Age Religion (Agama Masa
Kini), adalah wujud nyata dari perpaduan antara praktik Yoga Hindu,
meditasi Budha, tasawuf Islam, dan mistik Kristen. Demikian pula
dengan Bahaisme yang didirikan pada pertengahan abad ke-19
sebagai agama persatuan oleh Mirza Ali Nuri yang dikenal dengan
Bahaullah. Sebagai elemen baru yang didirikan di Iran diambil dari
agama Yahudi, Kristen, dan Islam (Alwi Shihab, 1999: 41-43).

SIMPULAN
Konsep multikulturalisme dan pluralisme ini memang sudah
wajar diterapkan di dunia pendidikan Indonesia, khususnya di mata
pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama dengan harus
bersyaratkan pada satu hal, yaitu komitmen yang kokoh dari peserta
didik sebagai pemeluk agama ke agamanya masing-masing. Seorang
multikulturalis dan pluralis dalam berinteraksi dengan beraneka
ragam agama, suku, budaya, dan bahasa tentunya tidak saja dituntut
untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi
yang paling terpenting ia harus comitted terhadap agama yang
28 FORUM TARBIYAH Vol. 10, No. 1, Juni 2012

dianutnya. Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk


membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan
menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas dan komitmen
terhadap agama masing-masing melalui proses pembelajaran dan
internalisasi nilai-nilai agama di lingkungan lembaga pendidikan
dengan cara memperbaiki materi pembelajaran agama dan
relevansinya bagi anak didik, menguasai strategi pembelajarannya,
dan bahan bacaan materi pelajaran yang dapat mendukung
perkembangan keagamaan peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA
At-Thabari, 2000. Jamiul Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, Juz 24. Riyadh:
Muassah ar-Risalah.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2002. Ambivalensi agama, Konflik dan
Nirkekerasan. Yogyakarta: Nesfi.
Esposito, John L.1992. The Islamic Threat, Myth or Reality?. Oxford:
University Press
Fitri, Susi. “Multikulturalisme”. dalam http://susvie.wordpress.com/
2008/08/11/multikulturalisme/, diakses pada tanggal 20 Juli
2010.
Ichtiyanto. 2005. Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup
Beragama dalam Meretas Wawasan & Praksis Kerukunan
Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama Depag
RI.
Mudzhar, M. Atho. 2004. "Kebijakan Negara dan Pemberdayaan
Lembaga dan Pemimpin agama dalam rangka keharmonisan
hubungan antar umat beragama" dalam “Damai di Dunia
Damai untuk Semua: Perspektif Berbagai Agama.” Jakarta:
Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat
Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan, Depag RI.
------------------------. 2005. Pengembangan Masyarakat Multikultural
Indonesia danTantangan ke depan (Tinjauan dari aspek
Keagamaan dalam Meretas Wawasan & Praksis Kerukunan
Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama Depag
RI.
Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama 29

Mujiburrahman. 2008. Mengindonesiakan Islam: Representasi dan


ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasikun. 1989. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Nuhaiz, Ahmad Zaki. ”Sejarah Pluralisme”. Dalam
http://ilmu.filsafat.ugm.ac.id/download/pec/PEC-
2010_Ahmad_Dzaki_Nuhaiz_A.pdf, diakses pada tanggal 24
Juli 2010.
Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Islam dan Pluralisme: Akhlak al-Qur'an
menyikapi Perbedaan. Jakarta: PT Serambil Ilmu Semesta.
Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif: Menuju Sikap Tterbuka Dalam
Beragama. Bandung: Mizan.
Thoha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis.
Jakarta: Perspektif.
------------------------.2008. “Wacana Kebenaran Agama Dalam
Perspektif Islam (Telaah Kritis Gagasan Pluralistik Agama).”
Pasuruan: Makalah Workshop Pemikiran Islam dan Pemikiran
Barat.

Anda mungkin juga menyukai