Anda di halaman 1dari 80

i

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMANFAATAN


PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS BARRANG
LOMPO KOTA MAKASSAR TAHUN 2017

THE FACTORS RELATED TO HEALTH SERVICE UTILIZATION


IN PUBLIC HEALTH CENTRE (PHC), BARRANG LOMPO,
MAKASSAR CITY IN 2017

MUNAWAR

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMANFAATAN


PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS BARRANG
LOMPO KOTA MAKASSAR TAHUN 2017

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Kesehatan Masyarakat

Disusun dan diajukan oleh

MUNAWAR

Kepada

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii
iv
v

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya yang

tiada henti diberikan kepada hamba-Nya. Salawat serta salam tak lupa

penulis kirimkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW beserta para

keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Sungguh sebuah nikmat yang tak

ternilai harganya manakala penulisan tesis yang berjudul “Faktor yang

Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas

Barrang Lompo Kota Makassar Tahun 2017” dapat terselesaikan dengan

baik, sekaligus menjadi syarat untuk menyelesaikan program magister di

Fakultas Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas

Hasanuddin.

Tidak sedikit hambatan dan tantangan yang penulis hadapi dalam

menyelesaikan tesis ini. Namun berkat ketabahan, kesabaran dan dukungan

yang begitu besar dari berbagai pihak akhirnya tesis ini dapat terselesaikan.

Secara khusus penulis persembahkan karya ini untuk kedua orang tua

tercinta, Ayahanda Drs. H. Moh. Nashir Mile dan Ibunda Hj. Nurfaidah yang

senantiasa sabar dan ikhlas dalam melepas ananda yang diiringi doa,

harapan dan dukungan baik berupa moril maupun materi yang membawa
vi

ananda sampai diperjalanan 2 tahun dalam menempuh pendidikan Magister

di Fakultas Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas

Hasanuddin. Serta kepada ketiga kakakku Muammar, Mudatsir dan

Munawir yang selalu memberikan inspirasi serta memberikan dukungan

penuh dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih atas segalanya sehingga

penulis bisa melewati masa-masa sulit dan menyelesaikan studi ini dengan

baik.

Dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, penulis juga ingin

mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang sebesar-

besarnya kepada Bapak Prof. Dr. H. Amran Razak, SE, M.Sc selaku Ketua

Komisi Penasihat dan bapak Prof. Dr. dr. H. Muh. Syafar, MS selaku

Anggota Komisi Penasihat atas segala kesabaran, waktu, bantuan,

bimbingan, ilmu, nasihat, arahan, dan saran, yang telah diberikan selama ini

kepada penulis.

Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis

haturkan pula kepada Bapak Prof. Dr. H. Indar, SH, MPH, Bapak Sukri

Palutturi, SKM, M.Kes, M.Sc.PH, Ph.D dan Bapak Prof. Dr. Nurdin Brasit,

SE, MS yang telah banyak memberikan masukan serta arahan guna

penyempurnaan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Rektor Universitas

Hasanuddin, Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin, beserta

staf. Kepada Bapak Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes selaku Dekan
vii

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, beserta Wakil

Dekan. Kepada Bapak Dr. Ridwan M. Thaha, M.Sc selaku ketua Program

Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas

Hasanuddin. Kepada Bapak Dr. Darmawansyah, SE, MS selaku ketua

bagian Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Dosen pengajar

dan seluruh pegawai yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada

penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Hasanuddin.

Terima kasih kepada Kepala Puskesmas Barrang Lompo Kota

Makassar, beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan rekomendasi,

data, informasi, yang telah membantu penulis selama pelaksanaan

penelitian. Terima kasih juga kepada rekan penelitian (Ilham Jaya) yang setia

menemani sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar. Terima kasih

kepada kakak-kakak dan rekan-rekan seperjuangan di Magister Kesehatan

Masyarakat/Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Angkatan 2015 untuk

kebersamaanya dan telah menjadi teman yang baik selama proses

perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini. Para responden yang telah

meluangkan waktunya selama proses penelitian sehingga tesis ini bisa

terselesaikan. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril

maupun materil hingga tesis ini dapat diselesaikan, semoga Allah SWT

senantiasa memberikan imbalan pahala yang berlipat ganda.


viii

Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu besar harapan penulis kepada pembaca atas kontribusinya baik

berupa saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tesis

ini. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya

kepada kita semua dan apa yang disajikan dalam tesis ini dapat bermanfaat

bagi kita semua. Amin yaa Rabbal Alamin

Makassar, Agustus 2017

Penulis

Munawar
ix
x
xi

DAFTAR ISI

Halaman
PRAKATA iv
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 9
C. Tujuan Penelitian 13
D. Manfaat Penelitian 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16

A. Pelayanan Kesehatan 16
B. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan 22
C. Variabel Penelitian 27
D. Sintesa Penelitian 52
E. Kerangka Teori 57
F. Kerangka Konsep 59
G. Hipotesis Penelitian 60
H. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 62

BAB III METODE PENELITIAN 66

A. Jenis Penelitian 66
B. Waktu dan Lokasi Penelitian 66
C. Populasi dan Sampel 66
D. Cara Pengumpulan Data 68
xii

E. Cara Pengolahan dan Penyajian Data 69


F. Analisis Data 70

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 72


A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 72
B. Hasil Penelitian 75
C. Pembahasan 88
D. Keterbatasan Penelitian 101
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 103
A. Kesimpulan 103
B. Saran 105
DAFTAR PUSTAKA 108
LAMPIRAN
xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman


1 Distribusi Rumah Tangga Menurut Lapangan Usaha di 6
Wilayah Kerja Puskesmas Barrang Lompo
Kecamatan Sangkarrang Tahun 2016
2 Sintesa Penelitian 52
3 Definisi operasional dan kriteria objektif 62
4 Luas wilayah, jumlah RW/RT menurut Kelurahan
Barrang Lompo dan Kelurahan Barrang Caddi 72
KecamatanSangkarrang
5 Jumlah penduduk berdasarkan tempat di Puskesmas
Barrang Lompo Kecamatan Sangkarrang tahun 73
2016
6 Distribusi kepadatan penduduk di Kelurahan Barrang
Lompo dan Kelurahan Barrang Caddi 74
Kecamatan Sangkarrang tahun 2016
7 Distribusi kepadatan penduduk menurut pendidikan di
wilayah kerja Puskesmas Barrang Lompo 74
Kecamatan Sangkarrang tahun 2016
8 Distribusi rumah tangga menurut lapangan usaha di
wilayah kerja Puskesmas Barrang Lompo 75
Kecamatan Sangkarrang tahun 2016
9 Distribusi responden berdasarkan karakteristik di
Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar 78
tahun 2017
10 Distribusi responden berdasarkan variabel penelitian di
Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar 82
Tahun 2017
11 Distribusi variabel independen terhadap pemanfaatan
pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang 83
Lompo Kota Makassar tahun 2017
12 Hasil Analisis multivariat faktor yang berhubungan
dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di
87
Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar
Tahun 2017
xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman


1 Kurva ATP dan WTP 42
2 Kerangka Teori 59
3 Kerangka Konsep 58
xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Informed Consent


Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Output penelitian
Lampiran 4 Dokumentasi penelitian
Lampiran 5 Persuratan
Lampiran 6 Riwayat Hidup
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan

manusia serta menjadi hak asasi bagi setiap orang. Seperti yang tercantum

dalam Undang-Undang RI No.36 tahun 2009 tentang kesehatan menyatakan

bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 (Undang-Undang Kesehatan RI, 2009).

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, banyak hal yang

perlu diperhatikan. Salah satunya menyelenggarakan pelayanan kesehatan

yaitu setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama

dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan

perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat, serta didirikannya sarana

pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.

Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran,

kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat

terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes RI,

2006). Namun, adanya krisis ekonomi pada tahun 1997, turut menyebabkan
2

menurunnya kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan. Krisis

ekonomi telah meningkatkan jumlah masyarakat miskin, dari 11,3% atau 22,4

juta penduduk pada tahun 1996, menjadi 24,2% atau 49,5 juta penduduk

pada tahun 1998 (Depkes RI, 2003). Sementara, hasil Susenas 2001

menunjukkan bahwa kesakitan dan kematian lebih banyak terjadi pada

kelompok miskin, yang salah satu penyebabnya adalah kesulitan terhadap

akses pelayanan kesehatan (Thabrany, 2009).

Sebagai upaya menanggulangi dampak krisis, tahun 1999 pemerintah

mengeluarkan Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan

berdasarkan undang-udang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS). BPJS kesehatan pada 1 Januari

2014 mulai menyelenggarakan jaminan kesehatan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia yang mampu maupun tidak mampu. Sistem Jaminan Sosial

Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar

hidup yang layak bagi setiap peserta atau anggota keluarganya. Prinsip

penyelenggaraan BPJS adalah kegotong-royongan, kepesertaan yang

bersifat wajib, iuran berdasarkan persentase upah penghasilan, pengelolaan

bersifat nirlaba dan dan amanah. Namun begitu, penurunan pemanfaatan

fasilitas pelayanan kesehatan akibat krisis belum sepenuhnya pulih.

Meskipun peluncuran program Askeskin telah meningkatkan akses

pemanfaatan layanan rawat jalan masyarakat miskin pada fasilitas kesehatan

publik pada tahun 2006 dibandingkan tahun 2005. Sementara itu, dari hasil
3

kajian Gani dkk di Batam, dengan diterapkannya pelayanan kesehatan gratis

meningkatkan pemanfaatan Puskesmas tiga kali lipat untuk masyarakat

umum, dan hanya 1,3 kali untuk keluarga miskin. Sementara pemanfaatan

dengan kartu asuransi justru menurun (0,8 kali) (Gani and Nadjib, 2008). Hal

ini menunjukkan bahwa, meskipun secara umum efektif meningkatkan

pemanfaatan Puskesmas, namun dirasa belum adil (inequity and unfairness).

Karena yang banyak menikmati subsidi bukanlah masyarakat miskin, justru

masyarakat mampu dan perusahaan asuransi. Sementara itu, akibat

peningkatan utilisasi tersebut, maka beban kerja staf Puskesmas naik 2

sampai 3 kali untuk pelayanan kuratif, berkurangnya waktu untuk kegiatan

kesehatan masyarakat ke luar gedung, sedangkan pendapatan mereka justru

menurun.

Faktor-faktor yang mengidentifikasi dan berpotensi mempengaruhi

seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan menurut Green dalam

Notoatmodjo adalah faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap,

kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi, faktor enabling/pendukung

yaitu ketersediaan fasilitas kesehatan/sarana kesehatan, keterjangkauan

biaya, jarak dan fasilitas transportasi dan faktor reinforcing/penguat yang

terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau merupakan

dukungan dari pemimpin, tokoh masyarakat, keluarga dan orang tua

(Karamelka, 2015).
4

Menurut Andersen (1995), mengembangkan suatu model tentang

pemanfaatan pelayanan kesehatan dimana pelayanan kesehatan tersebut

dipengaruhi oleh faktor predisposisi (jenis kelamin, umur, status perkawinan,

pendidikan, pekerjaan, ras, agama dan kepercayaan kesehatan), karakteristik

kemampuan (penghasilan, asuransi, kemampuan membeli jasa pelayanan

kesehatan, pengetahuan tentang kebutuhan pelayanan kesehatan, adanya

sarana pelayanan kesehatan serta lokasinya dan ketersediaan tenaga

kesehatan), dan karakteristik kebutuhan (penilaian individu dan penilaian

klinik terhadap suatu penyakit) (Karamelka, 2015).

Setiap faktor tersebut kemungkinan berpengaruh sehingga dapat untuk

memprediksi pemanfaatan pelayanan kesehatan. Salah satu faktor

determinan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan juga dituangkan ke

dalam kategori karakteristik kemampuan seseorang untuk melakukan

tindakan memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan kesehatan yaitu

sumber daya masyarakat, termasuk kemampuan dan kemauan membayar

pasien. Kemauan membayar suatu keluarga atau masyarakat terhadap

pelayanan kesehatan dapat ditelusuri dari pendapatan atau pengeluaran

keluarga (Hidayat, 2010). Hal ini sangat penting khususnya bagi pasien

umum dan kelompok pembayar mandiri BPJS Kesehatan sebab mereka

umumnya berasal dari kelompok pekerja bukan penerima upah/pekerja

informal yang dikhawatirkan berisiko terhadap dampak yang muncul akibat


5

sistem pembayaran premi yang ditawarkan oleh BPJS untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan disaat mereka sakit.

Berkaitan dengan pembiayaan, dalam penelitian Wahyuni (2012)

menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kepemilikan

jaminan/asuransi kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di

Puskesmas. Rumah tangga yang memiliki jaminan/asuransi kesehatan

mempunyai peluang 2,018 kali (95% CI: 1,32-3,08) untuk memanfaatkan

pelayanan kesehatan Puskesmas. Menurut Aday (1981), adanya jaminan

pembayar biaya pelayanan kesehatan, termasuk jaminan asuransi

kesehatan, merupakan salah satu sebab meningkatnya akses atau

pemanfaatan pelayanan.

Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah

yang menerapkan kebijakan program pelayanan kesehatan gratis bagi

penduduknya. Salah satu pelayanan kesehatan tingkat pertama yaitu

Puskesmas Barrang Lompo menunjukkan sebagain besar pasiennya

merupakan peserta Jaminan Kesehatan Nasional. Sedangkan pekerjaan

rata-rata penduduknya adalah pekerja informal dengan memiliki lapangan

usaha sendiri seperti pada tabel berikut :


6

Tabel 1. Distribusi rumah tangga menurut lapangan usaha di wilayah kerja


Puskesmas Barrang Lompo Kecamatan Sangkarrang tahun 2016

Kelurahan Perikanan Industri Konstruksi


Barrang Lompo 376 15 7
Barrang Caddi 298 31 9
Sumber : Data Primer BPS 2016

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa jenis lapangan usaha terbanyak

yang dijalani oleh rumah tangga adalah jenis perikanan (nelayan, produksi

hasil laut) (BPS, 2012).

Pelayanan kesehatan Puskesmas Barrang Lompo secara umum telah

digratiskan (disubsidi) melalui program Jaminan Kesehatan Nasional, maka

terjadi peningkatan kunjungan rawat jalan ke Puskesmas tersebut. Dilihat dari

jumlah kunjungan pasien di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar

tahun 2016 sebanyak 18.943 pasien, ternyata masih terdapat pasien yang

belum menggunakan JKN yaitu 3.258 pasien (17%) (Profil Puskesmas

Baranglompo, 2016). Sedangkan peta jalan (Road Map) JKN 2012-2019

yang disusun oleh Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa tahun 2019

seluruh warga negara Indonesia akan mendapat jaminan kesehatan

(AUSAID GTZ, 2012). Masih terdapatnya pemanfaatan pelayanan dasar

tingkat Puskesmas yang tidak disubsidi dapat turut menghambat upaya

peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Tingkat pendidikan memiliki relevansi terhadap pengetahuan

seseorang, sehingga hal tersebut berkontribusi pada persepsi masyarakat


7

terhadap pentingnya kesehatan. Masyarakat yang berpendidikan tinggi

cenderung menganggap kesehatan sebagai suatu hal yang penting,

sehingga kecenderungan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan lebih

besar dibandingkan masyarakat yang berpendidikan rendah.

Penduduk yang telah mengetahui pentingnya pemanfaatan Puskesmas

bagi dirinya dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang baik dari petugas

kesehatan dalam hal memberikan informasi atau penyuluhan kesehatan

kepada masyarakat. Semakin tinggi pengetahuan seseorang memungkinkan

orang tersebut untuk mengaplikasikan pengetahuannya dan informasi yang

didapatkan kepada orang lain.

Pekerjaan seseorang juga mempengaruhi pola konsumsinya. Pemasar

berusaha mengidentifikasi kelompok profesi yang memiliki minat di atas rata-

rata atas produk dan jasa mereka (Sari, 2010). Besar kecilnya tingkat

pendapatan pada umumnya sangat terkait dengan jenis pekerjaan dan ada

kalanya berkaitan dengan tingkat pendidikan. Selain rendahnya tingkat

pendidikan dan pengetahuan, kendala lain yang dihadapi dalam pemenfaatan

Puskesmas adalah kurang lancarnya akses dan kepedulian mereka terhadap

pelayanan kesehatan.

Pengertian akses yaitu kemudahan menjangkau secara fisik bukan

cuma meter, tapi adanya jalan dan angkutan ke sana. Namun akses juga

dalam pengertian kemudahan untuk memperoleh pelayanan tersebut. Jarak

adalah tempat masyarakat dengan Puskesmas yang diukur dengan indikator


8

waktu. Keterjangkauan pelayanan kesehatan mencakup jarak, waktu dan

biaya. Tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis atau sulit dicapai

oleh pasien menyebabkan berkurangnya akses terhadap pelayanan

kesehatan. Walaupun ketersediaan pelayanan kesehatan sudah memadai,

namun penggunaannya tergantung dari aksesibilitas masyarakat terhadap

informasi. Penduduk yang tinggal ditempat yang terpencil umumnya desa-

desa yang masih terisolisir dan transportasi yang sulit terjangkau, sehingga

untuk menempuh perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan akan

memerlukan waktu yang lama (Meilani,dkk, 2009).

Menurut teori Health Service Use dari Andersen (1975) menyatakan

bahwa perilaku masyarakat dalam memanfaatkan layanan kesehatan

ditentukan oleh tingkat atau derajat penyakit yang dialami serta adanya

kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan (perceived need). Adanya tingkat

atau derajat penyakit yang semakin dirasakan berat, maka individu tersebut

akan semakin membutuhkan kesembuhan dengan demikian akan semakin

perlu adanya pelayanan kesehatan, demikian juga dengan kebutuhan

layanan kesehatan, jika semakin tinggi kebutuhan akan suatu layanan maka

akan semakin tinggi pula keinginan untuk memanfaatkan pelayanan

kesehatan tersebut (Manurung, 2008).

Persepsi masyarakat tentang kesehatan masih belum sesuai dengan

konsep yang sebenarnya. Persepsi sehat diperlihatkan oleh individu yang

merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul
9

sehat. Sedangkan, masyarakat mengganggap dirinya sakit pada saat mereka

sudah tidak mampu lagi untuk melakukan aktivitas dan terbaring lemah. Pada

saat masyarakat tidak dapat lagi melakukan aktivitas yang menggangga

dirinya sakit disaat itulah masyarakat baru memanfaatkan Puskesmas

Barrang Lompo Makassar.

Permasalahan klasik yang sering timbul di puskesmas adalah berupa

ketersediaan tenaga kesehatan yang kurang serta kelengkapan obat yang

belum memadai, ditambahkan pula dengan sikap dan perilaku petugas

kesehatan terhadap pasien. Terkadang hubungan antara petugas kesehatan

dengan pasien belum tercipta secara baik menimbulkan rendahnya tingkat

kepercayaan terhadap layanan yang diberikan. Hal tersebut banyak

mempengaruhi minat masyarakat khususnya peserta BPJS kesehatan untuk

memperoleh pelayanan kesehatan di Puskesmas (Alamsyah, 2011).

Uraian diatas menggambarkan bahwa pentingnya JKN bagi masyarakat

dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sehingga ditinjau perlu

melakukan penelitian tentang determinan terhadap pemanfaatan pelayanan

Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar.

B. Rumusan Masalah

Program subsidi pelayanan kesehatan gratis tingkat Puskesmas

Barrang Lompo Kota Makassar belum dimanfaatkan oleh masyarakat secara


10

optimal. Meskipun telah digratiskan, jumlah kunjungan pasien di Puskesmas

Barrang Lompo Kota Makassar tahun 2016 sebanyak 18.943 pasien, ternyata

masih terdapat pasien yang belum menggunakan JKN yaitu 3.258 pasien

(17%). Sedangkan peta jalan (Road Map) JKN 2012-2019 yang disusun oleh

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa tahun 2019 seluruh warga negara

Indonesia akan mendapat jaminan kesehatan (AUSAID, 2012). Masih

terdapatnya pemanfaatan pelayanan dasar tingkat Puskesmas yang tidak

disubsidi dapat turut menghambat upaya peningkatan derajat kesehatan

masyarakat.

Menurut Andersen (1995), mengembangkan suatu model tentang

pemanfaatan pelayanan kesehatan dimana pelayanan kesehatan tersebut

dipengaruhi oleh faktor predisposisi (jenis kelamin, umur, status perkawinan,

pendidikan, pekerjaan, ras, agama dan kepercayaan kesehatan), karakteristik

kemampuan (penghasilan, asuransi, kemampuan membeli jasa pelayanan

kesehatan, pengetahuan tentang kebutuhan pelayanan kesehatan, adanya

saranan pelayanan kesehatan serta lokasinya dan ketersediaan tenaga

kesehatan), dan karakteristik kebutuhan (penilaian individu dan penilaian

klinik terhadap suatu penyakit) (Karamelka, 2015).

Setiap faktor tersebut kemungkinan berpengaruh sehingga dapat untuk

memprediksi pemanfaatan pelayanan kesehatan. Salah satu faktor

determinan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan juga dituangkan ke

dalam kategori karakteristik kemampuan seseorang untuk melakukan


11

tindakan memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan kesehatan yaitu

sumber daya masyarakat, termasuk kemampuan dan kemauan membayar

pasien. Kemauan membayar suatu keluarga atau masyarakat terhadap

pelayanan kesehatan dapat ditelusuri dari pendapatan atau pengeluaran

keluarga (Hidayat, 2010). Hal ini sangat penting khususnya bagi pasien

umum dan kelompok pembayar mandiri BPJS Kesehatan sebab mereka

umumnya berasal dari kelompok pekerja bukan penerima upah/ pekerja

informal yang dikhawatirkan berisiko terhadap dampak yang muncul akibat

sistem pembayaran premi yang ditawarkan oleh BPJS untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan di saat mereka sakit.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas

maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar?

2. Apakah ada hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar?

3. Apakah ada hubungan antara pekerjaan dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar?

4. Apakah ada hubungan antara waktu tempuh dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar?


12

5. Apakah ada hubungan antara pengeluaran rumah tangga dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota

Makassar?

6. Apakah ada hubungan antara kemampuan membayar dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota

Makassar?

7. Apakah ada hubungan antara kemauan membayar dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar?

8. Apakah ada hubungan antara kepemilikan jaminan/asuransi kesehatan

dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang

Lompo Kota Makassar?

9. Apakah ada hubungan antara kesesuaian jam buka puskesmas dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota

Makassar?

10. Apakah ada hubungan antara keberadaan dokter dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar?

11. Apakah ada hubungan antara persepsi kualitas pelayanan puskesmas

dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang

Lompo Kota Makassar?

12. Apakah ada hubungan antara keluhan sakit dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar?


13

13. Faktor apa yang paling signifikan dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar Tahun

2017.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

a. Untuk menganalisis hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar.

b. Untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar.

c. Untuk menganalisis hubungan antara pekerjaan pemanfaatan pelayanan

kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar.

d. Untuk menganalisis hubungan antara waktu tempuh dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota

Makassar.

e. Untuk menganalisis hubungan antara pengeluaran rumah tangga dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota

Makassar.
14

f. Untuk menganalisis hubungan antara kemampuan membayar dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota

Makassar.

g. Untuk menganalisis hubungan antara kemauan membayar dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota

Makassar.

h. Untuk menganalisis hubungan antara kepemilikan jaminan/asuransi

kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas

Barrang Lompo Kota Makassar.

i. Untuk menganalisis hubungan antara kesesuaian jam buka puskesmas

dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang

Lompo Kota Makassar.

j. Untuk menganalisis hubungan antara keberadaan dokter dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota

Makassar.

k. Untuk menganalisis hubungan antara persepsi kualitas pelayanan

puskesmas dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas

Barrang Lompo Kota Makassar.

l. Untuk menganalisis hubungan antara keluhan sakit dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar.

m. Untuk menganalisis faktor yang paling signifikan terhadap pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar.


15

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Sebagai bahan masukan dan sumbangan ilmiah dan sebagai informasi

tambahan bagi peneliti-peneliti selanjutnya.

2. Manfaat institusi

Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan referensi penelitian

selanjutnya khususnya mengenai dampak yang dapat dirasakan oleh pasien

yang memanfaatkan pelayanan kesehatan Kota Makassar dalam skema

Sistem Jaminan Sosial Nasional.

a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah kota dan BPJS Kesehatan

sendiri mengenai kepesertaan peserta JKN serta pelayanan yang

maksimal kepada mereka khususnya pada kondisi ekonomi yang tidak

tetap.

b. Untuk pengembangan ilmu dalam bidang Universal Health Coverage

agar terdapat perbaikan sehingga tujuan mulia JKN dapat tercapai.

3. Manfaat Peneliti

Manfaat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat menjadi

salah satu pengalaman dan dasar pertimbangan dalam mengembangkan

penelitian selanjutnya di kemudian hari.


16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelayanan Kesehatan

1. Batasan Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan (health services) adalah setiap upaya yang

diselenggarakan, baik sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu

organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan

menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan,

keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat menurut Levey & Loomba,

1973 (Su'udi, 2010). Menurut Blum pelayanan kesehatan merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan seseorang, selain faktor

perilaku, lingkungan dan keturunan (Su'udi, 2010).

Menurit Azwar (1996), pelayanan kesehatan sebagai produk jasa

memiliki keunikan dengan cirri utama (1) adanya sifat ketidakpastian

(uncertainty) terkait waktu, tempat urgensi dan biaya, (2) adanya

ketidakseimbangan informasi (asymetry of information) antara provider

dengan pengguna jasa, dan (3) adanya manfaat atau risiko kerugian bagi

orang lain (externality). Adapun syarat pokok suatu pelayanan kesehatan

dapat dikatakan baik menurut Azwar, haruslah (1) tersedia dan

berkesinambungan (available and continuous), (2) dapat diterima dan wajar


17

(acceptable dan appropriate), (3) mudah dicapai (accessible), (4) mudah

dijangkau (affordable) dan (5) bermutu (quality) (Ilyas, 2006).

Secara umum ada tiga jenjang pelayanan kesehatan, UU Kesehatan

No.36/2009 pasal 30 ayat 2)

a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health services). Yaitu

pelayanan kesehatan dasar yang bersifat pokok (basic health services).

Umumnya, bersifat pelayanan rawat jalan (ambulatory/out patient

services).

b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary health services). Yaitu

pelayanan kesehatan yang lebih lanjut. Sifatnya rawat inap (in patient

services) dan untuk menyelenggarakannya dibutuhkan tenaga spesialis.

c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health services). Sifatnya

lebih kompleks dan untuk menyelenggarakannya dibutuhkan tenaga

subspesialis.

2. Pelayanan Kesehatan Dasar

Dalam konsep primary health care (PHC) dari Alma-Ata International

Conference tahun 1978 dan WHO, pelayanan kesehatan primer diposisikan

sebagai kontak pertama bagi pasien dan mensyaratkan pentingnya peran

serta masyarakat. Definisi menurut Alma-Ata; “Primary health care is

essential health care based on practical, scientifically sound and socially

acceptable methods and technology made universally accessible to


18

individuals and families in the community through their full participation and at

cost that the spirit of selfreliance and self-determination” (Goel, 2001).

Pelayanan kesehatan dasar atau pelayanan kesehatan primer

merupakan upaya penting dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health

care) adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic health

services), umumnya bersifat pelayanan rawat jalan. Pelayanan kesehatan

dasar yang cepat dan tepat diharapkan mampu mengatasi sebagian besar

masalah kesehatan masyarakat.

3. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

Dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, Puskesmas

merupakan ujung tombak terdepan. Memberikan pelayanan kesehatan dasar

adalah salah satu fungsi Puskesmas. Sebagai perpanjangan jangkauan

pelayanan terhadap masyarakat, Puskesmas didukung oleh sarana

Puskesmas Pembantu (Pustu), Puskesmas Keliling dan Poskesdes/Polindes.

Jumlah Puskesmas di Indonesia sampai dengan Desember 2015 sebanyak

9.754 unit, yang terdiri dari 3.396 unit Puskesmas rawat inap dan 6.358 unit

Puskesmas non rawat inap. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2014

yaitu sebanyak 9.731 unit, dengan jumlah Puskesmas rawat inap sebanyak

3.378 unit dan Puskesmas non rawat inap sebanyak 6.353 unit (Depkes RI,

2015).
19

4. Batasan, Visi dan Misi Puskesmas

Pengertian Puskesmas berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas menyebutkan bahwa Puskesmas

adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya

kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama,

dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.

Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya,

visi Puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya

Indonesia Sehat. Indikator utama kecamatan yang sehat yaitu (1) lingkungan

sehat, (2) perilaku sehat, (3) cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu,

dan (4) derajat kesehatan penduduk kecamatan. Sedangkan misi Puskesmas

adalah (1) menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan, (2)

mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat, (3)

memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan

pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, dan (4) memelihara dan

meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat serta

lingkungannya (Kemenkes RI, 2004).

5. Fungsi, Kedudukan dan Tata Kerja Puskesmas

Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yaitu sebagai (1) pusat

penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, (2) pusat pemberdayaan

masyarakat di bidang kesehatan, dan (3) pusat pelayanan kesehatan tingkat


20

dasar (Depkes RI, 2015). Fungsi pelayanan kesehatan tersebut dapat

dikelompokkan dalam upaya kesehatan perorangan (UKP) strata pertama

yang bersifat private goods seperti penyembuhan dan pemeliharaan

kesehatan perorangan, dan upaya kesehatan masyarakat (UKM) yang

bersifat public goods seperti promosi kesehatan dan penyehatan lingkungan

(Kemenkes RI, 2004).

Kedudukan Puskesmas sistem kesehatan nasional merupakan fasilitas

pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health services). Sebagai

ujung tombak pelayanan kesehatan dasar, Puskesmas mempunyai nilai

strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dalam sistem

pemerintahan daerah, Puskesmas merupakan organisasi struktural dan

berkedudukan sebagai unit pelaksana teknis dinas (UPTD) yang

bertanggungjawab terhadap kepala Dinas Kesehatan kabupaten/Kota.

Sedangkan dalam sistem kesehatan kabupaten/kota, Puskesmas memiliki

dua bidang upaya/ pelayanan kesehatan. Yaitu upaya pelayanan kesehatan

masyarakat (UKM) dan upaya pelayanan medis yang bersifat perorangan

(UKP) (Kemenkes RI, 2004).

6. Program Puskesmas

Azwar menyebutkan ada 17 kegiatan pokok Puskesmas. Sedangkan

dalam Depkes tahun 1990 disebutkan ada 18 kegiatan pokok Puskesmas.

Kegiatan pokok tersebut meliputi (1) pelayanan rawat jalan, (2) kesejahteraan

ibu dan anak, (3) keluarga berencana, (4) kesehatan gigi dan mulut, (5)
21

kesehatan gizi, (6) kesehatan sekolah, (7) kesehatan lingkungan, (8)

kesehatan jiwa, (9) pendidikan kesehatan, (10) perawatan kesehatan

masyarakat, (11) pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, (12)

kesehatan olahraga, (13) kesehatan lanjut usia, (14) kesehatan mata, (15)

kesehatan kerja, (16) pencatatan dan pelaporan, (17) laboratorium

sederhana, dan (18) pembinaan pengobatan tradisional (Azwar, 1996 dalam

Su'udi, 2010).

Pada era reformasi dan desentralisasi, upaya kesehatan Puskesmas

dikelompokkan menjadi upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan

pengembangan. Ada enam upaya kesehatan wajib, yaitu (1) promosi

kesehatan, (2) kesehatan lingkungan, (3) kesehatan ibu dan anak, (4)

perbaikan gizi masyarakat, (5) pencegahan dan pemberantasan penyakit,

dan (6) pengobatan dasar (Depkes RI, 2004).

Adapun upaya kesehatan pengembangan ditetapkan berdasarkan

permasalahan kesehatan yang ada di daerah setempat dan disesuaikan

dengan kemampuan Puskesmas. Beberapa pilihan upaya kesehatan

pengembangan adalah (1) kesehatan sekolah, (2) kesehatan olah raga, (3)

perawatan kesehatan masyarakat, (4) kesehatan kerja, (5) kesehatan gigi

dan mulut, (6) kesehatan jiwa, (7) kesehatan mata, (8) kesehatan usia lanjut,

(9) pembinaan pengobatan tradisional (Trihono, 2005 ).


22

7. Target Pemanfaatan Pelayanan Puskesmas

Target cakupan pelayanan kesehatan dasar ke Puskesmas menurut

Kepmenkes RI No. 1457 tahun 2003, tentang Pedoman Standar Pelayanan

Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, secara umum adalah

15% dari jumlah penduduk per bulan. Begitu pula cakupan pelayanan

kesehatan dasar bagi masyarakat miskin. Dengan adanya subsidi pemerintah

melalui program Askeskin/Jamkesmas, diharapkan utilisasi pelayanan

kesehatan dasar meningkat pula, sebagaimana masyarakat secara umum.

Karena itu, diantara indicator keberhasilan program Jamkesmas secara

nasional adalah angka utilisasi Puskesmas rata-rata 15% per bulan (Depkes

RI, 2009). Adapun dalam SPM Bidang Kesehatan Tingkat Kabupaten tahun

2008 yang ditetapkan dalam Kepmenkes RI No. 741 Tahun 2008, hanya

disebutkan target cakupan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin

adalah 100% setahun, atau sekitar 8,3% per bulan (Depkes RI, 2008).

B. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian

pelayanan oleh individu maupun kelompok tertentu. Feldstein 1988

mengetahui faktor-faktor yang mendorong individu untuk mau memanfaatkan

jasa pelayanan kesehatan merupakan informasi kunci untuk merancang


23

program pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan mampu dibeli oleh

konsumen di masa yang akan datang (Su'udi, 2010).)

Bila pemanfaatan pelayanan kesehatan dianggap sebagai suatu

permintaan (demand) dari masyarakat, maka teori ekonomi secara umum

tentang besarnya permintaan (demand), dipengaruhi oleh ; (1) harga

pelayanan tersebut, (2) harga barang lain yang terkait (pelayanan sepadan di

fasilitas lain), (3) tingkat pendapatan per kapita, (4) selera, (5) jumlah

penduduk, (6) distribusi pendapatan dan (7) upaya pemasaran, yang dapat

dikaitkan dengan kualitas pelayanan (Samuelson and Nordhaus, 2003 dalam

Su'udi, 2010).

Namun, karena adanya spesifikasi dalam kebutuhan akan pelayanan

kesehatan, maka perlu dikaji kesesuaiannya dengan teori yang lebih tepat.

Beberapa teori terkait pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat dikaji dari :

1. Teori Demand Menurut Grossman, Mills dan Feldstein

Menurut Grossman (1972) seperti dikutip dalam Su'udi, 2010, bahwa

faktor yang mempengaruhi Demand terhadap pelayanan kesehatan atau

rumah sakit adalah : kejadian penyakit, karakteristik kultural demografi, dan

faktor ekonomi. Menurut Mills, demand terhadap pelayanan kesehatan dapat

diartikan sebagai bertemunya kemampuan dan kemauan (ATP vs WTP)

dalam diri seseorang. Demand dan pemanfaatan layanan kesehatan di

Negara berkembang dapat dikaitkan dengan :

a. Faktor demografi, seperti umur, pendidikan, seks dan status kesehatan,


24

b. Faktor ekonomi seperti pendapatan, tarif atau harga pelayanan, cara

pembayaran, dan biaya transportasi

c. Faktor non ekonomi seperi waktu dan kemudahan akses mencapai

pelayanan, dan kualitas pelayanan kesehatan.

Feldstein, mengemukakan bahwa faktor yang berhubungan dengan

demand penderita terhadap pelayanan medis sangat berkaitan dengan faktor

yang ada pada pasien dan provider kesehatan itu sendiri, antara lain :

a. Insiden penyakit atau kebutuhan pelayanan dari pasien

b. Faktor sosiodemografi: umur, seks, status perkawinan, jumlah anggota

keluarga dan pendidikan.

c. Faktor ekonomi : pendapatan, harga layanan, nilai waktu yang

dipergunakan untuk mencari pengobatan

d. Faktor pada provider : karakteristik provider (perilaku petugas dan jenis

keahlian dokter), termasuk economic interest dari petugas menciptakan

kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan layanan tertentu. Gani

tahun 1981 menyatakan bahwa permintaan pelayanan kesehatan

(Demand) merupakan fungsi dari adanya kebutuhan karena adanya

keluhan sakit (Need), pendidikan (Education), pekerjaan (Occupation),

Preferensi (Preference), Pendapatan (Income), harga pelayanan

kesehatan (Price), ketersediaan asuransi (Insurance), jarak ke

pelayanan kesehatan (Distance). Sehingga dapat digambarkan dengan

rumus : D = f (Nd, Ed, Oc, Pf, In, Pr, Is, Dt), (Su'udi, 2010).
25

2. Model Pemanfaatan Pelayanan Zschock

Menurut Zschock (1979) dalam Su'udi, 2010, faktor yang mempengaruhi

seseorang menggunakan pelayanan kesehatan, yaitu :

a. Status kesehatan, pendapatan dan pendidikan. Semakin tinggi status

kesehatan seseorang, maka ada kecenderungan orang tersebut banyak

menggunakan layanan kesehatan. Bila pendapatan seseorang rendah,

maka akan sulit baginya untuk memperoleh pelayanan kesehatan,

meskipun membutuhkan (unmet need). Tingkat pendidikan seseorang

juga mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan seseorang.

b. Faktor konsumen dan penyedia pelayanan kesehatan. Penyedia

pelayanan kesehatan (provider mempunyai peranan besar dalam

menentukan tingkat dan jenis layanan kesehatan bagi konsumen.

Adanya consumer ignorance sering menyebabkan terjadinya over

utilization pelayanan kesehatan.

c. Kemampuan dan penerimaan pelayanan kesehatan. Kemampuan

membayar pelayanan kesehatan erat hubungannya dengan tingkat

penerimaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.

d. Risiko sakit dan lingkungan. Faktor lingkungan sangat mempengaruhi

status kesehatan individu dan masyarakat. Lingkungan yang sehat

memberikan risiko sakit yang rendah.


26

3. Model Perilaku (Behavioral Model) menurut Anderson

Anderson (1975) dan Thabrany dalam Karamelka, 2015,

mengemukakan pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagai model perilaku

(behavioral model of health services utilization). Determinan pemanfaatan

pelayanan kesehatan tersebut meliputi pada tiga faktor, yaitu :

a. Karakteristik predisposisi (Predisposing Characteristics); setiap individu

memiliki kecenderungan yang berbeda untuk memanfaatkan pelayanan

kesehatan, tergantung pada perbedaan karakteristiknya, seperti

demografi (umur, seks, status perkawinan), struktur sosial (pendidikan,

pekerjaan, ras, hobi, agama), dan kepercayaan terhadap pelayanan

kesehatan (health belief)

b. Karakteristik kemampuan (Enabling Characteristics); yaitu kondisi yang

membuat seseorang mampu melakukan tindakan. Terdiri dari sumber

daya keluarga (penghasilan, kepemilikan asuransi kesehatan, daya beli

dan pengetahuan tentang layanan kesehatan), dan sumberdaya

masyarakat (ketersediaan sarana pelayanan, jumlah tenaga kesehatan,

rasio penduduk )

c. Karakteristik kebutuhan (Need Characteristics); yaitu kondisi yang

langsung berhubungan dengan permintaan layanan kesehatan

(persepsi sakit, diagnose penyakit, kecacatan, status kesehatan).

Kemudian Andersen mereview model pemanfaatan pelayanan

kesehatan pada era 1960-an yang berfokus pada keluarga sebagai unit
27

analisis tersebut, dengan menambahkan komponen sistem pelayanan

kesehatan (health care system), pengaruh lingkungan (external environment)

dan outcome dari pelayanan kesehatan terhadap kepuasan pelanggan

(costumer satisfaction).

4. Teori Akses Pelayanan Aday, Andersen, dan Flemming

Dalam studi Aday, Andersen dan Flemming, teori akses pelayanan

kesehatan dikaitkan dengan dua faktor. Yaitu karakteristik pelayanan

kesehatan (provider) dan karakteristik penduduk (user).:

a. Karakteristik pelayanan kesehatan (provider). Yaitu ketersediaan dan

distribusi fasilitas pelayanan kesehatan. Bisa dikategorikan pada sisi

supply.

b. Karakteristik penduduk berisiko (user). yaitu umur, status kesehatan,

tingkat pendapatan dan kepesertaan asuransi. Dikategorikan dalam sisi

demand (Aday, Andersen and Fleming, 1980 dalam Su'udi, 2010).

C. Variabel Penelitian

1. Pendidikan

Menurut Anderson (1975), bahwa pendidikan termasuk variabel dalam

model struktur sosial. Tingkat pendidikan yang berbeda memiliki

kecenderungan yang berbeda pula dalam pengertian dan reaksi terhadap

masalah kesehatan mereka. Sehingga, diduga pendidikan berpengaruh juga


28

dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan gratis di tingkat Puskesmas.

Feldstein (1979), mengemukakan bahwa pendidikan termasuk faktor yang

berpengaruh terhadap permintaan pelayanan kesehatan (Karamelka, 2015).

Tingkat pendidikan memiliki relevansi terhadap pengetahuan

seseorang, sehingga hal tersebut berkontribusi pada persepsi masyarakat

terhadap pentingnya kesehatan. Masyarakat yang berpendidikan tinggi

cenderung menganggap kesehatan sebagai suatu hal yang penting,

sehingga kecenderungan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan lebih

besar dibandingkan masyarakat yang berpendidikan rendah.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Napirah dkk

(2016) yang menunjukkan terdapat hubungan tingkat pendidikan dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Tambarana

Kecamatan Poso Pesisir Utara Kabupaten Poso.

2. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil „tahu‟ yang terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap sesuatu. Pengetahuan (kognitif)

merupakan domain sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang

(Notoatmodjo, 2007 : p.143-144). 


Pengetahuan diperoleh dari pengalaman, baik pengalaman sendiri

maupun pengalaman orang lain. Hasil penelitian Sebayang (2006)


29

menunjukkan bahwa pengetahuan program JPKMM berhubungan dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Penduduk yang telah mengetahui pentingnya pemanfaatan Puskesmas

bagi dirinya dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang baik dari petugas

kesehatan dalam hal memberikan informasi atau penyuluhan kesehatan

kepada masyarakat. Semakin tinggi pengetahuan seseorang memungkinkan

orang tersebut untuk mengaplikasikan pengetahuannya dan informasi yang

didapatkan kepada orang lain.

3. Pekerjaan

Dalam Feldstein merujuk pada pendapat Grossman dikatakan bahwa

konsumen memiliki demand terhadap pelayanan kesehatan dikarenakan dua

alasan, yaitu (1) sebagai barang konsumsi untuk merasa lebih baik/lebih

sehat, dan (2) sebagai barang investasi, bahwa status kesehatan

mempengaruhi produktivitas. Mengurangi lama sakit akan meningkatkan

kesempatan untuk dapat bekerja dan aktifitas lainnya yang bersifat produktif

(Feldstein, 1993 dalam Su'udi, 2010).

Pekerjaan seseorang juga mempengaruhi pola konsumsinya. Pemasar

berusaha mengidentifikasi kelompok profesi yang memiliki minat di atas rata-

rata atas produk dan jasa mereka (Sari, 2010). Besar kecilnya tingkat

pendapatan pada umumnya sangat terkait dengan jenis pekerjaan dan ada

kalanya berkaitan dengan tingkat pendidikan.


30

Sejalan dengan penelitian Wahyuni (2012) menunjukkan adanya

hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan di Puskesmas. Pendidikan yang tinggi mempunyai peluang 1,710

kali (95% CI: 1,13 - 2,59) untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan

Puskesmas. Dan begitu pula dengan pengetahuan, menunjukkan bahwa

kelompok yang berpengetahuan baik peluangnya 3,166 kali (95% CI: 2,09-

4,79) untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan Puskesmas. Dari aspek

pekerjaan juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara

pekerjaan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas.

Pekerjaan di sektor formal mempunyai peluang 2,124 kali (95% CI: 1,27 -

3,55) untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan Puskesmas.

4. Akses (Waktu tempuh ke puskesmas)

Waktu tempuh merupakan salah satu kendala pemanfaatan pelayanan

kesehatan pemerintah (Gani, 1981; Asbudin, 2001; Untari, 2007). Pengertian

akses yaitu kemudahan menjangkau secara fisik bukan cuma meter, tapi

adanya jalan dan angkutan ke sana. Namun akses juga dalam pengertian

kemudahan untuk memperoleh pelayanan tersebut. Jarak adalah tempat

masyarakat dengan Puskesmas yang diukur dengan indikator waktu.

Keterjangkauan pelayanan kesehatan mencakup jarak, waktu dan biaya.

Tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis atau sulit dicapai oleh

pasien menyebabkan berkurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan.

Walaupun ketersediaan pelayanan kesehatan sudah memadai, namun


31

penggunaannya tergantung dari aksesibilitas masyarakat terhadap informasi.

Penduduk yang tinggal ditempat yang terpencil umumnya desa-desa yang

masih terisolisir dan transportasi yang sulit terjangkau, sehingga untuk

menempuh perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan akan memerlukan

waktu yang lama (Meilani,dkk, 2009).

Permasalahan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan

dasar di Indonesia memang masih membutuhkan perhatian dan tindak lanjut.

Diperkirakan hanya sekitar 30% penduduk yang memanfaatkan pelayanan

Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Dengan keadaan seperti ini tidak

mengherankan bila derajat kesehatan masyarakat di Indonesia belum

memuaskan.

Penelitian Savitri menyatakan bahwa sebanyak 14,3% penduduk

dengan tempat tinggal jauh selalu memanfaatkan puskesmas sedangkan

penduduk yang bertempat tinggal dekat dengan puskesmas dan selalu

memanfaatkan puskesmas adalah 51,9%. Artinya fakta jarak dan transportasi

menjadi kendala bagi masyarakat untuk menjangkau puskesmas sehingga

kunjungan masyarakat yang tempat tinggalnya dekat lebih banyak dari pada

penduduk yang tempat tinggalnya jauh. Penelitian yang dilakukan di Kota

Depok ini juga menyimpulkan faktor-faktor yang berhubungan dengan

pemanfaatan puskesmas adalah karakteristik individu (umur, pendidikan, dan

persepsi sakit), penyedia pelayanan kesehatan (ketersediaan tenaga


32

kesehatan) dan aksesibilitas (jarak tempuh dan sarana transportasi) (Savitri,

2011).

Penelitian oleh Karamelka (2015) menunjukkan ada pengaruh terhadap

akses pelayanan dengan pemanfaatan pelayanan antenatal care di wilayah

kerja Puskesmas Wolo Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka Tahun 2015.

Sejalan dengan penelitian Wahyuni (2012) yang menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata biaya transport antara yang

tidak pernah dan pernah memanfaatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas.

Kesimpulannya, ada hubungan yang signifikan antara besarnya biaya

transport ke Puskesmas dengan pemanfaatan pelayanan di Puskesmas. Dan

penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara waktu tempuh

dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas. Pada kelompok

responden dengan waktu tempuh yang tidak lama berpeluang 1,540 kali

(95% CI: 1,03 – 2,30) untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan Puskesmas

dibandingkan dengan responden yang memerlukan waktu tempuh lama.

Menurut hasil Riskesdas 2007, dari segi waktu tempuh ke sarana

pelayanan kesehatan nampak bahwa 67,2% penduduk dapat mencapai ke

sarana pelayanan kesehatan kurang atau sama dengan 15 menit dan

sebanyak 23,6% penduduk dapat mencapai sarana pelayanan kesehatan

dimaksud antara 16-30 menit. Dengan demikian secara nasional, masih ada

sekitar 9,2% RT yang memerlukan waktu lebih dari setengah jam untuk

mencapai sarana kesehatan. Di Kalimantan Selatan, 98,4% rumah tangga


33

berada kurang atau sama dengan 5 km dari sarana pelayanan kesehatan

dan sebanyak 93,8% rumah tangga dapat mencapai sarana pelayanan

kesehatan kurang atau sama dengan 30 menit.

5. Pengeluaran rumah tangga

Ketidakmampuan ekonomi masyarakat dianggap sebagai faktor yang

berperan dalam ketidakmerataan (unequity) pemanfaatan pelayanan

kesehatan. Hasil studi di Inggris mengidentifiasi, bahwa adanya variasi besar

dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan berhubungan dengan status

sosial. Sementara menurut Bank Dunia, kelompok yang banyak

memanfaatkan Puskesmas di daerah pedesaan di Indonesia adalah

kelompok menengah. Kelompok sosial ekonomi lemah dipedesaan,

diperkirakan lebih sedikit menikmati pelayanan kesehatan modern, termasuk

yang disubsidi oleh pemerintah (Nadjib, 1999).

Gertler dan Gaag (1988) melakukan study demand terhadap pelayanan

medis di Cote D‟Ivoire dengan variabel pendapatan bulanan yang dihitung

dari rata-rata total pengeluaran/konsumsi perbulan. Asbudin mendapatkan

bahwa demand pelayanan kesehatan di Puskesmas berhubungan dengan

status ekonomi (Asbudin, 2002).

Dalam ilmu ekonomi, pengeluaran rumah tangga diartikan sebagai

semua penggunaan barang dan jasa yang dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Pengeluaran tersebut dilakukan dengan maksud untuk

mempertahankan taraf hidup (Suryaman, 2014). Menurut Muntamah (2010)


34

suryaman, besar kecilnya pengeluaran keluarga tergantung pada beberapa

hal yaitu.

a. Tingkat penghasilan;

b. Besar kecilnya keluarga;

c. Tingkat harga kebutuhan;

d. Tingkat pendidikan dan kedudukan social (Suryaman, 2014).

Pola pengeluaran rumah tangga merupakan biaya yang dikeluarkan

oleh rumah tangga baik untuk kebutuhan pangan maupun non pangan.

Kebutuhan non pangan meliputi kebutuhan pendidikan, medis, bahan bakar,

dan tabungan (Lumbangaol, 2011).

Pengeluaran medis adalah semua jumlah uang yang dikeluarkan

seseorang saat orang tersebut mengalami suatu penyakit. Pengeluaran

medis mencakup biaya konsultasi dokter, pembelian obat, biaya pemeriksaan

penunjang, dan retribusi pelayanan kesehatan. Pembelanjaan ke pengobatan

alternatif dan atau obat tradisional juga termasuk pengeluaran medis. Tingkat

inflasi, tingkat permintaan, kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan pola

penyakit, perubahan pola pelayaan kesehatan, perubahan pola hubungan

dokter–pasien, lemahnya mekanisme pengendalian biaya, serta

penyalahgunaan asuransi kesehatan dapat meningkatkan pengeluaran

medis.
35

6. Kemampuan membayar (ATP)

Besarnya kemampuan membayar rumah tangga terhadap pelayanan

kesehatan tergantung pada disposible income (Gani and Nadjib, 2008).

Kemampuan membayar (ATP) dapat diukur dengan pendekatan penghasilan

keluarga, aset keluarga atau pengeluaran rumah tangga. Penghitungan

pengeluaran rumah tangga dianggap sebagai cara yang cukup sensitif untuk

kondisi Indonesia karena pola penghasilan masyarakat sering berubah,

sedangkan aset keluarga juga kebanyakan milik bersama (Nadjib, 1999).

Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk membayar

jasa pelayanan yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap

ideal. Pendekatan yang digunakan dalam analisis ATP didasarkan pada

alokasi biaya untuk pemenuhan terhadap kebutuhan sehari-hari dari

pendapatan rutin. Secara garis besar ATP dapat dibagi menjadi 3 kelompok

yaitu ATP Non food expenditure, ATP non esensial expenditure, dan ATP

esensial expenditure (Adisasmita, 2008).

Dalam konsep ATP, besar kemampuan membayar untuk pelayanan

kesehatan adalah jumlah pengeluaran untuk barang non esensial tersebut.

Asumsinya adalah kalau seseorang mampu mengeluarkan belanja untuk

barang-barang non esensial maka tentu ia juga mampu mengeluarkan biaya

untuk pelayanan kesehatan yang sifatnya essensial (Adisasmita, 2008).

Menurut Kementerian Kesehatan, ATP adalah besarnya dana yang

sebenarnya dapat dipergunakan untuk membiayai kesehatan yang


36

bersangkutan. ATP menggunakan pendekatan pendapatan keluarga dan

alokasinya. Pendekatan lain adalah dengan mengkonversi pengeluaran

keluarga untuk tembakau, alkohol dan sirih ditambah pengeluaran untuk

kesehatan, termasuk biaya pengobatan alternatif. Pengeluaran jenis ini dapat

diasumsikan sebagai ATP keluarga terhadap program atau layanan

kesehatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ATP, yaitu :

a. Harga barang (biaya kesehatan) dimana kecenderungan biaya

kesehatan yang konsisten dalam kenaikan biaya pemeliharaan

kesehatan dapat disebabkan antara lain oleh :

1) Kenaikan yang tajam dalam biaya pelayanan kesehatan, termasuk

obat-obatan.

2) Perubahan dalam struktur penduduk.

3) Peningkatan utilisasi dari berbagai jenis pelayanan kesehatan.

4) Peningkatan kualitas tindakan medis, termasuk teknik pengujian

dan diagnosis lanjut yang semakin canggih, perlengkapan alat

bantu, transplantasi organ dan teknologi perawatan kesehatan lain

yang semakin maju.

b. Pendapatan konsumen. Biaya pelayanan kesehatan umumnya

meningkat sesuai dengan peningkatan pendapatan. Disamping biaya

dokter umumnya dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi pasien,

responden yang berpendapatan tinggi cenderung lebih sering dan lebih


37

ekstensif dalam pelayanan kesehatan, responden yang berpendapatan

tinggi juga lebih sering memeriksa dan memelihara kesehatan dibanding

kelompok responden yang berpendapatan rendah. Begitu pula dengan

biaya pelayanan kesehatan, mereka menuntut lebih banyak pelayanan

lanjutan sehingga biaya kesehatan lebih tinggi faktor yang

mempengaruhinya antara lain, pengetahuan dan kesadaran terhadap

kesehatan dari kelompok responden yang memiliki pendapatan tinggi

lebih baik dibandingkan yang berpendapatan lebih rendah.

c. Jumlah anggota keluarga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga

akan semakin banyak pula kebutuhan untuk memenuhi kesehatannya

dan secara otomatis akan semakin banyak alokasi dana dari

penghasilan keluarga per bulan yang harus disediakan.

Penelitian di Indonesia, pendekatan untuk menghitung ATP, berbeda

dengan teori Steven Russel di atas. ATP tidak dinilai dari besarnya

pendapatan dan aset semata, tapi juga menghitung besarnya pengeluaran.

Berdasarkan pengeluaran, ATP masyarakat secara garis besar dapat dibagi

menjadi tiga kelompok, yaitu :

a. ATP belanja bukan makanan (non food expenditure) biasanya diukur

secara bulanan dan tahunan. Belanja untuk kesehatan digolongkan

dalam kelompok ini.

b. ATP belanja bukan pokok (non essential expenditure) seperti belanja

rokok, tembakau, sirih, minuman beralkohol, kosmetik dan hiburan.


38

c. ATP belanja pokok (essential expenditure) meliputi belanja untuk

makanan, sewa rumah dan pakaian.

Steven Russel bependapat, pendekatan kualitatif lebih tepat untuk

mengetahui ATP keluarga terhadap pelayanan kesehatan. Pendekatan ini

dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang kemampuan

finansial, termasuk mengekplorasi secara detil dilema, prioritas dan

keputusan-keputusan dan akibatnya bagi keluarga. Studi seperti ini

bermanfaat bagi pengambil kebijakan untuk mengidentifikasi kelompok

masyarakat yang tidak memiliki kemampuan membiayai pelayanan

kesehatan (Russel, 2000).

Studi kuantitatif, melalui survei juga bisa dilakukan untuk mengetahui

ATP masyarakat terhadap iuran jaminan kesehatan, seperti Ritanenny di

Sukabumi, Nirmala di Bali dan Djuhaeni dkk., di Kota Bandung. ATP dinilai

dari besarnya pendapatan dan konversi belanja keluarga untuk kesehatan,

rokok, tembakau, alkohol dan sirih. Di bidang lain selain kesehatan, ATP juga

bisa dinilai dengan menanyakan langsung kepada responden, berapa

sebenarnya kemampuannya untuk membayar suatu produk atau jasa, yang

dikenal dengan revealed ATP.

Teori terkait Ability To Pay (ATP) dijelaskan oleh Ascobat Gani, dkk

(1997) mengatakan kemampuan membayar biaya pelayanan kesehatan

masyarakat dapat dilihat dari pengeluaran tersier non pangan. Mukti

mengatakan bahwa kemampuan membayar masyarakat dapat dilihat dari


39

pengeluaran “tersier” seperti: pengeluaran rekreasi, sumbangan kegiatan

sosial, dan biaya rokok (Mukti, 2001).

Susilowati dkk. (2001) dalam suryaman mengatakan kemampuan

membayar biaya pelayanan kesehatan dapat diukur dari keseluruhan biaya

untuk konsumsi di luar kebutuhan dasar (antara lain : minuman jadi, minuman

beralkohol, tembakau atau sirih, pengeluaran pesta yang diukur setahun)

(Suryaman, 2014). WHO yang ditulis Xu, et. al., (2005) juga mengatakan 5%

dari Kapasitas Membayar rumah tangga, sebagai asumsi batas yang tidak

menggangu ekonomi rumah tangga.

Pendekatan yang lebih praktis untuk menilai ATP adalah, dengan

menggunakan data sekunder, seperti hasil Survey Sosial dan Ekonomi

Nasional/ Susenas, yang dilakukan oleh BPS. Susenas menghasilkan data

seperti pendapatan dan pola konsumsi keluarga. Terdapat berbagai formula

yang dapat digunakan untuk menghitung ATP, beberapa di antaranya adalah,

10% dari disposible income, yakni pendapatan dikurangi pengeluaran untuk

pangan, atau 50% dari pengeluaran rokok ditambah pengeluaran non

pangan, atau 5% dari total pengeluaran. Ritanenny menggunakan formula

5% dari pengeluaran non makanan, sedangkan Nirmala menerapkan formula

5% dari pendapatan rata-rata bulanan kelarga dibagi jumlah anggota

keluarga.

Kemampuan membayar kesehatan atau Ability To Pay (ATP)

merupakan dana yang sebenarnya dapat dialokasikan oleh seseorang untuk


40

membiayai kesehatan (Suryaman, 2014). Pendekatan yang digunakan dalam

analisis ATP didasarkan pada alokasi biaya kesehatan terhadap kebutuhan

sehari-hari dari pendapatan rutin. Menurut Faiz, harga barang (tarif

pelayanan kesehatan), besar pendapatan, biaya pelayanan kesehatan dapat

mempengaruhi Ability To Pay seseorang (Faiz, 2006). Sedangkan Thabrany

menjelaskan bahwa jumlah anggota keluarga juga dapat mempengaruhi

Ability To Pay (Thabrany and Dkk, 2009). Rumah tangga dengan jumlah

keluarga lebih dari 4 orang memiliki risiko pemiskinan lebih tinggi. Semakin

banyak jumlah anggota keluarga maka akan semakin banyak pula kebutuhan

untuk memenuhi kesehatannya.

Kemampuan membayar masyarakat terhadap kesehatan dapat

dilakukan dengan pendekatan formula sebagai berikut:

a. 10% dari disposible income (pendapatan yang dapat dipakai setelah

dikeluarkan untuk pengeluaran pangan (esensial).

b. 50% dari pengeluaran rokok (rokok/ sirih) ditambah dengan

pengeluaran non pangan.

c. 5% dari total pengeluaran rumah tangga untuk bukan makanan

(Suryaman, 2014).

7. Kemauan membayar (WTP)

Willingness to pay (WTP) yaitu besarnya dana yang mau dibayarkan

keluarga untuk kesehatan. Kesediaan untuk membayar (willingness to pay)

adalah kesediaan masyarakat untuk menerima beban pembayaran, sesuai


41

dengan besarnya jumlah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Willingness

to pay adalah sejumlah uang atau kompensasi yang siap dibayar oleh

konsumen untuk suatu peningkatan/penurunan konsumsi produk (barang dan

jasa) yang diinginkan.

Willingness to pay penting untuk melindungi konsumen dari

penyalahgunaan kekuasaan monopoli yang dimiliki perusahaan dalam

penyediaan produk berkualitas dan harga. Data pengeluaran rumah tangga

untuk kesehatan dapat digunakan sebagai proksi terhadap WTP. Faktor–

faktor yang mempengaruhi WTP, yaitu pendapatan, pengetahuan mengenai

tarif dan persepsi serta penilaian tentang pelayanan yang diterima pasien

(Gafni, 1991).

Beberapa rumusan tentang kemauan membayar (Willingness to Pay)

menurut Russel (1996), bahwa kemauan membayar suatu jasa dapat dilihat

dari dua hal : pertama, mengamati dan menempatkan model pemanfaatan

jasa pelayanan kesehatan di masa lalu, pengeluaran terhadap harga

pelayanan kesehatan, kedua, wawancara langsung pada masyarakat

seberapa besar kemampuan dan kemauan untuk membayar paket atau jasa

pelayanan kesehatan (Russel, 1996 dalam Hidayat 2010).

Mukti berpendapat kemauan membayar dapat dilihat dari pengeluaran

sebenarnya yang selama ini telah dibelanjakan untuk keperluan kesehatan

(Mukti, 2001). Sedangkan pendapat Susilowati dkk. (2001) dalam suryaman

bahwa kemauan masyarakat membayar biaya pelayanan kesehatan dapat


42

dilihat dari pengeluaran kesehatan riil dalam bentuk biaya obat, jasa

pelayanan dan transportasi sedangkan Kartman dkk. (1996), berpendapat

kemauan untuk membayar dalam pelayanan kesehatan sebaiknya dilakukan

dalam penelitian tidak hanya pada pasien secara individu, tetapi juga kepada

pasien yang menjadi tanggungan asuransi (Suryaman, 2014).

Untuk mendapatkan suatu ukuran kemampuan membayar dan

kemauan membayar suatu keluarga atau masyarakat terhadap pelayanan

kesehatan dapat ditelusuri dari pendapatan atau pengeluaran keluarga

tersebut.

Hubungan ATP dan WTP

Gambar 1. Kurva ATP dan WTP


43

a. ATP > WTP

Kemampuan membayar lebih besar daripada keinginan membayar.

Artinya penghasilan relatif tinggi, tapi nilai utilitas terhadap jasa tersebut

relatif rendah. Pada kondisi ini pengguna disebut sebagai choiced riders.

b. ATP < WTP

Kemampuan membayar lebih kecil daripada keinginan membayar.

Artinya penghasilan relatif rendah, tapi nilai utilitas terhadap jasa

pelayanan tinggi. Pada kondisi ini pengguna disebut sebagai captive

riders.

c. ATP = WTP

Kemampuan membayar sama dengan keinginan membayar. Penghasilan

sesuai dengan nilai utilitas terhadap jasa pelayanan tinggi.

Analisis perbandingan penerapan biaya atau retribusi sebagai berikut:

a. WTP merupakan fungsi dari tingkat pelayanan, maka jika WTP berada

dibawah ATP, masih dimungkinkan menaikkan nilai tarif dengan

perbaikan tingkat pelayanan.

b. ATP fungsi dari kemampuan membayar, maka penentuan tarif jangan

melebihi nilai ATP kelompok sasaran.

c. Intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi langsung maupun subsidi

silang, pada kondisi tarif lebih dari ATP.


44

8. Kepemilikan Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan untuk menanggung biaya kesehatan bisa berasal dari

asuransi, baik asuransi privat, asuransi sosial maupun jaminan/subsidi dari

Pemerintah seperti program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat).

Termasuk asuransi sosial dalam hal ini adalah Askes untuk PNS, Asabri

untuk TNI-Polri dan Jamsostek untuk karyawan swasta. Adanya jaminan

pembayar biaya pelayanan merupakan salah satu penyebab meningkatnya

pemanfaatan pelayanan kesehatan. Penelitian Dong et al (2008) di Burkina

Faso menunjukkan bahwa peserta community-based health insurance

meningkatkan sekitar 4,33% pemanfaatan layanan kesehatan modern dan

mereduksi 3,98% pengobatan sendiri.

Berkaitan dengan pembiayaan, dalam penelitian Wahyuni (2012)

menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kepemilikan

jaminan/asuransi kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di

Puskesmas. Rumah tangga yang memiliki jaminan/asuransi kesehatan

mempunyai peluang 2,018 kali (95% CI : 1,32-3,08) untuk memanfaatkan

pelayanan kesehatan Puskesmas. Menurut Aday (1981), adanya jaminan

pembayar biaya pelayanan kesehatan, termasuk jaminan asuransi

kesehatan, merupakan salah satu sebab meningkatnya akses atau

pemanfaatan pelayanan.
45

9. Kesesuaian jam buka puskesmas

Menurut Prijodarminto (2000:45), mengatakan bahwa disiplin suatu

kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian prilaku

yang menunjukan nilai-nilai, ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, atau ketertiban.

Kesesuaian jam buka puskesmas dapat dilihat dengan adanya ketaatan

pegawai masuk kerja maupun pulang kerja sesuai jam kerja yang sudah

ditentukan. Sebagai instansi milik pemerintah, secara normatif pelayanan di

Puskesmas (yang bukan rawat inap) dilakukan pada jam kantor mulai jam

08.00 – 14.00. Sedangkan Puskesmas yang memiliki program rawat inap

atau unit gawat darurat 24 jam, maka pelayanan Puskesmas bisa buka lebih

lama. Namun dalam kenyataannya, jam buka Puskesmas bisa kurang dari

jam kerja yang seharusnya. atau bisa terjadi Puskesmasnya buka namun

petugasnya tidak ditempat. Kondisi ini bisa terjadi karena memang

kekurangan tenaga, namun bisa juga karena kebiasaan yang tidak baik.

Penelitian Untari (2007) menyatakan bahwa pemegang kartu sehat lebih

memilih layanan kesehatan swasta karena jam bukanya lebih sesuai dengan

kondisi keseharian mereka (Untari and Hasanbasri, 2007).

10. Keberadaan dokter

Dokter merupakan inti utama dalam pelayanan kesehatan (Azwar, 1996

dalam Su'udi 2010). Sebagai profesional di bidang pelayanan medis, dokter

dianggap paling kompeten dalam pemberian pelayanan kesehatan modern.

Bagi kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan pentingnya


46

pelayanan kesehatan, maka mereka lebih memilih untuk diperiksa dan diobati

oleh dokter dibandingkan profesi kesehatan lainnya. Keberadaan dokter

secara konsisten dalam pelayanan Puskesmas akan meningkatkan

pemanfaatan Puskesmas.

Menurut penelitian (World Bank, 2008:p.20), fenomena rendahnya

kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan masyarakat, karena

rendahnya kualitas pelayanan dan tingginya absensi personil medis di

Puskesmas. Sebayang membuktikan bahwa keberadaan dokter merupakan

faktor dominan yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan di Puskesmas oleh keluarga miskin peserta JPKMM.

Permasalahan klasik yang sering timbul di Puskesmas adalah berupa

ketersediaan tenaga kesehatan yang kurang serta kelengkapan obat yang

belum memadai, ditambahkan pula dengan sikap dan perilaku petugas

kesehatan terhadap pasien. Terkadang hubungan antara petugas kesehatan

dengan pasien belum tercipta secara baik menimbulkan rendahnya tingkat

kepercayaan terhadap layanan yang diberikan. Hal tersebut banyak

mempengaruhi minat masyarakat khususnya peserta BPJS kesehatan untuk

memperoleh pelayanan kesehatan di Puskesmas (Alamsyah, 2011).

Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Wahyuni (2012) yang

menunjukkan terdapatnya perbedaan proporsi kejadian antara responden

yang menyatakan adanya ketersediaan tenaga kesehatan dengan responden

yang menyatakan tidak adanya ketersediaan tenaga kesehatan dalam


47

memanfaatkan pelayanan kesehatan. Dari hasil analisis diperoleh nilai

OR=2,875 artinya responden yang menyatakan tidak adanya ketersediaan

tenaga kesehatan mempunyai peluang 2,875 kali lebih tinggi untuk tidak

memanfaatkan pelayanan kesehatan disbanding dengan responden yang

menyatakan tersediaanya tenaga kesehatan.

11. Persepsi kualitas pelayanan puskesmas

Menurut Crosby (1984) dalam Su‟udi, 2010, mutu adalah kepatuhan

terhadap standar yang telah ditetapkan. Selanjutnya, Azwar memberikan

batasan mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada kesempurnaan

pelayanan kesehatan, yang di satu sisi dapat menimbulkan kepuasan kepada

pasien, di pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik

dan standar pelayanan profesi.

Sementara itu, penelitian Preker dan Harding seperti dikutip Adyas

(2007) menunjukkan bahwa meskipun pemerintah di banyak negara yang

berpenghasilan rendah dan menengah (low-middle income) telah berupaya

melakukan pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan kesehatan,

namun masalah kritis yang dialami oleh sarana kesehatan pemerintah adalah

penyelenggaraannya tidak efisien.

Menurut Indrajaya (1995) dalam Nadjib, dari hasil pengamatannya di

Kaltim dan NTB, memperlihatkan bahwa karakteristik penyedia pelayanan

kesehatan memang mempengaruhi tingkat utilisasi pelayanan Puskesmas,


48

dengan ukuran proksi kualitas pelayanan adalah kebersihan, ketersediaan

alat, tenaga dan obat, serta waktu tunggu pelayanan (Nadjib, 1999).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamidiyah (2015),

terdapat adanya hubungan persepsi pasien tentang kualitas pelayanan

dengan minat kunjungan ulang di Klinik Umum Rumah Sakit Bhineka Bakti

Husada Kota Tangerang Selatan. Apabila jasa dalam hal ini pelayanan yang

dirasakan sesuai dengan diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan

baik dan memuaskan. Jika pelayanan yang diterima melampaui harapan

pelanggan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas yang

ideal. Begitupula sebaliknya, dengan demikian baik tidaknya kualitas

tergantung kemampuan pada penyedia pelayanan dalam memenuhi harapan

pemakaiannya secara konsisten.

12. Keluhan sakit

Aday et al membagi kebutuhan (need) pelayanan kesehatan dalam

perceived need dan evaluated need. Perceived need (persepsi sakit) dilihat

dari sisi konsumen meliputi status kesehatan berdasar pendapat umum,

seperti jumlah keluhan sakit (symptoms of illness), status kesehatan

dibandingkan orang lain, berapa hari tidak produktif karena sakit (disability

days). Sedangkan evaluated need (memiliki penyakit) dinilai dari hasil

pengukuran/diagnose penyakit yang dilakukan oleh tenaga medis

profesional. Penyakit (disease) adalah bentuk reaksi biologis terhadap suatu

organisme, benda asing atau injury, yang bersifat objektif ditandai adanya
49

perubahan fungsi tubuh sebagai organisme biologis. Sedangkan persepsi

sakit (illness) merupakan penilaian seseorang terhadap penyakit tersebut

sebagai pengalaman langsung. Konsep sakit (illness) berbeda pada tiap

orang atau kelompok masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh faktor fisik, sosial

dan mental yang menghasilkan kondisi sakit tersebut (Notoatmodjo and

Sarwono, 1985 dalam Su'udi, 2010).

Persepsi individu terhadap sehat sakit erat hubungannya dengan

perilaku pencarian pengobatan. Individu atau anggota masyarakat yang

terkena penyakit tetapi tidak merasa sakit (disease but no illness) tentunya

tidak berusaha mencari pengobatan. Namun bila memang merasakan sakit,

maka respon antar individu akan berbeda-beda. Setidaknya ada empat jenis

respon orang yang sakit, yaitu (1) menerima saja tanpa berbuat apa-apa (no

action), (2) berusaha mengobatinya sendiri (self treatment) dengan membuat

atau membeli ramuan atau obat-obatan sesuai dengan pengetahuannya, (3)

mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy)

seperti dukun atau pengobatan tradisional lainnya, dan (4) mencari

pengobatan ke fasilitas kesehatan modern, seperti mantri, dokter, ke

Puskesmas ataupun rumah sakit. Nadjib menggunakan banyaknya keluhan

sakit sebagai salah satu proksi adanya kebutuhan (need) seseorang

terhadap pelayanan kesehatan (Nadjib, 1999 dalam Su'udi, 2010).

Menurut teori Health Service Use dari Andersen (1975) menyatakan

bahwa perilaku masyarakat dalam memanfaatkan layanan kesehatan


50

ditentukan oleh tingkat atau derajat penyakit yang dialami serta adanya

kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan (perceived need). Adanya tingkat

atau derajat penyakit yang semakin dirasakan berat, maka individu tersebut

akan semakin membutuhkan kesembuhan dengan demikian akan semakin

perlu adanya pelayanan kesehatan, demikian juga dengan kebutuhan

layanan kesehatan, jika semakin tinggi kebutuhan akan suatu layanan maka

akan semakin tinggi pula keinginan untuk memanfaatkan pelayanan

kesehatan tersebut (Manurung, 2008).

Persepsi masyarakat tentang kesehatan masih belum sesuai dengan

konsep yang sebenarnya. Persepsi sehat diperlihatkan oleh individu yang

merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul

sehat. Sedangkan, masyarakat mengganggap dirinya sakit pada saat mereka

sudah tidak mampu lagi untuk melakukan aktivitas dan terbaring lemah. Pada

saat masyarakat tidak dapat lagi melakukan aktivitas yang menggangga

dirinya sakit disaat itulah masyarakat baru memanfaatkan Puskesmas

Barrang Lompo Makassar. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang

dikemukakan oleh Notoatmodjo (2010), rendahnya utilisasi (penggunaan)

fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan, dan

sebagainya seringkali kesalahan atau penyebabnya ditudingkan kepada

faktor jarak antara fasilitas tersebut dengan masyarakat yang terlalu jauh

(baik jarak secara fisik maupun secara sosial), tarif yang tinggi, pelayanan

yang tidak memuaskan dan sebagainya.


51

Kita sering melupakan faktor masyarakat itu sendiri, di antaranya

persepsi atau konsep masyarakat tentang keluhan sakit. Penelitian yang

dilakukan oleh Mujahidah (2013), menyatakan bahwa persepsi memiliki

hubungan yang signifikan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Sejalan juga dengan penelitian Wahyuni (2012) yang menunjukkan bahwa

ada hubungan yang signifikan antara diagnosa penyakit dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas. Adanya penyakit yang

diderita memberikan peluang memanfaatkan pelayanan kesehatan

Puskesmas 2,108 kali (95% CI: 1,29 – 3,45), dibandingkan kelompok yang

tidak ada penyakit.


52

D. Sintesa Penelitian

Tabel 2. Sintesa Penelitian

Nama Peneliti
No Judul Metode Penelitian Hasil
Tahun
1 (Napirah, et al Faktor-Faktor Yang Penelitian survey analitik Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa
2016) Berhubungan Dengan dengan pendekatan cross persepsi masyarakat tentang kesehatan
Pemanfaatan sectional. Jumlah sampel berhubungan dengan pemanfaatan
Pelayanan Kesehatan sebanyak 69 responden pelayanan kesehatan (ρ=0,000), persepsi
Di Wilayah Kerja yang diambil masyarakat tentang kualitas pelayanan
Puskesmas menggunakan rumus tidak berhubungan dengan pemanfaatan
Tambarana Standley Lameshow yang pelayanan kesehatan (ρ=0,213),
Kecamatan Poso populasinya diketahui. pendapatan keluarga berhubungan dengan
Pesisir Data dianalisis secara pemanfaatan pelayanan kesehatan
Utara Kabupaten deskriptif yaitu analisis (ρ=0,004), dan terdapat hubungan tingkat
Poso univariat dan bivariat, pendidikan dengan pemanfaatan pelayanan
pada taraf kepercayaan kesehatan (ρ=0,000). Tidak adanya
95% (p<0,05). hubungan persepsi masyarakat tentang
kualitas pelayanan dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi
oleh bukti fisik, kehandalan, daya tanggap,
jaminan dan empati.
2 (Rumengan and Faktor-Faktor yang Penelitian survey analitik Ada hubungan yang bermakna antara
Kandou, 2015) Berhubungan dengan dengan menggunakan Persepsi responden tentang JKN, akses
Pemanfaatan rancangan cross layanan dan Persepsi responden terhadap
Pelayanan Kesehatan sectional. Tindakan Petugas dengan Pemanfaatan
Pada Peserta BPJS Pelayanan Kesehatan di Puskesmas.
Kesehatan di
53

Nama Peneliti
No Judul Metode Penelitian Hasil
Tahun
Puskesmas Paniki
Bawah Kecamatan
Mapanget Kota
Manado
3 (Rambe, 2015) Determinan Penelitian survei dengan Berdasarkan uji bivariat dalam penelitian ini
Pemanfaatan menggunakan menunjukkan bahwa variabel pengetahuan,
Pelayanan Rawat pendekatan explanatory sikap, persepsi, keterjangkauan dan sikap
Jalan Di Puskesmas research yang bertujuan petugas ada hubungan terhadap
Batang Toru untuk mengetahui faktor- pemanfaatan pelayanan rawat jalan
Kecamatan Batang faktor yang memengaruhi sedangkan berdasarkan uji multivariat
Toru Kabupaten pemanfaatan pelayanan variabel sikap petugas kesehatan
Tapanuli Selatan rawat jalan di Puskesmas mempunyai nilai p sebesar 0,011 dan Exp
Tahun 2015 Batang Toru (B) sebesar 9,375, merupakan model
terbaik untuk meningkatkan pemanfaatan
pelayanan rawat jalan di Puskesmas
Batang Toru.
4 Anjela Mei Determinan Survei dengan tipe sebanyak 24 responden (26,7%)
Rahayu Pemanfaatan explanatory research memanfaatkan puskesmas dan 66
Ambarita, 2015 Puskesmas untuk menjelaskan responden (73,3%) tidak memanfaatkan
Kecamatan Pematang pengaruh faktor puskesmas Kecamatan pematang
Sidamanik Oleh predisposisi (pendidikan, Sidamanik.
Peserta Penerima pekerjaan, pengetahuan,
Bantuan Iuran (PBI) dan sikap), faktor
Jaminan Kesehatan pemungkin (informasi dan
Nasional (JKN) keterjangkauan), dan
Kabupaten faktor kebutuhan (kondisi
Simalungun Tahun kesehatan) terhadap
54

Nama Peneliti
No Judul Metode Penelitian Hasil
Tahun
2015 pemanfaatan Puskesmas
Kecamatan Pematang
Sidamanik
5 Ratna Dewi Faktor-Faktor Yang Penelitian cross sectional Ada hubungan antara umur dengan
Hussein Berhubungan Dengan dengan jumlah sampel pemanfaatan puskesmas ,tidak ada
Musiana, 2012 Pemanfaatan 100 responden. hubungan antara jenis kelamin dengan
Puskesmas Oleh pemanfaatan puskesmas, tidak ada
Pasien Hipertensi hubungan antara pendidikan dan
pemanfaatan puskesmas tidak ada
hubungan pendapatan dengan
pemanfaatan puskesmas, ada hubungan
antara pekerjaan dengan pemanfaatan
puskesmas ,tidak ada hubungan antara
akses ke puskesmas dengan pemanfaatan
puskesmas, tidak ada hubungan antara
peranan orang lain dengan pemanfaatan
puskesmas.
6 (Su‟udi, 2010) Analisis Pemanfaatan studi analitik dengan Faktor yang berhubungan dengan
Subsidi Pelayanan disain cros sectional. pemanfaatan pelayanan kesehatan di
Kesehatan Gratis Sampel sebanyak 405 Puskesmas adalah pengetahuan, kemauan
Tingkat Puskesmas rumah tangga, diambil untuk membayar (WTP), adanya penyakit
Di Kabupaten secara acak sistematik dan biaya
Tabalong Kalimantan dari klaster 15 transportasi.
Selatan Tahun 2010 desa/kelurahan yang
berada di tiga wilayah
Puskesmas terpilih.
Analisis
55

Nama Peneliti
No Judul Metode Penelitian Hasil
Tahun
dilakukan menggunakan
statistik regresi logistik
ganda
7 Elmamy Faktor-faktor yang Penelitian kuantitatif Rata-rata nilai ATP Rp.108.270,- , nilai
Handayani, Memengaruhi dengan desain potong terkecil Rp.10.000,- dan terbesar
Sharon Kemauan Masyarkat lintang, melalui survei. Rp.800.000,- Responden dengan
Gondodiputro, Membayar Iuran Sampel Kepala keluarga ATP≥Rp.88.500,- , memiliki pendapatan
Avip Saefullah, Jaminan Kesehatan di atau istri kepala keluarga rata-rata yang lebih besar dibanding
2012 Kabupaten Hulu berjumlah 142 orang. responden dengan ATP<Rp.88.500,-,
Sungai Selatan kebutuhan dasar mereka relatif telah
terpenuhi, sehingga kebutuhan akan
jaminan kesehatan muncul.
8 (Rianti, Wibowo Kemampuan Dan Penelitian deskriptif Besarnya kemampuan membayar pasien
and Hardiyanto, Kemauan Membayar kuantitatif apabila dihitung berdasarkan total
2011) Pasien Semua transaksi pengeluaran non esensial selama satu
Terhadap Pelayanan keuangan yang terjadi bulan adalah kelas VIP sebesar
Rawat Inap pada bulan Rp.876.000,-, kelas I sebesar Rp.
RSUD Dr. Rasidin Januari-Desember 2011 352.220,-, kelas II sebesar Rp. 265.740,-
Padang dan pasien rawat inap dan kelas III sebesar Rp. 209.220,-.
selama bulan Juli 2012
yang bukan peserta
Askes dan bukan
pengguna program JPS.
9 (Mukti, 2001) Survei Kemampuan Penelitian Cross sectional Sebagian besar responden memiliki
dan Kemauan Sampelnya yakni 600 kemauan untuk membayar keluar pasien
Membayar rumah tangga dan rawat inap per kunjungan dan per
Masyarakat untuk masuk adalah Rp 10.000 dan kurang dari
56

Nama Peneliti
No Judul Metode Penelitian Hasil
Tahun
Pelayanan dan Rp 300.000 masing-masing.
Asuransi kesehatan

10 (Nuraini, Rianti Analisis Demand Penelitian desain cross Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh
and Asmijati, Masyarakat Terhadap sectional atau potong distribusi Ability To Pay masyarakat tinggi
2009) Pelayanan Kesehatan lintang yang bersifatsebanyak 67% dan Ability To Pay
Di Puskesmas deskriptif. masyarakat rendah sebanyak 3.3%, itu
Kecamatan Cilandak Sampel yakni 100 artinya pada masyarakat di wilayah kerja
Jakarta Selatan responden dari 5Puskesmas Kecamatan Cilandak Jakarta
Tahun 2008 kelurahan Selatan yang memiliki ATP rendah
dibandingkan dengan yang tinggi lebih
banyak yang memiliki ATP rendah.
11 (Yandrizal et al, Analisis Kemampuan Metode penelitian Respoden tidak mampu membayar 86,59%
2015) Dan Kemauan kuantitatif dengan belum menjadi peserta. Responden yang
Membayar Iuran rancangan cross mampu tetapi belum peserta 88,89%.
Terhadap Pencapaian sectional, dan rancangan Responden yang merokok 81,2% tidak
UHC JKN Di Kota metode analisis formatif mampu, sedangkan belanja rokok lebih
Bengkulu besar dari iuran.
Upah minimum regional di Bengkulu tahun
2015 sebesar Rp. 1.500.000,-. Pendapatan
masyarakat dengan penghasilan UMR
termasuk yang tidak mampu membayar.
57

E. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas yang memuat teori variable

dalam penelitian maka peneliti menggunakan kerangka teori sebagai

berikut :

Berdasarkan model Andersen (1975), faktor determinan dalam

pemanfaatan pelayanan kesehatan dituangkan ke dalam 3 kategori utama

yaitu karakteristik predisposisi, karakteristik kemampuan dan karakteristik

kebutuhan. Karakteristik predisposisi menggambarkan fakta bahwa setiap

individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan

yang berbeda-beda yaitu jenis kelamin, umur, pekerjaan dan karakteristik

lainnya. Karakteristik kemampuan adalah keadaan atau kondisi yang

membuat seseorang mampu untuk melakukan tindakan untuk memenuhi

kebutuhannya terhadap pelayanan kesehatan yaitu sumber daya

masyarakat yang termasuk jumlah sarana pelayanan kesehatan yang ada.

Karakteristik kebutuhan merupakan komponen yang paling langsung

berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil

pemeriksaan dan penentuan diagnosis penyakit oleh dokter.


58

Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan, Modifikasi teori Anderson (1975),


Gani (1981), Russel (1996), Nadjib (1999), Prijodarminto (2000)

• Karakteristik predisposisi (Predisposing Characteristics)


• demografi (umur, seks, status perkawinan),
• struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, ras, hobi, agama), dan
• kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan (health belief)

• Karakteristik kemampuan (Enabling Characteristics)


Gambar 2.2 Kerangka Teori
• sumber daya keluarga (penghasilan, kepemilikan asuransi
kesehatan, daya beli dan pengetahuan tentang layanan
kesehatan), dan
• sumber daya masyarakat (ketersediaan sarana pelayanan,
jumlah tenaga kesehatan, rasio penduduk )

• Karakteristik kebutuhan (Need Characteristics);


• permintaan layanan kesehatan (persepsi sakit, diagnosa
• penyakit, kecacatan, status kesehatan)

Jarak/Waktu Tempuh

Kemauan Untuk Membayar

Pengeluaran Rumah Tangga

Kesesuaian Jam Buka

Gambar 2. Kerangka teori


59

F. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori tentang faktor yang berhubungan

dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di puskesmas sehingga

dirancanglah oleh peneliti kerangka konsep sebagai berikut:

Pendidikan

Pengetahuan

Pekerjaan

Waktu Tempuh

Pengeluaran Rumah
Tangga

Kemampuan Untuk
Membayar
PEMANFAATAN
PELAYANAN
Kemauan Untuk KESEHATAN
Membayar PUSKESMAS
BARRANG LOMPO
KOTA MAKASSAR
Kepemilikan Jaminan/
Asuransi Kesehatan

Kesesuaian Jam Buka


Puskesmas

Keberadaan Dokter

Persepsi Kualitas PKM

Keluhan Sakit

Gambar 3. Kerangka konsep


60

G. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar

2. Ada hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar

3. Ada hubungan antara pekerjaan dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar

4. Ada hubungan antara waktu tempuh dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar

5. Ada hubungan antara pengeluaran rumah tangga dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo

Kota Makassar

6. Ada hubungan antara kemampuan membayar dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar

7. Ada hubungan antara kemauan membayar dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar

8. Ada hubungan antara kepemilikan jaminan/asuransi kesehatan

dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang

Lompo Kota Makassar

9. Ada hubungan antara kesesuaian jam buka puskesmas dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo

Kota Makassar

10. Ada hubungan antara keberadaan dokter dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar


61

11. Ada hubungan antara persepsi kualitas pelayanan puskesmas

dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Barrang

Lompo Kota Makassar

12. Ada hubungan antara keluhan sakit dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan di Puskesmas Barrang Lompo Kota Makassar


62

H. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

Tabel 3. Definisi operasional dan kriteria objektif

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Kriteria Objektif


Penelitian

1. Pemanfaatan Kunjungan rawat jalan ke Kuesioner Wawancara Sering : jika jawaban responden
pelayanan puskesmas untuk jawaban ≥ nilai mean (2.00)
kesehatan mendapatkan
puskesmas pelayanan kesehatan dasar Jarang : jika total skor jawaban
oleh rumah tangga dalam satu <nilai mean
tahun terakhir.
2. Pendidikan Jenjang sekolah formal Kuesioner Wawancara Rendah : Jika pendidikan yang
tertinggi yang pernah diikuti. ditamatkan olrh responden ≤
tamat SLTP.

Tinggi : Jika Pendidikan yang


ditamatkan responden ≥
SMA/SMK

3. Pengetahuan Pemahaman responden Kuesioner Wawancara Kurang : Jika nilai yang


tentang adanya program didapatkan < nilai mean (2.98)
subsidi pelayanan kesehatan di jawaban responden
puskesmas yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Daerah. Baik : Jika nilai yang didapatkan
≥ nilai mean jawaban responden
63

4. Pekerjaan Jenis usaha yang dilakukan Kuesioner Wawancara Informal : Jika responden tidak
untuk mendapatkan bekerja, petani, buruh dan
penghasilan. wirausaha berdasarkan hasil
wawancara

Formal : jika responden bekerja


sebagai pegawai perusahaan
swasta, PNS, Polri, TNI dan
memiliki pensiunan

5. Waktu tempuh Rata-rata lamanya waktu Kuesioner Wawancara Lama : bila ≥ nilai mean (08.27
perjalanan (dalam menit) yang menit)
diperlukan dari tempat tinggal
responden ke puskesmas Tidak lama : bila < nilai mean
pulang pergi.
6. Pengeluaran Rata-rata jumlah semua Kuesioner Wawancara Tinggi : jika total jawaban ≥ Mean
rumah tangga pengeluaran rumah tangga (Rp 549.144,00)
dalam satu bulan,
dipergunakan sebagai proksi Rendah : jika total jawaban <
sosial ekonomi. nilai mean

7. Kemampuan Jumlah uang yang mampu Kuesioner Wawancara Tinggi : jika total skor jawaban ≥
untuk dibayarkan oleh rumah tangga Mean (Rp 185,00)
membayar untuk setiap kali kunjungan
(ATP) berobat ke puskesmas sebagai Rendah : jika total skor jawaban
mengganti biaya pelayanan < nilai mean
kesehatan.
64

8. Kemauan Jumlah uang yang mau Kuesioner Wawancara Tinggi : jika total skor jawaban ≥
untuk dibayarkan oleh rumah tangga Mean (Rp 6.431,00)
membayar untuk setiap kali kunjungan
(WTP) berobat ke puskesmas sebagai Rendah : jika total skor jawaban <
mengganti biaya pelayanan mean
kesehatan.


9. Kepemilikan Adanya organisasi penanggung Kuesioner Wawancara Tidak memiliki : Jika responden
jaminan/asura biaya berobat di fasilitas tidak memiliki jaminan/asuransi
nsi kesehatan kesehatan, di luar program kesehatan
subsidi pelayanan kesehatan
gratis yang diberikan Pemda. Memiliki :
Jika responden memiliki
jaminan/asuransi kesehatan
10. Kesesuaian Kebutuhan waktu rumah Kuesioner Wawancara Tidak Sesuai : Jika jam buka
jam buka tangga untuk berobat, puskemas > jam 08.00
puskesmas dibandingkan dengan waktu
jam buka puskesmas dalam Sesuai : Jika jam buka
memberikan pelayanan puskesmas jam 08.00
kesehatan.

11. Keberadaan Pemeriksaan pelayanan Kuesioner Wawancara Jarang : Jika dokter tidak setiap
dokter di kesehatan di puskesmas hari kerja berada di puskesmas
puskesmas dilakukan oleh dokter kepada
pasien secara langsung. Sering : Jika dokter selalu berada
65

Variabel ini berlaku bagi yang di puskesmas setiap hari kerja


pernah memanfaatkan
puskesmas baik dalam satu
tahun ini ataupun sebelumnya.

12. Persepsi Pendapat responden terhadap Kuesioner Wawancara Kurang : Jika skor total jawaban
kualitas pelayanan yang diterima saat responden < nilai mean (30.56)
pelayanan berkunjung di puskesmas.
puskesmas Variabel ini berlaku bagi yang Baik : Jika skor total jawaban
pernah memanfaatkan responden ≥ nilai mean
puskesmas, baik dalam satu
tahun ini ataupun
sebelumnya.

13. Keluhan sakit Gangguan kesehatan atau Kuesioner Wawancara Keluhan rendah: Bila < 3
gejala penyakit yang dirasakan keluhan
dalam satu tahun terakhir.
Keluhan tinggi : Bila keluhan
sakit ≥ 3 keluhan

Anda mungkin juga menyukai