PERANGKAT
TRAINING OF TRAINER (ToT) PENCEGAHAN STUNTING MELALUI 1000 HPK DAN
PENGASUHAN ANAK USIA DINI PADA KELOMPOK BINA KELUARGA BALITA HOLISTIK
INTEGRATIF (BKB HI)
Tim Penyusun
Pengarah :
DR. Lalu Makripuddin, M.Si
Penanggung Jawab :
Dadi Ahmad Roswandi, M.Si
Editor :
Titi Yudaningsih, SE, MAB
Tim Teknis :
Mila Astari, S.Psi., M.M.
Yufi Winiastuti, SKM
Desnita Ekaratri, SS, MPH
Tri Aryadi, S.Psi.
Ratu Chaira Vielananda, S.Pd.
Sugeng
Diterbitkan oleh :
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPENDUDUKAN DAN KB
BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL
Jl. Permata No. 1 Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur 13650
PO. BOX : 296 JKT 13013
P
uji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan hidayahNya, sehingga perangkat pembelajaran
Training Of Trainer (TOT) Pelatihan Teknis Bina Keluarga
Balita Holistik Integratif (BKB HI) dan Pencegahan Stunting bagi
Fasilitator Tingkat Provinsi yang merupakan program prioritas
nasional di lingkungan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) dapat diselesaikan.
P
uji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkah dan karunia-Nya, penyusunan perangkat
pembelajaran Training Of Trainer (TOT) Pelatihan Teknis
Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB HI) dan Pencegahan
Stunting bagi Fasilitator Tingkat Provinsi dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat waktu.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh
pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan perangkat pembelajaran ini.
Semoga segala upaya kita untuk meningkatkan kualitas pelatihan dapat berkontribusi
dalam pembangunan keluarga Indonesia yang berkualitas. Semoga Tuhan Yang
Masa Esa memberikan berkah-NYA terhadap setiap kegiatan yang kita lakukan.
DAFTAR ISI
MODUL
PEMBENTUKAN KARAKTER
SEJAK DINI
Tim Penyusun
A. Latar Belakang
Dalam keseluruhan siklus hidup manusia, masa di bawah usia lima tahun (balita)
merupakan periode yang paling kritis dalam menentukan kualitas sumber daya
manusia, pada lima tahun pertama kehidupan manusia, proses tumbuh kembang
berjalan sangat cepat. Para ahli mengatakan bahwa masa balita disebut sebagai
masa emas (Golden Age Period). Pada masa tersebut, anak balita tidak dibina secara
baik dan optimal maka anak tersebut akan mengalami gangguan perkembangan
emosi, sosial, mental, intelektual, dan moral yang akan menentukan sikap serta
nilai pola perilaku seseorang di kemudian hari, oleh karena itu diperlukan Bina
Keluarga Balita (BKB) yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
perilaku orang tua (ayah dan ibu) serta anggota keluarga lainnya dalam mengasuh
dan membina tumbuh kembang anak balita sesuai dengan usia dan tahap
perkembangan yang harus dimiliki, baik dalam aspek fisik, kecerdasan, emosional,
maupun sosial agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal menjadi anak
yang sehat, cerdas, maju, mandiri dan berkualitas.
Bina Keluarga Balita sangat penting untuk diketahui oleh orangtua atau anggota
keluarga lainnya agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai pendidik pertama
dan utama bagi anak balitanya. Walaupun secara naluriah orangtua telah
mengetahui tugas-tugas dan peranannya sehari-hari dirumah dalam keluarganya,
namun kadang-kadang keluarga atau masyarakat masih mempunyai kebiasaan-
kebiasaan atau norma-norma tertentu yang menghambat hubungan timbal balik
antara orangtua dan anak sehingga menyebabkan potensi seorang anak tidak
berkembang seluruhnya terutama pada pembentukkan karakter anak sejak dini.
Orang tua balita (ayah dan ibu) dan anggota keluarga lainnya dari anak balita yang
bergabung di dalam kelompok BKB bersama-sama kader memerlukan pengetahuan
dan keterampilan yang praktis untuk memudahkan dalam pembentukan karakter
anak sejak dini untuk mempersiapkan generasi penerus yang akan datang.
B. Deskripsi Singkat
Modul Pembentukan Karakter Sejak Dini ini dimaksudkan untuk membekali para
peserta dalam membentuk karakter anak sejak dini. Modul ini membahas konsep
dasar tentang karakter, aspek-aspek perkembangan dalam pembentukkan karakter
anak sejak dini, serta cara membentuk karakter positif anak sejak dini.
Berdasarkan bekal pengetahuan dan keterampilan diharapkan orang tua dan
keluarga yang mempunyai balita mampu membentuk karakter anak sejak dini agar
anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara optimal menjadi manusia
Indonesia berkualitas.
C. Manfaat Modul
Modul ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
peserta TOT dalam Pengasuhan Anak Usia Dini Dalam Rangka Pencegahan Stunting
melalui Kelompok Bina Keluarga Balita tentang konsep dasar pembentukan karakter
sejak dini, aspek-aspek perkembangan dalam pembentukkan karakter anak sejak
dini, serta cara membentuk karakter positif anak sejak dini.
D. Tujuan Pembelajaran
1. Hasil Belajar
Setelah selesai pembelajaran peserta diharapkan mampu memahami
pembentukan karakter anak sejak dini.
F. Petunjuk Belajar
Agar lebih efektif dan efisien dalam mempelajari modul ini, hendaknya anda
memperhatikan petunjuk belajar berikut :
1. Bacalah dan pelajarilah setiap uraian kegiatan belajar dalam bahan ajar ini
secara runtut, cermat dan teliti
2. Catatlah atau tandailah hal-hal yang peserta didik anggap penting
3. Apabila ada yang kurang jelas, coba diskusikan dengan peserta didik lain atau
tanyakan kepada fasiliaor atau cari sumber lain yang sesuai
4. Setelah Anda memahami uraian materi dalam setiap kegiatan belajar,
jawablah soal latihan yang tersedia.
Secara kaidah Bahasa maka Kamus besar Bahasa Indonesia (1995) mengartikan
istilah “karakter” sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang mem-
bedakan seseorang dari yang lain: tabiat, watak. Dalam istilah Inggris, karakter ber-
padanan dengan “character” yang dalam Oxford Advace Learner’s Dictionary of
Current English (2000) dapat diartikan: (1) All the qualities and features that make
a person, groups of people, and places different from others (semua baik kualitas
maupun ciri-ciri yang membuat seseorang, kelompok orang atau tempat berbeda
dari yang lain); (2) the way the something is, or a particular quality or peature that
a thing, an event or a place has (cara yang khas atau kekhasan yang dimiliki oleh
sesuatu, peristiwa atau tempat); (3) strong personal qualities such as the ability to
deal with difficult or dangerous situations (kualitas pribadi yang tangguh misalnya
kemampuan dalam menghadapi situasi yang sulit atau berbahaya).
Menurut ahli psikologi Piaget (1969) suatu karakter berfokus pada sumber perilaku
seseorang, dia mengatakan bahwa esensi karakter/moralitas menghormati aturan
dan yang bekerja pada prinsip-prinsip diinternalisasi (otonomi) mewakili tingkat yang
lebih tinggi moralitas daripada kinerja yang didasarkan pada aturan-aturan yang di-
paksakan oleh orang lain (heteronomy). Lickona (1991) mencoba untuk menghubu-
ngkan komponen psikologis dan perilaku ketika ia berkata bahwa karakter yang
baik terdiri dari tahu yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik
kebiasaan pikiran , hati kebiasaan, dan kebiasaan bertindak.
Berdasarkan uraian di atas maka karakter adalah ciri, sifat pembawaan yang
berfokus pada sumber perilaku seseorang yang mengarah pada arah yang baik,
positif didasarkan pada keinginan dirinya (autonomi) dalam hati, kebiasaan untuk
mematuhi aturan-aturan kehidupan yang telah terinternalisasi sebagai ciri kualitas
pribadi dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupannya.
Pembentukan karakter sejak dini adalah upaya untuk meningkatkan kualitas peri-
laku, sikap, dan moral seseorang sejak usia dini (bahkan dalam kandungan) sehing-
ga dapat mencapai tujuan hidup yang bermakna (BKKBN, 2006). Dengan demikian,
pembentukkan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana
Lebih dari dua ribu tahun yang lalu Cicero, seorang filosof dan negarawan Yunani,
menyatakan bahwa kesejahteraan suatu bangsa ditentukan oleh karakter warga
negaranya. Toynbee, seorang sejarawan Inggris bahkan menegaskan bahwa sem-
bilan belas dari dua puluh satu peradaban besar di muka bumi ini hancur bukan
karena penaklukan dari luar melainkan karena pelapukan moral dari dalam (Raka,
2011). Sejarah juga mencatat, salah satu isi pidato pembelaan Bung Karno di depan
Hakim Kolonial pada tahun 1930 dengan tegas menyatakan bahwa, jika bangsa In-
donesia ingin mencapai kekuasaan politik, yakni ingin merdeka; jika bangsa ini ingin
menjadi tuan di dalam rumah sendiri, maka ia harus mendidik diri sendiri, menjalan-
kan perwalian atas diri sendiri, berusaha dengan kebiasaan dan tenaga sendiri.
Pernyataan Bung Karno di atas menunjukkan bahwa salah satu karakter war-
ga negara Indonesia yang harus di bangun adalah karakter kemandirian sebagai
sebuah bangsa yang dapat terwujud dengan berusaha dan pembiasaan. Aristo-
teles menjelaskan bahwa karakter sangat erat hubungannya dengan kebiasaan
(habits). Lickona (1992) memperjelas dengan mengatakan bahwa untuk mendap-
atkan kararakter yang baik (good character) maka setiap warga negara harus mel-
akukan kebiasaan pikiran, kebiasaan hati dan kebiasaan dalam tindakan (habits of
mind, habits of heart and habits of action). Dalam sejarah Islam, sekitar 1500 tahun
yang lalu Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam
mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik
(good character) dimana ajaran pertamanya adalah kejujuran serta bagaimana
dapat membangun karakter yang baik.
Karakter sejak dini dibentuk melalui kebiasaan atau perilaku yang terbiasa (hab-
its). Perilaku yang terbiasa berasal dari tindakan pertama (action) yang dikendalikan
oleh cara berpikir (mindset). Langkah awal membangun karakter harus di mulai sejak
dini dengan cara membangun cara berpikir (mind seat) terlebih dahulu, sehingga
bisa tercipta kebiasaan berpikir yang baik, kebiasaan merasakan hal yang baik, ke-
biasaan berperilaku baik dan harapannya akhir adalah terbentuknya karakter yang
baik (good character).
Ketika anak lahir telah dibekali oleh Tuhan dengan berbagai potensi genetis, teta-
pi lingkungan memberi peran sangat besar dalam pembentukan sikap kepribadian
dan pengembangan kemampuan anak. Selain itu jaringan otak manusia yang pal-
ing menentukan terjadi ketika anak masih berusia dini, dan usia 4 tahun pertama
merupakan usia yang paling rawan. Sebab itu, perlu diperhatikan seberapa jauh
anak merasa diperhatikan, diberi kebebasan atau kesempatan untuk mengekspresi-
kan ide-idenya, dihargai hasil karya atau prestasinya, didengar isi hatinya, tidak ada
paksaan atau tekanan, ancaman terhadap dirinya dan mendapatkan kasih sayang
penuh. Semangat belajar anak yang luar biasa perlu diimbangi dengan kesunggu-
han orang tua dalam menciptakan lingkungan yang responsif terhadap kebutuhan
anak-anak tersebut.
Jika anak diberi kebebasan untuk berbuat, maka akan membuat anak benar-be-
nar mandiri dan mampu mengendalikan dirinya sendiri. Namun sebaliknya jika anak
tidak diberikan kebebasan berbuat akan menjadikan dirinya tidak mandiri dan
menggantungkan dirinya kepada orang lain. Anak yang memiliki ketergantungan
pada orang lain karena orang tuanya terlalu protektif sehingga dalam benak anak
akan muncul rasa takut salah. Anak-anak yang tumbuh dalam tekanan-tekanan,
misalnya rasa takut, khawatir, tertekan, dan sebagainya ketika remajanya akan
merasakan suatu dorongan-dorongan agresif atau nakal yang menimbulkan efek
negatif. Mungkin anak itu kreatif tetapi kreatifitasnya menuju ke arah yang negatif
bahkan bisa ke arah anarkis. Tetapi jika anak-anak diperhatikan (care) bahkan sejak
masa bayi hingga muncul rasa semangat, maka petumbuhannya akan sangat tera-
tur sekali sehingga dia berpikir logis, lebih memperhatikan (care) kepada orang lain.
Nilai-nilai budaya diatas dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap sua-
tu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat. Posisi budaya yang
demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi
sumber nilai dalam pembentukan karakter sejak dini. Keempat, nilai-nilai yang ber-
sumber dari tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional memuat berb-
agai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu,
tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pem-
bentukan karakter sejak dini.
E. Rangkuman
Karakter sejak dini dibentuk melalui kebiasaan atau perilaku yang terbiasa (hab-
its). Perilaku yang terbiasa berasal dari tindakan pertama (action) yang dikendalikan
oleh cara berpikir (mindset). Langkah awal membangun karakter harus di mulai se-
jak dini dengan cara membangun cara berpikir (mindset) terlebih dahulu, sehingga
bisa tercipta kebiasaan berpikir yang baik, kebiasaan merasakan hal yang baik, ke-
biasaan berperilaku baik dan harapannya akhir adalah terbentuknya karakter yang
baik (good character).
Jika anak diberi kebebasan untuk berbuat, maka akan membuat anak benar-be-
nar mandiri dan mampu mengendalikan dirinya sendiri. Namun sebaliknya jika anak
tidak diberikan kebebasan berbuat akan menjadikan dirinya tidak mandiri dan
menggantungkan dirinya kepada orang lain. Anak yang memiliki ketergantungan
pada orang lain karena orang tuanya terlalu protektif sehingga dalam benak anak
akan muncul rasa takut salah.
F. Latihan
Kerjakan soal latihan di bawah ini dengan benar!
1. Jelaskan pengertian pembentukan karakter sejak dini!
2. Jelaskan sejarah pembentukan karakter sejak dini?
Q
3. Mengapa pembentukan karakter perlu dilakukan sejak dini?
Pengembangan karakter anak sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sal-
ing mempengaruhi. Banyak yang meyakini bahwa satu pertiga perubahan kepriba-
dian/karakter dipengaruhi oleh faktor genetik dan dua pertiga yang lain dipengaru-
hi oleh faktor lingkungan. Dengan demikian, faktor genetik bukanlah sebuah faktor
yang menghalangi pengaruh pendidikan dan pengembangan karakter. Jadi, se-
lain faktor genetik sebagai faktor yang berpengaruh juga terdapat beberapa faktor
lain, seperti pendidikan, kondisi keluarga, masyarakat, ekonomi, budaya, makanan,
udara, iklim, dan sebagainya. Berdasarkan pemikiran tersebut maka dapat dibahas
tentang beberapa faktor dalam pengembangan karakter anak sejak dini sebagai
berikut:
Menurut Campbell dan Bond (1982) terdapat delapan faktor yang berpengaruh
dalam pengembangan karakter antara lain sebagai berikut:
1. Keturunan (Heredity)
Faktor keturunan menjadi faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi
perkembangan karakter seorang anak. Hal ini dinyatakan oleh pakar pendidikan
Indonesia Ki Hajar Dewantara, bahwa terdapat hal yang menetap dan tidak bisa
diubah oleh pendidikan, yaitu pembawaan atau yang dikenal dengan istilah kod-
rat diri (Solehudiin, 1997) sehingga seorang guru tidak mampu mengubah suatu
karakter anak yang merupakan bawaan sejak lahir.
3. Model / teladan dari orang dewasa atau orang yang dianggap penting
Orang dewasa menjadi karakter yang sangat diidolakan oleh anak sehingga di
sinilah pentingnya teladan yang baik dari orang dewasa yang ada di sekitar ling-
kungan anak. Orang dewasa seperti nenek-kakek, ayah-ibu, paman-bibi, serta
guru dapat menajdi model atau teladan yang baik bagi anak.
Karakter seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendir-
inya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti yang dipaparkan sebelumnya, tetapi jika dikelompokkan menjadi dua ba-
gian, yaitu faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut dapat dijelaskan di
bawah ini:
1. Faktor Internal
Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh internal yang ber-
kaitan dengan faktor bawaan (nature) dan faktor yang ada di dalam diri sese-
orang. Berdasarkan para ahli psikologi perkembangan, setiap manusia memiliki
potensi bawaan yang akan terwujud setelah dilahirkan, termasuk potensi yang
terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Manusia pada dasarnya memili-
ki potensi kebajikan, namun potensi tersebut hanya dapat muncul apabila diikuti
pendidikan dan sosialisasi setelah manusia sejak dini dimulai pada saat kelahiran,
di keluarga, di sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas dan sangat penting
dalam pembentukkan karakter seorang anak.
2. Faktor Eksternal
Perkembangan karakter anak dipengaruhi oleh faktor luar diri dalam hal ini dipen-
garuhi oleh faktor luar diri dalam hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan (nur-
ture). Menurut Lichona (Megawangi, 2003) pendidikan karakter perlu dilakukan
sejak dini. Erikson (Hurlock, 1999) menggambarkan anak adalah awal manusia
menjadi manusia, yaitu masa dimana kebajikan berkembang secara perlahan
tapi pasti.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental
seseorang yang pembentukkannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah-nature)
dan lingkungan (sosialisasi atau pendidikan-nurture). Potensi karakter yang baik di-
miliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus menerus dibina
melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.
1. Lingkungan Keluarga
Berdasarkan sebuah hadits, keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama,
keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan
menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian menga-
malkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga
di mana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi; saling asah dan
asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak
ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak
konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan
dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan peng-
etahuan setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan pendidikan seumur
hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi (Azra, 2010)
Segala perilaku orang tua dan pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga ber-
pengaruh dalam pembentukan kepribadian atau karakter anak. Perilaku ini men-
yangkut bagaimana kasih sayang, sentuhan, kelekatan emosi (emotional bonding)
orang tua terutama ibu, serta penanaman nilai-nilai. Kedua orang tua harus terlibat,
karena keterlibatan ayah dalam pengasuhan di masa kecil sampai usia remaja juga
menentukan pembentukan karakter anak.
Keluarga yang harmonis di mana ayah dan ibu saling berinteraksi dengan kasih
sayang dan selalu ada kebersamaan keluarga, akan memberikan suatu lingkungan
yang kondusif bagi pembentukan karakter anak. Keberhasilan orang tua membimb-
ing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan
kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Megawangi,
2004).
Peran ibu dalam mendidik anak-anaknya memang harus dilakukan sejak mere-
ka dilahirkan, bahkan sejak mereka masih di dalam kandungan. Ada sebuah ung-
kapan yang menyatakan bahwa wanita adalah tiang negara. Teori sosiologi juga
menegaskan bahwa keluarga adalah fondasi masyarakat. Artinya peran ibu dalam
keluarga sangat penting sekali dalam proses pembentukan kepribadian seorang
anak. Megawangi (2004) menyebutkan beberapa kebutuhan fundamental yang
harus dipenuhi seorang anak agar dapat berkepribadian baik, dan ini semua sangat
tergantung pada peran perempuan sebagai ibu.
Pertama, kebutuhan akan kelekatan psikologis (maternal bonding). Salah satu ke-
butuhan terpenting anak yang harus dipenuhi sejak lahir adalah kelekatan psikologis
yang erat dengan ibunya. Kelekatan psikologis ini penting agar anak dapat mem-
bentuk kepercayaan kepada orang lain (trust), merasa diri diperhatikan, dan me-
numbuhkan rasa aman. Hubungan yang erat dengan ibunya dalam tahun-tahun
pertama kehidupan akan menanamkan kapasitas besar untuk dapat mengadakan
hubungan yang baik dengan orang lain kelak ketika dewasa. Seorang ibu yang
dapat menciptakan ikatan emosional yang erat, dapat membentuk kepribadian
anak menjadi baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang baik hubungan
dengan ibunya ketika bayi, akan dekat pula dengan ayah dan anggota keluarga
lainnya, dan selanjutnya anak akan berperilaku positif dan tidak agresif.
Kedua, kebutuhan rasa aman. Anak memerlukan lingkungan yang stabil dan
aman. Lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan em-
osi bayi. Begitu pula pengasuh yang berganti-ganti akan berpengaruh negatif pula.
Lingkungan yang tidak menyenangkan (penuh dengan stres) akan mempengaru-
hi kepribadian anak. Hubungan yang tidak baik antara pengasuh dan anak akan
meningkatkan kebutuhan protein anak, dan cenderung menurunkan nafsu makan
anak, sehingga asupan makanan menjadi lebih sedikit. Padahal anak memerlukan
makan yang lebih banyak ketika sedang stres. Sebaliknya lingkungan pengasuhan
yang menyenangkan akan meningkatkan aktifitas sistem organ-organ yang sedang
berkembang, dan selanjutnya daya serap gizi akan lebih baik, sehingga proses tum-
buh kembang bisa mejadi optimal.
Ketiga, kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental. Hal ini memerlukan perhatian
yang besar dari orang tuanya dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya.
Pakar pendidikan anak mengatakan bahwa seorang ibu yang sangat perhatian
Kebutuhan dasar anak seperti yang diungkapkan di atas hanya dapat dipenuhi
oleh keluarga yang mempunyai nilai-nilai keluarga sakinah. Anak-anak yang bera-
da dalam keluarga seperti ini mendapatkan perlindungan, kasih sayang, pendidi-
kan moral dan disiplin yang baik dari orang tuanya. Hal ini menuntut peran dan
komitmen besar dari orang tuanya, terutama ibunya.
hatinya, “Mama ingin kamu tidak berteriak begitu, karena mama merasa tidak di-
hormati oleh kamu.”
Keempat, mengajarkan dengan contoh. Cara yang cukup efektif untuk men-
gajarkan anak adalah dengan memberikan contoh konkrit mengenai perilaku
bagaimana seharusnya, walaupun tidak dikatakan secara langsung. Misalnya den-
gan mengajak anak untuk menanam pohon di lingkungan sekitar rumahnya, atau
membantu orang-orang yang perlu bantuan. Bisa juga anak-anak dibacakan bu-
ku-buku yang mengandung pesan-pesan moral, karena tokoh dalam cerita dapat
menjadi contoh yang baik.
Kesembilan, cintai anak. Dasar dari pembentukan moral adalah cinta. Cinta
orang tua akan memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan karak-
ter, yaitu melalui lima cara. Pertama, anak yang mendapatkan cinta dan perhatian
hangat dari orang tuanya akan merasa bahwa dirinya berharga, yang selanjutnya
akan membuatnya percaya diri. Anak yang percaya diri akan mudah berteman
dan tidak mudah terpengaruh kepada hal-hal yang negatif. Kedua, orang tua yang
hangat dan penuh perhatian akan menjadi model bagi anak bagaimana seharusn-
ya memperlakukan orang lain. Seorang ayah yang mau mendengarkan keluh kesah
anaknya, dan memberikan dorongan dengan kasih sayang, akan membuat anakn-
ya meniru bagaimana seharusnya memberikan perhatian dan berempati terhadap
kesulitan orang. Ketiga, anak yang mempunyai hubungan emosional yang erat den-
gan orang tuanya akan berusaha berperilaku sesuai dengan harapan orang tuanya
menurut standar etika yang berlaku. Keempat, orang tua yang hangat dan penuh
perhatian akan memacu perkembangan moral anak kepada tahapan yang lebih
tinggi. Orang tua yang hangat dan penuh perhatian cenderung mempunyai anak
yang memperhatikan kebutuhan orang lain dibandingkan orang tua yang tidak
hangat yang anaknya cenderung berperilaku egois. Kelima, orang tua yang mem-
berikan cinta dan perhatian kepada anaknya akan membuat komunikasi antara
orang tua dan anak menjadi lancar dan terbuka. Apabila komunikasi baik, orang
tua dapat dengan mudah berbicara tentang moral dengan anaknya, dan mem-
berikan perspektif bagaimana seharusnya.
2. Lingkungan Sekolah
Sekolah sering disebut sebagai “a mini society”. Sebagai suatu masyarakat kecil,
sekolah merupakan cermin dari masyarakat di mana sekolah itu berada. Apa yang
terdapat dan terjadi di masyarakat, pada dasarnya terwujud juga dalam sekolah. Di
sekolah terdapat aturan-aturan yang mengikat para anggotanya, baik siswa mau-
pun guru. Ada norma-norma dalam pergaulan yang harus dipatuhi, terdapat in-
teraksi antara sesamanya baik secara individual maupun kelompok, terdapat konf-
lik-konflik interes baik nampak maupun tersembunyi.
Dalam proses “transfer of culture”, termasuk di dalamnya proses pembentukan
karakter, sikap, rasa dan juga intelektualitas, aspek sekolah sebagai “a mini society”
sangat penting artinya. Para ahli pendidikan mengatakan, sekolah merupakan ke-
hidupan riil anak didik itu sendiri, bukan hanya tempat mempersiapkan anak didik.
Pernyataan ini menekankan hendaknya sekolah diselenggarakan sedemikian rupa
sehingga betul-betul merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri. Implikasinya
anak didik merupakan subjek dari proses pendidikan.
Kehidupan sosial anak didik dalam masyarakat kecil tersebut merupakan dasar
dan sumber dari transformasi kehidupan. Peran paling penting dalam proses pen-
didikan bukanlah terletak pada aktifitas dan interaksi sosial anak didik itu sendiri. Per-
an guru menurut falsafah ini lebih banyak bersifat tut wuri handayani; memberikan
dorongan dan motivasi agar para anak didik mampu memperluas cara pandang,
untuk mengembangkan berbagai altematif dan pengambilan keputusan dalam ak-
tifitas kehidupan serta memperkuat kemauan untuk mendalami dan mengembang-
kan apa yang dipelajari dalam proses kehidupan itu. Guru melakukan usaha-usaha
dengan berbagai cara atau metoda, berbagai alat bantu, agar anak didik akan
membenarkan dan menerima nilai-nilai kebajikan, anak didik sendirilah yang mene-
mukan dan mengadopsi nilai-nilai yang ditargetkan oleh sekolah.
Ketiga, memberi dorongan pada anak untuk berkreasi. Anak memiliki potensi dan
harus diberi kesempatan untuk mencoba sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
Keempat, menghargai nilai. Anak perlu diberi pujian bila melakukan perilaku yang
bernilai, dan lakukan teguran secara pribadi dengan berbasis nilai. Kelima, melatih
anak ketrampilan sosial. Anak perlu dilatih untuk berperilaku sopan pada orang lain,
mengelola konflik, serta mengembangkan relasi pribadi yang positif.
Ekosistem merupakan lingkungan di mana anak tidak turut serta aktif, namun
lingkungan ini mempengaruhi kehidupan anak (misalnya keputusan pemerintah).
Makrosistem, lingkungan yang lebih luas dan sudah meliputi kultur, nilai, dan adat
istiadat di mana anak tinggal. Kronosistem merupakan lingkungan yang melibatkan
kondisi sosiohistoris dari perkembangan seseorang. Misalnya, anak sekarang tumbuh
dalam kronosistem yang kurang mendapat perhatian, tumbuh dalam pengaruh el-
ektronik yang massif, dan berbagai pengalaman historis (bencana, perceraian, dan
sebagainya).
Tayangan televisi merupakan salah satu perwujudan kronosistem yang perlu di-
waspadai dalam pembentukan karakter anak sejak dini. Ikatan Dokter Indonesia
pernah mengungkapkan fakta bahwa anak merupakan kelompok pemirsa yang
paling rawan terhadap dampak negatif tayangan televisi. Data tahun 2002 menge-
nai jumlah jam menonton televisi pada anak di Indonesia adalah sekitar 30-35 jam/
minggu atau 1560-1820 jam/ tahun . Angka ini jauh lebih besar dibanding jam bela-
jar di sekolah dasar. Tidak semua acara televisi aman untuk anak.
Anak-anak lebih bersifat pasif dalam berinteraksi dengan televisi, bahkan seringkali
mereka terhanyut dalam dramatisasi terhadap tayangan yang ada di dalamnya. Di
satu sisi televisi menjadi media informasi, namun di sisi lain televisi dapat menularkan
efek yang buruk bagi sikap, pola pikir, perilaku anak. Sebut saja misalnya, tayangan
pornografi dan kekerasan. Anak-anak yang masih rentan daya kritisnya, akan mu-
dah sekali terpengaruh dengan isi dan materi tayangan televisi yang ditontonnya,
dan pengaruhnya bisa terbawa sampai mereka dewasa.
Televisi telah menjadi media yang keberadaannya sangat ditentukan oleh kendali
pemakainya. Kebiasaan menonton televisi dapat membuat anak menjadi pemalu,
karena terisolasi dari pergaulannya dengan teman-teman sebaya lainnya. Hal itu
yang dapat mempengaruhi psikologis anak. Selain itu, pola menonton televisi yang
tidak terkontrol akan menimbulkan dampak psikologis bagi anak-anak. Usia anak
adalah usia di mana anak sedang mengembangkan segala kemampuannya sep-
erti kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain dan kemampuan
mengemukakan pendapat. Dampak lainnya, perilaku-perilaku yang dilihat di tele-
visi akan menjadi satu memori dalam diri anak dan akibatnya anak menjadi meniru
yang bisa berkembang menjadi karakter pribadinya di kemudian hari.
D. Rangkuman
Ada tiga lingkungan yang sangat mempengaruhi kualitas mental dan spiritual
anak, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial budaya
yang berhubungan dengan nilai-nilai serta norma-norma yang berlaku di masyar-
akat, termasuk di dalamnya pengaruh televisi, buku dan media massa. Ketiga ling-
kungan tersebut saling menopang dalam mempengaruhi perkembangan dan pem-
bentukan karakter.
Orang tua perlu menjadi teladan yang penuh kasih sayang dalam lingkungan
keluarga. Dalam lingkungan sekolah orang tua perlu menjalin hubungan partisipa-
tif dengan guru dalam pembentukan karakter anak. Sementara dalam lingkungan
sosial budaya, utamanya dalam mengahadapi tayangan televisi orang tua perlu
menjadi pendamping yang mengajarkan anak untuk menjadi pemirsa kritis.
Segala perilaku orang tua dan pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga ber-
pengaruh dalam pembentukan kepribadian atau karakter anak. Perilaku ini men-
yangkut bagaimana kasih sayang, sentuhan, kelekatan emosi (emotional bonding)
orang tua terutama ibu, serta penanaman nilai-nilai. Kedua orang tua harus terlibat,
karena keterlibatan ayah dalam pengasuhan di masa kecil sampai usia remaja juga
Q
menentukan pembentukan karakter anak.
E. Latihan
BAB IV
SASARAN PENGEMBANGAN
KARAKTER ANAK SEJAK DINI
Indikator Hasil Belajar:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan
dapat menjelaskan sasaran pengembangan karakter anak sejak dini.
A. Karakter Utama
Berikut ini adalah beberapa nilai-nilai yang dikategorikan sebagai karakter utama
atau High Character yang dapat dicapai individu dalam upaya membangun
karakter diri (Kenneth, 2005) terdiri dari:
1. Kebijaksanaan, seorang anak mampu mencari dan menemukan ada nilai yang
lebih besar dari kecerdasan intelektual atau pengetahuan
2. Fidelity, karakter utama seseorang adalah seseorang akan berbuat sesuai dengan
keadaan dirinya apa adanya
3. Integritas, seseorang akan berbuat seperti yang ia katakan
4. Compassion, karakter utama seseorang adalah cara memperlakukan orang
lain dengan penuh kebajikan, kebijaksanaan, apa adanya serta integritas
sebagaimana ia juga ingin diperlakukan demikian oleh orang lain
5. Kejujuran, karakter utama seseorang adalah mereka akan mengatakan yang
sebenarnya dengan santun
6. Keadilan, karakter utama anak adalah berpegang utama pada kebenaran dan
memperbaiki kesalahan
7. Akuntabilitas, karakter untuk selalu mempertanggung jawabkan semua tugas
yang telah dilakukan
8. Respect, anak akan memperlakukan orang lain seperti layaknya harapan dia
diperlakukan oleh orang lain.
9. Terpercaya dan amanah, karakter utama seorang individu adalah tidak pernah
mengingkari janji
10. Excellence, karakter utama seseorang adalah melakukan yang terbaik setiap
hari di setiap kesempatan “do the best”
11. Semangat Kepemimpinan yang melayani orang lain, karakter utama seseorang
adalah mereka mengabdikan dirinya untuk orang yang berada di bawah
kepemimpinannya
12. Persatuan, membangun hubungan yang saling memiliki, menghargai, dan saling
membantu untuk mencapai tujuan bersama
13. Pemaaf, karena seseorang jauh dari sempurna maka karakter tertinggi seseorang
adalah rendah hati dan menerima kesalahan orang lain
14. Kemerdekaan, karakter utama seseorang adalah melayani hak-hak umum dan
menunaikan kewajiban mereka dengan bertanggung jawab
15. Pembelajar, karakter utama seseorang adalah belajar sepanjang hayat dan
senantiasa mencari hikmah dalam hidupnya
16. Mencari penasihat, karakter utama seseorang adalah mencari penasihat ketika
menghadapi konflik atau isu-isu yang membingungkan
3. Amanah
Perilaku amanah adalah perilaku seseorang yang dapat dipercaya dan
diandalkan. Hal ini dapat dilatihkan sejak kecil dengan memberikan tugas
sederhana yang harus ia jaga atau selesaikan dengan baik. Sebagai contoh, Setiap
hari anak diberi tugas menyiram bunga setiap hari, ketika ia tidak melakukannya
sehingga bunganya akan mati, anak akan paham akibat dari perbuatannya,
serta pentingnya bertanggung jawab serta bersikap amanah.
C. Rangkuman
Secara umum tujuan dan sasaran dalam pengembangan karakter anak sejak
dini memiliki arah yang dapat mengantarkan anak agar berkembang karakternya
secara optimal, maka diharapkan setiap pendidik dan orangtua sebaiknya mampu
membatasi diri tentang hal-hal yang dianggap paling tepat untuk dikembangkan
pada anak. Pembatasan ini penting dikuasai agar anak di dalam menyerap
pengalaman dan perilaku baru tidak merasa berat dengan adanya pertimbangan
dari beberapa hal sebelum menanamkan nilai-nilai karakter pada anak. Adapun
nilai-nilai karakter memiliki bobot dan fokus nilai karakter yang dianggap paling tepat
dan paling dibutuhkan oleh anak.
Berikut ini adalah beberapa nilai-nilai yang dikategorikan sebagai karakter utama
atau High Character yang dapat dicapai individu dalam upaya membangun
karakter diri (Kenneth, 2005) terdiri dari: 1) Kebijaksanaan, 2) Fidelity, 3) Integritas, 4)
Compassion, 5) Kejujuran, 6) Keadilan, 7) Akuntabilitas, 8) Respect, 9) Terpercaya dan
amanah, 10) Excellence, 11) Semangat Kepemimpinan, 12) Persatuan, 13) Pemaaf,
14) Kemerdekaan, 15) Pembelajar, 16) Mencari penasihat.
sebagai “9 Pilar Karakter”, (Megawangi, 2004) yakni sebagai berikut: 1) Cinta Tuhan
dan kebenaran, 2) Bertanggung jawab, disiplin, dan mandiri, 3) Amanah, 4) Bersikap
hormat dan santun, 5) Memiliki rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu bekerja
sama, 6) Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, 7) Memiliki rasa keadilan dan
sikap kepemimpinan, 8) Baik dan rendah hati, 9) Memiliki toleransi dan cinta damai.
Q
D. Latihan
A. Relaksasi
Relaksasi pada anak usia dini, dapat dilakukan antara lain, pada waktu menga-
jarkan anak tentang keimanan khususnya dalam hal mempercayai adanya Tuhan
Yang Maha Kuasa melalui kegiatan berdoa. Pada waktu mereka akan berdoa atau
menyampaikan keinginan/ harapannya kepada Tuhan, ingatkan bahwa agar apa
yang mereka minta dapat dikabulkan maka bacaan/doa harus dipahami dan di-
panjatkan dengan hati dan pikiran yang hanya tertuju kepada sang Maha Pencip-
ta.
Jika bacaan/ doa yang digunakan bukan dalam bahasa Indonesia, katakan
bahwa sambil dia mengucapkan doa hendaknya di dalam hati memahami makna
doa tersebut. Dengan berlatih demikian, secara perlahan-lahan anak diajarkan un-
tuk selalu mengenal dan mendengar hati nuraninya yang apabila dilakukan sejak
dini secara terus menerus akan dapat menstabilkan kecerdasan emosi dan spiritual.
Pepatah mengatakan “pengalaman adalah guru yang paling baik”, namun pen-
galaman buruk/ menyeramkan atau yang menyedihkan/ mengharukan dapat mer-
upakan trauma pada seseorang, khususnya anak-anak. Jika seseorang mendapat-
kan pengalaman traumatis diperlukan waktu yang lama untuk memulihkan kondisi
kejiwaannya. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika seorang anak mengala-
mi pengalaman traumatis yang berkepanjangan serta dalam waktu yang lama. Dia
akan mengalami guncangan jiwa yang hebat yang tentunya akan mempengaruhi
pandangan dan nilai-nilai yang dianutnya termasuk pola pikirnya dan bahkan dap-
at mempengaruhi karakternya.
Upaya membangun kecerdasan sosial ini dapat dilakukan sejak anak berusia bal-
ita, bahkan sejak bayi, dengan memberikan kesempatan dan membiasakan anak
untuk sering bertemu dengan orang lain di luar lingkungan keluarga. Biarkan mereka
berkenalan, berteman, dan bergaul dengan siapapun, namun tetap dalam bimbin-
gan serta pengawasan orang tua. Kegiatan bermain merupakan sesuatu yang san-
gat disenangi oleh anak-anak dan dapat dimanfaatkan sebagai arena untuk bela-
jar berinteraksi. Anak perlu dibiasakan untuk mengikuti permainan dalam kelompok.
Dengan melatih anak bermain dalam kelompok, maka akan memberi dan mening-
katkan kemampuan berpikir, bersosialisasi, dan bersinergi. Selain itu, untuk mengem-
bangkan kecerdasan sosial ini dapat pula diberikan latihan-latihan dengan cara
mengajak anak beribadah bersama. Melatih anak ibadah hendaknya dalam sua-
sana yang rileks. Mulailah dengan mengajaknya beribadah di rumah, kemudian di
tempat peribadatan di luar rumah dengan jumlah jamaah yang lebih besar.
F. Rangkuman
G. Latihan
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa anak di bawah lima tahun merupakan masa emas (golden age period).
Pada masa tersebut perkembangan fisik, mental, dan sosial anak harus diupayakan
sungguh-sungguh, sebab akan menentukan karakter anak di kemudian hari. Upaya
pembinaan tumbuh kembang anak merupakan proses yang harus dimulai sejak
dini, bahkan sejak anak dalam kandungan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, AG., 2002. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual.
Jakarta: Arga Wijaya Persada
BKKBN, 2006. Membentuk Karakter Anak Melalui Kelompok Bina Keluarga Balita.
Jakarta: PULAP BKKBN
Fidelis, EW., 2010. Membangun Budaya Berbasis Nilai; Panduan Pelatihan bagi Trainer.
Jakarta: Grasindo
Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,
Jakarta: Grasindo
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter; Solusi yang Tepat untuk Membangun
Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation
Nugraha, Ali. Dkk. 2019. Buku Materi Pokok PAUD: Metode Pengembangan Sosial
Emosional. Jakarta: Universitas Terbuka
Raka, Gede. dkk. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah; Dari Gagasan ke Tindakan.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Santrok, John W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5
Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Tahun 2020