Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsumsi Buah dan Sayur

1. Definisi

a. Konsumsi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dalam Farida

(2010), konsumsi adalah suatu kegiatan dari individu untuk memenuhi

kebutuhan dirinya, baik berupa barang produksi, bahan makanan dan

lain-lain. Dalam penelitian ini, konsumsi lebih dititik beratkan pada

bahan\makanan, khususnya konsumsi buah dan sayur. Jadi,perilaku

konsumsi adalah suatu kegiatan atau aktivitas individu untuk

memenuhi kebutuhannya akan bahan makanan agar terpenuhi

kecukupan gizi individu tersebut.

Konsumsi adalah kegiatan dari individu untuk memenuhi

kebutuhan dirinya, baik berupa barang produksi, bahan makanan dan

lain-lain (KBBI, 2014). Dalam penelitian ini, konsumsi lebih di titik

beratkan pada bahan makanan, khususnya sayur dan buah. Jadi,

perilaku konsumsi adalah suatu kegiatan atau aktivitas individu untuk

memenuhi kebutuhan akan bahan makanan sayur dan buah agar

kecukupan gizi individu terpenuhi.

b. Buah dan Sayur

Buah dan sayur merupakan kelompok bahan makanan dari bahan

nabati (tumbuh-tumbuhan). Buah adalah bagian dari tanaman yang

strukturnya mengelilingi biji dimana struktur tersebut berasal dari

indung telur atau sebagai fundamen (bagian) dari bunga itu sendiri.

Sedangkan sayur adalah bahan makanan yang berasal dari tumbuhan.


Bagian tumbuhan yang dapat dibuat sayur antara lain daun (sebagian

besar sayur adalah daun), batang (wortel adalah umbi batang), bunga

(jantung pisang), buah muda (labu), sehingga dapat dikatakan bahwa

semua bagian tumbuhan dapat dijadikan bahan makanan sayur.

Sebagai Negara tropis, Indonesia sangat kaya akan buah dan sayur

Oleh karena itu, patut disayangkan jika konsumsi buah dan sayur

masyarakat masih relatif rendah dibandingkan Negara lain yang bukan

penghasil buah dan sayur (Astawan,2008).

2. Penggolongan Buah dan Sayur

a. Penggolongan Buah

Menurut Astawan (2008), berdasarkan ketersediaan di pasar, buah-

buahan dapat dibedakan menjadi:

1) Buah bersifat musiman seperti durian, mangga, rambutan dan lain-

lain.

2) Buah tidak musiman seperti pisang, nanas, alpukat, papaya,

semangka danlain-lain.

Sedangkan berdasarkan prioritas pengembangan, Astawan (2008)

membagi buah-buahan menjadi:

1) Buah prioritas nasional yang meliputi jeruk, mangga, rambutan,

durian dan pisang.

2) Buah prioritas daerah yang meliputi manggis, duku, leci, lengkeng,

salak dan markisa.

b. penggolongan Sayur

Menurut Astawan (2008), berdasarkan bagian tanaman yang dapat

dimakan, sayuran dibedakan menjadi:

1) Sayuran daun seperti kangkung, sawi, katuk dan bayam.


2) Sayuran bunga seperti brokoli dan kembang kol.

3) Sayuran buah seperti terong, cabe, ketimun dan tomat.

4) Sayuran biji muda seperti asparagus dan rebung.

5) Sayuran akar seperti wortel dan lobak.

6) Sayuran umbi keperti kentang dan bawang.

3. Manfaat dan Kandungan Gizi Buah dan Sayur

Buah dan sayur merupakan sumber serat, vitamin A, vitamin C,

vitamin B khususnya asam folat, berbagai mineral seperti magnesium,

kalium, kalsium dan Fe, namun tidak mengandung lemak maupu

kolesterol. Setiap buah dan sayur mempunyai kandungan vitamin dan

mineral yang berbeda. Misalnya belimbing, durian, jambu, jeruk, mangga,

melon, papaya, rambutan, sawo dan sirsak merupakan contoh buah yang

mengandung vitamin C relatif tinggi dibandingkan buah lainnya.

Sedangkan jambu biji, merah garut, mangga matang, pisang raja dan

nangka merupakan sumber provitamin A yang sangat tinggi (Astawan,

2008).

Menurut Sekarindah (2008), kandungan vitamin dan mineral pada buah

dan sayur memang berbeda-beda, tidak saja diantara berbagai spesies dan

varietas, namun juga di dalam varietas sendiri yang tumbuh pada kondisi

lingkungan yang berbeda, iklim, macam tanah dan pupuk, semuanya

berpengaruh terhadap kandungan vitamin dan mineral dalam produk buah

dan ayur yang dihasilkan. Menurut Khomsan, dkk (2008), buah dan sayur

mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Ada dua alas an utama yang

membuat konsumsi buah dan sayur penting untuk kesehatan, yaitu:

1) Buah dan sayur san gat kaya akan kandungan vitamin, mineral dan zat

gizi lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Tanpa mengonsumsi


buah dan sayur, maka kebutuhan gizi seperti vitamin C, vitamin A,

potassium dan folat kurang terpenuhi. Oleh karena itu, buah dan sayur

merupakan sumber makanan yang baik dan menyehatkan.

2) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang mengonsumsi

tinggi buah dan sayur dapat menurunkan insiden terkena penyakit

kronis. Salah satu studi epidemiologi yang mengkaji secara umum

terhadap perilaku sekelompok masyarakat menunjukkan bahwa

masyarakat Cina, Jepang dan Korea lebih sedikit terkena kanker dan

penyakit jantung koroner dibandingkan masyarakat Eropa dan

Amerika. Hal ini disebabkan karena masyarakat Korea, Jepang dan

Cina dikenal sangat suka mengonsumsi sayuran dan buah-buahan lebih

banyak dari Negara Eropa dan Amerika.

3) Buah-buahan dan sayuran segar juga mengandung enzim aktif yang

dapat mempercepat reaksi-reaksi kimia di dalam tubuh. Komponen

gizi dan komponen aktif non-nutrisi yang terkandung dalam buah dan

sayur berguna sebagai antioksidan untuk menertalkan radikal bebas,

anti kanker dan menetralkan kolesterol jahat. Selain itu, dalam sayuran

dan buah terdapat dua jenis serat yang bermanfaat bagi kesehatan

pencernaan dan mikroflora usus, yaitu serat larut air dan tidak larut air.

Serat larut air dapat memperbaiki performa mikroflora usus sehingga

jumlah bakteri baik dapat tumbuh dengan sempurna. Sedangkan, serat

tidak larut air akan menghambat pertumbuhan bakteri jahat sebagai

pencetus berbagai macam penyakit (Khomsan, dkk, 2008).

4. Dampak Kurang Konsumsi Buah dan Sayur

Beberapa dampak apabila seseorang kurang konsumsi buah dan sayur

menurut Ruwaidah (2007), antara lain:


a. Meningkatkan Kolesterol Darah

Jika tubuh kurang konsumsi buah dan sayur yang kaya akan serat,

makadapat mengakibatkan tubuh kelebihan kolesterol darah, karena

kandungan serat dalam buah dan sayur mampu menjerat lemak dalam

usus, sehingga mencegah penyerapan lemak oleh tubuh. Dengan

demikian, serat membantu mengurangi kadar kolesterol dalam

darah.Serat tidak larut (lignin) dan serat larut (pectin, β-glucans)

mempunyai efek mengikat zat-zat organik seperti asam empedu dan

kolesterol sehingga menurunkan jumlah asam lemak di dalam saluran

pencernaan. Pengikatan empedu oleh serat juga menyebabkan asam

empedu keluar dari siklus enterohepatic, karena asam empedu yang

disekresi ke usus tidak dapat diabsorpsi, tetapi terbuang ke dalam

feses.Penurunan jumlah asam empedu menyebabkan hepar harus

menggunakan kolesterol sebagai bahan untuk membentuk asam

empedu. Hal inilah yang menyebabkan serat dapat menurunkan kadar

kolesterol (Nainggolan dan Adimunca, 2005). Jika konsumsi serat

kurang, maka proses tersebut tidak terjadi dan akan menyebabkan

kolesterol darah meningkat.

b. Gangguan Penglihatan/Mata

Gangguan pada mata dapat diakibatkan karena tubuh kekurangan

giziyang berupa betakaroten. Gangguan mata dapat diatasi dengan

banyak mengonsumsi wortel, selada air, dan buah-buahan lainnya

(Ruwaidah, 2007).

Kandungan vitamin A dalam buah dan sayur penting untuk

pertumbuhan, penglihatan dan meningkatkan daya tahan tubuh

terhadap penyakit dan infeksi.Vitamin A berfungsi dalam penglihatan


normal pada cahaya remang.Kecepatan mata beradapatasi setelah

terkena cahaya terang berhubungan langsung dengan vitamin A yang

tersedia di dalam darah untuk membentuk rodopsin yang membantu

proses melihat (Ruwaidah, 2007).

c. Menurunkan Kekebalan

Tubuh Buah dan sayur sangat kaya dengan kandungan vitamin C

yang merupakan antioksidan kuat dan pengikat radikal bebas. Vitamin

C juga meningkatkan kerja system imunitas sehingga mampu

mencegah berbagai penyakit infeksi bahkan dapat menghancurkan sel

kanker (Silalahi, 2006). Jika tubuh kekurangan asupan buah dan sayur,

maka imunitas/kekebalan tubuh akan menurun.

d. Meningkatkan Risiko Kegemukan

Kurang konsumsi buah dan sayur dapat meningkatkan risiko

kegemukan dan diabetes pada seseorang (WHO, 2003). Buah berperan

sebagai sumber vitamin dan mineral yang penting dalam proses

pertumbuhan. Buah juga bisa menjadi alternatif cemilan (snack) yang

sehat dibandingkan dengan makanan jajanan lainnya, karena gula yang

terdapat dalam buah tidak membuat seseorang menjadi gemuk namun

dapat memberikan energi yang cukup (Khomsan, dkk, 2009).

Sayuran juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat

bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan individu.

Seseorang yang mengonsumsi cukup sayuran dengan jenis yang

bervariasi akan mendapatkan kecukupan sebagian besar mkineral

mikro dan serat yang dapat mencegah terjadinya kegemukan. Selain

itu, sayuran juga berperan dalam upaya pencegahan penyakit


degeneratif seperti PJK (Penyakit Jantung Koroner),kanker, diabetes

dan obesitas (Khomsan, dkk, 2009).

e. Meningkatkan Risiko Kanker Kolon

Diet tinggi lemak dan rendah serat (buah dan sayur) dapat

meningkatkan risiko kanker kolon. Penelitian epidemiologis

menunjukkan perbedaan insidenkanker kolorektal di Negara maju

seperti Amerika, Eropa dan di Negara berkembang seperti Asia dan

Afrika. Hal itu dikarenakan perbedaan jenis makanan di Negara maju

dan Negara berkembang tersebut, dimana masyarakat di Negara maju

lebih banyak mengonsumsi lemak daripada di Negara berkembang

(Puspitasari, 2006).

5. Kecukupan Konsumsi Buah dan Sayur yang dianjurkan

WHO menganjurkab konsumsi buah dan sayur untuk hidup sehat

sebanyak 400 gram per orang per hari, yang terdiri dari 150 gram buah dan

250 gram sayur. Bagi orang Indonesia dianjurkan konsumsi sayur dan

buah 400-500 gram per orang per hari bagi anak balita dan anak usia

sekolah, dan 400-600 gram per orang per hari bagi remaja dan orang

dewasa. Sekitar dua-pertiga dari jumlah konsumsi buah dan sayur tersebut

adalah porsi sayur. Menurut WHO/FAO (2003), yang dimaksud dengan 1

porsi sayur adalah 1 mangkon sayur segar atau ½ mangkok sayur masak

dan 1 porsi buah adalah 1 potongan sedang atau 2 potongan kecil buah

atau 1 mangkok buah irisan. Konsumsi buah dan sayur dianggap “cukup”

apabila asupan buah dan sayur 5 porsi atau lebih perhari. Sedangkan yang

dianggap kurang apabila asupan buah dan sayur kurang dari 5 porsi sehari.

Menurut Pedoman Gizi Seimbang (2014), UU kesehatan no. 36 tahun

2009, masyarakat Indonesia di anjurkan menhgkonsumsi 3-5 porsi sayur


yaitu sebanyak 150-200 gram atau 1 ½ - 2 maangkok sayuran sehari, dan

untuk buah masyarakat dianjurkan mengkonsumsi buah 2-3 porsi perhari

yaitui sebanyal 200-300 gram atau 2-3 potong porsi sehari berupa papaya

atau buah lainnya. (Kemenkes RI, 2014)

Gambar 2.1 Tumpeng Gizi Seimbang

6. Penilaian Perilaku Konsumsi

Penilaian Konsumsi makanan adalah salah satu metode yang

digunakan dalam penetuan status gizi perorangan atau kelompok. Akan

tetapi hasil penilaian konsumsi makanan hanya dapat digunakan sebagai

bukti awal akan kemungkinan terjadi kekurangan gizi pada seseorang atau

masyarakat secara langsung.

Menurut Gibson (2005), secar umum penilaian konsumsi dapat

mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukuoan bahan

makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga bahkan

perorang serta factor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi

makanan tersebut. Penilaian konsumsi dapat dibagi menjadi 3 tingkat,

yaitu tingkat nasional, rumah tangga dan individu. Berikit beberapa

metode penilaian konsumsi secara kuantitatif tingkat individu.

Menurut Gibson (2005), penilaian konsumsi makanan seseorang dibagi

menjadi beberapa metode, diantaranya:

a. Metode Food Recall 24 jam

Prinsip dari metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis

dalam jumlah bahan makanan yang dikonsumsi dalam periode 24 jam

yang lalu. Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa recall 24

jam dsta yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. oleh karena itu,

untuk mendapatkan data kuantitatif, mak jumlah konsumsi makanan


individu ditanyakan secara teliti dengan menggunkan alat URT

(sendok, gelas, piring, dan lain-lain). Jika pengukuran dilakukan hanya

satu kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representative

untuk menggambarkan kebiasaan individu. Oleh karena itu, recall 24

jam sebaiknya dilakukan secara berulang-ualang dengan hari yang

berturut-turut. Akan tetapi beberapa penilitian menunjukkan bahwa

minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, mampu

menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan

variasi yang lebih besar tentang asupan harian individu.

b. Estimated Food Records

Metode ini juga disebut “food record” atau “diary record” yang

digunakan untuk mencatat jumlah makanan yang dikonsumsi. Pada

metode ini responden diminta untuk mencatat semua yang ia makan

dan minum setiap kali sebelum kanan dalam URT (Ukuran Rumah

Tangga) atau menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode

tertentu (2-4 hari berturut-turut), termasuk cara persiapan dan

pengolahan makana tersebut. Metode ini dapat memberikan informasi

konsumsi yang mendekati sebenarnya tentang jumlah energy dan zat

gizi yang dikonsumsi oleh individu akan tetapi penggunaan metode

cenderung lebih membebani responden sehingga membuat responden

berubah kebiasaan makanannya terlebih dibutuhkan kejujuran dan

kemampuan responden dalam mencatat dan memperkirakan jumlah

yang dikonsumsi.

c. Penimbangan Makanan (Food Weighing)

Pada metode penimbangan makanan, responden atau petugas

menimbang dan mencatata seluruh makana yang dikonsumsi


responden selama 1 hari. Penimbanagan ini biasanya berlangsung

beberapa hari tergantung dari tujuan, dana penelitian dan tenaga yang

tersedia. Perlu diperhatikan, bila terdapat sisa makanan setelah makan

maka perlu juga ditimbang sisa tersebut untuk mengetahui jumlah

sesungguhnya makanan yang dikonsumsi. Meski pada umumnya data

yang diperoleh lebih akurat jika menggunakan metode ini, namun

dalam pelaksanaannya memerlukan waktu dan uang yang lebih besar,

terlebih dibutuhkan kerjasama yang baik dengan responden.

d. Food Frequensy Questionnaire (FFQ)

Food Frequency Questionnaire (FFQ) sudah banyak digunakan

dalam berbagai studi epidemiologi. Lembar Food Freqeuncy

Questionnaire (FFQ) memilki dua baguan utama, yaitu daftar nama

makanan atau kelompok makanan tertentu dan urutan waktu konsumsi

responden yang biasanya berada dalam rentan waktu tertentu. Pilihan

urutan waktu konsmusi dalam FFQ biasanya bersifat umum, misalnya

sering, kadang-kadang, dan tidak pernah dan bisa juga digambarkan

dengan hitungan hari yang lebih spesifik seperti dalam rentan waktu

mingguan ataupun bulanan.

Food Frequency Questionnaire (FFQ) ada yang bersifat kualitatif

dan semi kuantitaf. lembaran FFQ kualitatif berisikan daftar nama

makanan atau kelompok makanan dan pilihan waktu konsumsi

rsponden yang dapat dilihat dengan keterangan sering, kadang-kadang,

dan tidak pernah ataupun hitungan hari. Sedangkan semi kuantitatif

adalah lembaran FFQ kualitatif yang ditambahkan dengan ukuran

rumah tangga atau jumlah perjenis makanan sehingga dapat dihitung

asupat zat gizinya.


B. Remaja

1. Definisi

Masa remaja merupakan masa perubahan yang dramatis, pertumbuhan

pada usia anak-anak relatif terjadi dengan kecapatan yang sama dialami

oleh pertumbuhan remaja, peningkatan pertumbuhan yang disertai

perubahan hormonal, kognitif dan emosional. Semua masa perubahan ini

membutuhkan zat gizi secara khusus (Ari Istiany, 2013)

Remaja adalah individu baik perempuan maupun laki-laki yang berada

pada usia antara anak-anak dan dewasa. Batasan remaja dalam hal ini

adalah usia 10 sampai 19 tahun menurut klasifikasi World Health

Organization (WHO). Menurut (Brown,2005) dalam (Lestari, Dwi A,

2013) dalam hal tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan

kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan mengalami

tahap berikut:

a. Masa remaja awal/ dini (early adolescenes): usia 11-14 tahun

Pada masa ini terjadi pertumbuhan fisik yang sangat cepat, di masa ini

pengaruh teman sebaya sangat kuat, dan dimasa ini juga terjadi

perkembangan kognitif yang didominasi oleh konsentrasi dalam

berpikir, ego dan dorongan perilaku.

b. Masa remaja pertengahan (middle adolescenes) usia 15-17 tahun

Pada masa ini ditandai dengan perkembangan emosi dan independensi

dari keluarga terutama orangtua. Mereka juga mulai lebih

memperhatikan lingkungan sosial sekitarnya yang buat nereka lebih

sering menghabiskan waktu bersama dengan teman sebaya di luar

rumah. Dan dimasa ini peran teman sebaya juga berpengaruh terhadap
penilaian makanan. Penielaian makanan didasarkan atas kesamaan

dengan teman daripada kebutuhan mereka

c. Masa remaja lanjut (late adolescenes) usia 18-21 tahun

Pada masa ini terjdi perkembanagan jati diri, dan kepercayaan moral

individu karena ketergantungan dengan teman sebaya mulai

berkurang. Mereka lebih percaya diri dan mamapu dalam menangani

kehidupan sosialnya sendiri, mereka juga lebih memikirkan minat dan

tujuan masa depan mereka, lebih stabil dan mampu membuat

keputusan.

Masa remaja adalah masa peralihan dari anak menjadi dewasa,

ditandai dengan perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai

dengan berfungsinya alat reproduksi seperti menstruasi untuk remaja

wanita dan mimpi basah untuk remaja pria. Pada masa remaja

pertumbuhan fisik terjadi sangat cepat.

Usia remaja merupakan periode rentan gizi karena berbagai sebab.

Pertama, remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena

peningkatan pertumbuhan fisik. Kedua, perubahan gaya hidup dan

kebiasaan makan makan pada remaja mempengaruhi baik asupan

maupun kebutuhan gizinya. Ketiga, remaja yang mempunyai kebutuhan

gizi khusus yaitu remaja uang aktif dalam kegiatan olahraga, menderita

penyakit kronis, melakukan diet secara berlebihan, pecandu alcohol dan

obat terlarang. (Almatsier, 2011)

2. Perilaku Makan pada Remaja

Usia remaja merupakan usia di mana terdapat perubahan-perubahan

hormonal, perubahan struktur fisik dan psikologis mengalami perubahan

drastis. Masa remaja yang menjembatani periode kehidupan anak dan


dewasa yang berawal pada usia 9-10 tahun dan berakhir di usia 18 tahun.

Masalah gizi yang utama dialami oleh para remaja diantaranya yaitu

anemia defisiensi zat besi, kelebihan berat badan/ obesitas dan

kekurangan zat gizi. Hal ini berkaitan dengan marak dan meningkatnya

konsumsi makanan olahan yang nilai gizinya kurang, namun memiliki

banyak kalori sebagai faktor pemicu obesitas pada usia remaja.

Konsumsi jenis-jenis junk food menyebabkan para remaja rentan sekali

kekurangan zat gizi serta perubahan patologis pada remaja yang terlalu

dini (Ari Istiany, 2013).

Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak

pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya setelah dewasa dan

berusia lanjut. Kekurangan zat besi akan menimbulkan anemia dan

keletihan, kondisi yang menyebabkan mereka tidak mampu merebut

kesempatan bekerja. Remaja membutuhkan lebih banyak zat besi dan

wanita lebih banyak lagi untuk mengganti zat besi yang hilang bersama

darah haid. Dampak negatif kekurangan mineral kerap tidak kelihatan

sebelum mereka mencapai usia dewasa. Contohnya kalsium sangat

penting dalam pembentukan tulang pada usia remaja dan dewasa muda.

Kekurangan kalsium selagi muda merupakan penyebab osteoporosis pada

usia lanjut, dan keadaan ini tidak dapat ditanggulangi dengan

meningkatkan konsumsi zat ini ketika tanda penyakit ini tampak.

Ketidak seimbangan antara asupan dan keluaran energi

mengakibatkan pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul pada

usia remaja cenderung berlanjut hingga kemasa dewasa dan lansia.

Sementara obesitas itu sendiri merupakan salah satu faktor resiko

penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, artritis,


penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker, gangguan fungsi

pernapasan, dan berbagai gangguan kulit (Arisman, 2010).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku makan pada remaja

menurut teori Lawrence Green (1980) dalam (Nurjanah, 2017) terdapat 3

faktor utama, yaitu:

a. Faktor Predisposisi (predisposing factors)

Faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau

mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain

pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi,

agama, budaya, dan sebagainya.

b. Factor Pendukung (Enabling factor)

Faktor pendukung adalah faktor yang memungkinkan atau

memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor

pendukung adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya

prilaku makan, seperti uang saku dan aktivitas.

c. Factor Pendorong (Reinforcing factor)

Faktor pendorong adalah faktor yang memperkuat atau mendorong

seseorang untuk berprilaku, yang berasal dari orang lain seperti teman,

iklan/ media massa.

Sedangkan menurut Mary E. Barasi (2009) dalam (Nurjanah, 2017)

Pola makan seseorang pada dasarnya tidak dapat dibentuk dengan

sendirinya, berbagai macam faktor yang mempengaruhi pemilihan

makanan seseorang adalah sebagai berikut:

a. Faktor Internal
1) Faktor fisiologis: rasa lapar atau kebutuhan untuk makan dan rasa

kenyang (menghentikan asupan makanan/ mencegah proses makan

selanjutnya).

2) Faktor Psikologis

a) Nafsu makan yaitu keinginan terhadap makanan tertentu,

berdasarkan pengalaman.

b) Aversi (pantangan) yaitu menghindari makanan tertentu,

berdasarkan (apa yang dianggap sebagai) pengalaman masa

lalu.

c) Preferensi (kesukaan), dibentuk dari seringnya kontak dengan

makanan tersebut dan proses belajar dini (ketika pertama kali

diperkenalkan pada makanan).

d) Emosi (mood, stres), makanan tertentu dikaitkan dengan emosi

positif atau negatif.

e) Tipe kepribadian, kepekaan terhadap pemicu eksternal dan

internal yang mempengaruhi asupan makan.

b. Faktor Eksternal

1) Budaya

Budaya adalah penentu utama dari pemilihan makanan, budaya

memberikan dan memperkuat identitas dan rasa memiliki, dan

mempertegas perbedaan dari budaya lain. Pengaruh budaya

mungkin sangat jelas (makanan pokok, sebagian besar hidangan

popular) atau tersamar (bumbu yang digunakan, cara memasak).

Budaya mendefinisikan apa yang dapat diterima sebagai

makanan, dan mungkin mengidentifikasi subkelompok mana

yang dapat mengkonsumsi makanan tersebut.


2) Agama

Agama sering menentukan konteks pemilihan makanan secara

luas. Beberapa agama di dunia memiliki peraturan tentang yang

diperbolehkan, dan kapan makanan tersebut boleh atau tidak

boleh dimakan. Larangan ditetapkan mengenai jenis daging,

daging secara umum dan cara memasak dan kombinasi makanan

juga diatur oleh ketentuan ini. Peraturan mungkin juga meliputi

lama puasa, ritual dan perayaan. Penganut agama-agama ini

membatasi pilihan makanan mereka, tetapi juga memperoleh rasa

identitas.

3) Keputusan etis

Cara menghasilkan makanan dapat dipengaruhi pemilihan

makanan. Ada banyak keprihatinan mengenai cara pemeliharaan

hewan untuk dimakan dan cara bertani yang merusak lingkungan.

Pendukung suatu prinsip etika mungkin mengubah pilihan

makanannya agar sesuai dengan prinsip yang dianutnya, memilih

makanan produk organik menjadi vegan atau vegetarian.

4) Faktor ekonomi

Dalam kelompok budaya atau agama manapun, akses terhadap

makanan (kemampuan memperoleh makanan) dalam hal uang

atau barang penukar merupakan faktor kritikal dalam menentukan

pilihan makanan. Semakin tinggi status ekonominya, semakin

banyak jumlah dan jenis makanan yang dapat diperoleh.

Sebaliknya, orang yang hidup dalam kemiskinan atau

berpenghasilan rendah memiliki kesempatan yang sangat terbatas

untuk memilih makanan. Ini mungkin merupakan akibat dari


tidak tersedianya makanan di daerah mereka, kurangnya uang

untuk membeli makanan, atau keduanya.

5) Norma sosial

Perilaku yang dapat diterima oleh lingkup sosial seseorang, dalam

kaitannya dengan makanan, berpengaruh kuat terhadap pemilihan

makanan. Hal ini ditunjukkan melalui tekanan oleh teman sebaya

(peer pressure) dan memperkuat keyakinan orang tersebut tentang

makanan. Norma ini dapat melanggengkan pilihan makanan

berdasarkan jenis kelamin: beberapa makanan dipandang lebih

“maskulin” (daging berwarna merah, bir), sedangkan yang lain

lebih “feminism” (salad, anggur putih). Norma social mungkin

juga menentukan status makanan, beberapa makanan dianggap

lebih berkelas (seringkali mahal) sehingga digunakan untuk

membuat orang lain terkesan, dikonsumsi pada acara khusus saja,

atau tidak pernah dimakan karena “bukan untuk orang seperti

saya”.

6) Pendidikan/ kesadaran tentang kesehatan

Faktor ini berasal dari lingkungan eksternal dan menentukan

besarnya perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

makanan dan gizi, dan seberapa jauh masalah kesehatan

menentukan pilihan makanan. Sebagian besar penghalang,

termasuk beberapa faktor eksternal yang dibahas di sini, mungkin

ikut mempengaruhi proses ini.

Pengenalan akan resiko dari diet yang tidak sehat, relevansinya

bagi seseorang, dan kemampuan untuk menindaklanjutinya

dengan pemilihan makanan merupakan prasyarat kunci.


7) Media dan periklanan

Kedua hal ini memberi informasi tentang beberapa makanan,

biasanya makanan yang diproses atau diproduksi di pabrik dan

mungkin kurang baik nilai gizinya karena banyak mengandung

lemak, garam dan gula. Semakin sering diiklankan, semakin

dikenalilah produk tersebut dan semakin banyak pula permintaan

akan prosuk tersebut. Anak dari keluarga berpenghasilan rendah

yang sering menonton televisi paling banyak mengkonsumsi

makanan yang diiklankan.

3. Kebutuhan Nutrisi pada Remaja

Menurut (Arbianingsih dan Huriati, 2011) Usia remaja merupakan

tahap dimana anak tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat.

Kebutuhan nutrisi remaja relatif lebih besar karena pertumbuhan lebih

cepat terutama penambahan tinggi badan. Perbedaan kebutuhan gizi anak

laki-laki dan perempuan dikarenakan anak laki-laki lebih banyak

melakukan aktifitas fisik sehingga membutuhkan energi yang lebih

banyak, sedangkan perempuan sudah masuk usia baligh sehingga

membutuhkan protein dan zat besi yang lebih banyak.

Golongan ini disebut golongan anak yang biasanya mempunyai

banyak perhatian dan aktivitas diluar rumah sehingga melupakan waktu

makan.. Makanan remaja seperti makanan orang dewasa. Bertambahnya

berbagai ukuran tubuh pada proses tumbuh, salah satunya dipengaruhi

oleh faktor nutrisi pada makanan (Arisman, 2010).

Hal-hal yang harus diperhatikan terkait dengan karakteristik remaja

dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi, yaitu:


a. Teman sebaya atau kelompok/ group yang akan mempengaruhi pola

makan anak

b. Anak sering tidak sempat makan dirumah karena banyaknya aktivitas

diluar rumah, baik sekolah, di krlompok, di klub olahraga maupun

kegiatan yang lainnya, sehingga mereka akan makan di waktu luang

antara aktivitas.

c. Kemungkinan anak akan meninggalkan satu waktu makan karena

kesibukan melakukan aktivitas.

d. Anak lebih menyukai makanan ringan

e. Beberapa anak perempuan mungkin telah memperhatikan bentuk

badannya sehingga pola makannya akan diatur dan dibatasi. Beberapa

anak lainnya yang mengalami stress sehingga sebagai pelariannya

adalah makan yang berlebih.

Pemenuhan kebutuhan perkembangan pada usia remaja yang sangat

cepat itulah membutuhkan nutrisi yang esensial, yaitu:

a. Protein

Protein dibutuhkan untuk membangun dan memelihara otot, darah,

kulit dan jaringan serta organ tubuh. Pada remaja , fungsi terpenting

protein adalah untuk pertumbuhan. Protein hewani mempunyai mutu

protein yang lebih baik dibandingkan protein nabati karena susunan

asam aminonya lebih lengkap.

Kebutuhan protein pada remaja meningkat karena proses tumbuh

kembang berlangsung cepat. Apabila asupan energi terbatas/kurang,

protein akan digunakan sebagai energi. Kebutuhan protein untuk

remaja laki-laki di usia 10-12 tahun sebesar 40 g/hari, usia 13-15

tahun 60 g/hari, usia 16-18 tahun sebesar 65 g/hari. Sedangkan


kebutuhan protein untuk remaja perempuan di usia 10-12 tahun

sebesar 50 g/hari, usia 13-15 tahun 57 g/hari, usia 16-18 tahun 50

g/hari. Sumber protein hewani terdapat dalam telur, ikan, daging,

unggas, susu dan hasil olahannya. Sedangkan sumber protein nabati

pada kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti tempe, tahu, dan

susu kedelai (Dedeh Kurniasih, 2010).

b. Lemak

Lemak berfungsi sebagai sumber energi, penyerapan beberapa

vitamin, selain itu lemak juga berfungsi untuk pertumbuhan terutama

sel otak. Kebutuhan lemak yang dianjurkan 15-20% jumlah energi

total berasal dari lemak. Lemak dibedakan menjadi lemak nabati dan

hewani. Lemak nabati berasal dari tumbuh-tumbuhan sedangkan

lemak hewani berasal dari hewan termasuk ikan, telur dan susu.

Khusus untuk remaja perempuan perlu diperhatikan asupan zat besi

dan folat, vitamin A, C dan berbagai vitamin B, agar terhindar dari

anemia dan masalah gizi lain (Dedeh Kurniasih, 2010)

c. Karbohidrat

Asupan karbohidrat secara tidak langsung berperan dalam proses

pertumbuhan. Konsumsi karbohidrat akan disimpan dalam tubuh

dalam bentuk glikogen atau lemak tubuh. Sumber utama karbohidrat

berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hanya sedikit yang berasal dari

hewani. 1 gram karbohidrat menghasilkan 4 kal.

Karbohidrat merupakan zat gizi sumber energi utama dalam

susunan menu untuk remaja. Remaja perlu mengkonsumsi karbohidrat

yang cukup sebagai zat tenaga agar mampu menjalani aktivitas yang

cukup banyak. Karbohidrat merupakan kecukupan energi yang


diperlukan untuk kegiatan sehari-hari dan proses metabolisme tubuh.

Kecukupan energi diperlukan untuk kegiatan sehari-hari dan proses

metabolisme tubuh. Cara sederhana untuk menetahui kecukupan

energi dapat dilihat dari BB-nya. (Dedeh Kurniasih, 2010).

Anak perempuam usia 11 tahun sudah memasuki pubertas dan anak

laki-laki pada usia 12 tahun. Kebutuhan kalori remaja laki-laki usia

11-14 tahun sebesar 60 kkal/kgBB/hari,remaja laki-laki usia 15-18

tahun membutuhkan kalori sebesar 42 kkal/kgBB/hari, remaja

perempuan uaia 11-14 tahun membutuhkan kalori sebesar 48

kkal/kgBB/hari dan remaja perempuan usia 15-18 tahun

membutuhkan kalori sebesar 38 kkal/kgBB/hari.

d. Vitamin dan mineral

Vitamin dan mieral dibutuhkan dalam jumlah kecil daripada

protein, lemak dan karbohidrat tetapi sangant esensial untuk tubuh.

Keduanya mengatur keseimbangan kerja tubuh dan kesehatan secara

keseluruhan.

Terdapat 2 golongan vitamin yaitu vitamin larut dalam lemak dan

vitamin larut air. Vitamin yang larut lemak adalah vitamin a, d, e, dan

k, sedangkan vitamin yang larut dalam air adalah vitamin b kompleks

(tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, dan vitamin b12) dan vitamin c.

Mineral yang dibutuhkan dalan tubuh jauh lebih dari 100 mg

sehari. Mineral memegang peranan penting dalam pemeliharaan

fungsi tubuh baik pada tingkat sel, jaringan organ, maupun fungsi

tubuh secara keseluruhan.(Arisman, 2010)

e. Kalsium
Kalsium merupakan unsur mineral penting yang paling banyak

terdapat dalam tubuh. Sumber kalsium adalah susu dan hasil

olahannya, ikan kecil-kecil yang dimakan dengan tulangnya, ikan

kalengan, bayam, daun melinjo, sawi, daun katuk dan tahu.

f. Fosfor

Fosfor berfungsi dalam pembentukan dan perkembangan tulang dan

gigi, pembentukan komponen sel yang esensial berperan dalam

pelepasan energy karbohidrat dan lemak, serta memperhatikan

keseimbangan cairan tubuh. Sumber fosfor terdapat dalam daging,

ikan, telur, keju dan gandum.

g. Besi (Fe)

Zat besi berfungsi sebagai sistem enzim, serta merangsang produksi

dan fungsi sel darah merah. Sumber zat besi terdapat dalam daging,

ikan dan sayuran hijau.

h. Seng (Zn)

Di dalam tubuh seng berperan penting dalam proses pertumbuhan

tulang. Seng dapat meningkatkan absorpsi vitamin A, tetapi

menurunkan absorpsi kalsium. Sumber seng adalah kerang, daging,

unggas, ikan laut, keju, susu, kacang-kacangan dan serealia.

C. Teori Leininger “Transcultural Nursing”

Keperawatan transkultural merupakan salah satu area utama dalam

keperawatan yang berfokus pada study komparatif dan analisis budaya dan

sub-budaya yang berbeda di dunia sehingga dapat memberikan perilaku

caring. Pelayanan keperawatan, nilai-nilai, keyakinan tentang sehat-sakit, dan

pola tingkah laku yang tujuannya mengembangkan body of knowledge yang

ilmiah dan humanistic guna memebri tempat praktik keperawatan berdasarkan


budaya tertentu dan budaya yang universal. Teori traskultural menekan kepada

pentingnya peran perawat untuk mengetahui dan memhami budaya klien, baik

itu individu, keluarga, kelompok, serta masyarakat. Hal ini dapat mencegah

terjadinya culture shock ataupun culture imposition. (Risnah, 2018)

Leininger (2002) menggambarkan teori keperawatan traskultural matahari

yang biasa disebut Sunrise’s Model. model ini menggambarkan keberagaman

budaya dalam kehidupan sehari-hari dan menjelaskan alasan mengapa

pengkajian budaya harus dilakukukan secara komperhensif. Model tersebut

beranggapan bahwa nilai-nilai pelayanan budaya, kepercayaan dan praktik

merupakan hal yang tidak dapat diubah dalam budaya dan dimensi struktural

sosial masyarakat, termasuk didalamnya konteks lingkungan, bahasa dan

riwayat etnik (Perry and Potter 2009). Tujuan teori ini adalah untuk

mengetahui perawatan yang beranekaragam kepada manusia dan bersifat

universal yang berhubungan dengan pandangan panitia, struktur sosial dan

dimensi lainnya. Kemudian untuk mengetahui adat-istiadat, untuk

memberikan perawatan budaya yang sama untuk orang-orang yang berbeda

atau yang memiliki budaya sama, untuk mempertahankan atau memperoleh

keadaan yang baik, sehat menghadapi kematian dengan cara yang tepat sesuai

dengan budaya mereka (Leininger 2002).

Gambar 2.1 Leininger’s Sunrise Model to Depict Dimensions of the

Theory of Culture Care Diversity and Universality (Leininger 2002)

Trancultural Nursing Theory merupakan disiplin ilmu yang ditemukan

oleh Madeleine Leininger. Teori ini menekankan konsep yang berhubungan

dengan budaya, nilai-nilai, keyakinan, dan praktik individu atau kelompok

budaya yang sama atau berbeda, dengan tujuan untuk memberikan praktik
budaya perawatan spesifik dan universal untuk kesehatan dan kesejahteraan

orang atau untuk membantu mereka menghadapi kondisi yang tidak

menguntungkan (Leininger 2002).

Model ini merupakan suatu alat yang produktif untuk memberikan

panduan dalam pengkajian dan perawatan yang sejalan dengan kebudayaan

dan penelitian ilmiah. Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk

mengidentfikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya

klien (Giger and Davidhizar 2013).

Sunrise model Leininger merupakan suatu teori yang diaplikasikan dalam

praktik transcultural nursing. Menurut Leininger, konsep utama dalam

keperawatan transkultural adalah sebagai berikut:

a. Culture Care

Nilai-nilai, keyakinan, norma, pandangan hidup yang dipelajari dan

diturunkan serta diasumsikan yang dapat membantu mempertahankan

kesejahteraan serta meningkatkan kondisi dan cara hidupnya.

b. World View

Cara pandang individu atau kelompok dalam memandang kehidupannya

sehingga menimbulkan keyakinan dan nilai.

c. Culture and Social Structure Dimention

Pengaruh dari faktor-faktor budaya tertentu (sub budaya) yang mencakup

religius, kekeluargaan, politik dan legal, ekonomi, teknologi dan nilai

budaya yang saling berhubungan dan berfungsi untuk mempengaruhi

perilaku dalam konteks lingkungan yang berbeda.

d. Generic Care System


Budaya tradisional yang diwariskan untuk membantu, mendukung,

memperoleh kondisi kesehatan, memperbaiki atau meningkatkan kualitas

hidup untuk menghadapi kecacatan dan kematiannya.

e. Profesional System

Pelayanan profesional yang diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan

yang memilki pengetahuan dari proses pembelajaran di institusi

pendidikan formal serta melakukan pelayanan kesehatan secara

profesional.

f. Cultural Care Preservation

Upaya untuk mempertahankan dan memfasilitasi tindakan profesional

untuk mengambil keputusan dalam memelihara dan menjaga nilai-nilai

pada individu atau kelompok sehingga dapat mempertahankan

kesejahteraan, sembuh dan sakit, serta mampu menghadapi kecacatan dan

kematian.

g. Cultural Care Accommodation

Teknik negosiasi dalam memfasilitasi kelompok orang dengan budaya

tertentu untuk beradaptasi/berunding terhadap tindakan dan pengambilan

kesehatan.

h. Cultural Care Repattering

Menyusun kembali dalam memfasilitasi tindakan dan pengambilan

keputusan profesional yang dapat membawa perubahan cara hidup

seseorang.

i. Culture Congruent / Nursing Care

Suatu kesadaran untuk menyesuaikan nila-nilai budaya/ keyakinan dan

cara hidup individu/ golongan atau institusi dalam upaya memberikan

asuhan keperawatan yang bermanfaat. (Pratiwi, 2011).


Dalam teori Leininger sunrise model, terdapat 7 faktor dimensi budaya dan

struktur sosial yang saling berkaitan yang harus ddi kaji terlebih dahulu, yaitu:

a. Faktor Teknologi (Technological Factors)

Teknologi kesehatan adalah sarana prasarana yang memungkinkan

individu untuk memilih atau mendapatkan penawaran yang menyelesaikan

masalah dalam pelayanan kesehatan. Masalah kesehatan adalah masalah

manusia dalam mencapai berbagai aspek kehidupan manusia, lingkungan

hidup dan budaya. Pemanfaatan teknologi kesehatan dipengaruhi oleh

sikap tenaga kesehatan, kebutuhan serta peminat masyarakat. Ketersediaan

sarana prasarana meliputi: fasilitas informasi, fasilitas kesehatan, alat,

uang, waktu, dan tenaga. Faktor teknologi dalam keperawatan

transkultural meliputi akses terhadap teknologi informasi, akses pada

media dan pers, akses pada alat elektronik di lingkungan, dan akses pada

pelayanan kesehatan, dan lain- lain (Melo 2013).

Teknologi kesehatan adalah sarana yang memungkinkan manusia untuk

memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam

pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi kesehatan,

maka perawat perlu mengkaji berupa: persepsi klien tentang penggunaan

dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat

ini, alasan mencari bantuan kesehatan, persepsi sehat-sakit, kebiasaan

berobat atau mengatasi masalah kesehatan. Alasan klien tidak mau operasi

dan klien memilih pengobatan alternatif. Klien mengikuti tes laboratorium

darah dan memahami makna hasil tes tersebut. (Sutria, 2013)

Faktor teknologi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

perilaku individu berdasarkan budaya. Faktor teknologi sebagai sumber

informasi yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi,


mempengaruhi kemampuan. Perkembangan media elektronik dan cetak

pada saat ini telah berkembang sangat pesat. Informasi tentang pola

pemberian makanan pada anak yang tepat dapat ditemukan di media

elektronik atau cetak (Leininger 2002)

b. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (Religious and Philosophical Factors)

Agama adalah suatu sistem simbol yang mengakibatkan pandangan dan

motivasi yang amat realistik bagi para pemeluknya. Sifat realistis

merupakan ciri khusus agama. Agama menyediakan motivasi yang kuat

untuk menempatkan kebenarannya di atas segalanya, bahkan di atas

kehidupan sendiri.

Pendekatan tradisional terhadap pencegahan penyakit berpusat sekitar

agama dan kepercayaan, termasuk praktik seperti membakar lilin, ritual

penebusan, dan sembahyang. Agama sangat mempengaruhi cara seseorang

berupaya untuk mencegah penyakit, dan agama memainkan peran kuat

dalam ritual yang berkaitan dengan perlindungan kesehatan. Agama

menggariskan praktik moral, sosial, dan diet yang dirancang untuk

menjaga penganutnya sehat dan dalam keadaan seimbang. Agama juga

memainkan peran penting dalam persepsi tentang pencegahan penyakit

pada penganutnya (Sutria, 2013).

Religiusitas dan filosofi meliputi adanya agama yang dianut, cara

pandang terhadap penyakit dan cara pengobatan/kebiasaan agama yang

mempunyai efek positif terhadap kesehatan. Selain itu, faktor religiusitas

dan filosofi yang dapat dikaji antara lain praktik keagamaan, konsultasi ke

dukun, arti hidup, kekuatan individu, kepercayaan, spiritualitas dan

kesehatan, nilai personal, norma dan kepercayaan agama, kebebasan

berpikir dan berekspresi, nilai institutional, hasil dan prioritas, peran


sosial, komunikasi antar institusi, komunikasi intrasektor, dan lain-lain

(Melo 2013).

Faktor agama yang dapat dikaji perawat, seperti: agama yang dianut,

kebiasaan agama yang berdampak positif bagi kesehatan, berikhtiar untuk

sembuh tanpa mengenal putus asa, mempunyai konsep diri yang utuh,

status pernikahan, persepsi klien terhadap kesehatan dan cara beradaptasi

terhadap situasi saat ini, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit,

cara pengobatan dan penularan kepada orang lain. (Sutria, 2013)

c. Faktor Sosial dan Keterikatan Kekeluargaan (Kindship and Sosial Factors)

Dukungan keluarga merupakan bagian dari dukungan sosial yang

berfungsi sebagai sistem pendukung anggota-anggotanya dan ditunjukan

untuk meningkatkan kesehatan dan proses adaptasi. Setiap anggota

keluarga memiliki beberapa peran dalam keluarga antara lain motivator,

edukator, dan fasilitator. Kepala keluarga atau suami berperan penting di

dalam suatu keluarga termasuk memberikan motivasi, edukasi, dan

memfasilitasi istri ketika memberikan makanan kepada anak (Efendi dan

Makhfudli 2009).

Menurut teori transcultural nursing oleh Leininger (2002) sosial dan

keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung anggota-anggotanya dan

ditunjukan untuk meningkatkan kesehatan dan proses adaptasi. Dukungan

sosial dan keluarga adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan

waktu, perhatian, dan dukungan dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental,

dan sosial. Faktor sosial dan keluarga meliputi perhatian/dukungan

keluarga terhadap ibu dalam pemberian makanan, rangsangan psikososial

dan praktik kesehatan anak.


Terdapat beberapa dimensi dukungan keluarga, yaitu (Arika 2013

dalam Isnatri 2016):

1. Dukungan emosional yang mencakup ungkapan empati, kepedulian

dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

2. Dukungan penghargaan yang mencakup ungkapan hormat/

penghargaan positif untuk orang lain, dorongan maju/ persetujuan

dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang

tersebut dengan orang lainnya misalnya orang tersebut kurang mampu

atau lebih buruk keadaannya (menambah harga diri).

3. Dukungan material/ instumental yang mencakup bantuan langsung

seperti dana atau barang.

4. Dukungan kognitif/ informatif yang mencakup memberi nasihat,

petunjuk dan saran.

Pada faktor sosial dan kekeluargaan yang perlu dikaji oleh perawat

adalah nama lengkap dan nama panggilan di dalam keluarga, umur atau

tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan

keputusan dalam anggota keluarga, hubungan klien dengan kepala

keluarga, kebiasaan yang dilakukan rutin oleh keluarga misalnya arisan

keluarga, kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat, misalnya ikut

kelompok olah raga atau pengajian. (Sutria, 2013)

d. Faktor Nilai-nilai Budaya dan Gaya Hidup (Cultural Values and Lifeways)

Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai

apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai budaya

adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya

yang dianggap baik dan buruk. Norma adalah suatu aturan sosial atau

patokan perilaku yang dianggap pantas. Norma-norma budaya adalah


suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut

budaya terkait.

Hal yang perlu dikaji antara lain: kepercayaan tertentu, tanggung jawab

terhadap kesehatan, mitos tentang pengobatan dan perawatan, persepsi

tentang tenaga kesehatan, referensi budaya, ras dan etnik tertentu, akses ke

informasi dan budaya, pengetahuan, sikap, kebiasaan tertentu, aktifitas

fisik, kebiasaan makanan, kebersihan, pandangan budaya, hiburan dan

rekreasi, alternatif gaya hidup, dan lain-lain (Melo 2013).

Budaya merupakan norma atau tindakan dari anggota kelompok yang

dipelajari, dan dibagi serta memberikan petunjuk berfikir, bertindak, dan

mengambil keputusan (Leininger 2002). Office of Minority Health (OMH)

menggambarkan budaya sebagai ide-ide, komunikasi, tindakan, kebiasaan,

kepercayaan, nilai-nilai, dan adat istiadat dari kelompok ras, etnik, agama,

atau sosial (Perry & Potter 2009)

Menurut (Sutria, 2013) hal-hal yang perlu dikaji berkaitan dengan nilai-

nilai budaya dan gaya hidup adalah posisi dan jabatan misalnya ketua adat

atau direktur, bahasa yang digunakan, bahasa non verbal yang ditunjukkan

klien, kebiasaan membersihkan diri, kebiasaan makan, makan pantang

berkaitan dengan kondisi sakit, sarana hiburan yang biasa dimanfaatkan

dan persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, misalnya sakit

apabila sudah tergeletak dan tidak dapat ke sekolah atau ke kantor.

e. Faktor Kebijakan dan Peraturan Rumah Sakit yang berlaku (Political and

Legal Factors)

Peraturan dan kebijakan rumah sakit atau intansi kesehatan yang

berlaku dan segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam

asuhan keperawatan lintas budaya.


f. Faktor Ekonomi (Economical Factors)

Teori transcultural nursing menjelaskan bahwa faktor yang

mempengaruhi nilai ekonomi seseorang adalah pemasukan dalam

keluarga, sumber penghasilan lain, asuransi kesehatan, dampak

penghasilan terhadap kesehatan (Andrews & Boyle, 2012). Pendapatan

dan harga produk makanan juga mempengaruhi tingkat konsumsi

makanan. Pendapatan tinggi akan menentukan daya beli yang baik.

Sebaliknya, pendapatan rendah akan menurunkan daya beli

(Sulistyoningsih 2011 dalam Subarkah, Nursalam and Rachmawati 2016).

Faktor ekonomi yang perlu dikaji adalah pekerjaan klien, sumber biaya

pengobatan, kebiasaan menabung dan jumlah tabungan dalam sebulan.

(Pratiwi, 2011)

g. Faktor Pendidikan (Education Factors)

Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam

menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. di dalam proses

menempuh pendidikan tersebut terjadi suatu proses eksperimental. Suatu

proses menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dimulai dari

keluarga dan selanjutnya dilanjutkan pada pendidikan di luar keluarga.

(Leininger, 1984). Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinannya

harus didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan dapat belajar

beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya.

(Pratiwi, 2011).

Menurut Nursalam (2017) teori Culture Care Sunrise Model mempunyai 4

pandangan level, yaitu:


1. Level pertama lebih abstrak yaitu bagaimana pandangan dunia dan level

sistem sosial, mengenai dunia di luar budaya, suatu suprasistem dalam

sistem umum.

2. Level dua yaitu pengetahuan tentang individu, keluarga, kelompok, dan

institusi pada sistem pelayanan kesehatan. Pada level ini unsur budaya

mulai tampak jelas, khususnya budaya tertentu, ekspresi dan hubungan

dengan pelayanan kesehatan yang sudah ada.

3. Level tiga, fokus pada sistem adat istiadat, tradisi yang ada di masyarakat,

sistem pelayanan profesional, medis dan keperawatan. Pada level ini

menunjukan karakteristik tiap sistem termasuk kekhususan masing-

masing, kesamaan dan perbedaan pelayanan berdasarkan budaya profesi

yang bervariasi dan pelayanan universal.

4. Level empat, ada pengambilan keputusan keperawatan dan tindakan-

tindakan melibatkan kultur penyediaan atau mempertahankan pelayanan.

Ada tiga tipe tindakan keperawatan yang diangkat Leininger yaitu:

1. Cultural Care Preservation or Maintenance

Yaitu tindakan membantu, memfasilitasi, atau memperhatikan

fenomena budaya guna membantu individu menentukan tingkat kesehatan

dan gaya hidup yang diinginkan. Prinsip ini juga memungkinkan tindakan

dan keputusan yang membantu klien dari budaya tertentu untuk

mempertahankan/ melestarikan nilai-nilai perawatan yang relevan,

sehingga mereka dapat menjadi lebih baik, pulih dari penyakit, atau

menghadapi cacat dan atau kematian. (Gonzalo, 2011).

Mempertahankan budaya dilakukan apabila budaya pasien tidak

bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi

keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan dengan yang


telah dimiliki oleh klien, sehingga klien dapat meningkatkan atau

mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya makan buah

sebelum makan makanan yang berat kandungan karbohidratnya.

2. Cultural Care Accommodation or Negotiation

Yaitu tindakan negosiasi, mendukung, membantu memfasilitasi, atau

memperhatikan fenomena budaya yang merefleksikan cara-cara untuk

beradaptasi, memungkinkan tindakan profesional yang kreatif dan

keputusan untuk membantu klien dari budaya yang ditunjuk untuk

bernegosiasi atau mempertimbangkan kondisi kesehatan dan gaya hidup

individu atau klien.

Pada tahap ini perawat membantu klien agar dapat memilih dan

menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan.

3. Cultural Care Repatterning or Restructuring

Yaitu tindakan merekonstruksi atau mengubah desain untuk membantu

memperbaiki kondisi kesehatan dan pola hidup klien ke arah yang lebih

baik. Proses meliputi membantu, mendukung, memfasilitasi, atau

memungkinkan tindakan profesional dan keputusan yang membantu klien

menyusun ulang, mengubah, atau sangat memodifikasi pola hidup mereka

untuk pola perawatan kesehatan yang baru, berbeda, dan menguntungkan,

sementara tetap menghormati nilai-nilai budaya dan kepercayaan klien.

(Gonzalo, 2011)

Melalui tiga tindakan ini akan menurunkan stres kultur dan potential konflik

antara klien dan petugas kesehatan (Nursalam 2017)


D. Kerangka Teori

Faktor Internal Faktor teori


Faktor Predisposisi:
-faktor fisiologis Leininger:
-Pengetahuan -faktor psikologis -Teknologi
-Sosial & Agama -Agama dan Falsafah
Faktor Eksternal:
hidup
-Sikap -Budaya
-Sosial dan
-Agama Keterikatan keluarga
Faktor Pendukung
-Keputusan Etis -Nilai-nilai budaya
-Uang saku -Ekonomi dan Gaya Hidup
-Aktivitas -Norma Sosial -Kebijakan dan
-Pendidikan Peraturan yang
Faktor Pendorong berlaku
-Media dan Iklan
-Teman -Ekonomi
-Pendidikan
-iklan

Gaya Hidup

Perilaku Konsumsi Buah


dan Sayur

Gambar 2.3 Kerangka Teori Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

konsumsi buah dan sayur. Sumber: Lawrence Green (2010), Mary

E. Barasi (2009), Leininger (2002)


E. Kerangka Konsep

Faktor teori Leininger


Teknologi

Agama dan Falsafah


Hidup

Sosial dan Keterikatan


Keluarga

Nilai-Nilai Budaya dan Perilaku


Gaya Hidup Konsumsi
Buah dan
Sayur
Kebijakan dan Peraturan
yang Berlaku

Ekonomi

Pendidikan

Variabel Independen Variabel Dependen


DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Almatsier, Sunita. (2011). Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Andrews, M. M. dan Boyle, J (2012) Transcultural Concepts in Nursing Care, 6th

ed. China: Wolters Kluwer

Ari Istiany &Rusilanti. (2013). Gizi terapan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Arisman. (2004). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC

Arisman. 2008. Sehat itu Mudah. Jakarta: Hikmah.

Arisman. 2009. Studi Peningkatan Pengetahuan Gizi Ibu dan Kader Posyandu

serta Perbaikan Gizi Keluarga. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat IPB

Astawan, Made dan Kasih, A.L. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

Astawan, Made. 2008. Sehat dengan Sayuran: Panduan Lengkap Mnejaga

Kesehtan dengan Sayuran. Jakarta: Dian Rakyat.

Brown, Judith, et al. 2005. Nutrition Through The Life Cycle. Second Edition.

USA: Thomson Wadsworth

Dedeh Kurniasih, dkk. (2010). Sehat & Bugar Berkat Gizi Seimbangn. Jakarta:

PT Gramedia.

Dewi, Y. 2013. Studi Deskriptif: Persepsi dan Periaku Makan Buah dan Sayur

pada Anak Obesitas dan Orang Tua. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas

Surabaya, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013.

Efendi dan Makhfudli (2009) Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan

Praktek dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.


Farida, Ida. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Konsumsi

Sayur dan Buah pada Remaja Indonesia Tahun 2007. Skripsi. Program Studi

Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta

Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of Nutrisional Assesment 2 nd Edition.

Oxford University Press: New York.

Giger, JN & Davidhizar (2013) Transcultural Nursing: Assesmentand

Intervention. Canada: Mosby Year Book.

Gonzalo, Angelo G. Madeleine M. Leininger-Theoretical Fondation of Nursing.

Dalam http://nursingtheories.weebly.com/madeleine-m-leininger.html

(ditelusuri tanggal 27 Januari 2016, Pukul 07:44). 2011

Isnatri, F. (2016) 'Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pola Pemberian

Makanan pada Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Berdasarkan Teori

Transcultural Nursing', Repository Universitas Airlangga. Fakultas

Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.

John W. Santrock (2007). Remaja, Jilid 2, Edisi 11. Jakarta: Erlangga.

Kbbi. 2014. Konsumsi [Online]. Available: Http://KBBI.Web.Id/Konsumsi

Kemenkes RI (2013) Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan.

Kemenkes RI (2014) Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Kementerian Kesehatan

RI.

Khomsan,A.2006.Solusi makanan Sehat.Jakarta:PT Raja Grafindo.

Leininger, M (2002) "Culture Care Theory : A Mayor Contribution to Advance

Transcultural Nursing Knowledge and Practices‟, Jounal Transculture Nursing,

vol. 13, hal. 189.


Lestari, Ayu Dwi. 2013. Skripsi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Perilaku Konsumsi Buah Dan Sayur Pada Siswa SMP 226 Jakarta Selatan

Tahun 2012. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Mary E. Barasi. (2009). At a Glance Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga.

Melo, L. P. d., (2013) Sunrise Model: a Contribution to the Teaching of Nursing

Consultation in Collective Health. American Journal of Nursing Research,

1(1), pp. 20-23.

Nurjanah, Rulliyati. 2017. Skripsi Faktor-Faktor Pola Makan Pada Remaja Di

Smk Negeri 4 Yogyakarta Tahun 2017. Universitas Negeri Yogyakarta

Nursalam (2017) Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.

4th Edn. Jakarta: Salemba Medika.

Perry & Potter (2009) Fundamental Keperawatan, Buku 1, edisi 7. Jakarta:

Salemba Medika.

Ruwaidah, Amin. 2007. Penyakit Akibat Lalai Mengkonsumsi Buah dan Sayur

serta Solusi Penyembuhannya. Diakses pada 30 oktober 2015 dari

www.healindonesia.com/2015/10/30/

Sekarindah, Titi. 2008. Terapi Jus Buah dan Sayur. Jakarta: Puspa Swara.

Sutria, Eny. Keperawatan Transkultural. Makassar: Alauddin University Press,

2013.

WHO. 2003. Fruit and Vegetable Intake In A Sample Of 11 Years Old Children

In 9 Europian Countries: The Pro Children Cross-Sectional Survey. Ann Nutr

Metab. Jul-Aug;49;236-245.Epub 2005 Jul 28.

WHO/FAO, 2003. Expert Report on Diet, Nutrition and The Prevention of

Chronic Disease. United Nations: Technical Report Series 916.

Anda mungkin juga menyukai