Makalah - Kelompok 9
Makalah - Kelompok 9
DISUSUN OLEH :
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “INTEGRITAS DAN ASPEK ETIKA
IPTEKS” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata
kuliah Wawasan Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (WIPTEKS) .Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang integritas dan aspek etika ipteks bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Djumran Yusuf, M.Si. selaku dosen
Wawasan Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (WIPTEKS) yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
Daftar Isi
A. Simpulan ………………………………...………….…………11
B. Saran……………………………………………………..…….11
Latar Belakang
Sebelum masuk ke materi kita harus paham apa itu”integritas” Integritas dapat dipahami dari
makna huruf menjadi kata bermakna yaitu (I)krar, (N)iat, (T)abiat, (E)mosional, (G)una,
(R)asional, (I)hsan, (T)awakkal, (A)manah, (S)abar. Jadi bila kata tersebut disusun kedalam
suatu untaian kalimat yang bermakna, maka pemahaman INTEGRITAS adalah manusia secara
sadar membuat (I)krar dengan membangun (N)iat sebagai keinginannya secara ihklas untuk
meningkatkan kedewasaan (E)mosional agar memberi (G)una kedalam pikiran (R)asional
dengan berbuat (I)hsan bakal memproleh kebaikan duniawi yang berlandaskan dengan
(T)aqwa, (A)manah dan (S)abar. untuk bersikap dan berperilaku.Jadi jika ingin jadi seorang
pemimpin kita harus punya integritas karena dengan Kepemimpinan yang dibangun atas
kekuatan berpikir dengan kebiasaan yang produktif yang dilandasai oleh kekuatan moral berarti
ia memiliki “Integritas” untuk bersikap dan berperilaku sehingga ia mampu memberikan
keteladanan untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan perubahan yang terkait dengan
proses berpikir. Oleh karena itu seseorang yang memiliki kepemimpinan yang mampu
menerapkan arti dan makna integritas berarti ia meyakini benar bahwa jika hanya orang yang
kuat yang dapat bertahan dan keinginan menghambat kemajuan orang, menjadi kaum penjilat,
bermuka dua , tidak akan menjadi orang yang mampu mengikuti perubahan ?
Jadi kepmimpinan yang memiliki “intergritas”, maka ia menyadari benar bahwa rimba hukum
memang tidak pernah jelas, itu tidak berarti ia akan mempergunakan dengan dalih kekuasaan
untuk ikut bermain dalam arena tersebut, karena ia akan menolak untuk ikut serta dalam
persaingan yang tidak sehat, walaupun hal itu merupakan tugas yang akan dilaksanakannya.
Oleh karena ia dalam bersikap dan berperilaku tidak akan melepaskan diri dari membuat suatu
keputusan yang adil dan objektif. Jadi dengan intergritas itu berarti ia memiliki manajemen
intuitif untuk mengintergrasikan otak kanan dan kiri dengan hati sebagai keterampilan
manajemen abad baru.
BAB II
PERMASALAHAN
A. Rumusan Masalah
B. Tujuan Penulisan
Dimana Insan, Ikhsan, dan Iman dalam frase model segitiga pada gambar
diperlihatkan adanya tiga subtansi lain yang menopang masing-masing dimensi tersebut.
Subtansi intelektualitas, sensibilitas, dan moralitas yang menopang dimensi Iman dapat
diturunkan dari masing-masing sudutnya.Menuju kanan bawah, Intelektualitas kea rah
sains, sensibilitas kearah seni, moralitas kearah teknologi dan menuju kiri bawah, yaitu
intelektualitas kearah filsafat, sensibilitas kearah estetika, moralitas kearah etika.Secara
mendatar sudut filsafat berkaitan langsung dengan sains, estetika berkaitan langsung
dengan seni, dan etika berkaitan langsung dengan teknologi. Dari hasil pengembangan ini
diperoleh bahwa subtansi ipteks pada dimensi Insan ditopang oleh dimensi Ihsan dengan
tiga subtansi yaitu : filsafat, Etika, dan estetika. Dimensi Iman juga dengan tiga subtansi
yaitu : intelektual, Moralitas dan Sensibilitas.
Kualitas seni maupun ilmu akan dapat memiliki kemajuan yang baik dengan bantuan
teknologi.Terdapat begitu luas wilayah lahir (realita)berupa gejala alam yang tidak berimpit
dengan wilayah batin atau bahkan mungkin terdapat wilayah batin yang tidak memeiliki
realita.Perluasan keberimpitan wilayah realita dan pemikiran dapat diperluas atau
diperbesar dengan bantuan teknologi walaupun begitu tidak berarti teknologi berada pada
garis tengah yang memisahkan antara ilmu dan seni namun terdapat pula perhubungan
antara teknologi dengan seni.oleh karena itu ketiganya membentuk suatu segitiga
ilmu,teknologi dan seni yang selanjutnya menjadi dasar terbangunya sistim “dunia segitiga.
Jika kita mencermati gambar tersebut,maka kata ihsan secara harfiah berkaiatan
dengan keihlasan berbuata atau berkarya oleh karena kita sebagai manusia merasa
didalam pengawasan yang maha kuasa pencipta alam semesta ini.Jadi ini adalah
kesadaran batin yang terekspresi dengan tersendirinya oleh karena kita sebagai insan
sadar dan faham makna keberadaan diri kiata sendiri yang diamanahkan mengelola dan
memelihara alam semesta ini.pengalaman ini dapat diwujudkan dengan selalu belajar baik
formal ataupun non formal atau melalui jalur filsafat,etika maupun estetika.Adapun kata “
iman”ini adalah konsepsi jiwa yang abstrak dan terpatri secara mendalam pada diri
manusia namun dapat terpancar tak terhingga dan tanpa batas kekuatan keberadaanya
yang bahkan dapat melalui batas-batas yang konkrit sekalipun manusia yang memiliki nilai
iman maka intelektualitas, sensibilitas, dan moralitasnya akan bersinergi satu sama lain
bagai sutau bangunan yang tidak sempurna jika salah satu diantara ketiganya tidak ada.
Karya-karya seni baik yang bersifat kebendaan maupun kecerdasan selain ditunjang
oleh beragam gagasan keindahan dari seniman itu sendiri ,juga akan Nampak didalm bukti-
bukti kemajuan dalm bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang menunjukan
kesaatupaduan IPTEKS sebagai hasil olah pikir,olah fisik dan olah jiwa manusia.Beberapa
hasil karya IPTEKS ysng mendukung dan berkaitan pengertian tersebut adalah :candi
Borobudur ,bangunan taj mahal pyramid tembok cina,patng liberty,masjid al
haramain,menara pizza dan beberapa karya lainya dimana kesemuanya memperlihatkan
kesatuapaduan hasil karya ipteks yang luar biasa.
Ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode
untuk memperoleh pemahaman secara empiris mengenai dunia ini dalam berbagai segi
dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin
dimengerti manusia. Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau
segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapinya,hasil usaha
manusia untuk memahami suatu obyek tertentu. Ilmu pengetahuan diambil dari kata
science (bahasa inggris) yang diberasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja
scinre yang berarti mempelajari,mengetahui. Dalam pengertian yang sempit science
diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyek.
Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan common sense, suatu pengetuan yang berasal dari pengalaman
dan pengamatan dalm kehidupan sehari-hari,namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran
secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu
pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri daru Freud yang dikenal dengan nama
“id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-
dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua
instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras
antara “id” dan realitas dunia luar.“Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili
ideal, hati nurani. Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka
(hawa nafsu)Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis,
mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa
manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam
pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi
optimal, maka tentu atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia
menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan amatlah nihil kebaikan yang
diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia,
kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian
manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.Oleh karena itu, pada tingkat
aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut
etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam
penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan
patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka
manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika
menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought
to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good
dan teori tentang kewajiban (obligation).Keduanya bertalian dengan hati nurani.kewajiban
itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan
bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah
seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (executor)
tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadap opsi baik atau
buruk yang baik itulah materi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.
3. Aspek Etika Teknologi Dan Seni
Berkaiatan dengan pembatasan etika atas ilmu , teknologi dan seni maka perlu jelas
bagi kita bahwa yang dibatasi secara etis ialah cara memperoleh car pengujian dan cara
penggunaan ipteks pada saat penerapanya dengan fihak lain.jadi pembatasan etis
terssebut tidak berkaitan dengan lahirnya ipteks sebagai suatu kebenaran ilmiah sebagai
contoh untuk menentukan bahwa 2x2 =4 orang tidak perlu dibatasi oleh norma etis pada
penentuanya demikian pula halnya manakala ilmuan hendak menentukan kebenaran
pada daun dimana setelah dilakukan penelitian pada daun tedapt sel-sel yang
mengandung klorofil yang dapat melansungkan proses fotosintesis namun jika berkaitan
dngan pendirian pembangkit listrik bertenaga nuklir yang diperoleh dari temuan ilmu
pengetahuan dan teknologi maka pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah
apakah produk ipteks tersebut menunjang kehidupan manusia apakah tidak malah
seblikanya justru merusak kehidupan manusia untuk menjawab dibutuhkan data-data
obyktif dan otentik dari hasil penelitian mengenai teknologi nuklirnya maupun daerah
dimana pembangkit listrik tenaga nuklir itu akan didirikan sebelum kita memutuskan baik
atau tidak pembangkit listrik tenaga nuklir tersebut apabila didirikan didaerah itu.
Para ilmuwan professional dari berbagai disiplin ilmu IPTEKS pada dasarnya
sepakat bahwa disetiap cabang ilmu teknologi dan seni diperlukan seperangkat norma
yang akan digunakan sebagai garis pembatas bagi pemberlakuan IPTEKS di lingkungan
masyarakat ada yang mengharapkan agar norma-norma itu sepenuhnya merupakan
tanggung jawab para ahli IPTEKS dan bebas dari pegaruh lembaga pemerintah tetapi
ada pula yang merasa perlu adanya peranan lembaga pemerintah dalam penerapan
norma-norma tersebut untuk memperoleh daya keabsahaan dan kekuatan mengikat
selurh anggota masyarakat.
4. Teori-Teori Etika
Etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu dalam realisasi pengembangan.Untuk
mengatasi konflik batin dikemukakan teori-teori etika yang bermaksud menyediakan
konsistensis atau koheren dalam mengambil keputusan-keputusan moral.Teori-teori
tersebut adalah :
a). Konsekuensialisme. Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan
memandang konsekuensi dari bebagai jawaban.Ini berarti bahwa yang harus
dianggap etis adalah konsekuensi yang membawa paling banyak hal yang
menguntungkan, melebihi segala hal merugikan, atau yang mengakibatkan kebaikan
terbesar bagi jumlah orang terbesar.Manfaat paling besar daru teori ini adalah bahwa
teori ini sangat memperhatikan dampak aktual sebuah keputusan tertentu dan
memperhatikan bagaimana orang terpengaruh.Kelemahan dari teori ini bahwa
lingkungan tidak menyediakan standar untuk mengukur hasilnya.
b). Deontologi, berasal dari kata Yunani deon yang berarti “kewajiban”. Teori ini menganut
bahwa kewajiban dalam menentukan apakah tindakannya bersifat etis atau tidak,
dijawab dengan kewajiban-kewajiban moral. Suatu perbuatan bersifat etis, bila
memenuhi kewajiban atau berpegang pada tanggungjawab, Jadi yang paling penting
adalah kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan, karena hanya dengan memperhatikan
segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan menyalahkan moral. Manfaat paling besar
yang dibawakan oleh etika deontologis adalah kejelasan dan kepastian.Problem
terbesar adalah bahwa deontologi tidak peka terhadap konsekuensi-konsekuensi
perbuatan.Dengan hanya berfokus pada kewajiban, barangkali orang tidak melihat
beberapa aspek penting sebuah problem.
c). Etika Hak. Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan moral yang ada
didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini dipecahkan dengan hirarkhi hak.Yang
penting dalam hal ini adalah tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi dengan
sungguh-sungguh.Teori hak ini pantas dihargai terutama karena terkanannya pada
nilai moral seorang manusia dan tuntutan moralnya dalam suatu situasi konflik
etis.Selain itu teori ini juga menjelaskan bagiaman konflik hak antar individu.Teori ini
menempatkan hak individu dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana
memecahklan konflik hak yang biasa timbul.
d). Intuisionisme, teori ini berusaha memecahkan dilema-dilema etis dengan berpijak
pada intuisi, yaitu kemungkinan yang dimiliki seseorang untuk mengetahui secara
langsung apakah sesuatu baik atau buruk. Dengan demikian seorang intuisionis
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk berdasarkan perasaan moralnya,
bukan berdasarkan situasi, kewajiban atau hak. Dengan intuisi kita dapat meramalkan
kemungkinan-kemunginan yang terjadi tetapi kita tidak dapat
mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena kita tidak dapat menjelaskan
proses pengambilan keputusan.Etika menjadi acuan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan karena penghormatan atas manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf
Jerman, Imanuel Kant, penghormatan kepada martabat manusia adalah suatu
keharusan karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada
dirinya, tidak boleh ditaklukkan untuk tujuan lain.
Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang
letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat
bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah kiranya
bahwa kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan
ketidakterikatan mutlak.Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana kebebasan ini.
Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan
untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri.
Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari
luar. Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat
otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan.
Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan
ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab
pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat
universal .Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Kita yakin adanya kenyataan bahwa antara ilmu pengetahuan theoria dengan
penerapan praksisnya sukar sekali dipisahkan.Tetapi jelas karena sudah menyangkut
relasi antar manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik
“awang-awang” harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan
penerapannya yang yang berupa tekhnologi apabila tidak tepat dalam mewujudkan nilai
intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan
ketidakadilan karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan
kualitas manusia karena martabat manusia justru direndahkan dengan menjadi budak
teknologi, kerisauan social yang mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial
seperti meningkatnya tingkat kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali,
pelacuran dan sebagainya. Terjadi pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi,
karena manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual.Bahkan
dapat memicu konflik-konflik sosial- politik, karena menguasai ilmu pengetahuan
(tekhnologi) dapat memperkuat posisi politik atau sebaliknya orang yang berebut posisi
politik agar dapat menguasai aset ilmu dan tekhnologi.Semuanya mengisyaratkan
pentingnya etika yang mengatur keseimbangan antar ilmu pengetahuan dengan
manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara industriawan selaku produsen
dengan konsumen.Dalam bahasa Jacob lebih lanjut dikatakan bahwa ilu pengetahuan
jangan sampai merugikan manusia dan lingkungan serta tidak boleh menimbulkan
konflik internal maupun politik.
Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat
manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua
mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan
dipelajari.Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang
menyadari keterbatasannya.Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah
manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia.
Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya
mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu
pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat
rumit ini.Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak
untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat.
Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang
diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat
diperbuat” olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa
yang seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada
dasarnya mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai
kepada rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana
keputusan tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas
sering dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan
kesulitan apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret.
Realitas permasalahan manusia yang bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai
“kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan
kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai
dengan daerah yang ditanganinya.
Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan.Tidak ada
pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik
atau jahat”.“Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana” dari
etika.Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang
memperbincangkan bagaimana tekhnik yang mengelola kelakuan manusia.Dengan
demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari
perorangan, mengenai yang halal dan yang haram.Tetapi berkembag menjadi sesuatu
etika makro yang mampu merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga
manusia dapat belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang
dibangkitkannya sendiri.
Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut
peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan
pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil tekhnologi
moderen dan rekayasanya.Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan
kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar
memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam
peristiwa aktual dan factual manusia, sehingga terjadi hubungan timbale balik dengan
apa yang sebenarnya terjadi. Etika seperti itu berdasarkan “interaksi” antara keadaan
etika sendiri dengan masalah-masalah yang membumi.
a). Rehumanisasi
d). Revitalisasi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan makalah ini yaitu :
1. Dengan pemahaman integritas dari sudut kata yang bermakna yang telah kita
kemukakan diatas, maka membebaskan kita untuk menjadi diri yang utuh tidak peduli
apa yang akan datang kepada kita.sehingga tingkat kedewasaan kita akan
menunjukkan “kalau apa yang saya katakan dan apa yang saya lakukan sama,
hasilnya konsisten dalam bersikap dan berperilaku.
2.. Penilaian moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya, timbul pula perbedaan
penafsiran. Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik
berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi
juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban
pengambilan keputusan.Meski demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi
pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat
kemanusiaan.
3. Pengembangan ilmu harus berpijak pada proyeksi tentang kemungkinan yang secara
etis dapat diterima oleh masyarakat atau individu-individu manusia selaku pengguna
atau penerima hasil pengembangan ilmu (teknologi). Apa yang baik dan buruk dari hasil
pengembangan ilmu harus dapat dipertanggungjawabkan pihak yang mengembangkan
ilmu (ilmuwan ataupun penemu). Sebagaimana namanya, “intiusionisme” memang tidak
bisa menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena berpijak pada intuisi.
B. Saran
Adapun saran dari makalah ini ialah agar kita sebagai mahasiswa dapat memahami
integritas dan aspek etika IPTEKS, serta dapat dan mampu menerapkan hal tersebut dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Charis Zubeir,. Ahmad. 2002. Kajian Filsafat Ilmu; Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan
Manusia.Lembaga Studi Filsafat Islam. Yogyakarta
Van Melsen,. A. G. M.1992. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita.Terj. Dr. K. Bertens. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta