Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Elfrida (2020), Masa nifas adalah jangka waktu antara
lahirnya bayi dan plasenta lepas dari rahim sampai kembalinya organ-organ
reproduksi ke keadaan normal seperti sebelum melahirkan. Masa nifas
berlangsung selama enam minggu. Pada masa nifas, ibu akan mengalami
beberapa perubahan, salah satunya perubahan pada payudara. Payudara
pada ibu nifas akan menjadi lebih besar, keras dan menghitam disekitar
puting, ini menandakan dimulainya proses menyusui.
Menurut Pambudi (2019), Menyusui merupakan hal yang sangat
penting bagi seorang ibu untuk buah hatinya, karena ASI mempunyai banyak
nutrisi yang berguna untuk kecerdasan bayi. Semua zat yang terkandung
dalam ASI seperti zat putih, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, zat
kekebalan, hormon, enzim dan sel darah putih sangat dibutuhkan oleh bayi
untuk tumbuh dan berkembang, selain itu, ASI juga berrmanfaat membantu
melindungi bayi dari penyakit-penyakit seperti diare, demam, kematian
mendadak dan melindungi terhadap alergi makanan dan masalah yang
sering terjadi pada ibu nifas yaitu ketidaklancaran produksi ASI yang
menyebabkan ASI tidak keluar dan sering terjadi pada saat hari pertama
setelah kelahiran.
Menurut Fikawati dkk, (2015) ASI tidak keluar adalah kondisi tidak
diproduksinya ASI atau sedikitnya produksi ASI. Hal ini disebabkan
pengaruh hormon oksitosin yang kurang bekerja sebab kurangnya
rangsangan isapan bayi yang mengaktifkan kerja hormon oksitosin. Hormon
oksitosin akan keluar melalui rangsangan ke puting susu melalui isapan
mulut bayi atau melalui pijatan pada tulang belakang ibu bayi, dengan
dilakukan pijatan pada tulang belakang ibu akan merasa tenang, rileks,
meningkatkan ambang rasa nyeri dan mencintai bayinya, sehingga dengan
begitu hormon oksitosin keluar dan ASI pun cepat.
Menurut Fikawati, dkk (2015) menyebutkan bahwa salah satu tindakan
yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan kualitas dan kuantitas ASI, yaitu
pemijatan punggung. Pemijatan punggung ini berguna untuk
2

merangsang pengeluaran hormon oksitosin menjadi lebih optimal dan


pengeluaran ASI menjadi lancar.
Menurut Perry & Bobak dalam jurnal Yusari Asih, (2016) pijat oksitosin
merupakan salah satu solusi untuk mengatasi ketidaklancaran produksi ASI.
Pijat Oksitosin adalah pemijatan pada sepanjang tulang belakang (vertebrae)
sampai tulang costae kelima-keenam dan merupakan usaha untuk
merangsang hormon prolaktin dan oksitosin setelah melahirkan.
Ambarwati dalam Amimah (2017), Dampak yang ditimbulkan dari
masalah menyusui pada masa pasca persalinan salah satunya adalah
sindrom ASI kurang, sehingga bayi merasa tidak puas setiap setelah
menyusu, bayi sering menangis atau bayi menolak menyusu, tinja bayi
keras, payudara tidak membesar yang mengakibatkan gagalnya pemberian
ASI pada bayi jika tidak segera ditangani akan mengakibatkan kekhawatiran
dan kecemasan ibu Kondisi inilah yang menimbulkan ibu cemas, takut dan
was-was tidak dapat menyusui dengan maksimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Elfrida (2020), dengan judul
Penerapan Pijat Oksitosin dalam Upaya Memperbanyak ASI menunjukkan
hasil dengan dilakukan pijat oksitosin dapat rileks, tenang, dan nyaman
sehingga dapat meningkatkan pengeluaran ASI. Hal ini juga sejalan dengan
oleh hasil penelitian Pambudi (2019) dengan judul pengaruh pijat oksitosin
terhadap Produksi ASI pada ibu post partum di klinik ibu dan anak hastuti
sragen menunjukkan ada pengaruh pijat oksitosin terhadap produksi ASI
pada ibu post partum.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan (2018),
didaptkan ibu nifas di Kalimantan Timur yang melakukan KF 3 data profil
kesehatan didapatkan jumlah sekitar 65.649 ibu nifas, sedangkan untuk data
yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda (2018), didapatkan
data KF 3 yaitu sekitar 16.099 ibu nifas dan data yang diperoleh dari PMB
Nurhaidah SST jumlah ibu nifas pada bulan Oktober – November sebanyak
23 jumlah orang yang melakukan KF 3 serta 7 diantaranya adalah ibu
primigravida. Sedangkan 5 dari 7 ibu nifas primigravida mengalami keluhan
kurangnya produksi ASI pada minggu pertama masa nifas.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
memeberikan asuhan kebidanan komplementer dengan pijat oksitosin pada
3

ibu nifas di Klinik PMB Nurhaidah SST pada Bulan Desember tahun 2020
dalam memperlancar produksi ASI pada ibu masa nifas.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di PMB Nurhaidah, SST
Kota Samarinda pada bulan Desember tahun 2020 masalah yang ditemukan
yaitu Ibu nifas dengan ketidaklancaran produksi ASI yang kurang.
Penanganan kurangnya produksi asi dapat dilakukan dengan asuhan
komplementer yaitu pijat oksitosin. Berdasarkan masalah tersebut identifikasi
masalah penelitian yaitu Bagaimana penerapan pijat oksitosin pada Ibu Nifas
di PMB Nurhaidah pada bulan Desember 2020.

C. Tujuan Penyusunan
1. Tujuan Umum
Memberikan asuhan kebidanan secara komperhensif dan secara
Case Study Research pada ibu nifas dengan asuhan komplementer pijat
oksitosin pada Ibu nifas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi masalah pada ibu nifas
b. Merencanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas
c. Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas Evaluasi asuhan
kebidanan pada ibu nifas
d. Mendokumentasikan asuhan kebidanan pada ibu nifas
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau
masukkan bagi mahasiswa dan menambah kajian ilmu pengetahuan
untuk mengetahui adanya pengaruh dan manfaat pijat oksitosin untuk
meningkatkan produksi ASI pada ibu nifas.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi institusi pendidikan
Hasil dari Asuhan Komplementer ini diharapkan dapat menjadi
referensi atau masukkan bagi mahasiswa dan menambah kajian ilmu
pengetahuan, untuk mengetahui adanya pengaruh dan manfaat pijat
oksitosin untuk meningkatkan produksi ASI pada ibu nifas.

3
b. Bagi lahan praktik
Dapat di aplikasikan untuk meningkat mutu pelayanan asuhan
kebidanan komprehensif dengan asuhan komplementer pijat oksitosin
untuk meningkatkan produksi ASI pada ibu nifas
c. Bagi klien
Hasil penelitian ini diharapkan jadi bahan informasi bagi pasien
pasca persalinan.

4
5

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Masa Nifas


1. Definisi Masa Nifas
Masa nifas (puerpurium) dimulai sejak plasenta lahir dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil.
Masa nifas berlangsung kira-kira 6 minggu. (Sulistyawati, 2015).
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi,
plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali
organ kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6
minggu (Walyani & Purwoastuti, 2015).
2. Jadwal Kunjungan Masa Nifas (KF)
Jadwal kunjungan masa nifas (KF) menurut Maritalia, (2017) :
a. Kunjungan pertama (KF 1) dilakukan pada 6 jam – 48 jam masa
nifas
b. Kunjungan kedua (KF 2) dilakukan pada hari ke 2 sampai dengan
hari ke 28 masa nifas
c. Kunjungan ketiga (KF 3) dilakukan pada hari ke 29 sampai dengan
hari ke 42 masa nifas.

3. Perubahan Fisiologi Masa Nifas


Sistem tubuh ibu akan kembali beradaptasi untuk menyesuaikan
dengan kondisi post partum. Organ-organ tubuh ibu yang mengalami
perubahan setelah melahirkan antara lain (Maritalia, 2017) :
a. Perubahan Sistem Reproduksi
1) Payudara (Mammae)
Setelah proses persalinan selesai, pengaruh hormon
esterogen dan progesteron terhadap hipofisis mulai
menghilang. Hipofisis mulai mensekresi hormon kembali yang
salah satu diantaranya adalah lactogenic hormon atau hormon
prolaktin.
Selama kehamilan hormon prolaktin dari plasenta
meningkat tetapi ASI belum keluar karena pengaruh hormon
esterogen yang masih tinggi. Kadar esterogen dan progesteron
akan menurun pada saat hari kedua atau ketiga pasca
6
7

persalinan, sehingga terjadi sekresi ASI. Pada hari – hari


pertama ASI mengandung banyak kolostrum, yaitu cairan
berwarna agak kuning dan sedikit lebih kental dari ASI yang
disekresi setelah hari ketiga masa nifas.
2) Uterus
Involusi merupakan suatu proses kembalinya uterus
pada kondisi sebelum hamil. Perubahan ini dapat diketahui
dengan melakukan pemeriksaan palpasi untuk meraba dimana
Tinggi Fundus Uterinya (TFU).
3) Lokhea
Lokhea adalah ekskresi cairan rahim selama masa
nifas. Lokhea berbau amis atau anyir dengan volume yang
berbeda-beda pada setiap wanita. Lokhea yang berbau tidak
sedap menandakan adanya infeksi. Lokhea mempunyai
perubahan warna dan volume karena adanya proses involusi.
Lokhea dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan warna dan
waktu keluarnya :
a) Lokhea rubra
Lokhea ini keluar pada hari pertama sampai hari ke-
4 masa post partum. Cairan yang keluar berwarna merah
karena terisi darah segar, jaringan sisa-sisa plasenta,
dinding rahim, lemak bayi, lanugo (rambut bayi), dan
mekonium.
b) Lokhea sanguinolenta
Lokhea ini berwarna merah kecokelatan dan
berlendir, serta berlangsung dari hari ke-4 sampai hari ke-7
post partum.
c) Lokhea serosa
Lokhea ini berwarna kuning kecokelatan karena
mengandung serum, leukosit, dan robekan atau laserasi
plasenta. Keluar pada hari ke-7 sampai hari ke- 14.
d) Lokhea alba
Lokhea ini mengandung leukosit, sel desidua, sel
epitel, selaput lendir serviks, dan serabut jaringan yang
mati. Lokhea alba ini dapat berlangsung selama 2-6

7
minggu post partum.
4) Perubahan Vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan, serta
peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi.
Dalam beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, kedua
organ ini tetap dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu, vulva
dan vagina kembali kepada keadaan tidak hamil dan rugae
dalam vagina secara berangsur-angsur akan muncul kembali.
5) Perubahan Perineum
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur
karena sebelumnya teregang oleh tekanan bayi yang bergerak
maju. Pada post partum hari ke-5, perinium sudah
mendapatkan kembali sebagian tonusnya, sekalipun tetap lebih
kendur daripada keadaan sebelum hamil.
b. Perubahan Sistem Pencernaan
Biasanya ibu mengalami konstipasi setelah persalinan. Hal
ini disebabkan karena pada waktu melahirkan alat pencernaan
mendapat tekanan yang menyebabkan kolon menjadi kosong,
pengeluaran cairan yang berlebihan pada waktu persalinan,
kurangnya asupan makan, hemoroid dan kurangnya aktivitas
tubuh.
c. Perubahan Sistem Perkemihan
Setelah proses persalinan berlangsung, biasanya ibu akan
sulit untuk buang air kecil dalam 24 jam pertama. Penyebab dari
keadaan ini adalah terdapat spasme sfinkter dan edema leher
kandung kemih setelah mengalami kompresi (tekanan) antara
kepala janin dan tulang pubis selama persalinan berlangsung.
Kadar hormon estrogen yang besifat menahan air akan mengalami
penurunan yang mencolok. Keadaan tersebut disebut “diuresis”.
d. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah partus,
pembuluh darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus
akan terjepit, sehingga akan menghentikan perdarahan. Ligamen-
ligamen, diafragma pelvis, serta fasia yang meregang pada waktu
persalinan, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih

8
9

kembali. Stabilisasi secara sempurna terjadi pada 6-8 minggu


setelah persalinan.
e. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Setelah persalinan, shunt akan hilang tiba-tiba. Volume
darah bertambah, sehingga akan menimbulkan dekompensasi
kordis pada penderita vitum cordia. Hal ini dapat diatasi dengan
mekanisme kompensasi dengan timbulnya hemokonsentrasi
sehingga volume darah kembali seperti sediakala. Pada
umumnya, hal ini terjadi pada hari ketiga sampai kelima
postpartum.
f. Hormonal
Selama kehamilan terjadi peningkatan hormon esterogen
dan progesteron,sekitar 1-2 minggu sebelum partus dimulai, kadar
hormon esterogen dan progesteron akan menurun. Memasuki
trimester kedua kehamilan, mulai terjadi peningkatan kadar
hormon prolaktin dan prostaglandin. Hormon prolaktin akan
merangsang pembentukan air susu pada kelenjar payudara dan
prostaglandin memicu sekresi oksitosin yang menyebabkan
timbulnya kontraksi uterus.

4. Fisiologi Laktasi pada Masa Nifas


Menurut Roito , (2013) Laktasi atau menyusui mempunyai dua
pengertian, yaitu produksi dan pengeluaran ASI. Payudara mulai dibentuk
sejak embrio berumur 18-19 minggu. Pembentukan tersebut selesai
ketika menstruasi dengan terbentuknya hormon esterogen dan
progesteron yang berfungsi untuk maturasi alveoli. Sementara itu,
hormon prolaktin berfungsi untuk produksi ASI. Hormon prolaktin dari
plasenta meningkat, tetapi ASI biasanya belum keluara karena terhambat
oleh kadar esterogen yang tinggi. pada hari kedua atau ketiga
pascapersalinan, kadar esterogen dan progesteron turun drastis,
sehingga pengaruh prolaktin lebih dominan dan saat itu sekresi ASI
semakin lancar. Terdapat dua refleks pada ibu yang sangat penting
dalam proses laktasi, yaitu refleks prolaktin dan refleks aliran, yang timbul
akibat perangsangan putting susu oleh hisapan bayi.

a. Refleks Prolaktin

9
Pada putting susu berisi banyak saraf sensoris. Bila saraf tersebut
dirangsang, timbul impuls yang menuju hipotalamus, yaitu selanjutnya
ke kelenjar hipofisis depan sehingga kelenjar ini mengeluarkan
hormon prolaktin. Hormon tersebut berperan dalam produksi ASI
ditingkat alveoli.
b. Refleks Aliran (Let Down Refleks)
Rangsangan putting susu tidak hanya diteruskan sampai kelenjar
hipofisis bagian belakang yang mengeluarkan hormon oksitosin.
Hormon itu berfungsi memacu kontraksi otot polos yang ada di
dinding alveolus dan dinding saluran, sehingga ASI dipompa keluar.
Hormon oksitosin bekerja sebelum atau setelah menyusui untuk
menghasilkan aliran susu dan menyebabkan kontraksi uterus.
Semakin sering menyusui, semakin baik pengosongan alveolus dan
saluran sehingga semakin kecil kemungkinan terjadi bendungan susu
sehingga proses menyusui semakin lancar.

B. Konsep Dasar Air Susu Ibu (ASI)


1. Definisi Air Susu Ibu
Air Susu Ibu (ASI) merupakan bahan makanan pertama dan
tunggal yang paling baik, paling sesuai dan paling sempurna bagi bayi,
terutama pada saat- saat permulaan kehidupan. Kecukupan jumlah serta
kualitas ASI yang harus diberikan sangat menentukan perkembangan dan
pertumbuhan bayi, agar tetap dalam keadaan sehat. Kecukupan jumlah
maupun kualitas ASI, sangat dipengaruhi oleh keadaan gizi ibunya
sewaktu hamil hingga menyusui.Karena selama kehamilan dan periode
menyusui ibu tidak boleh menderita kekurangan gizi (Rahmiati, 2015).
2. Manfaat pemberian ASI eksklusif
Menurut Nugroho, (2016) Beberapa manfaat pemberian ASI
khususnya ASI eklklusif yang dapat diperoleh bayi :
a. ASI sebagai nutrisi terbaik
ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan
komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan
pertumbuhan bayi. ASI merupakan makanan bayi yang paling
sempurna, baik kualitas maupun kualitasnya karena ASI merupakan
sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi seimbang dan

10
11

sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. Produksi ASI seorang


ibu akan cukup sebagai makanan tunggal bagi bayi normal sampai
dengan usia 6 bulan.
b. ASI meningkatkan daya tahan tubuh
Bayi yang baru lahir secara alamiah telah mendapat zat
kekebalan dari ibunya melalui plasenta. Kadar zat tersebut akan
cepat menurun setelah kelahiran bayti dan lambat laun akan terjadi
keseimbangan daya tahan tubuh. Kesenjangan tersebut dapat
diatasi dengan pemberian ASI, karena ASI mengandung zat
kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit
infeksi, bakteri, virus, dan jamur. Bayi ASI eksklusif ternyata akan
lebih sehat dan lebih jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang
tidak mendapat ASI eksklusif.
c. ASI eksklusif meningkatkan kecerdasan
Faktor penentu kecerdasan ada yaitu faktor genetik dan
factor lingkungan. faktor genetik atau bawaan sangat menentukan
potensi genetik yang diturunkan oleh orang tua, faktor ini tidak dapat
diakumulasi atau direkayasa. Faktor lingkungan merupakan faktor
yang menentukan tercapainya faktor genetik secara optimal.
Kebutuhan faktor lingkungan ini dapat dipenuhi dengan pemberian
ASI yang dimulai dengan pemberian ASI secara eksklusif.
Pemberian ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupan akan
menjamin tercapainya pengembangan potensi kecerdasan anak
secara optimal.
d. ASI eksklusif meningkatkan jalinan kasih sayang
Bayi akan disusui akan merasakan kasih sayang ibunya dan
akan menimbulkan perasaan aman dan tentram sebagai dasar
perkembangan emosi bayi untuk membentuk pribadi yang percaya
diri dan memiliki dasar spiritual yang baik.
3. Indikator Penilaian Kelancaran ASI
Menurut Bobak dan Mansyur dalam Puspita (2016), untuk
mengetahui banyaknya produksi ASI terdapat beberapa kriteria yang
dipakai sebagai patokan untuk mengetahui jumlah ASI lancar atau tidak
adalah:
a. ASI yang banyak dapat merembes keluar melalui puting;

11
b. Sebelum disusukan payudara terasa tegang;
c. Payudara ibu terasa lembut dan kosong setiap kali menyusui;
d. Bayi paling sedikit menyusu 8-10 kali dalam 24 jam;
e. Ibu dapat merasakan rasa geli karena aliran ASI setiap kali bayi
mulai menyusui;
f. Ibu dapat mendengar suara menelan yang pelan ketika bayi
menelan ASI;
g. Berat badan bayi naik dengan memuaskan sesuai umur :
1) 1-3 bulan (kenaikan berat badan 700 gr)
2) 4-6 bulan (kenaikan berat badan 600 gr)
3) 7-9 bulan (kenaikan berat badan 400 gr)
4) 10-12 bulan (kenaikan berat badan 300 gr)
Dalam keadaan normal usia 0-5 hari biasanya berat badan
bayi akan menurun. Setelah usia 10 hari berat badan bayi akan
kembali seperti lahir;
h. Jika ASI cukup, setelah menyusu bayi akan tertidur /tenang selama
3-4 jam.
Bayi yang mendapatkan ASI memadai umumnya lebih
tenang, tidak rewel dan dapat tidur pulas (Wulandari, 2011).
Secara alamiah ASI diproduksi dalam jumlah yang sesuai dengan
kebutuhan bayi;
i. Bayi sekurang-kurangnya buang air kecil 6-8 kali dalam sehari;
j. Bayi mengeluarkan urine berwarna kuning pucat;
k. Bayi BAB satu kali dalam 24 jam. Tinja bayi lunak berwarna kuning.

Produksi ASI dikatakan lancar jika ibu menunjukkan Indikator


meliputi payudara tegang karena terisi ASI, ibu rileks, let down refleks
baik, frekuensi menyusui >8 kali sehari, ibu menggunakan kedua
payudara bergantian, posisi perlekatan benar, puting tidak lecet, ibu
menyusui bayi tanpa jadwal, ibu terlihat memerah payudara karena
payudara penuh, payudara kosong setelah bayi menyusu sampai
kenyang dan tertidur, serta bayi nampak menghisap kuat dengan irama
perlahan.
Normalnya pada hari pertama post partum ibu dapat
menghasilkan ASI 50-100 ml sehari dari jumlah ini akan terus

12
13

bertambah sehingga mencapai sekitar 400-450 ml pada waktu bayi


mencapai usia minggu kedua.
No Usia Bayi Volume ASI Frekuensi Menyusui
1 Ketika lahir Sampai 5 ml ASI Penyusuan pertama
2 Dalam 24 jam 7-123 ml/hari ASI 3-8 penyusuan
3 Antara 2-6 hari 395-868 ml/hari ASI 5-10 penyusuan
4 Satu bulan 395-8668 ml/hari ASI 6-18 penyusuan
5 Enam bulan 710-803 ml/hari ASI 6-18 penyusuan
Tabel 2.1 Tabel Rerata Volume ASI (Sumber : Pollard, 2016)

4. Faktor yang Mempengaruhi Kelancaran Produksi ASI


Menurut Nugroho dan Sulistyoningsih dalam Puspita (2016),
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kelancaran pengeluaran
ASI yaitu:
a. Hisapan bayi
Hisapan mulut bayi pada payudara ibu akan menstimulus
hipofisis anterior dan posterior sehingga mengeluarkan hormon
prolaktin (sebagai produksi ASI) dan hormon oksitosin (sebagai
pengeluaran ASI). Hisapan bayi tidak sempurna akan membuat
hormon prolaktin dan oksitosin terus menurun dan ASI akan
terhenti (Purwanti, 2004).
Proses menyusui lebih dini akan menyebabkan rangsangan
puting susu yang kemudian membentuk prolaktin oleh hipofisis
sehingga pengeluaran ASI makin lancar (Perinasia, 2009). Ibu
yang melakukan IMD akan mendapatkan rangsangan pada puting
ibu oleh hisapan bayi. Penelitian oleh Tantina (2015) didapatkan
hasil bahwa semakin cepat ada rangsangan hisapan dari puting
ibu, maka proses pengeluaran ASI akan cepat. Hal ini selaras
dengan adanya program IMD yang memanfaatkan refleks yang
dimiliki bayi baru lahir yaitu reflek mencari, reflek menghisap dan
reflek menelan. Hisapan pada puting ibu saat IMD merangsang
pengeluaran prolaktin dan oksitosin untuk memproduksi ASI.
Pelaksanaan IMD yang mencapai puting dapat memberikan
stimulus awal untuk keberhasilan menyusui. Bayi akan mulai
menghisap puting ibunya yang bertujuan untuk merangsang ASI
segera berproduksi dan bisa keluar (Widuri, 2013).

13
b. Kontak langsung ibu dan bayi
Ikatan kasih sayang ibu dan bayi terjadi oleh berbagai
rangsangan, seperti sentuhan kulit dan mencium bau yang khas
antara ibu dan bayi. Kontak langsung ini sangat dibutuhkan untuk
menciptakan kepuasan bagi ibu dan juga bayi. Bayi merasa aman
dan puas karena dia mendapatkan kehangatan dari dekapan
ibunya. Ibu yang merasa rileks dan nyaman maka pengeluaran
ASI akan berlangsung baik (Wulandari, 2011).
Kontak kulit ini saat IMD bermanfaat untuk melindungi bayi
dari kehilangan panas tubuhnya dan menimbulkan perasaan
emosional antara ibu dan bayi. Ibu yang dilakukan IMD saat bayi
diletakkan di atas perut, ibu akan memegang, membelai dan
memeluk bayinya. Perilaku seperti ini mempengaruhi psikis ibu
yang juga mempengaruhi pengeluaran hormon produksi ASI
(Tantina, 2015).
c. Frekuensi penyusuan
Frekuensi penyusuan ini berkaitan dengan kemampuan
stimulasi hormon dan kelenjar payudara. Studi yang dilakukan
pada ibu dengan bayi cukup bulan menunjukkan bahwa frekuensi
penyusuan 10 kali dalam sehari selama dua minggu pertama
setelah melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang
cukup.
d. Psikologis ibu
Ibu yang cemas dan stress menggangu laktasi sehingga
mempengaruhi produksi ASI karena menghambat pengeluaran
ASI. Ibu dalam keadaan tertekan, sedih, kurang percaya diri, dan
berbagai bentuk ketegangan emosional akan menurunkan volume
ASI bahkan tidak akan terjadi produksi ASI. Keberhasilan proses
menyusui sangat tergantung pada adanya rasa percaya diri ibu
bahwa ia mampu menyusui atau memproduksi ASI yang cukup
untuk bayinya (Sulistyoningsih, 2011). Semua hal itu dapat
dihindari dengan cara ibu cukup istirahat dan menghindari rasa
khawatir berlebihan.

e. Umur kehamilan saat melahirkan


14
15

Umur kehamilan dan berat lahir mempengaruhi produksi ASI.


Hal ini disebabkan bayi yang lahir prematur (umur kehamilan
kurang dari 34 minggu) sangat lemah dan tidak mampu mengisap
secara efektif sehingga produksi ASI lebih rendah dari pada bayi
yang lahir tidak prematur. Lemahnya kemampuan mengisap pada
bayi prematur dapat disebabkan berat badan yang rendah dan
belum sempurnanya fungsi organ.
f. Berat lahir bayi
Hubungan berat bayi lahir dengan volume ASI berkaitan
dengan kekuatan untuk mengisap, frekuensi, dan lama penyusuan
lebih besar. Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai
kemampuan mengisap ASI lebih rendah dibanding bayi dengan
berat lahir normal (>2500 gr). Kemampuan mengisap pada BBLR
yang rendah akan mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan
oksitosin dalam memproduksi ASI (Budiasih dalam Puspita, 2016).
g. Kualitas dan kuantitas makanan ibu
Ibu-ibu dengan asupan makanan sehari-hari yang kurang,
terutama sejak masa kehamilan dapat menyebabkan produksi ASI
akan berkurang atau bahkan tidak keluar sehingga keadaan ini
akan berpengaruh terhadap bayinya. Agar ASI yang diproduksi
mencukupi kebutuhan bayi, perlu diperhatikan kualitas dan
kuantitas makanan ibu. Makanan ibu harus memenuhi jumlah
kalori, protein, lemak dan vitamin serta mineral yang cukup
(Wulandari, 2011).
h. Pil kontrasepsi
Penggunaan alat kontrasepsi hendaknya diperhatikan karena
pemakaian kontrasepsi yang tidak tepat dapat mempengaruhi
produksi ASI (Wulandari, 2011). Penggunaan pil kontrasepsi
kombinasi estrogen dan progesteron berkaitan dengan penurunan
volume dan durasi ASI. Alat kontrasepsi yang paling tepat
digunakan adalah Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
misalnya spiral atau IUD, karena AKDR dapat merangsang uterus
ibu sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kadar
hormon oksitosin (Siregar, 2014).
i. Konsumsi alkohol

15
Meskipun minuman alkohol dosis rendah di satu sisi dapat
membuat ibu merasa rileks sehingga membantu proses
pengeluaran ASI namun disisi lain etanol dapat menghambat
produksi oksitosin.
j. Konsumsi rokok
Merokok dapat mengurangi volume ASI karena akan
mengganggu hormon prolaktin dan oksitosin untuk produksi ASI.
Merokok akan menstimulasi pelepasan adrenalin dimana
adrenalin akan menghambat pelepasan oksitosin.
5. Tanda Bayi Kurang ASI
Menurut Kemenkes RI, (2019) bayi yang belum mendapatkan
cukup ASI memiliki tanda sebagai berikut :
a. Fases bayi berwarna gelap setelah berusia lima hari
b. Mulut dan mata bayi nampak kering
c. Popok bayi diganti kurang dari 6 kali per hari dan cenderung kering
setiap kali diganti
d. Urine bayi berwarna kuning tua
e. Bayi rewel dan nampak tidak puas meski sudah menyusu lebih dari
satu jam
f. Bayi tidak terlihat meneguk ASI.
6. Tanda-tanda Bayi Cukup ASI
Menurut Maritalia, (2017) bayi yang berusia 0-6 bulan dapat dinilai
mendapat kecukupan ASI bila menunjukkan tanda - tanda sebagai
berikut:
a. Bayi minum ASI tiap 2-3 jam atau dalam 24 jam minimal mendapatkan
ASI 8-10 kali
b. Kotoran berwarna kuning dengan frekuensi sering, dan warna menjadi
lebih muda pada hari ketiga sampai hari kelima
c. Bayi akan Buang Air Kecil (BAK) paling tidak 6-8 kali/hari
d. Ibu dapat mendengar pada saat bayi menelan ASI
e. Payudara terasa lebih lembek, yang menandakan ASI telah habis
f. Warna kulit bayi tidak kuning dan kulit terasa kenyal
g. Perkembangan motorik baik (bayi aktif dan motoriknya sesuai dengan
rentang usianya)

16
17

h. Bayi kelihatan puas, sewaktu-waktu saat lapar bangun dan tidur


dengan cukup
i. Bayi menyusu dengan kuat (rakus), kemudian, melemah dan tidur
dengan pulas.
C. Konsep Dasar Pijat Oksitosin
1. Definisi Pijat Oksitosin
Menurut Menurut Depkes RI dalam Setiowati, (2017) pijat
oksitosin adalah pijat relaksasi untuk merangsang hormon oksitosin.
Pijat yang lakukan disepanjang tulang vertebre sampai tulang costae
kelima atau keenam. pijat oksitosin merupakan salah satu solusi untuk
mengatasi ketidaklancaran produksi ASI sehingga diharapkan ibu akan
merasakan rileks dan kelelahan setelah melahirkan akan hilang.
2. Mekanisme Pijat Oksitosin
Menurut Setiowati (2017), Pijat oksitosin adalah pijat yang
dilakukan disepanjang tulang belakang (vertebre) sampai costae ke lima
atau keenam Melalui pemijatan pada tulang belakang, neurotransmitter
akan merangsang medulla oblongata langsung mengirim pesan ke
hipotalamus untuk mengeluarkan oksitosin. Dengan pijat oksitosin ini
juga akan merileksasi ketegangan dan menghilangkan stress serta
meningkatkan rasa nyaman.
3. Manfaat Pijat Oksitosin
Pijat oksitosin mempunyai beberapa manfaat yang sangat
membantu bagi ibu setelah persalinan. Seperti yang dilajelaskan oleh
Setiowati (2017), pijat oksitosin dapat mengurangi ketidak nyamanan
fisik serta memperbaiki mood. Pijat yang dilakukan disepanjang tulang
belakang ini juga dapat merileksasikan ketegangan pada punggung dan
menghilangkan stres sehingga dapat memperlancar pengeluaran ASI.
4. Pelaksanaan Tindakan Pijat Oksitosin
Pijat oksitosin dilakukan dua kali sehari, setiap pagi dan sore. Pijat
ini dilakukan selama 15 sampai 20 menit (Sari, 2015). Pijat ini tidak harus
selalu dilakukan oleh petugas kesehatan. Pijat oksitosin dapat dilakukan
oleh suami atau keluarga yang sudah dilatih. Keberadaan suami atau
keluarga selain membantu memijat pada ibu, juga memberikan suport
atau dukungan secara psikologis, membangkitkan rasa percaya diri ibu

17
serta mengurangi cemas. Sehingga membantu merangsang pengeluaran
hormon oksitosin.
Langkah-langkah yang dilakukan yaitu yang pertama ibu melepas
pakaian bagian atas dan bra, pasang handuk di pangkuan ibu, kemudian
posisi ibu duduk dikursi (gunakan kursi tanpa sandaran untuk mem
udahakan penolong atau pemijat), kemudian lengan dilipat diatas meja
didepannya dan kepala diletakkan diatas lengannya, payudara tergantung
lepas tanpa baju. Melumuri kedua telapak tangan menggunakan minyak
atau baby oil Selanjutnya penolong atau pemijat memijat sepanjang
tulang belakang ibu dengan menggunakan dua kepal tangan, dengan ibu
jari menunjuk ke depan dan menekan kuat-kuat kedua sisi tulang
belakang membentuk gerakan-gerakan melingkar kecil-kecil dengan
kedua ibu jari. Pada saat bersamaan, pijat ke arah bawah pada kedua sisi
tulang belakang, dari leher kearah tulang belikat. Evaluasi pada pemijatan
oksitosin dilakukan (Depkes RI dalam Trijayati, 2017).

Gambar 2. Pijat oksitosin (Sumber : Depkes RI dalam Trijayati, 2017)

18
19

NO. TINDAKAN

A. SIKAP DAN PERILAKU


1. Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan
2. Bersikap sopan
3. Mengatur posisi pasien
4. Tanggap dengan reaksi ibu
5. Sabar dan teliti
B. PROSEDUR
6. Menyiapan peralatan (kursi dan meja) (*)
7. Menyiapkan ruangan
8. Menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan (*)
9. Meminta ibu untuk melepas pakaian bagian atas (*)
Mencuci tangan dengan air mengalir dan jeringkan dengan handuk bersih
10.
dan kering (*)
11. Mengatur posisi ibu dengan posisi duduk membungkuk ke depan dan
bersandar pada meja dengan lengan terlipat dan kepala diletakkan di atas
tangannya. Payudara dibiarkan menggantung dan terlepas dari kain
penutupnya (*)
12. Mengurut kedua sisi tulang belakang dengan menggunakan ibu jari (posisi
tangan pengurut mengepal dan ibu jari menghadap ke atas). Pengurutan
dilakukan dengan kuat, membentuk gerakan lingkaran kecil dengan kedua
ibu jarinya, dimulai dari leher dan punggung kemudian ke arah bawah
selama 3 menit. (*)
13. Mengevaluasi respon ibu (*)
14. Membantu ibu memakai pakaian
Mencuci tangan dengan air mengalir dan mengeringkan dengan handuk
15.
bersih dan kering (*)
16. Mendokumentasikan hasil kegiatan (*)

Tabel 2.2 SOP Pijat Oksitosin (Sumber; ITKES WHS)

19
20
D. Manajemen Asuhan Kebidanan 7 Varney
Menurut Muslihatun dalam jurnal Watson, (2012) Manajemen
kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai
metode pemberian pelayanan yang utuh dan menyeluruh dari bidan ke
kliennya, yang merupakan suatu proses manajemen kebidanan yang
diselenggarakan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas melalui
tahapan dan langkah – langkah yang disusun secara sistematis untuk
mendapatkan data, memberikanpelayanan yang benar sesuai dengan
keputusan klinik yang dilakukan dengan tepat.
Tujuh langkah manajemen kebidanan menurut varney :
1. Langkah pertama : Pengumpulan data dasar, Melakukan pengkajian
dengan pengumpulan semua data yang diperlukan untuk mengevaluasi
keadaan klien meliputi, riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, meninjau
catata terbaru atau catatan sebelumnya, meninjau data laboratorium
dan membandingkannya dengan hasil study.
2. Langkah kedua : Intepretasi data dasar, menetapkan disgnosis atau
masalah berdasarkan penafsiran data dasar yang telah dikumpulkan.
3. Langkah ketiga : Mengidentifikasi diagnosis atau masalah potensial,
berdasarkan diagnosa mengantisipasi penanganannya atau masalah
yang telah ditetapkan.
4. Langkah keempat : Identifikasi kebutuhan akan tindakan segera, untuk
melakukan konsultasi kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain
berdasarkan kondisi lain.
5. Langkah kelima : Perencanaan tindakan yang dilakukan, merupakan
kelanjutan penatalaksanaan terhadap masalah atau diagnosa yang telah
diidentifikasi dan diantisipasi.
6. Langkah keenam : Pelaksanaan, melaksanakan rencana asuhan
komprehensif. Pelaksanaan yang efisien akan berhubungan dengan
waktu dan biaya dapat meningkatkan mutu dan asuhan klien.
7. Laporan ketujuh : Evaluasi, keefektifkan dan asuhan yang sudah
diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan.
E. Konsep Dasar Asuhan Kebidanan Komplementer
Menurut Kemenkes RI, dalam Jurnal Kostania, (2015)
penyelenggaraan pengobatan komplementer secara umum telah diatur
dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang
pengobatan komplementer-alternatif, tentang pengobatan komplementer-
alternatif. Pelayanan kebidanan komplementer merupakan bagian dari
penerapan pengobatan komplementer dan alternatif dalam tatanan
pelayanan kebidanan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan definisi
pengobatan komplementer dan alternatif adalah pengobatan non
konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan
kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi (Kemenkes RI,
No.1109/Menkes/Per/IX/2007).
F. Konsep Dasar Dokumentasi Kebidanan
Pada asuhan kebidanan ini penulisan menggunakan
pendokumentasian 4 langkah yang menggunakan SOAP. Metode ini
merupakan inti sari proses pemikiran penatalaksanaan kebidanan 7 langkah
Pendokumentasian manajemen kebidanan dengan metode SOAP itu :
1. Data Subyektif
Data subyektif (S) merupakan pengdokumentasian manajemen
kebidanan menurut Helen Varney langkah pertama (pengkajian data)
terutama data yang diperoleh anamesis. Data subyektif ini berhubungan
dengan masalah dari sudut pandang pasien. Ekspresi pasien mengenai
kekhawatiran dan keluhan nya yang dicatat sebagai kutipan langsung
dengan diagnosis. Data subyektif ini nantinya akan menguatkan
diagnosis yang akan disusun.
2. Data Obyektif
Data obyektif (O) merupakan pengdokumentasian manajemen
menurut Helen Varney pertama (pengkajian data) terutama data yang
diperoleh melalui hasil observasi yang jujur dari pemeriksaan pasien,
pemeriksaan laboratorium atau diagnostic lain. Catatan medis dan
informasi dari keluarga atau orang lain dapat dimasukan melalui data
obyektif ini. Data ini akan memberikan bukti gejala klinis pasien dan fakta
yang berhubungan dengan diagnosis
3. Assessment
Analisis atau assasment (A) merupakan pengdokumentasian hasil
analisis dan intrepetasi (kesimpulan) dari data subjektif dan objektif.
Dalam pendokumentasian manajemen kebidanan karena keadaan pasien
yang setiap saat bias mengalami perubahan dan akan ditemukan

22
23

informasi baru dalam data subjektif maupun data objektif maka proses
pengkajian data akan menjadi sangat dinamis.
Analisis atau assessment (A) merupakan pengdokumentasian
menajemen kebidanan menurut Helen Varney langkah ke2, ke3 dan ke4
sehingga mencakup hal-hal berikut ini : diagnosis atau masalah
kebidanan, diagmosis atau masalah potensial serta perlunya
mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera untuk antisipasi diagnosis
atau masalah potensial dan kebutuhan tindakan segera harus
diindetifikasi menurut kewenangan bidan, meliputi tindakan mandiri,
tindakan kolaborasi dan tindakan menujuk klien.
4. Planning
Planning atau perencanaan (P) adalah membuat rencana asuhan
saat ini dan yang akan datang. Rencana asuhan disusun berdasarkan
hasil analisi dan intrepretasi data. Rencana asuhan ini bertujuan untuk
mengusahakan tercapainya kondisi pasien seoptimal mungkin dan
mempertahakan kesejahteraan. Rencana asuhan ini harus bisa mencapai
kriteria tujuan yang ingin dicapai dalam batas tertentu. Tindakan yang
akan dilaksanakan harus mampu membantu pasien mencapai kemajuan
dan harus sesuai dengan hasil kolaborasi tenaga kesehatan lain antara
lain dokter.
Meskipun secara istilah P adalah planning atau perencanaan saja,
namun dalam metode SOAP ini juga merupakan gambaran
pendokumentasian implementasi dan evaluasi. Dalam SOAP meliputi
manajemen kebidanan menurut Helen Varney langkah ke-5, ke-6 dan ke-
7, dalam planning ini juga harus mencantumkan evaluasi atau evaluation
yaitu tafsiran efek tindakan yang telah diambil untuk menili keefektifan
asuhan atau hasil pelaksanaan tindakan. Evaluasi berisi analis hasil yang
telah dicapai dan merupakan focus ketepatan nilai tindakan atau asuhan
(Muslihatun, 2010).
SOAP merupakan catatan yang bersifat sederhana, jelas, logis
dan tertulis. Adapaun SOAP digunakan untuk pengdokumentasian
karena:
a. Pendokumentasian metode SOAP merupakan kemajuan informasi
yang sistematis yang mengorganisir penemuan dan kesimpulan
menjadi suatu rencana asuhan
b. Metode ini merupakan penyaringan dan intisari proses
penatalaksanaan kebidanan untuk tujuan penyeediaan dan
pendokumentasian asuhan
c. SOAP merupakan urut-urutan yang membantu dalam mengorganisir
pikiran dan memberikan asuhan yang menyeluruh (Pusiknas,2011).

G. Kerangka Teori

Sistem
Payudara Oksitosin
Reproduksi

Prolaktin
Sistem
Pencernaan

Sistem
Perubahan
Perkemihan
Fisiologis
Masa Nifas
Sistem
Terapi Non Pijat
Muskuloskeletal
Farmakologis Oksitosin

Sistem
Kardiovaskuler

Hormonal

Skema 2.1 Kerangka Teori


Sumber : Maritalia, (2017) dalam buku Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas

24
25

BAB III
METODE STUDI KASUS

A. Kerangka Konsep

ASI Belum Pijat Oksitosin ASI Tercukupi


Tercukupi 66. Menghilan

Input Proses Output


Skema 3.1 Kerangka Konsep

B. Pendekatan/desain Pengambilan Data (case study research)


Studi kasus merupakan penelitian yang memusatkan perhatian pada
suatu kasus tertentu dengan menggunakan individu atau kelompok sebagai
bahan studinya.Penggunaan penelitian studi kasus ini biasanya difokuskan
untuk menggali dan mengumpulkan data yang lebih dalam terhadap obyek
yang diteliti untuk dapat menjawab permasalahan yang sedang terjadi
sehingga bisa dikatakan bahwa penelitian bersifat deskriptif dan eksploratif.
Hasil dari pengumpulan data akan didkoumentasikan dalam catatan asuhan
kebidanan meliputi Subjek, Objek, Analisis, dan Penatalaksanaan (SOAP).
C. Tempat Dan Waktu Penelitian
1. Tempat
PMB Nurhaidah SST Kota Samarinda
2. Waktu
Studi kasus serta asuhan kebidanan Komplementer pada Ibu
nifas yang dilakukan secara mandiri dilakukan pada bulan Desember
2020.

D. Objek Penelitian/Partisipan
Objek penelitian adalah ibu nifas di PMB Nurhaidah SST pada bulan
Desember 2020.
E. Metode Pengumpulan Data

1. Data Primer
Data primer yang ditanyakan saat anamnesa antara lain identitas
pasien, keluhan saat datang, riwayat menstruasi, riwayat perkawinan,
riwayat obstetri, riwayat KB, riwayat penyakit dan riwayat sosial budaya.
Metode yang digunakan untuk mendapatkan data primer yaitu:
a. Metode survei merupakan metode pengumpulan data primer yang
menggunakan pertanyaan lisan dan tertulis. Metode ini
memerlukan adanya kontak atau hubungan antara peneliti dan
subjek (responden) penelitian untuk mendapatkan data yang
diperlukan.
b. Wawancara, yaitu dilakukan langsung kepada pasien dan ke
suami pasien oleh bidan di Praktik Mandiri Bidan Nurhaidah SST
Samarinda dengan menggunakan format asuhan kebidanan ibu
bersalin. Data yang ditanyakan yaitu antara lain :
1) Identitas pasien,
2) keluhan utama pasien,
3) riwayat menstruasi,
4) riwayat perkawinan,
5) riwayat menyusui,
6) riwayat kontrasepsi dan
7) riwayat penyakit.
2. Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan secara tidak langsung, dapat
melalui rekam medis, hasil USG, hasil pemeriksaan laboratorium yang
berisi tentang hasil pemeriksaan pasien.
F. Etika Penelitian
Dalam sub bab ini diuraikan bahwa penulis telah melakukan langkah
- langkah atau prosedur yang berkaitan dengan etika penelitian. Masalah
etika dalam penelitian kebidanan sangat diperlukan mengingat bahwa
manusia sebagai objek penelitian. Beberapa etika kebidanan yang harus
diperhatikan dalam studi kasus antara lain :
1. Informed Consent
Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti
dengan subjek peneliti dengan memberikan lembar persetujuan.
Tujuannya adalah supaya subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian. Jika subjek bersedia, maka subjek harus mendatangani
lembar persetujuan , jika subjek tidak bersedia, maka peneliti harus
menghormati hak klien.

26
27

Lembar persetujuan yang diberikan pada responden, dengan


tujuan subjek mengetahui maksud dan tujuan dampak pemberian
asuhan selama pengumpulan data. Jika subjek bersedia maka harus
menandatangani lembar persetujuan. Jika subjek menlak maka penulis
tetap menghormati haknya (Sugiyono, 2010).
2. Anominity (Tanpa Nama)
Anominity menjelaskan bentuk proposal ini tidak mencantumkan
nama pada pendokumentasian asuhan kebidanan namun hanya
menuliskan inisial. Kerahasian identitas subyek perlu diperhatikan,untuk
itu penulis tidak mencantumkan nama subyek pada lembar
pengumpulan data (quisioner) yang diisi oleh subyek. Lembar tersebut
hanya diberi kode tertentu (Sugiyono, 2010).
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, penulis
dalam pendokumentasian hasil asuhan kebidanan hanya menuliskan
insial dari huruf depan nama klien maupun keluarga. Kerahasian
menjelaskan masalah ataupun data klien yang harus dirahasiakan.
Semua informasi yang diberikan klien dijamin kerahasiaannya oleh
penulis. Penulis memberikan jaminan kerahasian hasil penelitian, baik
informasi maupun masalah -masalah lainnya yang berhubungan
dengan subjek (Sugiyono,2010).
G. Alur Penelitian
Alur penelitian merupakan langkah – langkah yang akan dilakukan
mulai dari studi pendahuluan sampai dengan alternatif pemecahan masalah.
Disusun dalam bentuk kerangka alur atau sistematis. Adapun kerangka kerja
penelitian ini adalah sebagai berikut :

Studi Pendahuluan / Case Study Research PMB Nurhaidah SST

Mengumpulkan Data

Data Primer : Data Sekunder :


a. Anamnesa a. Buku KIA Ibu
b. Wawancara b. Kohort Ibu
c. Observasi

Menentukan Subjek Kasus - Kasus

Inform Consent

Melakukan Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas

Pemeriksaan Fisik Menerapkan Asuhan Komplementer Mengevaluasi Hasil


(Ibu Nifas) dengan Pijat Oksitosin Asuhan kebidanan

Alternatif Pemecahan
Kesimpulan
Masalah

Dokumentasi SOAP

Skema 3.2 Kerangka Alur Penelitian

28

Anda mungkin juga menyukai