Disusun Oleh:
Vina Aresya Noeraini
195401426451
II. BIDANG-BIDANG
Tata Usaha dan Rumah : Sri Setiyati
Tangga
Humas : Ida Ayu Citarasmi, SSiT, MKM
Advokasi dan Hub. Luar : Laurensia Lawintono, MSc
Negeri
Contoh Kasus di RS X:
Seorang Ibu Primigravida dibawa oleh suaminya ke igd Rumah sakit X
untuk bersalin, pasien tsb belum pernah melakukan anc di rs . mengatakan sudah
cukup bulan. Bidan melakukan inform consent dan anamnesa sebelum melakukan
tindakan. Saat datang pasien mengatakan lebih dari 24 jam mengalami mules dan
ibu merasa keluar air air seperti BAK dan saat ditanya oleh petugas rs pasien
tersebut pasien pindahan dari daerah (imigan) tidak memiliki ansuransi kesehatan
apaun. Sebelumnya pasien hanya melakukan anc sekali di kampunya.
keadaan ibu nya sudah mulai lemas dan kelelahan karena sudah terlalu lama
merasakan mules dan tampak kesakitan. Saat diperiksa, ternyata pembukaan sudah
lengkap namun djj janin melemah 89x/menit, bidan pun segera melapor dr obgyn,
dan dari dokter obgyn pun pro SC. Bidan segera mempersiapkan ruang operasi
untuk melakukan tindakan SC Cyto. Saat disiapkan persiapan operasi suami pasien
tidak setuju untuk SC. Lalu suami pasien di berikan edukasi terus menerus oleh
bidan jaga bahwa pasien tersebut tidak bisa melahirkan normal dan segera harus
dilakukan section secaria. Pasien pun awalnya menolak dengan alesan inginya dr
obgyn nya wanita. tetapi Setelah di lakukan edukasi ulang kembali, dan akhirnya
suaminya pun setuju dilakukan SC dan menandatangani surat izin operasi (SIO).
menolong persalinan dengan SC. Ternyata terdapat 2 lilitan tali pusat. Bayi
pun terlahir tidak menagis kuat, keadaan kulit bayi membiru, tidak adanya reflek
iritabilitas/tornus otot lemah dan frekuensi denyut jantung 78x/menit. Langsung
dilakukannya resusitasi secara berkala pada bayi tsb. Namun nyawa bayi tidak
tertolong karena bayi mengalami asfixia berat dan hypoxia saat didalam kandungan.
Suami dan keluarganya pun tidak terima bahwa anaknya yg baru saja dilahirkan
sudah tiada. Suami pasien menggap ini kesalahan bidan rs.dan melaporkannya ke
hukum.
Untuk penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh bidan yang telah masuk ke
pengadilan, semua tergantung kepada pertimbangan hakim yang menangani kasus
tersebut untuk menentukan apakah kasus yang ditanganinya termasuk kedalam
malpraktek atau tidak. Atau apakah si pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban
secara pidana atau tidak.
Dalam kasus ini, keluarga tidak bisa menuntut bidan/dokter karena
sebelumnya persalinan ditangani. Telah dilakukannya inform concent dan telah
menjalankan pekerjaanya sesuai prosedur. Bidan tidak melanggar kode etik karena
langsung inisiatif memberikan edukasi, melakukan infoem consent dan segera
menyiapkan operasi sc untuk pasien tsb serta melaporkannya ke dokter obgyn untuk
kolaborasi. Namun keadaan bayi saat lahir mengalami axfiksia berat diakibatkan
lilitan talipusat dan lamanya pengambilan keputusan.
Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan IBI sebagi paying pelindung
untuk melindungi teman sejawatnya karena telah melakukan pekerjaanya sesuai
dengan SPO yg telah ditetapkan. Sedangkan apabila seorang bidan tidak melakukan
tindakan sesuai SPO dan tidak melakukan inform concent . Maka IBI melalui MPA
dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah benar-benar
melakukan kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan atau
kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian bidan, dan bidan
tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui
MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam menghadapi
tuntutan atau gugatan di pengadilan.