Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL


“Sediaan Steril Infus KCL 0,85%”

Disusun oleh:
Shahra Fitria Kurniasari
P17335116005
Dosen Pembimbing:
Siska Tri Apriyoannita, S. Farm

POLTEKKES KEMENKES BANDUNG

JURUSAN FARMASI

2018
INFUS KCL 0,85%

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa mempu melaksanakan pembuatan sediaan steril skala
laboratorium, dan evaluasi sediaan infus intravena kalium klorida 0,85%

II. PENDAHULUAN
Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah
pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke
dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan
cairan atau zat-zat makanan dari tubuh. Tujuan dari sediaan infus adalah
memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air,
elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori, yang tidak dapat
dipertahankan secara adekuat melalui oral, memperbaiki keseimbangan
asam-basa, memperbaiki volume komponen-komponen darah,
memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh,
memonitor tekanan vena sentral (CVP), memberikan nutrisi pada saat
sistem pencernaan mengalami gangguan (Potter dan Perry, 2005).
Terapi Intravena (IV) adalah menempatkan cairan steril melalui
jarum, langsung kevena pasien. Biasanya cairan steril mengandung
elektrolit (natrium, kalsium, kalium), nutrient (biasanya glukosa), vitamin
atau obat (Brunner dan Sudarth, 2002). Terapi intravena adalah pemberian
sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam
pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan
atau zat-zat makanan dari tubuh.
Terapi intravena (IV) digunakan untuk memberikan cairan ketika
pasien tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk
memberikan garam yang dirperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme
dan memberikan medikasi (Potter dan Perry, 2005).
Tipe-tipe dari sediaan infus adalah:
1. Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut
dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik”
dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan
berpindah dari osmolaritas rendah keosmolaritas tinggi), sampai akhirnya
mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami”
dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialysis) dalam terapi diuretik,
juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,
menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial
(dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan
Dekstrosa 2,5%.
2. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati
serum (bagiancair dari komponen darah), sehingga terus berada di
osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair
dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normalsaline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
3. Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,
sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam
pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan
produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya
kontradiktif dengan cairan Hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45%
hipertonik, Dextrose 5%+ Ringer-Lactate, Dextrose 5% + NaCl 0,9%,
produk darah (darah), dan albumin (Potter dan Perry, 2005).
KCL merupakan garam kalium yang diberikan secara intravena,
biasanya diperlukan pada pasien hypokalemia akut parah dengan cara
menambahkan elektrolit kalium dalam darah penggunaan Kalium Klorida
melalui infus intravena harus diberikan secara perlahan untuk menghindari
hyperkalemia dan toksisitas jantung (sweetman, 2009).
Ion kalium (K+) adalah kation intrasel utama dari sebagian besar
jaringan tubuh. Ion kalium berpartisipasi dalam sejumlah proses fisiologis
esensial, termasuk pemeliharaan tonisitas intraseluler, transmisi impuls saraf,
kontraksi otot jantung, skeletal, otot halus, serta pemeliharaan fungsi ginjal
normal.
Berdasarkan uraian di atas menyebutkan kegunaan KCl sebagai
hypokalemia akut sehingga obat harus segera mencapai onset kerjanya dan
penambah elektrolit kalium sehingga praktikan membuat sediaan infus.

III. TINJAUAN PUSTAKA


A. Sediaan Parenteral
Sediaan steril adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi - bagi yang
bebas dari mikroorganisme hidup. Pada prinsipnya, yang termasuk sediaan ini
antara lain sediaan parental preparat untuk mata dan preparat irigasi (misalnya
infus). Sediaan parental merupakan jenis sediaan yang unik di antara bentuk
sediaan obat terbagi - bagi, karena sediaan ini disuntikan melalui kulit atau
membran mukosa ke bagian tubuh yang paling efesien, yaitu membran kulit dan
mukosa, maka sediaan ini harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan -
bahan toksis lainnya, serta harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua
bahan dan proses yang terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan
dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah kontaminasi
fisik, kimia atau mikrobiologis (Priyambodo, 2007).
Produk steril yang banyak diproduksi di industri farmasi adalah dalam
bentuk larutan terbagi (ampul) dan bentuk serbuk padat siap untuk digunakan
dengan diencerkan terlebih dahulu dengan larutan pembawa (vial). Sediaan
parental, bisa diberikan dengan berbagai rute: intra vena (i.v), sub cutan (s.c),
intradermal, intramuskular (i.m), intra articular, dan intrathecal. Bentuk sediaan
sangat mempengaruhi cara (rute) pemberian. Sediaan bentuk suspensi, misalnya
tidak akan pernah diberikan secara intravena yang langsung masuk ke dalam
pembuluh darah karena adanya bahaya hambatan kapiler dari partikel yang tidak
larut, meskipun suspensi yang dibuat telah diberikan dengan ukuran partikel dari
fase dispersi yang dikontrol dengan hati - hati. Demikian pula obat yang diberikan
secara intraspinal (jaringan syaraf di otak), hanya bisa diberikan dengan larutan
dengan kemurnian paling tinggi, oleh karena sensivitas jaringan syaraf terhadap
iritasi dan kontaminasi (Priyambodo, 2007).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang dilarutkan, atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui selaput
lendir. Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan
sejumah obat kedalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat
kedalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda (Syamsuni, 2006).
Infus adalah larutan dalam jumlah besar terhitung mulai dari 100 ml yang
diberikan melalui intravena tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok.
Asupan air dan elektrolit dapat terjadi melalui makanan dan minuman dan
dikeluarkan dalam jumlah yang relatif sama, rasionya dalam tubuh adalah air
57%; lemak 20,8%; protein 17,0%; serta mineral dan glikogen 6%. Ketika terjadi
gangguan hemostatif, maka tubuh harus segera mendapatkan terapi untuk
mengembalikan keseimbangan air dan elektrolit larutan untuk infus intravenous
harus jernih dan praktis bebas partikel (Syamsuni, 2006).
Injeksi volume besar atau injeksi yang dimaksudkan untuk pemberian
langsung ke dalam pembuluh darah vena harus steril dan isotonis dengan darah,
dikemas dalam wadah tunggal berukuran 100 mL - 2000 mL. Tubuh manusia
mengandung 60 air dan terdiri atas cairan intraseluler (di dalam sel), 40 yang
mengandung ion-ion K+, Mg+, sulfat, fosfat, protein serta senyawa organik asam
fosfat seperti ATP, heksosa, monofosfat dan lain-lain. Air mengandung cairan
ekstraseluler (di luar sel) 20 yang kurang lebih mengandung 3 liter air dan terbagi
atas cairan intersesier (diantara kapiler) 15 dan plasma darah 5 dalam sistem
peredaran darah serta mengandung beberapa ion seperti Na+, klorida dan
bikarbonat (Anief., 2008).
Menurut Anief tahun 2008 Injeksi dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Injeksi intrakutan atau intradermal (i.c)
Biasanya berupa larutan atau suspensi dalam air, volume yang
disuntikan sedikit (0,1-0,2 mL). digunakan untuk tujuan diagnosa.
2. Injeksi subkutan atau hipoderma (s.c)
Umumnya larutan isotonus, jumlah larutan yang disuntikan tidak lebih
dari 1 mL. Disuntikan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam
“alveola”, kulit mula-mula diusap dengan cairan desinfektan (etanlo
70%). Dapat ditambahkan vasokonstriktor seperti epinefrina 0,1%
untuk melokalisir efek obat. Larutan harus sedapat mungkin isotonus,
sedangpH-nya sebaiknya netral, maksudkan untuk mengurangi iritasi
jaringan dan mencegah kemungkinan terjadi nekrosis (mengendornya
kulit). Jika tidak disuntikan secara infus, volume injeksi 3 Lt sampai 4
Lt sehari, masih dapat disuntikkan secara subkutan dengan
penambahan hialuronidase ke dalam injeksi atau jika sebelumnya
disuntik hialuronidase.
3. Injeksi intramuscular (i.m)
Merupakan larutan atau suspense dalam air atau minyak atau emulsi.
Disuntikkan masuk otot daging dan volume sedapat mungkin tidak
lebih dari 4 mL. Penyuntikan volume besar dilakukan perlahan-lahan
untuk mencegah rasa sakit, sedapat mungkin tidak lebih dari 4 mL. Ke
dalam otot dada dapat disuntikkan sampai 200 mL, sedang otot lain
volume yang disuntikkan lebih kecil.
4. Injeksi intravenus (i.v)
Merupakan larutan, dapat mengandung cairan yang tidak menimbulkan
iritasi yang dapat bercampur dengan air, volume 1 mL sampai 10 mL.
Larutan ini biasanya isotonis atau hipertonis. Bila larutan hipertonis
maka disuntikan perlahan-lahan. Jika larutan yang diberikan banyak
umumnya lebih dari 10 mL disebut infus, larutan diusahakan supaya
isotonis dan diberikan dengan kecepatan 50 tetes tiap menit dan lebih
baik pada suhu badan. Emulsi minyak-air dapat diberikan, asal ukuran
butiran minyak cukup kecil (emulsi mikro). Bentuk suspensi atau
emulsi makro tidak boleh diberikan melalui intravena.
5. Injeksi intraarterium (i.a)
Umumnya berupa larutan, dapat mengandung cairan non-iritan yang
dapat bercampur dengan air, volume yang disuntikan 1 mL sampai 10
mL dan digunakan bila diperlukan efek obat yang segera dalam daerah
perifer.
6. Injeksi intrakor atau intrakardial (i.k.d)
Berupa larutan, hanya digunakan untuk keadaan gawat, dan disuntikan
ke dalam otot jantung atau ventrikulus.
7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intradural
Berupa laturan harus isotonus, sebab sirkulasi cairan cerebropintal
adalah lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang
sering hipertonus. Larutan harus benar-benar steril, bersih sebab
jaringan syaraf daerah anatomi di sini sangat peka.
8. Injeksi intrakulus
Berupa larutan atau suspense dalam air yang disunikan ke dalam cairan
sendi dalam rongga sendi.
9. Injeksi subkonjungtiva
Berupa larutan atau suspensi dalam air yang untuk injeksi selaput
lendir mata bawah, umumnya tidak lebih dari 1 mL.
10. Injeksi yang digunakan lain:
a. Intraperitoneal (i.p) disuntikkan langsung ke dalam rongga perut,
penyerapan cepat, bahaya infeksi besar dan jarang dipakai.
b. Peridural (p.d) ekstra dural, disuntikan ke dalam ruang epidural,
terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan
sumsum tulang belakang.
c. Intrasisternal (i.s) disuntikkan ke dalam saluran sumsum tulang
belakang pada otak.
B. Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril.
Secara tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai
akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini
menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai konotasi relative, dan
kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya
dapat diduga atas dasar proyeksi kinetis angka kematian mikroba (Lachman dkk.,
1994).
Pada umumnya metode sterilisasi ini digunakan untuk sediaan farmasi dan
bahan-bahan yang dapat tahan terhadap temperatur yang dipergunakan dan
penembusan uap air, tetapi tidak timbul efek yang tidak dikehendaki akibat uap air
tersebut.metode ini juga dipergunakan untuk larutan dalam jumlah besar, alat –
alat gelas, pembalut operasi dan instrumen. Tidak digunakan untuk mensterilkan
minyak-minyak, minyak lemak, dan sediaan-sediaan lain yang tidak dapat
ditembus oleh uap air atau pensterilan serbuk terbuka yang mungkin rusak oleh
uap air jenuh (Syamsuni, 2006).
Metode-metode sterilisasi menurut Syamsuni, yakni:
1. Sterilisasi uap (lembab panas), yakni sterilisasi yang dilakukan dalam
autoklaf dan menggunakan uap air dengan tekanan.
2. Sterilisasi panas kering, yakni sterilisasi yang biasa dilakukan dengan oven
pensteril yang dirancang khusus untuk tujuan sterilisasi. Oven dapat
dipanaskan dengan gas atau listrik dan umumnya temperatur diatur secara
otomatis.
3. Sterilisasi dengan penyaringan, yakni sterilisasi yang tergantung pada
penghilangan mikroba secara fisik dengan adsorpsi pada media penyaring
atau dengan mekanispe penyaringan, digunakan untuk sterilisasi larutan
yang tidak tahan panas. Sediaan obat yang disterilkan dengan cara ini,
diharuskan menjalani pengesahan yang ketat dan memonitoring karena
efek produk hasil penyaringan dapat sangat dipengaruhi oleh banyaknya
mikroba dalam larutan yang difiltrasi.
4. Sterilisasi gas, sterilisasi gas dilakukan pada senyawa-senyawa yang tidak
tahan terhadap panas dan uap dimana dapat disterilkan dengan cara
memaparkan gas etilen oksida atau protilen oksida. Gas-gas ini sangat
mudah terbakar bila tercampur dengan udara, tetapi dapat digunakan
dengan aman bila diencerkan dengan gas iner seperti karbondioksida, atau
hidrokarbon terfluorinasi yang tepat sesuai.
5. Sterilisasi dengan radiasi pengionan, yakni teknik-teknik yang disediakan
untuk sterilisasi beberapa jenis sediaan-sediaan farmasi dengan sinar gama
dan sinar-sinar katoda, tetapi penggunaan teknik-teknik ini terbatas karena
memerlukan peralatan yang sangat khusus dan pengaruh-pengaruh radiasi
pada produk-produk dan wadah-wadah.
Kalium klorida umumnya merupakan obat pilihan untuk pengobatan
hipokalemia pada pasien dengan alkalosis metabolik dengan hipoklorida, karena
alkalosis hipoklorida yang sering dikaitkan dengan hipokalemia dapat diperbaiki
oleh ion klorida yang ada pada senyawa Kalium klorida (Sweetman, 2009).
Penggunaan Kalium klorida melalui infus intravena harus diberikan secara
perlahan untuk menghindari hiperkalemia dan toksisitas jantung terkait.
Secara parenteral, injeksi cepat larutan Potassium chloride yang kuat dapat
menyebabkan serangan jantung. Pada orang dewasa, larutan harus diinfuskan
dengan kecepatan tidak lebih dari 750 mg/ jam (Rowe dkk., 2009). Garam kalium
intravena biasanya diperlukan pada hipokalemia akut parah. Hal ini biasanya
memerlukan larutan yang mengandung 20 mmol Potassium dalam 500 mL selama
2 sampai 3 jam di bawah kontrol EKG (Sweetman, 2009). Dosis untuk
hipokalemia untuk dewasa yaitu 20-40 mEq 2-4 kali sehari dan dosis untuk bayi
baru lahir adalah 0,5 mEq/kg setiap 1-2 jam (Medscape, 2018).
IV. FORMULASI
1. Kalium Klorida
Pemerian Kristal tidak berwarna atau serbuk kristal putih dengan
rasa garam yang tidak enak (HOPE, edisi 6, 2009,
hlm. 572, pdf)
kelarutan Aseton : Praktis tidak larut
Etanol (95%) : 1 : 250
Gliserin : 1 : 14
Air : 1 : 2,8 pada suhu 20⁰C
: 1 : 1,8 pada suhu 100⁰C
(HOPE, edisi 6, 2009, hlm. 572, pdf)
Stabilitas
 Panas Menyublim pada suhu 1500⁰C dan memiliki titik leleh
790⁰C (HOPE, edisi 6, 2009, hlm. 572, pdf).
 Hidrolisis Tidak ditemukan pada Farmakope Indonesia edisi V,
Biritish Pharmacopeia, USP 30 – NF 25.
 Cahaya Tidak ditemukan pada Farmakope Indonesia edisi V,
Biritish Pharmacopeia, USP 30 – NF 25.
pH 3,5 – 6,5 (USP 30 – NF 25 hlm. 2980).
Penyimpanan Pada wadah tertutup rapat
Kesimpulan
Bentuk zat aktif yang digunakan (basa/asam/garam/ester) : garam
Bentuk sediaan (lar/susp/emulsi/serbuk rekonstitusi) : larutan
Cara sterilisasi sediaan : menggunakan metode panas basah dengan alat autoclave
pada suhu 121⁰C 15 menit 15 Psi
Kemasan : botol gelas tipe I atau tipe II

2. Natrium hidroksida
Pemerian Putih atau praktis putih, keras rapuh dan
menunjukkan pevahan hablur. Jika terpapar di udara
akan cepat menyerap karbon dioksida dan lembab.
Massa melebur, berbentuk pellet kecil, serpihan atau
batang atau bentuk lain (Farmakope Indonesia, edisi
V, 2014, hlm. 912, hard copy)
Kelarutan Mudah larut dalam air dan dalam etanol.
(Farmakope Indonesia edisi V, 2014, hlm 912 pdf)
Stabilitas Panas : Meleleh pada suhu 318℃ (HOPE Edisi
ke-6, 2009 hlm 649 pdf).
Hidrolisis/oksidasi : Jika terpapar udara akan cepat
menyerap karbon dioksida dan lembab
(Farmakope Indonesia edisi V, 2014 hlm 912 pdf)
Cahaya : Tidak ditemukan dalam Farmakope
Indonesia V, HOPE edisi ke-6, Japanese
pharmacopeia dan dalam British phamacopeia.
w
pH : pH = 12 (0,05% aqueous solution)
w
w
pH = 13 (0,05% aqueous solution)
w
w
pH = 14 (0,05% aqueous solution)
w
(HOPE, Edisi ke-6, 2009, hlm 649 pdf)
Kegunaan Adjust pH
Inkompatibilitas Senyawa yang mudah mengalami hidrolisis dan
oksidasi. Natrium hidroksida adalah basa kuat dan
inkompatibel dengan reaksi apapun dengan asam,
ester, dan eter terutama dalam larutan berair.
(HOPE Edisi ke-6,2009, hlm 649 pdf)

3. Natrium Klorida
Pemerian Serbuk Kristal putih tidak berwarna, rasa asin, hablur,
berbentuk kubus (Farmakope Indonesia, edisi V,
2014, hlm. 903, hard copy)
Kelarutan Sedikit larut dalam etanol 1:10, dalam gliserin 1:250,
dalam etanol 95% 1:2,8 dan dalam air 1:2,6
(Farmakope Indonesia, edisi V, 2014, hlm. 903, hard
copy)
Stabilitas  Panas: stabil terhadap panas dan dapat di
sterilisasi dengan metode panas lembab
menggunakan autoklaf (HOPE, edisi 6, hlm. 639,
pdf).
 Hidrolisis/ oksidasi: tidak terjadi reaksi hidrolisis
maupun oksidasi (HOPE, edisi 6, hlm. 639, pdf).
 Cahaya: stabil terhadap cahaya (HOPE, edisi 6,
hlm.639, pdf).
 pH: stabil terhadap pH injeksi 4,5 – 7,0
(Kemenkes RI, 2014, hlm.903, hardcopy)
Kegunaan Pengisotonis
Inkompatibilitas natrium klorida bersifat korosif terhadap besi. Dapat
bereaksi dengan perak, racun, dan garam merkuri
membentuk presipitasi. Zat pengoksidasi kuat
meliberasi klorin dari larutan asam yang terdapat
dalam natrium klorida. Jika dicampur dengan metil
paraben, maka kelarutan metil paraben akan menurun.
Viskositas dari gel karbomer dan larutan
hidroksietilselulosa atau hidroksipropilselulosa akan
menurun dengan penambahan natrium klorida
(HOPE, edisi 6, hlm.639, pdf).

4. Asam Klorida
Pemerian Cairan tidak berwarna, berasap, bau merangsang, jika
diencerkan dengan 2 bagian volume air, asap hilang,
boobt jenis lebih kurang 1,18 (Farmakope Indonesia,
edisi V, hlm. 156, hard copy)
Kelarutan Dapat bercampur dengan air, larut dalam dietil eter,
etanol 95% dan methanol (Farmakope Indonesia,
edisi V, hlm. 156, hard copy)
Stabilitas Panas : Disimpan dalam wadah tertutup baik, gelas
atau wadah lembab lainnya pada suhu dibawah 30
℃ (HOPE Edisi ke-6, 2009, hlm 308 pdf).
Hidrolisis/oksidasi : tidak ditemukan dalam
Farmakope Indonesia V, Handbook of
Pharmaceutical Exipients edisi ke-6, Japanese
pharmacopeia dan dalam British phamacopeia.
Cahaya : tidak ditemukan dalam Farmakope
Indonesia V, HOPE edisi ke-6, Japanese
pharmacopeia dan dalam British phamacopeia.
v
pH : 0,1 (10% aqueous solution)
v
(HOPE Edisi ke-6, 2009, hlm 308 pdf)
Kegunaan Adjust pH
Inkompatibilitas Bereaksi kuat dengan alkali, dengan evolusi
sejumlah besar panas. Asam klorida bereaksi
dengan banyak logam, membebaskan hidrogen
(HOPE Edisi ke-6, 2009 hlm 308 pdf)

5. Arang jerap/ karbon aktif


Pemerian Serbuk halus, bebas dari butiran, berwarna hitam,
tidak berbau, dan tidak berasa (Farmakope Indonesia,
edisi V, 2014, hlm. 130, pdf)
Kelarutan Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol
(Farmakope Indonesia, edisi V,2014, hlm. 130, pdf)
Stabilitas Tidak ditemukan pada Farmakope Indonesia edisi V,
Biritish Pharmacopeia, USP 30 – NF 25
Kegunaan depirogenasi
Inkompatibilitas Tidak ditemukan pada Farmakope Indonesia edisi V,
Biritish Pharmacopeia, USP 30 – NF 25

6. Air Pro Injeksi/ Water For Injection


Pemerian Cairan jernih tidak berwarna tidak berbau dan tidak
berasa (HOPE, edisi 6,2009, hlm. 766, pdf)
Kelarutan Tercampur atau dapat bercampur dengan pelarut
polar. (HOPE, edisi 6,2009, hlm. 766, pdf)
Stabilitas Air stabil secara kimiawi di semua keadaan fisik (es,
cairan, dan uap). Air yang meninggalkan sistem
pemurnian farmasi dan memasuki tangki
penyimpanan harus memenuhi persyaratan tertentu.
Secara khusus, sistem penyimpanan dan distribusi
harus memastikan bahwa air terlindungi dari
kontaminasi ionik dan organik, yang akan
menyebabkan peningkatan konduktivitas dan karbon
organik total. Sistem juga harus dilindungi terhadap
masuknya fisik partikel asing dan mikroorganisme
sehingga pertumbuhan mikroba dicegah atau
diminimalkan. Air untuk tujuan tertentu harus
disimpan dalam wadah yang sesuai (HOPE, edisi 6,
2009, hlm. 766, pdf).
Kegunaan Pembawa (HOPE, edisi 6, hlm. 766, pdf).
Inkompatibilitas Dalam formulasi farmasi, air dapat bereaksi
dengan obat-obatan dan eksipien lainnya yang
rentan terhadap hidrolisis (dekomposisi dengan
adanya air atau uap air) pada suhu sekitar dan
tinggi.
Air dapat bereaksi keras dengan logam alkali dan
cepat dengan logam alkali dan oksida mereka,
seperti kalsium oksida dan magnesium oksida. Air
juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk
membentuk hidrat dari berbagai komposisi, dan
dengan bahan organik dan kalsium karbida tertentu
(HOPE, edisi 6, 2009, hlm. 766, pdf).

V. PENDEKATAN FORMULA
No. Nama Bahan Jumlah Kegunaan

Bahan aktif
1. KCl 0, 935% (HOPE, Edisi 6, hlm.
572, pdf).

Pengisotonis
2. NaCl 0,1896% (HOPE, edisi 6, hlm.
637, pdf).

3. NaOH 2N qs pH adjust

4. HCl 2N qs pH adjust

5. Arang jerap 0,1 % Depirogenasi

Pembawa (HOPE,
6. Aqua Pro Injeksi Ad 100% Edisi 6, hlm. 766,
pdf)

VI. PERHITUNGAN TONISITAS, OSMOLARITAS, DAPAR


a. Perhitungan dapar
-
b. Perhitungan Tonisitas – Osmolaritas
 Kadar Kemurnian Kalium Klorida
Kemurnian dari KCl dalam Larutan Injeksi: 95% - 105% (USP 30
– NF 25)
Kadar Kalium Klorida = 0,85%
Dilebihkan 5% = (0,85 + (5% x 0,85))%
= 0,8925%
Kadar akhir KCl = 0,8925%
 Tonisitas
Nilai D dari KCl = 0,4390C/1%
0,8925 %
Nilai D dalam formula = x 0,439 °C=0,3918 ° C
1%
ΔTf Isotonis = 0,52°C
ΔTf Sediaan = 0,3918°C
ΔTf Sediaan agar Isotonis = 0,52°C – 0,3918°C = 0,1282°C
0,1282° C
Dekstrosa yang dibutuhkan= x 0.9 %=0,2219 %
0,52° C

 Osmolaritas
Osmolaritas = ¿
 Kalium Klorida
g
W = 0,8925 g/ 100 ml = 8, 925
l
BM = 74,55
n = 2 ion
8,925 X 1000 X 2
mOsmol/L = =239,4366 mOsmol / L
74,55
 NaCl
g
W = 0,2219 g/ 100 ml = 2.219
l
BM = 58,44
n = 2 ion
2,219 X 1000 X 2
mOsmol/L = =75,9411 mOsmol / L
58,44
Osmol total = 239,4366+75,9411 = 315, 3777
mOsmol/L (isotonis)
 Rentang isotonis = 270 – 328 mOsmol/L

Perhitungan dosis:
0,85
 kadar sediaan : x 500 ml = 4,25 g ~ 4250 mg
100
mg kadar sediaan
mEq :
BM
4250 mg
: = 57,0087 mEq
74,55
 Dosis untuk dewasa : 20 mEq (Medscape, 2018)
20 mEq
Kebutuhan KCl : x 500 ml= 175,41182 ~ 175 ml 2-4 kali/hari
57,0087 mEq
 Dosis untuk bayi baru lahir : 0,5 mEq/kg setiap 1-2 jam
Dosis : 0,5 mEq/kg x 3,18 kg = 1,59 mEq
1,59 mEq
Kebutuhan KCl : x 500 ml = 13,9425 ml ~ 15 ml setiap 1-2
57,0087 mEq
jam
Kesimpulan :
Dosis dewasa : 175 ml 2-4 kali/ hari
Dosis bayi baru lahir : 15 ml setiap 1-2 jam

VII. PENIMBANGAN
Penimbangan
Dibuat 1 infus (@500 ml) = 500 ml
Total volume/berat sediaan yang dibuat :
 Dilebihkan 2% : 500 ml + (2% x 200 ml) = 510 ml
 Dilebihkan 10% : 510 ml + (10% x 510 ml) = 561 ml ~ 600 ml
Penimbangan dibuat sebanyak 600 ml berdasarkan pertimbangan volume
terpindahkan
No. Nama Bahan Jumlah yang ditimbang

KCl 0,935 g
×600 ml=5,61 g
1. 100 ml
Kelarutan: 1:2,8 (HOPE, edisi 6, hlm. 572)
5,61 g× 2,8 = 15,708 ml ≈ 50 ml

NaCl 0,1896 g
×600 ml=1,1376 g
2. 100 ml
Kelarutan: 1:2,8 (HOPE, edisi 6, hlm. 572)
1,1376 g× 2,8 = 3,8528 ml ≈ 10 ml
3. Karbon aktif 0,1 g
× 600 ml=0,6 g
100 ml
4. NaOH qs

5. HCl qs

6. Water for Injection Ad 600 ml

VIII. STERILISASI
a. Alat
Nama Alat Cara sterilisasi Waktu sterilisasi Jumlah
Spatel Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 2
121°C selama 15 menit
Pipet Panas lembab, Autoklaf 3
15 Psi
Kaca arloji Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 3
Batang pengaduk Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 4
Corong gelas Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 1
Baeker glass 50mL Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 2
Beaker glass 100mL Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 2
Beaker glass 1L Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 1
Gelas ukur 1L Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam
Gelas ukur 100mL Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 1
Gelas ukur 10mL Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 1
121°C selama 15 menit
Kertas saring Panas lembab, Autoklaf 2
15 Psi
Direndam dengan alkohol
Tutup pipet Disinfeksi 3
70%, 24 jam
Erlenmeyer 500mL Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 1
Erlenmeyer 250mL Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam 1
Membran filter 121°C selama 15 menit
Panas lembab, Autoklaf 1
0,45µm 15 Psi
Membran filter 121°C selama 15 menit
Panas lembab, Autoklaf 1
0,22µm 15 Psi
Syringe Panas lembab, Autoklaf 121°C selama 15 menit 2
15 Psi

b. Wadah
Nama Alat Cara sterilisasi Waktu sterilisasi Jumlah
Botol infus kaca 1
Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam
500mL
Karet penutup botol Desinfektan (Direndam 1
infus menggunakan alcohol 24 jam
70%)
Penutup botol infus 1
Panas kering, Oven 170°C selama 1 jam
alumunium

c. Bahan
No. Nama bahan Jumlah Cara sterilisasi (lengkap)
(g)
1. Kalium klorida 5,61 Panas lembab (Autoklaf 121°C
selama 15 menit 15 Psi)
2. NaCl 1,1376 Panas lembab (Autoklaf 121°C
selama 15 menit 15 Psi)

3. Karbon aktif 0,6 Panas lembab (Autoklaf 121°C


selama 15 menit 15 Psi)

4. NaOH qs Panas lembab (Autoklaf 121°C


selama 15 menit 15 Psi)

5. HCl qs Panas lembab (Autoklaf 121°C


selama 15 menit 15 Psi)

6. Water for injection Ad


Destilasi sebanyak 6 kali
600mL

IX. PROSEDUR PEMBUATAN


RUANG PROSEDUR
Grey area 1. Semua alat dan wadah yang dibutuhkan dicuci dan dibilas
(R. Sterilisasi) hingga kering.
2. Labu Erlenmeyer 500 mL (untuk menyimpan stok air)
dikalibrasi sebanyak 650 mL, kemudian dikeringkan.
3. Beaker glass 1 L (untuk gelas utama) dikalibrasi sebanyak
600 mL, kemudian dikeringkan.
4. Botol infus kaca dikalibrasi sebanyak 510 mL lalu
dikeringkan.
5. Bagian mulut dari Erlenmeyer, gelas ukur, beaker glass,
pipet tetes, botol infus, disumbat menggunakan alumunium
foil atau kertas perkamen.
6. Sterilisasi dilakukan dengan cara:
- Spatel, kaca arloji, batang pengaduk, corong gelas,
botol infus kaca, penutup infus alumunium, pipet, gelas
ukur, beaker glass disterilisasi menggunakan panas
kering dengan alat oven pada suhu 170°C selama 1 jam.
- Kertas saring, membran filter ukuran 0,45 µm dan 0,22
µm, syringe disterilisasi menggunakan panas lembab
dengan alat autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit
pada tekanan 15 Psi.
- Karet pipet, karet penutup botol infus disterilisasi
dengan cara direndam menggunakan alkohol 70%
selama 24 jam.
Setelah disterilisasi alat dimasukkan ke dalam lemari khusus
barang steril, lalu ditransfer dengan pass box.
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembuatan infus
Intravena (IV) ditimbang menggunakan timbangan analitik atau
yang sudah dikalibrasi:
1. Kalium klorida ditimbang sebanyak 5,611 g pada kaca arloji
lalu ditutup menggunakan alumunium foil, beri label nama
dan jumlah bahan.
White area
2. NaCl ditimbang sebanyak 1,13766 g pada kaca arloji lalu
(Ruang
ditutup menggunakan alumunium foil, beri label nama dan
Penimbangan)
jumlah bahan.
3. Karbon aktif ditimbang sebanyak 0,6 g pada kaca arloji lalu
ditutup menggunakan alumunium foil, beri label nama dan
jumlah bahan.
Setelah dilakukan penimbangan, bahan-bahan di masukkan
kedalam pass box dan di transfer pada ruang pencampuran.
White area 1. Pembuatan WFI dengan cara mensterilkan aquadest atau
(Grade C) dengan menggunakan autoclaf (121°C selama 15 menit 15
Psi).
2. Pembuatan WFI bebas pyrogen
a. WFI sebanyak 700 ml disiapkan di dalam beaker glass
1000 ml diatas hotplatet.
b. Karbon aktif sebanyaka 0,7 g ditambahkan ke dalam
WFI setelah digerus, dipanaskan (60°-70°C).
c. Larutan diaduk selama 15 menit.
d. Larutan disaring dengan kertas saring rangkap 2
sebanyak 1 kali
e. Air bebas pirogen siap digunakan.
3. Bahan-bahan diambil dari dalam pass box, BSC dibersihkan
dengan cairan desinfektan, bagi meja kerja menjadi 3 bagian.
4. KCl sebanyak 5,61 g dilarutkan kedalam 20 ml WFI (diukur
dengan gelas ukur 25 ml) dalam gelas kimia 1L yang telah
dikalibrasi dengan 2 ml WFI sebanyak 2 kali dimasukkan
kedalam gelas utama, diaduk menggunakan batang pengaduk
steril.
5. NaCl sebanyak 1,1376 g dilarutkan dalam 5 ml WFI (diukur
menggunakan gelas ukur 25 ml) kedalam gelas kimia 50 ml.
kaca arloji tempat menyimpan NaCl dibilas dengan 2 ml
WFI sebanyak 2 kali, dimasukkan kedalam gelas utama dan
diasuk menggunakan batang pengaduk.
6. Ditambahkan WFI ad 80% dari volume total.
7. Ditambahkan karbon aktif sebanyak 0,6 g kedalam sediaan
dan dipanaskan pada suhu 60-100°C, diaduk selama 5 menit.
8. Larutan disaring menggunakan kertas saring ganda sebanyak
1 kali.
9. pH larutan diukur menggunakan pH meter. Apabila pH
sediaan tidak sesuai dengan stabilitas pH bahan aktif maka di
adjust menggunakan pembasa NaOH atau pengasam HCl.
10. Ditambahkan WFI ad 100% volume total, lalu diaduk
dengan batang pengaduk steril ad homogen.
11. Larutan disaring dengan membrane filter 0,45 µm ditampung
dalam Erlenmeyer steril.
12. Larutan yang telah disaring dimauskkan kedalam botol infus
yang telah dikalibrasi 510 ml.
13. Tutup botol infus dengan tutup karet, lalu diikat
menggunakan simpul champagne. Botol infus ditransfer ke
ruang penutupan menggunakan pass box.
Grey area
Sediaan ditutup menggunakan alat, botol infus yang telah ditutup
(Ruang caping
dengan tutup karet lalu di seal dengan penutup alumunium
alumunium foil)
Sediaan disterilisasi dengan panas basah menggunakan autoclave
Grey area
secara terbalik dalam gelas kimia yang telah dialasi kapas pada
(Ruang sterilisasi)
suhu 121°C selama 15 menit 15 Psi.
1. Sediaan yang telah disetrilisasi akhir dilakukan evaluasi
Grey area sediaan.
(Ruang evaluasi) 2. Sediaan diberi etiket dan brosur lalu dikemas menggunakan
kemasan sekunder.

X. DATA PENGAMATAN EVALUASI SEDIAAN


1. Uji penetapan pH (Kemenkes RI, 2014)
A. Jenis evaluasi : evaluasi fisika
B. Prinsip evaluasi :
1) Alat dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan dapar (alat harus dapat
mengukur pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektroda indikator
yang peka, elektroda kaca dan elektroda pembanding yang sesuai).
2) Pengukuran pH dilakukan pada suhu 25± 2℃.
3) Sel diisi larutan uji.
4) Elektroda dimasukkan kedalam sel berisi larutan uji dn dilakukan
pengukuran pH (replikasi tiga kali).
5) Hasil yang tertera pada layar dicatat.
6) Apabila pengukuran telah selesai, elektroda dibilas menggunakan air
bebas CO2 sebanyak dua kali.
C. Jumlah sample : 1 (replikasi 3 kali)
D. Persyaratan : pH sediaan 7,35 – 7,45
E. Hasil pengamatan : 9,302; 9,302 dan 9,287,
Rata-rata pH yaitu : 9,297 ± 7,0711x10-3
F. Kesimpulan : Tidak memenuhi syarat

2. Evaluasi Volume injeksi (Kemenkes RI, 2014)


A. Jenis evaluasi : Evaluasi fisika
B. Prinsip evaluasi :
1) Jika volume 10 ml atau lebih dipilih salah satu atau lebih wadah.
2) Larutan uji pada masing-masing wadah diambil menggunakan alat suntik
hipodermik kering berukuran tidak lebih dari tiga kali volume yang
diukur.
3) Gelembung udara dikeluarkan dari dalam jarum dan alat suntik.
4) Isi larutan dalam alat suntik dipindahkan tanpa mengosongkan bagian
jarum kedalam gelas ukur.
5) Volume yang tertea pada gelas ukur diukur, sehingga volume yang
diukur memenuhi sekurang-kurangnya 40% volume dari kapasitas yang
tertera.
6) Cara lain jika isi wadah 10 ml atau lebih dapat ditentukan dengan
membuka wadah kemudian memindahkan isi secara langsung kedalam
gelas ukur atau gelas piala yang telah ditara, kemudian volume yang
tertera dicatat.
C. Jumlah sample : 1
D. Persyaratan : Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah
bila diuji satu per satu, atau bila wadah volume 1 ml atau 2 ml, tidak kurang
dari jumlah volume wadah yang tertera pada etiket bila isi digabung.
E. Hasil pengamatan : volume injeksi sediaan 506 ml
F. Kesimpuan : Memenuhi syarat

3. Uji partikulat (Kemenkes RI, 2014)


A. Jenis evaluasi : evaluasi fisika
B. Prinsip evaluasi :
Prosedur pengamburan cahaya :
1) Disiapkan beaker glass berisi WFI sebanyak 500 ml, dan beaker glass lain
yang berisi larutan sediaan.
2) Kedua beaker glass diletakkan berdampingan dengan menggunakan latar
belakang berwarna hitam, kemudian diberi cahaya atau penerangan yang
baik.
3) Kedua larutan diamati secara visual dengan membandingkan warna antara
beaker glass berisi sediaan dengan beaker glass berisi WFI.
C. Jumlah sampel : 1
D. Persyaratan : Tidak terdapat partikulat
E. Hasil pengamatan : Tidak terdapat partikulat
F. Kesimpulan : Memenuhi syarat

4. Uji kejernihan (Kemenkes RI, 2014)


A. Jenis evaluasi : evaluasi fisika
B. Prinsip evaluasi :
1) Penetapan dilakukan dengan menggunakan tabung reaksi alas datar
dengan diameter dalam 15-25 mm, tidak berwarna, transparan dan
terbuat dari kaca metal.
2) larutan uji dibandingkan dengan larutan suspensi padanan (WFI)
setinggi 40 mm.
3) Kedua larutan dibandingkan dibawah cahaya dengan tegak lurus ke
bawah tabung menggunakan latar belakang warna hitam.
C. Jumlah sampel : 1
D. Persyaratan : Warna larutan sama dengan air atau larutan yang digunakan
dengan kondisi yang dipersyaratkan
E. Hasil pengamatan : Warna larutan jernih sama dengan warna larutan
suspensi padanan (WFI)
F. Kesimpulan : Memenuhi syarat

5. Uji kebocoran
A. Jenis evaluasi : evaluasi fisika
B. Prinsip evaluasi :
1) Sediaan dalam wadah botol dibalikkan 180°.
2) Diamati pada bagian tutup botol apakah terdapat larutan yang menetes
atau tidak. Jika wadah botol yang digunakan bocor maka larutan akan
menetes keluar.
C. Jumlah sampel : 1
D. Persyaratan : Tidak terjadi kebocoran
E. Hasil pengamatan : Tidak terjadi kebocoran
F. Kesimpulan : Memenuhi syarat

6. Uji pirogen (Kemenkes RI, 2014)


A. Jenis evaluasi : evaluasi biologi
B. Prinsip evaluasi
1) Dilakukan penyuntikan secara intravena pada kelinci dengan dosis tidak
lebih dari 10 ml per kg dalam periode tidak lebih dari 10 menit.
2) Kelinci ditempatkan dalam satu kandang dengan suhu 20-23℃.
3) Setelah penyuntikan, diamati kenaikan suhu pada kelinci pada kurun
waktu 3 jam.
C. Jumlah sampel : 1
D. Persyaratan : Tidak terjadi kenaikan suhu 0,5° atau lebih
E. Hasil pengamatan : Tidak dilakukan
F. Kesimpulan : Tidak dilakukan

7. Uji sterilitas (Kemenkes RI, 2014)


A. Jenis evaluasi : evaluasi biologi
B. Prinsip evaluasi :
1) Larutan uji pada wadah dan membran nitrat selulosa porositas 0,45 μm
disiapkan.
2) Larutan uji sebanyak 10% dari total volume, tetapi (tidak kurang dari
20 ml) diencerkan dengan pengenceran steril yang dipilih sesuai
volume yang digunakan pada uji kesesuaian metode.
3) Larutan uji disaring dengan membran penyaring.
4) Membran dipindahkan kedalam media atau bisa dipotong menjadi dua
bagian yang sama secara aseptik dan masing-masing dipindahkan
bagiannya kedalam media yang sesuai.
5) Media diinkubasi selama tidak kurag dari 14 hari.
C. Jumlah sampel : 1
D. Persyaratan : Secara visual tidak ada pertumbuhan mikroba pada media
E. Hasil pengamatan : Tidak dilakukan
F. Kesimpulan : Tidak dilakukan

8. Uji Endotoksin (Kemenkes RI, 2014)


A. Jenis evaluasi : evaluasi biologi
B. Prinsip evaluasi :
- Teknik jendal gel
1) Dilakukan uji persiapan yaitu dengan melakukan uji komfirmasi
kepekaan pereaksi LAL menggunakan tidak kurang dari satu vial
untuk setiap lot dan uji faktor pengganggu.
2) Larutan A, B, C, dan D disiapkan seperti pada tabel 3
a. Pereaksi LAL dicampurkan dengan masing-masing ukuran (0,1
ml)
b. Inkubasi 37±1℃ selama 60±2 menit.
c. setiap tabung diuji integritas gel (dibalikkan 180°), bila positif gel
akan kuat sedangkan negatif bila gel yang terbentuk jatuh.
d. Dihitung nilai rata-rata dari logaritma titik akhir e dan hitung
antilogritma dari nilai rata-rata geometrik konsentrasi akhir ≠
antilog (ϵelf ¿.
- Teknik Fotometrik
1) Metode turbidimetri berdasarkan pembentukan kekeruhan setelah
penguraian substrat endogen.
a. Tutbiditri titik akhir didasarkan pada hubungan kuantitatif antara
kadar endotoksin dengan kekeruhan.
b. Turbidimetri kinetik didasarkan dengan mengukut waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai nilai serapat yang telah ditentukan
atau kecepatan pembentukan kekeruhan.
2) Metode kromogenik dengan mengukur kromofor yang dilepaskan
dari peptida kromogenik.
a. Tutbiditri titik akhir didasarkan pada hubungan kuantitatif antara
kadar endotoksin dengan pelepasan kromofor diakhir inkubasi.
b. Turbidimetri kinetik didasarkan dengan mengukut waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai nilai serapat yang telah ditentukan
atau kecepatan pembentukan warna.
C. Jumlah sampel : 1
D. Persyaratan : Tidak lebih dari 0,04 unit endotoksin FI per mg Manitol
apabila jumlah yang tertera pada etiket injeksi 10% atau kurang
E. Hasil pengamatan : Tidak dilakukan
F. Kesimpulan : Tidak dilakukan

XI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini praktikan melakukan pembuatan sediaan steril
berupa sediaan infus dengan bahan aktif berupa KCl yang dibuat dengan sterilisasi
akhir. Tujuan suatu sediaan dibuat steril, karena berhubungan langsung dengan
darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang pertahanannya terhadap zat
asing tidak selengkap pada saluran cerna atau gastrointestinal. Diharapkan dengan
kondisi steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Infus merupakan sediaan
yang perlu di sterilkan dan harus bebas dari mikroorganisme hidup maupun
pirogen (Remington, 2005). Sifat KCl yang stabil pada pH 3,5- 6,5 dan tahan
terhadap pemanasan merupakan alasan digunakannya metode sterilisasi akhir
dalam pembuatan infus KCl. Sehingga semua peralatan yang akan digunakan juga
harus disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
Rute pemberian yang digunakan adalah intravena, karena rute intravena
merupakan satu-satunya rute pemberian parenteral yang dapat digunakan untuk
sediaan parenteral volume besar. Sediaan dibuat infus karena apabila untuk
pengobatan hipokalemia lebih baik melalui rute parenteral, agar onset cepat dan
tidak mengalami first pass metabolism, karena penyakit hipokalemia apabila
dibiarkan dapat menyebabkan gangguan neuromuskular mulai dari kelemahan
otot hingga kelumpuhan dan insufisiensi pernafasan dan juga dapat menyebabkan
rhabdomyolysis, kelainan EKG, dan ileus. Sedangkan hipokalemia kronis dapat
menyebabkan kerusakan tubulus ginjal (hypocalaemic nephropathy) (Sweetman,
2009) sehingga dibutuhkan pengobatan yang onset kerjanya cepat.
Pada formulasi tidak ditambahkan pengawet pada sediaan infus karena
infus merupakan sediaan parenteral volume besar, sehingga apabila ditambahkan
pengawet walaupun kadarnya kecil akan memungkinkan bahwa pengawet tersebut
akan melebihi accepttable daily intake sehingga dapat membahayakan pasien
(Aulton dan Taylor, 2013).
Cairan infus digunakan secara intravena, maka sediaan infus harus
isotonis, isohidri, bebas dari kuman dan pirogen (Aulton dan Taylor, 2013),
semua bahan tersatukan tanpa terjadi reaksi dan bebas partikel. Oleh karena itu,
perlu ditambahkan NaCl 0,9 % sebagai agen tonisitas dan karbon aktif 0,1 %
untuk membebaskan sediaan dari pirogen, untuk mencegah demam dan untuk
menyerap cemaran.
Pembuatan larutan infus harus dilakukan secara steril dan air yang
digunakan untuk melarutkan dan pembawa juga harus disterilisasi dan bebas
pirogen. Maka digunakan water for injection yang telah disterilisasi dengan cara
destilasi sebanyak 6 kali yang dalam hal ini tidak dilakukan (dispensasi), dan
digunakan arang aktif sebagai depirogenasi agar meminimalisir jumlah pirogen
yang ada pada sediaan.
Sediaan yang telah selesai dibuat maka disterilisasi akhir menggunakan
autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit dan pada tekanan 15 Psi untuk
menghilangkan mikroba akibat kontaminasi pada saat proses pembuatan. Setelah
sterilisasi akhir selesai, selanjutnya dilakukan adalah evaluasi sediaan larutan
infus yang meliputi uji pH, uji kerjernihan, uji partikulat serta uji kebocoran.
Setelah dilakukan uji pH menggunakan kertas indikator, hasil pada evaluasi
pertama menunjukkan nilai pH sediaan 6 sehingga perlu di adjust menggunakan
NaOH 2N untuk mendapatkan nilai pada rentang pH 7,35-7,45. Hasil evaluasi
kedua nilai pH sudah menunjukkan masuk kedalam rentang pH yang
dipersyaratkan. Sediaan dilakukan pengecekan pH menggunakan pH meter dan
dihasilkan nilai 9,297 ± 7,0711x10-3 sehingga tidak masuk ke dalam syarat dari
rentang pH plasma darah. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya penambahan adjust
pH pembasa pada saat pengecekan pH menggunakan kertas indikator, karena
pengukuran pH menggunakan kertas indikator tidak seakurat menggunakan pH
meter.
Selanjutnya dilakukan uji kejernihan dan partikulat, dengan cara
pengamatan visual secara langsung menggunakan background putih untuk melihat
partikel yang berwarna dan background hitam untuk melihat partikel putih.
Hasilnya adalah sediaan kami jernih setelah dibandingkan dengan larutan
pembawa yang digunakan yaitu WFI dan tidak tampak partikel berwarna atau
partikel putih artinya tidak ada zat pengotor dan bebas partikel.
Evaluasi terakhir yang dilakukan yaitu evaluasi kebocoran. Larutan yang
telah di masukkan kedalam botol kemudian dilakukan uji kebocoran yang
dilakukan dengan cara membalikkan botol yang berisi sediaan dan dialasi kertas
saring kemudiaan diamati apakah botol tersebut bocor atau tidak. Hasil yang
didapat adalah botol infus tidak bocor, tidak ada sedikit sediaan yang menetes atau
keluar, tidak bocoranya kemasan yang digunakan ini akan meminimalisir
terjadinnya kontaminasi.

XII. KESIMPULAN
Formulasi yang tepat untuk sediaan steril injeksi/ infus adalah sebagai
berikut
No Nama Bahan Jumlah Kegunaan
.
1. Kalium klorida 5,61 g Zat aktif
2. NaCl 1,1376 g pengisotonis
3. Karbon aktif 0,6 g depirogenasi
4. NaOH qs Adjust pH
5. HCl qs Adjust pH
6. Water for injection Ad 600mL Pembawa/
pelarut

Jenis sterilisasi yang digunakan dalam pembuatan infus KCL


0,85% adalah menggunakan panas basah pada suhu 121⁰C selama 15
menit, 15 Psi.
Dari evaluasi didapatkan bahwa sediaan injeksi/ infus Kalium Klorida
yang dibuat adalah tidak memenuhi syarat untuk pH dan memenuhi syarat
untuk kejernihan, partikulat dan uji kebocoran.

XIII. DAFTAR PUSTAKA


Anief, Moh. (2008). Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press.

Ansel, H.C.(1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-4. Jakarta:


Penerbit Universitas Indonesia.
Aulton, Michael E dan Taylor, Kevin M. G. (2013). Aulton’s Pharmaceutics the
Design and Manufacture of medicines (4th ed). British: Elsevier.

Brunner dan Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih
Bahasa : Agung Waluyo, dkk. Edisi 8. Jakarta : EGC.

DepKes. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

FDA. (2007). Unites States Pharmacopeia National Formulary. USP 30/NF 25.
United states: Twinbrook Parkway

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Farmakope Indonesia edisi


V. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Lachman, Lieberman, Kanig. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri II.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Potter, P.A dan Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4. Volume 2, Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk. Jakarta : EGC

Priyambodo, B. (2007). Manajemen Farmasi Industri. Yogyakarta: Global


Pustaka Utama.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical
Excipients. Edisi VI. USA: Pharmaceutical Press.

Syamsuni, H.A.(2006). Ilmu Resep. Jakarta: EGC.

Sweetman, S.C. (2009). Martindale The Complete Drug Reference Thirty Sixth
Edition. New York: Pharmaceutical Press.

Troy, David. (2005). Remington The Science and Practice for Pharmacy. Edisi
ke-21. Philadelphia: A Wolters Kluwer Company.

LAMPIRAN
Kemasan
Etiket
Brosur
Infus
Kalium Klorida 0,85%

Komposisi:
Tiap 500 ml mengandung:
Natrium Laktat 0,85 %
Aqua Pro injeksi ad 100%

Indikasi: 
Untuk pasien Hypokalemia, kadar kalium rendah dan kadar
cairan rendah

Mekanisme Kerja :
Komposisi elektrolit dan konsentrasi infus sangat
serupa dengan yang dikandung didalam cairan
ekstraseluler. Ion kalium (K+) adalah kation intrasel utama
dari sebagian besar jaringan tubuh. Ion kalium
berpartisipasi dalam sejumlah proses fisiologis esensial,
termasuk pemeliharaan tonisitas intraseluler, transmisi
impuls saraf, kontraksi otot jantung, skeletal, otot halus,
serta pemeliharaan fungsi ginjal normal.

Aturan Pakai:
Takaran pemakaian disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi penderita secara individual

Kontra Indikasi:
Hiperkalemia, Retensi natrium dan edema, gagal jantung
kongestif, gangguan ginjal yang parah, sirosis hati.

Peringatan:
Jangan digunakan pada pasien hiperkalemia

Efek Samping: 
Mual, muntah, ruam kulit, diare

SIMPAN DI TEMPAT YANG KERING, TERTUTUP


RAPAT
DAN TERLINDUNG DARI CAHAYA PADA SUHU
25-30°C

No. Reg : DKL9876820049A1


No. Batch : 10181367
Mfg. date : September 2018
Exp. Date : September 2020
HET : Rp 150.000,-

Evaluasi :
a. Kejernihan
sediaan WFI

b. Penetapan pH (triplo)

c. Volume Injeksi Dalam Wadah


Volume : 6 ml

Volume:
500 ml

Anda mungkin juga menyukai