Anda di halaman 1dari 113

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR

3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN


BANGUNAN PERKOTAAN DI KELURAHAN
TALANG BETUTU KECAMATAN SUKARAMI KOTA
PALEMBANG

PROPOSAL

SKRIPSI

Oleh
Kelompok 1
1. Restu Ade Sanjaya NPM 02.18.140
2. RM. Arivai Umar NPM 02.18.138
3. Putri Ayu Wulandari Pratiwi NPM 02.18.136
4. Putri Syifa 02.18.135

PROGRAM STUDI JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA


SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN POLITIK
(STISIPOL) CANDRADIMUKA
PALEMBANG
2020
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR
3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN PERKOTAAN DI KELURAHAN TALANG
BETUTU KECAMATAN SUKARAMI KOTA
PALEMBANG

Diajukan oleh
KELOMPOK 1
1. RESTU ADE SANJAYA NPM 02.18.140
2. RM. ARIVAI UMAR NPM 02.18.138
3. PUTRI AYU WULANDARI PRATIWI NPM 02.18.136
4. PUTRI SYIFA 02.18.135

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing

Pembimbing Mengetahui,
Ketua Program Studi
Jurusan Ilmu Administrasi Negara

Deby Chintia Hestiriniah, S.Sos., M.Si M. Febrianza, S.ip., M.Si.


NIDN. NIDN.
Tanggal : Tanggal :

ii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT proposal skripsi


dengan judul: “Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011
Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perkotaan Di Kelurahan Talang Betutu
Kecamatan Sukarami Kota Palembang” ini dapat dikerjakan dan terselesaikan
tepat waktu. Pada kesempatan yang sangat baik ini, kami ucapkan terimakasih dan
penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada:

1. Ibu Dr. HJ Lishapsari Prihatini, M.Si, Ketua Stisipol Candradimuka


Palembang.
2. Bapak M. Febrianza, S.IP.,M.Si, Ketua Program Studi Jurusan Ilmu
Administrasi Negara.
3. Ibu Deby Chintia H,S.Sos.,M.Si, Sebagai Dosen Pembimbing
4. Bapak Lurah Talang Betutu beserta jajarannya. Yang telah memberikan
izin penelitian
5. Seluruh dosen Stisipol Candradimuka Palembang yang telah membekali
penulis dengan ilmu pengetahuan sehingga memungkinkan penulis
menyelesaikan pendidikan.
6. Teman-teman seperjuangan dan seluruh staf STISIPOL Candradimuka
Palembang, khususnya staf di Program Studi Ilmu Komadkespol yang
telah banyak membantu penulis demi lancarnya studi penulis.
7. Semua keluarga yang telah memberi bantuan moril dan materil sehingga
kami dapat menyelesaikan studi ini.

Semoga bantuan bapak dan ibu saudara/I yang telah diberikan kepada kami,
akan mendapat balasan dari Allah Yang Maha Esa, dan akhirnya penulis berharap
mudah-mudahan skripsi ini ada manfaatnya

Palembang, Oktober 2020

iii
DAFTAR ISI

BAB Halaman
HALAMAN PENGESAHAAN........................................................................ ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 5
C. Rumusan Masalah ......................................................................... 5
D. Maksud dan Tujuan Penelitian........................................................ 5
E. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Landasan Teori................................................................................ 7
1. Implementasi Kebijakan.......................................................... 7
2. Peraturan Daerah...................................................................... 10
3. Pajak......................................................................................... 23
B. Kerangka Pemikiran........................................................................ 82
C. Penelitian Terdahulu....................................................................... 83
D. Hipotesis.......................................................................................... 86

BAB III METODE PENELITIAN


A. Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................... . 87
1. Lokasi Penelitian...................................................................... 87
2. Waktu Penelitian...................................................................... 87
B. Desain Penelitian.............................................................................. 87
C. Populasi dan Sampel....................................................................... . 88
1. Populasi.................................................................................... 88
2. Sampel...................................................................................... 88
D. Definisi Operasional Variabel.......................................................... 89
E. Instrumen Penelitian......................................................................... 91
F. Teknik Pengumpulan Data.............................................................. . 91

iv
1. Data Primer.............................................................................. 92
2. Data Sekunder.......................................................................... 94
G. Teknik Analisis Data........................................................................ 95
H. Rencana Pengujian Keabsahan Data................................................ 95
1. Uji Kualitas Data...................................................................... 95
2. Pengujian Hipotesis................................................................. 99
I. Sistematika Penulisan....................................................................... . 101
J. Jadwal Penelitian............................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 104
LAMPIRAN..................................................................................................... 107

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat

ditentukan oleh kemampuan bangsa untuk dapat memajukan kesejahteraan

masyarakat, maka diperlukan dana untuk pembiayaan pembangunan guna

mencapai tujuan yang diinginkan. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut salah

satunya adalah melalui pajak. Pajak merupakan sumber penerimaan pendapatan

yang dapat memberikan peranan dan sumbangan yang berarti melalui penyediaan

sumber dana bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

Peranan pajak dalam pembangunan terasa sangat penting, sebab dana

yang dipergunakan untuk membangun bangsa Indonesia sebagian besar dibiayai

dari pendapatan pajak. Thomas (2010:5) pajak mempunyai peranan dalam

pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara

untuk semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Pajak sangat

besar artinya, karena peranannya dapat menunjang pertumbuhan ekonomi. Untuk

itu fungsi pajak sangat diperlukan.

Menurut Thomas (2010:5) fungsi pajak untuk menghimpun dana dari

masyarakat bagi kas Negara dan selain itu berfungsi untuk mengatur struktur

pendapatan di tengah masyarakat dan struktur kekayaan antara para pelaku

ekonomi. Salah satu sumber dana berupa pajak yang dimaksud adalah Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB).

1
2

Pajak Bumi dan Bangunan dapat dimanfaatkan untuk berbagai fungsi

penentuan kebijakan yang terkait dengan bumi dan bangunan. Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) merupakan pajak pusat yang objeknya berada di daerah. Hasil

penerimaan PBB merupakan penerimaan Negara (dalam hal ini Pemerintah Pusat)

dan disetor sepenuhnya ke rekening Kas Negara melalui layanan dengan

menggunakan Sistem Elektronik (https://sse.pajak.go.id), dan layanan pada

loket/teller (over the counter) pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa

Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing.

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat

Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP.

Sarana administrasi lain ini dapat berupa BPN atas pembayaran dan penyetoran

pajak melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik atau dengan datang

langsung ke Bank Persepsi, SSPCP atas pembayaran dan penyetoran PPh Pasal

22 impor, PPN impor, dan PPnBM impor serta PPN Hasil Tembakau Buatan

Dalam Negeri, Bukti Pbk atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui

Pemindahbukuan ataunbukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. SSP atau sarana administrasi lain tersebut

dinyatakan sah, dalam hal telah divalidasi dengan NTPN. Dikecualikan dari

ketentuan ini, Bukti Pbk dinyatakan sah dalam hal telah ditandatangani oleh

Pejabat yang berwenang untuk menerbitkan Bukti Pbk. Pembayaran yang

dilakukan oleh Wajib Pajak diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan

tanggal bayar yang tertera pada BPN atau tanggal bayar berdasarkan validasi

MPN pada SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP.
3

Satu formulir SSP hanya dapat digunakan untuk pembayaran: (kecuali

untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam

Penjelasan Pasal 3 ayat (3a) Undang-Undang KUP yang dapat membayar PPh

Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak dalam satu SSP) 1 (satu) jenis pajak, 1 (satu)

Masa Pajak atau Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak, dan 1 (satu) surat

ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat

Tagihan Pajak PBB.

Menurut Mardiasmo (2012:337), Dana Bagi Hasil dengan penerimaan

Pajak Bumi dan Bangunan akan dibagi untuk Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memiliki peran yang cukup besar bagi

kelangsungan dan kelancaran pembangunan, sehingga perlu ditangani dan

dikelola lebih intensif. Penanganan dan pengelolaan tersebut diharapkan mampu

menuju tertib administrasi serta mampu meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam pembiayaan pembangunan.

Mengingat betapa pentingnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai

salah satu sumber Keuangan Negara dalam rangka untuk membiayai

kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemerintahan maka, diperlukan adanya

penanganan dan perhatian yang serius dari semua pihak. Baik mengenai petugas

pemungut, wajib pajak, maupun mengenai proses pelaksanaan pemungutan itu

sendiri, khususnya di Kelurahan Talang Betutu Kecamatan Sukarami Kota

Palembang. Pelaksanaan wajib pajak bumi dan bangunan di kota Palembang yang

tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 3 Tahun 2011

Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan, dan berdasarkan suarat edaran
4

Nomor 973/0398/BPPD-II/VII/2019 tanggal 29 Juli 2019 Tentang Pemberian

Stimulus Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan Tahun 2019 di Kota Palembang

bahwa segera dilakukan penarikan kembali SPPT Tahun 2019 dengan ketetapan

dibawah Rp. 300.000,-/Nihil.

Dari pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti ditemukan

permasalahan yaitu kurangnya kesadaran dan sosialisasi ditingkat lapangan

khususnya pada masyarakat kelurahan Talang Betutu yang belum memiliki

kesadaran dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sehingga banyak

wajib pajak yang belum membayar PBB. Oleh karena itu Dinas Pendapatan

Daerah yang melakukan pemungutan pajak perlu mengimplementasikan atau

menerapkan kebijakan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di

Kelurahan Talang Betutu Kecamatan Sukarami Kota Palembang, perlu

mengetahui faktor apa yang menjadi pendorong dan penghambat sehingga

kurangnya masyarakat dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Dari permasalahan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 3

TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN

DI KELURAHAN TALANG BETUTU KECAMATAN SUKARAMI KOTA

PALEMBANG”.
5

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka identifikasi masalahnya

adalah :

1. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak

Bumi dan Bangunan Perkotaan yang rendah akan mempengaruhi

kesadaran masyarakat untuk membayar wajib pajak .

2. Faktor-faktor pendorong dan penghambat sehingga kurangnya

masyarakat dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka masalah yang penulis

merumuskan permasalahannya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah implementasi kebijakan pengelolaan pajak bumi dan

bangunan (PBB) di Kelurahan Talang Betutu Kecamatan Sukarami

Kota Palembang?

2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendorong dan penghambat

sehingga kurangnya masyarakat dalam membayar Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB)?

D. Maksud dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka penelitian ini dilakukan

dengan maksud dan tujuan untuk : Untuk mengetahui dan menganalisis

implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan
6

Bangunan Perkotaan di Kelurahan Talang Betutu Kecamatan Sukarami Kota

Palembang.

E. Kegunaan Penelitian

Kemudian hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

kepada beberapa pihak, diantaranya :

1. Bagi Penulis, dapat menambah wawasan dan memperluas

pengetahuan dalam mendalami masalah yang berkaitan dengan

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak

Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kelurahan Talang Betutu

Kacamatan Sukarami Kota Palembang.

2. Bagi Kelurahan Talang Betutu, Hasil penelitian ini diharapkan dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam usahanya untuk

meningkatkan implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011

Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kelurahan Talang

Betutu Kacamatan Sukarami Kota Palembang.

3. Bagi Akademik, Penulis berharap hasil penelitian ini dapat

dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi

Mahasiswa dan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk dilakukan

penelitian lebih lanjut.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Implementasi Kebijakan
a) Pengertian Implementasi Kebijakan

Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008 : 139)

mendefinisikan implementasi kebijakan, sebagai “Tindakan-tindakan

yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau

kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan

kebijakan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi

merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan

melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan

mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran

kebijakan itu sendiri. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan

oleh Lester dan Stewart Jr dimana mereka katakan bahwa implementasi

sebagai suatu proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu

tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

1) Variabel Implementasi Kebijakan

Terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan

implementasi suatu kebijakan menurut George C.Edward III, dalam

Agustino (2008 : 149) yaitu:

7
8

1.a) Komunikasi

Komunikasi sangat menentukan keberhasilan suatu

pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan. Keberhasilan

implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Terdapat tiga indikator

yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel

komunikasi tersebut diatas yaitu: Transmisi, Kejelasan dan

Konsistensi.

1.b) Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas

dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber

daya untuk melaksanakan, Implementasi tidak akan berjalan

efektif. Indikator dalam variabel ini terdiri dari beberapa elemen,

yaitu: Staf, Informasi, Wewenang dan Fasilitas.

1.c) Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh

implementor. Jika pelaksanaan kebijakan ingin efektif, maka

para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang

akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk

melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak bias.

Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi

adalah: Pengangkatan birokrat dan Insentif.


9

1.d) Struktur Birokrasi

Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya

kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif

pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan

menyebagiankan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif

dan menghambat jalannya kebijakan. Salah satu dari apsek

struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya

Standar Operating Prosedures (SPOs) dan melaksanakan

Fragmentasi.

2) Peran Implementasi Kebijakan

Agustino (2008:140), mengemukakan bahwa Implementasi

kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam

keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini proses

kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan

atau tidaknya pencapaian tujuan. Hal ini dipertegas oleh Chief J.O

Udoji dengan mengatakan bahwa “Pelaksanaan kebijakan adalah

sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada

pembuat kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa

impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau

tidak diimplementasikan.
10

2. Peraturan Daerah
a) Pengertian Perda

Salah satu kewenangan yang sangat penting dari suatu daerah yang

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ialah kewenangan

untuk menetapkan peraturan daerah ( Irawan Soejito 1989:1).

Peraturan Daerah adalah peraturan yang di tetapkan oleh Kepala

Daerah dengan persetujuan DPRD dan yang harus memenuhi

syarat-syarat formil tertentu dapat memmpunyai kekuatan hukum dan

mengikat ( Djoko Prakoso 1985:43).

Disamping dikenal adanya istilah peraturan, dikenal juga istilah

perundang-undangan, untuk itu M. Solly Lubis memberikan pengertian

perundang-undangan. Pengertian perundang-undangan ialah proses

pembuatan peraturan Negara. Dengan dengan kata lain tata cara mulai

perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan atau penetapan

akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan. K. Wantjik Saleh

memberikan pengertian yang berbeda tentang perundang-undangan,

perundang-undangan adalah “Undang-undang dalam arti luas” atau yang

dalam ilmu hukum disebut “Undang-undang dalam arti materiil” yaitu

segala peraturan yang tertulis yang di buat oleh penguasa (baik pusat

maupun daerah) yang mengikat dan berlaku umum, termasuk dalamnya

undang-undang darurat, peraturan pemerintah pemerintah penggati

undang-undang, peraturan pemerintah, penetapan presiden, peraturan

profinsi, peraturan kotamadya, dan lain-lain ( Ibid 43-44).


11

b) Materi Muatan Peraturan Daerah

Materi muatan peraturan daerah adalah materi pengaturan yang

terkandung dalam suatu peraturan daerah yang disusun sesuai dengan

teknik legal drafting atau teknik penyusunan peraturan

perundang-undangan. Dalam pasal 14, Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta

menampung kondisi khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut dari

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Secara umum, materi muatan peraturan daerah dikelompokkkan

menjadi: ketentuan umum, materi pokok yang diatur, ketentuan pidana

(jika memang diperlukan), ketentuan peralihan (jika memang diperlukan)

dan ketentuan penutup. Materi muatan peraturan daerah dapat mengatur

adanya ketentuan pidana. Namun, berdasarkan pasal 15, Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

perundang-undangan, ketentuan pidana yang menjadi materi muatan

peraturan daerah dibatasi, yakni hanya dapat mengatur ketentuan pidana

berupa ancaman pidana paling lama 6 bulan kurungan penjara dan denda

maksimal Rp. 50.000.000,00.


12

1) Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi,

istilah otonomi berasal dari penggalan dua kata bahasa Yunani, yakni

autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang.

Otonomi bermakna membuat perundang-undangan sendiri

(zelfwetgeving), namun dalam dalam perkembanganya, konsepsi

otonomi daerah selain mengandung arti zelfwetgeving (membuat

perda-perda), juga utamanya mencakup zelfbestuur (pemerintah

sendiri). C.W. van der pot memahami konsep otonomi daerah

sebagai eigen huishounding (menjalankan rumah tangganya sendiri)

( Ni’matul Huda 2010:44).

Di dalam otonom, hubungan kewenangan antara pusat dan

daerah, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan

penyelengaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah

tangga daerah, cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk

otonom terbatas atau otonom luas. Dapat digolongkan sebagai

otonom terbatas apabila : pertama urusan-urusan rumah tangga

daerah ditentukan secara kategoris dan pengembanganya diatur

dengan cara-cara tertentu pula. Kedua apabila system supervisi dan

pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah otonom

kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara

mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem

hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan


13

hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang

akan membatasi ruang gerak otonom daerah ( Ibid : 44-45).

2) Asas-asas Pembentukan Perda

Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 diatur

dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang baik harus

meliputi asas berikut ( Ida Zuraida 2013 :8-10) :

2.a) Kejelasan Tujuan

Yang dimaksud “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus

mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

2.b) Kelembagaan atau Organ Pembentuk yang Tepat

Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ

pembentuk yang tepat” adalah setiap jenis peraturan

perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat

pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang

dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh

lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

2.c) Kesesuaian antara Jenis dan Materi Muatan

Yang dimaksud asas “kesesuain antara jenis dan materi

muatan” adalah dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan

materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan

perundang-undangan.
14

2.d) Dapat Dilaksanakan

Yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah

bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan

harus memperhatikan efektifitas peraturan

perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik

secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

2.e) Kedayagunaan dan Kehasilgunaan

Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan

kehasilgunaan” adalah setiap peraturan perundang-undangan

dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan

bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat,

berbangsa dan bernegara.

2.f) Kejelasan Rumusan

Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah

setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata

atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah

dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya.

2.g) Keterbukaan

Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan” adalah dalam

proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai


15

dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan

bersifat transparan dan terbuka (Ibid: 10-13).

Selanjutnya, Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011

diatur mengenai asas yang harus dimuat dalam peraturan

perundang-undangan yaitu sebagai berikut (Ibid: 10-13) :

2.a) Asas Pengayoman

Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa

setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan

perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman

masyarakat.

2.b) Asas Kemanusiaan

Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa

setiap materi muatan Perda harus mencerminkan

perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi

2.c) Asas Kebangsaan

Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa

setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak

bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan

tetap menjaga prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia.

2.d) Asas Kekeluargaan

Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa

setiap materi muatan Perda harus mencerminkan


16

musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap

pengambilan keputusan.

2.e) Asas Kenusantaraan

Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa

setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan

Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang

berdasarkan Pancasila.

2.f) Asas Bhinneka Tunggal Ika

Yang dimaksud dengan “asas bhineka tunggal ika” adalah

bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan

keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi

daerah dan budaya khususnya yang menyangkut

masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

2.g) Asas Keadilan

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap

materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

2.h) Asas Kesamaan dalam Hukum dan Pemerintahan

Yang dimaksud dengan “asas kesamaan dalam hukum dan

pemerintahan” adalah bahwa setiap materi muatan Perda

idak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan


17

berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras,

golongan, gender atau status sosial.

2.i) Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum

Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian

hukum” dalah bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat

menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan

adanya kepastian hukum.

2.j) Asas Keseimbangan, Keserasian dan Keselarasan

Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan” adalah bahwa setiap materi muatan Perda harus

mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan

antara kepentingan individu dan masyarakat dengan

kepentingan bangsa dan negara.

2.k) Asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan.

Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pembentukan

peraturan perundang-undangan mengatur bahwa selain asas yang

disebutkan dalam pasal 6 ayat (1), pearturan perundang-undangan

tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan

“asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain (Ibid :13-14)


18

2.a) Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tiada

hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidanan, dan

asas praduga tak bersalah.

2.b) Dalam Hukum Pidana, misaalnya dalam hukum perjanjian,

antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan

iktihad baik. Asas-asas baik dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan maupun materi pembentukan peraturan

perundang-undangan sebagai mana telah dijelaskan di atas,

sebaiknya menjadi pedoman bagi setiap orang yang terlibat

dalam pembuatan perundang-undangan. Dengan pedoman

dan pemahaman yang sama dari pihak-pihak yang terlibat

dalam pembuatan peraturan perundang-undangan diharapkan

dapat mengurangi perbedaan pendapat yang mungkin aja

timbul dalam pembentukannya.

3) Dasar-dasar atau Landasan-landasan dalam Penyusunan

Perda

Selanjutnya, dalam dalam menyusun peraturan

perundang-undangan harus memiliki 3 (tiga) landasan. Adapun

landasan tersebut adalah sebagai berikut (Ibid : 14-15) :

a) Landasan Filosofis

Landasan filosofis adalah suatu rumusan peraturan

perundang-undangan harus mendapatkan pembenaran yang

dapat diterima jika dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus


19

sesuai dengan cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan, dan

cita-cita kesusilaan.

b) Landasan Sosiologis

Landasan Sosiologis adalah suatu peraturan

perundang-undangan harus sesuai dengan keyakinan umum atau

kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang

dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup

dimasyarakat.”

c) Landasan Yuridis

Landasan Yuridis adalah suatu peraturan

perundang-undangan harus mempunyai landasan hukum atas

dasar hukum legalitas yang terdapat dalam ketentuan lain yang

lebih tinggi.

4) Ruang Lingkup Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

Tahapan-tahapan dalam pembuatan peraturan

perundang-undangan adalah sebagai berikut (Nukila Evanty dan

Nurul Ghufron 2014:30) :

a) Perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan.

b) Penyiapan naskah akademis dan naskah peraturan

perundang-undangan.

c) Pengusulan.

d) Pembahasan.
20

e) Pengesahan.

f) Pengundangan.

g) Penyebarluasan.

5) Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Dalam ketetapan MPR Nomor III/MPR2003 tentang Urutan

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, diatur mengenai tata

urutan peraturan perundang-undang di Indonesia dengan susunan

sebagai berikut (Ida Zuraida :15):

a) Undang-Undang Dasar 1945

b) Ketetapan MPR-RI

c) Undang-Undang

d) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

e) Peraturan Pemerintah

f) Keputusan Presiden

g) Peraturan Daerah

Selanjutnya, jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan

sesuai pasal 7 ayat (1) undang-undang nomor 12 tahun 2011 adalah

(Ibid :15-16):

a) Undang dasar Negara republic Indonesia tahun 1945.

b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

c) Undang-undang atau peraturan pemerintah penggati

undang-undang.

d) Peraturan pemerintah.
21

e) Peraturan presiden.

f) Peraturan daerah provinsi.

g) Peraturan daerah kabupaten/kota.

6) Maksud dan Tujuan Pembuatan Peraturan Daerah

Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum, demikian

dinyatakan di dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945. Alfred Hoetoeroek dan Maroelan

Hoetoeroek memberikan pengertian tentang tujuan hukum adalah

mengatur hidup bersama manusia supaya selalu ada suasana damai

(Djoko Prakoso :47-48).

Begitu pula O. Notohamidjojo merumuskan tujuan hukum

adalah untuk melindungi hak dan kewajiban manusia dalam

masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat,

(dalam arti luas yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang

politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan). Atas dasar keadilan untuk

mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum.

Mahadi mengutip tulisan Wirjono, menyebutkan bahwa : “tujuan dari

hukum ialah mengadakan keselamatan dan tata tertib dalam suatu

masyarakat (Ibid :48).

Sesuai pengertian tujuan hukum tersebut dapat diambil

kesimpulan bahwa Peraturan Daerah bertujuan untuk mengatur hidup

bersama, melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat,


22

dan menjaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah yang

bersangkutan.

Peraturan Daerah adalah sarana demokrasi dan sarana

komunikasi timbal balik antara kepala Daerah dengan masyarakat.

Setiap keputusan penting menyangkut pengaturan dan pengurusan

rumah tangga daerah harus mengikutsertakan rakyat di daerah yang

bersangkutan melalui wakil-wakilnya di lembaga perwakilan rakyat

daerah (Ibid :47-48).

7) Teknik Membuat Peraturan Daerah

Menurut Irawan Soejito Peraturan Daerah terdiri dari beberapa

bagian yaitu (Ibid :49) :

a) Penamaan

Penamaan adalah merupakan penguraian secara singkat dan

tegas mengenai isi dari suatu peraturan daerah, sehingga dapat

diketahui secara langsung masalah apa yang diatur di dalam

peraturan daerah tersebut. Disamping itu di dalam memberikan

penamaan suatu peraturan daerah harus jelas, singkat dan tidak

terlalu panjang sebab jika panjang dan kurang jelas akan

mengaburkan isi daripada peraturan daerah tersebut.

b) Pembukaan

Pembukaan terdiri atas :

b.1) Kalimat “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

MAHA ESA”.
23

b.2) Pejabat yang berwenang menetapkan peraturan

daerah ialah Gubernur/Bupati/Walikotamadya

Kepala Daerah.

b.3) Konsideran, yang di cantumkan dengan kata

“Menimbang”

c) Batang Tubuh

Menurut Irawan Soejito yang dimaksud dengan batang tubuh

peraturan daerah adalah : bagian daripada peraturan daerah yang

memuat rumus-rumusan dari peraturan daerah yang

bersangkutan, sehingga dengan penamaan, pembukaan, dan

penandatanganan itu berada di luar batang tubuh peraturan

daerah tersebut.

d) Penandatanganan

Menurut pasal 44 ayat (2) undang-undang no 5 tahun 1974

dinyatakan bahwa Peraturan Daerah ditandatangani oleh Kepala

Daerah dan di tandatangani serta oleh Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah. Di atas bagian tanda tangan tersebut

dicantumkan tempat dan tanggal ditetapkanya peraturan daerah

(Ibid :49-55).

3. Pajak
a) Pengertian Pajak

Pajak merupakan kewajiban kenegaraan dan pengabdian peran aktif

warga negara dalam upaya pembiayaan pembangunan nasional


24

kewajiban perpajakan setiap warga negara diatur dalam Undang-Undang

dan Peraturan-peraturan pemerintah. Undang-Undang Perpajakan

memberikan kepercayaan kepada setiap wajib pajak untuk melakukan

kegiatan perpajakannya sendiri mulai dari menghitung, membayar, dan

melaporkan kewajiban perpajakannya ke kantor pelayanan pajak. Pajak

yang dibayar oleh wajib pajak dimaksudkan untuk membantu pemerintah

dalam membiayai keperluan penyelenggaraan kenegaraan yakni

pembangunan nasional, dimana pelaksanaan pembangunan nasional

diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan

kesejahteraan bangsa dan negara.

Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan system

perpajakan yang dianut oleh pemerintah yakni sistem self assessment

yang berarti wajib pajak melakukan sendiri kewajiban perpajakannya.

Dengan adanya sistem self-assessment tersebut, pemerintah

mengharapkan kejujuran dan kesadaran dari setiap wajib pajak untuk

melakukan kewajiban perpajakannya sesuai dengan Undang-Undang

perpajakan yang berlaku.

Sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku pada saat

ini menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia maupun warga

negara asing yang telah menetap di Indonesia selama 183 hari secara

berturut-turut dan memperolah penghasilan dari kegiatan usahanya wajib

untuk melakukan kegiatan perpajakannya sesuai dengan Undang-Undang

perpajakan yang berlaku di Indonesia. Dengan adanya system


25

self-assessment yang diterapkan oleh pemerintah dalam bidang

perpajakan, berarti kewajiban perpajakan setiap wajib pajak, dihitung,

diperhitungkan, dibayar, dan dilaporkan sendiri oleh wajib pajak ke

pemerintah dalam hal ini kantor pelayanan pajak dimana wajib pajak

terdaftar atau berdomisili.

Membahas mengenai perpajakan tidak terlepas dari pengertian pajak

itu sendiri, menurut Abut (2007 : 1) mengatakan bahwa pajak adalah

iuran rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang, yang dapat

dipaksakan dengan tidak mendapat imbal jasa yang langsung dapat

ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran kepada umum.

Selanjutnya pengertian pajak dikemukakan oleh Agoes (2010:4)

mengatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara

berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak

mendapat jasa timbsal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat

ditunjukkan, digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Waluyo (2010 : 2), mengemukakan bahwa pajak adalah iuran kepada

Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib

membayarnya menurut peraturan, dengan tidak mendapat prestasi

kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas

Negara yang menyelenggarakan pemerintahan.

Dalam definisi di atas memfokuskan pada fungsi budgeter dari pajak,

sedangkan pajak masih mempunyai fungsi lainnya yang fungsi mengatur.


26

Apabila memperhatikan coraknya, dalam memberikan batasan pengertian

pajakdapat dibedakan dari berbagai macam ragamnya, yaitu dari segi

ekonomi, segi hokum, segi sosiologi, dan lain sebagainya. Hal ini juga

akan mewarnai titik berat yang diletakkannya, sebagai contoh : segi

penghasilan dan segi daya, namun kebanyakan lebih bercorak pada

ekonomi.

Definisi atau pengertian pajak menurut Mardiasmo (2012 : 1)

mengemukakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada negara

berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada

mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi

pajak tersebut di atas jelas bahwa pajak merupakan kewajiban

kenegaraan dan pengabdian peran aktif warga negara dalam upaya

pembiayaan pembangunan nasional kewajiban perpajakan setiap warga

negara diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan-peraturan

pemerintah.

Undang-Undang Perpajakan memberikan kepercayaan kepada setiap

wajib pajak untuk melakukan kegiatan perpajakannya sendiri mulai dari

menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya ke

kantor pelayanan pajak. Pajak yang dibayar oleh wajib pajak

dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam membiayai keperluan

penyelenggaraan kenegaraan yakni pembangunan nasional, dimana


27

pelaksanaan pembangunan nasional diatur dalam Undang-Undang dan

peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.

Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan system

perpajakan yang dianut oleh pemerintah yakni sistem self assessment

yang berarti wajib pajak melakukan sendiri kewajiban perpajakannya.

Dengan adanya sistem self-assessment tersebut, pemerintah

mengharapkan kejujuran dan kesadaran dari setiap wajib pajak untuk

melakukan kewajiban perpajakannya sesuai dengan Undang-Undang

perpajakan yang berlaku.

Sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku pada saat

ini menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia maupun warga

negara asing yang telah menetap di Indonesia selama 183 hari secara

berturut-turut dan memperolah penghasilan dari kegiatan usahanya wajib

untuk melakukan kegiatan Indonesia. Dengan adanya system self

assessment yang diterapkan oleh pemerintah dalam bidang perpajakan,

berarti kewajiban perpajakan setiap wajib pajak, dihitung, diperhitungkan,

dibayar, dan dilaporkan sendiri oleh wajib pajak ke pemerintah dalam hal

ini kantor pelayanan pajak dimana wajib pajak terdaftar atau berdomisili.

Purwono (2010:7), mendefinisikan bahwa pajak adalah kontribusi

wajib pajak kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan

yang bersifat memaksa yang berdasarkan undang-undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


28

Dari beragam pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli

ditambah dengan definisi resmi pajak yang terdapat dalam

undang-undang dapat disimpulkan bahwa ada beberapa ciri yang melekat

pada pajak yaitu :

a.1) Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara

Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut

berupa uang (bukan barang) yang digunakan untuk sebesar-besarnya

kepentingan rakyat.

a.2) Berdasarkan undang-undang

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan

undang-undang serta aturan pelaksanaannya. Pajak adalah iuran

wajib yang harus dibayarkan oleh rakyat kepada negara, dalam hal

ini pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur

hubungan hukum antara negara/pemerintah dengan

warganya/rakyatnya dimana negara mengambil kekayaan dari

masyarakat dan dikembalikan ke masyarakat. Undang-Undang Pajak

dibuat dengan tujuan sebagai aturan dasar pemungutan pajak,

sehingga pemungutan pajak berdasarkan atas kekuatan

undang-undang beserta aturan pelaksanaannya. Hal ini untuk

menghindari adanya tindakan sewenang-wenang dalam memungut

pajak dan supaya masyarakat juga tidak semaunya untuk membayar

pajak.
29

a.3) Dapat dipaksakan

Yang dimaksud dengan dapat dipaksakan adalah bila hutang

pajak tidak dibayar, hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan

kekuasaan, salah satunya dengan menggunakan media surat paksa,

bila perlu ditindak atau dikenai sanksi apabila melakukan

perlawanan.

a.4) Tiada mendapat kontra prestasi atau timbal balik yang langsung

ditunjuk

Tujuannya untuk membedakan antara pajak dan retribusi.

Pembayar pajak tidak dapat menikmati secara langsung atas pajak

yang di bayar.

a.5) Untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum pemerintah

Dalam negara terdapat Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara, dan pajak merupakan salah satu penyokong utama dalam

penerimaan yang kemudian digunakan untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran dari pemerintah, jadi atas pendapatan dari

pajak tidak hanya dinikmati oleh pembayar pajak saja akan tetapi

juga oleh rakyat pada umumnya.

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan

bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena

pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua

pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Menurut Waluyo

(2010:6) terdapat dua fungsi pajak yaitu :


30

1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan

bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Untuk

menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan

pembangunan, negara membutuhkan biaya. Sebagai contoh yaitu

dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam

negeri.

2. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pemerintah bisa mengatur dan melaksanakan kebijakan di

bidang sosial dan ekonomi. Contohnya dalam rangka menggiring

penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri,

diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam

rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah

menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak

sebagai fungsi penerimaan merupakan sumber dana utama bagi

penerimaan dalam negeri jadi kontribusi terhadap pembangunan juga

cukup besar, maka tidaklah heran pemungutan atas pajak bisa

dipaksakan kepada orang-orang yang memang wajib dikenakan

pajak, tentunya semua sudah diatur dalam undang-undang. Dalam

fungsi mengatur pajak yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau

melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi,


31

misalnya dengan rendahnya tarif pemungutan pajak maka bisa

mendorong investasi.

Dewasa ini pajak merupakan tumpuan pemerintah dalam

menjalankan roda pemerintahan, penerimaan pajak merupakan

sumber penerimaan negara terbesar saat ini yaitu mencapai 80% dari

penerimaan negara. Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari

Kementerian Keuangan Republik Indonesia mempunyai tanggung

jawab untuk menarik pajak dari masyarakat. Belakangan ini

masyarakat lebih kritis dan berani dalam menyuarakan keinginannya

akan pelayanan yang baik, khususnya pelayanan publik yang

diberikan oleh pemerintah. Seiring dengan bertambahnya beban yang

harus ditanggung masyarakat, bertambah pula tuntutan masyarakat

akan tersedia pelayanan publik yang berkualitas tinggi. Direktorat

Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi pemerintah di

bawah Kementerian Keuangan yang mengemban tugas untuk

mengamankan penerimaan pajak negara dituntut untuk selalu dapat

memenuhi pencapaian target penerimaan pajak yang senantiasa

meningkat dari tahun ke tahun di tengah tantangan perubahan yang

terjadi dalam kehidupan sosial maupun ekonomi di masyarakat.

Menurut Waluyo (2010:160) mengemukakan tentang cara

pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga stelsel adalah sebagai

berikut:
32

1. Stelsel nyata (rill stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang

nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir

tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah

dapat diketahui, kelebihan stelsel ini adalah pajak yang

dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat

dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilanriil diketahui).

2. Stelsel anggapan (fictive stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang

diatur oleh undang-undang, sebagai contoh: penghasilan suatu

tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga awal

tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang

untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak

yang dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir

tahun. Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak

berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.

3. Stelsel campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan

stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung

berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun

besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada

pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah


33

kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil,

maka kelebihannya dapat diminta kembali.

Dari penjelasan diatas, di Indonesia pada umumnya

menggunakan metode stelsel campuran dengan sistem self

assessment, yaitu wajib pajak memeperhitungkan sendiri besarnya

kewajiban perpajakan, dimana pada akhir tahun apabila terdapat

kekurangan, wajib pajak harus membayar kekurangan tersebut

dengan media yang dapat digunakan, sedangkan apabila pajak yang

telah disetor wajib pajak melebihi dari yang seharusnya, maka wajib

pajak dapat mengajukan pengembalian dengan sarana restitusi.

Sistem pemungutan pajak menurut Ilyas dan Burton (2004:8),

sebagaimana disebutkan oleh Sofyan (2005:13), terdiri dari:

1. Official Assesment System, yaitu sistem pemungutan pajak

yang memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus)

untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak

yang terutang) oleh seseorang. Dalam sistem ini,

keberhasilan pengumpulan pajak sangat tergantung kepada

kinerja dan integritas aparat pajak. Indonesia menggunakan

sistem ini pada periode ordonansi. Ciri-cirinya dalah sebagai

berikut :

1.a) Wewenang untuk menentukan bersanya pajak tertuang

ada pada fikus.

1.b) Wajib pajak bersifat pasif.


34

1.c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan

pajak oleh fiskus.

2. Semi Self Assessment System, yaitu suatu sistem

pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada fiskus

dan Wajib Pajak untuk menentukan besarnya utang pajak.

Pelaksanaan sistem ini didasarkan pada suatu anggapan

bahwa Wajib Pajak pada awal tahun menaksir sendiri

besarnya utang pajak yang harus dibayarkan, dan fiskus akan

menetapkan besarnya pajak yang terutang sesungguhnya

pada akhir tahun pajak. Di Indonesia, dengan

diberlakukannya sistem menghitung pajak orang /

menghitung pajak sendiri pada tahun 1967, terjadi perubahan

sistem pemungutan pajak. Sistem pemungutan pajak tidak

lagi sepenuhnya official assessment, karena wajib pajak

diberi tanggung jawab untuk menghitung pajak yang harus

dibayar dalam tahun berjalan. Ciri-cirinya adalah sebagai

berikut :

2.a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak

terutang ada pada wajib pajak sendiri.

2.b) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor,

dan melaporkan sendiri pajaknya yang terutang.

2.c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.


35

3. Self Assessment System yaitu suatu sistem pemungutan

pajak yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak

untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri

besarnya utang pajak. Sistem ini mulai berlaku secara efektif

di Indonesia sejak tahun 1984 setelah adanya reformasi

perpajakan. Witholding system yakni suatu sistem

pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak

ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang

terutang. Ciri-cirinya adalah wewenang menentukan

besarnya pajak yang tertuang ada pihak ketiga, pihak selain

fiskus dan wajib pajak.

b) Teori Pengenaan Pajak

Terkait dengan kenapa dan bagaimana pajak dibebankan oleh negara

kepada rakyat, Soemarso (2007:2) menyebutkan beberapa teori

pengenaan pajak, yaitu :

b.1) Teori Bakti.

Menurut teori ini, dasar hukum dari pajak adalah hubungan

antara rakyat dan negara. Salah satu hak dari negara adalah

memungut pajak dari rakyatnya, yang diperlukan oleh negara untuk

membiayai kewajibannya. Dilain pihak, pajak merupakan tanda bakti

rakyat sebagai warga kepada negara.


36

b.2) Teori Asuransi.

Dalam teori ini, pajak dapat disamakan dengan asuransi. Pajak

disamakan dengan premi asuransi, yang harus dibayar oleh rakyat

untuk memperoleh perlindungan dari negara. Namun, teori ini agak

lemah karena dalam hal pajak, perlindungan terhadap kerugian yang

diderita rakyat sifatnya tidak langsung. Selain itu, jika terjadi

kerugian, tidak ada penggantian dari negara.

b.3) Teori kepentingan.

Teori ini menyebabkan bahwa pajak dipungut atas dasar

besarnya kepentingan rakyat dalam memperoleh jasa-jasa yang

diberikan pemerintah. Teori ini mengandung kelemahan. Orang

miskin mempunyai kepentingan yang lebih besar terhadap negara,

misalnya dalam hal perlindungan dan pelayanan masyarakat, namun

kemampuan mereka untuk membayar pajak umumnya rendah. Oleh

karena itu, jika pembayaran pajak didasarkan atas kepentingan, maka

unsur keadilan akan terabaikan. Selain itu, ukuran untuk kepentingan

susah dirumuskan, sehingga susah pula dalam perhitungan

pembebanan pajaknya.

b.4) Teori Daya Pikul

Teori ini hampir sama dengan teori kepentingan, karena

mendasarkan pemungutan pajak pada jasa-jasa yang diberikan

negara kepada warganya. Namun, teori ini mengemukakan bahwa

pembebanan pajak, sesuai dengan keadilan, haruslah


37

mempertimbangkan daya pikul seseorang. Dengan demikian,

pemungutan pajak lebih didasarkan pada kemampuan dan kekuatan

masing-masing warga dan bukan pada besar kecilnya kepentingan.

b.5) Teori Daya Beli.

Menurut teori ini, pemungutan pajak didasarkan pada kekuatan

dan kemampuan daya beli masyarakat, untuk kemudian disalurkan

kembali ke dalam masyarakat.

c) Pengelompokkan dan Tarif Pajak

Menurut Suandy (2006:37-40), pajak dapat dikelompokkan sebagai

berikut:

c.1) Berdasarkan golongannya, pajak dapat dikelompokkan menjadi:

1. Pajak langsung, yaitu pajak yang bebannya harus dipikul

sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, dan tidak dapat

dialihkan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya:

Pajak Penghasilan.

2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang bebannya dapat

dialihkan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya:

PPN.

c.2) Berdasarkan wewenang pemungutnya, pajak dapat

dikelompokkan menjadi:

1. Pajak pusat, yaitu pajak yang wewenang pemungutannya ada

pada Pemerintah Pusat. Contohnya: PPN dan PPnBM yang

diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah


38

diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 dan UU Nomor

18 Tahun 2000.

2. Pajak daerah, yaitu pajak yang wewenang pemungutannya

ada pada pemerintah daerah. Pajak ini diatur dalam UU

Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan

UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah. Contohnya: Pajak Restoran.

c.3) Berdasarkan sifatnya, pajak dapat dikelompokkan menjadi:

1. Pajak subjektif, yaitu pajak yang memperhatikan

kondisi/keadaan Wajib Pajak. Penetapan pajak didasarkan

pada daya pikul Wajib Pajak, yaitu kemampuan Wajib Pajak

memikul beban pajak, setelah dikurangi denganbiaya hidup

minimum. Contohnya: Pajak Penghasilan Orang Pribadi

(PPh Pasal 21).

2. Pajak objektif adalah jenis pajak yang dikenakan

pertama-tama memperhatikan/melihat objeknya baik berupa

keadaan perbuatan atau perisitiwa yang menyebabkan

timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui

objeknya barulah dicari subyeknya yang mempunyai

hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui.

Pungutan pajak yang dilakukan pemerintah, dilaksanakan

sedemikian rupa agar tidak merugikan masyarakat. Oleh karena itu

diperlukan tarif pajak agar pemungutan pajak seimbang antara


39

masyarakat dan pemerintah sehingga tidak ada pihak yang dirugikan

dan tidak terjadi kesalahan.

Menurut Mardiasmo (2012) ada empat macam tarif pajak, yaitu :

a) Tarif sebanding/proporsional, yaitu tarif berupa persentase

yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak

sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap

besarnya nilai yang dikenai pajak.

b) Tarif tetap, yaitu tarif berupa jumlah yang tetap (sama)

terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga

besarnya pajak yang terutang tetap.

c) Tarif progresif, yaitu persentase tarif yang digunakan

semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

d) Tarif degresif, yaitu persentase tarif yang digunakan semakin

kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat

disimpulkan bahwa dengan adanya tarif pajak, para wajib pajak

dengan mudah dapatmenghitung seberapa besar pajak yang harus

wajib pajak bayar dan akanmempermudah proses penagihan pajak

oleh fiskus.

d) Penerimaan Pajak

Penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri Pemerintah,

dan hibah. Penerimaan dalam negeri Pemerintah terdiri atas penerimaan

perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Dumairy,1997).


40

Dewasa ini pajak merupakan tumpuan pemerintah dalam menjalankan

roda pemerintahan, penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan

negara terbesar saat ini yaitu mencapai 80% dari penerimaan negara.

Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari Kementerian

Keuangan Republik Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk

menarik pajak dari masyarakat. Belakangan ini masyarakatlebih kritis

dan berani dalam menyuarakan keinginannya akan pelayanan yang baik,

khususnya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Seiring

denganbertambahnya beban yang harus ditanggung masyarakat,

bertambah pula tuntutan masyarakat akan tersedia pelayanan publik yang

berkualitas tinggi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu

institusi pemerintah di bawahKementerian Keuangan yang mengemban

tugas untuk mengamankanpenerimaan pajak negara dituntut untuk selalu

dapat memenuhi pencapaian target penerimaan pajak yang senantiasa

meningkat dari tahun ke tahun di tengah tantangan perubahan yang

terjadi dalam kehidupan sosial maupun ekonomi di masyarakat.

Berdasarkan kewenangan dalam pemungutannya, pajak dapat

digolongkan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Dari kedua jenis

pajak tersebut, yang akan diuraikan berikut ini hanyalah jenis-jenis pajak

pusat karena hanya pajak pusat yang merupakan penerimaan pemerintah

pusat yang menjadi bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN). Jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat dalam
41

hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sesudah reformasi perpajakan

1983 adalah sebagai berikut :

d.1) Pajak Penghasilan (PPh)

Menurut Mansury (2002), PPh sesuai undang-undang tentang

pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis

yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari

Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk

konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang

bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Supramono dan Damayanti (2010) menambahkan bahwa pajak

penghasilan adalah pungutan resmi oleh pemerintah yang ditujukan

kepada masyarakat yang berpenghasilan untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

d.2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah (PPN dan PPnBM).

Menurut Supramono dan Damayanti (2010) Pajak Pertambahan

Nilai adalah pajak yang dikenakan terhadap setiap pertambahan nilai

dari suatu produk atau jasa yang dihasilkan oleh pengusaha kena

pajak. Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak

yang dikenakan terhadap barang-barang yang tergolong mewah.

d.3) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan menurut Supramono dan Damayanti

(2010) adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan tubuh bumi
42

serta bangunan yang terletak di atas bumi tersebut. Sedangkan

menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi

dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 12 tahun 1994 pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau

bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi dan tubuh

bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi

teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau

bangunan.

d.4) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas

perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Supramono dan Damayanti (2010) berpendapat bahwa BPHTB

adalah penyerahan sebagian dari nilai ekonomis dari perolehan hak

atas tanah dan atau bangunan.

d.5) Bea Materai

Dalam The Indonesian Tax in Brief disebutkan bahwa Bea

Materai adalah pajak atas dokumen yang dipakai masyarakat dalam

lalu lintas hukum. Yang dimaksud dengan dokumen disini adalah

kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud

tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seorang dan atau


43

pihak-pihak yang berkepentingan. Surat perjanjian, surat kuasa, surat

pernyataan dan akte adalah sebagian contoh dari dokumen yang

dikenakan bea materai.

d.6) Bea Masuk

Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang

kepabeanan, yang dimaksud bea masuk adalah pungutan oleh negara

berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang-barang

yang diimpor. Dengan adanya pungutan tersebut, maka bea masuk

selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara juga sebagai

pengatur arus impor, baik untuk barang konsumsi maupun barang

yang diperlukan industi dalam negeri. Dengan demikian, penerimaan

bea masuk tidak semata-mata ditujukan sebagai penerimaan untuk

mengisi kas negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengaturan

(regulator).

d.7) Cukai

Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai,

yang dimaksud cukai adalah pungutan oleh negara berdasarkan

undang-undang yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu

yang mempunyai sifat atau karakteristik perlu untuk dibatasi, diawasi

produksinya dan peredarannya, karena akan berpengaruh langsung

terhadap kesehatan dan ketertiban sosial. Dengan demikian, peranan

cukai tidak saja berorientasi pada penerimaan negara, melainkan

mempertimbangkan pula aspek pembatasan produksi dan konsumsi.


44

Oleh karena itu, dasar pertimbangan besarnya penerimaan cukai

tergantung dari jumlah barang yang kena cukai, tarif cukai dan harga

dasar barang kena cukai.

d.8) Pajak Ekspor

Yang dimaksud dengan pungutan ekspor adalah pungutan negara

yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang akan diekspor.

Pengaturan tarif pajak ekspor ditetapkan dengan Keputusan Menteri

Keuangan, dengan memperhatikan harga patokan ekspor dan jumlah

wajib pajak valuta asing. Kebijakan yang ditempuh dalam pungutan

pajak ekspor ini bertujuan untuk mengendalikan harga pasar di

dalam negeri.

Khusus penerimaan perpajakan di sektor Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan (BPHTB), terhitung 1 Januari 2011 seluruh

penerimaan dialihkan ke pemerintah daerah setempat, sedangkan di

sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sejak 1 Januari 2012

sebagian daerah telah mengalihkan penerimaan di sektor tersebut

kepada Pemerintah Daerah.

Peranan penerimaan perpajakan sebagai salah satu sumber penting

dalam pembiayaan negara akan terus ditingkatkan dengan melakukan

berbagai evaluasi dan kebijakan penyempurnaan. Hal tersebut

dimaksudkan agar pelaksanaan sistem perpajakan dapat lebih efektif dan

efesien sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya

saing tinggi dengan negara lain. Dengan demikian, diharapkan


45

prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan, kesederhanaan

dan keadilan dapat tercapai sehingga tidak hanya berdampak erhadap

peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan

kondisi ekonomi makro.

Langkah-langkah reformasi perpajakan selama ini dilakukan telah

berhasil mendorong peningkatan penerimaan perpajakan secara cukup

signifikan, meskipun masih banyak menghadapi kendala terutama

berkaitan dengan kapasitas administrasi pemungutan pajak.

Langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain meliputi

langkah-langkah pembaharuan kebijakan (tax policy reform) dan

langkah-langkah pembaharuan adminstrasi kebijakan (tax administrative

reform). Langkah-langkah pembaharuan kebijakan perpajakan ini

dilaksanakan antara lain melalui perubahan UU KUP, UU PPh,

perubahan UU PPN dan PPnBM, perubahan UU PBB, perubahan UU

Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU Cukai.

Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini

lebih dititikberatkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum

di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi serta

mengoptimalkan penerimaan perpajakan.

e) Pengertian Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan untuk membangun daerah dalam suatu

Negara harus didasarkan pada perekonomian yang riil dan

berkesinambungan agar pembangunan yang di cita-citakan bangsa ini


46

cepat tercapai, peran pajak bumi dan bangunan daerah sangat vital dan

dapat mengembalikan uang tersebut ke daerah untuk pembangunan dan

pemberdayaan daerah itu sendiri.

Melihat betapa pentingnya Pajak Bumi dan Bangunan dalam

membangun daerah yang sangat potensial, maka diperlukan strategis

dalam pemungutannya lapangan, karena sering sekali para wajib pajak

tidak taat membayar pajak. Hal tersebut di akibatkan para wajib pajak

sering melihat hantu koruptor di lembaga tersebut.

Dalam hal pembangunan daerah maka diperlukan kesadaran dalam

membayar pajak bumi dan bangunan agar pembangunan daerah melalui

pajak bumi dan bangunan cepat terealisasi dengan baik, dan paling tidak

daerahpun dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian dengan

pendapatannya sendiri.

Peran pajak (PBB) dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai basis

material dan darah kehidupan (lifeblood) bagi negara dan roda

kekuasaanya. Dalam catatan sejarah, tidak ada Negara otoriter maupun

demokratis yang dapat bertahan hidup dan menjalankan roda

kekuasaannya tanpa adanya pajak dari rakyat. Sehingga dapat diteorikan,

apabila basis material dan darah kehidupan ini “pajak” bisa berjalan

dengan lancar baik dari segi penganggaran maupun pembelanjaannya,

akan tercipta suatu negara yang sejahtera. Pajak dibayar, negara tegak;

pajak diboikot negara ambruk.


47

Walaupun sebenarnya banyak sekali sektor pendapatan negara ini

yang telah dikembangkan untuk meningkatkan anggaran negara. Mulai

dari pemanfatan sumber daya alam yang melimpah sampai

penyelenggaraan usaha-usaha perusahaan negara. Akan tetapi

sektor-sektor tersebut masih belum bisa membawa negara ke jenjang

yang lebih baik seperti yang diharapkan.

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan bagian terpenting dari denyut

nadi perekonomian suatu Negara, dengan pemungutan pajak Negara

dapat memakmurkan rakyat dan dapat membiayai rumah tangga Negara

itu sendiri, namun kendalanya selama ini pajak masih di andalkan untuk

pendapatan Negara yang paling banyak dan menempatai urutan pertama

dalam APBN.

Potensi Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sangat luar biasa,

tetapi pemanfaatannya kurang maksimal sehingga kesejahtraan

masyarakat tidak bisa terjamin dan masih banyak rakyat yang hidup

dibawah garis kemiskinan. Peran Pajak Bumi dan Bangunan dalam

mewujudkan perekonomian serta untuk membangun Negara sangat

potensial sehingga diperlukan suatu kesadaran dalam membayar pajak.

Pajak bumi dan bangunan dalam hal ini juga dapat merangsang

pertumbuhan dan pemberdayaan daerah, dengan hasil yang didapatkan

dari Pajak Bumi dan Bangunan harapan besar ketika dikembalikan ke

daerah dapat dimanfaatkan dengan baik dan sesuai keinginan rakyatnya.

Proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sudah menjadi kerangka


48

yang sangat ideal, apali sebagian besar dari dana pendapatan di

kemabalikan lagi ke daerah dalam bentuk DAK, DAU, dan sebagainya.

Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas

tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan

sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai

suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar

pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan

setiap tahun oleh menteri keuangan. Besarnya PBB yang terutang

diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan NJOP. Nilai Jual Kena Pajak

ditetapkan sebesar 20% dari NJOP (jika NJOP kurang dari 1 miliar

rupiah) atau 40% dari NJOP (jika NJOP senilai 1 miliar rupiah atau

lebih). Besaran PBB yang terutang dalam satu tahun pajak

diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

Wajib pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak

dan/atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai,

dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak memiliki

kewajiban membayar PBB yang terutang setiap tahunnya. PBB harus

dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT

oleh wajib pajak. Pembayaran PBB dapat dilakukan melalui bank

persepsi, bank yang tercantum dalam SPPT PBB tersebut, atau melalui

ATM, melalui petugas pemungut dari pemerintah daerah serta dapat juga

melalui kantor pos.


49

Meliala dan Oetomo, (2010:65), pajak Bumi dan Bangunan yang

disingkat PBB yaitu pajak paksa atas harta tetap yang diberlakukan

melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 1994. Selanjutnya menurut

Suparmoko, (2008:195). Subjek pajak adalah orang atau badan yang

secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh

manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh

manfaat atas bangunan.

Azas Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu :

e.1) Memberikan kemudahan dan kesederhanaan, dengan pengertian

mudah dimengerti dan dapat dilaksanakan. Azas tersebut

tercermin dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1985

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun

1994 sebagaimana hasil dari reformasi perpajakan.

Undang-undang tersebut merupakan penyederhanaan dari

berbagai macam jenis pamungutan pajak propperti yang pernah

ada di Indonesia.

e.2) Adanya kepastian hukum, dengan pengertian bahwa pengenaan

Pajak Bumi dan Bangunan telah diatur dengan Undang-undang

dan peraturan atau ketentuan pemerintah sehingga mempunyai

kekuatan dan kepastian hukum.

e.3) Adil, dalam arti keadilan vertikal maupun horizontal dalam

pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan yang disesuaikan dengan

kemampuan wajib pajak.


50

e.4) Gotong royong, dimana semua masyarakat baik berkemampuan

rendah maupun tinggi ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab

mendukung pelaksanaan Undang-undang tentang Pajak bumi

dan bangunan serta ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka pendataan objek pajak, maka subyek yang memiliki

atau mempunyai hak atas objek, menguasai atau memperleh manfaat dari

objek PBB, wajib mendaftarkan obyek pajak dengan mengisi Surat

Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan mengirimkan ke Kantor

Inspeksi tempat letak objek kena pajak, Wajib pajak telah menerima

Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang biasanya paling

lambat bulan Juni tahun takwim atau satu bulan setelah menyerahkan

Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), maka wajib pajak PBB dapat

melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan melalui Meliala &

Oetomo, (2010:82) yaitu :

e.1) Bank Pemerintah

Jika anda membayar pada Bank Pemerintah isilah Surat Setoran

Pajak (SSP) yang telah tersedia di Bank, sesuai ddengan ketetapan

yang tercantum dala SPPT yang diterima.

e.2) Petugas Pemungut

Jika anda membayar lewat petugas pemungut, tunjukan SPPT

dan mintalah bukti pembayarn lembar asli sebagai tanda lunas PBB.
51

e.3) Kantor Pos dan Giro

Jika anda membayar lewat Pos dan Giro, belilah formulir Giro

dan isi sesuai SPPT. Lembar 1 disimpan sebagai tanda bukti

pembayaran, lembar 2 masukkan pada kotak PBB yang tersedia di

Kantor Pos dan Giro.

e.4) Dengan cara transfer

Jika letak objek pajak tidak berada atau jauh dari tempat tinggal

wajib pajak, maka pembayaran bisa dilakukan melalui transfer, yaitu

dengan mengisi formulir kiriman uang. Lembar 1 disimpan sebagai

pertinggal wajib pajak, lembar 2 dikirim KP PBB yang menerbikan

SPPT.

Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dilakukan

dengan masing-masing objek dihitung dan ditetapkan besarnya pajak

terutang, selanjutnya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

menerbitkan SPPT PBB. SPPT PBB diterbitkan dalam rangkap 1 yang

ditandatangani oleh Kepala KPP Pratama yang bersangkutan.

Selanjutnya, setelah SPPT diterbitkan oleh KPP Pratama, SPPT

diserahkan ke Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kota

Palembang. Petugas kecamatan menyebarluaskan kepada seluruh desa

untuk dibagikan kepada masyarakat melalui perangkat desa. SPPT PBB

dapat disampaikan melalui dua tahap yaitu:

e.1) Tahap pertama


52

1. SPPT PBB disampaikan oleh petugas selaku anggota Tim

Kerja secara langsung kepada wajib pajak atau kuasanya

(door to door) dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari;

2. Untuk memenuhi batas waktu 15 (lima belas) hari

penyampaian SPPT PBB, Kepala Desa dapat menugaskan

perangkat desa atau lembaga masyarakat (Karang Taruna)

untuk menyampaiakn SPPT PBB kepada wajib pajak, dan;

3. Penyampaian SPPT PBB tahap pertama dilakukan secara

serentak dalam suatu wilayah kecamatan.

e.2) Tahap Kedua

1. Terhadap SPPT PBB yang belum tersampaikan pada tahap

pertama, diserahkan kembali kepada KPP Pratama setempat.

2. SPPT PBB yang disampaikan pada tahap kedua adalah SPPT

PBB yang belum tersampaikan pada penyampaian SPPT

PBB tahap pertama yang dilakukan petugas KPP Pratama.

Menurut Masdiasmo (2012:324) pembayaran Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) dilakukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah

STTP PBB diterima wajib pajak. Jika pembayaran PBB dilaksanakan

tetapi sudah melewati batas waktu yang telah ditentukan maka akan

dikenai sanksi perpajakan berupaa denda administrasi. Adapun denda

administrasi sebesar 2% perbulan maksimal selama 24 bulan

berturut-turut atau total denda administrasi sebesar 48%.


53

Media pemberitahuan pajak yang terutang melewati batas waktu

yang telah ditetapkan adalah dengan Surat Tagihan Pajak (STP). Jjika

dalam waktu 30 hari setelah STP terbit belum ada pembayaran dari wajib

pajak dapat diterbitkan Surat Paksa (SP) sesuai dengan pasal 13.

Selanjutnya, wajib pajak yang tidak membayar PBB dengan alasan

seperti tidak mampu dan lain sebagainya dapat memohon pengurangan

ke Kantor Pelayanan PBB. Surat permohonan pengurangan pajak

disampaikan selambat - lambatnya 3 bulan sejak diterima Surat

Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Jika dalam 3 bulan sejak permohonan pengurangan diterima belum ada

jawaban, maka permohonan wajib pajak dianggap diterima/dikabulkan.

Permohonan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan tidak mengurangi

atau menunda waktu pembayaran atau pelunasan PBB.

f) Subyek dan Obyek Pajak Bumi dan Bangunan

Subyek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orangatau badan yang

secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh

manfaat atas bumi, dan atau memiliki menguasai dan atau memperoleh

manfaat atas bangunanWaluyo, (2010:418).

Subyek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang

mempunyai kewajiban untuk melunasi PBB sesuai dengan ketentuan UU

PBB. Subyek PBB baru akan melunasi utang PBB apabila subyek PBB

tersebut secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan bangunan dan
54

atau memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan (Richard Burton dan

Wirawan).

Menurut Waluyo, (2010:74) Subyek mPajak Bumi dan Bangunan

adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak

atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki,

menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, yang meliputi

antara lain pemilik, penghuni, pengontrak, pemakai dan penyewa.

Tjahjono dan Husein, (2009:480), yang dimaksud subyek Pajak

Bumi dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata

mempunyai hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan

atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.

Subjek pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara

nyata:

f.1) Mempunyai hak atas bumi, dan atau

f.2) Memperoleh manfaat atas bumi, dan atau

f.3) Memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas

bangunan.

Yang menjadi subjek pajak PBB adalah orang pribadi atau badan

yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan bangunan.

Jangkauan subjek dalam UU PBB sangat luas, karena meliputi orang atau

badan yang memiliki, menguasai dan memperoleh manfaat atas bumi

dan/atau bangunan. Ini berarti meliputi antara lain pemilik, penghuni,

pengontrak, penggarap, pemakai dan penyewa atas bumi dan /bangunan.


55

Oleh karena sangat luasnya maksud yang terkandung dalam UU PBB,

yang menjadi subjek pajak belum tentu menjadi wajib pajak. Sebab

subjek pajak akan /baru menjadi wajib pajak apabila sudah memenuhi

sayarat-syarat objektif atau sudah mempunyai objek PBB yang

dikenakan pajak. Yang berarti subjek pajak mempunyai hak atas objek

yang dikenakan pajak (memiliki, menguasai, memperoleh manfaat dari

objek kena pajak).

Misalanya si A memperoleh manfaat dari bangunan yang Nilai Jual

Kena Pajaknya kurang dari Rp. 8.000.000,-. Si A tetap menjadi subjek

pajak akan tetapi bukan merupakan wajib pajak. Yang berarti dia akan

dibebaskan dari kewajiban pembayaran pajak. Ketentuan ini bermaksud

untuk tidak mengenakan atas rumah /bangunan milik subjek pajak yang

kurang mampu. Jika suatu objek pajak belum diketahui secara pasti siapa

wajib pajaknya, maka Dirjen Pajak oleh undang-undang diberi

wewenang untuk menunjuk dan menetapkan subjek pajak sebagai wajib

pajak. Beberapa ketentuan khusus tentang siapa yang menjadi subjek

pajak dalam hal ini adalah:

f.1) Jika subjek pajak memanfaatkan dan menggunakan bumi dan

bangunan milik orang lain bukan karena suatu hak atau

perjanjian, maka subjek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib

pajak.
56

f.2) Jika objek pajak masih dalam sengketa, maka orang /badan yang

memanfaatkan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib

pajak.

f.3) Apabila subjek pajak sudah memberi kuasa kepada orang/badan

untuk merawat (mengurus) bumi dan bangunannya disebabkan

suatu hal, maka orang/badan yang telah diberi kuasa dapat

ditetapkan sebagai wajib pajak.

Yang dimaksud dengan orang adalah orang pribadi atau

perseorangan, Yang dimaksud dengan badan adalah badan usaha dengan

nama atau dalam bentuk apapun, termasuk yang berbentuk :

f.1) Perseroan Terbatas

f.2) Perseroan Komanditer

f.3) Perseroan lainnya

f.4) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik

Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun.

f.5) Persekutuan.

f.6) Perkumpulan lainnya

f.7) Firma

f.8) Kongsi

f.9) Koperasi

f.10) Yayasan, atau organisasi yang sejenis

f.11) Lembaga

f.12) Dana Pensiun


57

f.13) Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Subjek pajak sebagaimana disebutkan diatas, yang dikenakan

kewajiban untuk membayar pajak menjadi wajib pajak. Dalam hal tas

suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktorat

Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud

diatas sebagai wajib pajak. Hal ini berarti memberikan kewenangan

kepada Direktorat Jendral Pajak untuk menentukan subjek pajak, apabila

suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.

Dalam undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1985

menyebutkan bahwa yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan

adalah bumi dan /bangunan. Keduanya (bumi dan bangunan) dapat

berdiri sendiri (bumi saja atau bangunan saja) maupun secara

bersama-sama sebagai objek yang dapat dikenakan Pajak Bumi dan

Bangunan.

Pengertian bumi dijelaskan meliputi permukaan bumi dan juga tubuh

bumi yang ada di bawahnya. Apa yang disebut “permukaan bumi” di sini

tak lain adalah tanah itu sendiri yang meliputi perairan. Sedangkan

“tubuh bumi” adalah apa-apa yang berada di dalam bumi dan yang

berada di bawah air. Apa yang disebut dengan air (perairan) disini

mencakup perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa) serta laut wilayah

Indonesia. Jadi yang menjadi objek Pajak Bumi dan bangunan itu adalah

tanah, air (perairan) dan tubuh bumi. Contoh : sawah, ladang, kebun,

pekarangan, tambang, dan lain-lain. Bangunan sebagai objek Pajak Bumi


58

dan Bangunan adalah Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan

secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia

yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat usaha.

Yang termasuk dalam pengertian bangunan dalam penjelasan

Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah:

f.1) Jalan lingkungan yang teletak dalam suatu kompleks bangunan.

f.2) Kolam renang.

f.3) Galangan kapal, dan dermaga.

f.4) Jalan tol.

f.5) Pagar mewah.

f.6) Taman mewah.

f.7) Tempat penampungan / kilang minyak.

f.8) Tempat olah raga, dan lain-lain.

Apabila seseorang atau badan memiliki rumah (bangunan) yang

berada di atas tanah orang lain sehingga pemilik bangunan terpisah dari

pemilik tanah. Undang-undang Pajak Bumi Bangunan memungkinkan

pemilik bangunan dikenakan pajak sendiri terlepas dari pajak yang

dikenakan pada pemilik tanah.Dalam keadaan seperti itu, pengaturan

hukum (Undang-Undang Pokok Agraria) menganut asas “pemisahan

horizontal” yang bertumpu pada hukum adat. Masalah ini sering terjadi

di kota-kota besar yang banyak dibangun rumah bertingkat dan di setiap

tingkat dimiliki oleh orang lain. Yang sekarang lebih kita kenal dengan

sebutan rumah susun atau apartemen.


59

Sedangkan untuk bumi atau bangunan yang digunakan oleh negara

dalam menyelenggarakan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya

diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Sedangkan mengenai

bumi dan /bangunan milik perorangan atau badan (swasta) yang

digunakan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan,

kewajiban pajakannya tergantung dari perjanjian.

Obyek Pajak Bumi dan Bangunan dan Pengecualiannya Menurut

Mardiasmo, (2012:262) dalam bukunya yang berjudul Perpajakan

mengatakan bahwa yang menjadi obyek PBB adalah bumi dan/atau

bangunan.

Menurut Waluyo, Wirawan B. Ilyas,(2010:414) dalam bukunya yang

berjudul Perpajakan Indonesia mengatakan bahwa yang menjadi obyek

PBB adalah bumi dan atau bangunan. Pengertian bumi adalah permukaan

bumi dantubuh bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah

konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah

danatau perairan. Menurut pendapat penulis, yang menjadi obyek PBB

adalah benda tidak bergerak yaitu berupa bumi dan atau bangunan.

Menurut pendapat Tjahjono, Husein (2009 :482) dalam bukunya

yang berjudul Perpajakan mengatakan bahwa obyek PBB yang

dikecualikan dari pengenaan PBB adalah obyek pajak yang digunakan

semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,

kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan

untuk mencari keuntungan digunakan untuk kuburan, peninggalan


60

purbakala atau yang sejenis dengan itu, merupakan hutan lindung, hutan

suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang

dikuasai oleh desa, dan tanah negara yangbelum dibebani suatu hak

digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat, berdasarkan atas

perlakuan timbal balik digunakan oleh badan atau perwakilan

internasional.

g) Dasar Pengenaan Pajak

g.1) Dasar Hukumnya

1. Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1985

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12

Tahun 1994 tentang “Pajak Bumi dan Bangunan”, yang

dimaksud dengan Nilai jual objek pajak (NJOP) adalah

warga harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli

yang terjadi secara wajar, apabila tidak terjadi transaksi jual

beli, maka NJOP dapat ditentukan sebagai berikut :

a. Melalui perbandingan harga dengan objek lainnya yang

jenis.

b. Menghitung nilai perolehan baru objek tersebut.

c. Menghitung nilai objek pengganti.

2. Pasal 6 ayat 1 Undang-undang No. 12 Tahun 1985

sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 12

Tahun 1994 yang berbunyi “Dasar Pengenaan Pajak Bumi

dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”.


61

3. Kep. Menkeu No. 523/KMK.04/1998 tanggal 8 Desember

1998 tentang “Penentuan klasifikasi dan besarnya NJOP

sebagai dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan.

4. Kep. Direktur Jendral Pajak Kep. 533/PJ.6/2000 tanggal 20

Desember 2000 tentang “Petunjuk pelaksanaan pendaftaran,

pendataan, dan penilaian objek dan subjek PBB dalam

rangka pembentukan dan pemeliharaan basis data sistem

manajemen informasi objek pajak (SISMIOP).

5. Surat keputusan Direktur Jendral Pajak No. 16/PJ.6/1998

tanggal 30 Desember 1999 tentang “Pengenaan Pajak Bumi

dan Bangunan.”

6. Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1985

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12

tahun 1994 tentang “PBB adalah pajak objektif sehingga

objeknya melekat pada objek pajak bukan subjek pajak.

7. Peraturan pemerintah No. 25 Tahun 2002 tanggal 13 Mei

2002 Tentang “Penetapan besarnya Nilai Jual Kena Pajak

untuk penghitungan PBB.”

g.2) Penentuan Besarnya NJOP

Dasar pengenaan pajak dalam pajak bumi dan bangunan adalah

nilai jual objek pajak (NJOP) yang besarnya ditetapkan oleh Menteri

Keuangan setiap tiga tahun. Nilai jual objek pajak adalah harga

rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
62

wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, nilai jual objek

pajak ditetapkan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang

sejenis atau nilai perolehan baru nilai jual objek pajak pengganti.

Penentuan besarnya nilai jual objek pajak dapat dilakukan

melalui tiga pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) Pendekatan

pasar dapat dilakukan dengan cara membandingkan objek

pajak yang akan dinilai dengan objek pajak lainnya yang

jenis yang sudah diketahui harga pasarnya dengan

melakukan penyesuaian yang dipandang perlu. Persyaratan

utama yang harus dipenuhi dalam penerapan pendekatan ini

adalah tersedianya data jual beli atau harga sewa yang wajar.

Pendekatan data pasar terutama diterapkan untuk

menentukan NJOP bumi dan untuk objek tertentu dapat pula

dipakai untuk menentukan NJOP bangunan.

2. Pendekatan Biaya (Cost Approach) Pendekatan biaya

digunakan untuk menentukan NJOP bangunan yang

dilakukan dengan cara menghitung semua biaya yang

dikeluarkan untuk membuat bangunan baru dari objek

bersangkutan (reproduction cost new) dikurangi dengan

penyusutan. Perkiraan biaya dihitung dari setiap komponen

utama bangunan, material, dan fasilitas lainnya. Pada saat ini,


63

pendekatan biaya dipergunakan untuk menentukan NJOP

bangunan dengan menggunakan program komputer.

3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) Pendekatan

kapitalisasi pendapatan dilakukan dengan cara menghitung

atau memproyeksikan seluruh pendapatan sewa atau

penjualan dalam satu tahun dari suatu objek dikurangi

dengan biaya operasi selanjutnya dikapitalisasi dengan suatu

tingkat bunga tertentu. Pendekatan ini pada umumnya

digunakan khusus untuk objek komersil yang dibangun

untuk menghasilkan pendapatan, seperti : hotel, apartemen,

perkantoran, pelabuhan udara dan laut, tempat rekreasi, dan

sebagainya. Dalam Penentuan NJOP, pendekatan ini dipakai

juga sebagai alat penguji terhadap nilai yang dihasilkan

dengan pendekatan ini. Mengingat jumlah objek pajak yang

sangat banyak dan menyebar diseluruh wilayah Indonesia,

sedangkan dilain pihak jumlah tenaga penilai yang tersedia

sangat terbatas, maka pelaksanaan dilakukan dengan 2 (dua)

cara, yaitu :

a. Penilaian massal

Dalam sistem ini NJOP bumi dihitung berdasarkan

nilai indikasi rata-rata (NIR) yang terdapat pada setiap

zona ini nilai tanah (ZNT), sedangkan untuk NJOP

bangunan dihitung berdasarkan daftar biaya komponen


64

bangunan (DBKB). Perhitungan penilaian massal

dilakukan dengan menggunakan program komputer

konstruksi umum (computer assisted valuation/CAV)

b. Penilaian individual

Penilaian individual diterapkan untuk objek pajak

umum yang bernilai tinggi (tertentu), baik objek pajak

khusus, ataupun objek pajak umum yang telah dinilai

dengan CAV namun hasilnya tidak mencerminkan nilai

yang sebenarnya karena keterbatasan aplikasi program.

Proses penilaian adalah dengan memperhitungkan

seluruh karakteristik dari objek pajak tersebut. Dalam

penilaian individual, pelaksanaan pendataan dilakukan

dengan menggunakan SPOP dan lampiran SPOP

(LSPOP) serta lembar kerja objek khusus (LKOK)

untuk data tambahan atau informasi tambahan. Besarnya

nilai jual objek pajak juga ditentukan atas klasifikasi

terhadap objek pajak yang terdiri dari atas bidang

perkebunan, perhutanan, pertambangan, perkotaan dan

pedesaan.

h) Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan

Tahapan administrasi PBB antara lain terdiri dari pendataan,

penilaian, pengenaan, penerimaan dan penagihan, serta keberatan dan

pengurangan PBB.
65

h.1)Pendataan

Reformasi perpajakan 1984 yang terjadi di Indonesia tidak hanya

mengubah berbagai ketentuan perundang-undangan perpajakan,

namun juga mengubah sistem pemungutan pajak dari official

assessment, yakni jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak

dalam satu tahun pajak ditentukan sepenuhnya oleh aparat pajak;

menjadi self assessment, yaitu wajib pajak diberikan tanggung jawab

dan kewajiban untuk mengitung, membayar, dan melaporkan

pajak-pajak yang menjadi kewajibannya. Namun untuk PBB, sistem

pemungutan pajak yang diterapkan belum self assessment, dengan

pertimbangan besarnya jumlah objek pajak terutama di pedesaan,

sehingga tidak semua wajib pajak dapat melaksanakan kewajiban

untuk mendaftarkan dan melaporkan objek pajaknya dengan baik

(pajak bumi dan bangunan).

Oleh karena itu, pendataan objek dan subjek PBB dilakukan oleh

Kantor Pelayanan PBB atau Kantor Pelayanan Pajak Pratama dengan

menggunakan formulir SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak).

Pendataan adalah kegiatan untuk memperoleh, mengumpulkan,

melengkapi, dan menatausahakan data objek dan subjek pajak

sebagai bahan untuk menetapkan besarnya PBB terutang. Pendataan

dapat dilakukan dengan cara penyampaian dan pemantauan

pengembalian SPOP, identifikasi objek pajak, verifikasi objek pajak,

serta pengukuran bidang objek pajak.


66

Kantor pelayanan PBB atau kantor pelayanan pajak pratama

dapat bekerja sama dengan aparatur pemerintah daerah dalam

kegiatan pendataan, misalkan dalam penyampaian SPOP ke wajib

pajak, pencocokan informasi gratis yang ada pada peta kerja dengan

objek PBB di lapangan, serta pencocokan data objek dan subjek PBB

antara yang terdaftar dengan yang ada di lapangan. Perlu ada kerja

sama yang baik antara Kantor Pajak dan Pemerintah daerah agar

proses pendataan berlangsung lancar. Hasil dari kegiatan pendataan

tersebut dapat dimanfaatkan untuk pemuktahiran data, agar data

objek dan subjek PBB yang dimiliki oleh Kantor Pelayanan PBB

atau Kantor Pelayanan Pajak Pratama sesuai dengan kenyataan yang

ada di lapangan.

h.2)Penilaian

Penilaian adalah kegiatan menghitung nilai jual bumi dan atau

bangunan dalam rangka melakukan pembagian beban PBB secara

merata dan seadil mungkin berdasarkan karakteristik objek pajak dan

sesuai dengan nilai jualnya.

Hasil penilaian adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai

dasar pengenaan pajak. Sebagaimana disebutkan di dalam pasal 1

ayat (3) UU PBB : “nilai jual objek pajak adalah harga rata-rata yang

diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan

bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak

ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang


67

sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak

Pengganti. PBB menggunakan metode/pendekatan biaya untuk

menentukan nilai property yang akan dikenakan pajak.

Gambar 2.1.
Metode Penentuan Nilai Properti PBB

Nilai Properti

Nilai Bumi Nilai Bangunan

Dihitung biaya
komponen
Ditentukan melalui
pembuatan
perbandingan data
bangunan
pasar
dikurangi
penyusutan

Sumber : Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian, DJP

Nilai bumi ditentukan melalui perbandingan data pasar, nilai

bangunan dihitung biaya komponen pembuatan bangunan dikurangi

penyusutan nilai properti. Nilai bumi ditentukan melalui

perbandingan dengan data pasar tanah di lingkungan sekitar, yang

diperoleh dari PPAT, broker, lelang, pembeli, penjual, dan sumber

lainnya. Setiap data diberikan penyesuaian untuk memperoleh

estimasi nilai pasar. Estimasi nilai pasar disesuaikan dengan lokasi


68

dan faktor lain untuk memperoleh Nilai Indikasi Rata-Rata (NIR).

NIR kemudian diklasifikasi sehingga diperoleh NJOP Bumi.

Gambar 2.2
Proses Penentuan NJOP Bumi

Sumber : Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian, DJP

Data Pasar Penyesuaian atas jenis data dan waktu estimasi nilai

pasar penyesuaian atas lokasi dan faktor lain NJOP Klasifikasi NIR

bumi. Nilai bangunan ditentukan dengan menggunakan analisis biaya

pembuatan baru bangunan dengan memperhitungkan nilai

penyusutannya. Nilai bangunan kemudian diklasifikasikan sehingga

diperoleh NJOP Bangunan.


69

Gambar 2.3
Proses Penentuan Nilai Bangunan

Sumber : Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian, DJP

Total NJOP diperoleh sebagai hasil penjumlahan NJOP Bumi

dan NJOP Bangunan.

Gambar 2.4 Penentuan NJOP PBB

Sumber : Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian, DJP


70

Klasifikasi tanah (bumi) dan bangunan merupakan

pengelompokkan objek pajak menurut nilai jualnya. Klasifikasi

dibuat untuk memudahkan pelaksanaan penghitungan pajak yang

terutang atas suatu objek pajak. Klasifikasi tanah dan bangunan yang

digunakan saat ini adalah klasifikasi tanah dan bangunan berdasarkan

Keputusan Menteri Keuangan No. 523/ KMK.04/1998 tanggal 18

Desember 1998 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai

Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan

Bangunan. Tata cara penilaian objek PBB dari pelaksanaan teknis

penilaian terdiri dari dua cara: penilaian secara massal (mass

appraisal) dan penilaian secara individual (individual appraisal).

h.3)Pengenaan

Pengenaan adalah kegiatan perhitungan, penetapan, dan

pembebanan pajak terutang dengan unsur pokok di dalamnya yaitu

tarif, Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), Nilai Jual Objek Pajak Tidak

Kena Pajak (NJOPTKP), dan tata cara perhitungannya.

1. Tarif PBB

Tarif yang digunakan dalam PBB merupakan tarif tunggal

yang ditetapkan sebesar 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).

Disebut tarif tunggal karena tarif 0,5% tersebut berlaku untuk

semua jenis objek pajak (perumahan, perkantoran, perkebunan,

industri dan sebagainya) di seluruh Indonesia.


71

2. Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)

Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) adalah dasar penghitungan

PBB yang menurut UU PBB besarnya ditetapkan

serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari

NJOP. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002

yang berlaku sejak 1 Januari 2002, NJKP ditetapkan sebesar :

a. 40% untuk objek sektor perkebunan, pertambangan dan

perhutanan.

b. 40% untuk objek sektor pedesaan dan perkantoran yang

NJOPnya > Rp 1 miliar.

c. 20% untuk objek sektor pedeaan dan perkotaan yang

NJOPnya < Rp 1 miliar.

Penetapan dasar penghitungan pajak yang bervariasi ini

merupakan salah satu pemenuhan aspek keadilan selain

pengenaan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)

serta kemungkinan pengajuan keberatan, pengurangan, dan

banding.

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)

merupakan batas NJOP atas bumi dan atau bangunan yang tidak

kena pajak. Sebelum NJOP sebagai dasar pengenaan pajak

dihitung beban PBBnya, terlebih dahulu dikurangi dengan

NJOPTKP. Berdasarkan KMK Nomor 201/KMK. 4/2000

tanggal 6 Juni 2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual


72

Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan

Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya NJOPTKP ditetapkan

secara bervariasi untuk masing-masing kabupaten/kota dengan

batas maksimal per wajib pajak sebesar Rp.12.000.000,-.

Penetapan NJOPTKP ditetapkan oleh Kepala Kanwil DJP atas

nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat

pemerintah daerah setempat.

h.4)Penerimaan dan Penagihan

Penerimaan adalah kegiatan administrasi PBB yang berkaitan

dengan pembayaran, pemungutan, penyetoran, penagihan,

pelimpahan, dan pembagian hasil penerimaan PBB. Pembayaran

adalah pelunasan PBB terutang oleh wajib pajak ke tempat

pembayaran (bank atau kantor pos dan giro tempat pembayaran yang

tercantum pada SPPT).

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak,

berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor:

KEP-371/PJ/2002 tanggal 7 Agustus 2002 tentang tata cara

pembayaran pajak bumi dan bangunan melalui fasilitas perbankan

elektronik, pembayaran PBB juga dapat dilakukan melalui tempat

pembayaran elektronik yang disediakan bank seperti ATM/internet

banking/fasilitas lain.

Keuntungan pembayaran PBB melalui tempat pembayaran

elektronik adalah melayani pembayaran PBB atas objek pajak di


73

seluruh Indonesia, tidak terikat pada hari kerja dan jam operasional

bank untuk pembayaran PBB, dan terhindar dari antrian di bank pada

saat pembayaran PBB.

Bank yang menyediakan fasilitas elektronik antara lain Bank

DKI, Bank Bukopin, BCA, dan Bank Mandiri. Resi/struk ATM,

Print Out Internet Banking ataupun bukti pembayaran (melalui teller)

diperlakukan sebagai pengganti Surat Tanda Terima Setoran (STTS)

PBB. Apabila tanda terima pembayaran tersebut rusak/hilang,

berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor

SE-42/PJ/2008 tanggal 26 Agustus 2008 tentang Prosedur Penerbitan

Surat Keterangan Lunas (SKL) atas kehilangan/kerusakan struk

anjungan tunai mandiri (ATM) atau bukti pembayaran PBB lainnya,

wajib pajak dapat mengajukan permohonan Surat Keterangan Lunas

Pembayaran PBB pada KPP Pratama atau Kantor Pelayanan PBB

dimana objek pajak tersebut terdaftar.

Jika tempat pembayaran sulit dijangkau oleh Wajib Pajak, maka

pembayaran dilakukan melalui petugas pemungut PBB

Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi. Petugas pemungut akan

menyalurkan hasil pemungutan PBB tersebut ke tempat pembayaran.

Dokumen yang digunakan Wajib Pajak sebagai bukti

pembayaran adalah STTS PBB. PBB yang terkumpul kemudian

dilimpahkan oleh tempat pembayaran ke Bank Persepsi (kantor

cabang bank yang ditetapkan untuk menerima pelimpahan


74

penerimaan PBB), dan diteruskan oleh Bank Persepsi ke Bank

Operasional V. Pelimpahan dilakukan pada setiap hari Jumat atau

hari kerja berikutnya jika hari Jumat libur. Bank Operasional V

kemudian akan membagi hasil penerimaan PBB berdasarkan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000

tanggal 10 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak

Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai

berikut:

1. 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat, yang

kemudian dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan

kota berdasarkan realisasi penerimaan PBB tahun anggaran

berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:

a) 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata

kepada seluruh daerah kabupaten dan kota;

b) 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif

kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi

penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada

tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui

rencana penerimaan yang ditetapkan.

2. 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah, dengan rincian

sebagai berikut:

a. 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk Daerah

Propinsi yang bersangkutan.


75

b. 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk

Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

c. 9% (sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan.

Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung

Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan

menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika

dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan

pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,

menjual barang yang telah disita. Apabila Wajib Pajak tidak

melunasi pajak yang terutang sedangkan saat jatuh tempo

pembayaran SPPT telah lewat, maka berdasarkan Keputusan

Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-503/PJ./2000 tanggal 22

Nopember 2000 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak

Pajak Bumi dan Bangunan dan Tata Cara Pelaksanaan Penagihan

Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP).

Besarnya pajak terutang yang ditagih dalam STP PBB adalah

pokok pajak ditambah denda administrasi sebesar 2% perbulan untuk

jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan; dan harus

dilunasi dalam jangka waktu 1 bulan sejak STP diterima Wajib Pajak.

Jika tidak, rangkaian tindakan penagihan yang dimulai dari

pembuatan surat teguran dapat dilakukan.


76

1. Penerbitan Surat Teguran merupakan langkah awal dari

tindakan pelaksanaan penagihan pajak. Surat Teguran dapat

dikeluarkan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo

pembayaran STP PBB.

2. Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus,

dapat diterbitkan tanpa menunggu tanggal jatuh tempo

pembayaran STP PBB apabila :

a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk

selama-lamanya atau berniat untuk itu.

b. Penanggung pajak menghentikan atau secara nyata

mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang

dilakukannya di Indonesia, ataupun memindah

tangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya.

c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan

membubarkan badan usahanya atau berniat untuk itu.

d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara atau terjadi

penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak

ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

3. Surat Paksa dapat diterbitkan setelah lewat waktu 21 (dua

puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat Teguran, apabila

utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi atau

telah diterbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan

Sekaligus.
77

4. Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak

dilaksanakan oleh Jurusita Pajak berdasarkan Surat Perintah

melaksanakan Penyitaan. Penyitaan dapat dilaksanakan

apabila utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2

(dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak tanggal Surat

Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak. Pencabutan

sita dapat dilakukan antara lain apabila Penanggung Pajak

telah melunasi utang pajak dan biaya penagihannya, adanya

putusan pengadilan/putusan hakim dari peradilan umum atau

pengadilan pajak, atau karena adanya sebab-sebab diluar

kekuasan, misalnya objek sita terbakar, hilang atau musnah.

5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak berwenang menjual secara

lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang,

kecuali barang sitaan berupa uang tunai, deposito berjangka,

tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat

berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada

perusahaan lain. Terhadap barang sitaan yang tidak dijual

secara lelang, Kepala Kantor Pelayanan Pajak segera

menjual, menggunakan dan atau memindahbukukan barang

sitaan untuk pelunasan biaya penagihan pajak dan utang

pajak apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak

dan biaya penagihan pajak setelah 14 (empat belas) hari

sejak penyitaan barang dimaksud. Untuk barang sitaan yang


78

dijual secara lelang, agar Penanggung Pajak memiliki

kesempatan melunasi utang pajak dan biaya penagihannya

serta sesuai dengan peraturan lelang, maka setiap penjualan

barang sitaan secara lelang harus didahului dengan

pengumuman lelang. Pengumuman lelang dilaksanakan

sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah penyitaan,

sedangkan lelang dilaksanakan sekurang-kurangnya 14

(empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Apabila

seluruh utang pajak dan biaya penagihan pajak telah

tertutupi oleh hasil lelang/penjualan, maka lelang/penjualan

dihentikan.

6. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara

terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari

wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan

tertentu sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992

tentang Keimigrasian. Pencegahan diperlukan sebagai salah

satu upaya penagihan pajak dan dilaksanakan secara sangat

efektif dan hati-hati. Dalam pelaksanaan pencegahan sebagai

upaya penagihan pajak, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai

berikut :

a. Kuantitatif, yakni pencegahan hanya dapat

dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang


79

mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya

Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan

b. Kualitatif, yakni Penanggung Pajak diragukan itikad

baiknya dalam melunasi utang pajaknya.

7. Peyanderaan merupakan salah satu upaya penagihan pajak

yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu

terhadap kebebasan. Penanggung Pajak dengan

menempatkannya pada tempat tertentu. Penyanderaan tetap

dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah

dilakukan pencegahan. Penyanderaan diperlukan sebagai

salah satu upaya penagihan pajak dan dilaksanakan secara

sangat selektif, hati-hati, dan merupakan upaya terakhir.

Dalam pelaksanaan penyanderaan sebagai upaya penagihan

pajak harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kuantitatif, yakni penyanderaan hanya dapat dilakukan

terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah

utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000,00

(seratus juta rupiah).

b. Kualitatif, yakni Penanggung Pajak diragukan itikad

baiknya dalam melunasi utang pajaknya.

c. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak setelah

lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal

Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak.


80

h.5)Keberatan dan Pengurangan

Keberatan dan pengurangan pajak terutang merupakan hak yang

dimiliki Wajib Pajak dalam pelaksanaan pengenaan PBB. Walaupun

PBB merupakan jenis pajak objektif, dengan pengertian bahwa

pengenaan PBB tidak terkait dengan kemampuan ekonomis Wajib

Pajak, namun sesuai dengan Pasal 19 UU PBB, Menteri Keuangan

(dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan Pajak) dapat memberikan

pengurangan pajak yang terutang karena kondisi tertentu objek pajak

yang ada hubungannya dengan subjek pajak; atau karena

sebab-sebab tertentu lainnya.

Keberatan dapat diajukan oleh Wajib Pajak dalam hal terjadi

perbedaan antara Wajib Pajak dengan fiskus mengenai data-data

objek pajak yang digunakan sebagai dasar penetapan pajak.

Pengajuan keberatan dapat dilakukan selambat-lambatnya tiga bulan

terhitung sejak SPPT/SKP diterima. Dalam jangka waktu paling

lama dua belas bulan, Dirjen Pajak harus sudah memberikan

keputusan atas pengajuan tersebut. Apabila jangka waktu yang dua

belas bulan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka keberatan dianggap

diterima.

Pengurangan dapat diberikan kepada:

1. Wajib Pajak karena kondisi tertentu objek pajak yang ada

hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena

sebab-sebab tertentu lainnya, yaitu:


81

a. Objek Pajak berupa lahan pertanian/ perkebunan/

perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas,

yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh

Wajib Pajak Orang Pribadi.

b. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau

dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang

berpenghasilan rendah, yang nilai jualnya meningkat

akibat adanya pembangunan atau perkembangan

lingkungan.

c. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau

dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang

penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan,

sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi.

d. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau

dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang

berpenghasilan rendah sehingga kewajiban PBBnya sulit

dipenuhi.

e. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau

dimanfaatkan oleh Wajib Pajak veteran pejuang

kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.

f. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan

oleh Wajib Pajak Badan yang mengalami kerugian dan

kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun,


82

sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin

perusahaan.

2. Wajib Pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak

terkena bencana alam (seperti gempa bumi, banjir, tanah

longsor, gunung meletus) atau sebab-sebab lain yang luar

biasa (seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan

hama tanaman). Permohonan pengurangan karena kondisi

tertentu Wajib Pajak dapat diajukan selambat-lambatnya 3

(tiga) bulan sejak diterimanya SPPT, sedangkan permohonan

pengurangan karena bencana alam atau sebab-sebab lain

yang luar biasa dapat diajukan paling lambat3 (tiga) bulan

sejak kejadian. Kantor Pelayanan Pajak harus sudah

menerbitkan Keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan

sejak diterimanya permohonan. Apabila jangka waktu

tersebut telah lewat dan Keputusan belum diterbitkan, maka

permohonan pengurangan wajib pajak dianggap dikabulkan.

B. Kerangka Pemikiran
Kelurahan Talang Betutu Kecamatan Sukarami adalah merupakan salah satu

kecamatan yang ada di Kota Palembang dan menjadi obyek penelitian ini,

dimana fenomena yang terjadi bahwa masyarakat khususnya di Kelurahan Talang

Betutu kurang menyadari arti pentingnya dalam melakukan pemungutan dan

pengelolaan pajak Bumi dan Bangunan (PBB), padahal penerimaan pajak Bumi

dan Bangunan dipergunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat dalam


83

rangka membiayai pembangunan di Kelurahan Talang Betutu Kecamatan

Sukarami Kota Palembang. Sehingga dengan adanya permasalahan yang terjadi

maka perlunya pihak Dinas Pendapatan Daerah melakukan implementasi

kebijakan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta mengetahui faktor

pendukung dan faktor penghambat dalam pengelolaan pajak Bumi dan Bangunan

di Kelurahan Talang Betutu Kecamatan Sukarami Kota Palembang.

Berdasarkan teori yang telah dipaparkan diatas, maka pengaruh dari

masing-masing variabel tersebut dapat digambarkan dalam model paradigma

seperti yang ditunjukan pada gambar 2.5 dibawah ini :

Gambar 2.5
Kerangka Pemikiran

Mempengaruhi
Kesadaran Kepatuhan
Wajib Pajak Wajib Pajak
(X) (Y)

C. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.6
Penelitian Terdahulu
Nama, Judul dan Persamaan Perbedaan
No Hasil Penelitian
Tahun Penelitian Penelitian Penelitian
1 Ni Ketut Nuari Kualitas pelayanan Sama-sama Penggunaan
Shanti (2016) fiskus berpengaruh menggunakan kualitas
terhadap Kepatuhan varibel Y pelayanan dan
pengaruh kualitas Wajib Pajak Kepatuhan pemahaman
pelayanan dan wirausahawan, terhadap peraturan
pemahaman pemahaman wajib pajak. perpajakan
peraturan perpajakan peraturan sebagai
terhadap Kepatuhan Perpajakan juga Kesamaan variabel X
Wajib Pajak mempengaruhi dalam teori
wirausahawan dalam Kepatuhan Wajib yang Perbedaan
membayar pajak Pajak wirausahawan digunakan. lokasi dan
84

penghasilan di KPP dan kualitas waktu


Pratama Gianyar pelayananan juga Sama-sama penelitian
mempunyai menggunakan
pengaruh terhadap teknik
Kepatuhan Wajib pengumpulan
Pajak wirusahawan data dari
dalam membayar kuisioner
pajak
penghasilannya
2 Leni Samira (2015) kesadaran Wajib Persamaan Perbedaan
Pajak peneliti lokasi dan
Pengaruh kesadaran mempengaruhi terdahulu waktu
Wajib Pajak, Kepatuhan Wajib dengan penelitian.
pelayanan fiskus, Pajak, pelayanan peneliti
dan sanksi pajak fiskus sekarang Perbedaan
terhadap Kepatuhan mempengaruhi adalah yaitu penggunaan
Wajib Pajak pada Kepatuhan Wajib sama-sama pelayanan
KPP Pratama Kota Pajak, dan sanksi menggunakan fiskus dan
Bogor pajak berpengaruh Kesadaran sanksi pajak
jadi tiga variabel wajib pajak sebagai
independen yang sebagai variabel X.
digunakan peneliti variabel X
secara parsial dan Penelitian ni
mempengaruhi kepatuhan menggunakan
Kepatuhan wajib pajak uji regresi
Wajib Pajak pada sebagai linear
KPP Pratama Bogor variabel Y berganda.

Sama-sama
menggunakan
data primer
melalui
kuesioner
3 Pasca Rizki Dwi Hasil penelitian Persamaan Perbedaan
Ananda (2015) menjelaskan bahwa peneliti lokasi dan
sosialisasi terdahulu waktu
Pengaruh sosialisasi perpajakan memiliki dengan penelitian.
perpajakan, tarif pengaruh signifikan peneliti
pajak, dan terhadap Kepatuhan sekarang Perbedaan
pemahaman Wajib Pajak sebesar adalah penggunaan
perpajakan terhadap 0,413 dan samasama sosialisasi
Kepatuhan Wajib pemahaman menggunakan perpajakan,
Pajak (studi kasus perpajakan memiliki variabel tarif pajak dan
pada UMKM yang pengaruh signifikan Kepatuhan pemahaman
terdaftar sebagai terhadap Kepatuhan Wajib Pajak pajak sebagai
Wajib Pajak di KPP Wajib sebagai variabel X.
85

Pratama Batu) Pajak sebesar 0,217 variabel


dan variabel yang dependen Penelitian ni
dominan adalah tarif menggunakan
pajak uji regresi
linear
berganda.

4 Fitri Wilda (2015) Pelayanan fiskus Sama-sama Penggunaan


berpengaruh menggunakan variabel
Pengaruh kesadaran signifikan positif Variabel independen
Wajib Pajak, terhadap Kepatuhan Independen (X) yaitu
pelayanan fiskus, Wajib Pajak orang (X) yaitu pelayanan
dan sanksi pajak pribadi sementara Kesadaran fiskus dan
terhadap Kepatuhan kesadaran Wajib wajib pajak sanksi pajak.
Wajib Pajak orang Pajak dan sanksi dan variabel
pribadi yang pajak tidak Dependen (Y) Perbedaan
melakukan kegiatan berpengaruh yaitu dalam waktu
usaha dan pekerjaan signifikan terhadap Kepatuhan dan lokasi
bebas di Kota Kepatuhan Wajib Wajib Pajak penelitian.
Padang Pajak orang pribadi.
Perbedaan
dalam
penggunaan
teori dan
penggunaan
uji keabsahan
data.
5 Sri Putri Tita Mutia sanksi perpajakan Sama-sama Penggunaan
(2014) berpengaruh positif menggunakan variabel
terhadap Kepatuhan Variabel independen
Pengaruh sanksi Wajib Pajak, Independen (X) yaitu
perpajakan, kesadaran (X) yaitu Sanksi
kesadaran perpajakan Kesadaran Perpajakan,
perpajakan, berpengaruh wajib pajak Pelayanan
pelayanan fiskus, positif terhadap dan variabel fiskus dan
dan tingkat Kepatuhan Wajib Dependen (Y) tingkat
pemahaman Pajak, pelayanan yaitu pemahaman.
terhadap Kepatuhan fiskus berpengaruh Kepatuhan
Wajib Pajak orang positif terhadap Wajib Pajak Perbedaan
pribadi (studi Kepatuhan Wajib dalam waktu
empiris pada Wajib Pajak, dan tingkat dan lokasi
Pajak orang pribadi pemahaman juga penelitian.
yang terdaftar di berpengaruh positif
KPP Pratama kepada Kepatuhan
Padang) Wajib Pajak
86

Perbedaan
dalam
penggunaan
uji keabsahan
data.

D. Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berfikir diatas, hipotesis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

H₀₁ = Kesadaran Wajib Pajak (X) tidak berpengaruh signifikan terhadap

Kepatuhan Wajib Pajak (Y)

H₁ = Kesadaran Wajib Pajak (X) mempunyai pengaruh signifikan terhadap

Wajib Pajak (Y)


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Kantor Kelurahan Talang Betutu

Kecamatan Sukarami Kota Palembang yang beralamat di Jalan Dani

Effendi Kelurahan Talang Betutu Kecamatan Sukarami Kota Palembang

Provinsi Sumatera Selatan Kodepos 30155.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu kurang lebih satu

bulan, mulai dari tanggal 1 sampai dengan 31 Oktober 2020. Jangka

Waktu tersebut termasuk proses perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan

hasil penelitian.

B. Desain Penelitian
Menurut Sugiyono (2015:4) menyatakan bahwa “metode penelitian

diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan

kegunaan tertentu”. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode

kuantitatif, metode kuantitatif menurut Sugiyono (2015:13) yaitu: “metode

penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti

pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen

penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk

menguji hipotesis yang telah diterapkan”.

87
88

Dalam Penelitian ini akan dilakukan pengujian terhadap Variabel X

(Kesadaran Wajib Pajak) dan Y (Kepatuhan Wajib Pajak) serta menganalisis

pengaruh Variabel X terhadap Y.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi

Menurut Sugiyono (2014:148) populasi adalah wilayah generalisasi

terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentu. Ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulan. Dalam penelitian ini, total populasi pada kantor Kelurahan

Talang Betutu Kecamatan Sukarami Kota Palembang yang berjumlah 43

pegawai.

2. Sampel

Menurut Sugiyono (2009:62) sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Teknik pengambilan sampel

dalam penelitian ini adalah teknik non-probability sampling, yang mana

pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama

bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.

Teknik Sampling non-probability ini meliputi Purposive Sampling,

Snowball Sampling, Accidental Sampling, Quota Sampling, dan Sampel

Jenuh. Dari beberapa jenis teknik nonprobability sampling tersebut,

penulis menggunakan teknik purposive sampling, yang mana teknik

penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Karakteristik

sampelnya guru laki-laki dan perempuan, berpendidikan terakhir S1 dan


89

S2, masa kerja 0 sampai lebih dari 10 tahun, berusia 20 sampai lebih dari

40 tahun. Dalam penelitian ini, penentuan pengambilan jumlah sampel

menggunakan rumus Slovin dalam Suharso (2009) :

Keterangan :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

e = Presentasi kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan

pengambilan sampel yang masih ditolerir, dengan tingkat

presentasi 10% (0,1).

Penelitian ini dilakukan di kantor Kelurahan Talang Betutu

Kecamatan Sukarami Kota Palembang dengan jumlah pegawai sebanyak

43 orang dengan tingkat kesalahan 10%. Berdasarkan rumus tersebut,

jumlah sampel yang diperoleh penelitian ini adalah 30 orang dengan

perhitungan sebagai berikut:

= 30 Orang

D. Definisi Operasional Variabel


Menurut Sugiyono (2014) variabel penelitian adalah segala sesuatu yang

berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga

diperoleh informasi tentang hal tesebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

Dalam penelitian ini, variabel penelitian terbagi dua yaitu variabel

dependen dan variabel independen.


90

1. Variabel terikat atau dependen adalah variabel yang dipengaruhi

atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono,

2014:97). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Kepatuhan

Wajib Pajak.

2. Variabel bebas atau independen adalah variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau

timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2014:96). Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah Kesadaran Wajib Pajak.

Tabel 3.1
Operasional Variabel Penelitian
Variabel Sub Variabel Indikator Skala

Kesadaran Wajib Pelayanan Prima Memberikan Likert


Pajak (X) pelayanan yang prima
kepada wajib pajak

Nasution Melayani wajib pajak


(2006:62) secara khusus

Memberikan retitusi
kepada wajib pajak

Penyuluhan Pajak Wajib pajak


mempunyai hak
mendapatkan
pembinaan dan
pengarahan dari fiskus

Pemeriksaan Meningkatkan lawen


Pajak forcement

Pemeriksaan Membangun wajib


Pajak pajak yang sadar dan
peduli pajak
91

Kepatuhan Wajib Kepatuhan Wajib Ketepatan waktu Likert


Pajak (Y) Pajak Formal dalam menyampaikan
pajak tahunan

Ketepatan waktu
(Widodo 2010:68-
dalam membayar
70)
pajak

Ketepatan waktu
pelaporan pembayaran
pajak

Kepatuhan Wajib Menyampaikan pajak


Pajak Material dengan jujur

Membayar pajak
dengan jujur

Melaporkan
pembayaran pajak
dengan jujur

E. Instrumen Penelitian
Menurut Sugiyono (2016:97),”Instrumen penelitian adalah suatu alat

yang digunakan untuk mengumpul data yang diamati.”

Dalam penelitian ini alat yang digunakan oleh penulis dalam

mengumpulkan data dengan menggunakan bentuk instrumen, dokumen,

kuesioner dan sebagainya.

F. Teknik Pengumpulan Data


Dalam sebuah penelitian penting untuk mencantumkan sumber data

sebagai subjek penelitian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara

mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan alat apa yang digunakan.


92

Menurut Siregar (2013:15), Data adalah bahan mentah yang perlu diolah

sehingga menghasilkan informasi atau keterangan, baik kualitatif maupun

kuantatif yang menunjukkan fakta.

Pengelompokan data berdasarkan cara memperolehnya Siregar (2013:16)

terdiri dari :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang berasal langsung dari responden. Data

responden sangat diperlukan untuk mengetahui tanggapan responden

mengenai kinerja yang dilihat dari disiplin kerja dan kepuasan kerja.

Data primer dapat diperoleh melalui beberapa teknik pengumpulan data

yaitu :

a. Wawancara

Yaitu dilakukan dengan jalan mengadakan wawancara secara

langsung dan yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah

kepala Dinas Pendapatan Daerah, di kelurahan Talang Betutu

Kecamatan Sukarami Kota Palembang, bagian administrasi dan

sejumlah staf personil yang berhubungan dengan penelitian ini serta

masyarakat sebagai obyek pajak bumi dan bangunan.

b. Kuesioner

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis

kepada responden untuk dijawabnya. Serta merupakan teknik

pengumpulan data yang efisien bila peneliti mengetahui dengan pasti


93

variabel yang aka diukur apa yang diharapkan dari responden.

Adapun data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pengisian kuesioner. kuesioner digunakan dengan cara memberikan

pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab dan disetiap

pertanyaan dilengkapi dengan lima alternative jawaban, yaitu Sangat

Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Netral / Ragu-Ragu (N),

Setuju (S), Sangat Setuju (SS). Penentuan nilai menggunakan Skala

Likert dan jawaban dilakukan dalam bentuk checklist.

Tabel 3.2
Skala Likert
No Jenis Jawaban Bobot / Nilai

1. Sangat Tidak Setuju 1

2. Tidak Setuju 2

3. Netral 3

4. Setuju 4

5. Sangat Setuju 5

Angka 5 (lima) Sangat Setuju menunjukan bahwa responden

memberikan tanggapan yang paling positif terhadap pernyataan yang

diajukan, sedangkan angka 1 (satu) Sangat Tidak Setuju menunjukan

tanggapan yang bersifat Negatif. Dalam penelitian ini yang menjadi

responden dalam pengisian kuesioner adalah beberapa pegawai pada

Kantor Kelurahan Talang Betutu Kecamatan Sukarami Kota

Palembang.
94

c. Observasi

Sutrisno Hadi dalam Sugiyono (2012:145), mengemukakan

bahwa observasi adalah suatu proses yang kompleks, suatu proses

yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua

diantara yang terpenting adalah proses pengamatan dan ingatan.

Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang mempunyai ciri

yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain. Karena

observasi tidak selalu dengan obyek manusia tetapi juga obyek

sumber daya yang lainnya. Dalam penelitian ini peneliti melakukan

observasi langsung dengan mengamati kondisi lingkungan di Kantor

Kelurahan Talang Betutu Kecamatan Sukarami Kota Palembang.

d. Dokumentasi

Yaitu teknik penelitian yang diperoleh dari dokumen-dokumen

serta arsip-arsip Kelurahan Talang Betutu yang ada hubungannya

dengan masalah pajak bumi dan bangunan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung, baik

berupa keterangan maupun literature yang berhubungan dengan

penelitian dan bersikap melengkapi atau mendukung data primer. Dalam

penelitian ini data data sekunder yang digunakan berasal dari penelitian

kepustakaan yang dapat memberikan landasan teori yang diperoleh dari

buku-buku teks pendukung, jurnal-jurnal ilmiah, internet serta sumber

lainnya yang berkaitan dengan objek yang diteliti.


95

G. Teknik Analisis Data


Menurut Sugiyono (2016:234) teknik analisis data untuk penelitian

terbagi menjadi 2 (dua) macam metode yaitu :

1. Metode kualitatif

2. Metode kuantitatif

Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data

bersifat kuantitatif.

H. Rencana Pengujian Keabsahan Data


Data yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner akan di analisis

menggunakan rumus-rumus atau dengan aturan yang ada sesuai dengan

pendekatan peneliti. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Uji Kualitas Data

Untuk melakukan uji kualitas data atas data primer ini, maka peneliti

menggunakan uji validitas dan reabilitas.

a. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk membuktikan sejauh mana data

yang terdapat di kuesioner dapat mengukur tingkat ke validitasan

suatu kuesioner. Menurut Ghozali (2009:49) Suatu kuesioner

dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk

mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut.

Pengujian validitas ini menggunakan Total Correlation (correlated

Item) analisis ini dengan cara mengkorelasikan masing-masing skor


96

item dengan skor total dan melakukan koreksi terhadap nilai

koefisien korelasi yang over estimasi. Pengujian menggunakan dua

sisi dengan taraf signifikasi 0,05.

Tabel 3.3
Uji Validitas
Category Validity
Good 0,50
Acceptable 0,30
Marginal 0,20
Poor 0,10
Sumber : Barker et.al, 2002:70

Untuk menghitung korelasi pada uji validitas Menurut Umi

Narimawati (2010:42) dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan :

r = Koefisien korelasi pearson

X = Skor item pertanyaan

Y = Skor total item pertanyaan

N = Jumlah responden dalam pelaksanaan uji coba instrument

Kriteria pengujian adalah sebagai berikut:

1) Jika r hitung ≥ r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka

instrumen atau item-item pertanyaan berkolerasi signifikan

terhadap skor total (dinyatakan valid).


97

2) Jika r hitung < r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka

instrumen atau item-item pertanyaan tidak berkolerasi

signifikan terhadap skor total (dinyatakan tidak valid).

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas dapat diartikan sebagai suatu karakteristik terkait

dengan keakuratan, ketelitian, dan kekonsistenan. Suatu alat disebut

reliabel apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran

terhadap kelompok subjek sama sekali diperoleh hasil yang relatif

sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum

berubah. Dalam hal ini relatif sama berarti tetap adanya toleransi

perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran.

Pengujian ini dilakukan terhadap butir pertanyaan yang termasuk

dalam kategori valid. Pengujian reliabilitas yang digunakan dalam

penelitian ini adalah dengan internal consistency, yaitu dilakukan

dengan cara mencobakan instrument sekali saja, kemudian dianalisis

dengan menggunakan suatu teknik perhitungan reliabilitas. Teknik

yang digunakan untuk menguji keandalan kuesioner pada penelitian

ini adalah metode split-half dari Spearman-Brown menurut Sugiyono

(2009:126) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Butir-butir instrument di belah menjadi dua kelompok, yaitu

kelompok instrument ganjil dan genap.


98

2) Skor untuk masing-masing pertanyaan pada tiap belahan

dijumlahkan sehingga menghasilkan dua skor total untuk

masing-masing responden.

3) Mengkorelasikan skor total satu dengan skor total dua

dengan analisis korelasi.

4) Mencari reliabilitas untuk keseluruhan pertanyaan dengan

rumus Spearman Brown sebagai berikut:

Keterangan :

ri = reliabilitas internal seluruh instrumen

rb = korelasi product moment antara belahan pertama dan

kedua.

Tabel 3.4
Uji Reliabilitas
Category Validity
Good 0,80
Acceptable 0,70
Marginal 0,60
Poor 0,50
Sumber : Barker et.al, 2002:70

Dalam suatu penelitian, Instrumen penelitian harus dapat

dinyatakan andal, keandalan instrument menjadi indikasi bahwa

responden konsisten dalam memberikan tanggapan atas pernyataan

yang diajukan. Seperti yang dikemukakan Barker et al (2002:70)


99

sekumpulan butir pernyataan yang mengukur variabel dapat diterima

jika memilki koefisien reliabilitas lebih besar atau sama dengan 0,70.

2. Pengujian Hipotesis

a. Uji Analisis Regresi Linear Sederhana

Penelitian ini menggunakan Analisis Regresi Linear Sederhana

didasarkan pada hubungan fungsional atau kasual satu variabel

independen dengan satu variabel dependen. Analisis regresi linear

sederhana digunakan untuk menguji pengaruh antara variabel

independen (X) terhadap variabel dependen (Y) (Sugiyono 2014 :

261). Model persamaan regresi linear sederhana digambarkan

sebagai berikut:

Y = a + bX

Keterangan :

Y = Kinerja Pegawai

a = Konstanta

b = Koefisien Regresi

X = Disiplin Kerja

Persamaan umum regresi linear sederhana adalah dimana nilai a

dan b dicari terlebih dahulu dengan rumus sebagai berikut:


100

Terdapat dua perbandingan yang dapat dilihat dalam

pengambilan keputusan berdasarkan uji regresi linear sederhana

yaitu sebagai berikut:

1) Dilihat dari perbandingan nilai signifikansi dengan nilai

probabilitas <0,05.

2) Perbandingan t hitung dengan t tabel.

b. Koefisien Determinan (r²)

Koefisien determinan mengukur seberapa jauh kemampuan

model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Hasil uji

koefisien determinan (r²) menjelaskan seberapa besar kemampuan

model atau interaksi antara variabel independen (Disiplin Kerja)

dalam menjelaskan variabel dependen (Kinerja Pegawai).

c. Uji Regresi Parsial (T)

Uji Regresi Parsial bertujuan untuk menguji seberapa jauh

pengaruh satu variabel independen secara individual dalam

menerangkan variasi independen. Ada atau tidaknya pengaruh

signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen dapat

diketahui dengan membandingkan nilai signifikannya dengan derajat

kepercayaan.

Langkah-langkah menghitung uji T dalam analisis regresi linear

sederhana antara lain:

a. Membuat garis linear sederhana

Y’ = a + bX
101

b. Mencari koefisien korelasi (r)

c. Mencari koefisien determinasi (r2)

d. Uji T

Apabila t hitung lebih besar atau sama dengan t tabel berarti

terdapat pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat

secara individual, hal ini dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang

diajukan diterima. Sebaliknya apabila t hitung lebih kecil dari t tabel

berarti tidak ada pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel

terikat secara individual dan hipotesis ditolak.

I. Sistematika Penulisan
Penulis proposal skripsi terdiri dari tiga bab, dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bagian ini berisi uraian mengenai: 1) Latar Belakang

Penelitian, 2) Identifikasi masalah, 3) Perumusan Masalah,

4) Maksud dan Tujuan penelitian, 5) Kegunaan penelitian.


102

Bab II : Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran merupakan hasil

kajian yang berisikan bukti-bukti dari hasil-hasil penelitian

terdahulu atau orang lain, dan harus dipaparkan oleh penulis.

Bagian ini berisi uraian mengenai: 1) Landasan teori,

2) Kerangka Pemikiran, 3) Penelitian Terdahulu, 4) Hipotesis.

Bab III : Metodologi Penelitian

Dalam bab ini terdapat sub-sub bab yaitu 1) Lokasi dan Waktu

Penelitian, 2) Desain Penelitian, 3) Populasi dan Sampel,

4) Definisi Operasional, 5) Instrumen Penelitian, 6) Teknik

Pengumpulan Data, 7) Teknik Analisis Data, 8) Rencana

Pengujian Keabsahan Data, 9) Sistematika Penulisan,

10) Jadwal Penelitian.

Bab IV : Deskripsi Wilayah Penelitian

Dalam bab ini terdapat sub-sub bab yaitu 1) Gambaran Umum

Kantor Kelurahan Talang Betutu Kecamatan Sukarami Kota

Palembang, 2) Struktur Organisasi Perangkat Kelurahan

Talang Betutu Kecamatan Sukarami Kota Palembang,

3) Susunan Organisasi, Tugas Dan Fungsi.

Bab V : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dalam bab ini terdapat sub-sub bab yaitu 1) Hasil Penelitian,

2) Pembahasan.
103

Bab VI : Penutup

Dalam bab ini terdapat sub-sub bab yaitu 1) Kesimpulan,

2) Saran.

J. Jadwal Penelitian
Tabel 3.5
Jadwal Penelitian
No Kegiatan Oktober

1 Pengajuan Judul Skripsi 

2 Penyusunan Penelitian 

3 Bimbingan Penelitian 

4 Seminar Proposal 
DAFTAR PUSTAKA

Abut, Hilarius. 2007. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Diadit Media.

Achmad Tjahjono; Muh Fakhri Husein. (2009). Perpajakan. Yogyakarta: STIM


YPKN.

Agoes, A. 2010. Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Salemba Medika.

Agustino, Leo. 2008. Dasar – Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Barker,et al . 2002. Reserch Methods In Clinical Psychology. John Wiley &Sons


Ltd. England.

Burton, Richard dan Ilyas, Wirawan B., 2004, Hukum Pajak, Jakarta, Penerbit
Salemba Empat.

Connolly, Thomas and Begg, Carolyn. (2010). Database Systems A Practical


Approach to Design, Implementation, and Management Fifth Edition.
Boston: Pearson Education.

Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukshin, KejahatanKejahatan yang


Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Early Suandy. 2000. Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta.

Ghozali, Imam. 2009. “Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS “.


Semarang : UNDIP.

Ida Zuraida, 2013, Teknik Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah
Dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta.

Irawan Soejito, Teknik Membuat Peraturan Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1989.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 523/KMK.04/1998,


tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya NJOP.

Mansury, R. 2002. Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta:


YP 4.

Marcus, Taufan Sofyan. 2005. Pengaruh Penerapan Sistem Administrasi


Perpajakan Modern terhadap Kepatuhan Wajib Pajak pada Kantor
Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak Wajib Pajak Besar, Skripsi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara,
Jakarta.

104
105

Mardiasmo. (2012). Perpajakan. Yogyakarta: CV. Andi Offset.

Meliala, T.S. Fransisca, Widianti Oetomo. 2010. Perpajakan dan Akuntansi Pajak,
(edisi 7), Jakarta : Semesta Media.

Ni’matul Huda, Hukum TataNegara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,


2013.

Nukila Evanty dan Nurul Ghufron, 2014, Paham Peraturan Daerah Berspektif Hak
Asasi Manusia, Rajawali Press, Jakarta.

Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan Palembang.

Purwono, Herry. 2010. Dasar-Dasar Perpajakan & Akuntansi Pajak. Jakarta:


Erlangga.

S.R, Soemarso. 2007 , Perpajakan , Salemba Empat, Jakarta.

Siregar, Syofian. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT Fajar


Interpratama Mandiri.

Sudarmoko. (2010). Tetap Tersenyum Melawan Hipertensi. Yogyakarta: Atma


Madia Press.

Sugiyono (2015). Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung:


Alfabeta.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


PT Alfabet.

Sugiyono. 2012.Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta.

Sugiyono.(2009). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Supramono dan Damayanti, T. (2015). Perpajakan Indonesia Mekanisme &


Perhitungan. Yogyakarta: Andi.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1985 tentang pajak bumi dan
bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.
12 Tahun 1994 tentang pajak bumi dan bangunan.
106

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan


Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3984).

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. 2009. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba


Empat.

Waluyo, L.2010. Teknik dan Metode Dasar dalam Mikrobiologi.UMM Press.


107
108

DOKUMENTASI LOKASI PENELITIAN

Foto Bersama Kasi dan Staf Kantor Lurah Talang Betutu

Penyerahan Kuisioner Pertanyaan di Kantor Lurah Talang Betutu

Lokasi Kantor Lurah Talang Betutu

Anda mungkin juga menyukai